Kata KPK, Tidak Ada Unsur Korupsi di Sumber Waras

advertisement
Kata KPK, Tidak Ada Unsur Korupsi di Sumber Waras
02 Maret 2016 09:40:37 Diperbarui: 02 Maret 2016
(Kiri - Kanan) Wakil Ketua DPRD
DKI Jakarta, Abraham 'Lulung'
Lunggana, Ketua DPD DKI Jakarta
Muhammad Taufik, Ketua Pansus
LHP BPK
RI Triwisaksana dan
anggota DPRD Prabowo Soenirman
mendatangi
KPK,
Jakarta,
30
Oktober 2015. Mereka melaporkan
hasil anggaran terkait pembelian
lahan rumah sakit Sumber Waras.
TEMPO/Friski Riana
Dengan penuh semangat bergelorah “Asal Bukan Ahok”, dan “Ahok Harus Salah”, “Ahok
Salah Benar Harus Dipenjara”, kompasianer A.L.A. Indonesia menulis artikel dengan
judul: “Siapa Tersangka Pertama Sumber Waras, Ahok atau Veronika Tan.”
Artikel itu terinspirasi dari kicauan Andi Arief, mantan staf khusus Presiden Bidang
Bantuan Sosial dan Bencana di masa Presiden SBY. Di masa kampanye Pilpres 2014 Andi
juga adalah salah satu orang yang rajin membela pengedar tabloid “Obor Rakyat”,
yaitu Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah Setyardi Budiyono.
Sebagaimana diketahui Tabloid Obor Rakyat adalah tabloid ilegal layaknya selebaran
gelap yang diedarkan khusus untuk menyebarkan fitnah-fitnah SARA terhadap Jokowi.
Di belakang tabloid itu diduga kuat ada peran pengusaha pertambangan yang kini
"buronan" Kejaksaan Agung terkait kasus "Papa Minta Saham", Muhammad Riza Chalid
sebagai penyokong dananya
Ada dua kicauan @AndiArief_AA yang menginspirasi tulisan tersebut, masing-masing
berbunyi demikian:
“Saya percaya seribu persen: KPK tetapkan Ahok Tersangka sebelum Pilkada DKI. Tidak
ada celah sedikitpun Ahok bisa lolos kecuali KPK bubar.”
“Ini pertanyaan serius mengulangi kemarin: Siapa yang lebih dulu menjadi tersangka
korupsi sumber waras, Ahok atau Veronika tan?#nanya
1
Kicauan Andi Arief itu, ternyata tak terbukti dengan adanya pernyataan KPK baru-baru
ini, bahwa KPK belum menemukan ada unsur korupsi di pembelian lahan Rumah Sakit
Sumber Waras itu. Hanya menunggu waktu, kasus itu akan dihentikan proses
penyelidikannya di KPK, karena tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup.
Laporan DPRD DKI
Selanjutnya isi tulisan tersebut mengajukan argumen-argumen yang serba keliru, sangat
lemah, dan serba tidak nyambung.
A.L.A Indonesia menulis:
Belum ada sejarahnya hasil audit investigasi BPK lolos dari jeratan KPK. Semua orang
sudah tahu ketika KPK memerintahkan audit investigasi artinya KPK sudah punya bukti
awal adanya indikasi tindak pidana korupsi. Karenanya dalam audit investigasi yang dicari
adalah siapa penanggungjawabnya, siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan
besarnya kerugian. Fokusnya mencari TSK utama dan TSK lapis kedua.
Padahal, kasus tudingan korupsi Ahok berawal dari laporan BPK DKI Jakarta, yang
menyebutkan Ahok telah melakukan beberapa pelanggaran dalam pembelian 3,1 hektare
lahan Rumah Sakit Sumber Waras, yang menyebabkan negara dirugikan sebesar Rp. 191
miliar.
Berdasarkan laporan BPK DKI itu, DPRD DKI yang merasa mendapat amunisi untuk
menyerang lagi Ahok, pada 30 Oktober 2015, dipimpin oleh Abraham Lunggana alias Haji
Lulung melaporkan Ahok ke KPK. Berdasarkan laporan itu, guna kepentingan penyelidikan,
KPK meminta BPK untuk melakukan audit investigasi terhadap kontrak pembelian lahan
Rumah Sakit Sumber Waras itu.
