PENERAPAN KONSEP ECO LABELING DAN GREEN MARKETING SEBAGAI STRATEGI BRANDING KOMUNIKASI DALAM IMAGE PRODUK RAMAH LINGKUNGAN. Abstrak ( Nevrettia Christantyawati, Msi ) Eco labeling dan gerakan ekonomi hijau terus diwacanakan dalam dua dekade ini. Perubahan iklim dan degradasi lingkungan akibat kegiatan ekonomi industri dan konsumsi yang tak ramah lingkungan. Eco labeling di Indonesia belum menampakkan gregetnya. Hanya brand tertentu dari produk yang sudah dikenal secara internasional yang memakainya. Untuk produk lokal, masih perlu pengkajian dan penelitian lebih lanjut dalam penerapan eco labeling dan green marketing di Indonesia. Ada kontradiksi pemahaman konsep eco labeling dan green marketing yang perlu diluruskan antara pelaku komunikasi. Eco labeling, green marketing dalam paradigma korporat tak selamanya ramah terhadap korporat. Disamping itu green marketing tanpa kejelasan tindakan juga membawa brand image negatif. Sebaliknya, bagi konsumen pahamkah dan berpartisipasi dalam penerapan green marketing dan eco labeling. Green marketing dan eco labeling sebagai bagian strategi branding memerlukan sinergi komunikasi antara pelaku yakni korporat, konsumen, media dan kelompok sosial lain, serta pemerintah. Keempat pelaku komunikasi ini perlu disinergikan dalam sebuah paradigma ekologi ramah lingkungan melalui proses strategi komunikasi dan penciptaan green image suatu brand. Kata kunci : eco labeling, green marketing, paradigma ekologi, proses strategi komunikasi dan penciptaan green image suatu brand, sinergi pelaku komunikasi. 1. PENDAHULUAN Isu global lingkungan hidup yang terus menjadi referensi bagi gerakan dan pembangunan di berbagai sector. Tonggak yang menjadi momentum adalah digelarnya Konferensi Stockholm pada tahun 1972. Bagi negara-negara industri maju, khususnya benua di Amerika dan Eropa semakin meningkat kepeduliannya terhadap kondisi lingkungan di seluruh bagian dunia. Eksplorasi sumber daya alam secara besar besaran dan kegiatan ekonomi yang tidak berpihak pada lingkungan mengakibatkan degradasi lingkungan hidup selama beberapa dekade ini. Sebaliknya negara-negara berkembang juga semakin menyadari akan isu kerusakan lingkungan apabila kondisi eksplorasi ekonomi tidak berbasis pada upaya peningkatan dalam menjaga, memelihara, dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di negaranya masing-masing. Pengertian Ekolabel berasal dari kata "eco" yang berarti lingkungan, dan "label" yang berarti tanda atau sertifikat. Jadi, ekolabel dapat diartikan sebagai kegiatan- kegiatan yang bertujuan guna pemberian sertifikat yang mengandung kepedulian akan aspek-aspek yang berkaitan dengan unsur lingkungan hidup. Kata "ekolabeling" pada saat ini sudah sedemikian populer dan jauh berkembang dan banyak dipergunakan dimana-mana, sehingga kemudian diasosiasikan dengan berbagai kegiatan baik yang sifatnya fisik (lapangan) maupun non-fisik (peraturan, tatacara, kelembagaan, dsb.) Gerakan untuk memandatkan produk yang ramah lingkungan mulai dicetuskan semenjak konferensi Stockholm Tahun 1972. Sejumlah kasus akibat efek buruk industrialisasi yang benar benar merusak lingkungan menjadi cambuk dan pelajaran berharga bagi korporat dan masyarakat pada umumnya. Konferensi demi konferensi dan berbagai pertemuan forum untuk advokasi dan perjuangan lingkungan hidup banyak menghasilkan wacana wacana tentang kampanye hijau. Mulai dari penggunaan bahan material indutri yang bio degradable, atau out put industry yang bio degradable atau environmental friendly. Green corporate dengan program Corporate social responsibility. Dilanjutkan dengan masalah green market dan green marketing, yang ternyata masih harus disinkronkan dengan green consumerism yang masih ditempuh lagi dengan tahap green education masyarakat pengguna untuk bisa menuju pada green society. Pada pandangan umum, tanggung jawab terbesar bagi produk yang ramah lingkungan adalah produsen yang memproduksi