Gamelan Dan Musik Campursari Ditinjau Dari Tangganadanya

advertisement
GAMELAN DAN MUSIK CAMPURSARI DITINJAU DARI
TANGGANADANYA
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Gamelan
merupakan
jenis
musik
asli
bangsa
Indonesia,
khususnya budaya tradisional Jawa. Peran serta keberadaanya sangat
dekat dengan masyarakatnya melalui berbagai pertunjukan kesenian
tradisional. Hampir setiap kesenian tradisional Jawa melibatkan atau
menggunakan jenis musik ini sebagai iringannya, seperti ketoprak,
wayang (baik wayang kulit maupun wayang orang), karawitan, jathilan
(walau hanya beberapa saja alat musik gamelan yang dipakai), dan
kesenian tradisional Jawa yang lain. Dengan berbagai karakter serta
keunikannya menjadikan jenis musik ini sangat terkenal di seluruh
dunia dan digandrungi oleh berbagai bangsa di dunia ini. Sejalan
dengan itu, disatu sisi ironisnya, banyak orang dari bangsa kita sendiri,
khususnya generasi muda, tidak menyukai dan bahkan tidak mengenal
musik gamelan yang merupakan musik asli bangsanya sendiri. Mereka
lebih merasa akrab/ dekat dan cocok dengan musik barat yang dinilai
lebih pas untuk anak muda. Sehingga kebanyakan penggemar musik
gamelan adalah usia menengah keatas. Kalau hal ini terus terjadi lamakelamaan bangsa kita akan kehilangan musiknya yang begitu adiluhung
dan membanggakan itu. Bukan tidak mungkin bangsa lainlah yang
akan memiliki ataupun mengeksperti tentang kesenian yang satu ini.
1
Dalam dekade terakhir muncul sebuah fenomena baru di dunia
musik pada masyarakat Jawa yang erat kaitannya dengan musik
gamelan, yakni musik Campursari. Ini terjadi di belahan pulau Jawa
bagian tengah dan timur. Barangkali hal ini terjadi selaras dengan
penyebaran/ penggunaan bahasa yang digunakan masyarakat daerah
tersebut, yakni bahasa Jawa, bahasa yang digunakan dalam syair atau
lirik lagu-lagu campursari. Jenis musik “baru” ini berkembang sangat
pesat serta banyak digemari kaum generasi muda pada umumnya,
walaupun di dalamnya mengandung musik gamelan. Musik campursari
merupakan kolaborasi atau campuran antara musik tradisional Jawa,
yang ditandai dengan digunakannya alat-alat musik Jawa seperti
bonang, gender, saron, gong, gendang, dan lain-lainnya, yang dicampur
dengan alat musik barat, seperti misalnya drum, bas, gitar, keyboard,
dan sebagainya. Jenis musik ini dibawakan dengan menggunakan gaya
(cengkok), taste atau rasa, dan bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari
pada masyarakat, khususnya yang berbahasa ibu bahasa Jawa sehingga
terasa lebih mudah dan cepat akrab tatkala terdengar oleh masyarakat
yang bersangkutan. Tema-tema lagu yang diangkatpun biasanya diambil
dari permasalahan sehari-hari masyarakat, yang berbahasa Jawa,
sehingga keterlibatan emosi pendengar seolah-olah dikaitkan pada lagulagunya. Hadirnya alat-alat musik barat pada setting gamelan tidak
jarang melahirkan kebanggaan tersendiri atas pertunjukkan yang
digelar, baik bagi penyelenggara, pemain, maupun para penontonnya.
Mereka merasa pertunjukan itu bergengsi dengan terpampangnya drum
ataupun keyboard yang tidak hanya satu diatas panggung, disela-sela
alat musik gamelan. Barangkali hal-hal tersebut yang menjadikan kaum
muda
tertarik
memprihatinkan
pada
kalau
jenis
hal
musik
ini
yang
dibiarkan
satu
ini.
Sangatlah
berlanjut,
lama-lama
masyarakat kita kurang menghargai musik asli ataupun alat musik kita
sendiri.
