MATEMATIKA Matematika Sebagai Bahasa Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Bersifat “artifisial” yaitu yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Karena bahasa verbal mempunyai kekurangan tersendiri apabila makna di dalam katanya mempunyai arti yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula, oleh karena itu matematika berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk, dan emosional dari bahasa verbal. Lambang – lambang dari matematika merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Objek yang sedang kita telaah dapat dilambangkan dengan apa saja sesuai dengan perjjanjian kita. Misal, bila kita sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka obyek “kecepatan jalan kaki seorang anak” dapat kita lambangkan dengan x. Dalam hal ini x hanya mempunyai satu arti yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak”, sehingga bersifat majemuk karena tidak mempunyai pengertian lain. Dalam hal ini maka pernyataan matematik mempunyai sifat yang jelas, spesifik, dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional. Sifat Kuantitatif Dari Matematika Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif yang dapat meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu sehingga memungkinkan pemecahan masalah dapat dilakukan secara lebih tepat dan cermat. Sedangkan bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang berrsifat kualitatif, sehingga daya prediktif dan daya kontrol ilmu kurang cermat dan tepat. Misal : Pernyataan kualitatif (Verbal) : “sebatang logam jika di panaskan akan memanjang” Pernyataan kuantitatif (Matematika) : dilakukan pengukuran agar dapat di ketahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan pertambahan panjangnya jika logam tersebut dipanaskan. Dengan pernyataan matematik yang lebih eksak, umpama : PI = Po(I + ὴt) , dimana, PI = panjang logam dan temperatur I Po= panjang logam tersebut pada temperatur nol ὴ = koefisien pemuai logam Matematika: Sarana Berpikir Deduktif Berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premispremis yang kebenarannya telah ditentukan. Misal, sebuah segitiga. Untuk menghitung jumlah sudut dalam segitiga tersebut kita mendasar kepada premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut – sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis yang ketiga adalah sama. (Premis 1) Premis yang kedua adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat. (Premis 2) 180o Kedua premis tersebut kemudia kita terapkan dalam berpikir deduktif untuk menghitung jumlah sudut-sudut dalam sebuah segitiga. Dengan demikian, dari beberapa premis yang telah kita ketahui kebenarannya dapat ditemukan pengetahuan – pengetahuan lainnya yang memperkaya ilmiah kita. Perkembangan Matematika Ditinjau dari perkembangannya, ilmu dibagi ke dalam tiga tahap yaitu tahap sistematika, komparatif, dan kuantitatif. 1. Tahap Sistematika Ilmu mulai menggolongkan obyek empiris ke dalam kategori – kategori tertentu yang berfungsi untuk menemukan ciri – ciri yang dimana merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. 2. Tahap Komparatif Kita mulai mencari hubungan yang didasarkan kepada perbandingan antara obyek yang kita kaji. 3. Tahap Kuantitatif Mencari hubungan sebab akibat berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal sangat berfungsi dengan baik pada tahap pertama dan kedua, dalam tahap yang ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Menurut Wittgenstein, matematika adalah metode berpikir logis. menurut Betrand Rusell, matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika dikarenakan berdasarkan perkembanganya masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Berbeda dengan Immanuel Kant, berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak tergantung kepada pembuktian secara empiris melainkan kepada proses penalaran deduktif. Di samping sarana berpikir deduktif yang merupaka aspek estetik, matematika juga merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari – hari. Semua masalah kehidupan yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus berpaling kepada matematika. Empat tahap sejarah perkembangan matematika menurut Griffits dan Howson (1974) : 1. Peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya. Matematika telah dipergunakan dalam perdagangan, pertanian, bangunan, dan usaha mengontrol alam seperti banjir. Sebagai aspek estetik, matematika merupakan kegiatan intelektual dalam kegiatan berpikir yang penuh kreatif. Sedangkan dalam aspek praktis yang merupakan tujuan utama dalam peradaban ini, matematika sangat dihargai dalam masyarakat dikaitkan dengan aspek mistik dari keagamaan. 2. Peradaban Yunani. Sangat memperhatikan aspek estetik dari matematika. Orang yunani sangat memperhatikan ilmu ukur1. Kaum cendikiawan Yunani yang mempunyai budak belian mengerjakan pekerjaan termasuk hal praktis seperti melakukan pengukuran. Dengan demikian kaum cendkiawan ini dapat memusatkan aspek estetik dari matematika yang merupakan simbol status dari golongan atas waktu itu. 3. Tahun 1000 di Timur. 