Erotisme dan Pornografi

advertisement
Erotisme dan Pornografi
Erotisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1992) didefinisikan
sebagai (1) keadaan bangkitnya nafsu birahi; (2) keinginan akan nafsu seks
secara terus menerus. Sedangkan di dalam bahasa Inggris (The American
Heritage Dictionary 1985), eroticism didefinisikan sebagai (1) an erotic quality
or theme; (2) sexual excitement; (3) abnormally persistent sexual excitement.
Dari tiga definisi dalam bahasa Inggris, definisi (2) dan (3) sesuai dengan apa
yang ada dalam KBBI. Pada definisi (1) terkandung sifat dan tema erotis atau
erotic yang berarti (1) of or concerning sexual love and desire; (2) tending to
arouse sexual desire; (3) dominated by sexual love or desire.
Dalam Bahasa Perancis (Kamus Lexis 1979) pun mempunyai pengertian yang
sama dengan bahasa Inggris. Namun pada kata erotisme ada bagian yang penting
yaitu ”sous-tendus par le libido” yang berarti ”didasari oleh libido” atau ”diilhami
oleh libido”. Sedangkan libido dalam KBBI diartikan sebagai ”nafsu berahi yang
bersifat naluri”. Kata libido ini berasal dari bahasa Latin ’desir’ yang berarti
’keinginan’, ’hasrat’.
Sehingga dengan demikian erotisme berkaitan erat dan bahkan didasari oleh
libido yang dalam perkembangan selanjutnya teraktualisasi dalam keinginan
seksual. Sekarang mari kita kaitkan dengan pornografi yang juga didasari oleh
hal-hal yang berkaitan dengan nafsu seksual.
DalamKBBI, pornografi didefinisikan ”(1) penggambaran tingkah laku secara
erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; (2) bahan
bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan
nafsu berahi dalam seks.” Definis ini sejalan dengan definisi pornography (The
American Heritage Dictionary, 1985), yaitu ’the presentation of sexually explicit
behavior, as in photograph, intended to arouse sexual excitement.”
Dengan dua definisi di atas, kita sudah dapat melihat ada kaitan antara erotisme
dan pornografi. Namun terlihat juga perbedaan diantara keduanya. Kata
kuncinya disini adalah libido, nafsu berahi, nafsu seksual. Perbedaannya dalam
erotisme, libido merupakan dasar atau ilham untuk menggambarkan sesuatu
yang lebih luas (misalny konsep cinta , perbedaan antar jenis, atau masalah yang
timbul dalam interaksi sosial), sedangkan dalam pronografi yang menonjol
adalah penggambaran secara sengaja tingkah laku seksual dengan tujuan
membangkitkan nafsu seksual.
Kalau ditelusuri asal kata erotisme dan pornografi berasal dari kata Yunani.
Erotisme dari kata Yunani kuno Eros, yaitu ”nama dewa cinta, putera
Aphrodite”, sedangkan pornografi berasal dari bahasa yang sama yaitu porne
yang berarti ”pelacur” dan graphein ”menulis”.
Terlihat makna erotisme lebih mengarah pada ”penggambaran perilaku, keadaan
atau suasana yang didasari oleh libido dalam keinginan seksual”, sedangkan
makna pornografi lebih cenderung pada ”tindak seksual yang ditonjolkan” untuk
membangkitkan nafsu berahi. Pornografi dalam bahasa Perancis ”representation
des chose obscenes en matiere litteraire ou artistique; publications obscenes”
lebih melihat sifat ”kasar” yang ada dalam pornografi, yaitu penyajian hal-hal
yang cabul dalam sastra atau seni; penerbitan cabul. Sedangkan menurut KBBI
cabul didefinisikan sebagau ”keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar
kesopanan, kesusilaan).
Erotisme tidak mempunyai makna dasar ”cabul”, melainkan menggambarkan
perilaku, keadaan, atau suasana berdasarkan atau berilhamkan ”libido dan Seks”.
Sebaliknya pornografi mempunyai makna dasar ”cabul”, ”tidak senonoh” dan
”kotor”. Pembedaan makna dasar ini penting agar kita dapat lebih memahami
makna erotisme.