BPK lalu memeriksa Ahok pada 23 November 2015, seharian penuh dari pagi sampai
malam, seorang diri, semua stafnya dilarang membantu atau mendampingi Ahok. Padahal
orang yang diperiksa polisi saja diberi kesempatan didampingi pengacaranya.
Hasil pemeriksaan terhadap Ahok bersama dengan hasil audit investigasi lainnya sudah
disampaikan BPK kepada KPK, pada 7 Desember 2015.
Jadi, tidak benar pernyataan A.L.A Indonesia tersebut di atas bahwa karena KPK sudah
punya bukti awal adanya indikasi tindak pidana korupsi, maka mereka meminta audit
investigasi dari BPK.
Itu kronologis yang diputar balik untuk mendukung asumsinya.
2
Konflik Kepentingan, Ketua BPK DKI Dicopot
Atas audit BPK DKI yang diumumkan ke publik itu, pada 30 Oktober 2015, Ahok melapor
Ketua BPK DKI Efdinal ke Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Selain Ahok, ICW juga
melaporkan Efdinal ke Majelis yang sama.
Ternyata, laporan BPK DKI yang menyebutkan pembelian lahan Rumah Sakit Sumber
Waras itu merugikan negara sebesar Rp 191 miliar itu mempunyai latar belakang
kepentingan pribadi dan penyalahgunaan wewenang dari Ketua BPK DKI Efdinal.
Sebelum laporan BPK itu diumumkan, Efdinal menawarkan kepada Ahok agar mau membeli
juga lahan miliknya seluas 1 hektar yang bersebelahan dengan lahan Rumah Sakit Sumber
Waras itu. Dengan iming-iming, jika Ahok mau beli, maka laporan itu bisa “direvisi”.
Tetapi, Ahok menolaknya mentah-mentah, karena ia yakin, tidak ada yang salah dari
pembelian lahan tersebut.
Maka itulah laporan BPK DKI itu pun diumumkan ke publik bahwa ada unsur korupsi yang
dilakukan oleh Ahok di balik pembelian lahan tersebut.
Ketika Ahok melaporkannya ke Majelis Kehormatan Kode Etik BPK itu, Efdinal dengan
gagah mengatakan ia sama sekali tidak gentar, karena ia yakin apa yang dilakukan itu
sudah benar demi kepentingan bangsa dan negara, dan berdasarkan keyakinannya kepada
Allah SWT. Mati di lapangan pun ia ikhlas.
Faktanya, Efdinal tak perlu sampai mati di lapangan, karena pada Kamis, 11 Februari 2016,
BPK pun mencopotnya dari jabatannya itu. Ia diganti oleh Syamsuddin yang sebelumnya
menjabat sebagai Kepala Auditorat VA Auditorat Keuangan Negara V BPK RI.
Anggota V BPK Moermahadi Soerja Djanegara, yang memimpin serah terima jabatan
Kepala BPK DKI Jakarta, di Jakarta itu, mengatakan pertimbangan utama dari
pencopotan Efdinal itu ada kaitannya dengan hasil pemeriksaan Majelis Etik tentang
konflik kepentingan dan penyalahgunaankewenangan (sesuai dengan laporan Ahok dan
ICW).
Tidak Ada Unsur Korupsi
A.L.A Indonesia menulis:
“Ketika sebuah kasus sudah masuk KPK maka berlaku hukum tidak tertulis, KPK tidak
pernah kalah. Jika KPK kalah maka kembali ke pasal KPK tidak pernah kalah. Dan jika KPK
kalah maka artinya KPK siap dibubarkan.”
Padahal, suatu kasus yang masuk ke KPK belum tentu akan ditindaklanjuti oleh KPK
sampai ke tingkat penyidikan. Bila di tahapan penyelidikan, KPK tak menemukan bukti
3
permulaan yang cukup, maka KPK akan menghentikan penyelidikan terhadap kasus
tersebut.
Dasar hukumnya ada di Pasal 44 Undang-Undang KPK: "Dalam hal penyelidik melakukan
tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penyelidik melaporkan kepada KPK dan KPK menghentikan penyelidikan."
Apakah ada kasus yang sudah masuk ke KPK, tetapi tidak ditindaklanjuti ke tingkat
penyidikan?
Jawabannya: Ada, dan cukup banyak.
Wakil Ketua KPK terdahulu, Indriyanto Seno Adji, pernah mengungkapkan hal tersebut
pada 13 Oktober 2015, di Hotel Borobudur, Jakarta, saat menjadi pembicara di diskusi
Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan.
