analisis faktor-faktor yang mempengaruhi intensi auditor untuk

advertisement
1
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI INTENSI AUDITOR
UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN
WHISTLEBLOWING (STUDI EMPIRIS PADA
KANTOR AKUNTAN PUBLIK DI DKI
JAKARTA)
Evanti Dwi Andriani
Drs. Ahmad Adri, Ak., MBA., CA., CPA.
Universitas Bina Nusantara, Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Jakarta Barat 11530, Indonesia
Telp: (62-21) 534 5830/ email: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah identitas profesional, locus of
commitment, intensitas moral dan risiko berpengaruh positif terhadap intensi auditor untuk
melakukan tindakan whistleblowing. Metode penelitian ini adalah kuantitatif. Objek dari
penelitian ini adalah auditor yang bekerja dalam Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Convenience Sampling. Alat analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi Berganda dengan menggunakan
software IBM SPSS Ver. 20. Hasil yang dicapai adalah identitas profesional, intensitas
moral, risiko dan posisi jabatan berpengaruh signifikan terhadap intensi auditor untuk
melakukan tindakan whistleblowing, sedangkan locus of commitment tidak berpengaruh
terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. Simpulan berdasarkan
penelitian ini menunjukkan bahwa identitas profesional, intensitas moral, risiko dan
karakteristik personal auditor dalam posisi jabatan memiliki pengaruh terhadap intensi
auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. (EDA)
Kata kunci : intensi whistleblowing, identitas profesional, locus of commitment, intensitas
moral, risiko, gender, usia, pendidikan, masa kerja, posisi jabatan
ABSTRACT
The purpose of the research, was to determined whether professional identity, locus of
commitment, moral intensity, and risk is positively significant influence to whistleblowing
intention. This research method is quantitative. The object of this research was the auditors
who worked in the public accounting firms in DKI Jakarta. The sampling technique used was
Convenience Sampling Method. The Analytical tool used in this research was multiple
regression and with the helped of software IBM SPSS Statistics Ver. 20. The results achieved
are professional identity, moral intensity, risk and Auditor’s personal characteristicts is
consisted of level position is positively significant influence to whistleblowing intention,
while the locus of commitment does not significant influence to whistleblowing intention.
Conclusions based on this research shows that professional identity, moral intensity, risks
2
and Auditor’s personal characteristicts is consisted of level position have an impact on
whistleblowing intention. (EDA)
Keywords : whistleblowing intention, professional identity, locus of commitment, moral
intensity, risk, gender, age, education, experience, level position
PENDAHULUAN
Akuntan dan auditor merupakan salah satu pihak yang mempunyai peran penting dalam
kegiatan perekonomian di dunia. Akuntan bertugas untuk menyediakan laporan keuangan perusahaan
yang dapat diandalkan. Auditor independen bertugas bertanggung jawab untuk mendapatkan dan
mengevaluasi bukti mengenai asersi tentang kegiatan-kegiatan dan kejadian-kejadian ekonomi untuk
meyakinkan tingkat keterkaitan antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan (Mulyadi,
2002). Sedangkan auditor internal bertugas memastikan organisasi mematuhi semua SOP (Standar
Operasional Prosedur) dan standar yang telah ditentukan oleh direksi. Selain itu juga memastikan
efektivitas dan efisiensi organisasi atau perusahaan tersebut.
Laporan keuangan dibuat untuk memberikan informasi-informasi terkait dengan pengukuran
ekonomi mengenai sumber daya dan kinerja yang dimiliki suatu perusahaan. Tujuan dari audit laporan
keuangan oleh auditor independen adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran dalam
semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas dan arus kas sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia (SA seksi 110, 2001). Hasil dari laporan audit tersebut
berfungsi sebagai media komunikasi antara manajemen (interen perusahaan) dengan pihak luar
perusahaan dimana untuk pemenuhan stakeholder seperti investor, kreditor dan instansi pemerintah
sebagai pemakai laporan keuangan. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban
manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.
Perusahaan membutuhkan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Auditor internal dan
auditor independen menjadi salah satu jasa profesi yang dicari. Hal ini dikarenakan auditor memiliki
kontribusi dalam banyak hal kasus kebangkrutan perusahaan (Kreshastuti, 2014). Oleh karena itu,
profesionalisme menjadi salah satu tuntutan utama seseorang auditor internal maupun auditor
independen dalam melaksanakan pekerjaannya. Profesionalisme memiliki beberapa makna antara lain,
suatu keahlian mempunyai kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya atau
memperoleh imbalan karena keahliannya (Tjiptohadi, 2005). Namun, tidak jarang seorang auditor
profesional harus bertanggung jawab atas kegagalan perusahaan tersebut. Hal itu muncul karena
adanya kejadian atas perusahaan yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian, justru mengalami
kebangkrutan setelah opini tersebut dipublikasikan.
Skandal keuangan dengan motif memanipulasi laporan keuangan palsu terungkap pertama
kali pada perusahaan energi AS Enron. Enron telah menjadi sorotan masyarakat luas pada akhir 2001,
ketika terungkap bahwa kondisi keuangan yang dilaporkannya didukung terutama oleh penipuan
akuntansi yang sistematis, terlembaga dan direncanakan secara kreatif (Wikipedia, 2010). Dalam
kasus tersebut diketahui Enron memanipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan $600
juta padahal perusahaan tersebut mengalami kerugian. Para auditor internal yang bekerja pada
perusahaan Enron gagal untuk melaporkan ketidaketisan yang terjadi karena mereka takut
membahayakan karir dan keselamatan mereka terancam (Sulistomo, 2012). Pelanggaran etika tersebut
membuat Sharron Watskin yang menjabat sebagai Wakil Presiden Enron tidak kuat lagi melihat
skandal keuangan yang dilakukan Enron dan bertindak sebagai whistleblower dengan menuliskan
surat kepada Direktur Kenneth Lay untuk mengeluhkan praktik akuntansi agresif yang dilakukan oleh
Enron.
Skandal keuangan kedua, terjadi pada Worldcom. Cynthia Cooper yang menjabat sebagai
auditor internal saat itu bertindak sebagai whistleblower dengan melaporkan kecurangan yang
dilakukan perusahaan kepada kepala komite audit Max Bobbit pada bulan Mei 2002. Praktek
akuntansi yang dilakukan Worldcom yaitu dengan mengklasifikasikan lebih dari $3,8 milyar untuk
beban jaringan sebagai pengeluaran modal. Kemudian Worldcom memindahkan akun beban kepada
akun modal sehingga dalam pencatatan beban dicatat lebih rendah dan aset dicatat lebih tinggi karena
beban dikapitalisasikan dan disajikan sebagai beban investasi, sehingga Worldcom mampu menaikkan
pendapatan atau laba.
