1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENSI AUDITOR UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN WHISTLEBLOWING (STUDI EMPIRIS PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DI DKI JAKARTA) Evanti Dwi Andriani Drs. Ahmad Adri, Ak., MBA., CA., CPA. Universitas Bina Nusantara, Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Jakarta Barat 11530, Indonesia Telp: (62-21) 534 5830/ email: [email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah identitas profesional, locus of commitment, intensitas moral dan risiko berpengaruh positif terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. Metode penelitian ini adalah kuantitatif. Objek dari penelitian ini adalah auditor yang bekerja dalam Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Convenience Sampling. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi Berganda dengan menggunakan software IBM SPSS Ver. 20. Hasil yang dicapai adalah identitas profesional, intensitas moral, risiko dan posisi jabatan berpengaruh signifikan terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing, sedangkan locus of commitment tidak berpengaruh terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. Simpulan berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa identitas profesional, intensitas moral, risiko dan karakteristik personal auditor dalam posisi jabatan memiliki pengaruh terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. (EDA) Kata kunci : intensi whistleblowing, identitas profesional, locus of commitment, intensitas moral, risiko, gender, usia, pendidikan, masa kerja, posisi jabatan ABSTRACT The purpose of the research, was to determined whether professional identity, locus of commitment, moral intensity, and risk is positively significant influence to whistleblowing intention. This research method is quantitative. The object of this research was the auditors who worked in the public accounting firms in DKI Jakarta. The sampling technique used was Convenience Sampling Method. The Analytical tool used in this research was multiple regression and with the helped of software IBM SPSS Statistics Ver. 20. The results achieved are professional identity, moral intensity, risk and Auditor’s personal characteristicts is consisted of level position is positively significant influence to whistleblowing intention, while the locus of commitment does not significant influence to whistleblowing intention. Conclusions based on this research shows that professional identity, moral intensity, risks 2 and Auditor’s personal characteristicts is consisted of level position have an impact on whistleblowing intention. (EDA) Keywords : whistleblowing intention, professional identity, locus of commitment, moral intensity, risk, gender, age, education, experience, level position PENDAHULUAN Akuntan dan auditor merupakan salah satu pihak yang mempunyai peran penting dalam kegiatan perekonomian di dunia. Akuntan bertugas untuk menyediakan laporan keuangan perusahaan yang dapat diandalkan. Auditor independen bertugas bertanggung jawab untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti mengenai asersi tentang kegiatan-kegiatan dan kejadian-kejadian ekonomi untuk meyakinkan tingkat keterkaitan antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan (Mulyadi, 2002). Sedangkan auditor internal bertugas memastikan organisasi mematuhi semua SOP (Standar Operasional Prosedur) dan standar yang telah ditentukan oleh direksi. Selain itu juga memastikan efektivitas dan efisiensi organisasi atau perusahaan tersebut. Laporan keuangan dibuat untuk memberikan informasi-informasi terkait dengan pengukuran ekonomi mengenai sumber daya dan kinerja yang dimiliki suatu perusahaan. Tujuan dari audit laporan keuangan oleh auditor independen adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia (SA seksi 110, 2001). Hasil dari laporan audit tersebut berfungsi sebagai media komunikasi antara manajemen (interen perusahaan) dengan pihak luar perusahaan dimana untuk pemenuhan stakeholder seperti investor, kreditor dan instansi pemerintah sebagai pemakai laporan keuangan. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Perusahaan membutuhkan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Auditor internal dan auditor independen menjadi salah satu jasa profesi yang dicari. Hal ini dikarenakan auditor memiliki kontribusi dalam banyak hal kasus kebangkrutan perusahaan (Kreshastuti, 2014). Oleh karena itu, profesionalisme menjadi salah satu tuntutan utama seseorang auditor internal maupun auditor independen dalam melaksanakan pekerjaannya. Profesionalisme memiliki beberapa makna antara lain, suatu keahlian mempunyai kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya atau memperoleh imbalan karena keahliannya (Tjiptohadi, 2005). Namun, tidak jarang seorang auditor profesional harus bertanggung jawab atas kegagalan perusahaan tersebut. Hal itu muncul karena adanya kejadian atas perusahaan yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian, justru mengalami kebangkrutan setelah opini tersebut dipublikasikan. Skandal keuangan dengan motif memanipulasi laporan keuangan palsu terungkap pertama kali pada perusahaan energi AS Enron. Enron telah menjadi sorotan masyarakat luas pada akhir 2001, ketika terungkap bahwa kondisi keuangan yang dilaporkannya didukung terutama oleh penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga dan direncanakan secara kreatif (Wikipedia, 2010). Dalam kasus tersebut diketahui Enron memanipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan $600 juta padahal perusahaan tersebut mengalami kerugian. Para auditor internal yang bekerja pada perusahaan Enron gagal untuk melaporkan ketidaketisan yang terjadi karena mereka takut membahayakan karir dan keselamatan mereka terancam (Sulistomo, 2012). Pelanggaran etika tersebut membuat Sharron Watskin yang menjabat sebagai Wakil Presiden Enron tidak kuat lagi melihat skandal keuangan yang dilakukan Enron dan bertindak sebagai whistleblower dengan menuliskan surat kepada Direktur Kenneth Lay untuk mengeluhkan praktik akuntansi agresif yang dilakukan oleh Enron. Skandal keuangan kedua, terjadi pada Worldcom. Cynthia Cooper yang menjabat sebagai auditor internal saat itu bertindak sebagai whistleblower dengan melaporkan kecurangan yang dilakukan perusahaan kepada kepala komite audit Max Bobbit pada bulan Mei 2002. Praktek akuntansi yang dilakukan Worldcom yaitu dengan mengklasifikasikan lebih dari $3,8 milyar untuk beban jaringan sebagai pengeluaran modal. Kemudian Worldcom memindahkan akun beban kepada akun modal sehingga dalam pencatatan beban dicatat lebih rendah dan aset dicatat lebih tinggi karena beban dikapitalisasikan dan disajikan sebagai beban investasi, sehingga Worldcom mampu menaikkan pendapatan atau laba. 3 Selanjutnya, skandal akuntansi ketiga terjadi di Indonesia yaitu, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono yang terbukti menyuap aparat pajak di Indonesia sebesar $75 ribu. Motifnya dengan menerbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT. Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York. Kasus penyuapan pajak ini terkuak dari penasihat Anti Suap Baker yang khawatir dengan perilaku anak perusahaannya dan akhirnya Baker sebagai whistleblower melaporkan secara sukarela kasus tersebut dan memecat para eksekutifnya. Dampak dari banyak terjadinya pelanggaran akuntansi membuat para pembuat kebijakan menciptakan peraturan-peraturan yang mendorong tindakan whistleblowing. Amerika Serikat menerbitkan Sarbanes-Oxley (SOX) Act pada 2002 yang menurut Ratmono dan Prabowo dalam Rani (2009) merupakan regulasi yang paling mempengaruhi profesi auditing. Sebelumnya, profesi akuntan publik melakukan self-regulation, setelah keluarnya SOX 2002 dilakukan direct regulation oleh pihak independen yaitu PCAOB (Public Company Accounting Oversight Board). Selain itu, untuk menjaga independen akuntan publik, di dalam SOX diatur mengenai kewajiban melakukan rotasi akuntan publik (AP) setiap 5 tahun (Siregar, et al., 2011). Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) di Indonesia juga membuat peraturan sejenis yang berjudul Sistem Pelaporan dan Pelanggaran (SPP) atau Whistleblowing System pada 10 November 2008 (Rani, 2009). Peraturan-peraturan tersebut mewajibkan para akuntan untuk melaporkan segala bentuk kecurangan yang terjadi dalam manajemen kepada pihak pembuat kebijakan yang sesuai. Disamping itu para regulator juga berusaha untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan dengan meningkatkan etika profesi dalam menjalankan pekerjaannya. Whistleblowing merupakan proses kompleks yang melibatkan faktor-faktor pribadi dan organisasi. Menurut penelitian Near dan Miceli (1988), semakin senior seorang pegawai (dalam hal usia dan pengalaman) maka semakin besar kecenderungannya untuk melakukan whistleblowing. Hal ini dibenarkan dengan fakta bahwa pegawai yang memiliki komitmen organisasi tinggi akan lebih cenderung melaporkan kecurangan yang dapat membahayakan keberlangsungan organisasi mereka (Merdikawati, 2012). Penelitian mengenai whistleblowing sudah banyak dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri. Sampel yang digunakan ada dari berbagai macam kalangan seperti akuntan profesional, internal/eksternal auditor hingga mahasiswa jurusan akuntansi yang sedang menyelesaikan kuliahnya. Penelitian mengenai intensi melakukan whistleblowing di kalangan mahasiswa akuntansi telah banyak dilakukan antara lain oleh Chiu (2003), Elias (2008) dan Su, et al., (2010). Chiu (2003) meneliti mengenai pertimbangan etis dengan intensi melakukan whistleblowing terhadap Mahasiswa MBA di China. Elias (2008) meneliti kecenderungan intensi melakukan whistleblowing pada mahasiswa akuntansi di Amerika. Penelitian Su, et al., (2010) juga meniliti apakah terdapat perbedaan sikap etis antara jenis kelamin dan pengalaman dalam pendidikan etika terhadap mahasiswa akuntansi di Taiwan dan di United States. Selain itu penelitian yang berkaitan dengan budaya yang mempengaruhi intensi seorang menjadi whistleblower telah diteliti oleh Patel (2003) dan Zhang, et al., (2008). Patel (2003) meneliti faktor budaya mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menjadi whistleblower. dan Zhang, et al., (2008) yang mengusulkan whistleblowing judgement, positive mood dan organization ethical culture sebagai perkiraan niat melakukan whistleblowing. Di Indonesia penelitian mengenai whistleblowing di kalangan mahasiswa akuntansi sudah banyak dilakukan, antara lain Rani (2009) dan Merdikawati (2012) meneliti adanya hubungan sikap berkaitan dengan whistleblowing. Sugianto, et al., (2011) yang meneliti hubungan orientasi etika, komitmen profesional, sensitivitas etis dengan whistleblowing. Sulistomo (2012) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang memiliki intensi melakukan whistleblowing. Lebih lanjut, penelitian whistleblowing di kalangan internal auditor dilakukan oleh Segara (2013) dan Sari (2014) yang menganalisis profesionalisme internal auditor dan intensi melakukan whistleblowing. Penelitian ini mengembangkan penelitian yang dilakukan oleh Kreshastuti (2014). Penelitian tersebut menguji identitas profesional, locus of commitment, dan intensitas moral dengan intensi melakukan whistleblowing. Dalam penelitian ini, peneliti menambahkan variabel baru yaitu risiko sebagai variabel independen. Selain itu, penelitian ini juga melihat karakteristik auditor terhadap intensi melakukan whistleblowing. Kreshastuti (2014) menggunakan auditor yang berlokasi di 4 Semarang dan telah terdaftar di IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia), sedangkan peneliti kali ini akan membandingkan lebih luas tempat pengambilan sampel auditor yang bekerja dalam Kantor Akuntan Publik (KAP) di DKI Jakarta agar hasil yang didapat lebih akurat. Berdasarkan uraian atas penelitian-penelitian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah diatas, maka penulis akan mengambil penelitian dengan judul: “ANALISIS FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENSI AUDITOR UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN WHISTLEBLOWING (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta). Landasan teori yang mendasari penelitian ini adalah teori Teori Perilaku Terencana (TPB) yang dikemukakan oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein (1980) merupakan teori hasil pengembangan dari Teori Tindakan Beralasan (TRA). Perbedaan antara keduanya adalah pada TPB adanya penambahan satu variabel konstruk yang belum ada di TRA yakni persepsi kontrol perilaku (Perceived Behavior Control). Konstruk ini ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan