BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Pemahaman

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Pemahaman tentang kemampuan
Kemampuan adalah sifat yang di bawa sejak lahir/dipelajari yang
memungkinkan seseorang menyelesaikan tugasnya (Gibson, 1989 : 54).
Kemampuan menunjukkan potensi orang untuk melaksanakan tugas/pekerjaan
(Gibson, 1989
: 215). Kemampuan pegawai dalam melaksanakan
tugasnya
merupakan perwujudan dari pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Hal
ini
seperti
yang diungkapkan oleh Blanchard
: “Kematangan pekerjaan
(kemampuan) dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan sesuatu. Hal ini
berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan” (Kenneth H. Blanchard, 1986 :
187). Gondokusumo mengemukakan :
“Bahwa kemampuan kerja terdiri dari kemampuan fisik dan
kemampuan mental. Kemampuan fisik adalah keadaan fisik,
keadaan kesehatan, tingkat kekuatan, dan baik buruknya fungsi
biologis dari bagian tubuh tertentu, sedangkan kemampuan
mental adalah kemampuan mekanik, kemampuan sosial, dan
kemampuan intelektual serta menyangkut pula bakat,
ketrampilan dan pengetahuan.” (1983: 9-12)
Menurut Gondokusumo, pengetahuan adalah pengetahuan yang diperoleh
dari kegiatan pendidikan, sedangkan keterampilan adalah kecakapan yang
berhubungan dengan tugas yang dimiliki dan digunakan oleh seseorang pada
waktu yang tepat (1986 : 12). Berkaitan dengan konsep kemampuan, keterampilan
atau keahlian pegawai, Paul Hersey dan Blanchard mengemukakan ada tiga
jenis kemampuan dasar yang harus dimiliki, baik sebagai manajer maupun
sebagai pelaksana, antara lain :
a. Kemampuan Teknis (TechnicalSkill) meliputi kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan,
metode,
teknis
dan
peralatan
yang
diperlukan
untuk
melaksanakan pekerjaan tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan
dan training.
b. Kemampuan
Sosial
(SocialSkill) meliputi
kemampuan
dalam
bekerja
dengan melalui motivasi orang lain yang mencakup pemahaman tentang
motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif.
c. Kemampuan Konseptual (ConceptualSkill) merupakan kemampuan memahami
kompleksitas
organisasi
secara
menyeluruh.
Kemampuan
itu
memungkinkan seseorang bertindak sesuai dan selaras dengan tujuan
organisasi secara menyeluruh daripada hanya atas dasar dengan tujuan
dan keutuhan kelompok sendiri (1986: 68).
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, dijumpai bahwa kemampuan
adaalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan (Poerwadarminta, 1984 : 628).
Sedangkan
Stephen
Robbins
mengemukakan
bahwa
kemampuan
merupakan kapasitas seorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam
pekerjaan. Menurut Robbins.
“Ability refers to an individual’s capacity to perform the various
tasks in the job. It’s a current assessment of what one can do. An
individual’s overall abilities are essentially made up of two sets
of skills : intellectual and physical..” (Robbins, 1995 : 97).
Maksudnya, kemampuan individu untuk menjalankan berbagai macam
tugas dalam pekerjaan merupakan penilaian sekarang tentang apa yang bisa
dikerjakan seseorang. Keseluruhan kemampuan individual pada hakikatnya
dibentuk oleh keahlian, yaitu hal-hal yang bersifat intelektual dan fisik.
Kemampuan berkaitan dengan karakter individu karena setiap individu
pasti memiliki kemampuan tetapi tingkat kemampuannya berbeda, meliputi antara
lain : pengetahuan, pengalaman, keterampilan, bakat, kepribadian dan pendidikan.
Oleh karena itu, perlu penyesuaian antara kemampuan individu dengan pekerjaan
yang diberikan akan meningkatkan kinerja individual sumber daya manusia
organisasi publik.
Selanjutnya Winardi (2002) menjelaskan : ”kemampuan dilain pihak,
berhubungan dengan kompetensi seseorang. Berdasarkan pendapat-pendapat
diatas, dapat disederhanakan bahwa kemampuan terdiri atas skill (keterampilan)
dan knowledge (pengetahuan). Selain itu, Winardi (2002) menambahkan dengan
pengalaman kerja (workexperience) sumber daya manusia bersangkutan.
Menurut Gordon ( 1994:55) “ keterampilan merupakan kemampuan untuk
mengoperasikan pekerjaan secara mudah dan cermat. Pengertian ini biasanya
cenderung pada aktivitas psikomotor”. Selain itu pengertian menurut Nadler
(1986:74) “ skill merupakan kegiatan yang memerlukan praktek atau dapat
diartikan sebagai implikasi dari aktivitas”. Dunete (1976:33), mendefinisikan
“skill sebagai kapasitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan beberapa tugas
yang merupakan pengembangan dari hasil training dan pengalaman yang
didapat”. Jika disimpulkan maka keterampilan (skill) berarti kemampuan untuk
mengoperasikan suatu pekerjaan secara mudah dan cermat yang membutuhkan
kemampuan dasar ( basic ability).
Knowledge ( pengetahuan ) menurut Gordon ( 1994,:57) “ pengetahuan
merupakan struktur organisasi pengetahuan yang biasanya merupakan suatu fakta
prosedur dimana jika
dilakukan akan memenuhi kinerja yang mungkin”.
Sedangkan menurut Nalder ( 1986,:62).” pengetahuan merupakan proses belajar
manusia mengenai kebenaran atau jalan yang benar secara mudahnya mengetahui
apa yang harus diketahui untuk dilakukan”.
Dalam penelitian ini indikator-indikator kemampuan difokuskan pada teori
yang dikemukakan oleh Winardi (2002) yang teridiri dari dimensi-dimensi berikut
ini:
1. Keterampilan (Skill)
Adalah keterampilan dan kecakapan pegawai sebagai akumulasi dari bakat
dan kepribadian yang dimilikinya. Indikator Skill meliputi: mampu
menyelesaikan tugas tepat pada waktunya, kreatif, inovatif, dan memiliki
kemampuan untuk menghitung dengan cepat dan mengoperasikan komputer.
2. Pengetahuan (Knowledge)
Adalah pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil pendidikan, pengalaman, dan
pelatihan di bidang kerjanya. Indikator knowledge meliputi: Berlatar belakang
pendidikan yang sesuai dengan bidang kerjanya dan sering mengikuti
pelatihan di bidangnya.
3. Pengalaman Kerja (Work Experience)
Adalah pengalaman kerja yang dimiliki pegawai di Dinas Perindustrian
Perdagangan dan Koperasi UMKM Kota Cirebon. Indikator pengalaman kerja
meliputi : Menguasai pekerjaan dengan baik, frekuensi kepindahan tempat
kerja tinggi.
2.1.2. Pemahaman Tentang Motivasi
2.1.2.1.
Konsep Motivasi
Motivasi menurut Stoner, et al. (2003 : 134), “Motivasi adalah
karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi pada tingkat
komitmen seseorang”. Seorang pemimpin memberi
motivasi
kepada
bawahannya itu berarti bahwa pemimpin tersebut melakukan segala upaya
yang
diharapkan
dapat
memuaskan
dorongan
dan
keinginan
serta
menyebabkan bawahan tersebut melakukan hal-hal yang diinginkan oleh
pemimpin. Motivasi merupakan konsep dasar psikologis, dan bersama-sama
dengan persepsi, kepribadian dan pembelajaran serta merupakan fokus penting
dalam pendekatan mikro untuk memahami perilaku organisasi.
Berbeda dengan Stoner yang memandang motivasi kedalam aspek
psikologi seseorang, Robbins, et al. memandang motivasi sebagai suatu bentuk
kesediaan melakukan usaha tingkat tinggi guna mencapai sasaran organisasi
yang di kondisikan oleh kemampuan usaha tersebut memuaskan kebutuhan
sejumlah individu ( 2005 : 92).
