BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan elemen utama dalam suatu organisasi/perusahaan, selain modal, teknologi, uang dan sebagainya. Manusia lah yang mengatur dan mengelola suatu perusahaan. Manusia juga yang mengarahkan perusahaan atau organisasi untuk bisa maju dan kompetitif. Namun, selain sisi positif tersebut, manusia juga dapat menjadi suatu masalah yang dapat menyebabkan perusahaan mengalami kemunduran. Oleh karena itu diperlukan suatu ilmu pengelolaan sumber daya manusia tersebut. Menurut Marihot Tua Efendi Hariandja, Yovita Hardiwati (2002, p2)pengelolaan sumber daya manusia menjadi suatu bidang ilmu pengetahuan,yang disebut “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Manajemen sumber daya manusia merupakan suatu ilmu khusus dimana bersifat sangat kompleks. Hal ini disebabkan karena manajemen sumber daya manusia selalu berhubungan dengan manusia, dimana sifat manusia sangat berbeda-beda. Di dalam sumber daya manusia,kita mempelajari bagaimana merencanakan dan mengatur manusia dan organisasi / perusahaan tempat dimana para manusia bekerja. Menurut Zorlu Senyucel (2009, p7) manajemen sumber 11 12 daya manusia merencanakan, membangun, mengatur kepribadian suatu manusia, dan menyelaraskan hubungan antara manusia di dalam perusahaan ia bekerja. Lebih lanjut, manajemen sumber daya manusia juga memberikan pengetahuan dan pengalaman pada manusia untuk menghadapi suatu situasi,dan bagaimana seharusnya para manusia bertindak untuk menghadapi situasi tersebut. Teori mengenai manajemen sumber daya manusia ini akan membantu penelitian dalam mengungkapkan bagaimana keadaan manajemen sumber daya manusia di dalam perusahaan, tujuan manajemen sumber daya manusia perusahaan, fungsi manajemen sumber daya manusia bagi perusahaan, dan tugastugas manajemen sumber daya manajemen di dalam perusahaan. 2.1.2 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan aset terpenting dalam suatu perusahaan. Sumber daya manusia dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi perusahaan, ketika dikelola dengan baik dan benar. Ilmu yang mempelajari sumber daya manusia biasa disebut dengan Manajemen Sumber Daya Manusia. Banyak definisi yang berbeda mengenai pengertian dari Manajemen Sumber Daya Manusia. Menurut Marihot Tua Efendi Hariandja, Yovita Hardiwati (2002, p3) manajemen sumber daya manusia adalah keseluruhan penentuan dan pelaksanaan aktivitas, policy, dan program yang bertujuan untuk mendapatkan tenaga kerja, pengembangan, dan pemeliharaan dalam usaha meningkatkan dukungannya terhadap peningkatan efektivitas organisasi dengan cara yang etis dan dapat dipertanggungjawabkan. 13 Definisi manajemen sumber daya manusia menurut Robert L.Mathis-John H.Jackson (2004, p3) adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efesien guna mencapai tujuan organisasional. Lain halnya dalam definisi yang dikemukakan oleh George Bohlander, Scott Snell (2009, p5) bahwa manajemen sumber daya manusia adalah suatu ilmu yang mengatur keahlian dan kemampuan manusia yang diarahkan untuk mencapai tujuan organisasional. Manusia yang menjadi poros dalam mengarahkan performa perusahaan, dalam hal ini yang menjadi poros adalah human resource, human capital, intelectual assets, dan talent management. Menurut Hasibuan (2003, p10)manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien, membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Sedangkan menurut Simamora (2004, p4) manajemen sumber daya manusia adalahpendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa,dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok karyawan, juga menyangkut desain dan implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan,pengelolaan karir, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan, dan hubungan ketenagakerjaan yang baik. Dari definisi-definisi para ahli, dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah suatu ilmu dimana penerapan strategi bermula dari membangun program pendayagunaan sumber daya manusia, pengembangan, dan 14 pelatihan, untuk mencapai tujuan organisasi. Manajemen sumber daya manusia menciptakan suatu strategi yang sesuai dengan keadaan karyawan/manusia dengan keadaan organisasi/perusahaan, kemudian diselaraskan sedemikian rupa, sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi dari perusahaan. Menurut Griffin (2002, p414) sumber daya manusia memiliki dampak yang substansial terhadap kinerja laba perusahaan, namun perencanaan yang buruk akan menciptakan suatu ledakan dan kerusakan perusahaan. 2.1.3 Aktivitas Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia teridiri atas beberapa aktivitas yang saling berhubungan, yang berfungsi untuk membantu perusahaan dalam mengatur sumber daya manusia yang dimiliki. Menurut Robert L. Mathis dan John H.Jackson (2004, p43) aktivitas sumber daya manusia adalah sebagai berikut : - Perencanaan dan Analisis SDM. Lewat perencanaan SDM, manajer berusaha untuk mengantisipasi kekuatan yang akan mempengaruhi persediaan dan tuntutan para karyawan. Hal yang sangat penting untuk memiliki sistem informasi sumber daya manusia (SISDM) yang berfungsi untuk memberikan informasi yang sesuai dengan perencanaan. Menurut Marihot Tua Efendi Hariandja, Yovita Hardiwati (2002, p4) perencanaan meliputi banyak pekerjaan, diantaranya adalah analisis jabatan. Analisis jabatan adalah suatu kegiatan untuk mengetahui jabatan-jabatan yang ada dalam perusahaan beserta tugas-tugas yang harus dilakukan dan persyaratan yang harus dimiliki oleh pemegang jabatan. Kegiatan perencanaan ini menuntut manajemen sumber 15 daya manusia untuk mengetahui job description, job analysiz, job spesification, dan job performance standart. Setelah itu, dilakukan perencanaan kebutuhan akan SDM di masa depan, baik jumlahnya maupun kriteria yang diinginkan. - Peluang Pekerjaan yang Sama. Pemenuhan hukum dan peraturan tentang kesetaraan kesempatan kerja (EEO) mempengaruhi semua aktivitas SDM yang lain dan integral dengan manajemen SDM. Griffin (2002, p415) mengatakan bahwa terdapat pasal yang mengatur akan kesetaraan pekerjaan, yaitu pasal VII dalam Civil Right tahun 1964. Pasal ini melarang untuk mendeskriminasi atas dasar agama, ras, warna kulit, gender, atau asal bangsa di tiap lingkungan ketenagakerjaan. Dalam pasal ini jelas mengatakan bahwa kesempatan kerja tiap pegawai harus setara, tanpa melihat terlebih dahulu keadaan pribadi, seperti agama, ras, dan sebagainya. - Pengangkatan Pegawai. Tujuan dari pengangkatan pegawai ini adalah untuk memberikan persediaan yang memadai atas individu-individu yang berkualifikasi untuk mengisi lowongan pekerjaan di sebuah organisasi. Analisis pekerjaan dan perencanaan pekerjaan menjadi dasar dari pengangkatan karyawan. Pengangkatan pegawai dimulai dengan melakukan rekruitmen dan seleksi yang dilakukan oleh manajemen SDM. - Pengembangan SDM. Dimulai dengan perekrutan, kemudian dilanjutkan terhadap orientasi dan pengembangan karyawan baru. Pengembangan dilakukan secara terus menerus untuk menyiapkan para karyawan dan para manajer siap dalam menghadapi tantangan di masa depan yang selalu berubah. Menurut Johar Arifin dan A.Fauzi (2007, p10) pengembangan adalah proses 16 peningkatan keterampilan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pekerja masa kini dan masa yang akan datang. - Kompensasi dan Tunjangan. Kompensasi memberikan penghargaan melalui gaji, insentif, dan tunjangan. Pemberian ini diberikan berdasarkan produktivitas yang dihasilkan oleh karyawan. - Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan. Jaminan kesehatan karyawan, serta keselamatan adalah hal yang sangat penting. Berbagai hukum mengenai keselamatan dan kesehatan kerja telah menjadikan organisasi lebih responsif. Di Indonesia sendiri ada hukum yang mengatur masalah keselamatan dan kesehatan karyawan, seperti UUD Nomor 1 Tahun 1970, pasal 1,2, dan 3. Perusahaan dapat menciptakan suatu program bantuan karyawan untuk mempertahankan kinerja karyawan. - Hubungan karyawan dan manajemen. Interaksi antara sesama karyawan dan manajemen harus selalu ditangani secara efektif apabila perusahaan ingin sukses bersama. Merupakan suatu hal yang penting untuk mengembangkan, mengkomunikasikan, dan memperbaharui kebijakan dan prosedur SDM yang menyangkut hak-hak karyawan. Griffin (2004, p436) menjelaskan bahwa karyawan dapat membentuk suatu serikat karyawan, yang menjadi wakil dari karyawan perusahaan, untuk menjalin hubungan dan mendapatkan informasi dengan manajemen perusahaan tempat karyawan itu bekerja. 