Bagaimana Menanggulangi Banjir dan

advertisement
Bagaimana Menanggulangi Banjir dan Kekeringan?
(Sebuah Pengalaman Nyata)
Oleh : Gatot Irianto, PhD
Masalah banjir dan kekeringan, sebenarnya merupakan persoalan klasik yang dihadapi
Indonesia dengan dua musimnya yaitu: musim hujan dan musim kemarau.
Persoalannya, tingkat gangguan iklim baik banjir maupun kekeringan itu terus
meningkat intensitas dan frekuensinya, sehingga kalau sebelumnya fenomena klasik
tersebut merupakan kejadian biasa, maka sekarang menjadi luar biasa. Kalau
sebelumnya pejabat termasuk pers kurang tertarik untuk membicarakan dan
membahasnya, maka sekarang hampir semua sektor memberikan perhatian yang luar
biasa. Pertanyaannya mengapa masalah banjir dan kekeringan belum dapat diantisipasi
sampai saat ini? Mampukah kita mengatasi atau paling tidak meminimalkan dampak
banjir dan kekeringan dengan teknologi dan sumberdaya yang kita miliki?
Masalah Banjir dan Kekeringan
Secara kuantitatif banjir dan kekeringan terjadi akibat kesenjangan dua hal yaitu:
masalah distribusi dan kapasitas/stroge. Distribusi hujan yang tidak merata sepanjang
tahun dan cenderung terakumulasi pada waktu yang singkat pada bulan Desember
sampai Pebruari menyebabkan tanah dan tanaman tidak mampu menampung semua
volume air hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Akibatnya sebagian besar air hujan
dialirkan menjadi aliran permukaan, sehingga menyebabkan banjir di hilir. Peningkatan
volume aliran permukaan ini diperparah dengan terjadinya alih guna lahan dari sawah,
hutan, perkebunan ke lahan berpenutup permanen seperti perumahan, pabrik, jalan.
Perubahan yang tidak terkendali ini akan menyebabkan volume aliran permukaan
meningkat luar biasa dan kecepatan aliran permukaan meningkat secara tajam, sehingga
daya angkut, daya kikisnya menjadi luar biasa. Kondisi ini menyebabkan laju erosi,
pencucian hara dan penurunan kesuburan tanah semakin cepat. Volume air yang sangat
tinggi dengan waktu tempuh yang singkat, menyebabkan bahaya banjir di hilir menjadi
sangat besar. Dampaknya terlihat dari penurunan kemampuan tanah memegang air
akibat terkikisnya lapisan atas tanah merosot dengan cepat dan kebutuhan pupuk yang
terus meningkat sementara kemampuan produksi lahan per satuan luasnya terus
menurun. Kondisi ini sangat memberatkan petani, terutama yang berada di lahan kering
bagian hulu DAS. Masalahnya diperburuk lagi dengan harga komoditi pertanian yang
rendah terutama pada saat terjadi panen raya, karena sebagian besar masa tanam
terkonsentrasi pada musim hujan, sehingga panenpun terjadi pada selang waktu yang
sama.
Terbatasnya volume air hujan yang masuk ke dalam tanah menyebabkan tambahan
(recharging) cadangan air tanah menjadi sangat terbatas, sehingga pada musim
kemarau dengan kehilangan air yang sangat tinggi melalui evapotranspirasi dengan
kebutuhan yang hampir sama pada musim hujan, tentu cadangan air tersebut tidak akan
mencukupi untuk satu periode musim kemarau. Kondisi ini terus berulang dari waktu
kewaktu, sehingga defisit yang terjadi terus meningkat dan dampak yang ditimbulkan
semakin berat. Itulah sebabnya mengapa, daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah
mengalami kekeringan belakangan ini terus didera kekeringan dan cenderung menjadi
daerah endemik kekeringan. Sementara itu daerah yang sebelumnya merupakan
endemik kekeringan cenderung meningkat intensitas kekeringannya maupun arealnya.