Siagian (dalam Mintorogo, 1997 : 55) memberikan definisi tentang
motivasi sebagai “keseluruhan proses pemberian motif bekerja kepada para
bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi
tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis”. Lebih lanjut
Mintorogo (1997 : 56) menyatakan bahwa “motivasi merupakan timbulnya
perilaku yang mengarah pada tujuan tertentu dengan penuh komitmen sampai
tercapainya tujuan dimaksud”. Manulang (1995 : 128) mengemukakan bahwa
“motivasi adalah faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara
tertentu”.
Adapun menurut Stoner, et al. (2005 : 92) ada empat asumsi dasar
dalam memahami motivasi yaitu :
“1. Motivasi biasanya diasumsikan sebagai hal yang baik.
2. Motivasi adalah satu dari beberapa faktor yang menentukan
prestasi kerja seseorang
3. Pasokan otivasi kurang banyak dan perlu penggantian secara
periodik
4. Motivasi merupakan peralatan yang dapat dipakai oleh
manajer untuk mengatur hubungan pekerjaan dalam
organisasi.”
Oleh sebab itu motivasi merupakan salah satu faktor kunci dalam
menentukan kinerja seorang pegawai, adapun fokus dari motivasi dalam
rentang tingkah laku seseorang manusia dapat dilihat pada gambar 2.1.:
Gambar 2.1 Motivasi Dalam Rentang Tingkah Laku
Reflek
Dapat
Dipengaruhi
Fokus Dari teori motivasi
Kebiasaan
Sumber : F.Landy dan W Becker, “ Motivational Theory Reconsidered” dalam Stoner, et al. ( 2003 :
135)
Dari gambar yang di ungkapkan oleh Landy dan Becker jelas terlihat
bahwa kedudukan motivasi ada pada posisi diluar dari reflek dan kebiasaan
seorang individu sehingga semua manusia dapat diberikan motivasi tanpa
merubah kebiasaan dan reflek individu tersebut.
2.1.2.2. Teori Motivasi
2.1.2.2.1. Pandangan Awal Motivasi
Dari sekian banyak pandangan tentang motivasi, Stoner membuat dua
pandangan tentang kajian motivasi yaitu pandangan awal dan pandangan
kontemporer ( 2003:137). Adapun pandangan awal tentang motivasi terdiri dari
tiga model yaitu : model tradisional, model hubungan manusia dan model
sumberdaya manusia. Lebih lanjut mengenai pandangan awal motivasi dapat
dilihat pada tabel 2.1 :
Tabel 2.1. Pandangan Awal Mengenai Motivasi
MODEL TRADISIONAL
MODEL HUBUNGAN
MANUSIA
Asumsi
Pekerjaan pasti tidak
disukai oleh kebanyakan
orang.
Orang ingin merasa berguna
dan penting.
Apa yang mereka kerjakan
kurang penting dari pada
apa yang mereka peroleh
untuk mengerjakannya.
Orang ingin menjadi dan
dihargai sebagai individu.
Beberapa ingin atau dapat
menengani pekerjaan yang
memerlukan kreativitas,
mengarahkan diri, atau
Kebutuhan lebih penting dari
pada yang dalam memotivasi
orang untuk bekerja.
MODEL SUMBER DAYA
MANUSIA
Pekerjaan belum tentu tidak
disukai. Orang ingin
memberikan kontribusi bagi
sasaran yang berarti yang
pembentukannya telah
mereka bantu.
Kebanyakan orang dapat
bekerja lebih kreatif,
mengarahkan diri, dan
mengendalikan diri dari pada
yang dituntut oleh pekerjaan
mereka saat ini.
MODEL TRADISIONAL
MODEL HUBUNGAN
MANUSIA
MODEL SUMBER DAYA
MANUSIA
mengendalikan diri.
Manajer harus mengawasi
secara ketat dan
mengendalikan bawahan.
Manajer harus membagi
pekerjaan menjadi operasi
yag sederha, dilakukan
berulang-ulang, mudah
dipelajari.
Manajer harus menetapkan
pekerjaan rutin dan
prosedur secara rinci, dan
memaksanakan dengan
lembut tetapi tegas.
Orang dapat tahan
terhadap pekerjaan kalau
gajinya lumayan dan
atasannya adil.
Bila tugas cukup sederha
dan orang dikendalikan
dengan ketat, maka akan
menghasilkan produk
sesuai dengan standar.
Kebijakan
Manajer harus membuat
bawahan merasa berguna dan
penting.
Manajer harus memberi
informasi kepada bawahan
dan mendengarkan penolakan
mereka terhadap rencananya.
Manajer harus memberi
kesempatan bawahan untuk
mengarahkan diri dan
mengendalikan diri pada halhal yang rutin.
Harapan
Berbagi informasi dengan
bawahan dan melibatkan
mereka dalam keputusan rutin
akan memuaskan kebutuhan
dasar mereka untuk menjadi
dan merasa penting
Memuaskan kebutuhan ini
akan memperbaiki semangat
dan mengurangi penolakan
pada wewenang formal,
bawahan akan bersedia
bekerja sama.
Manajer harus menggunakan
sumberdaya manusia yang
kurang dimanfaatkan.
Manajer harus menciptakan
lingkungan tempat semua
anggota dapat memberi
kontribusi sampai batas
kemampuan mereka.
Manajer harus mendorong
partisipasi penuh dalam halhal yang penting, terus
menerus memperluas dalam
pengerahan diri dan
pengendalian diri.
Memperluas pengaruh
bawahan, pengerahan diri,
dan pengendalian diri akan
menyebabkan perbaikan
langsung dalam efesiensi
operasi.
Kepuasan kerja mungkin
diperbaiki sebagai “hasil
sampingan” dari bawahan
menggunakan secara penuh
sumber daya mereka.
Sumber : Richard M. Steers dan Lyman W. Porter, eds, “Motivation and work behavior” ( Stoner 2003 : 138)
Dari tabel diatas dapat disimpulkan tiga pandangan berbeda mengenai
motivasi, model tradisional biasanya dikaitkan dengan Frederick Taylor yang
terkenal dengan manajemen ilmiah. Adapun asumsi dasar dari motivasi model
tradisional adalah manajer mengetahui mengenai pekerjaan lebih baik dari pada
pegawai, yang pada dasarnya malas dan hanya dapat diberi motivasi dengan uang.
Model yang kedua adalah model hubungan manusia dan seringkali dihubungkan
dengan elton mayo, dengan asumsi dasar bahwa manajer dapat memberikan
motivasi pegawai dengan memberikan kebutuhan sosial serta membuat mereka
merasa bermanfaat dan penting. Model terakhir dalam pandangan awal motivasi
adalah model sumber daya manusia dan sering dikaitkan dengan Douglas Mc.
Gregor dengan teori x dan y, dimana x lebih memandang pegawai dengan asumsi
yang pesimis dan y lebih memandang pegawai dengan asumsi optimis.
2.1.2.2.2. Pandangan Kontemporer Motivasi
Landy dan becker dalam Stoner, et al. ( 2003 : 139 ), mengelompokan
banyak pendekatan modern pada teori dan praktek motivasi menjadi lima
kategori yaitu : teori kebutuhan, teori penguatan, teori keadilan, teori harapan
dan teori penentuan sasaran. Walaupun teori kontemporer mengenai motivasi
tidak terkenal seperti teori pada pandangan awal motivasi, Robbins, et al.
(2005 : 97), mengungkapkan bahwa teori-teori motivasi kontemporer
cenderung lebih kuat karena didukung oleh hasil riset.
1. Teori Kebutuhan
Dalam pandangan teori kebutuhan, seseorang mempunyai motivasi
kalau dia belum mencapai tingkat kepuasan tertentu dalam kehidupannya.
Sehingga kebutuhan yang telah terpuaskan tidak akan lagi menjadi motivator.