17 2.1.4 Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan pendapat Cushway (2002, p6-7) tujuan dari manajemen sumber daya manusia sesuai dengan tujuan dan harapan dari setip organisasi/perusahaan. Adapaun tujuan dari manajemen sumber daya manusia adalah sebagai berikut: Memberikan saran kepada manajemen tentang kebijakan sumber daya manusia guna memastikan organisasi memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan sarana untuk menghadapi perubahan yang dapat memenuhi kebutuhan pekerjaannya. Melaksanakan dan memelihara semua kebijakan, dan prosedur SDM yang diperlukan untuk memastikan pencapaian tujuan organisasi. Membantu pengembangan arah, dan strategi organisasi secara keseluruhan, terutama dengan memperhatikan segi-segi SDM. Menyediakan bantuan dan menciptakan kondisi yang dapat membantu manajer lini dalam mencapai tujuan mereka. Mengatasi krisis dan situasi dalam hubungan antar pegawai untuk memastikan tidak adanya gangguan dalam pencapaian tujuan organisasi. Menyediakan sarana komunikasi antara karyawan dengan manajemen organisasi. Bertindak sebagai penjamin standar dan nilai organisasi dalam pengelolaan SDM. 18 2.1.5 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Halayu S.P. Hasibuan (2003, p21) fungsi manajemen sumber daya manusia adalah sebagai berikut : Perencanaan. Perencanaan adalah suatu proses merencanakan tenaga kerja secara efektif dan efesien agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam membantu terwujudnya tujuan. Griffin (2004, p420) membagi perencanaan sumber daya manusia meliputi ke dalam berbagai kegiatan yang lebih spesifik,seperti berikut : - Mengukur tren dalam, meliputi menganalisa keadaan pasar tenaga kerja eksternal, menganalisa keadaan tenaga kerja perusahaan saat ini, merumuskan kebutuhan perusahaan yang disesuaikan dengan tujuan dan rencana perusahaan di masa depan. - Memprediksi permintaan akan jumlah karyawan yang dibutuhkan, spesifikasi tenaga kerja serta analisa pekerjaan yang akan diisi oleh kandidat karyawan. - Menganalisapenawaran karyawan. Dalam tahap ini, analisa penawaran karyawan dibagi dua, yaitu memprediksi penawaran internal (jumlah dan jenis karyawan yang akan ada di perusahaan di masa yang akan datang) dan memprediksi penawaran eksternal (jumlah dan jenis karyawan yang tersedia di pasaran). - Membandingkan jumlah karyawan yang tersedia dengan penawaran internal. - Membuat suatu perencanaan ketika terdapat suatu masalah kekurangan ataupun kelebihan atas jumlah karyawan yang telah diprediksi. 19 Pengorganisasian. Perngorganisasian adalah kegiatan untuk mengorganisasi semua karyawan dengan menetapkan pembagian kerja, delegasi wewenang, intregrasi, dan koordinasi dalam bagan organisasi. Pengarahan. Pengarahan adalah kegiatan mengarahkan semua karyawan agar mau bekerja sama dan bekerja secara efektif serta efesien dalam membantu tercapainya tujuan perusahaan. Pengendalian. Pengendalian adalah suatu kegiatan yang mengendalikan semua karyawan agar menaati peraturan-peraturan perusahaan dan bekerja sesuai dengan rencana. Ketika terdapat suatu penyimpangan atau kesalahan, maka diadakan suatu tindakan penyempurnaan atau perbaikan rencana. Pengendalian karyawan berupa kehadiran, kedisiplinan, perilaku, kerja sama, pelaksanaan pekerjaan, dan menjaga situasi lingkungan pekerjaan. Pengadaan (Procerument). Pengadaan adalah proses penarikan (recruitment), seleksi (selection), penempatan (staffing),orientasi, dan induksi untuk mendapatkan karyawan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Pengembangan. Pengembangan adalah proses peningkatan keterampilan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan pekerjaan masa kini maupun masa depan. Kompensasi. Kompensasi adalah pemberian balas jasa langsung dan tidak langsung, uang atau barang kepada karyawan sebagai imbalan jasa yang diberikan oleh perusahaan. Prinsip kompensasi adalah adil dan layak. Adil sesuai dengan prestasi karjanya, layak diartikan dapat memenuhi kebutuhan 20 primernya serta berpedoman pada batas upah minimum pemerintah dan berdasarkan internal dan eksternal konsistensi. Pengintegrasian. Pengintegrasian adalah kegiatan untuk mempersatukan kepentinggan perusahaan dan kebutuhan karyawan, agar tercipta kerja sama yang serasi dan saling membutuhkan. Pemeliharaan. Pemeliharaan adalah kegiatan untuk memelihara atau meninggalkan kondisi fisik, mental, dan loyalitas karyawan, agar mereka tetap mau bekerja sama sampai dengan pensiun. Pemeliharaan yang baik dilakukan dengan program kesejahteraan yang berdasarkan kebutuhan sebagian besar karyawan serta berpedoman kepada internal dan eksternal konsistensi. Kedisiplinan. Kedisiplinan merupakan fungsi MSDM yang terpenting dan kunci terwujudnya efektifitas dan efesiensi perusahaan. Pemberhentian (separation). Pemberhentian adalah putusnyaa hubungan kerja seseorang dari suatu perusahaan. Pemberhentian ini disebabkan oleh keinginan karyawan, keinginan perusahaan, kontrak kerja berakhir, pensiun dan sebabsebab lainnya. 2.1.6 Kompensasi (Compensation) Manajemen sumber daya manusia tidak akan terlepas dari tenaga kerja, atau karyawan perusahaan. Setiap organisasi atau perusahaan memiliki tenaga kerja yang memiliki peran dan tugas yang berbeda-beda. Setiap perusahaan juga pasti memiliki tenaga kerja yang berpotensi, yang selalu memberikan hasil yang positif, ataupun tenaga kerja yang tidak banyak memberikan kontribusi. 21 Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2003, p117) karyawan adalah setiap orang yang bekerja dengan menjual tenaganya (fisik dan pikiran) kepada suatu perusahaan dan memperoleh balas jasa sesuai dengan peraturan dan perjanjian. Seorang karyawan memberikan suatu kinerja dan kontribusi kepada perusahaan, kemudian perusahaan memberikan suatu balas jasa kepada karyawan tersebut. Besarnya balas jasa tersebut dikemukakan sebelum karyawan mulai bekerja, sehingga karyawan tahu seberapa besar balas jasa yang akan diberikan berdasarkan tugas yang telah diberikan kepadanya. Balas jasa atau kompensasi inilah yang menjadi tumpuan para karyawan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan hidupnya. Dan bagi karyawan itu sendiri, seberapa besar kompensasi yang diterima manjadi suatu gambaran akan status kerja dan pengakuan oleh perusahaan. Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2004, p419) sistem kompensasi dalam organisasi harus sesuai dengan tujuan dan strategi organisasi, dan juga harus diseimbangkan biaya kompensasinya pada satu tingkat yang menjamin daya saing organisasional dan memberikan memberikan penghargaan yang memadai untuk para karyawan atas pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan kinerja para karyawan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa sistem kompensasi memiliki manfaat yang sangat penting, baik untuk perusahaan, maupun untuk karyawan itu sendiri. Adapun sistem kompensasi yang efektif memiliki empat tujuan : Kepatuhan pada hukum dan peraturan yang berlaku Efektivitas biaya bagi organisasi 22 Keadilan internal, eksternal, dan individual bagi para karyawan Peningkatan kinerja bagi organisasi Di dalam pembahasan berikutnya, teori mengenai kompensasi ini akan bermanfaat di dalam mengartikan kompensasi, menentukan jenis-jenis kompensasi yang sesuai dengan keadaan perusahaan, penentuan subvariabel di dalam penyusunan kuesioner, dan akan menjadi landasan dasar dari menetapkan pengaruh kompensasi terhadap turnover intention karyawan perusahaan PT. Swatama Mega Teknik. 