3
Selanjutnya, skandal akuntansi ketiga terjadi di Indonesia yaitu, KPMG-Siddharta Siddharta
& Harsono yang terbukti menyuap aparat pajak di Indonesia sebesar $75 ribu. Motifnya dengan
menerbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT.
Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York. Kasus
penyuapan pajak ini terkuak dari penasihat Anti Suap Baker yang khawatir dengan perilaku anak
perusahaannya dan akhirnya Baker sebagai whistleblower melaporkan secara sukarela kasus tersebut
dan memecat para eksekutifnya.
Dampak dari banyak terjadinya pelanggaran akuntansi membuat para pembuat kebijakan
menciptakan peraturan-peraturan yang mendorong tindakan whistleblowing. Amerika Serikat
menerbitkan Sarbanes-Oxley (SOX) Act pada 2002 yang menurut Ratmono dan Prabowo dalam Rani
(2009) merupakan regulasi yang paling mempengaruhi profesi auditing. Sebelumnya, profesi akuntan
publik melakukan self-regulation, setelah keluarnya SOX 2002 dilakukan direct regulation oleh pihak
independen yaitu PCAOB (Public Company Accounting Oversight Board). Selain itu, untuk menjaga
independen akuntan publik, di dalam SOX diatur mengenai kewajiban melakukan rotasi akuntan
publik (AP) setiap 5 tahun (Siregar, et al., 2011). Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) di
Indonesia juga membuat peraturan sejenis yang berjudul Sistem Pelaporan dan Pelanggaran (SPP)
atau Whistleblowing System pada 10 November 2008 (Rani, 2009). Peraturan-peraturan tersebut
mewajibkan para akuntan untuk melaporkan segala bentuk kecurangan yang terjadi dalam manajemen
kepada pihak pembuat kebijakan yang sesuai. Disamping itu para regulator juga berusaha untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan dengan meningkatkan etika profesi
dalam menjalankan pekerjaannya.
Whistleblowing merupakan proses kompleks yang melibatkan faktor-faktor pribadi dan
organisasi. Menurut penelitian Near dan Miceli (1988), semakin senior seorang pegawai (dalam hal
usia dan pengalaman) maka semakin besar kecenderungannya untuk melakukan whistleblowing. Hal
ini dibenarkan dengan fakta bahwa pegawai yang memiliki komitmen organisasi tinggi akan lebih
cenderung melaporkan kecurangan yang dapat membahayakan keberlangsungan organisasi mereka
(Merdikawati, 2012).
Penelitian mengenai whistleblowing sudah banyak dilakukan di Indonesia maupun di luar
negeri. Sampel yang digunakan ada dari berbagai macam kalangan seperti akuntan profesional,
internal/eksternal auditor hingga mahasiswa jurusan akuntansi yang sedang menyelesaikan kuliahnya.
Penelitian mengenai intensi melakukan whistleblowing di kalangan mahasiswa akuntansi telah banyak
dilakukan antara lain oleh Chiu (2003), Elias (2008) dan Su, et al., (2010). Chiu (2003) meneliti
mengenai pertimbangan etis dengan intensi melakukan whistleblowing terhadap Mahasiswa MBA di
China. Elias (2008) meneliti kecenderungan intensi melakukan whistleblowing pada mahasiswa
akuntansi di Amerika. Penelitian Su, et al., (2010) juga meniliti apakah terdapat perbedaan sikap etis
antara jenis kelamin dan pengalaman dalam pendidikan etika terhadap mahasiswa akuntansi di Taiwan
dan di United States.
Selain itu penelitian yang berkaitan dengan budaya yang mempengaruhi intensi seorang
menjadi whistleblower telah diteliti oleh Patel (2003) dan Zhang, et al., (2008). Patel (2003) meneliti
faktor budaya mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menjadi whistleblower. dan Zhang, et
al., (2008) yang mengusulkan whistleblowing judgement, positive mood dan organization ethical
culture sebagai perkiraan niat melakukan whistleblowing.
Di Indonesia penelitian mengenai whistleblowing di kalangan mahasiswa akuntansi sudah
banyak dilakukan, antara lain Rani (2009) dan Merdikawati (2012) meneliti adanya hubungan sikap
berkaitan dengan whistleblowing. Sugianto, et al., (2011) yang meneliti hubungan orientasi etika,
komitmen profesional, sensitivitas etis dengan whistleblowing. Sulistomo (2012) melakukan
penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang memiliki intensi melakukan
whistleblowing. Lebih lanjut, penelitian whistleblowing di kalangan internal auditor dilakukan oleh
Segara (2013) dan Sari (2014) yang menganalisis profesionalisme internal auditor dan intensi
melakukan whistleblowing.
Penelitian ini mengembangkan penelitian yang dilakukan oleh Kreshastuti (2014). Penelitian
tersebut menguji identitas profesional, locus of commitment, dan intensitas moral dengan intensi
melakukan whistleblowing. Dalam penelitian ini, peneliti menambahkan variabel baru yaitu risiko
sebagai variabel independen. Selain itu, penelitian ini juga melihat karakteristik auditor terhadap
intensi melakukan whistleblowing. Kreshastuti (2014) menggunakan auditor yang berlokasi di
4
Semarang dan telah terdaftar di IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia), sedangkan peneliti kali ini
akan membandingkan lebih luas tempat pengambilan sampel auditor yang bekerja dalam Kantor
Akuntan Publik (KAP) di DKI Jakarta agar hasil yang didapat lebih akurat.
Berdasarkan uraian atas penelitian-penelitian yang telah dikemukakan pada latar belakang
masalah diatas, maka penulis akan mengambil penelitian dengan judul: “ANALISIS FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENSI AUDITOR UNTUK MELAKUKAN
TINDAKAN WHISTLEBLOWING (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di DKI
Jakarta).
Landasan teori yang mendasari penelitian ini adalah teori Teori Perilaku Terencana (TPB)
yang dikemukakan oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein (1980) merupakan teori hasil pengembangan
dari Teori Tindakan Beralasan (TRA). Perbedaan antara keduanya adalah pada TPB adanya
penambahan satu variabel konstruk yang belum ada di TRA yakni persepsi kontrol perilaku
(Perceived Behavior Control). Konstruk ini ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan yang
dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu (Chiu, 2003). Dengan kata lain, dilakukan
atau tidak dilakukannya suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma subjektif semata,
tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol yang dapat dilakukannya yang bersumber pada
keyakinannya terhadap kontrol tersebut (control belief).