barang beserta hasil ‘ampas’ atau limbah produksi yang jika tidak ditangani dengan baik akan menjadi masalah lingkungan sendiri. Adalah suatu keharusan berupa peraturan yang dikembangkan oleh masing masing negara bagi produsen untuk mencantumkan label produk yang ramah lingkungan. Dan yang terjadi di Indonesia, eco labeling ini lebih terpusat pada bidang kehutanan. Dimana sumber daya hutan tidak diperbolehkan dalam aturan perundangan untuk dieksplorasi dan diperdagangkan dalam bentuk bahan mentah. Dalam bidang kehutanan, isu lingkungan hidup global menjadi salah satu bahan diskusi utama dalam sidang Council ke 8 International Tropical Timber Organization (ITTO) yang berlangsung di Bali pada tahun 1990. Salah satu hasil penting dari sidang tersebut adalah komitmen untuk terlaksananya pengelolaan hutan yang lestari paling lambat pada tahun 2000. Mulai tahun 2000, akan dilakukan pemberian label atau sertifikat bagi produk-produk yang terbuat dari kayu tropis. Penerapan ekolabel bagi Indonesia masih terpusat pada produk hasil hutan. Pada produk produk lain yang sebenarnya memerlukan penerapan konsep eko label ini, belum sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini karena sifat ekolabel yang masih bersifat suka rela, di Indonesia. Kegiatan sertifikasi Ekolabel di mulai dari permohonan kepada lembaga sertifikasi Ekolabel untuk dievaluasi atau dinilai sesuai dengan standar penilaian Ekolabel Pedoman KAN 804 Kriteria Kompetensi Evaluator Sertifikasi Ekolabel. Dengan memperoleh sertifikasi Ekolabel, khususnya produk yang menggunakan hasil hutan sudah diperhitungkan marketable di pasar internasional. Konsep eco label bagi penerapan green marketing yang bertujuan untuk membangun image produk ramah lingkungan dalam prosesnya tidak sederhana bahkan lebih rumit daripada sekedar mengurusi analisis dampak lingkungan. Karena eco label ini diperoleh dari proses uji sertifikasi dari lembaga ketiga untuk memberikan otoritas dan kewenangan. Semakin banyak eco label yang melekat pada produk maka akan semakin banyak proses yang harus dilalui untuk mendukung sebuah brand image tertentu. Brand yang tertanam pada kesadaran konsumen akan image produk yang benar ramah lingkungan. Yang perlu diingat adalah penerapan eco labeling ini tidak sama di berbagai negara. Dan regulasi yang berbeda dan aturan legal yang tidak sama membuat brand image yang benar benar dipahami oleh konsumen yang juga benar benar sadar dan paham akan produk ramah lingkungan. Jerman menetapkan Ecolabel yang terkenal dengan sebutan Blue Angel sejak 1978. Blue Angel tersebut mulai diterapkan pada 4000 produk dengan maksud menurunkan polusi, memberikan informasi pada konsumen, memberi rangsangan ekonomi agar produksinya menggunakan teknologi ramah lingkungan. Sementara itu di Eropa sudah menerapkan ekolabel dengan mana European Community Ecolabelling Scheme, dan baru dilaksanakan pada bulan Juni 1993, yang mencakup : produk mesin cuci pakaian dan cuci piring, hair sprays, lights bulps, toilet paper, kitchen tissues dan akan menyusul photocopies paper, writing paper, laundry detergent, diswasher detergent dan lain-lain. Ecolabeling ini sifatnya voluntery, self financing dan tidak mencakup makanan, minuman dan obat-obatan. Ekolabel dan Green Stiker di Amerika Utara, merupakan sistem label untuk makanan dan produk konsumen. Ekolabel sering dilakukan sukarela oleh produsen, namun khusus untuk Green Stiker diamanatkan oleh hukum di Amerika Utara untuk peralatan utama dan mobil. Mereka adalah bentuk pengukuran keberlanjutan yang diarahkan pada konsumen, dimaksudkan untuk memudahkan untuk mengambil masalah lingkungan ke account user ketika berbelanja. Beberapa label mengukur polusi atau konsumsi energi dengan cara skor indeks atau unit pengukuran; lain hanya menegaskan kepatuhan dengan seperangkat praktek atau persyaratan minimum untuk keberlanjutan atau pengurangan membahayakan lingkungan. Biasanya kedua