BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi sumber daya manusia, serta memiliki kontribusi yang besar untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia. Keadaan gizi yang baik merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan demi kesejahteraan masyarakat (Depkes RI, 2007). Masalah gizi menimbulkan masalah pembangunan di masa yang akan datang. Keterlambatan dalam memberikan pelayanan gizi akan berakibat kerusakan yang sukar atau tidak dapat ditolong, karena itulah maka usaha-usaha peningkatan gizi terutama harus ditujukan pada anak-anak dan ibu-ibu yang mengandung. Anak-anak masa kini adalah pemimpin-pemimpin, cendekiawan dan pekerja di masa yang akan datang, mereka adalah harapan nusa dan bangsa (Suhardjo, 2003). Menurut Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi balita yang mengalami gizi kurang di Indonesia sebanyak 13,9%, sedangkan jumlah balita yang mengalami gizi buruk sebanyak 5,7%, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu 4,9% (health.detik.com). Adapun prevalensi gizi buruk tahun 2010 di Jawa Timur menurut Riskesdas (2010) sebesar 4,8% dan gizi kurang 12,3%. Sedangkan prevalensi gizi buruk di Kabupaten Malang sebesar 1,6% dan gizi kurang sebesar 8,1% (Seksi Gizi Dinkes Provinsi Jatim, 2012). Menurut Depkes RI (2007) masih tingginya prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia menunjukkan perilaku gizi di tingkat keluarga masih belum baik, yang dapat ditunjukkan dengan persentase anak balita yang dibawa ke posyandu untuk ditimbang sebagai upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan baru sekitar 50%. Bayi dan balita yang telah mendapat kapsul vitamin A baru mencapai 74% dan ibu hamil yang mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) baru mencapai 60%. Demikian pula dengan perilaku gizi lainnya juga masih belum baik yaitu masih rendahnya ibu yang menyusui bayi 0-6 bulan secara 1 eksklusif yang baru mencapai 39%, sekitar 28% rumah tangga belum menggunakan garam beryodium yang memenuhi syarat dan pola makan yang belum beraneka ragam. Untuk menanggulangi masalah gizi di Indonesia, sejak tahun 1999 telah dikeluarkan Inpres nomor 8 tahun 1999 tentang gerakan nasional penanggulangan masalah pangan dan gizi yang diarahkan pada pemberdayaan keluarga, pemberdayaan masyarakat dan pemantapan kerjasama lintas sektor (Almatsier, 2004). Sejalan dengan Inpres tersebut, Departemen Kesehatan RI (2007) menetapkan sasaran prioritas dalam strategi utama untuk mempercepat penurunan gizi kurang pada balita adalah mewujudkan keluarga sadar gizi. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 747/Menkes/SK/VI/2007 ditetapkan bahwa target nasional untuk keluarga sadar gizi (kadarzi) adalah 80% keluarga di Indonesia bisa melaksanakan perilaku sadar gizi atau mencapai status kadarzi. Hal ini didasari karena keluarga mempunyai nilai yang amat strategis dan menjadi inti dalam pembangunan seluruh masyarakat, serta menjadi tumpuan dalam pembangunan manusia seutuhnya (Depkes RI, 2002). Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) adalah keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggota keluarga. Suatu keluarga disebut kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang baik secara terus-menerus. Perilaku sadar gizi adalah menimbang berat badan secara teratur, memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI ekslusif), makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, dan minum suplemen gizi sesuai anjuran (Depkes, 2007). Pada tingkat keluarga, keadaan gizi dipengaruhi oleh tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan perilaku keluarga dalam mengolah dan membagi makanan di tingkat rumah tangga. Hal inilah yang menyebabkan peran ibu sangat dominan dalam memenuhi kecukupan gizi keluarga karena hampir sebagian besar pengambilan keputusan dalam hal penyediaan pangan di rumah tangga dan pola asuh anak dilakukan oleh ibu (Munadhiroh dalam Ridwan, 2010). Gambaran perilaku gizi yang belum baik dapat ditunjukkan berdasarkan hasil kegiatan PSG dengan indikator kadarzi, di Jawa Timur didapatkan 27,8% 2 keluarga sadar gizi, sedangkan di kabupaten Malang didapatkan 18,9% keluarga sadar gizi (Seksi Gizi Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2010). Menurut Survey PSG Kadarzi yang dilakukan oleh Dinkes Kabupaten Malang pada tahun 2013, persentase kadarzi di Kecamatan Pujon yaitu 7% keluarga yang sudah sadar gizi. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa 86,67% responden tidak memahami pengetahuan dan perilaku kadarzi khususnya pada indikator mengkonsumsi makanan beragam. dengan melihat hasil tersebut dapat diketahui bahwa di Jawa Timur, Kabupaten Malang dan Kecamatan Pujon khususnya memiliki jumlah keluarga dengan perilaku kadarzi yang sama-sama sangat rendah yaitu masih jauh di bawah target nasional Depkes RI sebesar 80%. Penelitian sebelumnya tentang pengetahuan kadarzi yang telah dilaksanakan oleh Wijayanti (2011) didapatkan hasil bahwa pengetahuan ibu tentang kadarzi termasuk dalam kategori sedang sebesar 56%. Penelitian lain tentang Kadarzi yang sejenis dilaksanakan oleh Gabriel (2008) menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki pengetahuan gizi dengan kategori sedang dan perilaku kadarzi yang baik, data menunjukkan persentase pengetahuan gizi ibu balita sebanyak 50% memiliki perilaku kadarzi yang baik dengan persentase 89,3%. Hal ini menandakan bahwa pengetahuan gizi seseorang menentukan perilaku gizinya. Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa pengetahuan tentang gizi dan makanan merupakan faktor penentu kesehatan seseorang. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui pengetahuan dan perilaku ibu balita tentang kadarzi di Desa Ngabab Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana pengetahuan dan perilaku ibu balita tentang keluarga sadar gizi (Kadarzi) di Desa Ngabab Kecamatan Pujon ?” 3 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan dan perilaku ibu balita tentang keluarga sadar gizi (Kadarzi) di Desa Ngabab Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik ibu balita yang meliputi umur, tingkat pendidikan terakhir, pekerjaan, pendapatan, pekerjaan suami dan besar keluarga. b. Mengetahui pengetahuan kadarzi ibu balita c. Mengetahui gambaran perilaku kadarzi ibu balita d. Menganalisis gambaran pengetahuan dan perilaku kadarzi ibu balita D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Lokasi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku ibu balita terhadap program Kadarzi, dan dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan program pelayanan kesehatan dalam bidang gizi keluarga untuk Pihak Puskesmas Pujon. 2. Bagi Institusi Pendidikan Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan menambah informasi terhadap institusi pendidikan serta mahasiswa lainnya tentang Kadarzi. 3. Bagi Peneliti Dengan adanya penelitian ini peneliti dapat menambah pengalaman dan proses belajar tentang Kadarzi. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) 1. Pengertian Kadarzi Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI, 2007), Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) adalah suatu keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. Suatu keluarga disebut Kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan : a. Menimbang berat badan secara teratur. Hal ini perlu dilakukan karena perubahan berat badan menggambarkan perubahan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan pada suatu keluarga. b. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI ekslusif). ASI merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan sehat. ASI dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan (ASI ekslusif). ASI sangat praktis karena dapat diberikan setiap saat. Selain itu, ASI dapat meningkatkan kekebalan tubuh bayi serta mempererat hubungan kasih sayang antara ibu dan bayi (Depkes RI, 2004). c. Makan beraneka ragam. Tubuh manusia memerlukan semua zat gizi (energi, lemak, protein, vitamin dan mineral) sesuai kebutuhan. Tidak ada satu jenis bahan makanan pun yang lengkap kandungan gizinya. Dengan mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam akan menjamin pemenuhan kebutuhan gizi keluarga (Depkes RI, 2004) d. Menggunakan garam beryodium Zat yodium diperlukan tubuh setiap hari. Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) menimbulkan penurunan kecerdasan, gangguan pertumbuhan dan pembesaran kelenjar gondok (Depkes RI, 2004) 5 e. Minum suplemen gizi (TTD [Tablet Tambah Darah], kapsul Vitamin A dosis tinggi) sesuai anjuran. Kebutuhan zat gizi pada kelompok bayi, balita, ibu hamil dan menyusui meningkat dan seringkali tidak bisa dipenuhi dari makanan sehari-hari, terutama vitamin A untuk balita, zat besi untuk ibu dan yodium untuk penduduk di daerah endemis gondok. Suplementasi zat gizi (tablet, kapsul atau bentuk lain) diperlukan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi tersebut (Depkes RI, 2004). Pada umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan dasar mengenai gizi. Namun demikian, sikap dan keterampilan serta kemauan untuk bertindak memperbaiki gizi keluarga masih rendah. Sebagian keluarga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Sebagian keluarga juga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan tidak mempunyai keterampilan untuk penyiapannya (Depkes RI, 2007). 2. Sasaran Kadarzi a. Seluruh pengambil keputusan di pusat, provinsi dan kabupaten/kota memahami dan mengeluarkan kebijakan yang mendukung promosi KADARZI. Para pengambil keputusan terdiri dari : 1). Pimpinan departemen terkait 2). Ketua DPR/DPRD 3). Gubernur dan Bupati/walikota 4). Kepala dinas sektor terkait b. Seluruh mitra potensial yang terkait melakukan aksi nyata untuk menumbuhkembangkan perilaku KADARZI. Para mitra potensial yaitu : 1). Sektor terkait 2). Lembaga Swadaya Masyarakat 3). Organisasi masyarakat 4). Asosiasi profesi 6 5). Tokoh masyarakat 6). Media massa 7). Dunia usaha/swasta 8). Lembaga donor c. Terbentuknya Jejaring KADARZI di pusat, provinsi dan kabupaten/kota d. 80% keluarga menerapkan perilaku KADARZI Menurut Depkes RI (2004), keluarga menjadi sasaran KADARZI disebabkan oleh : a. Pengambilan keputusan dalam bidang pangan, gizi dan kesehatan dilaksanakan terutama di tingkat keluarga. b. Sumber daya dimiliki dan dimanfaatkan di tingkat keluarga. c. Masalah gizi yang terjadi di tingkat keluarga, erat kaitannya dengan perilaku keluarga, tidak semata-mata disebabkan oleh kemiskinan dan ketidaktersediaan pangan. d. Kebersamaan antar keluarga dapat memobilisasi masyarakat untuk memperbaiki keadaan gizi dan kesehatan. 