BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan elemen utama dalam
suatu
organisasi/perusahaan, selain modal, teknologi, uang dan sebagainya. Manusia lah
yang mengatur dan mengelola suatu perusahaan. Manusia juga yang mengarahkan
perusahaan atau organisasi untuk bisa maju dan kompetitif. Namun, selain sisi
positif tersebut, manusia juga dapat menjadi suatu masalah yang dapat
menyebabkan perusahaan mengalami kemunduran. Oleh karena itu diperlukan
suatu ilmu pengelolaan sumber daya manusia tersebut.
Menurut Marihot Tua Efendi Hariandja, Yovita Hardiwati (2002,
p2)pengelolaan
sumber
daya
manusia
menjadi
suatu
bidang
ilmu
pengetahuan,yang disebut “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Manajemen
sumber daya manusia merupakan suatu ilmu khusus dimana bersifat sangat
kompleks. Hal ini disebabkan karena manajemen sumber daya manusia selalu
berhubungan dengan manusia, dimana sifat manusia sangat berbeda-beda.
Di
dalam
sumber
daya
manusia,kita
mempelajari
bagaimana
merencanakan dan mengatur manusia dan organisasi / perusahaan tempat dimana
para manusia bekerja. Menurut Zorlu Senyucel (2009, p7) manajemen sumber
11
12
daya manusia merencanakan, membangun, mengatur kepribadian suatu manusia,
dan menyelaraskan hubungan antara manusia di dalam perusahaan ia bekerja.
Lebih lanjut, manajemen sumber daya manusia juga memberikan pengetahuan
dan pengalaman pada manusia untuk menghadapi suatu situasi,dan bagaimana
seharusnya para manusia bertindak untuk menghadapi situasi tersebut.
Teori mengenai manajemen sumber daya manusia ini akan membantu
penelitian dalam mengungkapkan bagaimana keadaan manajemen sumber daya
manusia di dalam perusahaan, tujuan manajemen sumber daya manusia
perusahaan, fungsi manajemen sumber daya manusia bagi perusahaan, dan tugastugas manajemen sumber daya manajemen di dalam perusahaan.
2.1.2 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan aset terpenting dalam suatu perusahaan.
Sumber daya manusia dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi perusahaan,
ketika dikelola dengan baik dan benar. Ilmu yang mempelajari sumber daya
manusia biasa disebut dengan Manajemen Sumber Daya Manusia.
Banyak definisi yang berbeda mengenai pengertian dari Manajemen
Sumber Daya Manusia. Menurut Marihot Tua Efendi Hariandja, Yovita Hardiwati
(2002, p3) manajemen sumber daya manusia adalah keseluruhan penentuan dan
pelaksanaan aktivitas, policy, dan program yang bertujuan untuk mendapatkan
tenaga kerja, pengembangan, dan pemeliharaan dalam usaha meningkatkan
dukungannya terhadap peningkatan efektivitas organisasi dengan cara yang etis
dan dapat dipertanggungjawabkan.
13
Definisi manajemen sumber daya manusia menurut Robert L.Mathis-John
H.Jackson (2004, p3) adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah
organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan
efesien guna mencapai tujuan organisasional.
Lain halnya dalam definisi yang dikemukakan oleh George Bohlander,
Scott Snell (2009, p5) bahwa manajemen sumber daya manusia adalah suatu ilmu
yang mengatur keahlian dan kemampuan manusia yang diarahkan untuk mencapai
tujuan organisasional. Manusia yang menjadi poros dalam mengarahkan performa
perusahaan, dalam hal ini yang menjadi poros adalah human resource, human
capital, intelectual assets, dan talent management.
Menurut Hasibuan (2003, p10)manajemen sumber daya manusia adalah
ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan
efisien, membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.
Sedangkan menurut Simamora (2004, p4) manajemen sumber daya manusia
adalahpendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa,dan
pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok karyawan, juga
menyangkut desain dan implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan,
pengembangan karyawan,pengelolaan karir, evaluasi kinerja, kompensasi
karyawan, dan hubungan ketenagakerjaan yang baik.
Dari definisi-definisi para ahli, dapat disimpulkan bahwa manajemen
sumber daya manusia adalah suatu ilmu dimana penerapan strategi bermula dari
membangun program pendayagunaan sumber daya manusia, pengembangan, dan
14
pelatihan, untuk mencapai tujuan organisasi. Manajemen sumber daya manusia
menciptakan suatu strategi yang sesuai dengan keadaan karyawan/manusia
dengan keadaan organisasi/perusahaan, kemudian diselaraskan sedemikian rupa,
sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi dari perusahaan. Menurut
Griffin (2002, p414) sumber daya manusia memiliki dampak yang substansial
terhadap kinerja laba perusahaan, namun perencanaan yang buruk akan
menciptakan suatu ledakan dan kerusakan perusahaan.
2.1.3
Aktivitas Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia teridiri atas beberapa aktivitas yang
saling berhubungan, yang berfungsi untuk membantu perusahaan dalam mengatur
sumber daya manusia yang dimiliki. Menurut Robert L. Mathis dan John
H.Jackson (2004, p43) aktivitas sumber daya manusia adalah sebagai berikut :
- Perencanaan dan Analisis SDM. Lewat perencanaan SDM, manajer berusaha
untuk mengantisipasi kekuatan yang akan mempengaruhi persediaan dan
tuntutan para karyawan. Hal yang sangat penting untuk memiliki sistem
informasi sumber daya manusia (SISDM) yang berfungsi untuk memberikan
informasi yang sesuai dengan perencanaan. Menurut Marihot Tua Efendi
Hariandja, Yovita Hardiwati (2002, p4) perencanaan meliputi banyak
pekerjaan, diantaranya adalah analisis jabatan. Analisis jabatan adalah suatu
kegiatan untuk mengetahui jabatan-jabatan yang ada dalam perusahaan beserta
tugas-tugas yang harus dilakukan dan persyaratan yang harus dimiliki oleh
pemegang jabatan. Kegiatan perencanaan ini menuntut manajemen sumber
15
daya manusia untuk mengetahui job description, job analysiz, job spesification,
dan job performance standart. Setelah itu, dilakukan perencanaan kebutuhan
akan SDM di masa depan, baik jumlahnya maupun kriteria yang diinginkan.
- Peluang Pekerjaan yang Sama. Pemenuhan hukum dan peraturan tentang
kesetaraan kesempatan kerja (EEO) mempengaruhi semua aktivitas SDM yang
lain dan integral dengan manajemen SDM. Griffin (2002, p415) mengatakan
bahwa terdapat pasal yang mengatur akan kesetaraan pekerjaan, yaitu pasal VII
dalam Civil Right tahun 1964. Pasal ini melarang untuk mendeskriminasi atas
dasar agama, ras, warna kulit, gender, atau asal bangsa di tiap lingkungan
ketenagakerjaan. Dalam pasal ini jelas mengatakan bahwa kesempatan kerja
tiap pegawai harus setara, tanpa melihat terlebih dahulu keadaan pribadi, seperti
agama, ras, dan sebagainya.
- Pengangkatan Pegawai. Tujuan dari pengangkatan pegawai ini adalah untuk
memberikan
persediaan
yang
memadai
atas
individu-individu
yang
berkualifikasi untuk mengisi lowongan pekerjaan di sebuah organisasi. Analisis
pekerjaan dan perencanaan pekerjaan menjadi dasar dari pengangkatan
karyawan. Pengangkatan pegawai dimulai dengan melakukan rekruitmen dan
seleksi yang dilakukan oleh manajemen SDM.
- Pengembangan SDM. Dimulai dengan perekrutan, kemudian dilanjutkan
terhadap orientasi dan pengembangan karyawan baru. Pengembangan
dilakukan secara terus menerus untuk menyiapkan para karyawan dan para
manajer siap dalam menghadapi tantangan di masa depan yang selalu berubah.
Menurut Johar Arifin dan A.Fauzi (2007, p10) pengembangan adalah proses
16
peningkatan keterampilan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan
melalui pendidikan dan pelatihan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
pekerja masa kini dan masa yang akan datang.
- Kompensasi dan Tunjangan. Kompensasi memberikan penghargaan melalui
gaji, insentif, dan tunjangan. Pemberian ini diberikan berdasarkan produktivitas
yang dihasilkan oleh karyawan.
- Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan. Jaminan kesehatan karyawan, serta
keselamatan adalah hal yang sangat penting. Berbagai hukum mengenai
keselamatan dan kesehatan kerja telah menjadikan organisasi lebih responsif.
Di Indonesia sendiri ada hukum yang mengatur masalah keselamatan dan
kesehatan karyawan, seperti UUD Nomor 1 Tahun 1970, pasal 1,2, dan 3.
Perusahaan dapat menciptakan suatu program bantuan karyawan untuk
mempertahankan kinerja karyawan.
- Hubungan karyawan dan manajemen. Interaksi antara sesama karyawan dan
manajemen harus selalu ditangani secara efektif apabila perusahaan ingin
sukses bersama. Merupakan suatu hal yang penting untuk mengembangkan,
mengkomunikasikan, dan memperbaharui kebijakan dan prosedur SDM yang
menyangkut hak-hak karyawan. Griffin (2004, p436) menjelaskan bahwa
karyawan dapat membentuk suatu serikat karyawan, yang menjadi wakil dari
karyawan perusahaan, untuk menjalin hubungan dan mendapatkan informasi
dengan manajemen perusahaan tempat karyawan itu bekerja.