prinsip kehati-hatian dan prinsip substitusi yang digunakan ketika mendefinisikan aturan untuk apa produk tersebut dapat ecolabelled. [Wikipedia, ] Di Canada dengan Environmental Choice Program telah menetapkan label pada sejumlah barang rumah tangga. Sedangkan kelompok lembaga swadaya masyarakat internasional membentuk Forestry Standarship Council yang mengeluarkan prinsip-prinsip dan kriteria untuk Natural Forest Management (1993). Selain itu Inggris membentuk British Standards Institusion, kemudian melaksanakan the actual assessment of certification bodies. Di Indonesia juga sudah mulai menerapkan ekolabel, meskipun belum semua produk. Dalam GBHN 1993 sudah menganut pola pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Bahkan dalam Forestry Agreement Indonesia memuat prinsip cut no more than the increment growth of the forest yang dilaksanakan melalui sistem tebang pilih dan tanam. Adapun Lembaga Ekolabel Indonesia yang menjadi lembaga sertifikasi brand produk yang dilabeli ramah lingkungan didirikan oleh Emil Salim. Jika diperiksa maka sertifikat Ekolabel yang dikeluarkan LEI ini masih banyak brand furniture dan produk lain yang berasal dari sumber daya hutan. 2. RUMUSAN DAN KONSEPTUALISASI MASALAH : Berangkat dari permasalahan inti yaitu skematik antara definisi dan pemahaman konsep eco labeling suatu produk. Apakah konsep ini merupakan suatu keharusan atau boleh ditinggalkan ? Apakah konsep dan penerapan eco labeling ini masih perlu sinergi dengan pengetahuan tentang dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pemakaian produk ataupun limbah ampas yang dihasilkan ? Bagaimana dengan dinamika green marketing yang dilakukan oleh perusahaan perusahaan di Indonesia ? Berkaitan dengan green marketing sebagai sebuah rumusan strategi komunikasi pemasaran? Bagaimana korelasinya dengan penciptaan brand awareness dan sinergi pelaku komunikasi dalam pandangan eko sentries. Agar memudahkan pemahaman konsep, penulis mencoba memvisualisasikan dalam bentuk skema seperti berikut : Setting Paradigma Ekologi dalam Sistem Masyarakat di Indonesia Lembaga sertifikasi Regulasi aturan hukum Eco labeling Green product Image = green education Green marketing berjalan selaras dg Green Consumerism Variabel strategi komunikasi pemasaran Produsen variabel konsumen ( Nilai, kepercayaan atau pengetahuan, kebutuhan dan motivasi, perilaku dan demografi ) Konsep visualisasi yang masih perlu perbaikan dimana masih ada link variable yang terputus yakni konsep tingkat pemahaman dan kesadaran konsumen akan produk ramah lingkungan. Dan yang tak kalah penting adalah dari sisi prilaku konsumen yang masih perlu pengkajian green consumerism yang sepertinya di Negara kita perlu dikaji melalui riset mendalam. 3. PEMBAHASAN Tentu saja pertama kali dalam memahami sebuah persoalan adalah menentukan terminology dan definisi sebuah pemahaman konsep. Ada beberapa konsep disini yang menjadi sentra pemikiran penulis. Yang pertama adalah berangkat dengan cara memahami paradigm ekologi dalam sebuah aktivitas social yang merupakan cara pandang menentukan sikap dan tindakan dalam menggunakan sebuah produk eco labeling. Konsep pertama adalah pandangan eco feminism sebagai panduan dalam kampanye produk hasil industry yang ramah lingkungan. Yang kedua adalah, upaya upaya melalui green marketing menjangkau brand awareness konsumen sebagai bagian dari proses pencitraan produk yang ramah lingkungan. Yang ketiga, adalah proses sinergi kesepahaman pelaku komunikasi pemasaran dalam setting paradigma masyarakat yang sadar keselamatan lingkungan ( green society ). A. Memahami konsep eco labeling dan gerakan ekologi dalam industry. Ada beberapa pengertian yang bisa digunakan dalam membatasi masalah eko label. Ekolabel adalah tanda pada sebuah brand produk yang menerangkan bahwa produk dengan merk dagang tersebut memenuhi persyaratan tidak merusak lingkungan. Brand produk yang tidak mempunyai ekolabel