3. Indikator Kadarzi Menurut Depkes RI (2007), indikator Kadarzi digunakan untuk mengukur tingkat sadar gizi keluarga. Pengukuran Kadarzi diukur minimal dengan lima indikator yang penggunaannya disesuaikan dengan karakteristik keluarga, yang telah ditentukan oleh Kepmenkes RI No. 747/Menkes/VI/2007 seperti pada tabel 1. Tabel 1. Penilaian Indikator Kadarzi Berdasarkan Karakteristik Keluarga No. Karakteristik Keluarga Indikator KADARZI yang berlaku *) 1 2 3 4 5 Keterangan 1 Bila keluarga mempunyai Ibu hamil, bayi 0-6 bulan, balita 6-59 bulan, √ √ √ √ √ Indikator ke 5 yang digunakan adalah balita mendapat kapsul vitamin A 2 Bila keluarga mempunyai bayi 0-6 bulan, balita 6-59 bulan, √ √ √ √ √ - 7 3 Bila keluarga mempunyai ibu hamil, balita 6-59 bulan, √ - √ √ √ Indikator ke 5 yang digunakan adalah balita mendapat kapsul vitamin A √ Indiakator ke 5 yang digunakan adalah ibu hamil mendapat TTD 90 tablet Indikator ke 5 yang digunakan adalah ibu nifas mendapat suplemen gizi 4 Bila keluarga mempunyai Ibu hamil 5 Bila keluarga mempunyai bayi 0-6 bulan √ √ √ √ √ 6 Bila keluarga mempunyai balita 6-59 bulan √ - √ √ √ - 7 Bila keluarga tidak mempunyai bayi, balita dan ibu hamil - - √ √ - - - - √ √ *) Keterangan: 1. Menimbang berat badan secara teratur. 2. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI eksklusif). 3. Makan beraneka ragam. 4. Menggunakan garam beryodium. 5. Minum suplemen gizi (TTD, kapsul Vitamin A dosis tinggi) sesuai anjuran. √ : berlaku - : tidak berlaku 4. Penilaian Kadarzi Menurut Depkes RI (2007), Keluarga Sadar Gizi merupakan gambaran keluarga yang berperilaku gizi seimbang, mampu mengenali dan memecahkan masalah gizi anggota keluarganya. Perilaku gizi seimbang adalah pengetahuan, sikap dan praktik keluarga meliputi konsumsi makanan seimbang dan berperilaku sehat. Makanan seimbang adalah pilihan makanan keluarga yang mengandung semua zat gizi yang diperlukan masing-masing anggota keluarga 8 dan jumlah sesuai dengan kebutuhan serta bebas dari pencemaran. Suatu keluarga disebut Kadarzi apabila telah berperilaku gizi baik dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. Menimbang Berat Badan Secara Teratur Status gizi balita erat hubungannya dengan pertumbuhan anak, oleh karena itu perlu suatu ukuran/ alat untuk mengetahui adanya kekurangan gizi dini, monitoring penyembuhan kurang gizi dan efektivitas suatu program pencegahan. Sejak tahun 1980-an pemantauan berat badan anak balita telah dilakukan di hampir semua desa di Indonesia melalui posyandu. Dengan meningkatkan mutu penimbangan dan pencatatannya, maka melalui posyandu dimungkinkan untuk memantau status gizi setiap anak balita di wilayahnya (Soekirman, 2000). Menurut Depkes RI (2002) berat badan balita perlu ditimbang setiap bulannya karena perubahan berat badan menggambarkan perubahan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan. Cara memantau berat badan anak adalah dengan cara ditimbang di posyandu atau di tempat lain sekurang-kurangnya dua bulan sekali. Lalu berat badan anak dimasukkan dalam KMS. Bila KMS naik sesuai dengan garis pertumbuhan, berarti anak sehat, sedangkan bila grafiknya tidak naik berarti ada penurunan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan dan perlu ditindaklanjuti oleh keluarga atau meminta bantuan petugas kesehatan. Pelayanan posyandu yang berhubungan dengan pemantauan pertumbuhan balita meliputi penimbangan berat badan, penentuan status pertumbuhan, serta tindak lanjut hasil pemantauan pertumbuhan berupa konseling dan rujukan kasus. Pemantauan pertumbuhan balita yang dilakukan dengan menimbang selain di posyandu bisa juga dilakukan di rumah atau tempat lain setiap bulan dengan menggunakan alat penimbang badan. Dapat dipantau dengan melihat catatan penimbangan balita pada KMS selama 6 bulan terakhir yaitu bila bayi berusia > 6 bulan ditimbang 4 kali atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika kurang dari 4 kali dianggap belum baik. Bila bayi 4 - 5 bulan ditimbang 3 kali atau lebih dinilai baik dan jika kurang dari 3 kali dinilai belum baik. Bila 9 bayi berusia 2 bulan ditimbang 2 kali atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika kurang dinilai belum baik, dan pada bayi yang masih berumur 0-1 bulan, baik jika pernah ditimbang dan belum baik jika tidak pernah ditimbang Menimbang berat badan secara teratur merupakan salah satu cara yang efektif dilakukan dalam upaya memantau pertumbuhan balita, karena berat badan tidak naik satu kali sudah merupakan indikator penting yang tidak boleh diabaikan, karena semakin sering berat badan tidak naik maka risiko untuk mengalami gangguan pertumbuhan akan semakin lancar. b. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) Saja Kepada Bayi Sejak Lahir Sampai Umur 6 Bulan (ASI Ekslusif) Menurut Soekirman, dkk. (2006), ASI memberikan gizi yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan. Oleh karena itu, selama 6 bulan bayi cukup diberi ASI saja (ASI Ekslusif). Kegunaan memberikan ASI saja, yaitu asi merupakan makanan bayi yang paling sempurna, sempurna murah dan mudah memberikannya pada bayi, ASI saja dapat mencukupi kebutuhan bayi untuk tumbuh kembang dengan normal pada bayi sampai berumur 6 bulan. Selain itu dengan memberikan ASI kepada bayi dapat menjalin hubungan kasih sayang antara ibu dan bayi. Bagi ibu, ASI memberikan manfaat yang besar yaitu mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mencegah / mengurangi terjadinya anemia, menunda kembalinya kesuburan ibu sesudah melahirkan sehingga dapat menjaga waktu hingga kehamilan berikutnya, membantu rahim kembali ke ukuran semula, mempercepat penurunan berat badan seperti sebelum hamil, mengurangi kemungkinan menderita kanker ovarium dan payudara, lebih ekonomis, serta tidak merepotkan. Memberikan ASI Ekslusif dijadikan sebagai salah satu indikator perilaku Kadarzi dengan harapan dapat meningkatkan status gizi balita yang berpengaruh pada kualitas hidupnya di masa mendatang. c. Makan Beraneka Ragam Makanan Menurut Sunita Almatsier (2004), makan beraneka ragam jenis bahan makanan merupakan upaya untuk menganekaragamkan pola konsumsi pangan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang 10 dikonsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi masyarakat. Pada dasarnya penganekaragaman konsumsi pangan merupakan upaya perubahan perilaku manusia dalam memilih pangan untuk dikonsumsi. Selain dari faktor pengetahuan dan faktor ekonomi, hal ini juga dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di pasar/tempat-tempat makan dalam bentuk yang mudah diolah, mempunyai daya simpan, bersih, aman, serta memenuhi cita rasa (inderawi). Hal ini juga perlu disesuaikan dengan kebiasaan makan serta perkembangan sistem budaya dan ekonomi masyarakat. Pemenuhan gizi yang lengkap dan seimbang diperlukan makanan yang beraneka ragam. Mengkonsumsi makanan hanya satu jenis makanan dalam jangka waktu relatif lama dapat mengakibatkan berbagai penyakit kekurangan gizi atau gangguan kesehatan. Keanekaragaman makanan dalam hidangan sehari-hari yang dikonsumsi, minimal harus berasal dari satu jenis makanan sumber zat pengatur, ini adalah penerapan prinsip penganekaragaman yang minimal. Makanan sumber zat tenaga antara lain beras, jagung, gandum, ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, roti dan mi. Minyak dan santan yang mengandung lemak juga dapat menghasilkan tenaga. Makanan sumber zat pembangun yang berasal dari hewan adalah telur, ikan, ayam, daging, susu serta hasil olahan seperti keju. Zat pembangun berperan penting untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan seseorang. Makanan sumber zat pengatur adalah semua sayur-sayuran dan buah-buahan. Makanan ini mengandung berbagai vitamin dan mineral yang berperan untuk melancarakan bekerjanya fungsi organ tubuh. Menurut Kepmenkes RI No. 747/Menkes/SK/VI/2007 makan beranekaragam adalah keluarga mengkonsumsi makanan pokok, laukpauk, sayur dan buah setiap hari. Cara pengumpulan data dilakukan dengan cara menanyakan kepada ibu tentang konsumsi lauk hewani, sayur dan buah dalam menu makanan selama tiga hari terakhir. Makan beranekaragam dikatakan baik bila sekurang-kurangnya dalam 1 hari keluarga makan lauk hewani dan buah, dan dikatakan belum baik bila tidak makan lauk hewani dan buah. 11 Menurut G. Kartasapoetra (2005), tingkat konsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah tingkat pengetahuan, tingkat pendapatan dan ketersediaan bahan makanan. d. Menggunakan Garam Beryodium Garam beryodium, yaitu garam yang telah ditambah zat yodium yang diperlukan oleh tubuh. Mengkonsumsi garam beryodium setiap hari sangat penting karena zat yodium diperlukan tubuh setiap hari. Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) akan menimbulkan penurunan kecerdasan, gangguan pertumbuhan dan pembesaran kelenjar gondok. Ironisnya kandungan yodium dalam air dan tanah di beberapa daerah belum mencakup kebutuhan (Depkes RI, 2007) Menurut Arisman (2007), defisiensi yodium akan menguras cadangan yodium serta mengurangi produksi T4 yang dapat menyebabkan gondok. Kekurangan yodium pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan pada janin yang menyebabkan kretinisme endemis (kemunduran mental, bisu, tuli). Defisiensi yodium pada bayi yang baru lahir dapat menyebabkan gangguan perkembangan otak. Untuk mengetahui garam yang digunakan oleh keluarga mengandung yodium atau tidak secara umum dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melihat ada tidaknya label garam beryodium atau melakukan test yodina. Disebut baik jika berlabel dan bila ditest dengan yodina berwarna ungu, tidak baik jika tidak berlabel dan bila ditest dengan yodina warna tidak berubah (Depkes RI, 2007). e. Mendapatkan Dan Memberikan Suplemen Gizi Menurut Depkes RI (2007), suplementasi zat gizi (tablet, kapsul atau bentuk lain) diperlukan untuk memenuhi zat gizi bayi, balita, ibu hamil dan ibu menyusui karena kebutuhan zat gizi pada kelompok tersebut akan terus meningkatkan dan seringkali tidak bisa dipenuhi dari makanan sehari-hari terutama vitamin A, zat besi dan yodium. Pemberian suplemen gizi berupa mendapatkan kapsul vitamin A biru pada bulan Februari atau Agustus untuk bayi 6-11 bulan, dan anak balita 12-59 bulan mendapat kapsul vitamin A merah setiap bulan Februari dan Agustus. 