Adapun logika dasar dari teori kebutuhan dapat dilihat dari gambar 2.2.
dibawah ini :
Gambar 2.2. Logika Dasar Teori Kebutuhan
Sumber : James Af. Stoner, Freeman, Gilbert, “Manajemen” 2003 hlm 140
Selanjutnya
Abraham
Maslow
(dalam
Stoner
2003
:
139),
mengembangkan teori kebutuhan kedalam suatu bentuk hierarki yang dikenal
dengan hierarki kebutuhan maslow, maslow memandang motivasi manusia
sebagai hirarki lima macam kebutuhan. Kelima macam kebutuhan itu adalah
fisiologi, keamanan, sosial, harga diri, dan aktualisasi diri.
KebutuhanFisiologis. Tingkat kebutuhan yang pertama dan paling
penting adalah suatu yang sifatnya biologis dan fisiologis yang perlu dijaga
keberlangsungannya. Hal itu merupakan perangsang yang paling dasar,
mencakup kebutuhan akan makan, istirahat, minum, dan papan.
KebutuhanakanPerlindungandanRasaAman. Ketika kebutuhan pada
tingkat pertama benar-benar telah terpenuhi, tingkat kebutuhan yang lebih
tinggi muncul berperan. Kebutuhan itu antara lain, bebas dari rasa takut,
bahaya, ancaman, dan sebagainya. Jika menghadapi kebijakan tertentu yang
menimbulkan rasa takut dan tidak pasti, maka kebutuhan – kebutuhan itu
mungkin terjadi motivator yang paling dominan.
Kebutuhansosial. Ketika tidak lagi merasa takut pada dua tingkat
kebutuhan yang terdahulu, kebutuhan sosial akan muncul kepermukaan.
Kebutuhan dan keterikatan serta penerimaan kawan sebaya sangat penting,
yaitu mau memberi dan menerima bentuk persahabatan.
KebutuhanakanPenghargaandanRasaHargaDiri.
Pengakuan
pribadi, kebanyakan pribadi dan rasa harga diri, merupakan tingkatan bersusun
yang keempat. Tepuk pada pundak bagian belakang dan prestasi kerja yang
diraihnya atau kata pujian yang diberikan didepan peserta yang hadir lainnya
merupakan metode penting untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan ini. Hal
itu kadang kala disebut kebutuhan ego atau status.
Kebutuhan
akanPemenuhan-Diri.
Puncak
kebutuhan
adalah
pemenuhan diri kebutuhan akan pemenuhan diri ini merupakan kebutuhan
yang jarang betul-betul bisa dipenuhi yang merupakan motivator yang konstan.
Sebab kebanyakan orang tidak akan pernah betul-betul meraihnya, tetapi perlu
“terus mencoba” merangsang untuk terus terpacu meraih tujuan itu.
Maslow berpendapat bahwa tiap tingkatan dalam hirarki itu harus
secara substansial terpuaskan sebelum hirarki berikutnya menjadi aktif dan
setelah kebutuhan itu secara substansial terpenuhi tidak lagi bisa memotivasi
prilaku. Selain itu Maslow membedakan kelima kebutuhan itu menjadi tingkat
tinggi dan rendah, kebutuhan fisiologi dan keamanan menjadi kebutuhan
tingkat rendah serta kebutuhan sosial, harga diri, aktualisasi diri menjadi
kebutuhan tingkat tinggi. Sependapat dengan Maslow, Clayton Aldefer ( dalam
Stoner 2003:141) bahwa motivasi dapat diukur menurut hirarki kebutuhan.
Akan tetapi Aldefer memecah kebutuhan hanya menjadi tiga jenis yaitu :
kebutuhan
eksistensi
(existence)atau
kebutuhan
mendasar,
kebutuhan
keterkaitan (relatedness) atau kebutuhan hubungan antar pribadi, dan
kebutuhan pertumbuhan (growth)atau kebutuhan akan kreativitas dan
produktivitas. Sehingga ketiga kebutuhan yang diungkapkan oleh Aldefer ini
dikenal dengan nama ERG. Perbedaan dari Maslow dan Aldefer adalah
Maslow memandang manusia akan secara tetap menapaki hirarki kebutuhan
sedangkan aldefer memandang bahwa manusia akan bergerak naik turun dalam
hirarki kebutuhan dari waktu ke waktu.
Selanjutnya dalam teori kebutuhan John W. Atkinson mengusulkan ada
tiga macam dorongan dalam diri orang yang termotivasi yaitu: kebutuhan
untuk berprestasi ( need for Achievment ), kebutuhan akan kekuatan ( need for
power ), kebutuhan untuk berafiliasi ( need for affiliation ) atau berhubungan
dekat dengan orang lain. Teori tiga kebutuhan yang di kemukakan oleh
Atkinson, didukung pula oleh hasil riset yang dilakukan oleh David Mc.
Clelland. Pada akhir tahun 1950-an Federick Hezberg mengemukakan dua
faktor yang menyebabkan ketidakpuasan dan kepuasan dalam bekerja yang
dikenal dengan teori dua faktor. Hezberg mengungkapkan bahwa yang disebut
dengan faktor ketidakpuasan adalah hygiene yaitu semua konteks yang
berhubungan dengan kondisi tempat pekerjaan termasuk gaji, kondisi kerja,
dan kebijakan perusahaan. Selanjutnya faktor yang mempengaruhi kepuasan
kerja adalah motivator yaitu semua yang berkaitan dengan isi kerja dan yang
berkaitan dengan imbalan prestasi kerja (Stoner 2003 : 144).
2. Teori Keadilan
Pada teori keadilan didasarkan pada asumsi bahwa faktor utama dalam
memotivasi adalah evaluasi individu atas keadilan dari penghargaan yang
diterima. keadilan dapat didefinisikan sebagai rasio antara input pekerjaan
individu dengan output atau imbalan yang diterima.
3. Teori Harapan
Menurut Robbins, et al. ( 2005:107) teori pengharapan merupakan
penjelasan paling menyeluruh mengenai motivasi yang ada saat ini. Victor H.
Vroom mengemukakan bahwa :
Motivasi adalah produk tiga faktor, Valence (V) menunjukan seberapa
kuat keninginan seseorang untuk memperoleh suatu reward, misalnya jika hal
yang paling didambakan oleh seseorang pada suatu saat, promosi, maka hal itu
berarti baginya promosi menduduki valensi tertinggi; Expectacy (E),
menunjukan kemungkinan keberhasilan kerja (performance probability).
Probability itu bergerak dari 0, (nol, tiada harapan) ke 1(satu, penuh harapan).
Instrumentality (I), menunjukkan kemungkinan diterimanya reward jika
pekerjaan berhasil.
Victor Vroom mengemukakan bahwa teori harapan
mencakup tiga variabel atau hubungan yaitu :
1). Pengharapan atau kaitan usaha-kinerja, adalah kemungkinan yang
dirasakan oleh orang tersebut bahwa melakukan sejumlah usaha tertentu
akan menghasilkan tingkat kinerja tertentu.
2). Instrumentalitas atau kaitan kinerja-imbalan yakni tingkat sejauh mana
orang tersebut percaya bahwa bekerja pada tingkat tertentu itu menjadikan
sarana untuk tercapainya hasil yang diinginkan.
3). Valensi atau daya tarik imbalan yakni bobot yang ditempatkan oleh orang
tersebut ke potensi hasil atau imbalan yang dapat dicapai di tempat kerja.
Valensi mempertimbangkan sasaran dan juga kebutuhan orang tersebut.