yang dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu (Chiu, 2003). Dengan kata lain, dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma subjektif semata, tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol yang dapat dilakukannya yang bersumber pada keyakinannya terhadap kontrol tersebut (control belief). Pengembangan Hipotesis Aranya, et al., (1981) mendefinisikan identitas profesional sebagai kekuatan seseorang dengan keterlibatannya dalam sebuah profesi. Salah satu cara dimana individu menunjukkan identitas profesional adalah melalui kepatuhan terhadap standar dan praktek dalam profesi mereka. Jeffrey dan Weatherholt (1996) dalam Taylor dan Curtis (2010) menemukan bahwa komitmen profesional akuntan secara positif terkait dengan memperhatikan aturan sikap, seperti mengikuti latihan profesional, standar dan kode etik. Identitas profesional ini mengarah ke standar kepatuhan dan kataatan aturan sikap. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis pertama penelitian ini : Ha1 : Identitas profesional berpengaruh positif terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. Komitmen organisasi merupakan sifat hubungan antara individu dengan organisasi kerja, dimana individu mempunyai keyakinan diri terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi kerja, adanya kerelaan untuk menggunakan usahanya secara sungguh-sungguh demi kepentingan organsasi kerja serta mempunya keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi kerja. Secara singkat komitmen organisasi adalah ikatan keterkaitan individu dengan organisasi (Supriyono, 2005). Manajer yang memiliki tingkat komitmen organisasi tinggi akan memiliki pandangan positif dan lebih berusaha berbuat yang terbaik demi kepentingan organisasi (Porter, et al., 1974 dalam Latuheru, 2005). Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis kedua penelitian ini : Ha2 : Auditor yang lebih berkomitmen organisasi dibandingkan auditor yang lebih berkomitmen terhadap rekan kerja berpengaruh positif terhadap intensi untuk melakukan tindakan whistleblowing. Dickerson (2009) menyatakan bahwa intensitas moral sangat mempengaruhi persepsi etis auditor yang akan berkonsekuensi pada sensitivitas dalam pengambilan keputusan etis. Senada dengan itu Morris dan McDonald (2009) juga menemukan bahwa intensitas moral persepsian dari sebuah isu mempengaruhi moral judgement seseorang. Intensitas moral merupakan bagian integral dari sebuah model isu kontinjen dari perilaku dan pembuatan keputusan moral yang dapat dikaitkan untuk membentuk suatu persepsi kontrol perilaku dalam teori perilaku terencana (theory of planner behavior). Persepsi kontrol perilaku merupakan keyakinan seseorang bahwa persepsi yang dimilikinya merupakan hasil dari kontrol dirinya sendiri mengenai persepsi perilaku tersebut (Kreshastuti, 2014). Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis ketiga penelitian ini : Ha3 : Intensitas moral berpengaruh positif terhadap intensi auditor untuk melakukan whistleblowing. Risiko merupakan beban yang harus ditanggung oleh seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan. Sama halnya dengan seseorang yang mengungkapkan adanya kecurangan atau whistleblower yang harus menanggung risiko yang akan didapat setelah melakukan whistleblowing. Banyak para whistleblower yang tetap melakukan tugasnya meskipun sudah mengetahui risiko yang akan diterimanya. Tetapi banyak juga individu yang takut dan memilih untuk tidak melakukan whistleblowing karena tidak siap untuk menerima risikonya. Di dalam UU No. 13 tahun 2006 pasal 10 ayat 1 tentang perlindungan saksi dan korban dijelaskan pula bahwa pelapor merupakan pihak yang mengungkapkan pelanggaran hukum pidana maupun perdata kepada pihak yang berwenang. Pasal tersebut mengandung arti bahwa di Indonesia masyarakat yang melaporkan pelanggaran kepada pihak 5 yang tidak memiliki otoritas hukum tidak dapat dilindungi meskipun kehadirannya merupakan hal yang penting bagi penegak keadilan. Ha4 : Risiko berpengaruh negatif terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan data primer yang diperoleh dari kuesioner yang disebarkan peneliti kepada pada auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar pada directory Kantor Akuntan Publik yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) tahun 2015 di DKI Jakarta. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode convenience sampling yang merupakan teknik penentuan sampel yang dilakukan secara tidak acak, tetapi menunjuk KAP yang diperkirakan dapat memberikan informasi terkait penelitian ini. Waktu penyebaran kuesioner dilakukan pada masa sibuk auditor (high session) bulan Februari hingga April 2015. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 variabel dependen dan 4 variabel independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah intensi melakukan Whistleblowing, sedangkan variabel independennya adalah identitas profesional, locus of commitment, intensitas moral dan risiko. Variabel intensi untuk melakukan Whistleblowing (Y) pada penelitian ini menggunakan 3 skenario kasus poin A dan B yang telah dikembangkan oleh Taylor dan Curtis (2010). Kemudian variabel identitas profesional (X1) menggunakan 6 pernyataan yang dikembangkan oleh Aranya et. al.,(1981), variabel locus of commitment (X2) menggunakan 3 pernyataan yang dikembangkan oleh Taylor dan Curtis (2010), Intensitas Moral (X3) menggunakan 3 skenario kasus poin C dan D yang telah dikembangkan oleh Taylor dan Curtis (2010), variabel risoko menggunakan 5 pernyataan yang diidentifikasi dan dikembangkan dari buku Fraud Examination 4th Edition karangan Steve W. Albrecht. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda (multiple linear regression) yang dapat digunakan untuk menguji empat variabel bebas mengenai masalah pengaruh identitas profesional, locus of commitment, intensitas moral dan risiko terhadap intensi auditor untuk melakukan whistleblowing. Hubungan antar variabel adalah sebagai berikut: Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 +β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 +β8X8 + β9X9 + e Keterangan: Y : Intensi untuk melakukan whistleblowing α : Konstanta β : Koefisien arah regresi X1 : Identitas Profesional X2 : Locus of Commitment X3 : Intensitas Moral X4 : Risiko X5 : Gender X6 : Usia X7 : Masa kerja sebagai auditor X8 : Jenjang Pendidikan X9 : Posisi Jabatan e : Kesalahan pengganggu Data yang dihasilkan dari penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan alat uji statistik berupa Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) Ver. 20.0. 