Pengembangan Hipotesis
Aranya, et al., (1981) mendefinisikan identitas profesional sebagai kekuatan seseorang
dengan keterlibatannya dalam sebuah profesi. Salah satu cara dimana individu menunjukkan identitas
profesional adalah melalui kepatuhan terhadap standar dan praktek dalam profesi mereka. Jeffrey dan
Weatherholt (1996) dalam Taylor dan Curtis (2010) menemukan bahwa komitmen profesional
akuntan secara positif terkait dengan memperhatikan aturan sikap, seperti mengikuti latihan
profesional, standar dan kode etik. Identitas profesional ini mengarah ke standar kepatuhan dan
kataatan aturan sikap. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis pertama penelitian ini :
Ha1 : Identitas profesional berpengaruh positif terhadap intensi auditor untuk melakukan
tindakan whistleblowing.
Komitmen organisasi merupakan sifat hubungan antara individu dengan organisasi kerja,
dimana individu mempunyai keyakinan diri terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi kerja, adanya
kerelaan untuk menggunakan usahanya secara sungguh-sungguh demi kepentingan organsasi kerja
serta mempunya keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi kerja. Secara singkat
komitmen organisasi adalah ikatan keterkaitan individu dengan organisasi (Supriyono, 2005). Manajer
yang memiliki tingkat komitmen organisasi tinggi akan memiliki pandangan positif dan lebih
berusaha berbuat yang terbaik demi kepentingan organisasi (Porter, et al., 1974 dalam Latuheru,
2005). Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis kedua penelitian ini :
Ha2 : Auditor yang lebih berkomitmen organisasi dibandingkan auditor yang lebih
berkomitmen terhadap rekan kerja berpengaruh positif terhadap intensi untuk melakukan
tindakan whistleblowing.
Dickerson (2009) menyatakan bahwa intensitas moral sangat mempengaruhi persepsi etis
auditor yang akan berkonsekuensi pada sensitivitas dalam pengambilan keputusan etis. Senada dengan
itu Morris dan McDonald (2009) juga menemukan bahwa intensitas moral persepsian dari sebuah isu
mempengaruhi moral judgement seseorang. Intensitas moral merupakan bagian integral dari sebuah
model isu kontinjen dari perilaku dan pembuatan keputusan moral yang dapat dikaitkan untuk
membentuk suatu persepsi kontrol perilaku dalam teori perilaku terencana (theory of planner
behavior). Persepsi kontrol perilaku merupakan keyakinan seseorang bahwa persepsi yang dimilikinya
merupakan hasil dari kontrol dirinya sendiri mengenai persepsi perilaku tersebut (Kreshastuti, 2014).
Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis ketiga penelitian ini :
Ha3 : Intensitas moral berpengaruh positif terhadap intensi auditor untuk melakukan
whistleblowing.
Risiko merupakan beban yang harus ditanggung oleh seseorang dalam melakukan suatu
pekerjaan. Sama halnya dengan seseorang yang mengungkapkan adanya kecurangan atau
whistleblower yang harus menanggung risiko yang akan didapat setelah melakukan whistleblowing.
Banyak para whistleblower yang tetap melakukan tugasnya meskipun sudah mengetahui risiko yang
akan diterimanya. Tetapi banyak juga individu yang takut dan memilih untuk tidak melakukan
whistleblowing karena tidak siap untuk menerima risikonya. Di dalam UU No. 13 tahun 2006 pasal 10
ayat 1 tentang perlindungan saksi dan korban dijelaskan pula bahwa pelapor merupakan pihak yang
mengungkapkan pelanggaran hukum pidana maupun perdata kepada pihak yang berwenang. Pasal
tersebut mengandung arti bahwa di Indonesia masyarakat yang melaporkan pelanggaran kepada pihak
5
yang tidak memiliki otoritas hukum tidak dapat dilindungi meskipun kehadirannya merupakan hal
yang penting bagi penegak keadilan.
Ha4 : Risiko berpengaruh negatif terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan
whistleblowing.
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan data primer yang diperoleh dari kuesioner yang
disebarkan peneliti kepada pada auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar
pada directory Kantor Akuntan Publik yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
tahun 2015 di DKI Jakarta. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode convenience
sampling yang merupakan teknik penentuan sampel yang dilakukan secara tidak acak, tetapi
menunjuk KAP yang diperkirakan dapat memberikan informasi terkait penelitian ini. Waktu
penyebaran kuesioner dilakukan pada masa sibuk auditor (high session) bulan Februari hingga April
2015.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 variabel dependen dan 4 variabel
independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah intensi melakukan Whistleblowing,
sedangkan variabel independennya adalah identitas profesional, locus of commitment, intensitas moral
dan risiko. Variabel intensi untuk melakukan Whistleblowing (Y) pada penelitian ini menggunakan 3
skenario kasus poin A dan B yang telah dikembangkan oleh Taylor dan Curtis (2010). Kemudian
variabel identitas profesional (X1) menggunakan 6 pernyataan yang dikembangkan oleh Aranya et.
al.,(1981), variabel locus of commitment (X2) menggunakan 3 pernyataan yang dikembangkan oleh
Taylor dan Curtis (2010), Intensitas Moral (X3) menggunakan 3 skenario kasus poin C dan D yang
telah dikembangkan oleh Taylor dan Curtis (2010), variabel risoko menggunakan 5 pernyataan yang
diidentifikasi dan dikembangkan dari buku Fraud Examination 4th Edition karangan Steve W.
Albrecht.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda (multiple
linear regression) yang dapat digunakan untuk menguji empat variabel bebas mengenai masalah
pengaruh identitas profesional, locus of commitment, intensitas moral dan risiko terhadap intensi
auditor untuk melakukan whistleblowing. Hubungan antar variabel adalah sebagai berikut:
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 +β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 +β8X8 + β9X9 + e
Keterangan:
Y
: Intensi untuk melakukan whistleblowing
α
: Konstanta
β
: Koefisien arah regresi
X1
: Identitas Profesional
X2
: Locus of Commitment
X3
: Intensitas Moral
X4
: Risiko
X5
: Gender
X6
: Usia
X7
: Masa kerja sebagai auditor
X8
: Jenjang Pendidikan
X9
: Posisi Jabatan
e
: Kesalahan pengganggu
Data yang dihasilkan dari penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan alat uji statistik
berupa Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) Ver. 20.0.