12 5. Faktor yang Berpengaruh terhadap Praktek Keluarga Sadar Gizi Dalam rangka mewujudkan perilaku Keluarga Sadar Gizi sejumlah aspek perlu dicermati. Aspek ini berada di semua tingkatan yang mencakup tingkat keluarga, tingkat masyarakat, tingkat pelayanan kesehatan dan tingkat pemerintah. Di tingkat keluarga, aspek tersebut adalah pengetahuan dan keterampilan keluarga. Sementara di tingkat masyarakat yang perlu diperhatikan sebagai faktor pendukung perubahan perilaku keluarga adalah norma yang berkembang di masyarakat, dukungan pemangku kepentingan yang mencakup eksekutif, legislatif, tokoh agama/masyarakat, LSM, ormas, media massa dan sektor swasta. Sedangkan di tingkat pelayanan kesehatan mencakup pelayanan preventif dan promotif serta di tingkat pemerintahan mencakup adanya kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Sediaoetama (2006) perilaku gizi di tingkat keluarga merupakan salah satu manifestasi gaya hidup keluarga yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi di keluarga adalah pendapatan, pendidikan, lingkungan hidup (tempat tinggal, faktor fisiologis/umur), pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama (budaya), sikap tentang kesehatan, pengetahuan gizi. Struktur keluarga adalah individu-individu dalam keluarga sesuai dengan perannya masing-masing yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Dalam struktur keluarga, ibu mempunyai peran dominan dalam penerapan perilaku gizi keluarga karena pada umumnya di Indonesia ibu bertanggungjawab penuh dalam penyediaan makanan bagi keluarga dan pola pengasuhan anak sehingga masing-masing individu dalam keluarga mengikuti perilaku gizi yang diterapkan oleh ibu terutama dalam konsumsi makanan dan pengasuhan anak. Sedangkan menurut Depkes RI (2007) perilaku keluarga sadar gizi dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap ibu, kepercayaan, tradisi dalam keluarga dan peran tokoh masyarakat serta keterpaparan informasi kadarzi. 13 a). Karakteristik Keluarga 1). Umur Umur berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari di luar faktor pendidikannya (Sediaoetama, 2006). Umur juga akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang seiring dengan perkembangan fisik dan mental orang tersebut sehingga perilakunya akan semakin matang dengan bertambahnya umur (Gunarsa, 2004). 2). Pendidikan Orang Tua Pendidikan yang rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan seseorang yang pendidikannya lebih tinggi. Walaupun pendidikan seorang ibu itu rendah akan tetapi dia bisa mendapatkan pengetahuan gizi dari luar formal seperti dari penyuluhan, diskusi, dll. Tetapi memang perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. (Susidasari, 2000) Menurut Soetjiningsih (2004), orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta pemberian makan yang sehat dan bergizi bagi keluarga terutama untuk anaknya sejalan dengan Suhardjo (2003) apabila tingkat pendidikan baik maka tingkat pengetahuan pun baik pula, sehingga dapat memilih bahan makanan yang cukup gizi karena status gizi yang baik dipengaruhi oleh tingkat konsumsi yang baik pula. Diharapkan dengan tingkat pengetahuan yang baik dapat menerapkan perilaku sadar gizi sedangkan menurut Supariasa (2002) selain dari segi sosial dan ekonomi, pendidikan juga mempengaruhi kualitas manusia. 3). Pekerjaan Menurut Sediaoetama (2006), pekerjaan adalah mata pencaharian, apa yang dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur dan lain-lain. 14 Ibu dikatakan bekerja apabila ibu mempunyai aktifitas di luar rumah untuk menghasilkan uang dan dikatakan tidak bekerja apabila ibu tidak mempunyai aktifitas di luar rumah untuk menghasilkan uang atau sebagai ibu rumah tangga (Depkes RI, 2007) 4). Pendapatan Keluarga Keluarga dengan pendapatan terbatas besar kemungkinan tidak dapat memenuhi kebutuhan makanannya, setidaknya keanekaragaman bahan makanan kurang bisa dijamin. Pada keluarga dimana hanya ayah yang mencari nafkah tertentu berbeda dengan besarnya pendapatan keluarga yang mengandalkan sumber keuangan dari ayah dan ibu serta pekerjaan sampingan yang bisa di usahakan sendiri dirumah. Keterbatasan kesempatan kerja yang bisa segera menghasilkan uang, biasanya untuk pekerjaan diluar usaha tani, juga sangat mempengaruhi besar kecilnya pendapatan keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan dalam jumlah yang mencukupi juga amat dipengaruhi oleh harga bahan makanan. Bahan makanan yang mahal harganya biasanya jarang, atau bahkan tidak pernah dibeli. Hal ini menyebabkan satu jenis bahan makanan tidak pernah dihidangkan dalam susunan makanan keluarga. Menghadapi ini ada ibu-ibu rumah tangga yang menjalankan cara tertentu. Agar bisa mendapatkan bahan makanan yang mahal dengan harga lebih murah, biasanya mereka berbelanja setelah