6 HASIL DAN BAHASAN Waktu pendistribusian dan pengumpulan kuesioner yang dilakukan dari awal Februari hingga April 2015. Dari total 225 kuesioner yang didistribusikan, kuesioner yang kembali hanya 188 eksemplar, namun hanya 146 eksemplar yang memenuhi kelengkapan data untuk diolah. Rincian pendistribusian dan pengumpulan kuesioner dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Rincian Hasil Kuesioner Keterangan Jumlah Kuesioner Kuesioner yang disebarkan 225 Kuesioner yang tidak kembali 37 Kuesioner yang kembali 188 Kuesioner yang tidak diisi 32 Kuesioner yang tidak diisi lengkap 10 Kuesioner yang dapat diolah 146 Sumber: Hasil pengolahan data SPSS 20.0 Persentase (%) 100% 16% 84% 14% 4% 65% Analisis Data dan Hasil Penelitian Analisis regresi linear berganda (multiple regression) digunakan untuk menguji pengaruh identitas profesional, locus of commitment, intensitas moral, risiko dan karakteristik responden terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing. Sebelum melakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji kualitas data untuk menguji keandalan dan sah atau tidaknya item pertanyaan dan jawaban kuesioner melalui uji reliabilitas dan uji validitas. Dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Hasil Uji Validitas Data Variabel Jumlah Penyataan Identitas Profesional 6 Locus Of Commitment 3 Intensitas Moral 6 Risiko 5 Intensi untuk melakukan Whistleblowing -Kemungkinan Pelaporan 3 -Ketekunan dalam Pelaporan 3 Sumber: Hasil pengolahan data SPSS 20.0 Uji Reliabilitas Cornbanch Alpha Reliabel jika > 0.6 0.812 0.715 0.816 0.734 Uji Validitas Corrected Item Total Correlation Valid jika > 1.63 0.652 – 0.787 0.728 – 0.870 0.584 – 0.817 0.512 – 0.813 0.620 0.730 0.354 – 0.563 0.415 – 0.532 Selanjutnya pengujian hipotesis dilakukan dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2), Uji Signifikansi Simultan (Uji F), Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t). Besarnya R Square dari model regresi diperoleh 0.261 intensi untuk melakukan whistleblowing dapat dijelaskan oleh identitas profesional, lous of commitment intensitas moral dan risiko. Sedangkan 73.9% dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan kedalam model regresi dalam penelitian ini. Kemudian hasil uji F pada tabel 3 diperoleh nilai F hitung sebesar 5.346 dengan probablititas sebesar 0.000 yang berada di bawah 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa model regresi pertama dapat digunakan untuk memprediksi variabel terikat. Dengan kata lain identitas profesional, locus of commitment, intensitas moral dan risiko secara simultan berpangaruh terhadap intensi melakukan whistleblowing. Hasil Uji koefisien determinasi dan Uji F dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Hasil Uji Koefisien dan Uji F Keterangan Koefisien Determinasi (R Square) Uji F Sumber: Hasil pengolahan data SPSS 20.0 Nilai 0.261 5.346 7 Tabel 4. Hasil Uji t Unstandardized Coefficients Model 1 (Constant) B 7.457 Std. Error 2.600 Skor Identitas Profesional Skor Locus Of Commitment .162 0.72 .017 Skor Intensitas Moral Skor Risiko Jenis Kelamin Responden Usia Responden t Sig. 2.868 0.005 .172 2.253 .026 Signifikan .111 .012 .150 .881 Tidak Signifikan .296 .061 .375 4.822 .000 Signifikan -.193 .364 .081 .500 -.184 .057 -2.393 .727 .018 .469 -.024 .576 -.004 -.041 .967 -.043 -.464 .644 -.027 -.283 .778 .211 2.193 .030 Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Pendidikan Terakhir -.555 1.196 Responden Masa Bekerja -.133 .469 Responden Jabatan Responden 1.088 .496 Sumber: Hasil pengolahan data SPSS 20.0 Standardized Coefficients Beta Keterangan Persamaan model regresi yang dapat dibentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Y = 7457 + 0.162 X1 + 0.017 X2 + 0.296 X3 - 0.193 X4 + 0.364 X5 – 0.024 X6 – 0.555 X7 – 0.133 X8 + 1088 X9 + e Model tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Koefisien regresi pada variabel struktur identitas profesional (X1) menunjukkan arah positif sebesar 0.162. Berarti identitas profesional yang tinggi dapat meningkatkan intensitas seseorang untuk melakukan whistleblowing. 2. Koefisien regresi pada variabel struktur locus of commitment (X2) menunjukkan arah positif sebesar 0.017. Berarti seseorang yang memiliki komitmen terhadap organisasi yang lebih tinggi dari pada seseorang yang berkomitmen terhadap rekan kerja dapat meningkatkan intensitas seseorang untuk melakukan whistleblowing. 3. Koefisien regresi pada variabel struktur intensitas moral (X3) menunjukkan arah positif sebesar 0.296. Berarti seseorang yang memiliki intensitas moral yang tinggi dapat meningkatkan intensitas seseorang untuk melakukan whistleblowing. 4. Koefisien regresi pada variabel struktur risiko (X4) menunjukkan arah negatif sebesar -0.193. Berarti semakin tinggi risiko yang didapat, maka semakin menurunkan intensitas seseorang untuk melakukan whistleblowing. 5. Koefisien regresi pada variabel struktur jenis kelamin (gender) menunjukkan arah positif sebesar 0.364. Berarti baik pria maupun wanita memiliki intensi untuk melakukan whistleblowing. 6. Koefisien regresi pada variabel struktur usia menunjukkan arah negatif sebesar -0.024. Berarti semakin tua usia auditor, intensi untuk melakukan whistleblowing akan semakin menurun. 7. Koefisien regresi pada variabel struktur pendidikan terakhir menunjukkan arah negatif sebesar -0.555. Berarti semakin tinggi pendidikan yang dimiliki auditor, intensi untuk melakukan whistleblowing akan semakin menurun. 8. Koefisien regresi pada variabel struktur masa bekerja menunjukkan arah negatif sebesar 0.133. Berarti semakin panjang masa bekerja auditor, intensi untuk melakukan whistleblowing semakin menurun. 9. Koefisien regresi pada variabel struktur jabatan menunjukkan arah positif sebesar 1088. Berarti semakin tinggi posisi seorang auditor dalam KAP, intensi untuk melakukan whistleblowing akan semakin tinggi. 8 Pengaruh Identitas Profesional terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing Variabel identitas profesional menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 0.162 dengan tingkat signifikansi (p) sebesar 0.026. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (0.05), maka H1 diterima. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara identitas profesional dengan intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. Dengan begitu, semakin kuat identitas profesional yang dimiliki seorang auditor, maka akan semakin tinggi pula intensi yang dimilikinya untuk melakukan tindakan whistleblowing. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang auditor yang memiliki profesionalime tinggi akan selalu mematuhi norma-norma dan kode etik yang berlaku dengan tujuan untuk melindungi profesinya. Dengan melindungi profesinya tersebut, maka auditor profesional secara tidak langsung akan lebih memiliki tanggung jawab dalam melakukan tugasnya. Seperti halnya partner, Ia sudah pasti memiliki info atau knowledge yang lebih luas dibandingkan dengan senior auditor atau junior auditor. Jadi pada saat proses audit Ia tidak akan membiarkan rekan kerja atau bawahannya untuk tidak mengikuti langkah-langkah audit yang sudah ditentukan dan harus tetap sesuai prosedur, karena sudah menjadi tanggung jawabnya untuk selalu mengedepankan etika. Dengan begitu, identitas profesional yang melekat pada diri auditor secara tidak langsung menumbuhkan komitmen pada dirinya sendiri untuk selalu bertanggung jawab atas tugasnya. Lebih lanjut Kreshastuti (2014) mengatakan bahwa, para auditor akan terdorong untuk selalu menjalankan tugas dengan mengedepankan etika. Sejalan dengan theory of planned behavior dalam konsep sikap terhadap perilaku (Attitude Toward the Behavior), bahwa seorang individu akan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan yang dianggapnya positif. Sejalan dengan yang dikatakan Kreshastuti (2014), dimana seorang auditor yang profesional akan menjalankan prosedur audit sesuai dengan apa yang telah di planning (perencanaan) tanpa ada yang mengusik profesionalisme mereka sebagai auditor hingga akhir proses hasil audit selesai. Atau dengan kata lain, seorang individu akan terdorong untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan yang dianggapnya positif. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kaplan dan Whitecotton (2001), yang hasilnya menunjukkan hubungan positif antara indentitas profesional dengan tanggung jawab untuk melaporkan perilaku yang tidak etis. Lebih lanjut, Taylor dan Curtis (2010) dan Kreshastuti (2014) juga menunjukkan hubungan positif antara identitas profesional dengan intensi pelaporan atau intensi melakukan whistleblowing. Pengaruh Locus Of Commitment terhadap intensi melakukan whistleblowing Variabel Locus Of Commitment menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 0.017 dengan tingkat signifikansi (p) sebesar 0.881. Nilai tersebut lebih besar dari taraf signifikansi 5% (0.05), maka H2 ditolak. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara locus of commitment dengan intensi auditor untuk melakukan whistleblowing. Dengan begitu, auditor yang memiliki locus of commitment terhadap organisasi yang tinggi cenderung tidak memiliki intensi untuk melakukan whistleblowing, begitu pula dengan locus of commitment terhadap rekan kerja. Menurut Kreshastuti (2014), tidak adanya pengaruh dari locus of commitment terhadap intensi untuk melakukan tindakan whistleblowing dapat dikarenakan adanya faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja auditor yang dapat berasal dari rekan kerja atau pimpinan organisasi secara umum. Aspek-aspek kepuasan kerja itu sendiri diungkapkan oleh Misener et al. (1996) dapat berhubungan dengan gaji, keuntungan, promosi, kondisi kerja, supervise, praktek organisasi dan hubungan dengan rekan kerja. Visi, misi dan tujuan organisasi yang jelas juga menjadi pilihan auditor untuk memilih yang mana yang lebih berkomitmen. Jika hal tersebut tidak sejalan dengan personal auditor itu sendiri maka, rasa ingin berkomitmen tidak akan muncul. Sama halnya dengan, perusahaan harus menyelaraskan komitmen organisasi dengan identitas profesional. Auditor yang percaya bahwa perusahaan mereka mendukung profesi dan mengikuti standarnya akan lebih mungkin untuk melakukan pelaporan (Taylor dan Curtis, 2010). Pelanggaran etis yang terjadi didalam organisasi membuat seorang auditor memilih untuk bertindak. Tindakan yang dimaksud adalah seperti resign dari organisasi, melakukan whistleblowing atau memilih untuk diam saja. Pilihan untuk resign dan memilih untuk diam sudah jelas tidak dapat diterima untuk menilai mereka dalam berkomitmen organisasi. Sebaliknya, mereka dengan komitmen organisasi tinggi akan memberantas orang-orang yang melakukan pelanggaran etis yang dapat merugikan organisasi tempat mereka bekerja. Jadi, sementara identitas profesional dapat mempengaruhi intensi auditor melakukan whistleblowing, dengan begitu komitmen organisasi akan menunjukkan sejauh mana mereka akan bertindak atas niat yang dimilikinya (Finn, 1995). Loyalitas menjadi salah satu alasan seseorang ingin berkomitmen. Tanpa adanya rasa loyalitas tersebut, seseorang akan enggan atau bahkan tidak peduli untuk mendukung adanya perubahan dalam 9 organisasi dan sebaliknya, apabila auditor memiliki rasa loyalitas tinggi maka, Ia akan cenderung mendukung adanya perubahan ke yang lebih baik lagi dalam organisasi tersebut. Lebih lanjut, dilihat dari ritme kerja yang tinggi, pressure yang tinggi, adanya turn over (pergantian) dan over time (lembur) disaat peak season yang sudah menjadi kewajiban auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik. Hal tersebut dapat menjadi alasan tersendiri bagi auditor dalam memilih untuk berkomitmen kepada organisasi atau tidak. Sama halnya dengan pengaruh komitmen antar rekan kerja. Auditor selalu bekerja dalam suatu tim dan rekan kerja yang sama, lalu lebih banyak menghabiskan waktu di kantor klien jika saat waktu peak season. Dengan demikian, auditor lebih cenderung peduli dengan timnya sendiri, dibandingkan dengan tim yang lain. Disisi lain, karena profesi auditor adalah salah satu profesi yang memiliki prospek kerja yang cukup jelas untuk kedepannya (seperti adanya promote, reward tiap tahun bagi auditor yang dilihat memiliki kerja yang maksimal hingga proses audit selesai) ini membuat para auditor bersaing cukup ketat dalam melakukan tugasnya. Maka, tidak jarang dari meraka lebih kompetitif dalam melaksanakan kewajibannya dan cenderung tidak memiliki komitmen antar rekan kerja. Seperti yang dijelaskan dalam theory planned behavior dalam konsep norma subyektif (Subjective Norm), persepsi atau pandangan individu terhadap suatu kepercayaan orang lain akan mempengaruhi niat individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku yang sedang dipertimbangkan. Persepsi inilah yang menjadi dilema etis di dalam diri auditor dalam memilih yang mana harus diutamakan. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kreshastuti (2014). Namun, tidak mendukung hasil penelitian terdahulu yaitu Finn (1995) dan Taylor dan Curtis (2010) yang hasilnya adalah komitmen organisasi dan komitmen antar rekan kerja memiliki hubungan signifikan dengan intensi pelaporan pelanggaran. Bamber dan Iyer (2002), menemukan bahwa identitas profesional dan locus of commitment berhubungan positif, dalam menunjukkan konflik organisasi. Lebih lanjut, hasil penelitian yang dilakukan Mesmer-Magnus dan Viswesvaran, 2005 (dalam Taylor dan Curtis, 2010) yang meneliti komitmen organisasi dengan whistleblowing. Hasilnya bahwa komitmen organisasi tidak dapat sepenuhnya menjelaskan intensi untuk melakukan whistleblowing tanpa pertimbangan pelengkap dari komitmen antar rekan kerja. Pengaruh Intensitas Moral terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing Variabel Intensitas Moral menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 0.296 dengan tingkat signifikansi (p) sebesar 0.000. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (0.05), maka H3 diterima. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas moral dengan intensi auditor untuk melakukan whistleblowing. Dengan begitu, auditor yang memiliki intensitas moral yang tinggi cenderung akan memiliki intensitas untuk melakukan tindakan whistleblowing yang tinggi pula. Hal ini menunjukkan bahwa, moral yang dimiliki oleh auditor menjadi pedoman mereka untuk bertindak atau mengambil suatu keputusan. Dengan memiliki nilai moral yang tinggi, maka auditor tidak akan melanggar kode etik atau sesuatu yang dapat mengancam profesinya sebagai auditor. Nilai akhlak yang melekat pada diri auditor juga menjadi pertimbangan seseorang dalam melihat suatu pelanggaran etis. Jika auditor memiliki nilai agama dan budi pekerti yang baik sejak kecil maka, auditor dengan sendirinya akan menghindari hal-hal menyimpang dan melanggar aturan agama. Dengan demikian, mereka dengan sendirinya akan melakukan pelaporan jika didapati ada rekan kerja atau atasan melakukan pelanggaran etis. Intensitas moral yang tinggi membuat seorang auditor menjalankan prosedur audit sesuai dengan apa yang telah di planning (perencanaan) tanpa ada yang mengusik profesionalisme mereka sebagai auditor hingga akhir proses hasil audit selesai. Sama halnya dengan yang dikatakan oleh Kreshastuti (2014), seorang akuntan yang profesional apabila ada kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh rekan auditor atau atasan selama proses audit, maka Ia akan memiliki keyakinan untuk mengungkapkan kesalahan tersebut melalui pertimbangan risiko atau kerugian, demi menjaga kepentingan pemakai laporan keuangan hasil audit. Pertimbangan risiko atau kerugian inilah yang nantinya akan membentuk keyakinan individu tersebut bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan hasil dari kontrol dirinya sendiri. Seperti yang dijelaskan dalam theory planned behavior dalam konsep persepsi kontrol perilaku (Perceived Behavioral Control), ketika individu percaya bahwa dirinya kekurangan sumber (dorongan, support, back up-an dari seseorang) atau tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan suatu perilaku terhadap risiko atau manfaat tersebut maka, individu tidak akan memiliki keinginan yang kuat untuk menunjukkan perilaku tersebut. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Taylor dan Curtis (2010) dan Kreshastuti (2014), yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara intensitas moral dengan intensi pelaporan pelanggaran atau intensi melakukan 10 whistleblowing. Lebih lanjut, Shawver (2011) yang hasilnya menunjukkan bahwa intensitas moral mempengaruhi sensitivitas moral, pertimbangan moral dan motivasi moral untuk melaporkan tindakan manajemen laba terhadap 157 responden dari berbagai profesi akuntan. Pengaruh Risiko terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing Variabel risiko menunjukkan koefisien regresi negatif sebesar -0.193 dengan tingkat signifikansi (p) sebesar 0.018. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (0.05), maka H4 diterima. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara risiko dengan intensi auditor untuk melakukan whistleblowing. Dengan begitu, semakin tinggi risiko yang akan didapat maka, intensi untuk melakukan tindakan whistleblowing akan semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa, risiko merupakan hambatan atau kendala yang dipermasalahkan oleh seseorang atau auditor untuk melakukan suatu keputusan. Menjadi seorang whistleblower bukanlah hal yang mudah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, banyak hal yang menjadi pertimbangan seorang whistleblower untuk mengungkapkan pelanggaran etis yang terjadi dalam organisasi. Contohnya dari yang paling kecil yaitu, dapat di kucilkan dalam lingkungan kerja mereka, atau bahkan kehilangan pekerjaannya karna dianggap telah mencemarkan citra organisasi. Dengan risiko tersebut, tidak sedikit dari mereka yang bekerja lebih memilih untuk diam daripada menjadi whistleblower (Hasanah, 2014). Alasan tersebut dapat diterima, karena seorang individu pasti memiliki kepentingan akan dirinya masing-masing. Dengan pertimbangan hukum di Indonesia yang masih lemah akan kasus ini maka, seorang individu tidak memiliki keinginan atau bahkan takut untuk mengungkapkan kecurangan tersebut jika nantinya hal yang merugikan akan berbalik kepada dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan UU No. 13 tahun 2006 pasal 10 ayat 1 tentang perlindungan saksi dan korban menjelaskan bahwa, pelapor merupakan pihak yang mengungkapkan pelanggaran hukum pidana maupun perdata kepada pihak yang berwenang. Pasal tersebut mengandung arti bahwa di Indonesia masyarakat yang melaporkan pelanggaran kepada pihak yang tidak memiliki otoritas hukum tidak dapat dilindungi meskipun