Filsafat Ilmu dan Logika MATEMATIKA Nama : Rindra Soraya Nim : 2013-91-003 Seksi : 03 Dosen : Bapak Mulyo Wiharto Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Esa Unggul 2013/2014 Matematika sebagai Bahasa Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang – lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna di berikan padanya. Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada matematika. Bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang – lambang dari matematika juga dibuat secara individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Sifat Kuantitatif dari Matematika Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif yang menyebabkan penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak yang daya prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat. Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran secara kuantitatif dengan meningkatkan daya prediksi dan control dari ilmu. Ilmu memberi jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Matematika: Sarana berpikir Deduktif Berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis – premis yang kebenarannya telah ditentukan. Contohnya: Jumlah sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 derajat (umum/kesimpulannya), premis pertama bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut - sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis ketiga adalah sama (khusus), premis kedua bahwa jumblah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat (kusus). Perkembangan Matematika Ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komparatif, dan kuntitatif. Tahap sistematika ilmu mulai menggolong – golongkan obyek empiris ke dalam kategori – kategori tertentu. Penggolongan ini memungkinkan kita untuk menemukan ciri – ciri yang bersifat umum dari anggota- anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ciri – ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. Tahap komparatif mulai melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, kategori yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai mencari hubungan yang didasarkan kepada perbandingan antara di berbagai obyek yang kita kaji. Tahap kuantitatif dimana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik pada tahap pertama dan tahap kedua namun dalam tahap ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Disamping sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Menurut Wittgenstein, matematika tak lain adalah metode berpikir logis, berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam persektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti disimpulkan oleh Bertrand Russell “Matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kcil matematika”. Matematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Pembuktiannya yaitu xn + yn = zn dengan x, y, z dan n adalah bilangan bulat positif yang tidak mempunyai jawaban bila n = 2. Atau dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang memenuhi persyaratan ini seperti 31 + 41 = 71 (penjumlahan biasa) dan 32 + 42 = 52. Memang tidak semua ahli filsafat setuju dengan pernyataan bahwa mateamtika adalah pengetahuan yang bersifat deduktif. Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan sintetik a priori dimana eksistensi matematika tergantung kepada dunia pengalaman kita. Namun pada dasarnya dewasa ini orang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak tergantung kepada pembuktian secara empiris. Disamping sebagai sarana berpikir deduktif yang merupakan aspek estetika, matematika juga merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari – hari. Griffits dan Howson (1974) membagi sejarah perkembangan matematika menjadi empat tahap. Tahap pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada peradapan Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti Babylonia dan Mesopotamia. Yang mengembangkan aspek praktis dan aspek mistik. Aspek estetika juga dikembangkan dimana matematika merupakan kegiatan intelektual dalam kegiatan berpikir yang penuh kreatif. Matematika mendapatkan momentum baru dalam peradapan Yunani yang sangat memperhatikan aspek estetika dari matematika. Dapat dikatakan bahwa peradapan Yunani inilah yang meletakkan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapkan berbagai langka dan definisi tertentu. Babak perkembangan matematika selanjutnya terjadi di Timur sekitar tahun 1000 bangsa Arab, India, dan China mengembangkan ilmu hitung dan aljabar. Mereka mendapatkan angka nol dan cara penggunaan desimal serta mengembangkan kegunaan praktis dari ilmu hitung dan aljabar tersebut. Gagasan – gagasan orang Yunani dan penemuan ilmu hitung dan aljabar dikaji pada zaman Renaissance yang meletakkan dasar kemajuan matematika modern dengan ditemukannya kalkulus diferensial. Yang memungkinkan kemajuan ilmu yang cepat di abad ke17 dan revolusi industri di abad k-18. Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peran ganda yaitu sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika dan sebagai pelayan matematika memberikan bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan – pernyataan dalam model matematika. Kreteria kebenaran matematika bukanlah merupakan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Postulat Euclid dalam bidang mekanika klasik Newton jelas bahwa ilmu ukur non-Euclid ini tidak dapat dipakai. pengkajian mengenai alam semesta, dimana cahaya menjadi garis lengkung bersama terikan gravitasi dan jarak terdekat antara dua obyek tidak lagi merupakan garis lurus, maka harus berpaling kepada ilmu non-Euclid. Kedua sistem ilmu ukur ini berlaku tergantung dari prostulat yang dipergunakannya. Beberapa Aliran dalam Filsafat Matematika Ada tiga aliran dalam Filsafat Matematika yaitu 1. Logistik Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik apriori dimana eksistensi matematika tergantung dari panca indra serta pendapat dari aliran logistik yaitu bahwa matematika merupakan cara berpikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajarai dunia empiris. Tesis utama kaum logistik yaitu matematika murni merupakan cabang dari logika. 2. Formalis Dipelopor oleh David Hilbert (1862-1943) yang terkenal dengan sebutan kaum formalis yang menekankan kepada aspek formal dari matematika sebagai bahasa berlambangan (sign language) dan mengusahakan konsistensi dalam penggunaan matematika sebagai bahasa lambing. 3. Intuisionis Ekponen utamanya adalah seorang ahli matematika berkebangsaan Belanda bernama Jan Brouwer (1881-1966) menyatakan bahwa intuisi murni dari berhitung merupakan titik tolak tentang matematika bilangan. Hakikat sebuah bilangan harus dapat dibentuk melalui kegiatan intuitif dalam berhitung (counting)dan menghitung (calculating). Dari ketiga aliran tersebut akhirnya memberi inspirasi kepada aliran – aliran lainnya dalam titik – titik pertemuan yang disebut Black sebagai kompromi yang bersifat eklektik (eclectic compromise). Kaum logistik mempergunakan simbol yang diperkembangkan oleh kaum formalis dalam kegiatan analisis. Kaum intuisionis memberikan titik tolak dalam mempelajari matematika dalam perspektif kebudayaan suatu masyarakat tertentu yang memungkinkan diperkembangkannya filsafat pendidikan matematika yang sesuai . Ketiga pendekatan dalam matematika ini, memperkukuh matematika sebagai sarana kegiatan berpikir deduktif. Matematika dan Peradaban Matematiaka dapat dikatakan hamper sama tuanya dengan peradapan manusia itu sendiri. Sekitar 3500 tahun SM bangsa Mesir Kuno telah mempunyai symbol yang melangkan angkaangka. Para pedeta mereka merupakan ahli matematika yang pertama dan dengan sengaja menyembunyikan pengetahuan matematika untuk mempertahankan kekuasan mereka. Karena dalam anggapan tradisinonal “Monopoli Atas InformasiMerupakan Sumber Kekuasaan”. Informasi itu dengan demikian tidak diberikan kepada pihak – pihak lain yang membutuhkan. Matematika merupakan bahasa artifisial yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahsa verbal yang bersifat alamiah. Matematika semakin lama bersifat abstrak dan esoteric. Tanpa matematika pengetahuan akan berhenti pada tahap kualitatif yang tidak memungkinkan untuk meningkatkan penalaran lebih jauh. Dalam bidang keilmuan modern, matematika adalah suatu yang imperative, sarana untuk meningkatkan kemampuan penalaran deduktif. Pernyataan Bertrand Russell tentang hubungan antara logika dan matematika yakni “Ilmu kualitatis adalah masa kecil dari ilmu kuantitatif, ilmu kuantitatif merupakan masa dewasa ilmu kualitatif” dimana ilmu sehat adalah terus tumbuh dan mendewasa. Angka tidak bertujuan menggantikan kata – kata, pengukuran sekedar unsure dalam menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama. Teknik matematika yang tinggi bukan merupakan penghalang untuk mengkomunikasikan pernyataan yang dikandungnya dalam kalimat – kalimat sederhana. Kebenaran yang merupakan fundasi dasar dari tiap pengetahuan, apakah itu ilmu, filsafat atau agama semuanya mempunyai karakteristik yang sama, sederhana dan jelas, transparan bagai kristal kaca. Sumber : Suriasumantri Jujun S, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, Jakarta: 2009