2
Berawal dari fenomena di atas penulis merasa tergelitik untuk
melihat lebih dekat tentang persamaan serta perbedaan dari kedua jenis
musik tersebut, khususnya dari aspek bidang yang digeluti penulis,
yakni aspek musikal yang berupa unsur-unsur musiknya.
II. PEMBAHASAN
Musik pada dasarnya terdiri dari 2 unsur utama, yakni ketukan
atau ritme, dan nada yang berujud melodi ataupun akor/ harmoni.
Unsur-unsur musik adalah melodi, ritme dan harmoni (Banoe, 2003 :
288). Berdasar hal tersebut, dalam kesempatan ini penulis akan
menyoroti pada permasalahan tangga nada yang digunakan masingmasing jenis musik tersebut.
Tangganada Musik Gamelan
Gamelan adalah perangkat alat musik tradisional Jawa dan berbagai
wilayah Indonesia lainnya (Pono Banoe, 2003 : 158). Namun selain
sekedar instrumen untuk bermain musik, gamelan sebagai warisan
budaya sepanjang sejarah, yang justru padanya hadir bermuara
interaksi budaya sekaligus perkembangan musikal. Tak mengherankan
jika ia bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan kajian post-kolonial
secara lebih mendalam. Oleh karenanya gamelan telah lebih dari seabad
gamelan Jawa menjadi fokus utama bidang etnomusikologi di dunia.
Seperti telah kita ketahui bahwa dalam musik Jawa, yakni musik
gamelan, dari sisi gaya dan syair menggunakan cengkok dan bahasa
Jawa tentu saja. Sedangkan dari sisi pertangganadaan musik gamelan
secara garis besar bisa dibagi menjadi 2 macam, yakni gamelan yang
menggunakan tangga nada “pelog” dan gamelan yang menggunakan
tangga nada “selendro”. Keduanya memiliki karakteristik yang sangat
berbeda. Sifat-sifat lagu dalam laras “Selendro” biasanya adalah gembira
3
dan
lincah.
Sedangkan
lagu-lagu
dalam
laras
“Pelog”
biasanya
membawakan suasana haru dan sedih. Tangga nada/ laras “Selendro”
terdiri dari 5 nada, yakni barang (1), gulu (2), dada (3), lima (5), dan nem
(6). Sedangkan tangganada/ laras “Pelog” terdiri dari bem (1), gulu (2)
dada (3), pelog (4), lima (5), nem (6), dan barang (7) (Banoe, 2003 : 373) .
Tangga nada “Selendro” termasuk dalam tangga nada pentatonik, yakni
rancangan sebuah tangga nada yang terdiri dari 5 nada berjenjang
(Banoe, 2003 : 330). Tidak seperti halnya pada tangga nada diatonis
yang masing-masing nadanya berjarak satu laras/ nada atau setengah
laras/ nada serta mempunyai patokan tune yang standar misalnya A =
440 hz atau 442 hz, jarak antar nada dalam tangga nada “Selendro”
ataupun “Pelog”, saling berlainan. Demikian juga tune (seteman atau
pelarasan) gamelan antara perangkat yang satu berbeda dengan
perangkat yang lain, misalnya antara seperangkat gamelan “Selendro”
yang satu dengan seperangkat gamelan “Selendro” yang lain. Demikian
juga untuk gamelan “Pelog”. Tangga nada “Selendro” dan “Pelog” ini
termasuk merupakan Modus, yakni jenis pertangganadaan atau ragam
jajaran tangganada (Banoe, 2003 : 278). Barangkali hal ini merupakan
salah satu keunikan yang dimiliki musik gamelan sebagai musik
tradisionil budaya Jawa yang sangat dikagumi banyak bangsa di bumi
ini. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa suatu lagu yang dimainkan
dalam tangga nada pentatonik, seperti pada tangganada “Selendro”
misalnya, semua notasi mengambil dari kelima macam nada yang
terkandung dalam tangga nada yang digunakan tersebut. Dengan kata
lain tidak akan ada nada lain yang muncul dalam lagu “Selendro”
kecuali dari kelima nada yang terdapat dalam tangganada pentatonik
tersebut. Demikian juga untuk tangga nada “Pelog” yang terdiri dari 7
nada. Semua nada-nada dari melodi lagunya menggunakan ke 7 nada
yang tersedia.