17
2.1.4
Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia
Berdasarkan pendapat Cushway (2002, p6-7) tujuan dari manajemen
sumber daya
manusia
sesuai
dengan tujuan dan harapan dari
setip
organisasi/perusahaan. Adapaun tujuan dari manajemen sumber daya manusia
adalah sebagai berikut:
 Memberikan saran kepada manajemen tentang kebijakan sumber daya manusia
guna memastikan organisasi memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan
berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan sarana untuk menghadapi perubahan
yang dapat memenuhi kebutuhan pekerjaannya.
 Melaksanakan dan memelihara semua kebijakan, dan prosedur SDM yang
diperlukan untuk memastikan pencapaian tujuan organisasi.
 Membantu pengembangan arah, dan strategi organisasi secara keseluruhan,
terutama dengan memperhatikan segi-segi SDM.
 Menyediakan bantuan dan menciptakan kondisi yang dapat membantu manajer
lini dalam mencapai tujuan mereka.
 Mengatasi krisis dan situasi dalam hubungan antar pegawai untuk memastikan
tidak adanya gangguan dalam pencapaian tujuan organisasi.
 Menyediakan sarana komunikasi antara karyawan dengan manajemen
organisasi.
 Bertindak sebagai penjamin standar dan nilai organisasi dalam pengelolaan
SDM.
18
2.1.5
Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Halayu S.P. Hasibuan (2003, p21) fungsi manajemen sumber
daya manusia adalah sebagai berikut :
 Perencanaan. Perencanaan adalah suatu proses merencanakan tenaga kerja
secara efektif dan efesien agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam
membantu terwujudnya tujuan. Griffin (2004, p420) membagi perencanaan
sumber daya manusia meliputi ke dalam berbagai kegiatan yang lebih
spesifik,seperti berikut :
- Mengukur tren dalam, meliputi menganalisa keadaan pasar tenaga kerja
eksternal, menganalisa keadaan tenaga kerja perusahaan saat ini, merumuskan
kebutuhan perusahaan yang disesuaikan dengan tujuan dan rencana perusahaan
di masa depan.
- Memprediksi permintaan akan jumlah karyawan yang dibutuhkan, spesifikasi
tenaga kerja serta analisa pekerjaan yang akan diisi oleh kandidat karyawan.
- Menganalisapenawaran karyawan. Dalam tahap ini, analisa penawaran
karyawan dibagi dua, yaitu memprediksi penawaran internal (jumlah dan jenis
karyawan yang akan ada di perusahaan di masa yang akan datang) dan
memprediksi penawaran eksternal (jumlah dan jenis karyawan yang tersedia di
pasaran).
- Membandingkan jumlah karyawan yang tersedia dengan penawaran internal.
- Membuat suatu perencanaan ketika terdapat suatu masalah kekurangan ataupun
kelebihan atas jumlah karyawan yang telah diprediksi.
19
 Pengorganisasian. Perngorganisasian adalah kegiatan untuk mengorganisasi
semua karyawan dengan menetapkan pembagian kerja, delegasi wewenang,
intregrasi, dan koordinasi dalam bagan organisasi.
 Pengarahan. Pengarahan adalah kegiatan mengarahkan semua karyawan agar
mau bekerja sama dan bekerja secara efektif serta efesien dalam membantu
tercapainya tujuan perusahaan.
 Pengendalian. Pengendalian adalah suatu kegiatan yang mengendalikan semua
karyawan agar menaati peraturan-peraturan perusahaan dan bekerja sesuai
dengan rencana. Ketika terdapat suatu penyimpangan atau kesalahan, maka
diadakan suatu tindakan penyempurnaan atau perbaikan rencana. Pengendalian
karyawan berupa kehadiran, kedisiplinan, perilaku, kerja sama, pelaksanaan
pekerjaan, dan menjaga situasi lingkungan pekerjaan.
 Pengadaan (Procerument). Pengadaan adalah proses penarikan (recruitment),
seleksi (selection), penempatan (staffing),orientasi, dan induksi untuk
mendapatkan karyawan sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
 Pengembangan. Pengembangan adalah proses peningkatan keterampilan teknis,
teoritis, konseptual, dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan.
Pendidikan dan pelatihan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan
pekerjaan masa kini maupun masa depan.
 Kompensasi. Kompensasi adalah pemberian balas jasa langsung dan tidak
langsung, uang atau barang kepada karyawan sebagai imbalan jasa yang
diberikan oleh perusahaan. Prinsip kompensasi adalah adil dan layak. Adil
sesuai dengan prestasi karjanya, layak diartikan dapat memenuhi kebutuhan
20
primernya serta berpedoman pada batas upah minimum pemerintah dan
berdasarkan internal dan eksternal konsistensi.
 Pengintegrasian. Pengintegrasian adalah kegiatan untuk mempersatukan
kepentinggan perusahaan dan kebutuhan karyawan, agar tercipta kerja sama
yang serasi dan saling membutuhkan.
 Pemeliharaan.
Pemeliharaan
adalah
kegiatan
untuk
memelihara
atau
meninggalkan kondisi fisik, mental, dan loyalitas karyawan, agar mereka tetap
mau bekerja sama sampai dengan pensiun. Pemeliharaan yang baik dilakukan
dengan program kesejahteraan yang berdasarkan kebutuhan sebagian besar
karyawan serta berpedoman kepada internal dan eksternal konsistensi.
 Kedisiplinan. Kedisiplinan merupakan fungsi MSDM yang terpenting dan
kunci terwujudnya efektifitas dan efesiensi perusahaan.
 Pemberhentian (separation). Pemberhentian adalah putusnyaa hubungan kerja
seseorang dari suatu perusahaan. Pemberhentian ini disebabkan oleh keinginan
karyawan, keinginan perusahaan, kontrak kerja berakhir, pensiun dan sebabsebab lainnya.
2.1.6
Kompensasi (Compensation)
Manajemen sumber daya manusia tidak akan terlepas dari tenaga kerja,
atau karyawan perusahaan. Setiap organisasi atau perusahaan memiliki tenaga
kerja yang memiliki peran dan tugas yang berbeda-beda. Setiap perusahaan juga
pasti memiliki tenaga kerja yang berpotensi, yang selalu memberikan hasil yang
positif, ataupun tenaga kerja yang tidak banyak memberikan kontribusi.
21
Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2003, p117) karyawan adalah setiap
orang yang bekerja dengan menjual tenaganya (fisik dan pikiran) kepada suatu
perusahaan dan memperoleh balas jasa sesuai dengan peraturan dan perjanjian.
Seorang karyawan memberikan suatu kinerja dan kontribusi kepada perusahaan,
kemudian perusahaan memberikan suatu balas jasa kepada karyawan tersebut.
Besarnya balas jasa tersebut dikemukakan sebelum karyawan mulai bekerja,
sehingga karyawan tahu seberapa besar balas jasa yang akan diberikan
berdasarkan tugas yang telah diberikan kepadanya. Balas jasa atau kompensasi
inilah yang menjadi tumpuan para karyawan untuk memenuhi kebutuhan keluarga
dan hidupnya. Dan bagi karyawan itu sendiri, seberapa besar kompensasi yang
diterima manjadi suatu gambaran akan status kerja dan pengakuan oleh
perusahaan.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2004, p419) sistem
kompensasi dalam organisasi harus sesuai dengan tujuan dan strategi organisasi,
dan juga harus diseimbangkan biaya kompensasinya pada satu tingkat yang
menjamin daya saing organisasional dan memberikan memberikan penghargaan
yang memadai untuk para karyawan atas pengetahuan, keterampilan, kemampuan,
dan kinerja para karyawan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa sistem kompensasi
memiliki manfaat yang sangat penting, baik untuk perusahaan, maupun untuk
karyawan itu sendiri. Adapun sistem kompensasi yang efektif memiliki empat
tujuan :
 Kepatuhan pada hukum dan peraturan yang berlaku
 Efektivitas biaya bagi organisasi
22
 Keadilan internal, eksternal, dan individual bagi para karyawan
 Peningkatan kinerja bagi organisasi
Di dalam pembahasan berikutnya, teori mengenai kompensasi ini akan
bermanfaat
di
dalam
mengartikan
kompensasi,
menentukan
jenis-jenis
kompensasi yang sesuai dengan keadaan perusahaan, penentuan subvariabel di
dalam penyusunan kuesioner, dan akan menjadi landasan dasar dari menetapkan
pengaruh kompensasi terhadap turnover intention karyawan perusahaan PT.
Swatama Mega Teknik.
2.1.6.1 Pengertian Kompensasi
Banyak definisi kompensasi yang lahir dari para ahli. Menurut Husein
Umar (2005, p16) kompensasi didefinisikan sebagai suatu yang diterima
karyawan sebagai balas jasa tehadap mereka, yang didahuli oleh proses
kompensasi. Proses kompensasi itu sendiri adalah suatu jaringan berbagai subproses untuk memberikan balas jasa kepada karyawan untuk pelaksanaan
pekerjaan dan untuk memotivasi mereka agar mencapai tingkat prestasi yang
diinginkan.