Indriyanto menjelaskan, KPK sering menghentikan penyelidikan suatu kasus, dikarenakan
KPK tidak menemukan minimal dua alat bukti permulaan yang cukup selama proses
penyelidikan dilakukan. Maka, tidak ada satu orang pun yang dapat dijadikan sebagai
tersangka dan dimintai pertanggungjawaban, karena tahap penyelidikan yang sudah
berjalan itu tak bisa naik ke tahap penyidikan (Tempo.co).
UU KPK mengatur begitu, agar KPK sungguh-sungguh dalam melakukan tugas penyelidikan
dan penyidikannya, sebab jika kasusnya sudah masuk ke tahapan penyidikan, maka KPK
dilarang menghentikan proses penyidikan itu, atau KPK tidak berwenang menerbitkan
SP3, sebagaimana lazim terjadi di Kepolisian, dan Kejaksaan.
Pasal 40 UU KPK berbunyi: "KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi."
Nah, tampaknya kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang dilaporkan para
anggota DPRD DKI Jakarta dipimpin oleh Haji Lulung itu, segera menambah daftar
panjang kasus di KPK yang tidak diteruskan pemeriksaannya karena tidak ditemukan alat
bukti permulaan yang cukup.
Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, Senin, 29 Februari 2016.
Basaria mengatakan, selama melakukan penyelidikan terhadap kasus pembelian lahan
Rumah Sakit Sumber Waras itu, sampai sekarang, KPK belum menemukan adanya unsur
tindak pidana korupsinya. Artinya, kasus itu belum bisa ditingkatkan ke penyidikan.
"Karena belum ada mengarah ke tindak pidana korupsinya," ujarnya.
4
Basaria menolak mengatakan hasil audit BPK yang menyebut adanya penyalahan aturan
dalam pembelian lahan RS Sumber Waras itu disebabkan adanya seseorang yang ingin
menjegal Ahok.
Dia mengatakan KPK mendalami kasus Sumber Waras tak hanya berdasarkan audit BPK.
Menurut dia, KPK tidak bisa langsung menerima mentah-mentah laporan dari BPK dan
menyatakan Ahok sebagai tersangka (Sumber: Tempo.co).
Kalau sampai dengan waktunya, KPK tidak juga menemukan unsur pidana di pembelian
lahan Rumah Sakit Sumber Waras itu, maka KPK pun akan menghentikan pemeriksaan
kasus tersebut.
Argumen dan Logika yang Tidak Nyambung
Di artikelnya itu A.L.A Indonesia dengan susah payah membuat analisis, argumen, lalu
kesimpulan untuk menyatakan ada alasan kuat untuk menduga Veronika Tan terlibat
korupsi Sumber Waras bersama dengan suaminya, Ahok, sayangnya apa yang ditulis itu
tidak ada korelasinya, alias tidak nyambung satu terhadap yang lain. Dia menulis:
Nah dalam kasus Sumber Waras yang makin panas, salah satu momen yang menjadi bahan
penyelidikan KPK adalah pernyataan Veronica Tan usai dilantik menjadi Ketua Yayasan
Kanker Indonesia Cabang DKI Jakarta untuk masa bakti 2013-2018.
“Kami berharap YKI DKI bisa membangun sebuah Palliative Care Center Terpadu yang
akan dijadikan untuk perawatan pasien kanker pasca kemoterapi, sekaligus pusat
pelatihan dan informasi. Ini menjadi program jangka panjang yang sangat penting untuk
direalisasikan," ujar Veronika di ruang Balai Agung DKI Jakarta.”
“Usai penandatanganan MOU dengan SIF, Veronica Tan menyampaikan targetnya
dihadapan awak media bahwa rumah sakit khusus kanker di lahan Sumber Waras akan
mulai dioperasikan pada 2017. Pernyataan Veronica Tan tersebut dimuat di Kompas.com
tanggal 20 Januari 2015 dengan judul "Veronica AHOK Ingin Pemprov DKI Bangun RSUD
Khusus Kanker".
Apa yang disampaikan Veronika Tan itu merupakan sesuatu yang sangat lumrah. Sudah
seharusnya memang demikian harapan dan target dari pendirian sebuah rumah sakit
kanker seperti itu. Kalau sebuah rumah sakit kanker didirikan bukan untuk maksud dan
tujuan tersebut, lalu untuk apa?