2.1.6.1 Pengertian Kompensasi Banyak definisi kompensasi yang lahir dari para ahli. Menurut Husein Umar (2005, p16) kompensasi didefinisikan sebagai suatu yang diterima karyawan sebagai balas jasa tehadap mereka, yang didahuli oleh proses kompensasi. Proses kompensasi itu sendiri adalah suatu jaringan berbagai subproses untuk memberikan balas jasa kepada karyawan untuk pelaksanaan pekerjaan dan untuk memotivasi mereka agar mencapai tingkat prestasi yang diinginkan. Menurut Justin T. Sirait (2004, p181) kompensasi adalah sesuatu yang diperoleh karyawan, baik itu berupa uang atau bukan uang sebagai balas jasa yang diberikan bagi upaya pegawai (kontribusi pegawai) yang diberikannya untuk organisasi. Dalam kompensasi itu sendiri, lebih lanjut dijelaskan oleh beliau bahwa kompensasi bukan sekedar gaji atau upah, melainkan terdapat suatu sistem 23 kesejahteraan pegawai dan insentif di dalamnya yang dapat meningkatkan produktivitas. Menurut Griffin (2004, p432) kompensasi adalah remunerasi finansial yang diberikan oleh organisasi kepada karyawannya sebagai imbalan atas kerja mereka. Menurut William B. Wether dan Keith Davis (dikutip oleh Malayu S.P Hasibuan, 2003, p119) kompensasi adalah apa yang seorang pekerja terima sebagai balasan dari pekerjaan yang diberikan, baik upah perjam atau gaji periodik yang didesain dan dikelola oleh bagian personalia perusahaan. Menurut Veithzal Rivai (2004, p357) kompensasi merupakan sesuatu yang diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka pada perusahaan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan kompensasi adalah : Pasar tenaga kerja Pasar tenaga kerja mempengaruhi desain kompensasi dalam dua cara. Pertama, tingkat persaingan tenaga kerja sebagian menentukan batas rendah tingkat pembayaran. Jika tingkat pembayaran suatu perusahaan terlalu rendah, tenaga kerja yang memenuhi syarat tidak akan bersedian di perusahaan itu,mereka akan mencari alternatif pilihan perusahaan yang lebih tinggi. Kedua, pada saat yang sama mereka menekan pengusaha untuk mencari alternatif, seperti penyedia tenaga kerja asing, yang harganya mungkin lebih rendah, atau teknologi yang mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja. 24 Kondisi ekonomi Salah satu aspek yang mempengaruhi kompensasi sebagai salah satu faktor eksternal adalah kondisi-kondisi ekonomi industri, terutama daerah tingkat persaingan, yang mempengaruhi kesanggupan untuk membayar perusahaan itu dengan gaji tinggi. Semakin kompetitif situasinya, semakin rendah kemampuan perusahaan untuk membayar gaji lebih tinggi. Peraturan pemerintah Pemerintah secara langsung mempengaruhi tingkat kompensasi melalui pengendalian upah dan petunjuk yang melarang peningkatan dalam kompensasi untuk para pekerja tertentu pada waktu tertentu, dan hukum yang menetapkan tingkat tarif upah minimum, gaji, pengaturan jam kerja, dan mencegah diskriminasi. Pemerintah juga melarang perusahaan memperkerjakan pekerja di bawah umur. Serikat kerja Pengaruh eksternal penting lain pada suatu program kompensasi kerja adalah serikat kerja. Kehadiran serikat pekerja di perusahaan sektor swasta diperkirakan meningkatkan upah 10 sampai 15 persen dan menaikkan tunjangan sekitar 20 sampai 30 persen. Serikat pekerja sudah cenderung untuk menjadi penentu upah, manfaat, dan meningkatkan kondisi kerja. Ketika seorang karyawan tidak dapat menerima sistem pembayaran kompensasi yang diberikan, maka karyawan akan cenderung meninggalkan perusahaan, dan akan memberikan efek negatif pada perusahaan. Menurut Justin 25 T. Sirait (2004, p182) ketidakpuasan karyawan dalam hal pembayaran kompensasi dapat menimbulkan : Keinginan untuk mencari imbalan yang lebih Berkurangnya rasa tertarik pada diri pegawai akan pekerjaannya yang sekarang Pegawai mencari pekerjaan sambilan di tempat lain, sehingga mutu pekerjaannya yang sekarang tidak diperhatikan Mogok kerja Sering mengeluarkan keluhan-keluhan yang tidak berarti Pegawai mencari pekerjaan yang menawarkan gaji lebih tinggi Namun lebih lanjut dijelaskan bahwa ada dampak negatif bagi karyawan ketika kompensasi yang diterima oleh karyawan sangat tinggi dibandingkan dengan standar perusahaan. Ketika karyawan merasa kompensasi overpaid, maka karyawan akan merasa cemas karena di tempat lain dia tidak dibayar setinggi itu dan akan berpikir bahwa perusahaan memberikan terlalu banyak tuntutan kepada karyawan tersebut. Dari pengertian yang dikemukakan oleh para peneliti di atas, dapat disimpulkan bahwa kompensasi adalah suatu balas jasa yang diterima oleh karyawan, yang diberikan berdasarkan kinerja karyawan, dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas karyawan. 26 2.1.6.2 Tujuan Kompensasi Tujuan manajemen kompensasi menurut Justin T. Sirait (2004, p183) adalah sebagai berikut : Untuk bisa memperoleh karyawan yang bermutu. Kompensasi diperlukan untuk menarik para calon karyawan, agar dapat bekerja di perusahaan tersebut. Bila perusahaan bersaing di pasaran tenaga kerja, kompensasi harus dapat merangsang calon pegawai ataupun pegawai dari perusahaan lain. Mempertahankan karyawan yang masih bekerja dalam perusahaan, meningkatkan retensi karyawan. Perusahaan harus tetap menjaga kompetitif kompensasi perusahaan. Dengan mengatur kompensasi, maka menciptakan suatu lingkungan yang adil. Kompensasi harus sesuai dengan tingkat pekerjaan dari karyawan yang sama, dan juga harus seimbang, sesuai dengan jumlah kompensasi karyawan di perusahaan lain, serta tetap kompetitif. Suatu kompensasi harus merupakan imbalan dari perilaku yang diinginkan. Jika kita menginginkan seorang pegawai selesai mengerjakan tugasnya, maka kompensasi tersebut harus dapat membuat pegawai tersebut bekerja sesuai dengan harapan kita. Bisa mengatur dan mengendalikan biaya. Program kompensasi yang baik dan rasional harus membantu organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerja pada tingkat biaya yang rasional dan memadai. 27 Menciptakan suatu administrasi yang efesien. Dengan menciptakan manajemen kompensasi yang baik, maka dapat menghemat biaya administrasi. 2.1.6.3 Jenis-Jenis Kompensasi Menurut Griffin (2004, p432-433) kompensasi terbagi dalam tiga bentuk dasar. Bentuk pertama adalah upah. Upah adalah kompensasi per jam yang dibayarkan kepada karyawan operasional. Bentuk kedua adalah gaji. Gaji adalah bentuk kompensasi yang dibayarkan kepada karyawan yang berdasarkan kontribusi total. Contoh pemberian gaji adalah ketika manajer memperoleh gaji tahunan, yang dibayarkan dalam bulanan, tanpa melihat berapa jam manajer itu bekerja. Bentuk terakhir adalah insentif. Insentif adalah kompensasi yang menggambarkan kesempatan kompensasi khusus yang biasanya terkait dengan kinerja karyawan. Komisi penjualan pada salesperson merupakan suatu bentuk insentif. Menurut Malayu S.P Hasibuan (2003, p118) kompensasi menurut bentuknya dibagi atas dua, yaitu kompensasi berbentuk uang (kompensasi dibayar dengan sejumlah uang kartal kepada karyawan yang bersangkutan) dan kompensasi berbentuk barang (kompensasi yang dibayar dengan menggunakan barang), sedangkan untuk jenis kompensasi dibagi atas dua jenis, yaitu kompensasi langsung, yang berupa gaji, upah, dan upah insentif, kompensasi tidak langsung, yang berupa kesejahteraan karyawan. Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2004, p420), jenis-jenis kompensasi adalah sebagai berikut : 28 Gaji Pokok. Gaji pokok adalah suatu bentuk kompensasi dasar yang diterima seorang karyawan, yang biasanya berupa upah atau gaji. Penghasilan Tidak Tetap. Penghasilan tidak tetap adalah jenis kompensasi yang dihubungkan dengan kinerja individual, tim, atau organisasional. Jenis penghasilan tidak tetap yang paling umum untuk sebagian besar karyawan adalah pembayaran bonus dan program insentif. Tunjangan. Tunjangan adalah sebuah penghargaan tidak langsung yang diberikan untuk seorang karyawan atau sekelompok karyawan sebagai bagian dari keanggotaan operasional. Dari teori Robert L. Mathis dan John H. Jackson di atas, maka dalam penyusunan kuesioner dalam penelitian ini, jenis kompensasi langsung dan tidak langsung menjadi subvariabel dari variabel kompensasi. Teori ini juga sesuai dengan keadaan kompensasi perusahaan, dimana perusahaan juga memberlakukan kompensasi langsung, yang berupa gaji pokok dan gaji harian, serta kompensasi tidak langsung, yang berupa tunjangan asuransi. 2.1.6.4 Gaji Menurut Veithzal Rivai (2004, p379) gaji adalah balas jasa dalam bentuk uang yang diterima karyawan sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai seorang karyawan yang memberikan sumbangan tenaga dan pikiran. 