Penjelasan mengenai teori harapan dapat disederhanakan melalui
gambar 2.3 yang digambarkan oleh Robbins, et al. ( 2005 : 108) dibawah ini:
Gambar 2.3 Penyederhanaan Teori Harapan
Sumber : Stephen Robbins, et al., “Manajemen” 2005 Jilid II hlm 108
A : keterkaitan upaya-kinerja
B : keterkaitan kinerja-imbalan
C : Daya Tarik
4. Teori Penentuan Sasaran
Terdapat dukungan kuat atas pendapat bahwa sasaran speseifik
meningkatkan kinerja dan bahwa sasaran yang sulit, bila diterima
menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dari pada sasaran yang mudah.
Pendapat ini kemudian dikenal dengan teori penentuan sasaran. Dengan
sasaran yang sukar maka akan meningkatkan motivasi, kemauan untuk bekerja
mencapai sasaran dan umpan baliknya akan muncul dengan sendirinya yang
akan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi.
5. Teori Penguatan
Berlawanan
dengan
teori
penentuan
sasaran,
teori
penguatan
mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi dari akibat. Teori penentuan sasaran
menyetakan bahwa maksud individu mengarahkan perilakunya. Sedangkan
teori pengutan mengatakan bahwa perilaku ditimbulkan dari luar. Dan apa
yang mengendalikan perilaku tersebut adalah penguat reinforcers. Kunci dari
teori penguatan adalah bahwa teori penguatan mengabaikan faktor-faktor
seperti sasaran, harapan, dan kebutuhan. Sebagai gantinya teori penguatan
memusatkan pada apa yang terjadi pada seseorang ketika ia mengambil
tindakan tertentu.
Menurut B.F. Skinner dalam Robbins, et al. ( 2005 : 101), teori penguatan
dapat dijelaskan sebagai berikut: orang akan sangat cenderung melakukan
perilaku yang dikehendaki jika mereka mendapatkan imbalan untuk berbuat
begitu.
Selanjutnya B.F. Skinner membuat suatu siklus yang dapat menjelaskan
teori penguatan yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
Rangsangan→Respons→Konsekuensi→Respons Masa Depan
dan proses tersebut diatas dikenal dengan hukum sebab akibat, menurut teori
penguatan seseorang termotivasi kalau dia memberikan respons pada
rangsangan dalam pola tingkah laku yang konsistensepanjang waktu.
Dalam penelitian ini motivasi difokuskan pada teori harapan dari Victor
Vroom yang mencakup tiga variabel hubungan yaitu : Pengharapan atau kaitan
usaha-kinerja, Instrumentalitas atau kaitan kinerja-imbalan, dan Valensi atau
daya tarik imbalan.
2.1.3. Kinerja Pegawai
Kinerja merupakan catatan hasil (outcome) yang dihasilkan dari
fungsi suatu pekerjaan atau suatu kegiatan tertentu selama suatu periode
waktu tertentu untuk menunjukan sejauhmana pegawai dapat memenuhi
tuntutan pekerjaan. Menurut Robbins dan De Cenzo kinerja dapat di nilai
dari empat dimensi yaitu: 1) kuantitas pekerjaan, 2) kualitas pekerjaan, 3)
pengetahuan akan pekerjaan dan 4) ketergantungan pegawai
terhadap
supervisi (Robbins dan De Cenzo, 2007: 328).
Kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugas dantanggung jawabnya. Definisi kinerja menurut Bambang
Kusriyanto dalam Mangkunegara (2005: 9) adalah perbandingan hasil yang
dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu (lazimnya per jam).
Faustino dalam Mangkunegara, (2005: 9) mengemukakan definisi kinerja
sebagai ungkapan seperti output, efisiensi serta efektivitas sering dihubungkan
denganproduktivitas. Sedangkan Menurut Mangkunegara (2005: 9), kinerja
karyawan(prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Oleh karena itudapat disimpulkan
bahwa kinerja SDM adalah prestasi kerja, atau hasil kerja (output) baik kualitas
maupun kuantitas yang dicapai SDM per satuan periode waktu dalam
melaksanakan tugas kerjanyasesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya.
Kinerja merupakan aspek penting dalam upaya pencapaian tujuan.
Pegawai yang memiliki kinerja baik, tentu lebih dapat diharapkan pencapaian
tujuannya berhasil, dibandingkan pegawai yang kinerjanya buruk. Sehubungan
dengan hal terebut, Bernardin dan Russel, sebagaimana dikutip oleh Gomes,
menyatakan bahwa kinerja adalah catatan outcome yang dihasilkan fungsi suatu
pekerjaan tertentu atau kegiatan selama periode waktu tertentu (Gomes, 2000 :
135).
Untuk mengetahui kinerja seseorang harus ditetapkan standar kinerja
sebagai tolak ukurnya. Standar kinerja masing-masing orang yang mempunyai
pekerjaan sesuai jenis pekerjaan organissi atau profesinya. Standar kinerja
merujuk pada tujuan organisasi yang dijabarkan ke dalam tugas-tugas
fungsionalnya.
Menurut Furtwengler (2002-86), aspek-aspek yang dijadikan ukuran bagi
kinerja seseorang adalah : “kecepatan, kualitas pelayanan, nilai, keterampilan
interpersonal, mental untuk sukses, terbuka untuk berubah, kreativitas,
keterampilan berkomunikasi, dan inisiatif”.
Kinerja merupakan hasil dari suatu perilaku kerja yang ditampilkan
seseorang dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Prawirosentono juga menyatakan bahwa :
”Kinerja atau performance adalah hasil kerja yang dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam
upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara
legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun
etika”. (Prawirosentono, 2008 : 2).
Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah
hasil kerjaatau output(outcome) seseorang yang dicapai sesuai dengan beban dan
tanggungjawabnya.
Penilaian kinerja merupakan usaha yang dilakukan pimpinan untuk
menilai hasil kerja bawahannya. Menurut Leon C. Mengginson dalam A.A.
Anwar Prabu Mangkunegara, (2005: 10),penilaian kinerja (performance appraisal)
adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seorang
karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Selanjutnya Andrew E. Sikula dalam Mangkunegara(2005: 10), mengemukakan
bahwa penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan
pegawaidan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses penafsiran
atau penentuan nilai, kualitasatau status dari beberapa obyek orang ataupun
sesuatu barang.Menurut Handoko (2001: 235), penilaian prestasi kerja
(performance appraisal) adalah prosesmelalui mana organisasi-organisasi
mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Kegiatan ini dapat
memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik
kepada para pegawai tentang pelaksanaan kerja mereka.
Secara spesifik, tujuan dari evaluasi kinerja sebagaimana dikemukakan
Agus Sunyoto dalam Mangkunegara,(2005: 10) adalah:1. Meningkatkan saling
pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja.2. Mencatat dan mengakui
hasil kerja seseorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang
lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang
terdahulu.3. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan
keinginan dan aspirasinya danmeningkatkan kepedulian terhadap karir atau
terhadap
pekerjaan
yang
diembannya
sekarang.4.
Mendefinisikan
atau
merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan termotivasi
untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.5. Memeriksa rencana pelaksanaan
dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan khusus, rencana
diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu
diubah.
Penilaian
yang dikemukakan
kinerja
pegawai
Agus Sunyoto
memiliki
dalam
beberapa
sasaran
Mangkunegara,
(2005:
seperti
11)
yaitu:1.Membuat analisis kerangka dari waktu yang lalu secara berkesinambungan
dan periodik baik kinerjakaryawan maupun kinerja organisasi.2.Membuat
evaluasi kebutuhan pelatihan dari para karyawan melalui audit keterampilan
danpengetahuan sehingga dapat mengembangkan kemampuan dirinya. Atas dasar
evaluasi kebutuhanpelatihan ini dapat menyelenggarakan program pelatihan
dengan tepat.3.Menentukan sasaran dari kinerja yang akan datang dan
memberikan tanggung jawab perorangan dan kelompok sehingga untuk periode
selanjutnya jelas apa yang harus diperbuat oleh karyawan, mutu dan bahan baku
yang harus dicapai, sarana dan prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan
kinerja karyawan.4.Menentukan potensi karyawan yang berhak memperoleh
promosi, dan kalau berdasarkan hasil diskusiantara karyawan dengan pimpinan itu
untuk menyusun suatu proposal mengenai sistem bijak (meritsystem) dan sistem
promosi lainnya, seperti imbalan (yaitu reward system recommendation).