kehadirannya merupakan hal yang penting bagi penegak keadilan. Dengan kata lain, risiko yang akan diterima dapat menjadi penyebab dilemma etis dalam diri auditor untuk melakukan pelaporan. Lain halnya, apabila suatu perusahaan sudah memiliki yang namanya whistleblowing system. Whistleblowing system berguna untuk melindungi para whistleblower atas pelaporan yang dilaporkannya. Sehingga, risiko yang yang didapat kemungkinan akan kecil dan membuat intensi melakukan pelaporan tersebut jadi meningkat karena mereka merasa telah di back up atau diberikan perlindungan dari perusahaan tersebut. Seperti yang dijelaskan dalam theory planned behavior dalam konsep persepsi kontrol perilaku (Perceived Behavioral Control), ketika individu percaya bahwa dirinya kekurangan sumber (dorongan, support, back up-an dari seseorang) atau tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan suatu perilaku tersebut maka, individu tidak akan memiliki keinginan yang kuat untuk menunjukkan perilaku tersebut. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hasanah (2014) yang hasilnya menunjukkan risiko memiliki pengaruh signifikan terhadap intensi melakukan whistleblowing. Namun, locus of control tidak mempengaruhi hubungan antara risiko terhadap intensi melakukan whistleblowing. Pengaruh Karakteristik Auditor Terhadap Intensi Untuk Melakukan Whistleblowing Karakteristik personal yang dimiliki oleh auditor ditentukan peneliti sebagai Variabel kontrol. Sebagai analisis tambahan, peneliti ingin mengetahui apakah intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing dapat dipengaruhi oleh karakteristik auditor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin (gender), usia, pendidikan terakhir dan masa bekerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing. Namun, variabel jabatan menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 1088 dengan tingkat signifikansi (p) sebesar 0.030. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (0.05). Sehingga, Karakteristik personal auditor variabel konstruk jabatan memiliki pengaruh positif dalam intensi auditor untuk melakukan whistleblowing. Dengan begitu, semakin tinggi posisi jabatan seorang auditor di KAP maka, intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing akan semakin tinggi pula. Hal ini menunjukkan bahwa, posisi jabatan yang di sandang oleh seorang auditor, berbanding lurus dengan identitas profesional yang melekat pada dirinya. Dengan kata lain, semakin tinggi jabatan yang dimiliki auditor maka, semakin tinggi pula identitas profesionalnya (Near dan Miceli, 1988). Tindakan yang akan ditunjukkan dari masing-masing orang mungkin akan berbeda jika melihat adanya pelanggaran etis. Dilihat dari sisi posisi jabatan yang tertinggi seperti, partner dan direktur 11 mungkin tindakan yang diberikan akan berbeda dengan junior auditor saat melihat adanya pelanggaran etis. Seseorang yang memiliki jabatan tinggi cenderung memiliki rasa ingin mengungkapkan, karena merasa dirinya memiliki kuasa atas pelaporan tindakan tidak etis yang dapat merugikan tempat organisasi mereka bekerja selama ini. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh penelitian Taylor dan Curtis (2010) yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara jabatan, usia dan gender terhadap intensi pelaporan pelanggaran. Namun, tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kreshastuti (2014). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing di DKI Jakarta. Faktor-faktor yang diuji antara lain identitas profesional, locus of commitment, intensitas moral dan risiko. Peneliti juga melakukan analisis tambahan dari variabel kontrol yaitu karakteristik personal auditor. Sampel dalam penelitian ini adalah para auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan 146 kuesioner dari 22 KAP. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear berganda dengan program Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Ver. 20. Berdasarkan pada hasil uji statistik dan analisis penelitian yang diuraikan pada bab 4, maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Identitas profesional mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. Komitmen organisasi dan komitmen rekan kerja (Locus Of Commitment) mempunyai pengaruh positif namun tidak signifikan terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. Intensitas moral mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. Risiko mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap intensi auditor untuk melakukan tindakan whistleblowing. Saran 1. 2. Untuk mendapatkan hasil yang berbeda mungkin penelitian selanjutnya dapat membandingkan secara detail apakah ada perbedaan antara auditor yang bekerja di KAP Big Four dan KAP Non Big Four terhadap intensinya melakukan tindakan whistleblowing. Penelitian selanjutnya disarankan untuk tidak melakukan penelitian di masa sibuk (peak season) auditor dan menambah jumlah sampel yang lebih banyak dan lebih difokuskan untuk para manajer, direktur dan partner. REFERENSI Ajzen , I. (2002). "Perceived behavioural control, self-efficacy, locus of control, and the theory of planned behaviour". Journal of Applied Social Psychology , 32: 665. Ajzen, I. (2011). The theory of planned behaviour: reactions and reflections. . Psychology & Health, pp. 26(9), 1113–1127. Alan, E. (2003). Oxford Learner's Pocket Dictionary (New Edition). New York: Oxford University Press. Albrecht, S. W., Albrecht, C. O., Albrecht, C. C., & Zimbelman, M. F. (2012). Fraud Examination 4th Edition. Aranya, N., & Lachman , R. (1998). Evaluation of Alternative Models of Commitments and Job Attitudes of Profesionals. Journal of Occupational Behavior, Vol. 7. Bamber, E. M., & Iyer, V. M. (2002). ‘Big 5 Auditors’ Professional and Organizational Identification: Consistency or Conflict?’,. Auditing: A Journal of Practice and Theory 21(2), 21–38. 12 Baron, R. A., & Byrne, D. (2000). Social Psychology-ninth edition. Boston; Allyn and Bacon. Chaplin, J. (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Chiu, R. (2003). "Ethical Judgement, Locus of Control and Whistleblowing Intention: A Case Study of Mainland Chinese MBA Students". Managerial Auditing Journal, Vol 17 Iss: 9 pp. 581587. Daft, R. L. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. . Jakarta: Penerbit. Erlangga. Hasibuan, Malayu SP. Dewi, N. W. (2007). "Analisis Pengaruh Intensitas Moral terhadap Intensi Keperilakuan: Peranan Masalah Etika Persepsian dalam Pengambilan Keputusan Etis yang Terkait dengan Sistem Informasi". Simposium Nasional Akuntansi X. Djamilah, S., & Wijaya, N. (2008). "Perspektif Etika Terhadap Whistleblowing". Journal of Accounting Vol. 0 No. 2. Elias, R. (2006). “The impact of Professional Commitment and Anticipatory Socialization on Accounting Students’ Ethical Orientation” . Journal of Business Ethics. Elias, R. (2008). "Auditing Students Professional Commitment and Anticipatory Socialization and Their Relationship To Whistleblowing". Managerial Auditing Journal, Vol. 23 Iss:3 pp.283294. Ferrel, O., J, F., & Ferrell, L. (2002). Business Ethics: Ethical Decision Makin and Cases, Houghton Mifflin, Boston. Fultanegara, R. (2010). Analisis Hubungan Komitmen Profesional dan Sosialisasi Antisipatif Mahasiswa Akuntansi pada Whistleblowing. Skripsi tidak dipublikasikan. Ghani, R. (2010). "Analisis Perbedaan Komitmen Profesional dan Sosialisasi Antisipatif Mahasiswa PPA dan Non-PPA pada Hubungannya dengan Whistleblowing". Skripsi tidak dipublikasikan. Ghozali, I. (2011). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit UNDIP. Hasanah, H. (2014). Karakteristik Individu dan Whistleblower. Skripsi tidak dipublikasikan. Hwang et al. (2008). ” Confucian culture and whistle-blowing by professional accountants: an exploratory study” . Managerial Auditing Journal, Vol. 23 No.5. Institute Akuntan Publik Indonesia. (2011). "Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) per 31 Maret 2011". Penerbit ikatan Akuntan public Indonesia, Jakarta. Ismail, V., & Zain, E. (2008). Peranan sikap, norma subyektif, dan perceived behavioral control terhadap intensi pelajar SLTA untuk memilih fakultas ekonomi. Jurnal ekonomi dan bisnis, Vol. 5, No. 3. Jones, D. (1991). A novel approach to business ethics training: Improving moral reasoning in just a few weeks. Journal of Business Ethics, 88: 367-279. Kaplan, S., & S.M. Whitecotton. (2001). An Examination of Auditor's Reporting Intentions when Another Auditor is offered Client Employment. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 20 No.1. 13 Kreitner, R., & Kinicki, A. (2001). Organizational Behavior. Fift Edition, International Edition, Mc graw-Hill FCompanies, Inc. Kreshastuti, D. K. (2014). "Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensi Auditor untuk Melakukan Tindakan Whistleblowing". Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 3, No. 2, Hal. 1-15. Latuheru. (2005). Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Senjangan Anggaran dengan Komitmen Organisasi sebagai variabel Moderating (Studi Empiris pada Kawasan Industri Maluku). Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 7, No. 2, Nopember, Hlm. 117-130,. Mcdonald, G., & Moris. (2009). "An anthology of Codes of Ethics". European Business Review, Vol.21 No.4. Merdikawati, R. (2012). "Hubungan Komitmen Profesi dan Sosialisasi Antisipatif Mahasiswa Akuntansi dengan Niat Whistleblowing (Studi Empiris pada Mahasiswa Strata 1 Jurusan Akuntansi Tiga Universitas Negeri Teratas di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta". Skripsi tidak dipublikasikan. Miethe, T. D., & Rothschild, J. (1999). Whistleblowing and the control of organizational misconduct. Sociological Inquiry, 64(3), 322-347. Near, J., & Miceli, M. P. (1988). “Organizational dissidence: the case of whistle-blowing". Journal of Business Ethics, Vol.4 No.1. Novius, A. (2010). Analisis Pemahaman Mahasiswa Akuntansi dalam Menghadapi Mata Kulkiah Dasar-dasar Akuntansi. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 Paragraf ke 7 (Revisi 2009). (n.d.). Rani, K. (2009). “Analisis Hubungan Komitmen Profesional dan Antisipatori Dini Mahasiswa Akuntansi dan Hubungannya dengan Pelaporan Pelanggaran”, Skripsi S1 Akuntansi. Republik Indonesia. (2006). Undang-undang No. 13 Tahun 2006. Tentang perlindungan saksi dan korban. Robbins, S. (2003). Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Indeks, hlm 45—80. Sari, D. N. (2014). Profesionalisme Internal Auditor dan Intensi melakukan Whistleblowing. Journal Of Accounting. Schiffman, L. G., & Leslie, L. K. (2010). Customer Behavior, Tenth Edition, New Jersey: Prentice Hall. Segara, Y. (2013). "Profesionalisme Internal Auditor dan Intensi Melakukan Whistleblowing". Jurnal Liquidity, Vol. 2 No. 1, h. 33-44. Shawver, T. (2011). "The Effects of Moral Intensity on Whistleblowing Behaviour Accounting Professional" . Journal of Forensic and Investigate Accounting, Vol. 3 Iss.2. Siregar, S. V., & Challen, A. E. (2011). The Effect of Audit Quality on Earnings Management and Firm Value. Presented at The 12th Asian Academic Accounting Association. Sugianto, A., & Tawakkal. (2011). "Hubungan Orientasi Etika, Komitmen Profesional, Sensitivitas Etis dengan Whistleblowing Perspektif Mahasiswa Akuntansi". Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung: Alfabeta. 14 Sulistomo, A. (2012). "Persepsi Mahasiswa Akuntansi Terhadap Pengungkapan Kecurangan (Studi Empiris pada Mahasiswa Akuntansi Undip dan UGM)". Skripsi tidak dipublikasikan. Taylor, E., & Curtis, M. B. (2010). "An Examination Of The Layers Workplace Influence In Ethical Judgement: Whistleblowing Likelihood and Perseverance in Public Accounting". Journal of Business Ethics, Vol. 93, pp. 21-37. Tjiptohadi, S. (2005). Kepercayaan Wajib Pajak Terhadap Fiskus, Kesadaran Wwajib Pajak Terhadap Pentingnya Membayar Pajak, Rekayasa Akuntansi dan Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal Manajemen, Akuntansi dan Bisnis, Vol. 3 No. 2. Widodo, R. ,. (2010). Analisis Pengaruh Keamanan Kerja dan Komitmen Organisasional terhadap Turnover Intention serta dampaknya pada Kinerja Karyawan Outsourcing (Studi pada PT PLN Persero APJ Yogyakarta). Wikipedia. (7, April 2013). Retrieved Desember 01, 2014, from http://id.wikipedia.org/wiki/Enron Zhang, Y., & Chiu, R. (2008). Decision-Making Process of Internal Whistleblowing Behavior in China: Empirical Evidence and Implications. Journal of Business Ethics. RIWAYAT PENULIS Evanti Dwi Andriani lahir di kota Jakarta 2 Septermber 1993. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Akuntansi pada tahun 2015. Saat ini bekerja sebagai Associate di PT PricewaterhouseCoopers (PwC Indonesia).