pasar mulai sepi. Hanya saja masih perlu dipertanyakan apakah para ibu tersebut bisa memilih bahan makanan yang mutu gizinya masih baik. Oleh karena itu tingkat ekonomi keluarga sangat berpengaruh terhadap kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarganya (Susidasari, 1999). Sejalan dengan Budiyanto dalam Ridwan (2010), bahwa tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan keluarga tidak dapat mengkonsumsi makanan yang beranekaragam dalam menu sehari-hari, sehingga hanya mampu makan dengan makanan yang kurang berkualitas baik jumlah maupun gizinya. Menurut Yuliana (2004) besarnya pendapatan yang diperoleh setiap keluarga tergantung dari pekerjaan mereka sehari-hari. Pendapatan dalam satu keluarga akan memengaruhi aktivitas keluarga dalam pemenuhan 15 kebutuhan sehingga akan menentukan kesejahteraan keluarga termasuk dalam perilaku gizi seimbang. Sejalan dengan Suhardjo (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak salah satunya adalah tingkat ekonomi. Bila tingkat ekonomi tinggi dapat memilih bahan makanan yang cukup gizi karena status gizi dipengaruhi oleh tingkat konsumsi yang baik pula. Menurut Apriadji dalam Ridwan (2010) keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anggota keluarganya. Berdasarkan UMR Kabupaten Malang, pendapatan penduduk dibagi menjadi 2 golongan, yaitu : I. II. Pendapatan di bawah UMK : jika pendapatan < Rp 1.635.000,- per bulan Pendapatan di atas UMK : jika pendapatan > Rp 1.635.000,- per bulan (Pergub Jatim No.38, 2013) B. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan manusia. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu : 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan, tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 16 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai mengingat suatu kemampuan untuk menjelaskan secara besar tentang objek yang diketahui dan dapat juga menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. 4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lainnya. 5. Sintetis (synthesis) Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyususn formulasi baru di formulasi-formulasi yang ada. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi/penilaian terhadap suatu materi/objek. Menurut Wijayanti (2011), tingkat pengetahuan gizi yang tinggi dapat membentuk sikap yang positif terhadap masalah gizi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah pendidikan, usia, pengalaman, penyuluhan, media massa dan sosial budaya. Pada akhirnya pengetahuan akan mendorong seseorang untuk menyediakan makanan sehari-hari dalam jumlah dan kualitas gizi yang sesuai dengan kebutuhan. Kadar gizi anak dipengaruhi oleh pengasuhnya dalam hal ini ibu. Oleh karena itu sebagai orang tua harus memiliki pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan makanan yang dibutuhkan anaknya, terutama ibu yang menyiapkan makanan anak harus mengetahui tentang 5 perilaku Keluarga Sadar Gizi agar dapat memenuhi tingkat konsumsi energi dan protein anak untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan, sedangkan menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan tentang gizi dan makanan merupakan faktor penentu kesehatan seseorang. 17 Cara mengukur tingkat pengetahuan dengan cara scoring (Khomsan, 2004), yaitu : a). Tingkat pengetahuan baik bila didapatkan hasil > 80% jawaban benar b). Tingkat pengetahuan cukup bila didapatkan hasil 60-80% jawaban benar c). Tingkat pengetahuan kurang bila didapatkan hasil < 60% jawaban benar C. Perilaku 1. Pengertian Perilaku adalah suatu aktifitas daripada manusia itu sendiri (Notoatmodjo, 2003). Sedangkan menurut Robert Kwick (1974) dalam Notoatmodjo menyatakan perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Skinner (1983) dalam Notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respons). Menurut para ahli psikologi dalam Supariasa (2013) perilaku adalah kegiatan-kegiatan manusia atau makhluk hidup lainnya yang dapat dilihat secara langsung dan atau untuk melihatnya diperlukan bantuan peralatan atau teknologi khusus. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah makhluk hidup. Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Selain itu Sarwono (1993) menyebutkan manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Menurut Blum (1974) dalam Solita Sarwono 1993, menjelaskan bahwa perilaku itu lebih besar perannya dalam menentukan pemanfaatan sarana kesehatan, dibandingkan dengan penyediaan sarana kesehatan itu sendiri. 18 2. Stimulus atau Rangsangan Perilaku a. Perilaku Seseorang terhadap Sakit Dan Penyakit Bagaimana manusia berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsi penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya) maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit. b. Perilaku terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan Respons seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatan. c. Perilaku terhadap Makanan Yakni respons seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi sikap dan praktik terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung, pengelolaan makanan dan sebagainya. d. Perilaku terhadap Lingkungan Kesehatan Respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. 