Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9 ANTISIPASI LITBANG SEREALIA DALAM MENGHADAPI DAMPAK PEMANASAN GLOBAL GUNA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN Gatot Irianto Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian PENDAHULUAN Anomali iklim dalam beberapa tahun terakhir banyak dibicarakan, tetapi tidak banyak orang yang memahaminya. Sebagian besar pemangku kepentingan di sektor terkait, seperti pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan, kesehatan dan perhubungan lebih tertarik pada dampak anomali iklim. Sementara itu publikasi dan interpretasi anomali iklim dari berbagai sumber sangat beragam, sehingga akan menyulitkan pengambilan keputusan untuk adaptasi dan minimalisasi risikonya. Informasi yang sangat global dan beragamnya dampak antarwilayah dan antarwaktu menyebabkan kerugian harus diterima masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi dan teknologi (Irianto dan Suciantini 2006). Anomali iklim umumnya menimbulkan kerugian pada sektor pertanian, terutama tanaman pangan, sehingga kejadian ini penting untuk diketahui atau diprediksi sebelumnya, agar kerugian dapat ditekan. Terkait dengan ketersediaan air, kalau terjadi anomali iklim, terutama yang menyebabkan kekeringan, maka tanaman pangan yang paling terpengaruh adalah yang membutuhkan banyak air seperti padi. Ketika musim tanam bergeser maju atau mundur dari yang dijadwalkan, tanaman akan mengalami kekeringan, sehingga produksi menurun, bahkan terjadi puso. Sebagian besar sentra padi di Indonesia berada di wilayah dengan pola monsonal, seperti Pantura Jawa, sehingga anomali iklim akan berdampak nyata. Sebagai contoh, peristiwa anomali iklim pada tahun 1994 dan 1997 telah menyebabkan kekeringan pada areal sawah irigasi teknis yang ada di Jawa Barat. Selain menyebabkan penurunan produksi pertanian, kekeringan juga menyebabkan kebakaran hutan, seperti yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Kegagalan panen akibat penyimpangan iklim akhirnya berdampak terhadap meningkatnya jumlah masyarakat miskin di pedesaan (Irianto dan Suciantini 2006). PENYEBAB UTAMA PERUBAHAN IKLIM Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang me-review kondisi global dan regional secara berkala menyatakan bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah pemanasan global dan aktivitas manusia (antropogenik). Dampak potensial dari perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah: (a) meningkatnya suhu udara, (b) meningkatnya permukaan air laut, (c) terjadi perubahan pola hujan, dan (d) meningkatnya frekuensi kejadian iklim ekstrim ( Las 2008) Boer (2007) menggambarkan perubahan suhu udara di Jakarta pada periode 18802000 rata-rata 1,4OC pada bulan Juli dan 1,04OC pada bulan Januari. Dampak peningkatan suhu terhadap tanaman pangan menurut Las (2007) adalah terjadinya peningkatan transpirasi yang menurunkan produktivitas tanaman, peningkatan konsumsi air, percepatan pematangan buah/biji yang menurunkan mutu hasil, dan perkembangan beberapa Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Direktur Jenderal IRRI (International Rice Research Institute) menyatakan pula bahwa peningkatan suhu udara rata-rata 1OC dapat menurunkan produktivitas beras dunia sebesar 5-10% (Las 2008). Perubahan iklim tidak hanya berdampak terhadap ketersediaan air, tetapi juga pada pemanasan global yang dikhawatirkan dapat merusak kehidupan di muka bumi. 6 Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9 Penyebab pemanasan global antara lain adalah peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) akibat pemanfaatan bahan bakar fosil, budi daya pertanian dan peternakan, serta konversi lahan secara tidak terkendali. IPCC (2006) memperkirakan gas rumah kaca (GRK) yang diemisikan oleh sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya adalah CO2, N2O, dan CH4. Walaupun dituding sebagai salah satu penyebab emisi GRK, kontribusi budi daya pertanian terhadap pemanasan global sangat kecil, tetapi kegiatan ini paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Emisi GRK dari Sektor Pertanian Sampai tahun 2004, menurut UNDP (2007), Indonesia berada pada urutan ke-15 negara pengasil GRK tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton (Mt) CO2-e. Namun menurut Hooijer et al. 2006 perhatian dunia tertuju pada Indonesia. Indonesia dilaporkan sebagai negara penghasil GRK tertinggi ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Emisi GRK Indonesia diperkirakan 3.000 Mt atau 3 Giga ton (Gt) CO2-e per tahun. Dikemukakan bahwa sekitar 2.000 Mt dari total emisi tersebut berasal dari lahan gambut. Pembukaan hutan gambut yang pada umumnya dengan cara tebas-bakar diperkirakan menghasilkan CO2 sebanyak 1.400 Mt dan