29 2.1.6.5 Gaji Berbasis Kompetensi Menurut Robert L. Mathis dan John H.Jackson (2004, p427)rancangan dari sebagian besar program kompensasi memberikan penghargaan kepada karyawan karena telah menjalankan tugas, kewajiban, dan tanggung mereka. Syarat-syarat pekerjaan menentukan karyawan memiliki tarif dasar yang lebih tinggi. Karyawan menerima lebih banyak karena melakukan pekerjaan yang membutuhkan variasi tugas yang lebih banyak, lebih banyak pengetahuan dan keterampilan, usaha fisik yang lebih besar, atau kondisi bekerja yang lebih menuntut. Akan tetapi, beberapa organisasi lebih menekankan kompetensi daripada tugas. Beberapa organisasi membayar para karyawan lebih karena kompetensi yang mereka tunjukkan daripada tugas tertentu yang dilakukan. Memberi imbalan kerja atas kompetensi memberikan penghargaan kepada karyawan yang menampilkan kepandaian dalam banyak hal yang lebih banyak dan terus mengembangkan kompetensi mereka. Dalam sistem imbalan kerja berbasis pengetahuan (knowledge based pay) atau imbalan kerja berbasis keterampilan (skill based pay), karyawan mulai dari tingkat imbalan kerja dasar dan menerima kenaikkan ketika mereka belajar untuk melakukan pekerjaan lain atau memperoleh keterampilan lain. Ketika organisasi bergerak menuju sistem berbasis kompetensi, setiap blok kompetensi harus dihargai dengan menggunakan berbagai data. Rencana kompetensi harus berfokus pada pertumbuhan dan perkembangan kompetensi karyawan. 30 2.1.6.6 Upah Menurut Veithzal Rifai (2004, p375) upah merupakan imbalan finansial langsung yang dibayarkan kepada karyawan berdasarkan jumlah jam kerja, jumlah barang yang dihasilkan, dan banyaknya pelayanan yang diberikan. Penggolongan upah dibagi kedalam tiga golongan, yaitu upah sistem waktu, upah sistem hasil, dan upah sistem borongan, 2.1.6.7 Insentif Menurut Veithzal Rifai (2004, p384) insentif merupakan imbalan langsung yang dibayarkan kepada karyawan karena kinerjanya melebihi standar yang ditentukan. Insentif merupakan bentuk lain dari upah langsung diluar upah gaji dan gaji yang merupakan kompensasi tetap, yang biasa disebut kompensasi berdasarkan kinerja (pay for performance plan). Menurut Gary Dessler (2005, p412) insentif finansial adalah ganjaran finansial yang diberikan kepada karyawan yang produksinya melampaui standar yang telah ditetapkan. 2.1.6.8 Sistem Pembayaran Kompensasi Menurut Hasibuan P. Malayu (2003, p124-125) sistem pembayaran dibagi kedalam tiga sistem, yaitu sistem waktu, sistem hasil, dan sistem borongan. Sistem waktu. Dalam sistem ini, besarnya kompensasi (gaji, upah) ditetapkan berdasarkan standar waktu seperti jam, minggu, atau bulan. Administrasi pengupahan sistem waktu relatif lebih mudah serta dapat diterapkan kepada karyawan maupun pekerja harian. Sistem ini biasanya ditetapkan ketika prestasi 31 kerja sulit diukur per unitnya dan bagi karyawan tetap kompensasinya dibayarkan atas sistem waktu secara periodik setiap tahunnya. Keuntungan dari sistem ini adalah administrasi kompensasi bersifat mudah dan jumlah yang dibayarkan tetap, namun kelemahan dari sistem ini adalah pekerja yang malas pun akan diberikan kompensasinya sesuai dengan perjanjian Sistem hasil. Dalam sistem ini, besarnya kompensasi ditetapkan atas kesatuan unit yang dihasilkan pekerja, seperti per potong, per meter, dan sebagainya. Pembayaran ini selalu berdasarkan kepada banyaknya hasil yang telah dikerjakan, bukan berdasarkan pada lamanya hasil tersebut dikerjakan. Sistem ini tidak dapat diterapkan kepada karyawan tetap dan jenis pekerjaan yang tidak mempunyai standar fisik, seperti bagi karyawan administrasi. Keuntungan dari sistem ini adalah selalu memberikan kesempatan kepada karyawan yang bekerja secara bersungguh-sungguh serta berprestasi baik akan memperoleh kompensasi yang lebih besar. Kelemahan dari sistemi ini adalah kualitas barang yang dihasilkan kurang baik dan karyawan yang kurang akan memperoleh kompensasi yang sangat kecil, sehingga sedikit memperlihatkan ketidakadilan, yang akan memperburuk keadaan perusahaan dan karyawan itu sendiri. Sistem borongan. Sitem borongan adalah suatu cara pengupahan yang penetapan besar jasa didasarkan atas volume pekerjaan dan lama mengerjakannya. Sistem ini pelaksanaannya sangat rumit, pengerjaannya memakan waktu yang lama, dan diperlukan alat bantu untuk menyelesaikannya. Dalam sistem ini pekerja bisa mendapat kompensasi besar atau kecil, tergantung atas kecermatan kalkulasi yang dilakukan karyawan. Sistem 32 inisering digunakan oleh perusahaan-perusahaan kontraktor yang sering menggunakan jasa pemborong. 2.1.7 Job Insecurity Ketidakpastian yang tidak diprediksi adalah salah satu konsekuensi dalam pasar tenaga kerja. Konsekuensi ini merupakan salah satu faktor dalam Job insecurity (ketidakamanan pekerjaan) yang timbul dari keadaan individual karyawan itu sendiri dan perusahaan tempat karyawan bekerja. Ketidakpastian ini juga menyebabkan perusahaan dan karyawan itu sendiri enggan melakukan perubahan yang nantinya akan mengancam kelangsungan kehidupan kerja mereka. Selain itu bagi karyawan, kondisi ini akan menciptakan ketidaknyamanan dalam melakukan pekerjaan serta timbul kekhawatiran akan kelanjutan kerja mereka, menurut Santoso (2005, p74-93). Job insecurity merupakan suatu kondisi dimana seseorang karyawan memiliki pekerjaan, namun mengalami gangguan psikologis. Dalam kondisi ini karyawan memiliki potensi dalam pekerjaannya, namun terdorong oleh gangguan psikologis yang disebabkan atmosfer lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung dan menimbulkan ketidakpastian dan kekhawatiran tentang keberlanjutan pekerjaan mereka di dalam perusahaan tersebut. Pemberhentian yang dilakukan oleh karyawan adalah akhir dari Job insecurity seorang karyawan. Pemberhentian ini dilakukan dengan menggunakan berbagai alasan, mulai dari urusan keluarga, kesehatan yang kurang baik, melanjutkan pendidikan, dan keinginan untuk berwiraswasta. Namun tidak sedikit 33 secara terang-terangan, bahwa pemberhentian yang dilakukan karyawan karena kurangnya kompensasi yang diberikan, mendapatkan tawaran pekerjaan yang lebih baik, perlakuan yang tidak adil, kurang mendapat kesempatan promosi, dan lingkungan kerja yang tidak sesuai, menurut Hasibuan P. Malayu (2003, p211). Pemberhentian ini akan berakibat negatif bagi perusahaan, yaitu tingginya angka turnover yang memperlihatkan sisi negatif dari perusahaan, serta mengeluarkan biaya lebih besar untuk melakukan penarikan, seleksi dan pelatihan. Teori mengenai job insecurity akan menjelaskan pengertian dari job insecurity itu sendiri, apa yang menjadi faktor-faktor timbulnya rasa tidak aman di dalam perusahaan, subvaribel dari job insecurity yang menjadi landasan dalam pengisian kuesioner dalam penelitian ini, dan bagaimana pengaruh job insecurity di dalam keadaan turnover karyawan PT. Swatama Mega Teknik. 2.1.7.1 Pengertian Job Insecurity Menurut Smithson dan Lewis (2002, p1-15) job insecurity adalah kondisi psikologis karyawan yang menunjukkan rasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Kondisi ini muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang bersifat kontrak atau sementara. Makin banyak jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara, menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity. Definisi job insecurity juga sering menggabungkan konsep ketidakberdayaan untuk mengurangi rasa tidak aman, menurut Rogelberg (2007, p416). 34 Menurut Salmon dan Heery (2000) dalam Bryson dan Harvey (2002, p28) karyawan akan mengalami rasa tidak aman (Job insecurity) yang makin meningkat karena ketidakstabilan terhadap status kepegawaian mereka dan tingkat pendapatan yang makin tidak bisa diramalkan. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam perusahan, karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah, dan tidak aman karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterima dari perusahaan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa job insecurity adalah suatu ketidakberdayaan untuk menjamin kesinambungan dari suatu pekerjaan atau komponen-komponennya pada saat keadaan pekerjaan itu terancam, dan menimbulkan rasa ketidakamanan pada para karyawan, atau rasa tidak aman yang dirasakan oleh karyawan. Job insecurity diukur berdasarkan komponen-komponen yang dikemukakan Greenhalgh dan Rosenblatt dan Ashford, et al. dalam Pasewark dan Strawser (2002, p91-113) yaitu: (1) tingkat pentingnya aspek-aspek pekerjaan yang dirasakan individu, (2) kemungkinan perubahan negatif pada aspek-aspek kerja tersebut bagi individu, (3) tingkat kepentingan yang dirasakan individu mengenai potensi setiap peristiwa yang secara negatif dapat mempengaruhi keseluruhan kerja individu, (4) kemungkinan munculnya peristiwa-peristiwa tersebut yang secara negatif dapat mempengaruhi keseluruhan kerja individu, dan (5) ketidakberdayaan yang dirasakan individu. 