Penanggulangan Banjir dan Kekeringan DAS Kali Garang
Pengalaman adalah guru yang paling baik, demikian di antara kata bijak yang perlu kita
cermati dan teladani. Pengalaman penanggulangan banjir dan kekeringan di DAS kali
Garang, Semarang hulu yang sebelumnya terkenal sebagai daerah banjir dan
kekeringan secara utuh. Strategi yang dilakukan sangat sederhana yaitu: menampung
kelebihan air hujan dengan membangun dam parit (channel resevoir) bertingkat
(cascade) dan mendistribusikan kelebihan air untuk menekan resiko kekeringan.
Kelebihan air yang digunakan pada hamparan di bagian atas, akan ditampung oleh dam
parit di bawahnya, untuk selanjutnya didistribusikan ke areal yang memerlukannya.
Demikian selanjutnya untuk kelebihan air pada dam parit kedua akan ditampung di dam
parit ketiga. Begitu seterusnya, sehingga sebagian besar volume air hujan akan berada
dalam waktu yang lebih lama di DAS, dan dengan membangun dam parit dalam
cascade kita dapat menurunkan laju erosi dan kecepatan aliran permukaan secara
signifikan. Konsepsi ini merupakan transfer skala dan ruang dari konsepsi
pendayagunaan sumberdaya air di teras sawah yang terintegrasi.
Pengalaman pengembangan dam parit bertingkat (channel resevoir in cascade) di DAS
Kali Garang hulu tapatnya di desa Kaji, Kecamatan Klepu, Kabupaten Ungaran yang
merupakan kerjasama antara Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,
Ungaran dan BAPPEDA Pemerintah Propinsi Jawa Tengah merupakan teladan yang
perlu diaplikasikan secara luas. Melalui upaya tersebut, petani dapat mengelola
lahannya pada musim kemarau, bahkan MK II (periode Juni-September) untuk
budidaya komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi. Keberhasilan upaya ini terlihat
dari kondisi tanaman di lapangan saat ini yang berada pada pertumbuhan vegetatif
maksimum yang semestinya apabila tidak dilakukan panen hujan dan aliran permukaan
baru pada tahap pengolahan tanah. Komoditas yang diusahakan juga tidak semata-mata
tanaman pangan, tetapi sudah mengarah ke cash crop (bawang merah, cabe, mentimun,
daun bawang dsb) yang diharapkan harga jualnya lebih baik dibandingkan komoditas
pangan klasik seperti jagung. Keberhasilan ini mendorong DPRD Jawa Tengah
berkunjung untuk melihat dari dekat bagaimana penanganan banjir dan kekeringan di
implementasikan.
Keberhasilan yang sangat nyata ini telah meningkatkan motivasi petani secara luar
biasa, bahkan pada pembangunan dam parit yang berikutnya, patani mengambil porsi
pembiayaan yang lebih besar, karena mereka menyadari manfaat langsung yang
didapatkannya. Saat ini tim teknis telah merancang kebutuhan ideal dam parit untuk
dapat mengelola sumberdaya air secara maksimal, dan diharapkan tahun 2003 sumber
pendanaan dari masyarakat semakin meningkatkan ketersediaan air menurut ruang dan
waktu. Untuk itu petani dibantu oleh tim teknis sedang merancang kelembagaan petani
pemakai air untuk mendayagunakan sumber daya air, meminimalkan konflik
penggunaan air dan memelihara infrastrukturnya. Berdasarkan pengalaman ini dapat
disimpulkan bahwa secara teknologi, sumberdaya manusia dan pengalaman, kita
mampu mengatasi masalah banjir dan kekeringan. Sekarang pertanyaannya, bagaimana
mendesiminasikan hasil ini secara cepat dan benar.
Gatot Irianto, PhD
Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.
(Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 5 Pebruari 2003)
Download