6
HASIL DAN BAHASAN
Waktu pendistribusian dan pengumpulan kuesioner yang dilakukan dari awal Februari hingga
April 2015. Dari total 225 kuesioner yang didistribusikan, kuesioner yang kembali hanya 188
eksemplar, namun hanya 146 eksemplar yang memenuhi kelengkapan data untuk diolah. Rincian
pendistribusian dan pengumpulan kuesioner dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Rincian Hasil Kuesioner
Keterangan
Jumlah
Kuesioner
Kuesioner yang disebarkan
225
Kuesioner yang tidak kembali
37
Kuesioner yang kembali
188
Kuesioner yang tidak diisi
32
Kuesioner yang tidak diisi lengkap
10
Kuesioner yang dapat diolah
146
Sumber: Hasil pengolahan data SPSS 20.0
Persentase
(%)
100%
16%
84%
14%
4%
65%
Analisis Data dan Hasil Penelitian
Analisis regresi linear berganda (multiple regression) digunakan untuk menguji pengaruh
identitas profesional, locus of commitment, intensitas moral, risiko dan karakteristik responden
terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing. Sebelum melakukan pengujian hipotesis terlebih
dahulu dilakukan uji kualitas data untuk menguji keandalan dan sah atau tidaknya item pertanyaan dan
jawaban kuesioner melalui uji reliabilitas dan uji validitas. Dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Hasil Uji Validitas Data
Variabel
Jumlah
Penyataan
Identitas Profesional
6
Locus Of Commitment
3
Intensitas Moral
6
Risiko
5
Intensi untuk melakukan
Whistleblowing
-Kemungkinan Pelaporan
3
-Ketekunan dalam Pelaporan 3
Sumber: Hasil pengolahan data SPSS 20.0
Uji Reliabilitas
Cornbanch Alpha
Reliabel jika > 0.6
0.812
0.715
0.816
0.734
Uji Validitas
Corrected Item Total
Correlation Valid jika
> 1.63
0.652 – 0.787
0.728 – 0.870
0.584 – 0.817
0.512 – 0.813
0.620
0.730
0.354 – 0.563
0.415 – 0.532
Selanjutnya pengujian hipotesis dilakukan dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2),
Uji Signifikansi Simultan (Uji F), Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t). Besarnya R
Square dari model regresi diperoleh 0.261 intensi untuk melakukan whistleblowing dapat dijelaskan
oleh identitas profesional, lous of commitment intensitas moral dan risiko. Sedangkan 73.9%
dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan kedalam model regresi dalam penelitian ini.
Kemudian hasil uji F pada tabel 3 diperoleh nilai F hitung sebesar 5.346 dengan probablititas sebesar
0.000 yang berada di bawah 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa model regresi pertama dapat
digunakan untuk memprediksi variabel terikat. Dengan kata lain identitas profesional, locus of
commitment, intensitas moral dan risiko secara simultan berpangaruh terhadap intensi melakukan
whistleblowing. Hasil Uji koefisien determinasi dan Uji F dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Hasil Uji Koefisien dan Uji F
Keterangan
Koefisien Determinasi (R Square)
Uji F
Sumber: Hasil pengolahan data SPSS 20.0
Nilai
0.261
5.346
7
Tabel 4. Hasil Uji t
Unstandardized
Coefficients
Model
1 (Constant)
B
7.457
Std. Error
2.600
Skor Identitas
Profesional
Skor Locus Of
Commitment
.162
0.72
.017
Skor Intensitas Moral
Skor Risiko
Jenis Kelamin
Responden
Usia Responden
t
Sig.
2.868
0.005
.172
2.253
.026
Signifikan
.111
.012
.150
.881
Tidak
Signifikan
.296
.061
.375
4.822
.000
Signifikan
-.193
.364
.081
.500
-.184
.057
-2.393
.727
.018
.469
-.024
.576
-.004
-.041
.967
-.043
-.464
.644
-.027
-.283
.778
.211
2.193
.030
Signifikan
Tidak
Signifikan
Tidak
Signifikan
Tidak
Signifikan
Tidak
Signifikan
Signifikan
Pendidikan Terakhir
-.555
1.196
Responden
Masa Bekerja
-.133
.469
Responden
Jabatan Responden
1.088
.496
Sumber: Hasil pengolahan data SPSS 20.0
Standardized
Coefficients
Beta
Keterangan
Persamaan model regresi yang dapat dibentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Y = 7457 + 0.162 X1 + 0.017 X2 + 0.296 X3 - 0.193 X4 + 0.364 X5 – 0.024 X6
– 0.555 X7 – 0.133 X8 + 1088 X9 + e
Model tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
1. Koefisien regresi pada variabel struktur identitas profesional (X1) menunjukkan arah positif
sebesar 0.162. Berarti identitas profesional yang tinggi dapat meningkatkan intensitas
seseorang untuk melakukan whistleblowing.
2. Koefisien regresi pada variabel struktur locus of commitment (X2) menunjukkan arah positif
sebesar 0.017. Berarti seseorang yang memiliki komitmen terhadap organisasi yang lebih
tinggi dari pada seseorang yang berkomitmen terhadap rekan kerja dapat meningkatkan
intensitas seseorang untuk melakukan whistleblowing.
3. Koefisien regresi pada variabel struktur intensitas moral (X3) menunjukkan arah positif
sebesar 0.296. Berarti seseorang yang memiliki intensitas moral yang tinggi dapat
meningkatkan intensitas seseorang untuk melakukan whistleblowing.
4. Koefisien regresi pada variabel struktur risiko (X4) menunjukkan arah negatif sebesar -0.193.
Berarti semakin tinggi risiko yang didapat, maka semakin menurunkan intensitas seseorang
untuk melakukan whistleblowing.
5. Koefisien regresi pada variabel struktur jenis kelamin (gender) menunjukkan arah positif
sebesar 0.364. Berarti baik pria maupun wanita memiliki intensi untuk melakukan
whistleblowing.
6. Koefisien regresi pada variabel struktur usia menunjukkan arah negatif sebesar -0.024.
Berarti semakin tua usia auditor, intensi untuk melakukan whistleblowing akan semakin
menurun.
7. Koefisien regresi pada variabel struktur pendidikan terakhir menunjukkan arah negatif
sebesar -0.555. Berarti semakin tinggi pendidikan yang dimiliki auditor, intensi untuk
melakukan whistleblowing akan semakin menurun.
8. Koefisien regresi pada variabel struktur masa bekerja menunjukkan arah negatif sebesar 0.133. Berarti semakin panjang masa bekerja auditor, intensi untuk melakukan
whistleblowing semakin menurun.
9. Koefisien regresi pada variabel struktur jabatan menunjukkan arah positif sebesar 1088.
Berarti semakin tinggi posisi seorang auditor dalam KAP, intensi untuk melakukan
whistleblowing akan semakin tinggi.
8
Pengaruh Identitas Profesional terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing
Variabel identitas profesional menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 0.162 dengan
tingkat signifikansi (p) sebesar 0.026. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (0.05), maka
H1 diterima. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
identitas profesional dengan intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. Dengan begitu,
semakin kuat identitas profesional yang dimiliki seorang auditor, maka akan semakin tinggi pula
intensi yang dimilikinya untuk melakukan tindakan whistleblowing.