35 Untuk masalah keterikatan kontrak, di Indonesia sudah banyak perundangundangan yang mengatur akan masalah kontrak tersebut. Seperti yang dimuat oleh Jimmy Joses Sembiring (2010, p78), pasal 59 ayat 1-4 mengatur segala sesuatu mengenai pekerjaan dan karyawan yang bersifat kontrak atau sementara. Di dalam ayat tersebut dikemukakan bahwa pekerjaan yang bersifat sementara adalah pekerjaan yang sekali selesai, pengerjaannya paling lama 3 tahun, pekerjaan musiman, dan pekerjaan untuk memperkenalkan produk baru. Dan ayat selanjutnya dijelaskan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Dari asas pasal tersebut, sangat terlihat jelas bahwa karyawan yang bersifat kontrak akan memiliki suatu hambatan psikologis mengenai keamanan pekerjaan mereka. Menurut Suhartono (2007, p61-64) beberapa hal yang menjadi masalah dalam job insecurity antara lain : Kondisi pekerjaan, yang dimaksud adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu yang dimaksud, baik itu berinteraksi langsung maupun tidak langsung dengan pekerja yang bersangkutan. Hal ini meliputi : 1. Lingkungan kerja. Masalah seringkali timbul karena pekerja merasa tidak nyaman dengan lingkungannya, seperti bekerja di tempat yang tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruangan kerja sangat padat, lingkungan kurang bersih, dan sebagainya. 2. Overload. Kelebihan beban kerja akan mengakibatkan kita mudah lelah dan berada dalam tegangan tinggi. Overload dibedakan menjadi dua yaitu 36 overload secara kuantitatif dan secara kualitatif. Overload kuantitatif adalah jika pekerjaan yang kita terima dan ditargetkan, melebihi kapasitas yang kita miliki, sedang overload secara kualitatitif adalah suatu pekerjaan yang kita terima sangat kompleks dan sulit, sehingga dapat menyita kemampuan teknis dan pikiran. 3. Deprivational stress. Yaitu suatu kondisi pekerjaan yang sudah tidak menantang dan tidak mendatangkan motivasi bagi pekerjanya. Gejala yang tampak adalah keluhan-keluhan yang muncul dari karyawan. 4. Pekerjaan beresiko tinggi. Pekerjaan-pekerjaan yang beresiko tinggi dan berbahaya bagi keselamatan, seperti bekerja di pertambangan minyak, listrik, dan sebagainya, dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan kekhawatiran yang berlebihan akan masalah kecelakaan yang setiap saat dihadapi oleh karyawan. Konflik Peran. Masalah lain yang timbul adalah ketidak jelasan peran dalam bekerja sehingga tidak tahu apa yang diharapkan manajemen dari diri karyawan tersebut. Masalah ini sering timbul pada karyawan yang bekerja di perusahaan besar, yang kurang memiliki struktur yang jelas. Akibat dari konflik ini adalah menimbulkan ketidak puasan, ketegangan, menurunnya prestasi kerja, hingga keluarnya karyawan oleh keinginan mereka sendiri. Pengembangan Karir. Ketidakjelasan sistem pengembangan karier, penilaian prestasi kerja, budaya nepotisme dalam manajemen perusahaan atau karena tidak adanya kesempatan untuk naik jabatan dan mendapatkan promosi, 37 seringkali menimbulkan suatu kecemasan, rasa bosan, dan dismotivasi sehingga karyawan tidak produktif lagi. Locus of Control, mencerminkan tingkat kepercayaan individu mengenai kemampuannya untuk mempengaruhi kejadian-kejadian yang berhubungan dengan kehidupannya. Individu dengan pandangan pusat pengendalian eksternal percaya bahwa kekuatan lingkungan yang menentukan nasibnya dan sedikit kemampuan dirinya untuk mempengaruhi kejadian tersebut. Sebaliknya, individu dengan pandangan pusat pengendalian internal percaya bahwa dengan kemampuan mereka, mereka dapat mempengaruhi lingkungannya. Pengendalian ekstrernal merasa bahwa ancaman kemanan pekerjaan mereka sangat tinggi, sebaliknya pengendalian internal merasa kurangnya masalah dalam keamanan pekerjaan mereka. Dari teori di atas, masalah-masalah dalam job insecurity menjadi landasan dasar di dalam penelitian ini untuk menetapkan subvariabel dari variabel job insecurity yang membantu dalam penyusunan kuesioner bagi responden. 2.1.7.2 Jenis Komponen dan Konsekuensi Job Insecurity Dalam jurnal online (www.emeraldinsight.com, Hans De Witte, Belgium.2005. Job Insecurity :Review of The International Literature on Definitions, Prevelance, Antecedents, and Consequences) dijelaskan bahwa dalam lingkungan hari ini, ketidakamanan kerja diakui sebagai suatu kondisi kronis yang mempengaruhi tenaga kerja umum (Roskies dan Louis-Guerin 1990, p46). Ketidakamanan kerja tidak hanya berhubungan dengan hilangnya potensi 38 lapangan kerja tetapi juga ketidakpastian mengenai isu-isu pekerjaan dan karir termasuk tingkat seseorang tanggung jawab dan kesempatan promosi (Greenhalgh dan Rosenblatt 1984, p16). Para peneliti telah meneliti isu-isu seperti bagaimana mengelola perubahan organisasi, perampingan, dan pengaruh ketidakamanan kerja di karyawan yang mempengaruhi tingkat komitmen, omset yang dihasilkan, dan produktivitas ( Ashford et al, 1989; Hartley et al 1991, p20). Ketidakamanan kerja umumnya telah dipandang sebagai komponen kognitif yang mencerminkan kemungkinan kehilangan atribut bernilai (seperti pekerjaan seseorang) dan komponen emosional atau reaksi, seperti stress yang terkait dengan prospek kerugian (Hartley dkk 1991, p20). Komponen kognitif muncul paling sering pada penelitian yang diterbitkan dan sering diukur dengan indeks tunggal yang dikaitkan dengan hasil seperti kepuasan kerja, komitmen, dan turnover perusahaan (Ashford et al 1989, p5 ; Adkins et al 2001, p1). Job insecurity didefinisikan sebagai ketidakberdayaan seseorang/perasaan kehilangan kekuasaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi/situasi kerja yang terancam (Greenhalgh dan Rosenblatt 1984). Job insecurity yang terjadi di dalam organisasi terdiri dari berbagai jenis dengan dasar yang berbeda, sebagai berikut: Bryson dan Harvey (2000) mengelompokkan job insecurity atau rasa tidak aman dalam bekerja ke dalam dua kategori, yakni rasa tidak aman subyektif (subjective job insecurity) dan rasa tidak aman obyektif (objective job insecurity). Rasa tidak aman yang sifatnya obyektif umumnya dikaitkan dengan 39 indikator yang jelas seperti job tenure, untuk mengetahui kestabilan karyawan dalam organisasi. Sementara rasa aman yang bersifat subyektif relatif sulit untuk diamati secara langsung karena indikator yang digunakan adalah ancaman terhadap hilangnya pekerjaan dan konsekuensi dari hilangnya pekerjaan tersebut, sebagaimana yang dirasakan oleh karyawan yang bersangkutan, yang merasakan ketidakamanan tersebut. Hellgren, et al. (1999) membagi job insecurity dalam dua pengertian yaitu: job insecurity kuantitatif dan job insecurity kualitatif. Job insecurity kuantitatif berkaitan dengan kelanjutan keberadaan sebuah pekerjaan dan job insecurity kualitatif berupa persepsi tentang ancaman rusaknya hubungan pekerjaan, seperti: merosotnya kondisi kerja, kurangnya kesempatan promosi, dan menurunnya gaji. Mohr (2000) membedakan job insecurity dalam empat tahap. Tahap pertama adalah job insecuritysebagai hal yang diketahui oleh masyarakat dan negara, berupa tingkat pengangguran yang dialami oleh suatu negara. Tahap kedua adalah job insecuritypada tingkat perusahaan, ketika secara ekonomis kondisi perusahaan dinyatakan tidak stabil, ancaman yang nyata tentang job insecuritybelum jelas. Periode ini seringkali disebut chronic insecurity. Tahap ketiga adalah job insecurityakut pada tingkat individu, ketika ancaman yang dipersepsikan menjadi kenyataan dan downsizing benar-benar menjadi kenyataan. Tahap keempat adalah antisipasi kehilangan pekerjaan, saat pemecatan telah direncanakan. Pada tiap fase yang berbeda akan memberikan 40 pengaruh secara psikologis yang berbeda serta diperlukan strategi coping yang berbeda. Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) maupun Ashford et al. (1989), konstruk job insecurityyang bersifat multidimensional terdiri dari lima komponen. Lima komponen tersebut yaitu: Persepsi terhadap pentingnya faktor-faktor pekerjaan bagi karyawan/arti pekerjaan itu bagi individu. Komponen ini berisikan seberapa pentingnya aspek kerja tersebut bagi individu mempengaruhi tingkat insecure atau rasa tidak amannya. Misalnya: kesempatan untuk promosi dan kebebasan jadwal pekerjaan. Semakin besar persepsi terhadap ancaman faktor-faktor pekerjaan yang diterima oleh individu semakin besar job insecurity. Kemungkinan perubahan negatif terhadap faktor-faktor pekerjaan tersebut. Komponen ini berisikan tingkat ancaman yang dirasakan karyawan mengenai aspek-aspek pekerjaan seperti: kemungkinan untuk mendapat promosi, mempertahankan tingkat upah yang sekarang, atau memperoleh kenaikan upah. Individu yang menilai aspek kerja tertentu yang terancam/mungkin akan hilang, akan lebih gelisah dan merasa tidak berdaya. Pentingnya job event yang negatif/kejadian negatif dalam pekerjaan. Komponen ini berisikan tingkat kepentingan-kepentingan yang dirasakan individu mengenai potensi setiap peristiwa negatif tersebut. Misalnya: dipecat atau diberhentikan dalam jangka pendek. 41 Kemungkinan munculnya/terjadinya job event yang negatif tersebut. Komponen ini berisikan tingkat ancaman kemungkinan terjadinya peristiwaperistiwa yang secara negatif mempengaruhi keseluruhan kerja individu, misalnya: dipecat atau dipindahkan ke kantor cabang yang lain. Kemampuan individu untuk mengendalikan perubahan pada faktor pekerjaaan dan job event yang negatif. Komponen ini berisikan perasaan tidak berdaya karena kehilangan kontrol terhadap pekerjaan. Cara lain yang agak umum untuk menjelaskan efek dari ketidakamanan kerja dan konsekuensinya adalah melalui teori kontrak psikologis (misalnya, De Cuyper & De Witte, 2006;De Witte et al, 2008). Pendekatan ini baru-baru ini telah digunakan sebagai argumen mengapa kedua jenis ketidakamanan kerja dapat sama-sama terkait dengan hasil (De Witte et al., 2010). Kontrak psikologis adalah "keyakinan individu dalam kewajiban timbal balik antara individu dan organisasi" (Rousseau 1989, p121). Oleh karena itu, subjektivitas dan persepsi sangat penting di sini seperti dalam teori stres transaksional. Dalam kasus ketidakamanan kerja, seorang karyawan mungkin merasa bahwa ia harus dapat mencapai kerja yang aman dengan kesempatan karir dan kemungkinan untuk pengembangan sebagai imbalan atas usaha dan loyalitas. Ketika harapan subjektif tersebut tidak terpenuhi, kontrak psikologis dilanggar, dan hasil yang mungkin adalah perasaan pengkhianatan (Rousseau, 1989). Selain itu, Morrison dan Robinson (1997) membuat perbedaan antara pelanggaran kontrak psikologis dan pelanggaran. Sementara pelanggaran harus dipahami sebagai evaluasi kognitif pemenuhan kontrak, pelanggaran adalah pengalaman yang lebih afektif dan emosional dari 42 kekecewaan, frustrasi kemarahan, dan kebencian akibat pelanggaran kontrak. Sebagai kontrak pelanggaran atau pelanggaran adalah kombinasi dari harapan yang belum terpenuhi dan kerusakan pada hubungan antara karyawan dan organisasi (Rousseau, 1989), reaksi-reaksi ini dipahami. Dua meta-analisis telah mendukung hubungan negatif antara pelanggaran kontrak psikologis dan sikap sebagai kepuasan kerja dan kepercayaan dalam manajemen (Bal, De Lange, Jansen, dan Van der Velde, 2008; Zhao, Wayne, Glibkowski, dan Bravo, 2007). Lebih umum, pelanggaran berpendapat mempengaruhi kontribusi karyawan kepada organisasi dengan cara yang negatif (Robinson, 1996). 2.1.8 Turnover Intention 2.1.8.1 Pengertian Turnover Permasalahan turnover di Indonesia belum dapat terselesaikan, dan masih menjadi suatu momok yang berbahaya bagi setiap perusahaan. Seperti yang dikutip di dalam website majalah SWA (www.swa.co.id), di sektor perbankan, turnover SDM berkeahlian khusus juga sangat tinggi. Survei Watson Wyatt yang dilaksanakan tahun 2007 ini menunjukkan persentase turnover posisi penting di perbankan mencapai 6,3%-7,5%, sementara di industri lain 0,1%-0,74%. Survei juga menjelaskan bagaimana perusahaan mengatasi masalah attraction (merekrut) dan retention (mempertahankan) karyawan dikaitkan dengan praktik manajemen reward. Artikel ini membahas lebih mendalam mengenai turnover yang terjadi pada perbankan nasional. Sektor industri ini sangat rentan terjadi turnover yang tinggi. Rata-rata turnover karyawan pada perbankan nasional mencapai 10 - 11% 43 per tahun. Meskipun jumlah ini lebih kecil dari tingkat turnoverpada industri migas yang mencapai 12% tetapi melebihi sektor manufaktur yang berkisar 8%. Kesimpulan yang dapat di ambil dari artikel di atas, bahwa turnover karyawan masih sangat besar di Indonesia. Turnover karyawan ini ada di setiap sektor industri bisnis, mulai dari perbankan, industri migas, sektor manufaktur, dan sebagainya. Menurut Feinstein dan Harrah (dikutip dari www.emeraldinsight.com, 2002) adanya turnover ini dapat mengganggu produktifitas perusahaan, menurunkan kepuasan kerja bagi karyawan yang masih bertahan diperusahaan, dan dapat menimbulkan pandangan negatif tentang perusahaan yang mengalami turnovertersebut. Arti turnover adalah berhentinya seorang karyawan dari tempatnya bekerja secara sukarela, menurut Zeffane (2003, p24-25). Dalam penelitian voluntary turnover yang menggunakan variabel tingkat perputaran sesungguhnya yang dihadapi perusahaan, maka jumlah karyawan yang meninggalkan organisasi karena alasan sukarela dengan sama maka akan mengalami kelemahan metodologi. Teori ini membagi perilaku berpindah secara suka rela (voluntary turnover) dalam dua kelompok, yang dapat dihindari (avoidable) dan yang tidak dapat dihindari (unavoidable). Menurut Zeffane (2003, p27-31) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi turnover, diantaranya adalah faktor eksternal, yakni pasar tenaga kerja, faktor institusi, yakni kondisi ruang kerja, upah, keterampilan kerja, dan faktor dari karyawan itu sendiri, seperti intelegensi, sikap, masa lalu, jenis kelamin, minat, umur, dan lama bekerja 44 Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2004, p125) turnoverbehubungan dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Turnover adalah proses dimana karyawan-karyawan meninggalkan organisasi dan harus segera digantikan. Dan hal ini merupakan salah satu kerugian terbesar yang akan dialami perusahaan ketika banyak karyawannya yang meninggalkan perusahaannya, apalagi karyawan yang keluar adalah karyawan yang berpotensi. 2.1.8.2 Jenis Turnover Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2004, p125-126), turnoverdikelompokkan dalam beberapa cara yang berbeda. Setiap klasifikasi berikut dapat digunakan dan tidak terpisah satu sama lain. Turnover secara tidak sukarela Adalah keluarnya karyawan akibat dari pemecatan karena kinerja yang buruk dan pelanggaran peraturan kerja. Turnover secara suka rela Adalah keluarnya karyawan yang dikarenakan keinginan sendiri (turnover intention). Turnover secara tidak sukarela dipicu oleh kebijakan organisasional, peraturan kerja, dan standar kinerja yang tidak dipenuhi oleh karyawan. Turnover secara sukarela dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk peluang karir, gaji, pengawasan, geografi, dan alasan pribadi atau keluarga. Turnover sukarela juga tambah meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran organisasi, mungkin sekali dikarenakan semakin perusahaan besar mempunyai lebih banyak karyawan 45 yang mungkin keluar, semakin perusahaan tersebut bersifat impersonal, begitu pula dengan birokrasi organisasi yang ada dalam perusahaan tersebut. Turnover Fungsional Keluarnya karyawan yang memiliki kinerja lebih rendah atau karyawan yang menganggu proses perusahaan. Turonover Disfungsional Keluarnya karyawan penting, berkompetensi, dan memiliki kinerja yang tinggi. Tidak semua turnover memberi dampak negatif bagi suatu organisasi karena kehilangan beberapa angkatan kerja sangat diinginkan, terutama apabila karyawan-karyawan yang keluar adalah mereka yang masuk kedalam kategori berkinerja rendah, kurang dapat diandalkan, atau mereka yang mengganggu rekan kerja lainnya dalam perusahaan. Sayangnya bagi suatu perusahaan, perputaran disfungsional terjadi ketika karyawan yang penting keluar dari perusahaan, dan sering kali terjadi pada saat yang kurang tepat. Turnover yang Tidak Dapat Dikendalikan Suatu momentum keluarnya karyawan karena alasan di luar pengaruh pemberi kerja. Turnover yang Dapat Dikendalikan Suatu momentum keluarnya karyawan karena faktor-faktor yang dipengaruhi oleh pemberi kerja. Banyak alasan karyawan yang berhenti tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan, dan alasan-alasan tersebut meliputi karyawan pindah dari daerah 46 geografis, karyawan memutuskan untuk tinggal di rumah untuk alasan keluarga, suami atau istri karyawan dipindahkan, atau karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi. Tetapi, yang harus disampaikan adalah turnover yang dapat dikendalikan. Perusahaan lebih mampu memelihara karyawan apabila mereka menangani persoalan karyawan yang dapat menimbulkan turnover. Walaupun beberapa turnover tidak dapat dihindari, banyak pemberi kerja yang mengetahui bahwa mengurangi turnover sangatlah penting. Kerugian turnover, termasuk produktivitas perusahaan yang berkurang, telah membuat para pemberi kerja mengeluarkan usaha untuk dapat memelihara dan mempertahankan karyawan. 