Apa yang salah dari pernyataan harapan dan target Veronika bahwa rumah sakit itu
sudah bisa dioperasikan pada 2017? Justru kalau berlarut-larut waktu dimulai
operasionalnyalah yang patut mengundang curiga. Ini, suatu proyek diharapkan makin
cepat bisa selesai dan digunakan, kok malah dituding berarti ada korupsinya. Logika
macam apa yang dipakai ini?
5
Apa hubungannya dengan korupsi dari pernyataan-pernyataan Veronika itu?
Benarkah hanya dari pernyataan itu lalu membuat KPK tertarik memeriksa kasus
tersebut karena diduga ada korupsi di dalamnya? Tidak nyambung.
Di tulisannya itu, A.L.A Indonesia juga menggunakan sebutan “rumah sakitnya”, dan
“Rumah sakit sendiri” untuk menghubungkan pembangunan rumah sakit khusus kanker
itu, padahal rumah sakit itu adalah milik Pemprov DKI Jakarta, bukan milik pribadinya
Veronika Tan. Ia hanya Ketua Yayasannya.
Jabatan Ketua Yayasan Veronika ini juga yang membuat A.L.A Indonesia mengatakan,
dengan demikian patut dicuriga ada apa-apanya di balik penunjukkan Veronika sebagai
Ketua Yayasan itu, karena ia adalah istri Ahok.
Padahal, di tata pemerintahan daerah di Indonesia hal tersebut merupakan suatu
kelaziman. Istri dari seorang kepala daerah, biasanya menjadi ketua yayasan atau
organisaisi yang didirikan pemerintah daerah setempat. Kelak jika Ahok sudah tidak
menjadi gubernur lagi, maka istri gubernur penggantinya pun akan menjadi ketua yayasan
itu.
Rumah Sakit Kanker Masih Sangat Kurang
Untuk menambah bobot tudingan korupsi terhadap Ahok dan Veronika Tan, A.L.A
Indonesia juga menekankan bahwa di Jakarta rumah sakit yang bisa menerima pasien
kanker itu sudah lebih dari cukup, jadi untuk apa lagi Ahok dan Veronika Tan begitu
berambisi membangun lagi rumah sakit spesialis kanker di Jakarta (kalau bukan untuk
korupsi?).
Jelaslah sudah orang ini menulis dan menuding tanpa data yang akurat, ia juga tidak bisa
membedakan rumah sakit spesialis kanker dan rumah sakit biasa, yang meskipun bisa
menerima pasien kanker, tetapi mempunyai tenaga medis. peralatan medis, dan kamar
yang serba terbatas.
A.L.A. Indonesia menulis:
Entahlah, apa motif Veronica Tan sehingga ngotot ingin memiliki rumah sakit kanker
sendiri. Padahal saat ini sudah ada 5 rumah sakit di DKI Jakarta yang melayani penderita
kanker. Tiga rumah sakit dimiliki oleh pemerintah pusat, yaitu RSUP Fatmawati, RS Cipto
Mangunkusumo, dan RS Persahabatan. Sementara itu, satu rumah sakit berstatus swasta,
yakni RS Kanker Dharmais. Dan 1 lagi milik Pemprov DKI Jakarta yaitu RSUD Tarakan
yang memiliki ruangan khusus kanker. Dua RSUD lainnya yaitu RSUD Pasar Minggu dan
PSUD Koja juga sudah dilakukan penambahan ruangan untuk penderita kanker.
6
Wow…wow…wow…sudah ada 7 rumah sakit untuk melayani penderita kanker tapi masih
ngotot ingin memiliki rumah sakit sendiri…Ada apa dengan Veronica Tan dan AHOK?
B E R S A M B U N G…..
Data yang benar adalah, sampai saat ini, Indonesia hanya memiliki 2 rumah sakit
spesialis kanker, yaitu Rumah Sakit Dharmais dan MRCC Siloam Semanggi. Dua-duanya
ada di Jakarta. MRCC adalah singkatan dari Mochtar Riady Comprehensive Cancer
Center (MRCCC).
Pada saat meresmikan rumah sakitnya itu, Mochtar Riady mengatakan Indonesia masih
kekurangan rumah sakit kanker, oleh karena itu dia bertekad untuk membangun lagi
rumah sakit kanker di Indonesia.