Hal ini menunjukkan bahwa seseorang auditor yang memiliki profesionalime tinggi akan selalu
mematuhi norma-norma dan kode etik yang berlaku dengan tujuan untuk melindungi profesinya.
Dengan melindungi profesinya tersebut, maka auditor profesional secara tidak langsung akan lebih
memiliki tanggung jawab dalam melakukan tugasnya. Seperti halnya partner, Ia sudah pasti memiliki
info atau knowledge yang lebih luas dibandingkan dengan senior auditor atau junior auditor. Jadi pada
saat proses audit Ia tidak akan membiarkan rekan kerja atau bawahannya untuk tidak mengikuti
langkah-langkah audit yang sudah ditentukan dan harus tetap sesuai prosedur, karena sudah menjadi
tanggung jawabnya untuk selalu mengedepankan etika. Dengan begitu, identitas profesional yang
melekat pada diri auditor secara tidak langsung menumbuhkan komitmen pada dirinya sendiri untuk
selalu bertanggung jawab atas tugasnya. Lebih lanjut Kreshastuti (2014) mengatakan bahwa, para
auditor akan terdorong untuk selalu menjalankan tugas dengan mengedepankan etika. Sejalan dengan
theory of planned behavior dalam konsep sikap terhadap perilaku (Attitude Toward the Behavior),
bahwa seorang individu akan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan yang dianggapnya positif.
Sejalan dengan yang dikatakan Kreshastuti (2014), dimana seorang auditor yang profesional akan
menjalankan prosedur audit sesuai dengan apa yang telah di planning (perencanaan) tanpa ada yang
mengusik profesionalisme mereka sebagai auditor hingga akhir proses hasil audit selesai. Atau dengan
kata lain, seorang individu akan terdorong untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan yang
dianggapnya positif.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Kaplan dan Whitecotton (2001), yang hasilnya menunjukkan hubungan positif antara indentitas
profesional dengan tanggung jawab untuk melaporkan perilaku yang tidak etis. Lebih lanjut, Taylor
dan Curtis (2010) dan Kreshastuti (2014) juga menunjukkan hubungan positif antara identitas
profesional dengan intensi pelaporan atau intensi melakukan whistleblowing.
Pengaruh Locus Of Commitment terhadap intensi melakukan whistleblowing
Variabel Locus Of Commitment menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 0.017 dengan
tingkat signifikansi (p) sebesar 0.881. Nilai tersebut lebih besar dari taraf signifikansi 5% (0.05), maka
H2 ditolak. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
locus of commitment dengan intensi auditor untuk melakukan whistleblowing. Dengan begitu, auditor
yang memiliki locus of commitment terhadap organisasi yang tinggi cenderung tidak memiliki intensi
untuk melakukan whistleblowing, begitu pula dengan locus of commitment terhadap rekan kerja.
Menurut Kreshastuti (2014), tidak adanya pengaruh dari locus of commitment terhadap intensi
untuk melakukan tindakan whistleblowing dapat dikarenakan adanya faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja auditor yang dapat berasal dari rekan kerja atau pimpinan organisasi secara umum.
Aspek-aspek kepuasan kerja itu sendiri diungkapkan oleh Misener et al. (1996) dapat berhubungan
dengan gaji, keuntungan, promosi, kondisi kerja, supervise, praktek organisasi dan hubungan dengan
rekan kerja. Visi, misi dan tujuan organisasi yang jelas juga menjadi pilihan auditor untuk memilih
yang mana yang lebih berkomitmen. Jika hal tersebut tidak sejalan dengan personal auditor itu sendiri
maka, rasa ingin berkomitmen tidak akan muncul. Sama halnya dengan, perusahaan harus
menyelaraskan komitmen organisasi dengan identitas profesional. Auditor yang percaya bahwa
perusahaan mereka mendukung profesi dan mengikuti standarnya akan lebih mungkin untuk
melakukan pelaporan (Taylor dan Curtis, 2010).
Pelanggaran etis yang terjadi didalam organisasi membuat seorang auditor memilih untuk
bertindak. Tindakan yang dimaksud adalah seperti resign dari organisasi, melakukan whistleblowing
atau memilih untuk diam saja. Pilihan untuk resign dan memilih untuk diam sudah jelas tidak dapat
diterima untuk menilai mereka dalam berkomitmen organisasi. Sebaliknya, mereka dengan komitmen
organisasi tinggi akan memberantas orang-orang yang melakukan pelanggaran etis yang dapat
merugikan organisasi tempat mereka bekerja. Jadi, sementara identitas profesional dapat
mempengaruhi intensi auditor melakukan whistleblowing, dengan begitu komitmen organisasi akan
menunjukkan sejauh mana mereka akan bertindak atas niat yang dimilikinya (Finn, 1995).
Loyalitas menjadi salah satu alasan seseorang ingin berkomitmen. Tanpa adanya rasa loyalitas
tersebut, seseorang akan enggan atau bahkan tidak peduli untuk mendukung adanya perubahan dalam
9
organisasi dan sebaliknya, apabila auditor memiliki rasa loyalitas tinggi maka, Ia akan cenderung
mendukung adanya perubahan ke yang lebih baik lagi dalam organisasi tersebut. Lebih lanjut, dilihat
dari ritme kerja yang tinggi, pressure yang tinggi, adanya turn over (pergantian) dan over time
(lembur) disaat peak season yang sudah menjadi kewajiban auditor yang bekerja di Kantor Akuntan
Publik. Hal tersebut dapat menjadi alasan tersendiri bagi auditor dalam memilih untuk berkomitmen
kepada organisasi atau tidak. Sama halnya dengan pengaruh komitmen antar rekan kerja. Auditor
selalu bekerja dalam suatu tim dan rekan kerja yang sama, lalu lebih banyak menghabiskan waktu di
kantor klien jika saat waktu peak season. Dengan demikian, auditor lebih cenderung peduli dengan
timnya sendiri, dibandingkan dengan tim yang lain. Disisi lain, karena profesi auditor adalah salah
satu profesi yang memiliki prospek kerja yang cukup jelas untuk kedepannya (seperti adanya promote,
reward tiap tahun bagi auditor yang dilihat memiliki kerja yang maksimal hingga proses audit selesai)
ini membuat para auditor bersaing cukup ketat dalam melakukan tugasnya. Maka, tidak jarang dari
meraka lebih kompetitif dalam melaksanakan kewajibannya dan cenderung tidak memiliki komitmen
antar rekan kerja.