Menurut Justin T. Sirait (2004, p181) kompensasi adalah sesuatu yang
diperoleh karyawan, baik itu berupa uang atau bukan uang sebagai balas jasa yang
diberikan bagi upaya pegawai (kontribusi pegawai) yang diberikannya untuk
organisasi. Dalam kompensasi itu sendiri, lebih lanjut dijelaskan oleh beliau
bahwa kompensasi bukan sekedar gaji atau upah, melainkan terdapat suatu sistem
23
kesejahteraan pegawai dan insentif di dalamnya yang dapat meningkatkan
produktivitas.
Menurut Griffin (2004, p432) kompensasi adalah remunerasi finansial
yang diberikan oleh organisasi kepada karyawannya sebagai imbalan atas kerja
mereka. Menurut William B. Wether dan Keith Davis (dikutip oleh Malayu S.P
Hasibuan, 2003, p119) kompensasi adalah apa yang seorang pekerja terima
sebagai balasan dari pekerjaan yang diberikan, baik upah perjam atau gaji
periodik yang didesain dan dikelola oleh bagian personalia perusahaan.
Menurut Veithzal Rivai (2004, p357) kompensasi merupakan sesuatu yang
diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka pada perusahaan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan kompensasi adalah :
 Pasar tenaga kerja
Pasar tenaga kerja mempengaruhi desain kompensasi dalam dua cara. Pertama,
tingkat persaingan tenaga kerja sebagian menentukan batas rendah tingkat
pembayaran. Jika tingkat pembayaran suatu perusahaan terlalu rendah, tenaga
kerja yang memenuhi syarat tidak akan bersedian di perusahaan itu,mereka akan
mencari alternatif pilihan perusahaan yang lebih tinggi. Kedua, pada saat yang
sama mereka menekan pengusaha untuk mencari alternatif, seperti penyedia
tenaga kerja asing, yang harganya mungkin lebih rendah, atau teknologi yang
mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja.
24
 Kondisi ekonomi
Salah satu aspek yang mempengaruhi kompensasi sebagai salah satu faktor
eksternal adalah kondisi-kondisi ekonomi industri, terutama daerah tingkat
persaingan, yang mempengaruhi kesanggupan untuk membayar perusahaan itu
dengan gaji tinggi. Semakin kompetitif situasinya, semakin rendah kemampuan
perusahaan untuk membayar gaji lebih tinggi.
 Peraturan pemerintah
Pemerintah secara langsung mempengaruhi tingkat kompensasi melalui
pengendalian upah dan petunjuk yang melarang peningkatan dalam kompensasi
untuk para pekerja tertentu pada waktu tertentu, dan hukum yang menetapkan
tingkat tarif upah minimum, gaji, pengaturan jam kerja, dan mencegah
diskriminasi. Pemerintah juga melarang perusahaan memperkerjakan pekerja di
bawah umur.
 Serikat kerja
Pengaruh eksternal penting lain pada suatu program kompensasi kerja adalah
serikat kerja. Kehadiran serikat pekerja di perusahaan sektor swasta diperkirakan
meningkatkan upah 10 sampai 15 persen dan menaikkan tunjangan sekitar 20
sampai 30 persen. Serikat pekerja sudah cenderung untuk menjadi penentu upah,
manfaat, dan meningkatkan kondisi kerja.
Ketika seorang karyawan tidak dapat menerima sistem pembayaran
kompensasi yang diberikan, maka karyawan akan cenderung meninggalkan
perusahaan, dan akan memberikan efek negatif pada perusahaan. Menurut Justin
25
T. Sirait (2004, p182) ketidakpuasan karyawan dalam hal pembayaran
kompensasi dapat menimbulkan :
 Keinginan untuk mencari imbalan yang lebih
 Berkurangnya rasa tertarik pada diri pegawai akan pekerjaannya yang sekarang
 Pegawai mencari pekerjaan sambilan di tempat lain, sehingga mutu
pekerjaannya yang sekarang tidak diperhatikan
 Mogok kerja
 Sering mengeluarkan keluhan-keluhan yang tidak berarti
 Pegawai mencari pekerjaan yang menawarkan gaji lebih tinggi
Namun lebih lanjut dijelaskan bahwa ada dampak negatif bagi karyawan ketika
kompensasi yang diterima oleh karyawan sangat tinggi dibandingkan dengan
standar perusahaan. Ketika karyawan merasa kompensasi overpaid, maka
karyawan akan merasa cemas karena di tempat lain dia tidak dibayar setinggi itu
dan akan berpikir bahwa perusahaan memberikan terlalu banyak tuntutan kepada
karyawan tersebut.
Dari pengertian yang dikemukakan oleh para peneliti di atas, dapat
disimpulkan bahwa kompensasi adalah suatu balas jasa yang diterima oleh
karyawan, yang diberikan berdasarkan kinerja karyawan, dan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas karyawan.
26
2.1.6.2 Tujuan Kompensasi
Tujuan manajemen kompensasi menurut Justin T. Sirait (2004, p183)
adalah sebagai berikut :
 Untuk bisa memperoleh karyawan yang bermutu. Kompensasi diperlukan untuk
menarik para calon karyawan, agar dapat bekerja di perusahaan tersebut. Bila
perusahaan bersaing di pasaran tenaga kerja, kompensasi harus dapat
merangsang calon pegawai ataupun pegawai dari perusahaan lain.
 Mempertahankan
karyawan
yang
masih
bekerja
dalam
perusahaan,
meningkatkan retensi karyawan. Perusahaan harus tetap menjaga kompetitif
kompensasi perusahaan.
 Dengan mengatur kompensasi, maka menciptakan suatu lingkungan yang adil.
Kompensasi harus sesuai dengan tingkat pekerjaan dari karyawan yang sama,
dan juga harus seimbang, sesuai dengan jumlah kompensasi karyawan di
perusahaan lain, serta tetap kompetitif.
 Suatu kompensasi harus merupakan imbalan dari perilaku yang diinginkan. Jika
kita menginginkan seorang pegawai selesai mengerjakan tugasnya, maka
kompensasi tersebut harus dapat membuat pegawai tersebut bekerja sesuai
dengan harapan kita.
 Bisa mengatur dan mengendalikan biaya. Program kompensasi yang baik dan
rasional harus membantu organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan
pekerja pada tingkat biaya yang rasional dan memadai.
27
 Menciptakan suatu administrasi yang efesien. Dengan menciptakan manajemen
kompensasi yang baik, maka dapat menghemat biaya administrasi.
2.1.6.3 Jenis-Jenis Kompensasi
Menurut Griffin (2004, p432-433) kompensasi terbagi dalam tiga bentuk
dasar. Bentuk pertama adalah upah. Upah adalah kompensasi per jam yang
dibayarkan kepada karyawan operasional. Bentuk kedua adalah gaji. Gaji adalah
bentuk kompensasi yang dibayarkan kepada karyawan yang berdasarkan
kontribusi total. Contoh pemberian gaji adalah ketika manajer memperoleh gaji
tahunan, yang dibayarkan dalam bulanan, tanpa melihat berapa jam manajer itu
bekerja. Bentuk terakhir adalah insentif. Insentif adalah kompensasi yang
menggambarkan kesempatan kompensasi khusus yang biasanya terkait dengan
kinerja karyawan. Komisi penjualan pada salesperson merupakan suatu bentuk
insentif.
Menurut Malayu S.P Hasibuan (2003, p118) kompensasi menurut
bentuknya dibagi atas dua, yaitu kompensasi berbentuk uang (kompensasi dibayar
dengan sejumlah uang kartal kepada karyawan yang bersangkutan) dan
kompensasi berbentuk barang (kompensasi yang dibayar dengan menggunakan
barang), sedangkan untuk jenis kompensasi dibagi atas dua jenis, yaitu
kompensasi langsung, yang berupa gaji, upah, dan upah insentif, kompensasi
tidak langsung, yang berupa kesejahteraan karyawan.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2004, p420), jenis-jenis
kompensasi adalah sebagai berikut :
28
 Gaji Pokok. Gaji pokok adalah suatu bentuk kompensasi dasar yang diterima
seorang karyawan, yang biasanya berupa upah atau gaji.
 Penghasilan Tidak Tetap. Penghasilan tidak tetap adalah jenis kompensasi yang
dihubungkan dengan kinerja individual, tim, atau organisasional. Jenis
penghasilan tidak tetap yang paling umum untuk sebagian besar karyawan
adalah pembayaran bonus dan program insentif.
 Tunjangan. Tunjangan adalah sebuah penghargaan tidak langsung yang
diberikan untuk seorang karyawan atau sekelompok karyawan sebagai bagian
dari keanggotaan operasional.
Dari teori Robert L. Mathis dan John H. Jackson di atas, maka dalam
penyusunan kuesioner dalam penelitian ini, jenis kompensasi langsung dan tidak
langsung menjadi subvariabel dari variabel kompensasi. Teori ini juga sesuai
dengan keadaan kompensasi perusahaan, dimana perusahaan juga memberlakukan
kompensasi langsung, yang berupa gaji pokok dan gaji harian, serta kompensasi
tidak langsung, yang berupa tunjangan asuransi.
2.1.6.4 Gaji
Menurut Veithzal Rivai (2004, p379) gaji adalah balas jasa dalam bentuk
uang yang diterima karyawan sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai
seorang karyawan yang memberikan sumbangan tenaga dan pikiran.