Sering dikatakan orang antara erotisme dan pronografi terdapat perbatasan yang
samar atau bahkan wilayah maknanya sebagai tumpang tindih. Masalah ini juga
dihadapi pada penelitian pornografi dalampers Indonesia (Rachim, 1977). Hal
itu karena dalam pornografi selalu ada erotisme, tidak semua yang erotis itu
pornografis. Oleh karena itu, dalam membicarakan erotisme dan pornografi kita
terpaksa melihatnya sebagai suatu continuum yang bergeser dari satu ujung
(erotisme) ke ujung lainnya (pornografi).
Pornografi adalah penyajian tindakan cabul, yang intinya adalah tindakan
seksual, yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan nafsu berahi atau anfsu
seksual. Erotisme sendiri adalah penggambaran perilaku, keadaan, atau suasana
yang didasari oleh libido sehingga dapat menimbulkan nafsu berahi.
Ada yang mengatakan di dalam memahami apakah sesuatu yang erotis itu
pornografis atau tidak, tergantung pada kebudayaan yang kita miliki. Bagi
kalangan tertentu, kalimat-kalimat berikut ini dapat dianggap pornografis atau
sekedar erotis.
(1) Dekaplah aku sekuat-kuatmu, Surti, seolah-olah besok kita akan mati!
Gumam lelaki itu dengan nafas memburu (Rachim, 1978:58)
(2) ”aku cinta padamu sayang. Bagaimana kalau kita kawin?” laki-laki
langgananku berbicara tentang cinta, tapi sekarang di bawah satu selimut
kami tidur bersama dengan dekapan ketatnya di badanku tanpa sehelai
benang menghalangi (rachim, 1978:59)
(3) ”..... Di sela-selanja setjara tersebar Anda akan mendjumpai patungpatung manusia berdiri, diantaranja ada jang penisnja dalam keadaan in
erectio dan dipegang dengan tangan kirinja. Sebagian patung-patung itu
sudah tidak berkepala. (Mobil dan Motor, Agustus 1972:31, artikel
”Tjandi Sukuh”, dari Rachim 1977:65)
Kita merasa merasa sangat sulit untuk menetapkan mana di antara ktiga contoh
di atas yang pornografis atau erotis. Apakah ketiga-tiganya erotis atau
pornografis? Lebih-lebih kalau kita perhatikan contoh (3). Kemungkinan teks
ini erotis, tetapi belum pornografis. Permasalahan ini akan lebih bermakna lagi
apabila menyentuh segi normatif, baik itu yang bersifat sosial mapun yang
bersifat hukum. Contoh yang menarik adalah pengertian ponografi dalam pers.
Dalam laporan penelitiannya yang berjudul Pornografi dalam Pers
Indonesia. Rachim (1977:67-100) menggambarkan SPS (Serikat Pekerja
Suratkabar) dalam kongresnya ke VIII di Medan (september 1953) memutuskan
dibentuknya ”Panitya Susila Pers” yang tugasnya adalah ”membuat ancar-ancar
cara memelihara adab susila sebagai dasar periklanan dan reklame dalam suratsurat kabar dan majalah” Menulis tulisan itu, bacaan cabul mualai dipersoalkan
pada tahun 1953, yaitu antara lain dalam Harian Rakyat yang menyebutkan
”gambar saling berciuman” sebagai buku-buku bacaan cabul” (Rachim 1977).
Berbagai persoalan mengenai pornografi dalam pers dikemukakan dalam
berbagai kesempatan. Namun ada contoh yang jika ditinjau dari pilihan kata dan
kalimat yang digunakan, tidak jelas pakah sekedar apakah itu sekedar erotisme
atau pornografi. Yang dipersoalkan adalah kenyataan adanya suratkabar yang
menyajikan berita tentang peristiwa yang berkaitan dengan hubungan seksual. Di
sini kita berhadapan dengan kebudayaan masyarakat pembaca suratkabar. Suatu
berita dinilai pornografis atau erotis berdasarkan pandangan masyarakat
pembaca berita itu. Puisi dan novel pada Abad Pertengahan dan abad ke-17,
serta 18 dan 19 di Perancis dan Inggris, misalnya seringkali dianggap sebagai
novel pornografis. Padahal tujuannya tidak untuk menimbulkan gairah seksual.