Seperti yang dijelaskan dalam theory planned behavior dalam konsep norma subyektif
(Subjective Norm), persepsi atau pandangan individu terhadap suatu kepercayaan orang lain akan
mempengaruhi niat individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku yang sedang
dipertimbangkan. Persepsi inilah yang menjadi dilema etis di dalam diri auditor dalam memilih yang
mana harus diutamakan.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kreshastuti
(2014). Namun, tidak mendukung hasil penelitian terdahulu yaitu Finn (1995) dan Taylor dan Curtis
(2010) yang hasilnya adalah komitmen organisasi dan komitmen antar rekan kerja memiliki hubungan
signifikan dengan intensi pelaporan pelanggaran. Bamber dan Iyer (2002), menemukan bahwa
identitas profesional dan locus of commitment berhubungan positif, dalam menunjukkan konflik
organisasi. Lebih lanjut, hasil penelitian yang dilakukan Mesmer-Magnus dan Viswesvaran, 2005
(dalam Taylor dan Curtis, 2010) yang meneliti komitmen organisasi dengan whistleblowing. Hasilnya
bahwa komitmen organisasi tidak dapat sepenuhnya menjelaskan intensi untuk melakukan
whistleblowing tanpa pertimbangan pelengkap dari komitmen antar rekan kerja.
Pengaruh Intensitas Moral terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing
Variabel Intensitas Moral menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 0.296 dengan tingkat
signifikansi (p) sebesar 0.000. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (0.05), maka H3
diterima. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
intensitas moral dengan intensi auditor untuk melakukan whistleblowing. Dengan begitu, auditor yang
memiliki intensitas moral yang tinggi cenderung akan memiliki intensitas untuk melakukan tindakan
whistleblowing yang tinggi pula.
Hal ini menunjukkan bahwa, moral yang dimiliki oleh auditor menjadi pedoman mereka untuk
bertindak atau mengambil suatu keputusan. Dengan memiliki nilai moral yang tinggi, maka auditor
tidak akan melanggar kode etik atau sesuatu yang dapat mengancam profesinya sebagai auditor. Nilai
akhlak yang melekat pada diri auditor juga menjadi pertimbangan seseorang dalam melihat suatu
pelanggaran etis. Jika auditor memiliki nilai agama dan budi pekerti yang baik sejak kecil maka,
auditor dengan sendirinya akan menghindari hal-hal menyimpang dan melanggar aturan agama.
Dengan demikian, mereka dengan sendirinya akan melakukan pelaporan jika didapati ada rekan kerja
atau atasan melakukan pelanggaran etis.
Intensitas moral yang tinggi membuat seorang auditor menjalankan prosedur audit sesuai
dengan apa yang telah di planning (perencanaan) tanpa ada yang mengusik profesionalisme mereka
sebagai auditor hingga akhir proses hasil audit selesai. Sama halnya dengan yang dikatakan oleh
Kreshastuti (2014), seorang akuntan yang profesional apabila ada kesalahan-kesalahan yang dilakukan
oleh rekan auditor atau atasan selama proses audit, maka Ia akan memiliki keyakinan untuk
mengungkapkan kesalahan tersebut melalui pertimbangan risiko atau kerugian, demi menjaga
kepentingan pemakai laporan keuangan hasil audit. Pertimbangan risiko atau kerugian inilah yang
nantinya akan membentuk keyakinan individu tersebut bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan
hasil dari kontrol dirinya sendiri. Seperti yang dijelaskan dalam theory planned behavior dalam
konsep persepsi kontrol perilaku (Perceived Behavioral Control), ketika individu percaya bahwa
dirinya kekurangan sumber (dorongan, support, back up-an dari seseorang) atau tidak memiliki
kesempatan untuk menunjukkan suatu perilaku terhadap risiko atau manfaat tersebut maka, individu
tidak akan memiliki keinginan yang kuat untuk menunjukkan perilaku tersebut.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Taylor dan Curtis (2010) dan Kreshastuti (2014), yang menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara intensitas moral dengan intensi pelaporan pelanggaran atau intensi melakukan
10
whistleblowing. Lebih lanjut, Shawver (2011) yang hasilnya menunjukkan bahwa intensitas moral
mempengaruhi sensitivitas moral, pertimbangan moral dan motivasi moral untuk melaporkan tindakan
manajemen laba terhadap 157 responden dari berbagai profesi akuntan.
Pengaruh Risiko terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing
Variabel risiko menunjukkan koefisien regresi negatif sebesar -0.193 dengan tingkat
signifikansi (p) sebesar 0.018. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (0.05), maka H4
diterima. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara risiko
dengan intensi auditor untuk melakukan whistleblowing. Dengan begitu, semakin tinggi risiko yang
akan didapat maka, intensi untuk melakukan tindakan whistleblowing akan semakin rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa, risiko merupakan hambatan atau kendala yang dipermasalahkan
oleh seseorang atau auditor untuk melakukan suatu keputusan. Menjadi seorang whistleblower
bukanlah hal yang mudah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, banyak hal yang menjadi
pertimbangan seorang whistleblower untuk mengungkapkan pelanggaran etis yang terjadi dalam
organisasi. Contohnya dari yang paling kecil yaitu, dapat di kucilkan dalam lingkungan kerja mereka,
atau bahkan kehilangan pekerjaannya karna dianggap telah mencemarkan citra organisasi. Dengan
risiko tersebut, tidak sedikit dari mereka yang bekerja lebih memilih untuk diam daripada menjadi
whistleblower (Hasanah, 2014). Alasan tersebut dapat diterima, karena seorang individu pasti
memiliki kepentingan akan dirinya masing-masing. Dengan pertimbangan hukum di Indonesia yang
masih lemah akan kasus ini maka, seorang individu tidak memiliki keinginan atau bahkan takut untuk
mengungkapkan kecurangan tersebut jika nantinya hal yang merugikan akan berbalik kepada dirinya
sendiri. Hal ini sejalan dengan UU No. 13 tahun 2006 pasal 10 ayat 1 tentang perlindungan saksi dan
korban menjelaskan bahwa, pelapor merupakan pihak yang mengungkapkan pelanggaran hukum
pidana maupun perdata kepada pihak yang berwenang. Pasal tersebut mengandung arti bahwa di
Indonesia masyarakat yang melaporkan pelanggaran kepada pihak yang tidak memiliki otoritas
hukum tidak dapat dilindungi meskipun kehadirannya merupakan hal yang penting bagi penegak
keadilan. Dengan kata lain, risiko yang akan diterima dapat menjadi penyebab dilemma etis dalam diri
auditor untuk melakukan pelaporan.
Lain halnya, apabila suatu perusahaan sudah memiliki yang namanya whistleblowing system.
Whistleblowing system berguna untuk melindungi para whistleblower atas pelaporan yang
dilaporkannya. Sehingga, risiko yang yang didapat kemungkinan akan kecil dan membuat intensi
melakukan pelaporan tersebut jadi meningkat karena mereka merasa telah di back up atau diberikan
perlindungan dari perusahaan tersebut.