29
2.1.6.5 Gaji Berbasis Kompetensi
Menurut Robert L. Mathis dan John H.Jackson (2004, p427)rancangan
dari sebagian besar program kompensasi memberikan penghargaan kepada
karyawan karena telah menjalankan tugas, kewajiban, dan tanggung mereka.
Syarat-syarat pekerjaan menentukan karyawan memiliki tarif dasar yang lebih
tinggi. Karyawan menerima lebih banyak karena melakukan pekerjaan yang
membutuhkan variasi tugas yang lebih banyak, lebih banyak pengetahuan dan
keterampilan, usaha fisik yang lebih besar, atau kondisi bekerja yang lebih
menuntut.
Akan tetapi, beberapa organisasi lebih menekankan kompetensi daripada
tugas. Beberapa organisasi membayar para karyawan lebih karena kompetensi
yang mereka tunjukkan daripada tugas tertentu yang dilakukan. Memberi imbalan
kerja atas kompetensi memberikan penghargaan kepada karyawan yang
menampilkan kepandaian dalam banyak hal yang lebih banyak dan terus
mengembangkan kompetensi mereka. Dalam sistem imbalan kerja berbasis
pengetahuan (knowledge based pay) atau imbalan kerja berbasis keterampilan
(skill based pay), karyawan mulai dari tingkat imbalan kerja dasar dan menerima
kenaikkan ketika mereka belajar untuk melakukan pekerjaan lain atau
memperoleh keterampilan lain. Ketika organisasi bergerak menuju sistem berbasis
kompetensi, setiap blok kompetensi harus dihargai dengan menggunakan berbagai
data. Rencana kompetensi harus berfokus pada pertumbuhan dan perkembangan
kompetensi karyawan.
30
2.1.6.6 Upah
Menurut Veithzal Rifai (2004, p375) upah merupakan imbalan finansial
langsung yang dibayarkan kepada karyawan berdasarkan jumlah jam kerja,
jumlah barang yang dihasilkan, dan banyaknya pelayanan yang diberikan.
Penggolongan upah dibagi kedalam tiga golongan, yaitu upah sistem waktu, upah
sistem hasil, dan upah sistem borongan,
2.1.6.7 Insentif
Menurut Veithzal Rifai (2004, p384) insentif merupakan imbalan langsung
yang dibayarkan kepada karyawan karena kinerjanya melebihi standar yang
ditentukan. Insentif merupakan bentuk lain dari upah langsung diluar upah gaji
dan gaji yang merupakan kompensasi tetap, yang biasa disebut kompensasi
berdasarkan kinerja (pay for performance plan). Menurut Gary Dessler (2005,
p412) insentif finansial adalah ganjaran finansial yang diberikan kepada karyawan
yang produksinya melampaui standar yang telah ditetapkan.
2.1.6.8 Sistem Pembayaran Kompensasi
Menurut Hasibuan P. Malayu (2003, p124-125) sistem pembayaran dibagi
kedalam tiga sistem, yaitu sistem waktu, sistem hasil, dan sistem borongan.
 Sistem waktu. Dalam sistem ini, besarnya kompensasi (gaji, upah) ditetapkan
berdasarkan standar waktu seperti jam, minggu, atau bulan. Administrasi
pengupahan sistem waktu relatif lebih mudah serta dapat diterapkan kepada
karyawan maupun pekerja harian. Sistem ini biasanya ditetapkan ketika prestasi
31
kerja sulit diukur per unitnya dan bagi karyawan tetap kompensasinya
dibayarkan atas sistem waktu secara periodik setiap tahunnya. Keuntungan dari
sistem ini adalah administrasi kompensasi bersifat mudah dan jumlah yang
dibayarkan tetap, namun kelemahan dari sistem ini adalah pekerja yang malas
pun akan diberikan kompensasinya sesuai dengan perjanjian
 Sistem hasil. Dalam sistem ini, besarnya kompensasi ditetapkan atas kesatuan
unit yang dihasilkan pekerja, seperti per potong, per meter, dan sebagainya.
Pembayaran ini selalu berdasarkan kepada banyaknya hasil yang telah
dikerjakan, bukan berdasarkan pada lamanya hasil tersebut dikerjakan. Sistem
ini tidak dapat diterapkan kepada karyawan tetap dan jenis pekerjaan yang tidak
mempunyai standar fisik, seperti bagi karyawan administrasi. Keuntungan dari
sistem ini adalah selalu memberikan kesempatan kepada karyawan yang
bekerja secara bersungguh-sungguh serta berprestasi baik akan memperoleh
kompensasi yang lebih besar. Kelemahan dari sistemi ini adalah kualitas barang
yang dihasilkan kurang baik dan karyawan yang kurang akan memperoleh
kompensasi yang sangat kecil, sehingga sedikit memperlihatkan ketidakadilan,
yang akan memperburuk keadaan perusahaan dan karyawan itu sendiri.
 Sistem borongan. Sitem borongan adalah suatu cara pengupahan yang
penetapan
besar
jasa
didasarkan
atas
volume
pekerjaan
dan
lama
mengerjakannya. Sistem ini pelaksanaannya sangat rumit, pengerjaannya
memakan waktu yang lama, dan diperlukan alat bantu untuk menyelesaikannya.
Dalam sistem ini pekerja bisa mendapat kompensasi besar atau kecil,
tergantung atas kecermatan kalkulasi yang dilakukan karyawan. Sistem
32
inisering digunakan oleh perusahaan-perusahaan kontraktor yang sering
menggunakan jasa pemborong.
2.1.7
Job Insecurity
Ketidakpastian yang tidak diprediksi adalah salah satu konsekuensi dalam
pasar tenaga kerja. Konsekuensi ini merupakan salah satu faktor dalam Job
insecurity (ketidakamanan pekerjaan) yang timbul dari keadaan individual
karyawan itu sendiri dan perusahaan tempat karyawan bekerja. Ketidakpastian ini
juga menyebabkan perusahaan dan karyawan itu sendiri enggan melakukan
perubahan yang nantinya akan mengancam kelangsungan kehidupan kerja
mereka. Selain itu bagi karyawan, kondisi ini akan menciptakan ketidaknyamanan
dalam melakukan pekerjaan serta timbul kekhawatiran akan kelanjutan kerja
mereka, menurut Santoso (2005, p74-93).
Job insecurity merupakan suatu kondisi dimana seseorang karyawan
memiliki pekerjaan, namun mengalami gangguan psikologis. Dalam kondisi ini
karyawan memiliki potensi dalam pekerjaannya, namun terdorong oleh gangguan
psikologis yang disebabkan atmosfer lingkungan pekerjaan yang tidak
mendukung dan menimbulkan ketidakpastian dan kekhawatiran tentang
keberlanjutan pekerjaan mereka di dalam perusahaan tersebut.
Pemberhentian yang dilakukan oleh karyawan adalah akhir dari Job
insecurity seorang karyawan. Pemberhentian ini dilakukan dengan menggunakan
berbagai alasan, mulai dari urusan keluarga, kesehatan yang kurang baik,
melanjutkan pendidikan, dan keinginan untuk berwiraswasta. Namun tidak sedikit
33
secara terang-terangan, bahwa pemberhentian yang dilakukan karyawan karena
kurangnya kompensasi yang diberikan, mendapatkan tawaran pekerjaan yang
lebih baik, perlakuan yang tidak adil, kurang mendapat kesempatan promosi, dan
lingkungan kerja yang tidak sesuai, menurut Hasibuan P. Malayu (2003, p211).
Pemberhentian ini akan berakibat negatif bagi perusahaan, yaitu tingginya angka
turnover yang memperlihatkan sisi negatif dari perusahaan, serta mengeluarkan
biaya lebih besar untuk melakukan penarikan, seleksi dan pelatihan.
Teori mengenai job insecurity akan menjelaskan pengertian dari job
insecurity itu sendiri, apa yang menjadi faktor-faktor timbulnya rasa tidak aman di
dalam perusahaan, subvaribel dari job insecurity yang menjadi landasan dalam
pengisian kuesioner dalam penelitian ini, dan bagaimana pengaruh job insecurity
di dalam keadaan turnover karyawan PT. Swatama Mega Teknik.
2.1.7.1 Pengertian Job Insecurity
Menurut Smithson dan Lewis (2002, p1-15) job insecurity adalah kondisi
psikologis karyawan yang menunjukkan rasa bingung atau merasa tidak aman
dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Kondisi ini muncul karena
banyaknya jenis pekerjaan yang bersifat kontrak atau sementara. Makin banyak
jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara, menyebabkan semakin
banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity. Definisi job insecurity juga
sering menggabungkan konsep ketidakberdayaan untuk mengurangi rasa tidak
aman, menurut Rogelberg (2007, p416).
34
Menurut Salmon dan Heery (2000) dalam Bryson dan Harvey (2002, p28)
karyawan akan mengalami rasa tidak aman (Job insecurity) yang makin
meningkat karena ketidakstabilan terhadap status kepegawaian mereka dan tingkat
pendapatan yang makin tidak bisa diramalkan. Dengan berbagai perubahan yang
terjadi dalam perusahan, karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah, dan
tidak aman karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan
kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterima dari perusahaan.
Dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa
job
insecurity
adalah
suatu
ketidakberdayaan untuk menjamin kesinambungan dari suatu pekerjaan atau
komponen-komponennya pada saat keadaan pekerjaan itu terancam, dan
menimbulkan rasa ketidakamanan pada para karyawan, atau rasa tidak aman yang
dirasakan oleh karyawan.