akan ditolak oleh negara konsumen, sehingga brand sebuah produk itu tidak dapat dipasarkan. Produk yang akan dipasarkan diberi label atau tanda bahwa dalam keseluruhan proses produksinya, mulai dari pengambilan bahan mentah, proses produksi, konsumsinya dan setelah produk itu tidak digunakan lagi tetap bersahabat dengan lingkungan (ramah lingkungan). Informasi Ekolabel ini digunakan oleh pembeli atau calon pembeli dalam memilih produk yang diinginkan berdasarkan pertimbangan aspek lingkungan dan aspek lainnya. Di lain pihak, penyedia produk mengharapkan penerapan label lingkungan dapat mempengaruhi konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian produk. Adapun yang menjadi dasar konsep menganalisis yaitu analisis daur hidup (life-cycle analysis) brand produk. Analisis ini dimulai dari penyelidikan bahan baku sampai pada pembuangan bekas sebuah produk. Istilah yang dipakai ialah “from cradle to grave” (dari lahir sampai kuburan). Para produsen dituntut untuk memilih bahan baku yang memenuhi syarat ekolabel, yaitu : produk yang dihasilkannya harus tidak atau kurang merusak lingkungan, misalnya tidak boros energi, dan setelah produk itu habis dipakai juga tidak akan merusak lingkungan, misalnya produknya harus bisa di daur-ulang atau di pakai - ulang. Analisis daur hidup brand produk merupakan syarat yang jauh lebih berat daripada sekedar menangani limbah pabrik. Untuk melaksanakan sistem ekolabeling ini diperlukan lembaga yang sifatnya independen. Lembaga ecolabeling ini harus mempunyai kredibilitas yang tinggi sehingga apa yang diputuskan akan diterima masyarakat konsumen secara luas. Syarat selanjutnya proses pemberian label ecolabel harus transparan demi mendapatkan kredibilitas tersebut. Sosialisasi dan publikasi logo dan skema Ekolabel Indonesia kepada masyarakat sudah dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Standardisasi Nasional pada peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia pada tanggal 5 Juni 2004 di Jakarta. Perangkat penerapan sertifikasi Ekolabel sudah disiapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Komite Akreditasi Nasional, Instansi teknis terkait, Lembaga Sertifikasi, Laboratorium Penguji dan pihak lain pada akhir tahun 42http://dc303.4shared.com/doc/hzNTpodB/preview.html ) Di bawah ini disajikan beberapa gambar yang berhubungan dengan ekolabel. Gambar 1. Logo Lembaga Ekolabel Indonesia 2004. ( Gambar 2. Logo yang menunjukkan produk tidak merusak hutan Gambar 3. Logo yang menunjukkan produk ramah lingkungan. Gambar 4. Logo Ekolabel Terdapat beberapa pendekatan ekolabel. Ekolabel Tipe 1 adalah pemberian label lingkungan (tanda ekolabel) oleh pihak ketiga kepada produk yang memenuhi seperangkat persyaratan (“multi-criteria”) yang telah ditentukan pada kategori produk tertentu. Ekolabel Tipe II adalah swa-deklarasi. Ekolabel Tipe III adalah informasi kuantitatif tentang aspek lingkungan dalam daur hidup produk yang disampaikan oleh pemasok berdasarkan verifikasi independen oleh pihak ketiga ( sumber : Pedoman KAN 800-2004, Komite Akreditasi Nasional Indonesia ). B. Upaya Upaya Melalui Green Marketing Menjangkau Brand Awareness Konsumen Sebagai Bagian Dari Proses Pencitraan Produk Yang Ramah Lingkungan. Terdapat beberapa terminology yang mendeskripsikan studi tentang pemasaran berbasis issue lingkungan antara lain: environmental marketing (Coddington, 1993), ecological marketing (Fisk, 1974; Henion and Kinnear,1976), green marketing (Peattie, 1995; Ottman,1992), sustainable marketing (Fuller, 1999) dan greener marketing (Charter and Polonsky,1999). Meskipun catatan tentang pemasaran jauh lebih ekspansif, pembahasan dalam artikel ini merujuk pada penggunaan komunikasi pemasaran sebagai strategi memasarkan brand produk dengan menggunakan klaim lingkungan dan juga atribut mereka atau tentang system, kebijakan dan proses pembuatan dan pasca penjualan produk. Secara jelas green marketing adalah bagian dan paket dari strategi korporat menyeluruh.