3. Respons Perilaku Menurut Skinner (1983) dalam (Notoatmodjo, 2003) membagi respons menjadi dua yaitu a. Responden respons atau reflexive respons Adalah respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Rangsangan ini disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan responsrespons yang relatif tetap. b. Operant respons atau instrumental respons Adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsangan-perangsangan tersebut memperkuat 19 respons yang telah dilakukan oleh seseorang. Oleh sebab itu perangsang yang demikian itu mengikuti atau memperkuat sesuatu perilaku tertentu yang telah dilakukan. 4. Bentuk Perilaku Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek. Respons ini menurut Notoatmodjo (2003) berbentuk dua macam, yaitu : a. Bentuk pasif Adalah respons internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung misal seorang ibu membawa anaknya ke puskesmas. b. Bentuk aktif Adalah apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung misal seorang ibu membawa anaknya ke puskesmas. 5. Prosedur Pembentukan Perilaku Sebagian besar perilaku manusia adalah operant respons. Untuk itu, untuk membentuk jenis respons atau perilaku ini perlu diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut Skinner dalam (Notoadmodjo, 2003) adalah sebagai berikut : a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk. b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen- komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud. c. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut. 20 d. Melakukan pembentukan perilaku, dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. 6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Perilaku Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua, yakni faktor intern dan ekstern (Notoatmodjo, 2003). a. Faktor intern meliputi pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi. b. Faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan. 7. Klasifikasi Perilaku Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2003) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan sebagai berikut : a. Perilaku kesehatan (health behavior) adalah hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. b. Perilaku sakit (illness behavior) adalah segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang individu yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadan kesehatannya atau rasa sakit. c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) adalah segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. 8. Domain Perilaku Kesehatan Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007) membagi perilaku dalam 3 domain yaitu ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain) dan ranah psikomotor (psychomotor domain). Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukur hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari : 21 a. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003). b. Sikap (attitude) Sikap adalah suatu kesadaran individu yang menentukan perbuatanperbuatan yang nyata ataupun yang mungkin akan terjadi di dalam kegiatan-kegiatan sosial. Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup di dalam diri seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). c. Praktek atau tindakan (practice) Tindakan atau practice adalah tindakan nyata subyek terhadap adanya stimulus. Menurut Slamet (1993), cara mengukur perilaku dengan cara skoring, Interval skor untuk tiap kategori perilaku ditentukan berdasarkan rumus interval yaitu : 1 untuk pilihan jawaban yang termasuk kategori rendah 2 untuk pilihan jawaban yang termasuk kategori sedang 3 untuk pilihan jawaban yang termasuk kategori baik Sedangkan untuk jumlah total skor berkisar antara 15-45, dengan perincian sebagai berikut : Dikategorikan rendah jika total skor 15 – 24 Dikategorikan sedang jika total skor 25 – 35 Dikategorikan baik jika total skor 36 – 45 22 BAB III KERANGKA KONSEP Karakteristik Keluarga - Umur Pendidikan Pekerjaan Pendapatan keluarga Perilaku Kadarzi Ibu - Makan beraneka ragam Penimbangan rutin BB Penggunaan garam beryodium Pemberian ASI ekslusif Suplementasi gizi Pengetahuan Kadarzi Ibu Penjelasan : Perilaku kadarzi ibu yang di dalamnya memiliki lima indikator meliputi makan beraneka ragam, penimbangan berat badan secara rutin, penggunaan garam beryodium, pemberian ASI ekslusif dan suplementasi gizi dipengaruhi oleh pengetahuan kadarzi ibu dan karakteristik keluarga yang meliputi umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga 23 BAB IV METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif observasional karena penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat (Notoatmodjo, 2010). Desain penelitian yang digunakan yaitu studi kasus (case study), dimana peneliti akan menganalisis faktafakta yang berkaitan dengan pengetahuan dan perilaku ibu balita di Desa Ngabab Kecamatan Pujon Kabupaten Malang secara mendalam. B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Ngabab Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2014. C. Sasaran