2.1.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Adapun beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap kinerja
pelayanan publik, antara lain :
a. Efektifitas
Menurut Chester Barnard dalamNurmandi(2010:43-44): ”Efektifitas dari usaha
kerjasama (antar individu) berhubungan dengan pelaksanaan yang dapat mencapai
tujuan dalam sistem, dan hal itu ditentukan dengan suatu pandangan yang dapat
memenuhi kebutuhan sistem itu sendiri. Sedangkan dari suatu kerjasama dalam
suatu sistem itu sendiri (antar individu) adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya
yang dipilih masing-masing individu.”
Merujuk pada kutipan di atas dapat
dijelaskan bahwa efektifitas dari suatu kelompok (organisasi) adalah jika tujuan
kelompok tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan.
Sedangkan efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang telah dikeluarkan
dalam upaya dapat mencapai tujuan tersebut.
b. Otoritas dan tanggung jawab (Autority and Responsibility)
Dalam suatu organisasi yang baik, wewenang dan tanggung jawab telah dilakukan
dan dilimpahkan dengan baik pula, sehingga tidak terjadi adanya tumpang tindih
tugas atau kewajiban yang harus dilakukan. Masing-masing individu mengetahui
apa yang menjadi hak dan tanggung jawabnya dalam rangka organisasi mencapai
tujuannya.
c. Disiplin (Discipline)
Menurut Robert E. Quin(1990), dalam bukunya yang berjudul Becoming A
Master Manager, A Competency Framework, dijelaskan bahwa :
“Disiplin
meliputi ketaatan dan hormat terhadap perjanjian yang dibuat antara perusahaan
dan karyawan.” Disiplin juga berkaitan erat dengan sanksi yang berlaku kepada
atasan (superordinate) maupun bawahan (subordinat) dimana disiplin tersebut
akan memberikan corak terhadap kinerja pelayanan suatu organisasi publik.
d. Inisiatif
Menurut Robert E. Quin(1990) : ”Inisiatif seseorang (atasan atau bawahan)
berkaitan dengan daya fikir, kreatifitas dalam bentuk ide untuk merencanakan
sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.”
Setiap inisiatif sebaiknya
mendapat perhatian atau tanggapan positif. Apabila seorang atasan menghambat
inisiatif, akan menyebabkan organisasi kehilangan energi atau daya dorong untuk
mencapai kemajuan dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pelayanan
suatu organisasi publik
Goodman
dan
Pennings
(1977:1-2)
serta
Campbell(1997:14)
menggunakan istilah kinerja organisasi dan efektivitas dalam makna yang sama.
Selanjutnya, Mark (1981:73) memasukkan efektivitas dan kinerja ke dalam
definisi produktivitas sedangkan Hannan dan Freeman (1977:115) mengatakan
bahwa kinerja organisasi selalu berhubungan dengan hasil (output). Sebaliknya,
menurut Quinn (1978:42), “produktivitaslah sebenarnya yang disebut sebagai
kinerja organisasi” walaupun Hatry (1978:28) menyatakan bahwa produktivitas
tidak hanya efektifitas tetapi juga efisiensi. Singkatnya bahwa ketika berbicara
tentang kinerja organisasi orang sering berada pada gelombang yang berbeda.
Mereka menggunakan kata effisiensi padahal yang dimaksud adalah efektivitas
atau kualitas atau mungkin juga produktivitas.
Robbins (2001: 487) mengungkapkan bahwa kriteria umum yang
diambil manajemen dalam menilai kinerja adalah:
1. Individual Task Outcome.
(ends)
ketimbang
mengevaluasi
task
cara
Jika yang dipentingkan adalah hasil
(means),
outcome
maka
manajer
hendaknya
pegawai, dengan faktor-faktor
yang
diukur misalnya: kuantitas, kualitas, efisiensi waktu kerja, ketelitian,
maksimalisasi sumberdaya
2. Behaviors.
Penilaian perilaku ini tidak harus selalu dikaitkan
dengan produktivitas individu.
Di sini juga termuat perilaku yang
berkaitan dengan membantu orang lain, membuat
saran untuk
perbaikan, dan kesediaan individu untuk lembur (melakukan tugas
tambahan)
secara
sukarela
kelompok dan organisasi.
agar
bisa
meningkatkan
efektivitas
Dapat dikatakan bahwa faktor subjektif
atau kontekstual juga termasuk di sini. Faktor-faktor yang diukur
misalnya loyalitas pada instansi, kemampuan memecahkan masalah,
kemampuan menyelesaikan tugas,, dan kemampuan mengatasi situasi
darurat.
3. Trait.
Walaupun termasuk kriteria yang paling lemah, trait masih
banyak digunakan oleh organisasi.
Dikatakan lemah dibandingkan
dengan task outcome atau behavior karena trait ini tidak selalu
menunjukkan prestasi kerja aktual dari pekerjaan itu sendiri, misalnya
memiliki
“sikap
yang
baik”,
cerdas, ramah dalam memberikan
pelayanan, kepuasan atas hasil/evaluasi kerja, itu mungkin tidak terlalu
berkaitan
dengan
task-outcome
yang
positif.
Walau
begitu,
kenyataan ini tidak bisa diabaikan begitu saja sebagai salah satu
kriteria dalam menilai tingkat kinerja pegawai.
Adapun dimensi kinerja sebagaimana dikemukakan oleh Robin yang
menjadi acuan penulis terdiri atastiga macam, yaitu : Individual Task Outcome,
Behaviors, dan Trait.
2.1.4. Hubungan Kemampuan dan Motivasi dengan Kinerja
Penelitian tentang motivasi kerja serta pengaruhnya terhadap kinerja
antara lain pernah dilakukan oleh Tuti Tursinah dengan judul penelitian
”Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Kerja terhadap Kinerja Sumber Daya
Manusia (Studi Kasus pada Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi
Jawa Barat) (Tesis Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial
Bidang Kajian Utama Kebijakan Publik, Tahun 2002).
Metode statistik yang digunakan Tuti Tursinah dalam penelitiannya adalah
Path Analysis (Analisis Jalur), dengan jumlah sampel yang diambil sebanyak 42
orang dari jumlah 92 populasi pegawai pada Balitbangda Propinsi Jawa Barat,
secara stratified random sampling.
Dari hasil penelitian Tuti Tursinah, disimpulkan bahwa variabel motivasi
kerja dan kemampuan kerja memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kinerja pegawai Balitbangda propinsi Jawa Barat. Hal tersebut didasarkan
atas
hasil perhitungan koefisien jalur dan uji signifikansi yang dilakukan. Keadaan
tersebut membuktikan bahwa kinerja pegawai Balitbangda Propinsi Jawa Barat
dipengaruhi antara lain oleh motivasi dan kemampuan kerja pegawai yang ada. Di
samping itu, tingkat keeratan pengaruh motivasi kerja lebih besar dibandingkan
dengan tingkat keeratan pengaruh kemampuan kerja. Dari perhitungan koefisien
jalur, kemampuan kerja memberikan kontribusi sebesar 18,6% terhadap kinerja
pegawai Balitbangda Propinsi Jawa Barat, sedangkan kontribusi motivasi kerja
memberikan kontribusi sebesar 30,8%.