(Menon and Menon, 1997). Sejauh dengan manipulasi marketing mix tradisional, ( product, price, place and promotion ), hal ini memerlukan pemahaman dari proses proses kebijakan public. Green marketing juga sangat dekat dengan issue ekologi dan lingkungan yang berkesinambungan seperti pertanggungan jawab produsen, analisis siklus hidup produk, penggunaan material dan peredaran sumber daya , dan eco efficiency. Jadi, subyek dari pemasaran hijau adalah luas, dan memiliki implikasi tersendiri bagi kepentingan strategi bisnis dan kebijakan public. Sebuah perusahaan dapat menghijaukan diri mereka melalui 3 cara : valueaddition processes (firm level), management systems (firm level) dan / atau products (product level). ( Aseem Prakash : 2002, journal business strategy and environment , University of Washington ) Cravens et. al., (2000) dan Straughan & Roberts (1998) menyatakan bahwa strategi green marketing merupakan strategi yang potensial sebagai strategi bisnis dan telah digunakan sebagai poros strategi pemasaran yang sukses, tetapi di lain pihak, Buchholz (1998); Hawken et. al (1999); Straughan& Roberts (1998); Vlosky et. al, (1999) dalam Byrne (2002) menganggap greenmarketing gagal untuk memberi kontribusi lebih lanjut pada lingkungan danpengintegrasian potensi keunggulan bersaing dan kepedulian lingkungan strategi bisnis. Dari kutipan buku yang ditulis oleh Jacquelyn Ottman, The New Rules of Green Marketing, ada saran tentang cara cara atau upaya upaya yang bisa ditempuh dalam penerapan green marketing untuk menumbuhkan image suatu brand pada konsumen. Sebuah cara yang langsung untuk memilih pertimbangan dalam melabelkan atau mengklaim sertifikasi produk yang ramah lingkungan. 1.Memilih standar pelabelan produk ramah lingkungan dengan bijak. Pastikan bahwa organisasi yang memberi sertifikasi di balik segel dan metodologi yang kredibel yang dipakai dalam menganalisis. Secara khusus, terlihat untuk melihat bahwa standar yang telah dikembangkan sesuai dengan standar tertulis organisasi seperti ISO dan badan-badan lokal seperti Standar Nasional Indonesia, American National Standards Institute atau British Standards Institute dan banyak lainnya. 2. Jadikan brand image environmental friendly product yang relevan. Dengan begitu banyak label yang tersedia di luar sana, sangat mungkin bahwa merek sebuah produk mungkin memenuhi syarat untuk lebih dari satu eko-label dan atribut produk. Dengan demikian, bertujuan untuk mempromosikan atribut yang paling relevan dengan merek tertentu. Juga, perlu diingat bahwa untuk untuk mengintegrasikan eco-labelling ke platform merek yang ada. 3. Mendidik konsumen dengan informasi bertanggung jawab. Hindari kebingungan konsumen dengan mendidik konsumen sebuah produk Anda tentang kriteria khusus di mana eko-label didasarkan. Ketika menunjukkan ke sebuah atribut label, disarankan agar produsen berhati-hati dalam mengkomunikasikan bahwa hanya atribut produk tertentu memiliki sertifikat dan seluruh produk yang tidak ‘ hijau ‘ sebagai akibat. Demi kredibilitas, jika sesuai, upaya upaya melakukan komunikasi dimaksudkan untuk memperlama proses ‘ penghijauan ‘ atau meramahkan kepada lingkungan untuk atribut produk lainnya. 4. Transparan dalam mengkomunikasikan analisis siklus produksi. Karena dalam proses sertifikasi eko label memerlukan sampel dan kejelasan material yang digunakan mulai dari proses cradle to the grave, maka informasi yang transparan tentang pemanfaatan material dan perlakuan terhadap bekas konsumsi harus dipertanggungjawabkan secara transparan. Kredibilitas ini yang harus dibangun untuk bersinggungan dengan persepsi konsumen dalam membangun kesadaran image produk yang benar benar ramah lingkungan. Jika sebuah perusahaan memilih untuk mensertifikasi diri, jelas bahwa label adalah brand image produk itu sendiri. 