Job
insecurity
diukur berdasarkan
komponen-komponen
yang
dikemukakan Greenhalgh dan Rosenblatt dan Ashford, et al. dalam Pasewark
dan Strawser (2002, p91-113) yaitu: (1) tingkat pentingnya aspek-aspek
pekerjaan yang dirasakan individu, (2) kemungkinan perubahan negatif pada
aspek-aspek kerja tersebut bagi individu, (3) tingkat kepentingan yang
dirasakan individu mengenai potensi setiap peristiwa yang secara negatif dapat
mempengaruhi keseluruhan
kerja
individu,
(4) kemungkinan
munculnya
peristiwa-peristiwa tersebut yang secara negatif dapat mempengaruhi keseluruhan
kerja individu, dan (5) ketidakberdayaan yang dirasakan individu.
35
Untuk masalah keterikatan kontrak, di Indonesia sudah banyak perundangundangan yang mengatur akan masalah kontrak tersebut. Seperti yang dimuat oleh
Jimmy Joses Sembiring (2010, p78), pasal 59 ayat 1-4 mengatur segala sesuatu
mengenai pekerjaan dan karyawan yang bersifat kontrak atau sementara. Di dalam
ayat tersebut dikemukakan bahwa pekerjaan yang bersifat sementara adalah
pekerjaan yang sekali selesai, pengerjaannya paling lama 3 tahun, pekerjaan
musiman, dan pekerjaan untuk memperkenalkan produk baru. Dan ayat
selanjutnya dijelaskan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas
jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Dari asas pasal
tersebut, sangat terlihat jelas bahwa karyawan yang bersifat kontrak akan
memiliki suatu hambatan psikologis mengenai keamanan pekerjaan mereka.
Menurut Suhartono (2007, p61-64) beberapa hal yang menjadi masalah dalam job
insecurity antara lain :
 Kondisi pekerjaan, yang dimaksud adalah segala sesuatu yang ada di sekitar
individu yang dimaksud, baik itu berinteraksi langsung maupun tidak langsung
dengan pekerja yang bersangkutan. Hal ini meliputi :
1. Lingkungan kerja. Masalah seringkali timbul karena pekerja merasa tidak
nyaman dengan lingkungannya, seperti bekerja di tempat yang tidak
nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruangan kerja sangat
padat, lingkungan kurang bersih, dan sebagainya.
2. Overload. Kelebihan beban kerja akan mengakibatkan kita mudah lelah dan
berada dalam tegangan tinggi. Overload dibedakan menjadi dua yaitu
36
overload secara kuantitatif dan secara kualitatif. Overload kuantitatif adalah
jika pekerjaan yang kita terima dan ditargetkan, melebihi kapasitas yang
kita miliki, sedang overload secara kualitatitif adalah suatu pekerjaan yang
kita terima sangat kompleks dan sulit, sehingga dapat menyita kemampuan
teknis dan pikiran.
3. Deprivational stress. Yaitu suatu kondisi pekerjaan yang sudah tidak
menantang dan tidak mendatangkan motivasi bagi pekerjanya. Gejala yang
tampak adalah keluhan-keluhan yang muncul dari karyawan.
4. Pekerjaan beresiko tinggi. Pekerjaan-pekerjaan yang beresiko tinggi dan
berbahaya bagi keselamatan, seperti bekerja di pertambangan minyak,
listrik, dan sebagainya, dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan
kekhawatiran yang berlebihan akan masalah kecelakaan yang setiap saat
dihadapi oleh karyawan.
 Konflik Peran. Masalah lain yang timbul adalah ketidak jelasan peran dalam
bekerja sehingga tidak tahu apa yang diharapkan manajemen dari diri karyawan
tersebut. Masalah ini sering timbul pada karyawan yang bekerja di perusahaan
besar, yang kurang memiliki struktur yang jelas. Akibat dari konflik ini adalah
menimbulkan ketidak puasan, ketegangan, menurunnya prestasi kerja, hingga
keluarnya karyawan oleh keinginan mereka sendiri.

Pengembangan Karir. Ketidakjelasan sistem pengembangan karier, penilaian
prestasi kerja, budaya nepotisme dalam manajemen perusahaan atau karena
tidak adanya kesempatan untuk naik jabatan dan mendapatkan promosi,
37
seringkali menimbulkan suatu kecemasan, rasa bosan, dan dismotivasi sehingga
karyawan tidak produktif lagi.

Locus of Control, mencerminkan tingkat kepercayaan individu mengenai
kemampuannya untuk mempengaruhi kejadian-kejadian yang berhubungan
dengan kehidupannya. Individu dengan pandangan pusat pengendalian
eksternal percaya bahwa kekuatan lingkungan yang menentukan nasibnya dan
sedikit kemampuan dirinya untuk mempengaruhi kejadian tersebut. Sebaliknya,
individu dengan pandangan pusat pengendalian internal percaya bahwa dengan
kemampuan
mereka,
mereka
dapat
mempengaruhi
lingkungannya.
Pengendalian ekstrernal merasa bahwa ancaman kemanan pekerjaan mereka
sangat tinggi, sebaliknya pengendalian internal merasa kurangnya masalah
dalam keamanan pekerjaan mereka.
Dari teori di atas, masalah-masalah dalam job insecurity menjadi landasan
dasar di dalam penelitian ini untuk menetapkan subvariabel dari variabel job
insecurity yang membantu dalam penyusunan kuesioner bagi responden.
2.1.7.2 Jenis Komponen dan Konsekuensi Job Insecurity
Dalam jurnal online (www.emeraldinsight.com, Hans De Witte,
Belgium.2005. Job Insecurity :Review of The International Literature on
Definitions, Prevelance, Antecedents, and Consequences) dijelaskan bahwa dalam
lingkungan hari ini, ketidakamanan kerja diakui sebagai suatu kondisi kronis yang
mempengaruhi tenaga kerja umum (Roskies dan Louis-Guerin 1990, p46).
Ketidakamanan kerja tidak hanya berhubungan dengan hilangnya potensi
38
lapangan kerja tetapi juga ketidakpastian mengenai isu-isu pekerjaan dan karir
termasuk tingkat seseorang tanggung jawab dan kesempatan promosi (Greenhalgh
dan Rosenblatt 1984, p16). Para peneliti telah meneliti isu-isu seperti bagaimana
mengelola perubahan organisasi, perampingan, dan pengaruh ketidakamanan kerja
di karyawan yang mempengaruhi tingkat komitmen, omset yang dihasilkan, dan
produktivitas ( Ashford et al, 1989; Hartley et al 1991, p20).
Ketidakamanan kerja umumnya telah dipandang sebagai komponen
kognitif yang mencerminkan kemungkinan kehilangan atribut bernilai (seperti
pekerjaan seseorang) dan komponen emosional atau reaksi, seperti stress yang
terkait dengan prospek kerugian (Hartley dkk 1991, p20). Komponen kognitif
muncul paling sering pada penelitian yang diterbitkan dan sering diukur dengan
indeks tunggal yang dikaitkan dengan hasil seperti kepuasan kerja, komitmen, dan
turnover perusahaan (Ashford et al 1989, p5 ; Adkins et al 2001, p1).
Job insecurity didefinisikan sebagai ketidakberdayaan seseorang/perasaan
kehilangan kekuasaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan
dalam kondisi/situasi kerja yang terancam (Greenhalgh dan Rosenblatt 1984). Job
insecurity yang terjadi di dalam organisasi terdiri dari berbagai jenis dengan dasar
yang berbeda, sebagai berikut:
 Bryson dan Harvey (2000) mengelompokkan job insecurity atau rasa tidak
aman dalam bekerja ke dalam dua kategori, yakni rasa tidak aman subyektif
(subjective job insecurity) dan rasa tidak aman obyektif (objective job
insecurity). Rasa tidak aman yang sifatnya obyektif umumnya dikaitkan dengan
39
indikator yang jelas seperti job tenure, untuk mengetahui kestabilan karyawan
dalam organisasi. Sementara rasa aman yang bersifat subyektif relatif sulit
untuk diamati secara langsung karena indikator yang digunakan adalah
ancaman terhadap hilangnya pekerjaan dan konsekuensi dari hilangnya
pekerjaan tersebut, sebagaimana yang dirasakan oleh karyawan yang
bersangkutan, yang merasakan ketidakamanan tersebut.
 Hellgren, et al. (1999) membagi job insecurity dalam dua pengertian yaitu: job
insecurity kuantitatif dan job insecurity kualitatif. Job insecurity kuantitatif
berkaitan dengan kelanjutan keberadaan sebuah pekerjaan dan job insecurity
kualitatif berupa persepsi tentang ancaman rusaknya hubungan pekerjaan,
seperti: merosotnya kondisi kerja, kurangnya kesempatan promosi, dan
menurunnya gaji.
 Mohr (2000) membedakan job insecurity dalam empat tahap. Tahap pertama
adalah job insecuritysebagai hal yang diketahui oleh masyarakat dan negara,
berupa tingkat pengangguran yang dialami oleh suatu negara. Tahap kedua
adalah job insecuritypada tingkat perusahaan, ketika secara ekonomis kondisi
perusahaan dinyatakan tidak stabil, ancaman yang nyata tentang job
insecuritybelum jelas. Periode ini seringkali disebut chronic insecurity. Tahap
ketiga adalah job insecurityakut pada tingkat individu, ketika ancaman yang
dipersepsikan menjadi kenyataan dan downsizing benar-benar menjadi
kenyataan. Tahap keempat adalah antisipasi kehilangan pekerjaan, saat
pemecatan telah direncanakan. Pada tiap fase yang berbeda akan memberikan
40
pengaruh secara psikologis yang berbeda serta diperlukan strategi coping yang
berbeda.
Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) maupun Ashford et al. (1989),
konstruk job insecurityyang bersifat multidimensional terdiri dari lima komponen.
Lima komponen tersebut yaitu:
 Persepsi terhadap pentingnya faktor-faktor pekerjaan bagi karyawan/arti
pekerjaan itu bagi individu. Komponen ini berisikan seberapa pentingnya aspek
kerja tersebut bagi individu mempengaruhi tingkat insecure atau rasa tidak
amannya. Misalnya: kesempatan untuk promosi dan kebebasan jadwal
pekerjaan. Semakin besar persepsi terhadap ancaman faktor-faktor pekerjaan
yang diterima oleh individu semakin besar job insecurity.
 Kemungkinan perubahan negatif terhadap faktor-faktor pekerjaan tersebut.
Komponen ini berisikan tingkat ancaman yang dirasakan karyawan mengenai
aspek-aspek pekerjaan seperti: kemungkinan untuk mendapat promosi,
mempertahankan tingkat upah yang sekarang, atau memperoleh kenaikan upah.
Individu yang menilai aspek kerja tertentu yang terancam/mungkin akan hilang,
akan lebih gelisah dan merasa tidak berdaya.
 Pentingnya job event yang negatif/kejadian negatif dalam pekerjaan.
Komponen ini berisikan tingkat kepentingan-kepentingan yang dirasakan
individu mengenai potensi setiap peristiwa negatif tersebut. Misalnya: dipecat
atau diberhentikan dalam jangka pendek.
41
 Kemungkinan
munculnya/terjadinya
job
event
yang
negatif
tersebut.
Komponen ini berisikan tingkat ancaman kemungkinan terjadinya peristiwaperistiwa yang secara negatif mempengaruhi keseluruhan kerja individu,
misalnya: dipecat atau dipindahkan ke kantor cabang yang lain.
 Kemampuan individu untuk mengendalikan perubahan pada faktor pekerjaaan
dan job event yang negatif. Komponen ini berisikan perasaan tidak berdaya
karena kehilangan kontrol terhadap pekerjaan.
Cara lain yang agak umum untuk menjelaskan efek dari ketidakamanan
kerja dan konsekuensinya adalah melalui teori kontrak psikologis (misalnya, De
Cuyper & De Witte, 2006;De Witte et al, 2008). Pendekatan ini baru-baru ini
telah digunakan sebagai argumen mengapa kedua jenis ketidakamanan kerja dapat
sama-sama terkait dengan hasil (De Witte et al., 2010). Kontrak psikologis adalah
"keyakinan individu dalam kewajiban timbal balik antara individu dan organisasi"
(Rousseau 1989, p121). Oleh karena itu, subjektivitas dan persepsi sangat penting
di sini seperti dalam teori stres transaksional. Dalam kasus ketidakamanan kerja,
seorang karyawan mungkin merasa bahwa ia harus dapat mencapai kerja yang
aman dengan kesempatan karir dan kemungkinan untuk pengembangan sebagai
imbalan atas usaha dan loyalitas. Ketika harapan subjektif tersebut tidak
terpenuhi, kontrak psikologis dilanggar, dan hasil yang mungkin adalah perasaan
pengkhianatan (Rousseau, 1989). Selain itu, Morrison dan Robinson (1997)
membuat perbedaan antara pelanggaran kontrak psikologis dan pelanggaran.
Sementara pelanggaran harus dipahami sebagai evaluasi kognitif pemenuhan
kontrak, pelanggaran adalah pengalaman yang lebih afektif dan emosional dari
42
kekecewaan, frustrasi kemarahan, dan kebencian akibat pelanggaran kontrak.
Sebagai kontrak pelanggaran atau pelanggaran adalah kombinasi dari harapan
yang belum terpenuhi dan kerusakan pada hubungan antara karyawan dan
organisasi (Rousseau, 1989), reaksi-reaksi ini dipahami. Dua meta-analisis telah
mendukung hubungan negatif antara pelanggaran kontrak psikologis dan sikap
sebagai kepuasan kerja dan kepercayaan dalam manajemen (Bal, De Lange,
Jansen, dan Van der Velde, 2008; Zhao, Wayne, Glibkowski, dan Bravo, 2007).
Lebih umum, pelanggaran berpendapat mempengaruhi kontribusi karyawan
kepada organisasi dengan cara yang negatif (Robinson, 1996).
2.1.8
Turnover Intention
2.1.8.1 Pengertian Turnover
Permasalahan turnover di Indonesia belum dapat terselesaikan, dan masih
menjadi suatu momok yang berbahaya bagi setiap perusahaan. Seperti yang
dikutip di dalam website majalah SWA (www.swa.co.id), di sektor perbankan,
turnover SDM berkeahlian khusus juga sangat tinggi. Survei Watson Wyatt yang
dilaksanakan tahun 2007 ini menunjukkan persentase turnover posisi penting di
perbankan mencapai 6,3%-7,5%, sementara di industri lain 0,1%-0,74%. Survei
juga menjelaskan bagaimana perusahaan mengatasi masalah attraction (merekrut)
dan retention (mempertahankan) karyawan dikaitkan dengan praktik manajemen
reward. Artikel ini membahas lebih mendalam mengenai turnover yang terjadi
pada perbankan nasional. Sektor industri ini sangat rentan terjadi turnover yang
tinggi. Rata-rata turnover karyawan pada perbankan nasional mencapai 10 - 11%
43
per tahun. Meskipun jumlah ini lebih kecil dari tingkat turnoverpada industri
migas yang mencapai 12% tetapi melebihi sektor manufaktur yang berkisar 8%.
Kesimpulan yang dapat di ambil dari artikel di atas, bahwa turnover
karyawan masih sangat besar di Indonesia. Turnover karyawan ini ada di setiap
sektor industri bisnis, mulai dari perbankan, industri migas, sektor manufaktur,
dan
sebagainya.
Menurut
Feinstein
dan
Harrah
(dikutip
dari
www.emeraldinsight.com, 2002) adanya turnover ini dapat mengganggu
produktifitas perusahaan, menurunkan kepuasan kerja bagi karyawan yang masih
bertahan diperusahaan, dan dapat menimbulkan pandangan negatif tentang
perusahaan yang mengalami turnovertersebut.
Arti turnover adalah berhentinya seorang karyawan dari tempatnya bekerja
secara sukarela, menurut Zeffane (2003, p24-25). Dalam penelitian voluntary
turnover yang menggunakan variabel tingkat perputaran sesungguhnya yang
dihadapi perusahaan, maka jumlah karyawan yang meninggalkan organisasi
karena alasan sukarela dengan sama maka akan mengalami kelemahan
metodologi. Teori ini membagi perilaku berpindah secara suka rela (voluntary
turnover) dalam dua kelompok, yang dapat dihindari (avoidable) dan yang tidak
dapat dihindari (unavoidable). Menurut Zeffane (2003, p27-31) terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi turnover, diantaranya adalah faktor eksternal, yakni
pasar tenaga kerja, faktor institusi, yakni kondisi ruang kerja, upah, keterampilan
kerja, dan faktor dari karyawan itu sendiri, seperti intelegensi, sikap, masa lalu,
jenis kelamin, minat, umur, dan lama bekerja
44
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2004, p125)
turnoverbehubungan dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasional.
Turnover adalah proses dimana karyawan-karyawan meninggalkan organisasi dan
harus segera digantikan. Dan hal ini merupakan salah satu kerugian terbesar yang
akan dialami perusahaan ketika banyak karyawannya yang meninggalkan
perusahaannya, apalagi karyawan yang keluar adalah karyawan yang berpotensi.
2.1.8.2 Jenis Turnover
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2004, p125-126),
turnoverdikelompokkan dalam beberapa cara yang berbeda. Setiap klasifikasi
berikut dapat digunakan dan tidak terpisah satu sama lain.
 Turnover secara tidak sukarela
Adalah keluarnya karyawan akibat dari pemecatan karena kinerja yang buruk
dan pelanggaran peraturan kerja.
 Turnover secara suka rela
Adalah keluarnya karyawan yang dikarenakan keinginan sendiri (turnover
intention).
Turnover secara tidak sukarela dipicu oleh kebijakan organisasional,
peraturan kerja, dan standar kinerja yang tidak dipenuhi oleh karyawan. Turnover
secara sukarela dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk peluang karir, gaji,
pengawasan, geografi, dan alasan pribadi atau keluarga. Turnover sukarela juga
tambah meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran organisasi, mungkin
sekali dikarenakan semakin perusahaan besar mempunyai lebih banyak karyawan
45
yang mungkin keluar, semakin perusahaan tersebut bersifat impersonal, begitu
pula dengan birokrasi organisasi yang ada dalam perusahaan tersebut.
 Turnover Fungsional
Keluarnya karyawan yang memiliki kinerja lebih rendah atau karyawan yang
menganggu proses perusahaan.