Kelemahan penelitian Tuti Tursinah, menurut penulis adalah bahwa Tuti
Tursinah melakukan penelitian tentang kinerja pegawai pada Balitbangda Propinsi
Jawa Barat yang baru dibentuk bulan Desember 2001. Karena melakukan
penelitian pada organisasi yang relatif baru berdiri, maka sulit untuk mencari
pembanding apakah kinerja pegawai di Balitbangda Propinsi Jawa Barat pada saat
penelitian dilakukan (tahun 2002) mengalami peningkatan atau penurunan dari
sebelumnya. Di samping itu, kinerja organisasi yang baru berdiri secara umum
tentunya tidak akan sebaik kinerja organisasi yang sudah lama berdiri karena
masih dalam proses perintisan/pembenahan. Sehingga, bisa jadi rendahnya kinerja
pegawai yang ada bisa jadi bukan semata-mata disebabkan oleh kemampuan dan
motivasi kerja pegawai, namun bisa jadi dipengaruhi terutama oleh sarana dan
prasarana pendukung yang belum siap/belum memadai.
Pada sisi lain, Tuti Tursinah pun dalam penelitiannya mendasarkan ukuran
kinerja organisasi Balitbangda Propinsi Jawa Barat semata-mata hanya
mempertimbangkan motivasi dan kemampuan pegawai yang ada di Balitbangda
Propinsi Jawa Barat. Padahal, kenyataan yang terjadi di lapangan penelitian yang
dilakukan atas nama Balitbangda Propinsi Jawa Barat, padahal banyak juga yang
dikerjasamakan dengan pihak perguruan tinggi.
Tinggi rendahnya kinerja para pegawai dapat dipengaruhi beberapa faktor
antara lain: “kemampuan dan kemauan kerja, fasilitas kerja yang digunakan,
disamping itu juga tepat tidaknya cara yang dipilih perusahaan/instansi dalam
memberikan motivasi kepada pegawai, dengan cara yang tepat dalam memotivasi
pegawai untuk bekerja, semakin terlihat peningkatan produktivitas sesuai yang
diharapkan oleh perusahaan”. (Sinungan, 2000:3). Pendapat tersebut mengatakan
bahwa motivasi merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi
peningkatan kinerja pengawai.
Faktor yang diperhitungkan untuk meningkatkan gairah kerja pegawai
dimana dan instansi apapun adalah adanya motivasi dan kemampuan kerja yang
dimiliki pegawainya. Hal ini cukup beralasan sebab kemampuan dan motivasi
kerja merupakan faktor yang mencerminkan sikap dan karakter seseorang dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
Dalam membicarakan kinerja individu banyak faktor yang mempengaruhi.
Hal ini karena terdapat fenomena individual dimana setiap individu pada dasarnya
bersifat unik dan faktor penentu kinerja sangat beragam. Walaupun demikian ada
dua faktor utama sebagai variabel paling penting dalam menerangkan kinerja
seseorang yakni motivasi dan kemampuan.
Kinerja tidaklah mungkin mencapai hasil yang maksimal apabila tidak ada
motivasi, karena motivasi merupakan suatu kebutuhan di dalam usaha untuk
mencapai tujuan organisasi. Begitu juga berbagai ragam kemampuan pegawai
akan sangat berpengaruh terhadap kinerja mengingat pegawai merupakan titik
sentral dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,
Sulistiyani (2003:189) mengatakan bahwa kinerja pegawai akan lebih
memberikan penekanan pada dua faktor utama: (a) keinginan atau motivasi dari
pegawai untuk bekerja yang kemudian akan menghasilkan usaha-usaha pegawai
tersebut, (b) kemampuan dari pegawai untuk bekerja. Hal tersebut dapat
dirumuskan dalam bentuk persamaan yaitu P=f (m x a). Maksud dari persamaan
ini adalah P= performance (kinerja), M= motivation (motivasi), dan a= ability
(kemampuan).
Rendahnya motivasi dan kemampuan akan menyebabkan timbulnya
kinerja yang rendah secara menyeluruh. Demikian sebaliknya, skor yang tinggi
pada keduanya akan menghasilkan kinerja yang tinggi secara keseluruhan. Namun
skor yang tinggi pada bidang kemampuan jika motivasinya sangat rendah akan
mengakibatkan kinerjanya rendah. Sama halnya jika motivasinya tinggi namun
kemampuannya sangat rendah kinerja juga akan rendah. Dalam kondisi dimana
seseorang memiliki kemampuan yang sedang-sedang saja relatif agak rendah
namun disertai dengan motivasi yang tinggi, sangat mungkin akan menunjukkan
kinerja yang melebihi kinerja orang lain yang memiliki kemampuan tinggi tetapi
dengan motivasi yang rendah.
Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan
(ability) dan faktor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Keith
Davis, yang dikutip oleh Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 67) yang
merumuskan bahwa :
1. Human Performance = Ability + Motivation
= Knowledge + Skill = Attitude + Situation
2. Motivation
= Attitude + Situation
3. Ability
= Knowledge + Skil
1. Faktor Kemampuan
Secara psikologis, kemampuan (Ability) pegawai terdiri dari kemampuan
potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + Skill). Artinya, pegawai yang
memiliki IQ rata-rata (IQ 110 – 120) dengan pendidikan yang memadai untuk
jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka ia
akan lebih mudah mencapai prestasi kerja yang diharapkan, sehingga kinerja kerja
pegawai lebih optimal. Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada
pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya (the right man on the right place, the
right man on the right job).
Kemampuan berkaitan dengan karakter individu karena setiap individu
pasti memiliki kemampuan, hanya saja tingkat kemampuannya berbeda, meliputi :
pengetahuan, pengalaman, keterampilan, bakat, kepribadian dan pendidikan. Oleh
karena itu perlu penyesuaian antara kemampuan individu dengan pekerjaan yang
diberikan akan meningkatkan kinerja individu sumberdaya manusia organisasi
publik.
2. Faktor Motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi situasi
kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah
untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja).
Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri pegawai
untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara maksimal. Sikap mental seorang
pegawai harus sikap mental yang siap secara psikofisik (sikap secara mental, fisik,
tujuan dan situasi). Artinya seorang pegawai harus siap mental, mampu secara
fisik, memahami tujuan utama dan target kerja yang akan dicapai serta mampu
memanfaatkan dan menciptakan situasi kerja.
Motivasi merupakan hasrat didalam seseorang yang menyebabkan orang
tersebut melakukan tindakan dan tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap
kinerja seeorang. Apabila motivasi kerja seseorang bagus maka kinerja dari orang
tersebut juga pasti akan bagus begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan hasil penelitian McClelland, Edward Murray, Miller dan
Gordon W. yang dikutip oleh Anwar Prabu Mangkunegara (2001
; 104)
menyimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara motivasi dengan kinerja.
Artinya pegawai yang mempunyai motivasi yang tinggi maka cenderung memiliki
kinerja yang tinggi, dan sebaliknya mereka yang kinerjanya rendah dimungkinkan
karena motivasinya rendah.
Motivasi merupakan hasrat didalam seseorang yang menyebabkan orang
tersebut melakukan tindakan dan tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap
kinerja seeorang. Apabila motivasi kerja seseorang bagus maka kinerja dari orang
tersebut juga pasti akan bagus begitu juga sebaliknya. .
2.2. Kerangka Pemikiran
Dengan lahirnya PP 41 Tahun 2007, tuntutan akan kinerja yang baik
menjadi syarat mutlak bagi suatu OPD (Organisasi Perangkat Daerah) termasuk
diantaranya adalah Dinas Daerah. Kinerja merupakan output atau yang dihasilkan
dari kegiatan manajemen yang dilakukan oleh suatu organisasi. Robbins, et al.