5. Mempromosikan Eko-Label Sebagai Brand Produk. Menimbang bahwa banyak eko-label yang tidak diakui secara luas oleh konsumen rata-rata, membantu untuk menciptakan permintaan untuk eko-label sebuah produk melalui strategi komunikasi pemasaran yang konsisten dengan pedoman eko label dari lembaga sendiri, atau lembaga swasta non pemerintah. Nampaknya merekomendasikan eko label dari upaya perusahaan sendiri masih belum jelas diketahui penerapannya di Indonesia . Ada beberapa perusahaan yang masih melalui uji coba sertifikasi eko label dengan partisipasi masyarakat, yang secara langsung dan otomatis membangun image sebagai brand yang ramah lingkungan. (Jacquelyn Ottman :The New Rules Green Marketing: Strategy, Tools and Inspiration for sustainable branding (Berrett-Koehler 2011) Contoh logo eko label : C. Proses Sinergi Kesepahaman Pelaku Komunikasi Pemasaran Dalam Setting Paradigma Masyarakat Yang Sadar Keselamatan Lingkungan ( Green Society ). Proses sinergi kesepahaman diantara konsumen dan produsen serta lembaga otoritas yang mengatur regulasi aturan uji sertifikasi dan pengawasan standar mutu produk sebagai bagian dari proses branding produk berlangsung melalui beberapa cara. Adapun teori yang sering digunakan digunakan dalam membingkai persoalan sinergis ini antara lain, teori partisipasi masyarakat dalam perspektif tanggung jawab social dan modal sosial. Pandangan pandangan dalam menjelaskan persoalan lingkungan dan cara cara pencapaian kebijakan yang kini diminati ada 3 : 1. pandangan teknosentrik ( O’Riordan ) menggambarkan hakikat manusia sebagai manipulator alam, yang harus membatasi prilakunya agar ia dapat terus melakukan manipulasinya itu. Pandangan konservasionis ini berkembang luas di Amerika Serikat ( Hays, 1959 ), cenderung optimistic dan bersifat maskulin ( Mies dan Shiva, 1963 ). Ini merupakan produk ilmu konservasi yang menekankan pemeliharaan alam untuk keperluan manusia sendiri. Meskipun lugas, jauh terkesan romantik, pandangan ini justru mendorong dilakukannya konservasi secara nyata ( Simon & Kahn, 1984 ). Eksploitasi dan teknologi dipandang positif sejauh itu tidak merusak alam fisik dan sosial berlebihan 2. pandangan ekosentrik ( Dobson, 1990; O’Riordan, 1981, Pepper, 1986 ) juga optimis namun ia jauh lebih dalam lagi dalam menganjurkan pelestarian lingkungan. Apabila pandangan pertama alam dijadikan sebagai faktor pengimbang sekunder, maka dalam pandangan ini kelestarian harus selalu dinomorsatukan. Konsep pelaksanaan yang menonjol ada 5 :Konsep pembangunan berkelanjutan ( sustainable environtment ), prinsip kehatihatian. / precaution principle ( O’ Riordan & Cameron ), ilmu ekonomi ekologis / ecological economics ( Pearce 1993 ), penilaian dampak lingkungan / environmet impact assessment ( O’Riordan & Sewell 1981 ), Ecoauditing sebagai analisis akhir. 3. pandangan “ deep green “ atau etis. Pandangan yang bertumpu pada struktur etika dan social yang radikal ( deep ecology atau steady state economics ). Pandangan ini menganjurkan ditinggalkannya pola hidup massal yang dianggapnya tidak bisa tidak merusak lingkungann dan menghimbau masyarakat untuk hidup dalam pola komunal yang dekat dengan alam. Tekhnologi yang dipilih adalah yang paling canggih, tetapi tidak perlu aneka perangkat penduduk berskala besar. Pandangan ini menentang globalisme ekonomi dan ketergantungan politik; dalam waktu bersamaan ia mempromosikan pasifisme ( hidup serba damai dan bersahaja ), ecofeminisme, penegakan hak hak konsumen demi mengontrol produsen serta pengakuan atas hak hidup mkhluk lain di luar manusia. Pandangan ini berakar pada tradisi anarkisme dan pemberdayaan komunitas. Meskipun demikian pandangan ini juga mengakui bahwa semua usulnya tak mungkin diterapkan seketika. Karena itu ia menyambut baik konsepsi pembangunan berkelanjutan, yang dianggapnya sebagai batu loncatan menuju kondisi serba lebih baik, jauh dari hangar binger politik atau militer yang pada akhirnya akan menghancurkan lingkungan. ( Timothy O’Riordan, University of East Anglic,1981 ). Jadi, pada prinsipnya pandangan pandangan tadi berakar pada gaya hidup dan pola pola prilaku konsumerisme pada masyarakat ekonomi. Pandangan deep green inilah yang saat ini sedang menjadi gerakan global dalam ethical consumerism, yaitu hanya mengkonsumsi produk yang brand imagenya benar benar ‘ hijau ‘. Beberapa poin dari penerapan ethical consumerism terhadap brand sebuah produk yang terpercaya hijau antara lain: Konsumen ditanya tentang produk ‘ hijau ‘. Apakah benar terjadi peningkatan permintaan terhadap brand produk yang benar benar ‘ hijau ‘. Bisnis melihat pada proses ‘ hijau ’ menghasilkan profil lingkungan korporat, kinerja monitoring dan evaluasi, dan membenahi citra ( image ) sebagai hasil. Produk hijau juga meningkatkan persaingan diantara bisnis untuk menghasilkan lebih banyak produk ramah lingkungan. Jaringan kerja Ecolabelling yang memonitor dan mengevaluasi priduk produk hijau sudah mulai tersebar di banyak Negara. Jaringan ini pula yang menganalisis siklus dan memahami dampak dari bekas produk. Pemerintah juga ikut campur tangan dalam beberapa pengukuran yang mendukung dan memfasilitasi gerakan tersebut dengan bisnis. Dari kutipan beberapa jurnal yang berhasil dikumpulkan oleh penulis untuk tujuan referensi, ada beberapa hal dalam membingkai persoalan penerapan ekolabeling, green product dan green marketing untuk membentuk image green brand product. Persoalan lain adalah perpektif green consumerism atau ethic consumerism yang juga menjadi faktor brand awareness. Konsumerisme etis disengaja pembelian produk dan layanan yang pelanggan anggap sebagai dibuat etis. Ini mungkin berarti dengan bahaya minimal untuk atau eksploitasi manusia, hewan dan atau lingkungan alam. ( Julia Hailes : 1998 ) Meningkatnya etika konsumerisme dan merek hijau yang mengidentifikasi diri mereka sebagai etika, telah menyebabkan meningkatkan keputusan-keputusan etika berbasis di pasar massal, diaktifkan oleh peningkatan pemahaman dan informasi tentang praktik bisnis. Sadar Mengkonsumsi adalah gerakan sosial yang berbasis di sekitar meningkatnya kesadaran akan dampak dari keputusan pembelian terhadap lingkungan dan kesehatan konsumen dan kehidupan pada umumnya. Hal ini juga berkaitan dengan efek dari media dan periklanan pada konsumen. Banyak aspek Sadar Mengkonsumsi telah dipraktekkan di seluruh dunia tetapi bukan dalam bentuk kohesi. Ini adalah pembingkaian dari teori Pilihan Publik ketika dihadapkan pada persoalan green consumerism dan green branding, green marketing. Seiring waktu, beberapa Teori Modal Sosial yang biasa dipakai sebagai alat analisis tangung jawab social, menunjukkan penurunan, dan sebaliknya positioning Branding Perusahaan atau Produk (atau "merek") akan meningkat. Hal ini hanya dapat diimbangi dengan kedaulatan nasional untuk memperkuat standar nasional dibagi dalam pajak, perdagangan, dan hukum tarif, dan dengan menempatkan kepercayaan dalam masyarakat seperti "label moral". Argumenargumen ini telah menjadi fokus utama dari gerakan anti-globalisasi, yang mencakup banyak argumen yang lebih luas terhadap sifat amoral dari pasar seperti itu. Namun, ahli ekonomi, Teori Pilihan Publik yang dipelopori oleh James M. Buchanan telah menawarkan kontra-argumen berdasarkan demonstrasi ekonomi teori ini 'pasar amoral' versus 'pemerintah moral ". (James M. Buchanan & Yong J. Yoon, 2008. " 177-188, 05.) Sadar mengkonsumsi berakar dalam kesederhanaan sukarela, di mana orang mengevaluasi kembali keseimbangan kehidupan kerja mereka untuk menghabiskan lebih banyak waktu dan uang pada hal-hal yang penting bagi mereka. Ketika mereka membeli sesuatu yang baru, keputusan untuk membeli dibuat sadar. Seorang calon pembeli bertanya, "Apakah item ini dibuat sejalan dengan nilai-nilai yang saya anut? Apakah saya mendukung ekonomi lokal? Apakah orang-orang yang memproduksi item ini diperlakukan dan kompensasi secara