Seperti yang dijelaskan dalam theory planned behavior dalam konsep persepsi kontrol perilaku
(Perceived Behavioral Control), ketika individu percaya bahwa dirinya kekurangan sumber
(dorongan, support, back up-an dari seseorang) atau tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan
suatu perilaku tersebut maka, individu tidak akan memiliki keinginan yang kuat untuk menunjukkan
perilaku tersebut.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hasanah
(2014) yang hasilnya menunjukkan risiko memiliki pengaruh signifikan terhadap intensi melakukan
whistleblowing. Namun, locus of control tidak mempengaruhi hubungan antara risiko terhadap intensi
melakukan whistleblowing.
Pengaruh Karakteristik Auditor Terhadap Intensi Untuk Melakukan Whistleblowing
Karakteristik personal yang dimiliki oleh auditor ditentukan peneliti sebagai Variabel kontrol.
Sebagai analisis tambahan, peneliti ingin mengetahui apakah intensi auditor untuk melakukan
tindakan whistleblowing dapat dipengaruhi oleh karakteristik auditor. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa variabel jenis kelamin (gender), usia, pendidikan terakhir dan masa bekerja tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing. Namun, variabel jabatan
menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 1088 dengan tingkat signifikansi (p) sebesar 0.030.
Nilai tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (0.05). Sehingga, Karakteristik personal auditor
variabel konstruk jabatan memiliki pengaruh positif dalam intensi auditor untuk melakukan
whistleblowing. Dengan begitu, semakin tinggi posisi jabatan seorang auditor di KAP maka, intensi
auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing akan semakin tinggi pula.
Hal ini menunjukkan bahwa, posisi jabatan yang di sandang oleh seorang auditor, berbanding
lurus dengan identitas profesional yang melekat pada dirinya. Dengan kata lain, semakin tinggi
jabatan yang dimiliki auditor maka, semakin tinggi pula identitas profesionalnya (Near dan Miceli,
1988). Tindakan yang akan ditunjukkan dari masing-masing orang mungkin akan berbeda jika melihat
adanya pelanggaran etis. Dilihat dari sisi posisi jabatan yang tertinggi seperti, partner dan direktur
11
mungkin tindakan yang diberikan akan berbeda dengan junior auditor saat melihat adanya
pelanggaran etis. Seseorang yang memiliki jabatan tinggi cenderung memiliki rasa ingin
mengungkapkan, karena merasa dirinya memiliki kuasa atas pelaporan tindakan tidak etis yang dapat
merugikan tempat organisasi mereka bekerja selama ini.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh penelitian
Taylor dan Curtis (2010) yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara jabatan, usia dan
gender terhadap intensi pelaporan pelanggaran. Namun, tidak mendukung penelitian yang dilakukan
oleh Kreshastuti (2014).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi intensi auditor untuk
melakukan tindakan whistleblowing di DKI Jakarta. Faktor-faktor yang diuji antara lain identitas
profesional, locus of commitment, intensitas moral dan risiko. Peneliti juga melakukan analisis
tambahan dari variabel kontrol yaitu karakteristik personal auditor. Sampel dalam penelitian ini adalah
para auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan 146
kuesioner dari 22 KAP. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear
berganda dengan program Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Ver. 20. Berdasarkan pada
hasil uji statistik dan analisis penelitian yang diuraikan pada bab 4, maka dapat diperoleh simpulan
sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Identitas profesional mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap intensi auditor untuk
melakukan tindakan whistleblowing.
Komitmen organisasi dan komitmen rekan kerja (Locus Of Commitment) mempunyai pengaruh
positif namun tidak signifikan terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing.
Intensitas moral mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap intensi auditor untuk
melakukan tindakan whistleblowing.
Risiko mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap intensi auditor untuk melakukan
tindakan whistleblowing.
Saran
1.
2.
Untuk mendapatkan hasil yang berbeda mungkin penelitian selanjutnya dapat membandingkan
secara detail apakah ada perbedaan antara auditor yang bekerja di KAP Big Four dan KAP Non
Big Four terhadap intensinya melakukan tindakan whistleblowing.
Penelitian selanjutnya disarankan untuk tidak melakukan penelitian di masa sibuk (peak season)
auditor dan menambah jumlah sampel yang lebih banyak dan lebih difokuskan untuk para
manajer, direktur dan partner.
REFERENSI
Ajzen , I. (2002). "Perceived behavioural control, self-efficacy, locus of control, and the theory of
planned behaviour". Journal of Applied Social Psychology , 32: 665.
Ajzen, I. (2011). The theory of planned behaviour: reactions and reflections. . Psychology & Health,
pp. 26(9), 1113–1127.
Alan, E. (2003). Oxford Learner's Pocket Dictionary (New Edition). New York: Oxford University
Press.
Albrecht, S. W., Albrecht, C. O., Albrecht, C. C., & Zimbelman, M. F. (2012). Fraud Examination
4th Edition.
Aranya, N., & Lachman , R. (1998). Evaluation of Alternative Models of Commitments and Job
Attitudes of Profesionals. Journal of Occupational Behavior, Vol. 7.
Bamber, E. M., & Iyer, V. M. (2002). ‘Big 5 Auditors’ Professional and Organizational Identification:
Consistency or Conflict?’,. Auditing: A Journal of Practice and Theory 21(2), 21–38.
12
Baron, R. A., & Byrne, D. (2000). Social Psychology-ninth edition. Boston; Allyn and Bacon.
Chaplin, J. (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Chiu, R. (2003). "Ethical Judgement, Locus of Control and Whistleblowing Intention: A Case Study
of Mainland Chinese MBA Students". Managerial Auditing Journal, Vol 17 Iss: 9 pp. 581587.
Daft, R. L. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. . Jakarta: Penerbit. Erlangga. Hasibuan,
Malayu SP.
Dewi, N. W. (2007). "Analisis Pengaruh Intensitas Moral terhadap Intensi Keperilakuan: Peranan
Masalah Etika Persepsian dalam Pengambilan Keputusan Etis yang Terkait dengan Sistem
Informasi". Simposium Nasional Akuntansi X.
Djamilah, S., & Wijaya, N. (2008). "Perspektif Etika Terhadap Whistleblowing". Journal of
Accounting Vol. 0 No. 2.
Elias, R. (2006). “The impact of Professional Commitment and Anticipatory Socialization on
Accounting Students’ Ethical Orientation” . Journal of Business Ethics.
Elias, R. (2008). "Auditing Students Professional Commitment and Anticipatory Socialization and
Their Relationship To Whistleblowing". Managerial Auditing Journal, Vol. 23 Iss:3 pp.283294.