(2005 : 226), mengartikan kinerja adalah akumulasi akhir semua proses dan
kegiatan kerja organisasi. Ini berarti bahwa kinerja adalah hasil yang menentukan
bagaimana pencitraan suatu organisasi. Tentunya kinerja organisasi tidak dapat
dengan sendirinya dihasilkan, kinerja organisasi dibangun oleh kinerja individu
anggota organisasi tersebut. Jika kinerja organisasi adalah hasil akhir secara
simultan yang dicapai oleh suatu organisasi maka kinerja individu adalah hasil
akhir yang dicapai oleh tiap-tiap individu anggota organisasi tersebut secara
parsial. Adapun Kinerja pegawai yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
hasil kerja secara kualitatif dan kuantitatif yang dicapai setiap pegawai pada Dinas
Perindustrian Perdagangan Dan Koperasi Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Kota
Cirebon..dalam penelitian ini juga lebih ditekankan pada kinerja inidividu yang
secara simultan akan menggambarkan kinerja unit kerja bidang tekankan disini
bahwa yang menjadi objek adalah pegawai yang berada di unit Dinas
Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi UMKM Kota Cirebon.
Guna mengimbangi perkembangan dan tuntutan masyarakat dewasa ini,
pemerintah berkewajiban untuk mempersiapkan dan menyediakan penyelenggara
administrasi (administrator) yang memiliki kemampuan, keahlian, cakap, dalam
jumlah yang memadai, dan memiliki kinerja yang baik.
Pada era globalisasi sekarang ini dan masa-masa akan datang kompetisi
yang terjadi sudah bersifat global dan adanya perubahan-perubahan kondisi
ekonomi menyebabkan banyak organisasi dari bermacam-macam ukuran
melakukan langkah restrukturisasi. Hal ini mendorong terjadinya perubahan
paradigma organisasi dari tradisional menjadi modern. Kondisi ini harus benarbenar disadari dan dipersiapkan secara proporsional. Persiapan ini terutama pada
faktor-faktor sumber daya manusia yang bermutu dengan kualifikasi yang sesuai.
Oleh karena itu, peningkatan kinerja sumber daya manusia (SDM)
merupakan hal yang sangat penting di dalam usaha memperbaiki pelayanan
kepada masyarakat, sehingga perlu diupayakan secara terus menerus dan
berkesinambungan dalam menghadapi tuntutan masyarakat. Untuk menentukan
hal ini perlu dicari faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja tersebut.
Mangkunegara mengemukakan sebagai berikut, kinerja berasal dari kata
job performance atau actual performance ( prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang dicapai seseorang ). Jadi, kinerja berarti hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya
sesuai
dengan
tanggung
jawab
yang
diberikan
kepadanya”.
(Mangkunegara, 2000:67).
Untuk mengetahui kinerja pegawai dalam melaksanakan tugas – tugas
yang menjadi tanggung jawabnya, maka perlu dilakukan penilaian terhadap
kinerja pegawai. Penilaian kinerja bertujuan untuk menilai seberapa baik pegawai
telah melaksanakan pekerjaannya dan apa yang harus mereka lakukan untuk
menjadi lebih baik di masa mendatang. Ini dilaksanakan dengan merujuk pada isi
pekerjaan yang mereka lakukan dan apa yang mereka harapkan untuk mencapai
setiap aspek dari pekerjaan mereka. Isi dari suatu pekerjaan merupakan dasar tetap
untuk perumusan sasaran yang akan dicapai dari suatu tugas utama yang dapat
dirumuskam sebagai target kuantitas, standar kinerja suatu tugas atau proyek
tertentu untuk diselesaikan ( Rivai dan Basri, 2005 :77).
Menurut (Robbins, 1996:P.24). Kinerja adalah suatu ukuran yang
mencakup keefektifan dalam pencapaian tujuan dan efesiensi yang merupakan
rasio dari keluaran efektif terhadap masukan yang diperlukan untuk mencapai
tujuan itu
Menurut Robbins (2006:56) “kinerja karyawan adalah banyaknya upaya
yang dikeluarkan individu dalam mencurahkan tenaga sejumlah tertentu pada
pekerjaan.
Senada dengan Gibson,Robbins (1996) mengemukakan bahwa kinerja
pegawai akan lebih memberikan penekanan pada dua faktor utama: (a) keinginan
atau motivasi dari pegawai untuk bekerja yang kemudian akan menghasilkan
usaha-usaha pegawai tersebut, (b) kemampuan dari pegawai untuk bekerja. Hal
tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan yaitu P=f (m x a). Maksud
dari persamaan ini adalah P= performance (kinerja), M= motivation (motivasi),
dan a= ability (kemampuan).Kemampuan disini merujuk ke suatu kapasitas
individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan (Robbins,
1996).
Jadi Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan
dimana untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya memiliki
derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu”. Kesediaan dan ketrampilan
seseorang tidak cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman
yang jelas tantang apa yang dikerjakan dan bagaima mengerjakannya.
Menurut (Robbins, 2006:687) dalam penilaian kinerja terdapat beberapa
pilihan dalam penentuan mengenai yang sebaiknya melakukan penilaian tersebut
antara lain :
a. Atasan langsung, semua hasil evaluasi kinerja pada tingkat bawah dan
menengah pada umumnya dilakukan oleh atasan langsumg karyawan
tersebut.
b. Rekan sekerja, evaluasi ini merupakan salah satu sumber paling handal
dari penilaian. Alasan rekan sekerja yang tindakan dimana interaksi
sehari-hari memberi pandangan menyeluruh terhadap kinerja dalam
pekerjaannya.
c. Pengevaluasi diri sendiri, mengevaluasi kinerja mereka sendiri apakah
sudah konsisiten dengan nilai-nilai, dengan sukarela dan pemberian
kuasa.
d. Bawahan lansung, evaluasi bawahan langsung dapat memberikan
informasi yang tepat dan rinci mengenai perilaku seorang manajer,
karena lazimnya penilaian yang mempunyai kontak yang sering
dinilai.
e. Pendekatan menyeluruh, pendekatan ini memberikan umpan balik
kinerja dari lingkungan penuh kontas sehari-hari yang mungkin
dimiliki karyawan, yang disekitar personal, ruang surat sampai
kepelanggan atasan rekan sekerja.
Rendahnya motivasi dan kemampuan akan menyebabkan timbulnya
kinerja yang rendah secara menyeluruh. Demikian sebaliknya, skor yang tinggi
pada keduanya akan menghasilkan kinerja yang tinggi secara keseluruhan. Namun
skor yang tinggi pada bidang kemampuan jika motivasinya sangat rendah akan
mengakibatkan kinerjanya rendah. Sama halnya jika motivasinya tinggi namun
kemampuannya sangat rendah kinerja juga akan rendah. Dalam kondisi dimana
seseorang memiliki kemampuan yang sedang-sedang saja relatif agak rendah
namun disertai dengan motivasi yang tinggi, sangat mungkin akan menunjukkan
kinerja yang melebihi kinerja orang lain yang memiliki kemampuan tinggi tetapi
dengan motivasi yang rendah.
Keith Davis (1985::484) pun mengemukakan bahwa faktor yang
mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor
motivasi (motivation), Adapun dimensi kinerja yang diambil oleh peneliti adalah
sebagaimana yang dikemukakan olehStephen Robbins(2001:232) ada 3 kriteria
untuk mengetahui kinerja seseorang, yaitu :
1. Individual task outcomes, if ends count, rather than means, then
management should evaluate an employee’s task outcomes. Using task
outcomes, a plant manager could be judged on criteria such as quality
produced, scrap generated and cost per unit of production.
2. Behaviors, it is difficult to identify spesific outcomes that can be directly
attribute to an employee’s action. This is particularly true of personnel in
staff position and individuals whose work assignments are intrinsically
part of a group effort.
3. Traits, the weakest set of criteria, yet one still widely used by
organizations, is individual traits. They are weaker than either task
outcomes or behaviors because they are farthest removed from the actual
performance of the job itself.