2.1.8.3 Biaya Turnover Menurut Robert L. Mathis dan John H.Jackson (2004, p138) salah satu kerugian terbesar dalam terjadinya turnover adalah biaya yang harus dikeluarkan. Model perkiraan biaya turnover ini selalu mempertimbangkan beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah : Biaya Perekrutan Meliputi beban perekrutan dan iklan, biaya pencarian, waktu dan gaji pewawancara dan staf SDM, biaya penyerahan karyawan, biaya relokasi dan pemindahan, waktu dan gaji supervisor dan manajerial, biaya pengujian perekrutan, waktu pengecekan referensi, beban medis sebelum pekerjaan, dan sebagainya. 47 Biaya Pelatihan Meliputi waktu orientasi yang dibayar, waktu dan gaji staf latihan, biaya materi pelatihan, waktu dan gaji para supervisor dan manajer, dan sebagainya. Biaya Produktivitas Meliputi produktivitas yang hilang karena waktu pelatihan karyawan baru, hilangnya hubungan pelanggan, tidak biasa dengan produk dan jasa perusahaan, lebih banyak waktu untuk menggunakan sumber dan sistem perusahaan, dan sebagainya. Biaya Pemberhentian Meliputi waktu dan gaji staf dan supervisor SDM untuk mencegah pemberhentian, waktu wawancara keluar kerja, beban pengangguran, biaya hukum yang dituntut oleh karyawan yang diberhentikan, dan sebagainya. 2.1.8.4 Pengertian Turnover Intention Seperti artikel yang dikutip dari website (http://jurnal-sdm.blogspot.com) banyak teori yang dikemukakan oleh para peneliti untuk mengungkapkan definisi dari turnover intention. Menurut Harninda (1999, p27) turnover intentionpada dasarnya adalah sama dengan keinginan berpindah karyawan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa turnover intentionadalah keinginan untuk berpindah, belum sampai pada tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Harnoto (2002, p2) menyatakan bahwa turnover intentionadalah kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan yang 48 menyebabkan timbulnya turnover intentionini dan diantaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Pendapat tersebut juga relatif sama dengan pendapat yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa turnover intention pada dasarnya adalah keinginan untuk meninggalkan (keluar) dari perusahaan. Pendapat ini menunjukkan bahwa turnover intention merupakan bentuk keinginan karyawan untuk berpindah ke perusahaan lain. Handoko (2000, p322) menyatakan bahwa perputaran (turnover) merupakan tantangan khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena kejadian-kejadian tersebut tidak dapat diperkirakan, kegiatan-kegiatan pengembangan harus mempersiapkan setiap saat pengganti karyawan yang keluar. Di lain pihak, dalam banyak kasus nyata, program pengembangan perusahaan yang sangat baik justru meningkatkan. Pergantian karyawan atau keluar masuknya karyawan dari organisasi adalah suatu fenomena penting dalam kehidupan organisasi. Ada kalanya pergantian karyawan memiliki dampak positif. Namun sebagian besar pergantian karyawan membawa pengaruh yang kurang baik terhadap organisasi, baik dari segi biaya maupun dari segi hilangnya waktu dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang Dalam arti luas, “turnover diartikan sebagai aliran para karyawan yang masuk dan keluar perusahaan” (Ronodipuro dan Husnan, 1995, p34). Sedangkan Mobley (1999, p13) megemukakan bahwa batasan umum tentang pergantian karyawan adalahberhentinya individu sebagai anggota suatu organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan.Menurut Harnoto (2002, p2) turnover intention ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain: absensi yang 49 meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya. Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan turnover intention karyawan dalam sebuah perusahaan. Absensi yang meningkat Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya. Mulai malas bekerja Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan bersangkutan. Peningkatan terhadap pelanggaran tatatertib kerja Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya. Peningkatan protes terhadap atasan Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan. 50 Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwan turnover intention adalah suatu keinginan yang timbul dari diri karyawan untuk segera meninggalkan perusahaan secara sukarela. Keinginan ini dipicu oleh berbagai faktor, seperti keinginan mendapatkan kompensasi yang lebih, keinginan karena masalah keluarga, dan sebagainya. 2.1.8.5 Variabel dalam Turnover Intention Menurut William Mark Nicholson dalam jurnal online (www.proquest.com,2009, p73-74), Niat untuk pergi (turnover intention), sebagai variabel terikat, telah baik dimodelkan dalam penelitian (Daly dan Dee, 2006). Penelitian menunjukkan bahwa niat untuk meninggalkan berkorelasi dengan (a) emosional kelelahan (Karatepe, 2006), (b) konflik peran (Karatepe), (c) ambiguitas peran (Jarmillo, Mulki, dan Solomon, 2006), (d) peran perbedaan (Takase, Maude, dan mania, 2006), (e) pekerjaan stressor (Stetz, Castro, dan Bliese, 2007), (f) bekerja kelelahan (Ahuja, McKnight,Cudoba, dan George, 2007), dan (g) setengah pengangguran (Maynard, Yusuf, dan Maynard,2006). Sebaliknya, penelitian menunjukkan bahwa niat untuk meninggalkan berbanding terbalik berkorelasi dengan (a) kepuasan kerja (Bedian, 2007; Jarmillo et al;. 51 Lyons, & O'Brien, 2007; Slattery dan Rajan, 2005; Trimble, 2006), (b) komitmen afektif organisasional (HW Lee dan Liu,2006; Loi et al, 2006; Trimble), (c) repatriasi penyesuaian persepsi (HW Lee dan Liu), (d) dukungan organisasi dirasakan (Loi et al.), (E) on-the-job training (Benson,2006), dan (f) kepuasan dengan umpan balik kinerja (Jawahar, 2006; Kuvaas, 2006). Penelitian sebelumnya (Ambrosius, Seabright dan Schminke, 2002; Baron dan Neuman, 1998; Bolin dan Heartherly, 2001; Giacalone, Riordan dan Rosenfeld, 1997; Harris dan Ogbonna, 2002; Shamsudin, 2003; Shamsudin dan Rahman, 2006; Sims, 2002 ; Skarlicki Folger, 1997; Thoms, Wolper, Scott dan Jones, 2001; Weber, Kurke dan Pentico, 2003) telah mengungkapkan bahwa sebagian besar karyawan terlibat dalam beberapa bentuk penyimpangan tempat kerja. Ini termasuk ketidakhadiran, menyalahgunakan hak istimewa hari sakit, menyalahgunakan narkoba dan alkohol, pengajuan klaim kecelakaan palsu, sabotase, melanggar aturan organisasi, upaya menahan, mencuri, mengambil istirahat panjang, bekerja lambat, mengganggu karyawan lain dan menyembunyikan sumber daya dibutuhkan. Selain itu, dalam jurnal online (www.sholar.google.co.id,2007, p10-13) faktor-faktor Ferry Novliadi yang mempengaruhi turnover intention adalah: usia, lama kerja, tingkat pendidikan, ikatan terhadap perusahaan, kepuasan kerja dan budaya perusahaan. 