4
Secara matematis jarak frekwensi antar nada pada musik, termasuk
gamelan, dari oktaf bawah ke oktaf atas berjarak 1200 cent. Jumlah ini
terbagi dalam berbagai wilahan nada yang beraturan jarak frekwensinya,
sehingga membentuk suatu urutan nada atau yang biasa disebut
tangganada. Tangganada atau scale adalah urutan nada yang disusun
secara berjenjang (Banoe, 2003 : 406).
Secara visual jarak atau interval (dalam cent) setiap nada dalam musik
gamelan (selendro maupun pelog) dapat dijelaskan melalui gambar
berikut ini :
Gamelan Selendro
(J. Kunst, 1949 : 14)
Keterangan :
Nada
Nada
Nada
Nada
Nada
3
5
6
1
2
disebut
disebut
disebut
disebut
disebut
Gamelan Pelog
Dhadha
Lima
Nem
Barang, dan
Gulu.
5
(Judith Becker, 1984 : 40)
Keterangan :
Nada
Nada
Nada
Nada
Nada
Nada
Nada
4
5
6
7
1
2
3
disebut
disebut
disebut
disebut
disebut
disebut
disebut
pelog
lima
nem
barang
penunggul
gulu
dhadha
Tangganada Musik Campursari
Jenis musik yang dikatakan “baru” (yang sebenarnya pernah dimainkan
pada pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1970-an di RRI
Semarang dengan vokalisnya almarhum S. Dharmanto) ini dimainkan
serta diperkenalkan kembali oleh Manthou’s pada tahun 90-an.
Manthou’s adalah seorang musisi keroncong yang sangat aktif mencipta
lagu-lagu jawa. Peran dari hadirnya alat-alat musik Barat dalam musik
campursari banyak memberi warna tersendiri yang pada akhirnya bisa
diterima dan disukai kaum muda ataupun orang tua.
Berdasar pada latar belakangnya yang cenderung didasari pada unsurunsur musik Barat, Manthou’s mengkolaborasi kedua jenis musik
tersebut di atas dengan merubah karakter alat musik gamelan yang
ketimuran menjadi bernuansa Barat, yakni dengan melaras atau
6
menyetem alat musik gamelan kedalam susunan tangga nada Barat,
yakni tangga nada diatonis. Sehingga gamelan yang dipakai pada jenis
musik campursari merupakan gamelan diatonis.
Tangganada diatonis berdasar atas tetrachord, yakni tangga nada yang
dirumuskan Phytagoras, seorang filsuf dan matematikus Yunani pada
abad VI, melalui alat musiknya yang disebut monochord (Karl-Edmund
Prier. sj, 2004 : 8). Diatonis merupakan tangga nada atau urutan nada
yang mengandung jarak satuan (tonos) dan tengahan laras (semitonos)
baik dalam tangga nada mayor maupun minor (Pono Banoe, 2003 : 114).
Sedangkan Remy Silado menyatakan bahwa perkataan diatonis dipetik
dari bahasa latin, yakni diatonicus, yang maksudnya adalah nada-nada
yang terdiri dari tujuh jenis bunyi yang ditulis di atas garis titi, misalnya
c, d, e, f, g, a, dan b (1986 : 8). Dia adalah dua, sedangkan tonis adalah
nada. Yang berarti dalam tangga nada diatonis terdapat dua macam
jarak antara nada-nadanya, yakni jarak setengah laras/ nada dan satu
laras/ nada. Setiap jarak antar nada berupa kuantitasi yang pasti,
sehingga mudah dikembangkan baik dari alat musik maupun unsur
musiknya sendiri kedalam dunia teknologi, yakni digital. Lepas dari
masalah keindahan, musik Barat terurai dalam angka-angka yang pasti,
yakni berupa frekwensi tinggi rendah nada serta harga ketukan ataupun
irama. Secara visualisasi jarak frekwensi setiap nada dalam tangganada
diatonis dapat dijelaskan sebagai berikut :
Tangganada Diatonis
7
(Becker, 1984 : 40)
Keterangan :
Jarak 100 cent dalam tangganada diatonis disebut sebagai jarak ½
nada.