adil? Apakah item ini dibangun untuk terakhir?" Sebagai hasil dari pertanyaan-pertanyaan ini, konsumen sadar menemukan diri mereka mendukung pertanian organik, perdagangan adil dan bisnis lokal dan independen yang benar benar adil terhadap lingkungan. Dari paradigma deep green ini yang seperti sudah dikonsepsikan oleh Negara Negara industry maju tentang green economy, sekaliber Swedia dengan dikeluarkannya agenda pendidikan green knowledge society hingga 2015, diharapkan pembangunan pola konsumerisme akan bergeser pada konsumsi etis brand produk yang benar benar ramah lingkungan. Karena itu kesimpulan dari artikel ini adalah : 1. Penerapan konsep eko labeling yang masih bersifat suka rela. Dan karena rumitnya prosedur untuk bisa mendapatkan label ramah lingkungan harus melalui proses analisis siklus from cradle to the grave yang lebih rumit dari analisis amdal. Karenanya, dukungan brand produk yang ramah lingkungan masih tergolong mahal, dan menjadi permissive untuk tidak dilakukan karena sifatnya yang masih volunteer ( sukarela ). 2. Konsep green marketing, green branding corporate and product, dan penanaman kesadaran brand tersebut kepada masyarakat konsumen selaras dengan perkembangan kebijakan dan standarisasi lembaga yang memiliki otorisasi uji sertifikasi. Masalah penerapan green marketing yang pada gilirannya akan berdampak pada strategi green branding sebagai konsep ekonomi dan penggairahan aktivitas ekonomi bisnis pada suatu Negara. Erat kaitannya dengan kredibilitas dan akreditasi sebuah lembaga yang memberi sertifikasi eko labeling sebagai pendukung brand produk. Penerapan di Indonesia belum dapat dipastikan tingginya tingkat partisipasi. Variabel konsumen dalam green marketing masih perlu dikaji lagi mana yang dominan. 3. Penerapan ekolabeling juga terkait dengan prilaku konsumen. Maka gerakan Konsumerisme Etik yang diprediksi akan menggeser paradigma tanggung jawab sosial semakin gencar dikampanyekan. Gaya hidup dan pola konsumerisme yang lebih menjunjung tinggi nilai keadilan dalam ekosistem, ekologi dan lingkungan. Pergeseran paradigma prilaku konsumen ini patut disiasati dengan menciptakan brand yang benar benar sesuai dengan permintaan pasar. Referensi : Alfitri,2011, Community Development,Teori Dan Aplikasi, Bandung, Pustaka Pelajar Buchanan, James M, & Yoon, Yong J. "Public Choice and the Extent of the Market," 2008.vol. 61(2), pages 177-188, 05. Kyklos, Wiley Blackwell Burgoon, Michael; 1982, Communication Yearbook 6, Beverly Hills, Sage Publication Djajadiningrat, Surna Tjahja, Ekonomi Hijau, 2011, Bandung, Rekayasa Sains Hailes , Julia; 1998 Green Consumer Guide", Suparmoko dan Maria Suparmoko. 2000. Ekonomika Lingkungan. Yogyakarta, BPFE UGM Ottman, Jacquelyn A., The New Rules of Green Marketing: Strategies, Tools and Inspiration for Sustainable Branding ,New York, 2011 Berrett-Koehler. Prakash, Aseem, Green marketing and public policy, Business Strategy and the Environment Bus. Strat. Env. 11, 285–297 (2002) Published online in Wiley InterScience (www.interscience.wiley.com). DOI: 10.1002/bse.338 Tietenberg, Tom. 1992. Environmental and Natural Resource Economics, Harper Collins Publisher Inc.New York. Non buku : Pedoman KAN 804 Komite Akreditasi Nasional Indonesia http://dc303.4shared.com/doc/hzNTpodB/preview.html http://www.ecologo.org/en/ http://ec.europa.eu/environment/ecolabel/index_en.htm http://www.blauer-engel.de/englisch/navigation/body_blauer_engel.htm http://www.tcodevelopment.com/ http://www.svanen.nu/Eng/ http://www.ecomark.jp/english/ http://www.gpn.jp/English/ http://www.drcg.org/ sustbiz/green/doc-cons_introduction.html http://www.ezinarticles.com/ BIODATA PENULIS Nama : Nevrettia Christantyawati, MSi E mail : [email protected] [email protected] No telp : 081330224158 083830529330 Pekerjaan : dosen tetap Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo Surabaya Afiliasi : pemerhati masalah komunikasi lingkungan.