1. Usia Maier (1971) mengemukakan pekerja muda mempunyai tingkat turnover yang lebih tinggi daripada pekerja-pekerja yang lebih tua. Penelitian-penelitian 52 terdahulu menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dan intensi turnover dengan arah hubungan negatif. Artinya semakin tinggi usia seseorang semakin rendah keinginan untuk meninggalkan pekerjaan (Mobley, 1986). Alasan ini dikarenakan berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga, mobilitas yang menurun, tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan di tempat yang baru dan sebagainya. Sedang menurut Gilmer (1966) berpendapat bahwa tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada pekerja usia muda dikarenakan karena banyaknya kesempatan dalam memperbaiki kualitas kerja, keinginan untuk selalu mencoba-coba, dan sebagainya. 2. Lama Kerja Dalam Mobley (1986) menyatakan bahwa pada setiap kelompok tertentu dari orang-orang yang diperkerjakan, dua sampai tiga bagian dari mereka yang keluar terjadi pada akhir tiga tahun pertama masa bakti. Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat. 3. Tingkat Pendidikan dan Intelegansi Mowday dkk (1982) berpendapat bahwa tingkat pendidikan berpengaruh pada dorongan untuk melakukan turnover. Dalam hal ini Maier (1971) membahas pengaruh intelegansi terhadap turnover. Dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat intelegansi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah akan tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak nyaman. Sebaliknya mereka yang memiliki tingkat pendidikan dan intelegansi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton. Mereka akan 53 lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat pendidikannya terbatas. 4. Keikatan Terhadap Perusahaan Penelitian yang dilakukan oleh Arnold dan Fieldman (1982) dan Steel dan Ovalle (1984) menemukan bahwa keikatan terhadap perusahaan mempunyai korelasi yang negatif dan signifikan terhadap turnover intention. Semakin tinggi keikatan seseorang terhadap perusahaannya akan semakin kecil ia mempunyai intensi untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan, dan sebaliknya. 5. Kepuasan Kerja Menurut Michael dan Spector (1982) dan Arnold dan Fieldman (1982) menunjukkan bahwa semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaannya akan semakin meningkat keinginan untuk melakukan turnover. Ketidakpuasan ini memiliki banyak aspek-aspek, antara lain adalah ketidakpuasan terhadap manajemen perusahaan, kondisi kerja, mutu pengawasan, penghargaan, gaji, promosi, dan hubungan interpersonal. 6. Budaya Perusahaan Budaya perusahaan merupakan suatu kekuatan tak terlihat yang mempengaruhi pemikiran, perasaan, pembicaraan maupun tindakan manusia yang bekerja di dalam perusahaan. Budaya perusahaan mempengaruhi persepsi mereka, menentukan dan mengharapkan bagaimana cara individu bekerja sehari-sehari dan dapat membuat individu tersebut merasa senang dalam menjalankan tugasnya. Teori turnover intention di dalam penelitian ini akan membantu dalam menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap munculnya keinginan 54 karyawan untuk pindah dari perusahaan, dan menjadi landasan dalam menentukan subvariabel dari variabel turnover intention pada penyusunan kuesioner penelitian. 2.1.9 Penelitian Terdahulu 2.1.9.1 Pengaruh Kompensasi Terhadap Turnover Intention Dalam jurnal online (www.proquest.com, 2008. Impact of Compensation on the Turnover Intentions of Employees : A Case of Pakistan Telecom Sector) dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi dan pengaruh dari kompensasi terhadap turnover intention para pekerja di perusahaan. Masalah yang diangkat adalah untuk mempekerjakan dan mempertahankan karyawan berbakat. Di seluruh dunia setiap organisasi telah menyadari pentingnya modal manusia. Hal ini dirasakan bahwa pengertian kompensasi adalah ukuran yang akurat untuk mengurangi omset. Penelitian ini akan meneliti dampak kompensasi terhadap keinginan berpindah karyawan sektor telekomunikasi Pakistan. Untuk penelitian ini 15 perusahaan telekomunikasi yang dipilih dan 300 kuesioner didistribusikan secara fisik untuk tingkat respons yang lebih baik, tingkat respon adalah 89%. Untuk analisis data, korelasi dan analisis regresi bertahap ke depan dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompensasi mempunyai dampak positif langsung terhadap retensi karyawan dan akibatnya mengurangi keinginan berpindah (Turnover Intention). 55 2.1.9.2 Pengaruh Job InsecurityTerhadap Turnover Intention Dalam jurnal online (www.proquest.com, 2010. Job insecurity, turnover intention and psychological distress : The mediating effect of job satisfaction and trust in management) dijelaskan bahwa terdapat pengaruh besar job insecurity terhadap keinginan seorang karyawan untuk keluar dari perusahaan (turnover intention). Penelitian telah menghasilkan bukti yang meyakinkan bahwa ketidakamanan kerja kuantitatif dikaitkan dengan konsekuensi negatif, dan juga menunjukkan bahwa jangka pendek reaksi sikap memediasi hubungan antara ketidakamanan kerja dan angka turnover intention pada karyawan perusahaan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki apakah baik kuantitatif maupun kualitatif ketidakamanan kerja terkait dengan jangka pendek (kepuasan dan kepercayaan dalam manajemen) dan jangka panjang reaksi (turnover intention) reaksi, dan jika jangka pendek reaksi menengahi hubungan antara dua dimensi dari ketidak amanan kerja dan jangka panjang reaksi. Data survei dari 549 pekerja Swedia kerah putih menunjukkan bahwa kedua jenis ketidakamanan kerja yang terkait dengan semua hasil. Sementara kepercayaan dalam manajemen hanya memiliki efek mediasi kecil dalam hubungan antara ketidakamanan kerja kuantitatif dan keinginan berpindah (turnover intention). 56 2.2 Kerangka Pemikiran Turnover Intention (Y) a. Usia b. Lama Kerja c. Tingkat Pendidikan dan Intelegansi d. Keterikatan Terhadap Organisasi e. Kepuasan Kerja f. Budaya Perusahaan Sumber : Ferry Novliadi www.sholar.google.co.i d (2007, p10-13) Kompensasi (X1) a. Kompensasi Langsung b. Kompensasi Tidak Langsung Sumber : Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2004, p419) Job Insecurity (X2) a. b. c. d. Kondisi Pekerjaan Pengembangan Karir Konflik Peran Locus of control Sumber : Suhartono (2007, p61-64) 57 2.3 Hipotesis Menurut Sekaran (2006, p135) hipotesis bias didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk petanyaan yang dapat diuji. Hubungan tersebut dapat ditetapkan dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian. Di dalam penelitian ini, variabel yang kami gunakan adalah variabel independen (kompensasi dan job insecurity) dan variabel dependen (turnover intention). Menurut penelitian terdahulu yang menjadi dasar dari kajian pustaka kami, bahwa terdapat dua kasus yang menunjukkan bahwa hipotesis yang akan kami gunakan bisa dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut, yaitu adanya hubungan antara kompensasi dan turnover intention pada perusahaan Pakistan Telecom Sector (www.proquest.com) dan adanya hubungan antara job insecurity, baik itu jenis kuantitatif atau kualitatif terhadap turnover intention pada karyawan di Negara Swedia (www.proquest.com). Dari tinjauan pustaka yang telah kami lakukan dan penelitian terdahulu, dapat dirumuskan hipotesis sebagai dasar dari dugaan sementara terhadap variabel-variabel yang dirancang sebagai berikut : T-1 : Untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara kompensasi terhadap turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik. Ho : Tidak ada pengaruh antara kompensasi terhadap turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik. 58 Ha : Ada pengaruh antara kompensasi terhadap turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik. T-2 : Untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara job insecurity terhadap turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik. Ho : Tidak ada pengaruh antara job insecurity terhadap turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik. Ha : Ada pengaruh antara job insecurity terhadap turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik. T-3: Untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara kompensasi dan job insecurity terhadap turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik. Ho : Tidak ada pengaruh antara kompensasi dan job insecurity terhadap turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik. Ha : Ada pengaruh antara kompensasi dan job insecurity terhadap turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik.