FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA MATEMATIKA “Matematika Sebagai Bahasa” Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari penyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Matematika adalah bahasa berusaha untuk menghilangkan sifat kubur, majemuk emosional dari bahasa verbal. “Sifat Kuantitatif dari Matematika” Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak, menyebabkan daya prediksi dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat. Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Pernyataan Ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti “Sebatang logam jika dipanaskan akan memanjang” dapat diganti dengan pernyataan matematik yang lebih eksak umpamanya: Pᵼ = Pₒ (1 + ђt) Dimana Pᵼ merupakan panjang logam pada temperatur t, Pₒ merupakan panjang logam tersebut pada temperatur nol dan ђ merupakan koefisien pemuai logam tersebut. Sifat kuantitatif matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Metematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Pada dasarnya matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan untuk meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu tesebut. “Matematika : Sarana Berfikir Deduktif” Berfikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Untuk menghitung jumlah sudut dalam segitiga kita mendasarkan kepada premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis ketiga adalah sama. Premis yang kedua adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat. Dengan demikian maka secara deduktif dapat dibuktikan bahwa jumlah sudut-sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 derajat. Secara deduktif ini sungguh sangat berguna dan memberikan kejutan yang sangat menyenangkan. “Perkembangan Matematika” Ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komparatif dan kuantitatif. Pada tahap sistematika maka ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris kedalam kategori-kategori tertentu. Penggolongan ini memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yangb bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap yang kedua ini kita mulai melakukan perbandingan antara obyek yang lain, kategori yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Pada tahap kuantitatif dimana kita mencari hubungan sebab akibat, tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang kita selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama namun dalam tahap yang ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematikan bukan saja jelas namun juga eksak dengan mengandug informasi tentang obyek tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran. Matematika menurut Wittgenstein, tak lain adalah metode berfikir logis. Dan Bertrand menyimpulkan “matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika.” Metematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Dinyatakan bahwa xⁿ + yⁿ = zⁿ dengan x, y, z dan n adalah bilangan bulat positif yang tidak mempunyai jawaban bila n = 2. Atau dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang memenuhipersyaratan ini seperti 3¹ + 4¹ = 7¹ (penjumlahan biasa) dan 3² + 4² = 5². Matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak tergantung kepada pembuktian secara empiris. Penghitungan matematika bukanlah suatu eksperimen. Wittgenstein membuktikan bahwa 2 X 2 = 4 merupakan suatu proses deduktif. Menurut akal sehat sehari-hari, kebenaran matematika tidak ditentukan oleh pembuktian secara empiris, melainkan kepada proses penalaran deduktif. Misalkan, Seseorang memasukkan bebek 2 ekor pada pagi hari, dan pada siang hari dimasukkan 2 ekor bebek lagi, dan pada malam hari dia akan mengharapkan jumlah bebek semuanya menjadi 4 ekor. Griffits dan Howson (1974) membagi sejarah perkembangan matematika menjadi empat tahap. Tahap pertama adalah peradaban Mesir Kuno dipergunakan dalam perdagangan, pertanian, bangunan dan usaha mengontrol alam seperti banjir. Aspek praktis dari matematika inilah yang merupakan tujuan utama. Tahap kedua dan ketiga berlangsung dalam peradaban di Mesopotamia dan Babylonia, turut mengembangkan kegunaan praktis dari matematika. Dalam tahap keempat, peradaban Yunani memperhatikan aspek estetik dari matematika. Peradaban Yunani meletakkan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional. Babak perkembangan matematika terjadi di Timur, sekitar tahun 1000, bangsa Arab, India dan Cina mengembangkan ilmu hitung dan aljabar dan mendapatkan angka nol dan cara penggunaan decimal, mengembangkan kegunaan praktis dari ilmu hitung dan aljabar tersebut. Zaman Renaissance yang meletakkan dasar bagi kemajuan matematika modern, menemukan diantaranya kalkulus diferensial. Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda, kata Fehr, sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika, pelayan matematika memberikan bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis, namn juga pernyataan-pernyataan dalam bentuk model sistematik. Matematika bukan saja menyampaikna informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat. Dalam bahasa matematik cukup ditulis dengan model yang sederhana sekali. Matematika sebagai bahasa mempunyai cirri, sebagaimana dikatakan Morris Kline, bersifat ekonomis dengan kata-kata. Matematika merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya serta dikomukasikannya kebenaran ilmiah lewat berbagai disiplin keilmuan. Kriteria kebenaran dari matematika adalah konsistensi dari berbagai postulat, definisi dan berbagai aturan permainan lainnya. Matematika sendiri tidak bersifat tunggal, seperti juga logika, melainkan bersifat jamak. Matematika bukanlah merupakan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Postulat Euclid dalam bidang mekanika klasik Newton jelas bahwa ilmu ukur non-Euclid ini tidak dapat dipakai. Pengkajian mengenai alam semesta, di mana cahaya menjadi garis lengkung bersama tarikan gravitasi dan jarak terdekat antara dua obyek tidak lagi merupakan garis lurus, maka harus berpaling kepada ilmu non-Euclid. Kedua sistem ilmu ukur ini berlaku tergantung dari prostulat yang dipergunakannya. “Beberapa Aliran dalam Filsafat Matematika” Immanuel Kant (1724 – 1804) yang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat sinetik apriori dimana eksistensi dimana eksistensi matematika tergantung dari pancaindera. Aliran yang disebut logistik berpendapat bahwa matematika merupakan cara berpikir logis yang salah satu atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris. Tesis utama kaum logistik adalah bahwa matematika murni merupakan cabang dari logika, tesis ini dikembangkan oleh Gottlob Frege (1848 – 1925 ) menyatakan bahwa hukum bilangan (the law of number) dapat direduksikan ke dalam proposisi-proposisi logika. Russel dan Whitehead (Principia Mathematica), membuktikan bahwa matematika seluruhnya dapat direduksikan ke dalam proposisi logika. Kaum formalis menyatakan bahwa konsep matematika dapat direduksikan menjadi konsep logika, dan banyak masalah-masalah dalam bidang logika yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan matematika. Matematika merupakan pengetahuan tentang struktur formal dari lambang, dan menekankan kepada aspek formal dari matematika sebagai bahasa perlambang (sign-language) serta penggunaan matematika sebagai bahasa lambang. Frege menyatakan bahwa bilangan adalah pengertian rasional yang bersifat apriori, yang memandang jauh ke dalam struktur hakikat bilangan yang disebut juga “mata penalaran” (the eye of reason) . Kaum intuisionis, diwakilkan Brouwer, menyatakan bahwa intuisi murni dari berhitung merupakan titik tolak tentang matematika bilangan. Hakikat sebuah bilangan harus dapat dibentuk melalui kegiatan intuitif dalam berhitung (counting) dan menghitung (calculating). George Cantor (1845 – 1918) menyatakan bahwa lebih banyak bilangan nyata (real number) dibandingkan bilangan asli (natural number) ditolak oleh kaum intuisionis. Perkembangan matematika memberi inspirasi kepada aliran-aliran lainnya dalam titik-titik pertemuan yang disebut Black sebagai kompromi yang bersifat eklektik (eclectic compromise). Kaum logistik mempergunakan sistem simbol yang diperkembangkan oleh kaum formalis dalam kegiatan analisisnya. Kaum intuisionis mempelajari matematika dalam perspektif kebudayaan, yang memungkinkan diperkembangkannya filsafat pendidikan matematika yang sesuai dan memperkukuh matematika sebagai sarana kegiatan berpikir deduktif. “Matematika Dan Peradaban” Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Sekitar 3500 tahun SM bangsa Mesir Kuno telah mempunyai simbol yang melambangkan angka-angka. Para pendeta mereka merupakan ahli matematika yang pertama, dan dengan sengaja menyembunyikan pengetahuan tentang matematika untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Karena dalam anggapan tradisional “Monopoli Atas Informasi Merupakan Sumber Kekuasaan”. Informasi itu dengan demikian tidak diberikan kepada pihak-pihak lain yang membutuhkan. Matematika merupakan bahasa artifisial yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Matematika makin lama makin bersifat abstrak dan esoterik. Tanpa matematika pengetahuan akan berhenti pada tahap kualitatif yang tidak memungkinkan untuk meningkatkan penalarannya lebih jauh. Dalam bidang keilmuan modern, matematika adalah sesuatu yang imperatif; sarana untuk meningkatkan kemampuan penalaran deduktif. Suatu bidang keilmuan, apapun juga bidang pengkajiannya, bila telah menginjak kedewasaan mau tidak mau akan bersifat kuantitatif. Lewat pengkajian kualitatif dan kuantitatif ilmiah inilah, ilmu sampai kepada pengetahuan yang dewasa. Pernyataan Bertrand Russell tentang hubungan antara logika dan matematika, menyatakan “Ilmu Kualitatif Adalah Masa Kecil Dari Ilmu Kuantitatif, Ilmu Kuantitatif Merupakan Masa Dewasa Ilmu Kualitatif”, ilmu yang sehat adalah terus tumbuh dan mendewasa. Kerangka pemikiran seorang ilmuwan bagaimana rumit dan dalamnya seyogyanya mampu dikomunikasikan dengan kata-kata yang sederhana. Angka tidak bertujuan menggantikan kata-kata; pengukuran sekedar unsur dalam menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama. Teknik matematika yang tinggi bukan merupakan penghalang mengkomunikasikan pernyataan yang dikandungnya dalam kalimat-kalimat yang sederhana. Fondasi dasar dari tiap pengetahuan; apakah itu ilmu, filsafat atau agama semuanya mempunyai karakteristik yang sama: sederhana dan jelas; transparan. Sumber: Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: 2009. Nama : Devi Wahyuni Simanjuntak Nim : 2013-91-011 Seksi : 03 Dosen : Bpk. Mulyo