1 Euclid dalam bukunya Elements Bangsa Arab, India, dan Cina mengembangkan ilmu hitung dan aljabar. Mereka mendapatkan angka nol dan cara penggunaan desimal serta mngembangkan kegunaan praktis dari ilmu hitung dan aljabar tersebut. 4. Abad ke-17 dan revolusi industri di abad ke-18. Ditemukanlah diantaranya kalkulus diferensial yang memungkinkan kemajuan ilmu yang cepat. Suatu rumus yang jika ditulis dengan bahasa verbal memerlukan kalimat yang banyak sekali, di mana makin banyak kata – kata yang dipergunakan maka makin besar pula peluang untuk terjadinya salah informasi dan salah interpretasi, maka dalam bahasa matematik cukup ditulis dengan model yang sederhana sekali, sebagaimana dikatakan Morris Kline, matematika sebagai bahasa mempunyai ciri bersifat ekonomis dengan kata – kata. Beberapa Aliran dalam Filsafat Matematika Di dalam filsafat matematika terdapat tiga aliran, yaitu: 1. Aliran Logistik Oleh Kant (1724 – 1804) Terkenal dengan sebutan kaum logistik, beerpendapat bahwa matematika merupakan cara berpikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris. Tesis utama kaum logistik dikembangkan oleh Gottlob Frege (1848 – 1925), bahwa matematika murni merupakan cabang dari logika. 2. Aliran Formalis Oleh David Hilbert ( 1862 – 1943) Terkenal dengan sebutan kaum formalis, menekankan kepada aspek formal dari matematika sebagai bahasa perlambang (sign – language) dan mengusahakan konsistensi dalam penggunaan matematika sebagai bahasa lambang. 3. Aliran Intusionis Oleh Jan Brouwer (1881 – 1966) terkenal dengan sebutan kaum intusionis, menyatakan bahwa intuisi murni dari berhitung merupakan titik tolak tentang matematika bilangan. Walaupun demikian perbedaan pandangan ini tidak melemahkan perkembangan matematika malah justru sebaliknya di mana satu aliran memberi inspirasi kepada aliran – aliran lainnya. Matematika dan Peradaban Sekitar 3500 tahun S.M, bangsa Mesir Kuno telah mempunyai simbol – simbol yang melambangkan angka – angka. Para pendeta mereka merupakan ahli mattematika yang pertama, yang melakukan pengukuran pasang surutnya sungai Nil dan meramalkan timbulnya banjir. Pengetahuan matematika pada waktu itu dianggap keramat, para pendeta sengaja menyembunyikan pengetahuan tentang matematika untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Matematika makin lama makin bersifat abstrak dan esoterik yang makin jauh dari tangkapan orang awam; magis dan misterius seperti mantera – mantera pendeta Mesir Kuno. Matematika tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia. Tanpa matematika maka pengetahuan akan berhenti pada tahap kualitatif yang tidak memungkinkan untuk meningkatkan penalarannya lebih jauh. STATISTIKA Sekitar tahun 1645, Chevalier de Mere, mengajukan beberapa permasalahan mengenai perjudian yang berdasarkan untung – untungan ini (lotere) kepada seorang ahli matematika Prancis Blaise Pascal (1623 – 1662). Pascal tertarik dengan permasalahan yang berlatar belakang teori ini dan kemudian mengadakan korespondensi dengan ahli matematika Prancis lainnya Pierre de Fermat (1601 – 1665), keduanya megembangkan teori peluang. Pendeta Thomas Bayes (1763), mengembangkan teori peluang subyektif berdasarkan keprcayaan seseorang akan terjadinya suatu kejadian. Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi, dan Eropa dalam abad pertengahan. Begitu dasar – dasar peluang ini dirumuskan pada dengan cepat bidang telaahan ini berkembang. Abraham Demoivre (1667 – 1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of error). Thomas Simpson (1757) menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang berlanjut (continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre Simon de Laplace (1749 – 1827) mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson ini lebih lanjut dan menemukan distribusi normal. Francis Galton (1822 – 1911) dan Karl Pearson (1857 – 1936) mengembangkan distribusi lain yang tidak berupa kurva normal. Kemudian Karl Friedrich Gauss (1777 – 1855) mengembangkan teknik kuadrat terkecil (least squares) simpangan baku dan galat baku untuk rata – rata (the standard error of the mean). Pearson melanjutkan konsep – konsep Galton dan mengembangkan konsep regresi, korelasi, distribusi chi-kuadrat dan analisis statistika untuk data kualitatif. William Searly Gosset, yang lebih dikenal dengan nama “Student”, mengembangkan konsep tentang pengambilan contoh. Ronald Alylmer Fisher (1890 – 1962) mengembangkan desain eksperimen di samping analisis varians dan kovarians, distribusiz, distribusi-t, uji signifikan dan teory tentang perkiraan (theory of estimation). Penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik – teknik statistika. H,G Wells mengatakan bahwa suatu hari berpikir statistik merupakan keharusan bagi manusia seperti juga membaca dan menulis. Statistika dan Cara Berpikir Induktif Pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan didukung oleh fakta – fakta empiris agar dapat disahkan kebenarannya. Pengujian mengharuskan kita menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus – kasus yang bersifat individual. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarkan kesimpulan induktif secara lebih seksama. Penarikan kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Dalam penalaran deduktif maka premis – premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Sedangkan dalam penalaran induktif, meskipun premis - premisnya adalah benar dan prosedur penarikannya adalah sah maka kesimpulan itu belum tentu benar. Misal, mengetahui berapa tinggi rata – rata anak umur 10 tahun di Indonesia dengan jalan melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak umur 10 tahun di Indonesia, namun kegiatan ini menghadapkan kepada masalah lain yang tak kurang rumitnya, yakni kenyataan bahwa dalam pelaksanaanya kegiatan seperti itu membutuhkan tenaga, biaya, dan yang waktu yang banyak sekali. Untunglah dalam hal ini statistika meberikan jalan keluar untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Jadi untuk mengetahui tinggi rata – rata anak umur 10 tahun di Indonesia cukup hanya dengan melakukan pengukuran terhadap sebagian anak saja (sample) . statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik, yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Sebaliknya makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Kita dapat memilih sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. Statistika juga memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kauusalita antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar – benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris. Jadi dalam hal ini statistika berfungsi meningkatkan ketelitian pengamatan kita dalam menarik kesimpulan dengan jalan menghindarkan hubungan semu yang bersifat kebetulan, maka dalam penarikan kesimpulan secara induktif kekeliruan memang tidak bisa dihindarkan.dalam pengumpulan data kita terpaksa mendasarkan diri kepada berbagai alat yangpada hakikatnya juga tidak terlepas dari cacat yang berupa ketidaktelitian dalam pengamatan, panca indera manusia sendiri tidak sempurna yang bisa mengakibatkan berbagai kesalahan dalam pengamatan kita. Di atas semua ini statistika memberikan sifat yang pragmatis kepada penelahaan keilmuan; di mana alam kesadaran bahwa suatu kebenaran absolut tidak mungkin dapat dicapai, kia berpendirian bahwa suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dapat diperoleh. Logika lebih banyaj dihubungkan dengan matematika dan jarang sekali dihubungkan dengan statistika, padahal hanya logika deduktif yang berkaitan dengan matematika sedangkan logika induktif justru berkaitan dengan statistika. Secara hakiki statistika mempunyai kedudukan yang sama dalam penarikan kesimpulan induktif seperti matematika dalam penarikan kesimpulan secara deduktif. Demikian juga penarikan kesimpulan deduktif dan induktif keduanya mempunya kedudukan yang sama pentingnya dalam penelahaan keilmuan. Untuk itu pendidikan statistika harus ditingkatkan agar setaraf dengan matematika. Peningkatan ini mencakup pengetahuan mengenai hakikat statistika dalam kegiatan metode ilmiah secara keseluruhan. Karakteristik Berpikir Induktif Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekadar tingkat peluang bahwa untuk premis – premis tertentu dapat ditarik. Jika selama bulan Oktober dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka kita tidak bisa memastikan bahwa selama bulan Oktober tahun ini juga akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat kita tarik dalam hal ini hanyalah pengetahuan mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun. Menurut bidang pengkajiannya statistika dapat kita bedakan sebagai statistika teoritis dan statistika terapan. Statistika teoritis merupakan pengetahuan yang mengkaji dasar – dasar teori statistika, dimulai dari teori penarikan contoh, distribusi, penaksiran, dan peluang. Statistika terapan merupakan penggunaan statistika teoritis yang disesuaikan dengan bidang tempat penerapannya, disini diterapkan teknik penarikan kesimpulan seperti bagaimana cara mengambil sebagian populasi sebagai contoh, bagaimana menghitung tingkat peluang, mengitung rata – rata , dsb. Berpikir logis secara deduktif sering kali dikacaukan dengan berpikir logis secara induktif (kekacauan logika). Misal, dalam hipotess mengenai kesukaan musik orang muda tidak jarang kita langsung menarik kesimpulan berdasarkan wawancara kita dengan beberapa orang muda yang kebetulan kita kenal. Prosedur penarikan kesimpulan yang subyektif ini, yang bersumber pada kekacauan penggunaan logika induktif dan deduktif, sebab kesimpulan yang ditarik adalah tidak sah karena sukar untuk diterima sebagai premis untuk berpikir selanjutnya. Mereka yang berkecimpung dalam kegiatan ilmiah harus dibekali dengan penguasaan statistika yang cukup agar kesimpulan yang ditariknya merupakan kesimpulan ilmiah yang sah. Statistika harus mendapat tempat yang sejajar dengan maematika agar keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang merupakan ciri dan berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan baik.