Modul Filsafat Manusia [TM15].

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Filsafat Manusia
FILSAFAT TIMUR
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
Kode MK
15
Abstract
Kompetensi
Pemikiran timur dianggap bukan
filsafat. Dengan berbagai argumentasi
yang dibangun, para filosof mencoba
‘menarik’ pemikiran timur sebagai
filsafat, diantaranya adalah Sanderson
Beck dan Fu Yung Lan
Mahasiswa dapat memahami
perkembangan pemikiran timur menjadi
filsafat dengan mencermati
argumentasu-argumentasi yang
diutarakan oleh para filosof untuk
menjadikan pemikiran timur sebagai
filsafat.
Disusun Olehpemii
Fahrul Rozi & Juneman
Filsafat Timur
# modul ini sepenuhnya disadur dari modul filsafat manusia karya Juneman (2008) yang berjudul
“Manusia Dalam Wacana Filosofis”.#
I. Pemikiran Timur: Filsafat atau Kepercayaan?
Pemikiran Timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak
sistematis, dan tidak kritis. Ini yang menyebabkan pemikiran Timur dianggap bukan filsafat.
Sifat-sifat pengetahuan yang secara konvensional dipandang harus ada dalam filsafat,
seringkali dinilai tidak terkandung dalam pemikiran Timur. Pemikiran-pemikiran tersebut
lebih dianggap sebagai agama ketimbang filsafat. Memang banyak dari para penganutnya
yang memperlakukan pemikiran Timur sebagai agama, sehingga cukup bukti bahwa apa
yang sering disebut sebagai filsafat Timur adalah kepercayaan religius atau agama.
Jika pemikiran Timur dianggap sebagai agama, maka pemikiran itu tidak dapat
disebut filsafat, mengingat keduanya memiliki sifat-sifat yang bertolak belakang. Meskipun
sama-sama bertujuan menemukan kebenaran, keduanya memiliki perbedaan mendasar.
Agama mengajarkan kepatuhan; filsafat mengandalkan kemampuan berpikir kritis yang
sering tampil dalam perilaku meragukan, mempertanyakan, dan membongkar sampai ke
akar-akarnya. Pengetahuan yang oleh agama wajib diterima, dalam filsafat seringkali
(hampir selalu) diragukan, dipertanyakan, dan dibongkar sampai ke akar-akarnya, untuk
kemudian dikonstruksi menjadi pemikiran baru yang dianggap lebih masuk akal.
Memang ada pemikir yang melihat agama dan filsafat sebagai dua bidang yang
sejalan. Santo Agustinus dan Thomas Aquinas sebagai filsuf dan agamawan Kristiani,
misalnya, berpendapat bahwa agama dan filsafat adalah dua hal yang sejalan. Dari
khasanah Islam, Iqbal menegaskan bahwa agama Islam dan filsafat semestinya beriringan
untuk mencapai kebenaran. Tetapi, pada praktiknya sangat sulit untuk mempersandingkan
keduanya. Selalu ada yang mesti dikorbankan, yang satu harus menjadi subordinat yang
lain. Di Abad Pertengahan misalnya, filsafat adalah hamba bagi iman. Filsafat dimanfaatkan
untuk membantu menjelaskan permasalahan teologi. Semboyan “faith over reason” (iman
melampaui nalar) merupakan contoh bagi ketidaksejajaran agama dan filsafat dalam
kehidupan konkret. Dalam khasanah pemikiran Islam pun, pertentangan agama dengan
filsafat masih berlangsung hingga akhir penghujung abad ke-21.