 Turonover Disfungsional
Keluarnya karyawan penting, berkompetensi, dan memiliki kinerja yang tinggi.
Tidak semua turnover memberi dampak negatif bagi suatu organisasi
karena kehilangan beberapa angkatan kerja sangat diinginkan, terutama apabila
karyawan-karyawan yang keluar adalah mereka yang masuk kedalam kategori
berkinerja rendah, kurang dapat diandalkan, atau mereka yang mengganggu rekan
kerja lainnya dalam perusahaan. Sayangnya bagi suatu perusahaan, perputaran
disfungsional terjadi ketika karyawan yang penting keluar dari perusahaan, dan
sering kali terjadi pada saat yang kurang tepat.
 Turnover yang Tidak Dapat Dikendalikan
Suatu momentum keluarnya karyawan karena alasan di luar pengaruh pemberi
kerja.
 Turnover yang Dapat Dikendalikan
Suatu momentum keluarnya karyawan karena faktor-faktor yang dipengaruhi
oleh pemberi kerja.
Banyak alasan karyawan yang berhenti tidak dapat dikendalikan oleh
perusahaan, dan alasan-alasan tersebut meliputi karyawan pindah dari daerah
46
geografis, karyawan memutuskan untuk tinggal di rumah untuk alasan keluarga,
suami atau istri karyawan dipindahkan, atau karyawan adalah mahasiswa yang
baru lulus dari perguruan tinggi. Tetapi, yang harus disampaikan adalah turnover
yang dapat dikendalikan. Perusahaan lebih mampu memelihara karyawan apabila
mereka menangani persoalan karyawan yang dapat menimbulkan turnover.
Walaupun beberapa turnover tidak dapat dihindari, banyak pemberi kerja yang
mengetahui bahwa mengurangi turnover sangatlah penting. Kerugian turnover,
termasuk produktivitas perusahaan yang berkurang, telah membuat para pemberi
kerja mengeluarkan usaha untuk dapat memelihara dan mempertahankan
karyawan.
2.1.8.3 Biaya Turnover
Menurut Robert L. Mathis dan John H.Jackson (2004, p138) salah satu
kerugian terbesar dalam terjadinya turnover adalah biaya yang harus dikeluarkan.
Model perkiraan biaya turnover ini selalu mempertimbangkan beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut adalah :
 Biaya Perekrutan
Meliputi beban perekrutan dan iklan, biaya pencarian, waktu dan gaji
pewawancara dan staf SDM, biaya penyerahan karyawan, biaya relokasi dan
pemindahan, waktu dan gaji supervisor dan manajerial, biaya pengujian
perekrutan, waktu pengecekan referensi, beban medis sebelum pekerjaan, dan
sebagainya.
47
 Biaya Pelatihan
Meliputi waktu orientasi yang dibayar, waktu dan gaji staf latihan, biaya materi
pelatihan, waktu dan gaji para supervisor dan manajer, dan sebagainya.
 Biaya Produktivitas
Meliputi produktivitas yang hilang karena waktu pelatihan karyawan baru,
hilangnya hubungan pelanggan, tidak biasa dengan produk dan jasa perusahaan,
lebih banyak waktu untuk menggunakan sumber dan sistem perusahaan, dan
sebagainya.
 Biaya Pemberhentian
Meliputi waktu dan gaji staf dan supervisor SDM untuk mencegah
pemberhentian, waktu wawancara keluar kerja, beban pengangguran, biaya
hukum yang dituntut oleh karyawan yang diberhentikan, dan sebagainya.
2.1.8.4 Pengertian Turnover Intention
Seperti artikel yang dikutip dari website (http://jurnal-sdm.blogspot.com)
banyak teori yang dikemukakan oleh para peneliti untuk mengungkapkan definisi
dari turnover intention. Menurut Harninda (1999, p27) turnover intentionpada
dasarnya adalah sama dengan keinginan berpindah karyawan dari satu tempat
kerja ke tempat kerja lainnya. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa turnover
intentionadalah keinginan untuk berpindah, belum sampai pada tahap realisasi
yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya.
Harnoto (2002, p2) menyatakan bahwa turnover intentionadalah kadar atau
intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan yang
48
menyebabkan timbulnya turnover intentionini dan diantaranya adalah keinginan
untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Pendapat tersebut juga relatif sama
dengan pendapat yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa turnover intention
pada dasarnya adalah keinginan untuk meninggalkan (keluar) dari perusahaan.
Pendapat ini menunjukkan bahwa turnover intention merupakan bentuk
keinginan karyawan untuk berpindah ke perusahaan lain. Handoko (2000, p322)
menyatakan bahwa perputaran (turnover) merupakan tantangan khusus bagi
pengembangan sumber daya manusia. Karena kejadian-kejadian tersebut tidak
dapat diperkirakan, kegiatan-kegiatan pengembangan harus mempersiapkan setiap
saat pengganti karyawan yang keluar. Di lain pihak, dalam banyak kasus nyata,
program pengembangan perusahaan yang sangat baik justru meningkatkan.
Pergantian karyawan atau keluar masuknya karyawan dari organisasi
adalah suatu fenomena penting dalam kehidupan organisasi. Ada kalanya
pergantian karyawan memiliki dampak positif. Namun sebagian besar pergantian
karyawan membawa pengaruh yang kurang baik terhadap organisasi, baik dari
segi biaya maupun dari segi hilangnya waktu dan kesempatan untuk
memanfaatkan peluang Dalam arti luas, “turnover diartikan sebagai aliran para
karyawan yang masuk dan keluar perusahaan” (Ronodipuro dan Husnan, 1995,
p34). Sedangkan Mobley (1999, p13) megemukakan bahwa batasan umum
tentang pergantian karyawan adalahberhentinya individu sebagai anggota suatu
organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang
bersangkutan.Menurut Harnoto (2002, p2) turnover intention ditandai oleh
berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain: absensi yang
49
meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib
kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, maupun keseriusan
untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari
biasanya. Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk
memprediksikan turnover intention karyawan dalam sebuah perusahaan.
 Absensi yang meningkat
Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai
dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab karyawan
dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya.
 Mulai malas bekerja
Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas
bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat lainnya yang
dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan bersangkutan.
 Peningkatan terhadap pelanggaran tatatertib kerja
Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering
dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering
meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai
bentuk pelanggaran lainnya.
 Peningkatan protes terhadap atasan
Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering
melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan.
Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau
aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan.
50
 Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya
Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan
ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan,
dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari
biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwan turnover intention
adalah suatu keinginan yang timbul dari diri karyawan untuk segera meninggalkan
perusahaan secara sukarela. Keinginan ini dipicu oleh berbagai faktor, seperti
keinginan mendapatkan kompensasi yang lebih, keinginan karena masalah
keluarga, dan sebagainya.
2.1.8.5 Variabel dalam Turnover Intention
Menurut
William
Mark
Nicholson
dalam
jurnal
online
(www.proquest.com,2009, p73-74), Niat untuk pergi (turnover intention), sebagai
variabel terikat, telah baik dimodelkan dalam penelitian (Daly dan Dee, 2006).
Penelitian menunjukkan bahwa niat untuk meninggalkan berkorelasi dengan (a)
emosional kelelahan (Karatepe, 2006), (b) konflik peran (Karatepe), (c)
ambiguitas peran (Jarmillo, Mulki, dan Solomon, 2006), (d) peran perbedaan
(Takase, Maude, dan mania, 2006), (e) pekerjaan stressor (Stetz, Castro, dan
Bliese, 2007), (f) bekerja kelelahan (Ahuja, McKnight,Cudoba, dan George,
2007), dan (g) setengah pengangguran (Maynard, Yusuf, dan Maynard,2006).
Sebaliknya, penelitian menunjukkan bahwa niat untuk meninggalkan berbanding
terbalik berkorelasi dengan (a) kepuasan kerja (Bedian, 2007; Jarmillo et al;.
51
Lyons, & O'Brien, 2007; Slattery dan Rajan, 2005; Trimble, 2006), (b) komitmen
afektif organisasional (HW Lee dan Liu,2006; Loi et al, 2006; Trimble), (c)
repatriasi penyesuaian persepsi (HW Lee dan Liu), (d) dukungan organisasi
dirasakan (Loi et al.), (E) on-the-job training (Benson,2006), dan (f) kepuasan
dengan umpan balik kinerja (Jawahar, 2006; Kuvaas, 2006).
Penelitian
sebelumnya (Ambrosius, Seabright dan Schminke, 2002; Baron dan Neuman,
1998; Bolin dan Heartherly, 2001; Giacalone, Riordan dan Rosenfeld, 1997;
Harris dan Ogbonna, 2002; Shamsudin, 2003; Shamsudin dan Rahman, 2006;
Sims, 2002 ; Skarlicki Folger, 1997; Thoms, Wolper, Scott dan Jones, 2001;
Weber, Kurke dan Pentico, 2003) telah mengungkapkan bahwa sebagian besar
karyawan terlibat dalam beberapa bentuk penyimpangan tempat kerja. Ini
termasuk
ketidakhadiran,
menyalahgunakan
hak
istimewa
hari
sakit,
menyalahgunakan narkoba dan alkohol, pengajuan klaim kecelakaan palsu,
sabotase, melanggar aturan organisasi, upaya menahan, mencuri, mengambil
istirahat
panjang,
bekerja
lambat,
mengganggu
karyawan
lain
dan
menyembunyikan sumber daya dibutuhkan.