Berdasarkan pendapat Robbin tersebut maka kinerja seorang karyawan
dapat dilihat dalam beberapa hal, pertama adalah hasil tugas individu, menilai
hasil tugas karyawan dapat dilakukan pada suatu badan usaha yang sudah
menetapkan standar kinerja sesuai dengan jenis pekerjaan, yang dinilai
berdasarkan periode waktu tertentu, seperti laporan harian, memenuhi tuntutan
waktu, hasil kerja. Bila karyawan dapat mencapai standar yang ditentukan berarti
hasil tugasnya baik. Kedua adalah perilaku, badan usaha tentunya terdiri dari
banyak karyawan baik bawahan maupun atasan, yang mempunyai perilaku
sendiri-sendiri seperti cekatan atau tanggap, hadir tepat waktu dan rajin. Dimana
setiap individu saling terlibat dan berkomunikasi untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Jika komunikasi terhambat, maka karyawan tidak dapat mencapai
standar kinerja, yang akibatnya tujuan yang diharapkan tidak dapat tercapai.
Dalam perspektif model harapan, kinerja merupakan fungsi dari
kemampuan dan motivasi (Gibson et al, 1985:185 ). Apakah yang dimaksud
dengan kemampuan seseorang, karena banyak faktor yang mempengaruhi. Secara
sederhana kemampuan seseorang dapat dilihat dari keahlian atau skill yang
dimiliki seseorang. Keahlian tersebut dipengaruhi diantaranya oleh latar belakang
pendidikan dan pengalaman. Kemampuan itu sendiri adalah sifat yang di bawa
sejak lahir/dipelajari yang memungkinkan seseorang menyelesaikan tugasnya
(Gibson, 1989 : 54).
Kemampuan
menunjukkan
potensi
orang
untuk
melaksanakan
tugas/pekerjaan (Gibson, 1989 : 215). Kemampuan pegawai dalam melaksanakan
tugasnya merupakan perwujudan dari pengetahuan dan ketrampilan yang
dimiliki. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Blanchard : “Kematangan
pekerjaan (kemampuan) dikaitkan dengan kemampuan
untuk
melakukan
sesuatu. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan” (Kenneth H.
Blanchard, 1986 : 187).
Selanjutnya Winardi (2002) menjelaskan : ”kemampuan dilain pihak,
berhubungan dengan kompetensi juga seseorang. Perbedaan atau distinksi antara
kedua hal, yakni kemampuan dan motivasi sangat relevan bagi banyak situasi”.
(Winardi, 2002 : 63).
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disederhanakan bahwa
kemampuan terdiri atas skill (keterampilan) dan knowledge (pengetahuan). Selain
itu, Winardi (2002) menambahkan dengan pengalaman kerja (work experience)
sumber daya manusia bersangkutan.
Dalam penelitian ini variabel kemampuan akan difokuskan pada teori yang
dikemukanan Winardi (2002) yang teridiri dari dimensi-dimensi berikut ini:
1) Keterampilan (Skill)
Keterampilan dan kecakapan pegawai yaitu
akumulasi dari bakat dan
kepribadian yang dimilikinya. Indikator Skill meliputi: mampu menyelesaikan
tugas tepat pada waktunya, kreatif, inovatif, kemampuan untuk menghitung
secara cepat dan mengoperasionalkan komputer.
2) Pengetahuan (Knowledge)
Adalah pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil pendidikan, pengalaman, dan
pelatihan di bidang kerjanya. Indikator knowledge meliputi: Berlatar belakang
pendidikan yang sesuai dengan bidang kerjanya dan sering mengikuti
pelatihan di bidangnya.
3) Pengalaman Kerja (Work Experience)
Adalah pengalaman kerja yang dimiliki pegawai di Dinas Perindustrian
Perdagangan dan Koperasi UMKM Kota Cirebon.
Faktor yang mempengaruhi kinerja selanjutnya adalah motivasi. Motivasi
adalah kemauan untuk berbuat sesuatu, dengan adanya motivasi maka pegawai
memiliki kekuatan pendorong untuk bekerja. Adapun dimensi motivasi yang
diambil oleh peneliti adalah teori harapan oleh Victor Vroom dimana memiliki
tiga dimensi yaitu : Pengharapan atau kaitan usaha-kinerja, Instrumentalitas atau
kaitan kinerja-imbalan dan Valensi atau daya tarik imbalan (dalam Robbins, et al.
2005 : 108).
Sedangkan menurut Robbin (2002,166) motivasi didefiniskan sebagai
kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan
organisasi yan dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu
kebutuhan individu,sementara motivasi umum bersangkutan dengan upaya kearah
setiap tujuan yang fokusnya dipersempit terhadap tujuan organisasi, ketika unsur
dalam definisi ini adalah upaya, tujuan dan kebutuhan.
Winardi(2002) juga mengemukakan bahwa motivasi merupakan sebuah
determinan penting dalam kinerja individual, untuk menunjang tujuan-tujuan
produksi kesatuan kerjanya dan organisasi dimana tempat dia bekerja, seseorang
yang tidak termotivasi hanya akan memberikan upaya minimum dalam hal
bekerja,
Dengan kondisi seperti ini, maka motivasi kerja perlu ditempatkan sebagai
kriteria penting bagi perkembangan individu dan organisasi pada unit-unit kerja
di Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi UMKM Kota Cirebon.
Maka dalam penelitian ini dimensi untuk variabel motivasi mengacu pada
Victor Vroom dalam Robbins, et al. 2005 yaitu Pengharapan (kaitan usahakinerja), Instrumentalitas (kaitan kinerja-imbalan)
dan Valensi (daya tarik
imbalan)
Seorang pegawai bisa memiliki kinerja yang baik jika pelaksanaan kerja
didukung oleh kemampuan yang cukup. Namun kemampuan saja tidaklah
lengkap,disinilah peran motivasi sebagai faktor pembeda antara pegawai satu
dengan yang lainnya. Oleh karenanya, walaupun seorang pegawai memiliki
kemampuan yang cukup untuk melaksanakan tugas dan pekerjaanya, tetapi
apabila tidak ditunjang oleh motivasi yang kuat maka kinerja tidak optimal.
Kinerja akan menjadi nol apabila sumber daya manusia yang ada tidak
memiliki kemampuan dan motivasi. Kinerja akan meningkat apabila salah satu
dari kedua variabel tersebut, yaitu kemampuan dan motivasi yang meningkat
hanya terdapat pada pegawai yang memiliki kemampuan yang tinggi. Terhadap
pegawai yang memiliki kemampuan rendah, peningkatan kinerja dapat dilakukan
dengan memberikan pelatihan atau dengan memindahkan ke bagian lain yang
sesuai dengan kemampuan dan keterampilan pegawai yang bersangkutan. dimensi
variabel kemampuan dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan
oleh widanardi (2002) yaitu Keterampilan,Pengetahuan, dan Pengalaman kerja.
Berdasarkan uraian terdahulu, kerangka pemikiran dalam penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
Kemampuan (X1)
Keterampilan
Pengetahuan
Pengalaman kerja
Kinerja (Y)
Sumber :Winardi, 2002
Individual Task Outcome,
Behaviors
Trait.
Motivasi (X2)
Pengharapan atau kaitan
usaha-kinerja,
Instrumentalitas atau kaitan
kinerja-imbalan
Valensi atau daya tarik
imbalan
Sumber : Victor Vroom dalam
Robbins, et al. 2005
Sumber :Robbin, 2001
2.3. Hipotesis
Berdasarkan uraian dalam rumusan masalah dan kerangka pemikiran,
hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah :
1. Besarnya pengaruh kemampuan terhadap kinerja pada Dinas Perindustrian
Perdagangan dan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Kota Cirebon
dipengaruhi oleh dimensi keterampilan, pengetahuan dan pengalaman kerja.
2. Besarnya pengaruh motivasi terhadap kinerja pada Dinas Perindustrian
Perdagangan dan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Kota Cirebon
dipengaruhi
oleh
dimensi
Pengharapan
atau
kaitan
usaha-kinerja,
Instrumentalitas atau kaitan kinerja-imbalan dan Valensi atau daya tarik
imbalan
Download