Jarak 200 cent dalam tangganada diatonis disebut sebagai jarak 1 nada.
Sehingga jarak nada-nada dalam tangganada diatonis biasa dijelaskan
dengan jarak 1 – 1 – ½ - 1 – 1 – 1 – ½.
Visualisasi jarak nada dalam tangga nada diatonis ini memang tidak
terlihat/ tercermin pada penulisan notasi, baik pada notasi balok
maupun notasi angka. Pada notasi balok yang terpampang hanyalah
lima garis yang melintang dan melahirkan 4 spasi didalamnya dengan
jarak yang sama. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut ini :
Seperti yang terlihat dalam gambar di atas, nada c ke d dan d ke e
adalah berjarak satu laras/ nada. Sedangkan jarak nada e ke f adalah
setengah laras/ nada, dimana secara visual posisi/ tulisan notasi yang
mewakili nada e ke f sama dengan posisi notasi nada c ke d yang
berjarak satu, yakni tulisan nada pada garis menjusu tulisan nada pada
spasi Demikian juga jarak notasi yang mewakili nada b ke c, yang
berjarak setengah, sama posisi penulisannya dengan penulisan notasi
yang mewakili nada-nada yang berjarak satu.
8
Demikian pula untuk notasi angka. Jarak nada setengah nada ataupun
satu nada tidak tercermin pada tulisan atau notasi angka. Perhatikan
gambar berikut :
Dalam notasi angka ini penggambaran jarak antar nada juga tidak
terlihat.Visualisai jarak nada dalam tangga nada diatonis yang paling
representative adalah dengan menunjukkan bentuk maupun susunan
tuts pada alat musik keyboard. Keyboard berasal dari kata bahasa
Inggris key yang berarti kunci dan board yang berarti papan. Pengertian
di
atas
menunjukkan
bahwa
alat
musik
keyboard
terdiri
dari
sekumpulan tuts yang merupakan kunci (key) nada dan tuts tersebut
tersusun pada sebuah bidang yang mirip papan (board) (Thursan
Hakim, 2005 : 3). Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa ada
beberapa jenis alat musik yang termasuk alat musik keyboard, dari yang
paling besar sampai yang paling kecil, seperti misalnya : piano, electone,
organ, keyboard, accordion, ataupun pianika/ melodion, yakni keyboard
mini yang dibunyikan dengan tiupan.
Melalui gambar ini jarak nada akan mudah untuk dilihat, dimengerti
dan dipahami. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut :
Jarak antar bilah mencerminkan jarak nada setengah laras. Seperti
misalnya jarak nada C ke C#, C# ke D, E ke F, dan seterusnya adalah
jarak-jarak setengah laras, yakni 100 cent. Dengan kata lain jarak nada
9
C ke D adalah satu (200 cent), karena melompati nada C# (1/2 + ½).
Jarak nada D ke F adalah satu setengah (300 cent), karena melompati
nada D# dan E (1/2 + ½ + ½). Oleh karenanya tangga nada C, D, E, F,
G, A, dan B serta C atas berjarak 1 – 1 – ½ - 1 – 1 – 1 – ½.
Korelasi dan perbandingan tangganada yang dipakai dalam musik
gamelan dengan campursari
Secara visual perbandingan tangga nada musik gamelan, baik selendro
maupun pelog, dengan musik diatonis dapat dejelaskan melalui gambar
sebagai berikut :
Perbandingan tangganada diatonis dan selendro serta pelog.
(Becker, 1984 : 40)
Gambar tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya musik gamelan
dengan musik campurasi adalah berbeda, khususnya pada unsur nada
yang ketinggian frekwensinya berlainan. Kedua jenis musik di atas
mempunyai bidikan nada yang tidak boleh meleset atau fals.