Sasaran yang diambil untuk penelitian ini berjumlah 10 orang, yaitu ibu balita yang diambil dari 4 posyandu di Desa Ngabab Pujon Kabupaten Malang. Sasaran harus memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi seperti di bawah ini. Kriteria Inklusi : a. Berdomisili di wilayah penelitian b. Responden adalah ibu yang memiliki balita berumur 6 – 12 bulan c. Tidak buta huruf d. Bersedia menjadi subjek penelitian Kriteria Ekslusi : a. Tidak bersedia menjadi subjek penelitian b. Tidak berdomisili di wilayah penelitian c. Ibu tidak memiliki balita berumur 6 – 12 bulan 24 D. Definisi Operasional Variabel Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Variabel Pengetahuan kadarzi Ibu Perilaku kadarzi ibu Kadarzi Definisi Cara Ukur Alat Ukur Kategori Skala Ukur Ordinal Segala hal yang Wawancara diketahui oleh ibu tentang keluarga yang mampu melakukan 5 indikator keluarga sadar gizi. Praktek / tindakan- Observasi tindakan ibu yang berkaitan dengan gizi keluarga yang meliputi 5 indikator keluarga sadar gizi. Kuesioner - Baik (>80%) - Sedang (60 – 80%) - Kurang (60%) Form checklist perilaku - Baik (36-45) - Sedang (25-35) - Rendah (15-24) Suatu keluarga yang Observasi mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya Form KADARZI apabila Nominal rekapitulasi memenuhi 5 kadarzi kriteria di bawah ini : 1. Menimbang berat badan balita ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir 2. Memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI ekslusif) 3. Keluarga mengkonsumsi lauk hewani dan buah dalam menunya selama 3 hari terakhir 4. Menggunakan garam beryodium 5. Balita mendapat kapsul vitamin A biru pada bulan Februari dan Agustus Ordinal Tidak KADARZI apabila salah satu dari kriteria di atas tidak terpenuhi 25 E. Instrumen Penelitian 1. Surat pernyataan kesediaan menjadi responden 2. Form identitas responden 3. Kuesioner pengetahuan ibu balita tentang kadarzi 4. Form check list observasi perilaku ibu balita tentang kadarzi 5. Form rekapitulasi kadarzi F. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder 1. Data Primer Data yang diambil secara obyektif berkaitan dengan responden yaitu : a. Data Gambaran Umum Responden diperoleh dari pengisian form identitas responden yang meliputi karakteristik responden b. Data Pengetahuan Kadarzi Ibu Balita diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner c. Data Perilaku Kadarzi Ibu Balita diperoleh dari wawancara dengan menggunakan form check list dan observasi. 2. Data Sekunder Data yang diperoleh dari kecamatan berkaitan dengan gambaran umum lokasi penelitian dan jumlah penduduk total. G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data 1. Data Gambaran Umum Responden Data disajikan dalam bentuk tabel dan dan grafik serta dijelaskan secara deskriptif. 2. Data Pengetahuan Ibu tentang Kadarzi Data disajikan dalam bentuk tabel dan dijelaskan secara deskriptif. Data pengetahuan ibu tentang kadarzi dikategorikan berdasarkan jawaban responden yang benar. Cara mengukur pengetahuan ibu tentang kadarzi dengan cara skoring (Khomsan, 2004), yaitu : a. Tingkat pengetahuan baik bila didapatkan hasil > 80% jawaban benar b. Tingkat pengetahuan cukup bila didapatkan hasil 60-80% jawaban benar c. Tingkat pengetahuan kurang bila didapatkan hasil < 60% jawaban benar 26 3. Data Perilaku Ibu tentang Kadarzi Data disajikan dalam bentuk tabel dan dijelaskan secara deskriptif. Data perilaku ibu tentang kadarzi dikategorikan berdasarkan jawaban responden yang benar. Cara mengukur perilaku ibu tentang kadarzi dengan cara skoring, Interval skor untuk tiap kategori perilaku kadarzi ditentukan berdasarkan rumus interval Slamet (1993), yaitu : 1 untuk pilihan jawaban yang termasuk kategori rendah 2 untuk pilihan jawaban yang termasuk kategori sedang 3 untuk pilihan jawaban yang termasuk kategori baik Sedangkan untuk jumlah total skor berkisar antara 15-45, dengan perincian sebagai berikut : Dikategorikan rendah jika total skor 15 – 24 Dikategorikan sedang jika total skor 25 – 35 Dikategorikan baik jika total skor 36 – 45 4. Data Kadarzi Data kadarzi dapat dikategorikan sebagai berikut : KADARZI apabila memenuhi 5 kriteria di bawah ini : 1. Menimbang berat badan balita ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir 2. Memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI ekslusif) 3. Menyediakan makanan pokok, lauk hewani atau nabati, sayur atau buah dalam menunya selama tiga hari terakhir 4. Menggunakan garam beryodium 5. Balita minum kapsul vitamin A dosis tinggi dalam 6 bulan terakhir. Tidak KADARZI apabila salah satu dari kriteria di atas tidak terpenuhi 5. Data Pendapatan Keluarga Data diolah berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan form identitas responden, kemudian ditabulasikan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut : Di bawah UMK : jika pendapatan < Rp 1.635.000,- per bulan Di atas UMK : jika pendapatan > Rp 1.635.000,- per bulan (Pergub Jatim No. 78, 2013) 27 6. Analisis Data Pengetahuan dan Perilaku Kadarzi Ibu Data pengetahuan dan perilaku kadarzi ibu disajikan dalam bentuk tabel, diolah dan dijelaskan secara deskriptif. 28