Selain
itu,
dalam
jurnal
online
(www.sholar.google.co.id,2007, p10-13) faktor-faktor
Ferry
Novliadi
yang mempengaruhi
turnover intention adalah: usia, lama kerja, tingkat pendidikan, ikatan terhadap
perusahaan, kepuasan kerja dan budaya perusahaan.
1. Usia
Maier (1971) mengemukakan pekerja muda mempunyai tingkat turnover yang
lebih tinggi daripada pekerja-pekerja yang lebih tua. Penelitian-penelitian
52
terdahulu menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dan intensi
turnover dengan arah hubungan negatif. Artinya semakin tinggi usia seseorang
semakin rendah keinginan untuk meninggalkan pekerjaan (Mobley, 1986).
Alasan ini dikarenakan berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga,
mobilitas yang menurun, tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan di
tempat yang baru dan sebagainya. Sedang menurut Gilmer (1966) berpendapat
bahwa tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada pekerja usia muda
dikarenakan karena banyaknya kesempatan dalam memperbaiki kualitas kerja,
keinginan untuk selalu mencoba-coba, dan sebagainya.
2. Lama Kerja
Dalam Mobley (1986) menyatakan bahwa pada setiap kelompok tertentu dari
orang-orang yang diperkerjakan, dua sampai tiga bagian dari mereka yang keluar
terjadi pada akhir tiga tahun pertama masa bakti. Turnover lebih banyak terjadi
pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat.
3. Tingkat Pendidikan dan Intelegansi
Mowday dkk (1982) berpendapat bahwa tingkat pendidikan berpengaruh pada
dorongan untuk melakukan turnover. Dalam hal ini Maier (1971) membahas
pengaruh intelegansi terhadap turnover. Dikatakan bahwa mereka yang
mempunyai tingkat intelegansi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas
yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah akan
tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak nyaman. Sebaliknya
mereka yang memiliki tingkat pendidikan dan intelegansi yang lebih tinggi akan
merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton. Mereka akan
53
lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat
pendidikannya terbatas.
4. Keikatan Terhadap Perusahaan
Penelitian yang dilakukan oleh Arnold dan Fieldman (1982) dan Steel dan Ovalle
(1984) menemukan bahwa keikatan terhadap perusahaan mempunyai korelasi
yang negatif dan signifikan terhadap turnover intention. Semakin tinggi keikatan
seseorang terhadap perusahaannya akan semakin kecil ia mempunyai intensi
untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan, dan sebaliknya.
5. Kepuasan Kerja
Menurut Michael dan Spector (1982) dan Arnold dan Fieldman (1982)
menunjukkan bahwa semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaannya akan
semakin meningkat keinginan untuk melakukan turnover. Ketidakpuasan ini
memiliki banyak aspek-aspek, antara lain adalah ketidakpuasan terhadap
manajemen perusahaan, kondisi kerja, mutu pengawasan, penghargaan, gaji,
promosi, dan hubungan interpersonal.
6. Budaya Perusahaan
Budaya perusahaan merupakan suatu kekuatan tak terlihat yang mempengaruhi
pemikiran, perasaan, pembicaraan maupun tindakan manusia yang bekerja di
dalam perusahaan. Budaya perusahaan mempengaruhi persepsi mereka,
menentukan dan mengharapkan bagaimana cara individu bekerja sehari-sehari dan
dapat membuat individu tersebut merasa senang dalam menjalankan tugasnya.
Teori turnover intention di dalam penelitian ini akan membantu dalam
menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap munculnya keinginan
54
karyawan untuk pindah dari perusahaan, dan menjadi landasan dalam menentukan
subvariabel dari variabel turnover intention pada penyusunan kuesioner
penelitian.
2.1.9
Penelitian Terdahulu
2.1.9.1 Pengaruh Kompensasi Terhadap Turnover Intention
Dalam jurnal online (www.proquest.com, 2008. Impact of Compensation
on the Turnover Intentions of Employees : A Case of Pakistan Telecom Sector)
dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi dan pengaruh
dari kompensasi terhadap turnover intention para pekerja di perusahaan. Masalah
yang diangkat adalah untuk mempekerjakan dan mempertahankan karyawan
berbakat. Di seluruh dunia setiap organisasi telah menyadari pentingnya modal
manusia. Hal ini dirasakan bahwa pengertian kompensasi adalah ukuran yang
akurat untuk mengurangi omset. Penelitian ini akan meneliti dampak kompensasi
terhadap keinginan berpindah karyawan sektor telekomunikasi Pakistan. Untuk
penelitian ini 15 perusahaan telekomunikasi yang dipilih dan 300 kuesioner
didistribusikan secara fisik untuk tingkat respons yang lebih baik, tingkat respon
adalah 89%. Untuk analisis data, korelasi dan analisis regresi bertahap ke depan
dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompensasi mempunyai dampak
positif langsung terhadap retensi karyawan dan akibatnya mengurangi keinginan
berpindah (Turnover Intention).
55
2.1.9.2 Pengaruh Job InsecurityTerhadap Turnover Intention
Dalam jurnal online (www.proquest.com, 2010. Job insecurity, turnover
intention and psychological distress : The mediating effect of job satisfaction and
trust in management) dijelaskan bahwa terdapat pengaruh besar job insecurity
terhadap keinginan seorang karyawan untuk keluar dari perusahaan (turnover
intention). Penelitian telah menghasilkan bukti yang meyakinkan bahwa
ketidakamanan kerja kuantitatif dikaitkan dengan konsekuensi negatif, dan juga
menunjukkan bahwa jangka pendek reaksi sikap memediasi hubungan antara
ketidakamanan kerja dan angka turnover intention pada karyawan perusahaan
tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki apakah baik
kuantitatif maupun kualitatif ketidakamanan kerja terkait dengan jangka pendek
(kepuasan dan kepercayaan dalam manajemen) dan jangka panjang reaksi
(turnover intention) reaksi, dan jika jangka pendek reaksi menengahi hubungan
antara dua dimensi dari ketidak amanan kerja dan jangka panjang reaksi. Data
survei dari 549 pekerja Swedia kerah putih menunjukkan bahwa kedua jenis
ketidakamanan kerja yang terkait dengan semua hasil. Sementara kepercayaan
dalam manajemen hanya memiliki efek mediasi kecil dalam hubungan antara
ketidakamanan kerja kuantitatif dan keinginan berpindah (turnover intention).
56
2.2 Kerangka Pemikiran
Turnover Intention (Y)
a. Usia
b. Lama Kerja
c. Tingkat Pendidikan
dan Intelegansi
d. Keterikatan
Terhadap Organisasi
e. Kepuasan Kerja
f. Budaya Perusahaan
Sumber : Ferry Novliadi
www.sholar.google.co.i
d (2007, p10-13)
Kompensasi (X1)
a. Kompensasi Langsung
b. Kompensasi Tidak
Langsung
Sumber : Robert L. Mathis
dan John H. Jackson (2004,
p419)
Job Insecurity (X2)
a.
b.
c.
d.
Kondisi Pekerjaan
Pengembangan Karir
Konflik Peran
Locus of control
Sumber
:
Suhartono
(2007, p61-64)
57
2.3 Hipotesis
Menurut Sekaran (2006, p135) hipotesis bias didefinisikan sebagai
hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang
diungkapkan dalam bentuk petanyaan yang dapat diuji. Hubungan tersebut dapat
ditetapkan dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian.
Di dalam penelitian ini, variabel yang kami gunakan adalah variabel
independen (kompensasi dan job insecurity) dan variabel dependen (turnover
intention). Menurut penelitian terdahulu yang menjadi dasar dari kajian pustaka
kami, bahwa terdapat dua kasus yang menunjukkan bahwa hipotesis yang akan
kami gunakan bisa dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut, yaitu adanya
hubungan antara kompensasi dan turnover intention pada perusahaan Pakistan
Telecom Sector (www.proquest.com) dan adanya hubungan antara job insecurity,
baik itu jenis kuantitatif atau kualitatif terhadap turnover intention pada karyawan
di Negara Swedia (www.proquest.com).
Dari tinjauan pustaka yang telah kami lakukan dan penelitian terdahulu,
dapat dirumuskan hipotesis sebagai dasar dari dugaan sementara terhadap
variabel-variabel yang dirancang sebagai berikut :
T-1 : Untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara kompensasi terhadap
turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik.
Ho : Tidak ada pengaruh antara kompensasi terhadap turnover intention karyawan
pada PT. Swatama Mega Teknik.
58
Ha : Ada pengaruh antara kompensasi terhadap turnover intention karyawan pada
PT. Swatama Mega Teknik.
T-2 : Untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara job insecurity terhadap
turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik.
Ho : Tidak ada pengaruh antara job insecurity terhadap turnover intention
karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik.
Ha : Ada pengaruh antara job insecurity terhadap turnover intention karyawan
pada PT. Swatama Mega Teknik.
T-3: Untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara kompensasi dan
job
insecurity terhadap turnover intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik.
Ho : Tidak ada pengaruh antara kompensasi dan job insecurity terhadap turnover
intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik.
Ha : Ada pengaruh antara kompensasi dan
job insecurity terhadap turnover
intention karyawan pada PT. Swatama Mega Teknik.
Download