10
Berdasar pengamatan penulis, lagu-lagu campursari (yang nota bene
menggunakan tangga nada diatonis) terdiri dari dua macam kelompok
nada (semacam tangganada) yang digunakan, yakni :
-
Kelompok pertama, menggunakan nada-nada do, re, mi, sol,
dan la. Seperti pada lagu “Caping Gunung”, “Bojo Loro”, dan
lain sebagainya.
-
Kelompok kedua, menggunakan nada-nada do, mi, fa, sol, dan
si. Seperti pada lagu “Nyidam Sari”, “Rondho Kempling”, dan
lain sebagainya.
Kedua tangga nada di atas jarak antar nadanya mirip ataupun
mendekati jarak antar nada yang ada di tangganada Jawa. Urutan nada
do, re, mi, sol dan la, mendekati atau mirip tangga nada/ laras
“Selendro”. Sedangkan urutan nada yang kedua, yaitu do, mi, fa, sol dan
si mendekati atau mirip dengan tangga nada/ laras “Pelog”. Oleh
karenanya penulis berpendapat bahwa lagu-lagu campursari yang
melodinya menggunakan kelompok pertama, yakni nada-nada
do, re,
mi, sol dan la, dimaksudkan untuk membawakan musik atau lagu
bernuansa “Selendro”. Sedangkan lagu-lagu campursari yang melodinya
menggunakan kelompok kedua, yakni nada-nada do, mi, fa, sol dan si,
dimaksudkan untuk membawakan musik atau lagu bernuansa “Pelog”.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan notasi dari 2 macam lagu campursari
yang menggunakan kedua kelompok nada di atas sebagai berikut,
sekaligus dengarkan lagunya yang bernuansa “Selendro” dan “Pelog”.
Syair lagu sengaja diganti dengan sebutan notasi diatonis dalam system
“Movable Doh”, yakni Do berpindah (Banoe, 2003 : 284).
Lagu 1. Caping Gunung, ciptaan Gesang.
Nada-nada yang digunakan adalah do, re, mi, sol dan la. Nuansa yang
diciptakan adalah mendekati/ mirip “Selendro”.
11
Lagu 2. : Nyidam Sari, ciptaan Anjarani.
Nada-nada ynang digunakan adalah do, mi, fa, sol dan si. Nuansa yang
ada mendekati/ mirip dengan suasana laras “Pelog”.
12
13
DAFTAR PUSTAKA
Banoe, Pono, Kamus Musik, Kanisius, Yogyakarta, 2003.
Becker, Judith, Karawitan Source Reading in Javanese Gamelan and
Vocal Music, Center for South and shoutheast Asian Studies
Publications, USA, 1984.
Djelantik, A. A. M., Estetika, ARTI, Bandung, 1999.
Hakim, Thursan, Belajar Bermain Keyboard, PT Kawan Pustaka,
Jakarta, 2005.
J. Kunst, Music in Java, Martinus Nijhoff, Holand, 1949.
Mack, Dieter, Apresiasi Musik Populer, Yayasan Pustaka Nusatama,
Yogyakarta, 1995.
______________, Musik Kontemporer, ARTI, Bandung, 2004
Prier, Karl-Edmund. Sejarah Musik Jilid I, Pusat Musik Liturgi,
Yogyakarta, 2004.
Sachari, Agus. Estetika, ITB, Bandung, 2002.
Sylado, Remy. Menuju Apresiasi Musik, Angkasa, Bandung, 1986.
14
BIODATA
Nama
NIP
Pangkat/Golongan Ruang/TMT
Jabatan
Unit Kerja
Bidang Keahlian
Alamat rumah
: Drs. S. Kari Hartaya, M.Sn
: 19650929 199203 1 004
: Pembina, IV/a, 8 April 2009
: Widyaiswara Madya
: PPPPTK Seni dan Budaya
: Seni Musik
: Jln. S. Parman 1b Bantul, DIY
Download