Dalam pemikiran Eropa, agama dan filsafat lebih sering dibedakan. Filsafat juga
sering dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan (science). Bertrand Russell memberikan
pengertian metaforis terhadap filsafat sebagai “. . .the no-man‟s land between science and
theology. Exposed to attack from both sides.” Filsafat adalah sebuah wilayah tak bertuan di
antara ilmu dan teologi yang siap diserang oleh keduanya. Di sisi lain, filsafat juga memiliki
2014
2
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kemungkinan untuk menyerang ilmu dan teologi. Jadi, jika pemikiran Timur dianggap
agama, maka wajar saja pemikiran itu digolongkan sebagai bukan filsafat. Dalam
pandangan lain, filsafat juga dapat diibaratkan padang Kurusetra dalam cerita Mahabharata,
tempat Pandawa dan Kurawa berperang. Sebuah tempat tak bertuan yang jadi ajang
pertempuran sekaligus pertemuan yang mengharukan antara dua pihak yang bertikai.
Filsafat dimanfaatkan oleh banyak bidang yang bertikai, seperti ilmu pengetahuan
dengan agama, pertikaian antar-agama dan pertikaian antar-ilmu. Di pihak lain, tidak sedikit
pula yang memperlakukan pemikiran Timur sebagai suatu pisau bedah bagi banyak
permasalahan filosofis, bahkan mereka mengembangkannya dengan menggunakan
sistematika berpikir yang filosofis. Pemikiran filosofis ditegaskan bukan hanya monopoli
Barat, tetapi juga menjadi bahan pergulatan manusia Timur dalam hidupnya. Pemikiran etis
dari Confucius, contohnya, banyak membahas bagaimana hidup yang baik bagi manusia
dan bagaimana manusia mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Pemikiran semacam itu
juga menjadi topik etika yang hangat dalam pemikiran Barat. Sejak Socrates, Plato, dan
Aristoteles, contohnya, mengemukakan bahwa kebahagiaan harus merupakan tujuan pada
dirinya sendiri yang dapat tercapai apabila seseorang menjalankan fungsi khasnya sebagai
makhluk rasional.
Manusia akan bahagia apabila ia menjalankan hidup dengan keutamaan. Hidup,
dengan keutamaan pada praktiknya, adalah hidup di mana manusia bias mengatur
perbuatannya dengan rasio yang selalu mengambil kendali atas dorongan-dorongan
instingtif yang menyesatkan (MacIntyre, 1996). Confucius pun mengajukan berbagai
keutamaan manusia dalam hidupnya agar mencapai kebahagiaan. Jika kita memandang
ajaran Confucius lebih sebagai satu kepercayaan yang menyerupai agama karena
pengikutnya menganggap demikian, maka hal yang sama juga dapat kita kenakan bagi
ajaran Socrates, Plato, dan Aristoteles mengingat tidak sedikit orang yang ‘percaya buta‘
pada ajaran filsuf-filsuf Yunani ini. Hal yang sama juga dapat kita kenakan pada pemikiran
Hindu, Buddha, dan Islam. Penentuan apakah serangkaian pemikiran adalah agama atau
filsafat bukan didasarkan pada apakah pengikutnya memandangnya sebagai agama atau
bukan. Ada faktor-faktor lain yang lebih menentukan. (Faktor-faktor itu akan dibahas
kemudian).
Ada satu pendapat yang menarik dari filsuf eksistensialis Karl Jaspers. Ia
menyimpulkan bahwa dalam sejarah peradaban manusia ada empat orang yang
menciptakan dan mendemonstrasikan cara hidup yang kemudian dijalankan oleh para
pengikut mereka yang tak terhitung jumlahnya. Empat orang yang oleh Jaspers disebut:
“four paradigmatic individuals” adalah Buddha, Confucius, Socrates, dan Jesus. Masingmasing memiliki keunikan dan berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, yaitu India,
Cina, Yunani Kuno, dan Israel. Namun, bagi Jaspers, keempatnya memiliki kesamaan
2014
3
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dalam besarnya pengaruh mereka pada pemikiran manusia. Sebagai tambahan bagi
Jaspers, dapat kita temukan nama Muhammad Saw. dari Timur Tengah yang juga memiliki
pengaruh besar dan menjadi pelopor bagi agama, peradaban, dan kebudayaan Islam yang
saat ini merupakan agama dengan penganut terbanyak di dunia.
Ungkapan Jaspers tersebut menunjukkan satu pengakuan bahwa pemikiran Timur
juga merupakan bagian dari khasanah filsafat. Pengakuan semacam itu diungkapkan pula
oleh Sanderson Beck dalam karyanya Confucius and Socrates; The Teaching of Wisdom. Ia
membandingkan Confucius dengan Socrates dan memberikan penghargaan sangat besar
bagi pemikir Cina itu.
Oleh Beck, Confucius disejajarkan dengan Socrates. Ia juga menunjukkan betapa
Carl Gustav Jung, seorang pemikir psikologi besar, menghargai Confusius sebagai pemikir
besar dari Timur. Beck bahkan menyatakan sulit membayangkan bagaimana sejarah dunia
Timur tanpa pemikiran Confusius, sebagaimana halnya sulit membayangkan Barat tanpa
Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Meskipun cukup banyak pihak mengakui pemikiran Timur sebagai filsafat yang
penting, tetap saja ada yang memandangnya sebgai kepercayaan. Perdebatan-perdebatan
yang mempertanyakan apakah pemikiran Timur dapat disebut filsafat atau hanya
kepercayaan religius, masih terus berlangsung hingga di akhir abad 20, dan tampaknya
akan terus berlanjut. Dalam bagian ini kita mencoba menjawabnya dengan terlebih dahulu
membahas pengertian filsafat.
Apa itu filsafat?
Ada banyak sekali definisi filsafat yang satu dengan lainnya cukup bertentangan.
Kalau dilihat dari asal katanya dalam bahasa Yunani Kuno yaitu philos dan sophia maka
artinya adalah cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan (wisdom). Pengertian ini belum
jelas karena pengertian kebenaran atau kebijaksanaan sangat kabur. Dalam khasanah
filsafat Barat, secara umum kita mengetahui pengertian filsafat yaitu upaya manusia untuk
memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis.
Dari definisi tersebut kita menyimpulkan bahwa filsafat adalah sebuah upaya.
Sebuah upaya adalah sebuah proses, bukan produk. Dengan demikian, yang memiliki sifat
rasional, sistematis, radikal, dan kritis adalah proses perolehan pengetahuan bukan produk
pengetahuan. Sebagai produk, filsafat terkesan sebagai barang jadi, sesuatu yang telah
selesai. Kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai resep, ibarat resep masakan, tinggal
diikuti petunjuknya mulai dari bahan sampai cara memasak, hingga menjadi makanan yang
siap santap. Sedang sebagai proses, filsafat adalah sesuatu yang terus-menerus
berlangsung, tak ada kata putus, tak ada ujung. Jika filsafat dianggap sebagai sebuah
produk yang sudah selesai, maka akan terjadi kontradiksi dalam pengertian filsafat.
2014
4
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak mungkin merupakan barang yang jadi.
Pengertian kritis di sini, secara kasar dapat dikatakan tidak menerima sesuatu begitu saja.
Secara lebih spesifik lagi, kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada kemungkinankemungkinan baru, dialektis, tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang
sudah ada, serta selalu hati-hati dan waspada terhadap berbagai segala kemungkinan
kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga melakukan berpikir kritis. Yang dimaksud dengan
berpikir kritis di sini adalah:
“…usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti prinsip-prinsip logika1 untuk
mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu
dapat diterima, ditolak, atau ditangguhkan vonisnya. (Disarikan dari Moore & Parker, 1986;
Mayer & Goodchild 1990; Feldman & Schwartzberg, 1990).
Dengan begitu, sangat mungkin apa yang sudah diperoleh dan diketahui oleh filsafat
akan berubah dan terus berubah sampai satu titik yang tak tertentu. Dalam pemikiran Barat
konvensional, pengertian sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pada satu
pengertian yang ketat. Setiap kriteria dibuat sedemikian sempitnya sehingga menutup
kemungkinan masuknya berbagai pemikiran penting, namun tidak memiliki kriteria yang
ditetapkan. Selain itu ada pula tambahan-tambahan kriteria misalnya filsafat harus
mengandung kebenaran logis. Sebagai contoh, para filsuf dari empirisme, positivisme, dan
filsafat analitik memberikan kriteria bahwa pemikiran yang dianggap filosofis harus
mengandung kebenaran korespondensi dan koherensi.