Ferrel, O., J, F., & Ferrell, L. (2002). Business Ethics: Ethical Decision Makin and Cases, Houghton
Mifflin, Boston.
Fultanegara, R. (2010). Analisis Hubungan Komitmen Profesional dan Sosialisasi Antisipatif
Mahasiswa Akuntansi pada Whistleblowing. Skripsi tidak dipublikasikan.
Ghani, R. (2010). "Analisis Perbedaan Komitmen Profesional dan Sosialisasi Antisipatif Mahasiswa
PPA dan Non-PPA pada Hubungannya dengan Whistleblowing". Skripsi tidak
dipublikasikan.
Ghozali, I. (2011). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit
UNDIP.
Hasanah, H. (2014). Karakteristik Individu dan Whistleblower. Skripsi tidak dipublikasikan.
Hwang et al. (2008). ” Confucian culture and whistle-blowing by professional accountants: an
exploratory study” . Managerial Auditing Journal, Vol. 23 No.5.
Institute Akuntan Publik Indonesia. (2011). "Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) per 31
Maret 2011". Penerbit ikatan Akuntan public Indonesia, Jakarta.
Ismail, V., & Zain, E. (2008). Peranan sikap, norma subyektif, dan perceived behavioral control
terhadap intensi pelajar SLTA untuk memilih fakultas ekonomi. Jurnal ekonomi dan bisnis,
Vol. 5, No. 3.
Jones, D. (1991). A novel approach to business ethics training: Improving moral reasoning in just a
few weeks. Journal of Business Ethics, 88: 367-279.
Kaplan, S., & S.M. Whitecotton. (2001). An Examination of Auditor's Reporting Intentions when
Another Auditor is offered Client Employment. Auditing: A Journal of Practice & Theory,
Vol. 20 No.1.
13
Kreitner, R., & Kinicki, A. (2001). Organizational Behavior. Fift Edition, International Edition, Mc
graw-Hill FCompanies, Inc.
Kreshastuti, D. K. (2014). "Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensi Auditor untuk
Melakukan Tindakan Whistleblowing". Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 3, No. 2,
Hal. 1-15.
Latuheru. (2005). Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Senjangan Anggaran dengan Komitmen
Organisasi sebagai variabel Moderating (Studi Empiris pada Kawasan Industri Maluku).
Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 7, No. 2, Nopember, Hlm. 117-130,.
Mcdonald, G., & Moris. (2009). "An anthology of Codes of Ethics". European Business Review,
Vol.21 No.4.
Merdikawati, R. (2012). "Hubungan Komitmen Profesi dan Sosialisasi Antisipatif Mahasiswa
Akuntansi dengan Niat Whistleblowing (Studi Empiris pada Mahasiswa Strata 1 Jurusan
Akuntansi Tiga Universitas Negeri Teratas di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta". Skripsi
tidak dipublikasikan.
Miethe, T. D., & Rothschild, J. (1999). Whistleblowing and the control of organizational misconduct.
Sociological Inquiry, 64(3), 322-347.
Near, J., & Miceli, M. P. (1988). “Organizational dissidence: the case of whistle-blowing". Journal of
Business Ethics, Vol.4 No.1.
Novius, A. (2010). Analisis Pemahaman Mahasiswa Akuntansi dalam Menghadapi Mata Kulkiah
Dasar-dasar Akuntansi.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 Paragraf ke 7 (Revisi 2009). (n.d.).
Rani, K. (2009). “Analisis Hubungan Komitmen Profesional dan Antisipatori Dini Mahasiswa
Akuntansi dan Hubungannya dengan Pelaporan Pelanggaran”, Skripsi S1 Akuntansi.
Republik Indonesia. (2006). Undang-undang No. 13 Tahun 2006. Tentang perlindungan saksi dan
korban.
Robbins, S. (2003). Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Indeks, hlm 45—80.
Sari, D. N. (2014). Profesionalisme Internal Auditor dan Intensi melakukan Whistleblowing. Journal
Of Accounting.
Schiffman, L. G., & Leslie, L. K. (2010). Customer Behavior, Tenth Edition, New Jersey: Prentice
Hall.
Segara, Y. (2013). "Profesionalisme Internal Auditor dan Intensi Melakukan Whistleblowing". Jurnal
Liquidity, Vol. 2 No. 1, h. 33-44.
Shawver, T. (2011). "The Effects of Moral Intensity on Whistleblowing Behaviour Accounting
Professional" . Journal of Forensic and Investigate Accounting, Vol. 3 Iss.2.
Siregar, S. V., & Challen, A. E. (2011). The Effect of Audit Quality on Earnings Management and
Firm Value. Presented at The 12th Asian Academic Accounting Association.
Sugianto, A., & Tawakkal. (2011). "Hubungan Orientasi Etika, Komitmen Profesional, Sensitivitas
Etis dengan Whistleblowing Perspektif Mahasiswa Akuntansi".
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung: Alfabeta.
14
Sulistomo, A. (2012). "Persepsi Mahasiswa Akuntansi Terhadap Pengungkapan Kecurangan (Studi
Empiris pada Mahasiswa Akuntansi Undip dan UGM)". Skripsi tidak dipublikasikan.
Taylor, E., & Curtis, M. B. (2010). "An Examination Of The Layers Workplace Influence In Ethical
Judgement: Whistleblowing Likelihood and Perseverance in Public Accounting". Journal of
Business Ethics, Vol. 93, pp. 21-37.
Tjiptohadi, S. (2005). Kepercayaan Wajib Pajak Terhadap Fiskus, Kesadaran Wwajib Pajak Terhadap
Pentingnya Membayar Pajak, Rekayasa Akuntansi dan Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal
Manajemen, Akuntansi dan Bisnis, Vol. 3 No. 2.
Widodo, R. ,. (2010). Analisis Pengaruh Keamanan Kerja dan Komitmen Organisasional terhadap
Turnover Intention serta dampaknya pada Kinerja Karyawan Outsourcing (Studi pada PT
PLN Persero APJ Yogyakarta).
Wikipedia. (7, April 2013). Retrieved Desember 01, 2014, from http://id.wikipedia.org/wiki/Enron
Zhang, Y., & Chiu, R. (2008). Decision-Making Process of Internal Whistleblowing Behavior in
China: Empirical Evidence and Implications. Journal of Business Ethics.
RIWAYAT PENULIS
Evanti Dwi Andriani lahir di kota Jakarta 2 Septermber 1993. Penulis menamatkan pendidikan S1 di
Universitas Bina Nusantara dalam bidang Akuntansi pada tahun 2015. Saat ini bekerja sebagai
Associate di PT PricewaterhouseCoopers (PwC Indonesia).
Download