dekomposisi gambut menyumbang sekitar 600 Mt CO2 setiap tahun. Emisi dari pembukaan hutan dan perubahan penggunaan lahan bukan gambut hanya sekitar 500 Mt dan emisi yang berhubungan dengan pembakaran untuk pertanian juga 500 Mt CO2-e. Meiviana et al. (2004) mencatat muka air laut di Jakarta dalam periode 1925-1989 naik 4,38 mm/tahun, di Semarang 9,27 mm/tahun, dan di Surabaya 5,47 mm/tahun. Dampak naiknya muka air laut adalah menciutnya lahan pertanian di pesisir pantai Jawa, Bali, Sumatera Utara, Lampung, NTB, dan Kalimantan, kerusakan infrastruktur pertanian, dan meningkatnya salinitas yang merusak tanaman (Las 2007). Apa yang Mungkin Terjadi dengan Pemanasan Global? Kajian tim Sir Nicholas Stern (Warta Biogen, 2007) menunjukkan bahwa terdapat lima aspek yang dipengaruhi oleh kenaikan suhu, yaitu air, pangan, kesehatan, lahan, dan lingkungan. Setiap kenaikan 1oC suhu permukaan laut menyebabkan kerusakan fundamental pada tata kehidupan manusia. Kerusakan yang mungkin timbul hanya bisa diprediksi sampai peningkatan suhu 5oC. Kenaikan suhu di atas 5oC masih belum dapat dibayangkan dengan jelas. Prof Emil Salim memperkirakan kenaikan suhu 1oC tercapai pada tahun 2030. Prediksi ini tidak jauh berbeda dengan prediksi IPPC bahwa pada tahun 2025 kenaikan suhu mencapai 0,9oC atau kalau dihitung dari saat ini sekitar 18-23 tahun lagi, kurun waktu yang ”tidak lama” (Stem et al. dalam Warta Biogen 2007). Pertanyaannya adalah apakah perubahan suhu yang cepat ini dapat diikuti oleh kemampuan mahluk hidup untuk beradaptasi? Masih tersediakah sumber daya genetik yang dapat mengatasi perubahan iklim tersebut? Pertanyaan inilah yang memicu kekhawatiran terhadap pemanasan global yang terjadi saat ini. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikkan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. Pemanasan global dapat menyebabkan perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis, seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin, masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit (Wituelar 2008). Penemuan terakhir mulai memperjelas pengaruh iklim terhadap produksi pertanian. Pada pertemuan IPCC dilaporkan berbagai model simulasi untuk menduga pengaruh perubahan iklim terhadap 7 Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9 produksi tanaman, paling tidak terhadap produktivitas, organisme pengganggu tanaman, dan kondisi tanah (Easterling dan Apps 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanasan global akibat perubahan iklim pada wilayah tropis diperkirakan akan menurunkan produktivitas tanaman pangan apabila tidak dilakukan upaya antisipasi. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Tschirley (2007), bahwa pemanasan global akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan, terutama di daerah tropis. Sebaliknya, Sheehy et al. dalam Las (2007) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer berpengaruh positif terhadap produksi biomas. Setiap kenaikan 75 ppm konsentrasi CO2, produksi padi meningkat 0,5 t/ha, tetapi hasil akan turun 0,6 t/ha untuk setiap kenaikan suhu 1°C. Untuk mengantisipasi hal ini, Menteri Kehutanan mencanangkan penanaman 13 juta pohon yang setara dengan 26.000 ha sehingga saat usia tanaman mencapai 6-7 tahun, pohon-pohon tersebut dapat menyerap 200 ton karbon per hektar. Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata pemanasan global antara o 0,02 C-0,28oC pada tahun 2050. Angka yang jauh dari target yang diharapkan karena hanya merupakan pengurangan 29% dari target pada tahun 2010 dan bahkan sangat jauh dari target tahun 2030, di mana bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang (tidak dikendalikan) maka akan menyebabkan peningkatan pemanasan global 1,5-4,5oC pada tahun 2030 (Ika Roostika 2007). ANCAMAN DAN ANTISIPASI TERHADAP ISU PEMANASAN GLOBAL Berdasarkan tipe fotosintesis, tumbuhan dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu C3, C4, dan CAM (crassulacean acid metabolism). Tumbuhan C4 dan CAM lebih adaptif di daerah panas dan kering dibandingkan dengan tumbuhan C3. Namun tanaman C3 lebih adaptif pada kondisi kandungan CO2 atmosfer tinggi. Sebagian besar tanaman pertanian, seperti padi, gandum, kentang, kedelai, kacang-kacangan, dan kapas termasuk kelompok C3. Tanaman pangan yang tumbuh di daerah tropis, terutama gandum, akan mengalami penurunan hasil yang nyata dengan adanya kenaikan sedikit suhu karena gandum umumnya dibudidayakan pada kondisi suhu toleransi maksimum. Perubahan iklim berpengaruh terhadap jenis hama dan penyakit, juga akan mempengaruhi kecepatan perkembangan individu hama dan penyakit, jumlah generasi hama, dan tingkat inokulum patogen, atau kepekaan tanaman inang. Ditinjau dari pelestarian