Kriteria kebenaran korespondensi memiliki pengertian bahwa sebuah pernyataan
(pengetahuan) dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris yang ada.
Contoh: pernyataan “saat ini hujan turun” adalah benar jika indra kita juga menangkap
kenyataan bahwa “saat ini hujan turun”. Jika kenyataan saat ini tidak hujan, maka
pernyataan itu salah. Kriteria kebenaran koherensi memiliki pengertian bahwa sebuah
pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu menunjukkan adanya koherensi logis. Dengan
kata lain, pernyataan itu dapat diuji dengan menggunakan logika barat (di antaranya logika
tradisional dan logika formal yang dirintis oleh Aristoteles dan logika modern yang
dikemukakan tokoh seperti Leibniz dan Bertrand Russell).
Padahal kalau kita melihat sejarah filsafat, pengertian filsafat tidak sesempit dan
seketat yang dikemukakan oleh Barat. Dari definisi filsafat yang secara umum disetujui,
dapat dianalisis bahwa masing-masing kriteria memiliki kemungkinan yang lebih luas dari
sekedar yang diajukan para filsuf empirik, positivistik, dan filsafat analitik. Di atas sudah
dikemukakan pengertian kritis. Dengan pengertian kritis, sudah jelas bahwa keterbukaan
terhadap berbagai hal baru dan upaya menghindari kebekuan pemikiran merupakan sifat
filsafat. Pembatasan kaum empiris, positivistik, dan filsafat analitik terkesan membekukan
satu kriteria kebenaran dan menutup kemungkinan kebenaran yang lain.
2014
5
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sifat filsafat berikutnya adalah sistematis. Sistematis disini memiliki pengertian
bahwa upaya memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut,
dan bertahap, serta hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertentu pula. Filsafat
biasanya secara sistematis terbagi menjadi 3 bagian besar:
1) bagian filsafat yang mengkaji tentang ‘ada‘ (being);
2) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistemologi dalam arti luas); dan
3) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya
dilakukan manusia (aksiologi). Sistematika filsafat ini seringkali dibakukan sebagai
satu patokan yang menentukan dalam menilai satu sistem pemikiran. Pemikiran
yang sistematikanya tidak memenuhi kriteria ini cenderung dianggap bukan filsafat.
Sifat yang tidak bisa tidak harus ada dalam filsafat adalah radikal. Radikal di sini berasal
dari kata radix yang berarti akar. Radikal berarti mendalam sampai ke akar-akarnya
(mengakar). Pemahaman yang ingin diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman
yang mendalam. Sifat-sifat yang seyogyanya dimiliki filsafat itu juga menjadi kriteria yang
digunakan untuk menentukan apa suatu pemikiran dapat disebut filsafat atau tidak. Jika kita
ingin membedakan antara filsafat dan agama maka jawaban paling sering kita temukan
adalah: filsafat diperoleh melalui aktivitas berpikir atau aktivitas rasional sedangkan agama
diperoleh melalui aktivitas suprarasional. Keduanya dibedakan dari mitos yang diperoleh
melalui aktivitas irasional. Sifat rasional dari filsafat mengindikasikan bahwa pengetahuanpengetahuan yang terangkum di dalamnya merupakan hasil dari kegiatan berpikir manusia.
Filsafat memanfaatkan sepenuhnya kemampuan berpikir manusia untuk memahami
segala perwujudan kenyataan. Filsafat menghindari sumber-sumber pengetahuan selain
kegiatan berpikir. Ilmu pengetahuan diperoleh dari kegiatan berpikir yang disertai dengan
pembuktian-pembuktian empirik. Kegiatan berpikir dalam ilmu pengetahuan menggunakan
objek-objek material berupa gejala-gejala konkret yang dapat diamati secara langsung,
setidaknya dalam aktivitas berpikir itu objek yang dipikirkan berinteraksi secara langsung
dengan subjek yang berpikir. Sedangkan filsafat tidak membutuhkan objek material yang
langsung bersinggungan secara jasmaniah dengan subjek yang berpikir. Dalam filsafat,
kegiatan berpikir yang dilakukan bersifat reflektif dan caranya bersifat spekulatif dalam arti
materi-materi yang dijadikan objek berpikir hanya berupa konsep.