Adegan-adegan erotis yang ada dalam novel-novel tersebut mempunyai tujuan
yang lebih luas.
Karya-karya Sade (1740 – 1874) penuh dengan adegan seksual yang sadis (kata
sadis berasal dari nama Sade). Namun, Sade tidak bermaksud memberikan
dampak erotis kepada pembacanya. Sade menulis karyanya pada zaman
libertinage abad ke-18 yang merupakan reaksi terhadap kehidupan sosial budaya
yang terlalu dikekang dan diatur pada abad ke-17 di Perancis. Karya-karyanya
juga merupakan kritik terhadap para pelaksana gereja pada zamannya. D.H.
Laurens (1885-1930) melalui salah satu novelnya yang terkenal, Lady
Chatterley’s Lovers, menceritakan berbagai pengalaman seksual yang sifatnya
penyelewengan antara lady Chatterley dari kalangan bangsawan dengan Mellors
seorang dari kalangan rendah. Novel-novelnya merupakan analisis tentang
masyarakat industrial modern abad ke-19 di Eropa dan tentang peran seks dalam
perilaku manusianya. Novel ini juga semacam protes sosial dan protes terhadap
aturan-aturan moral yang dianggap terlalu ketat pada zaman Ratu Victoria di
Inggris. Dengan demikian karya-karya Sade dan Lawrence itu bukan karya
pornografis, tetapi erotis. Tentu saja karya-karya itu pada zamannya dilarang
oleh para penguasa.
Puisi erotis ditulis orang sepanjang zaman. Banyak diantaranya merupakan puisi
yang indah dan bermakna dalam, misalnya karya Henri Baude (1430-1495?) dan
Charles Baudelaire (1821-1867) di Perancis. Di tanah air kita banyak terdapat
karya yang menggambarkan tindakan seksual seperti Centhini, dan di India
Kama Sutra. Semua itu tidak dimaksudkan untuk menghasilkan dampak erotis,
tetapi mempunyai tujuan lain.
Banyak lelucon atau cerita rakyat yang menyajikan erotisme, tetapi apakah itu
ditujukan untuk menimbulkan nafsu seksual? Kebanyakan lelucon ditujukan
untuk membuat orang tertawa, dan dalam cerita sering digunakan untuk
memahami permasalahan ”cinta seksual” (lihat misalnya kajian tentang folklor
oleh Danandjaja, 1984) . Strean (1993:49-82) berbicara tentang sexy jokes
(humor bertemakan sex) yang juga mencakup penggambaran berbagai kelainan
seksual. Dalam contoh-contoh yang dikumpulkan oleh Danandjaja dan Strean
banyak sekali gambaran tentang tindakan seksual yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa humor atau efek lucu. Jadi jelas ini bukan pornografi, tetapi
erotisme. Dalam karya erotisme suatu gambaran tentang tindakan seksual
dianggap sebagai bagian penting dari kehidupan pribadi dan sosial.
Contoh lain mengenai bibir. Bibir perempuan dalam masyarakat eropa atau
Amerika merupakan bagian tubuh yang dapat memberikan dampak erotis.
Kelompok masyarakat yang disebut ”modern” di Indonesia, karena pengaruh
kebudayaan Eropa dan Amerika lambat laun memberikan kepada bibir
perempuan juga konotasi erotis. Akan tetapi, belum tentu konotasi seperti itu
terjadi dalam masyarakat lain, misalnya masyarakat pedalaman Papua. Oleh
karena itu, sekarang menjadi jelas mengapa pornografi atau tidaknya sebuah teks
(atau gambar) seringkali tergantung dari kebudayaan masyarakat yang
menanggapinya. Jadi batas yang ”tidak jelas” antara erotisme dan pornografi
adalah karena dampak erotis hanya terjadi karena penafsiran/pemaknaan
pembacanya yang merupakan bagian dari suatu kebudayaan tertentu.
Download