lingkungan hidup, penanaman pohon secara besar-besaran dapat menekan dampak perubahan iklim. Dalam mengantisipasi ancaman emisi GRK, Indonesia telah melaksanakan “Gerakan Satu Hari Tanpa Kendaraan Bermotor Pribadi dan Penanaman Sejuta Pohon. Program ini memberikan harapan bagi pelestarian lingkungan. Dampak pemanasan global yang paling berpengaruh terhadap produksi tanaman antara lain adalah kekeringan, penurunan/ peningkatan curah hujan, dan peningkatan suhu udara. Dalam periode Januari–Juli 2007, luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan adalah 268.518 ha; 17.187 ha di antaranya mengalami puso (gagal panen). Hal tersebut berimplikasi terhadap penurunan produksi padi hingga 91.091 t GKG. Penurunan curah hujan akibat variabilitas iklim, maupun perubahan musiman, disertai dengan peningkatan suhu telah menimbulkan dampak nyata terhadap ekosistem pertanian akibat terjadinya kekeringan, menurun atau meningkatnya curah hujan, dan gangguan hama penyakit tanaman (Marwoto 2008). 8 Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9 KESIAPAN TEKNOLOGI PEMANASAN GLOBAL MENGANTISIPASI DAMPAK NEGATIF Untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap penurunan produksi diperlukan tanaman toleran kekeringan. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Badan Litbang Pertanian telah melepas beberapa varietas jagung toleran kekeringan, antara lain Lamuru yang umurnya genjah, dengan umur panen 85-90 hari. Pada kondisi curah hujan yang relatif singkat dengan presipitasi yang rendah masih diperlukan varietas jagung komposit atau hibrida yang berumur lebih genjah, 70-80 hari. Uji toleransi varietas terhadap kekeringan terus dilakukan menggunakan drought nursery di Balitsereal, selain hibridisasi melalui biomolekuler. Hingga saat ini telah dihasilkan beberapa galur/varietas kedelai yang toleran kekeringan, termasuk varietas Dieng. Penelitian toleransi kedelai terhadap kekeringan dengan teknik random amplified polymorphic DNA (RAPD) untuk memastikan perbedaan sekuen antara galur toleran kering dan tidak toleran kering serta mendapatkan marker RAPD yang berkaitan dengan sifat toleran kering. Hasil isolasi DNA menunjukkan bahwa amplifikasi primer yang polimorfik dapat membedakan pita-pita polimorfik antara varietas/galur toleran dan tidak toleran kekeringan. DAFTAR PUSTAKA Easterling WE and Apps M. 2005 Assessing the consequences of climate change for food and forest resources: A view from the IPCC. Climate Change 70:168-189. Estri Laras Arumingtyas. 2008. Identifikasi Penanda RAPD Terkait dengan Ketahanan terhadap Kekeringan pada Kedelai (Glycine max. L. Merr). Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya Email : [email protected]. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008. Gatot Irianto dan Suciantini.2006. Anomali iklim: Faktor penyebab, Karakteristik, dan Antisipasinya. Iptek TanamanPangan. Vol.1, Nomor 2, Nopember 2006.p.101-121. Ika Roostika. 2007. Warta Biogen Vol. 12 3, No. 3, Desember 2007. Las, Irsal. 2007. Las. I. 2007. Menyiasati Fenomena Anomali Iklim Bagian Pemantapan Produksi Padi Nasional pad Era Revolusi Hijau Lestari. Jurnal Bioetk-LIPI. Naskah Orasi Pengukuhan Profesor Riset, 6 Agustus 2004. Las Irsal, E. Surmaini, dan A. Ruskandar. 2009. Tinjauan Kritis Terhadap Perubahan Iklim, Produksi dan Penelitian Padi di Indonesia. Antisipasi Dampak Perubahan Iklim:Inovasi Teknologi dan Penelitian Padi. Iptek Tanaman Pangan. Marwoto. 2008. Komponen Teknologi Pengendalian Hama Kedelai untuk Antisipasi Dampak Pemanasan Global. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang. 10p. Meiviana, A., D. R. Sulistiowati, M. H. Soejachmoen. 2004. Bumi Makin Panas. Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Yayasan Pelangi Indonesia. Jakarta. 65 hal. Stan Boutin. 2008. The squirrels, faced with increasing spring temperatures and food supply, have advanced the timing of breeding by 18 days over the last 10 years-six days for each generation. Department of Biological Sciences at the University of Alberta in Edmonton. will appear in the journal Proceedings of the RoyaL Society London. http://www.scienceagogo.com/news/20030113005339data_truncsys.shtm.l Stern et al. 2006. The Econimic Climate Change. The Price Waterhouse:579. Bumi Semakin Panas, Warta Biogen, Vol. 3, No. 3, Desember 2007. Tschirley (2007). Climate Change Adaptation: Planning and Practices. Power Point Keynote Presentation of FAO Environment, Climate change, Bioenergy Division, 10-12 September 2007, Rome. 9 Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9 Wituelar, R. 2008. Isu Perubahan Iklim : Pencetus Perubahan Pengelolaan Lingkungan Hidup Ke Arah yang Lebih Baik. http://www.setneg.go.id. Di akses 26 Nopember 2008. 10