Memang ada beberapa rumah sakit umum, baik milik pemerintah, maupun swasta, yang
meskipun bisa menerima pasien kanker, tetapi karena mereka bukan merupakan rumah
sakit spesialis kanker, maka pasti mempunyai kemampuan dan kapasitas yang serba
terbatas.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada November 2014 memperkirakan dikarenakan
pengaruh pola hidup yang salah, penderita kanker di seluruh dunia dari tahun ke tahun
akan melonjak tajam, yakni mencapai 300 persen pada tahun 2030. Dari angka itu 70
persen akan terjadi di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
Sedangkan, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan
tahun 2007, prevalensi kanker di Indonesia mencapai 4,3 per 1.000 penduduk. Pada
tahun 1984, kanker masih menempati urutan ke enam penyebab kematian di Indonesia,
dan diperkirakan akan terus meningkat sesuai dengan penambahan angka kejadian.
Dengan demikian sudah pasti hanya 2 rumah sakit spesialis kanker, Jakarta/Indonesia
masih sangat kekurangan.
Sekarang saja, Indikasinya sudah terlihat sangat nyata, di Rumah Sakit kanker
Dharmais, yang merupakan rumah sakit rujukan nasional yang menangani kanker, dari
tahun ke tahun semakin kewalahan menerima pasien kanker. Saking banyaknya pasien
kanker, menyebabkan waiting list pasien saja per harinya mencapai 100-400 tempat
tidur.
Direktur Utama RS Kanker Dharmais dr. Sonar Soni Panigoro, SpB(K) Onk, M.Epid,
pernah (9/9/2014) mengatakan bahwa kekurangan tempat tidur di Rumas Sakit
Dharmais sangat memengaruhi efektifitas pengobatan seperti kemoterapi.
7
"Pasien kemo yang tidak ada tempat, terpaksa cari tempat lain. Ini yang dikhawatirkan
karena kanker tidak seperti bibir sumbing yang dibiarkan akan tetap seperti itu.
Penyakit ini menjalar terus dan merusak organ. Mutlak harus ada penanganan khusus,"
kata Sonar (Sumber)
Dari Yogyakarta, Ahli Hematologi Onkologi Medik UGM, dr. Mardiah Suci
Hardianti,Ph.D.,Sp.PD. mengatakan, jumlah penderita kanker di Yogyakarta (DIY) dari
tahun ke tahun menunjukkan angka peningkatan.
Dari data penderita kanker di RSUP Dr. Sardjito mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Data tahun 2009 mencatat jumlah kunjungan pasien yang menjalani rawat jalan di
Klinik Tulip sebanyak 23 ribu dan terus naik hingga 48.175 ribu di tahun 2015. "Penderita
kanker yang terus bertambah di DIY sebagian besar disebabkan gaya hidup yang tidak
sehat,"katanya, Sabtu 6 Februari 2016.
Sedangkan menurut pertimbangan Ahok, selain faktor-faktor tersebut di atas,
perlunya Pemprov DKI Jakarta memiliki rumah sakit spesialis kanker sendiri adalah
karena DKI Jakarta masih kekurangan rumah sakit kanker, terutama setelah
diberlakukannya program BPJS Kesehatan. Sehingga, tidak seharusnya mengalih fungsi
lahan yang semula untuk pelayanan publik menjadi area komersil. “DKI sedang
kekurangan rumah sakit, ini kok malah meminta alih lahan jadi kawasan komersial.”
Dengan ulasan tersebut di atas, sebenarnya sudah cukup jelas pokok persoalannya
seputar pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta itu,
tetapi seperti biasa, para anggota Barisan Sakit Hati (BSH) dan Barisan Asal Bukan
Ahok selalu saja memilintirkannya sedemikian rupa sehingga terbolak-balik faktanya.
Dari alur logika, argumen, dan kesimpulannya yang diajukan, bisa diketahui dengan mudah
hal tersebut, karena logika yang dipakai pun acap kali adalah logika jungkir balik.
Demikianlah memang karakter dari para anggota BSHAA, "Barisan Sakit Hati Anti
Ahok," yang "diketuai oleh Abraham 'Lulung' Lunggana, dengan wakil ketuanya M Taufik,
sekretariat: Prabowo Soenirman."
Untuk memperoleh informasi tentang kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras
yang sebenarnya, silakan klik di sini. *****
8
(Hatree.com)
9
Download