Berbeda dengan filsafat, agama tidak hanya menggunakan kegiatan berpikir manusia.
Agama juga melibatkan sumber pengetahuan lain berupa wahyu, baik wahyu yang
dipercaya diturunkan langsung oleh Tuhan maupun wahyu kosmik yang diperoleh dari
tanda-tanda keagungan Tuhan yang tersebar di alam semesta. Menggunakan hasil-hasil
dari kegiatan berpikir saja tidak memadai bagi agama karena manusia dianggap memiliki
keterbatasan pikiran. Dalam agama, wahyu adalah pelengkap pengetahuan manusia,
sebuah ‘bocoran‘ atau ‘contekan‘ dari Tuhan tentang rahasia semesta, tentang yang benar
2014
6
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan yang salah, tentang yang baik dan yang buruk. Agama berbeda dengan mitos yang
sifatnya irasional. Mitos hanya membutuhkan kepercayaan. Kegiatan berpikir tidak
diperkenankan terlibat untuk memperoleh pengetahuan mistik. Cukup percaya saja, itu
sudah sangat memadai bagi mitos.
II. Pemikiran Timur sebagai Filsafat
Memang kalau kita beranggapan bahwa filsafat adalah pemikiran yang harus
memenuhi kriteria yang dipakai oleh kebanyakan sistem filsafat Barat, maka sulit diterima
untuk menggolongkan pemikiran Timur adalah filsafat. Berbeda dengan filsafat Barat,
pemikiran Timur tidak menampilkan sistematika yang biasa dipakai dalam filsafat Barat,
seperti pembagian bidang kajian filsafat menjadi metafisika, epistemologi, dan aksiologi.
Selain itu pemikiran Timur seringkali diterima begitu saja oleh penganutnya tanpa satu
kajian kritis terlebih dahulu, sehingga banyak pemikir filsafat yang mengklaim pemikiran
Timur sebagai agama. Beberapa kajian terhadap pemikiran Timur juga menunjukkan
kurangnya telaah kritis terhadap pemikiran Timur yang dilakukan oleh mereka yang
mendalaminya.
Mereka
lebih
sering
menafsirkan,
berusaha
memahaminya,
kemudian
mengamalkannya. Dari sini terkesan pemikiran Timur haya seperangkat tuntunan praktis
untuk menjalani hidup, atau sebagai serangkaian aturan bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan. Itu semua bukanlah patokan yang menentukan apakah pemikiran Timur dapat
digolongkan sebagai filsafat atau tidak. Di Barat sendiri pengertian filsafat sudah makin
bergeser. Kalau kita bicara tentang sistematika, filsafat Barat mutakhir, seperti filsafat yang
ditampilkan oleh Richart Rorty, Quinne, dan Derrida sudah tidak berbicara soal pembagian
bidang kajian filsafat lagi. Rorty bahkan menyatakan epistemologi – bidang filsafat yang
mengkaji seluruh pengetahuan yang mungkin diperoleh manusia mulai dari asal-usulnya,
bagaimana cara mendapatkannya, sampai pengujian benar-salahnya – sudah mati. Sampai
di sini terlihat bahwa alasan pemikiran Timur bukanlah filsafat karena tidak memiliki
sistematika yang harus dimiliki filsafat tidak relevan lagi. Pemikiran Timur bisa jadi
merupakan suatu bentuk filsafat meski tanpa sistematika seperti yang ditampilkan filsafat
Barat.
Dalam mempertanyakan kriteria Barat dalam penilaian kualitas sebuah pemikiran
filosofis, Foucault mengajukan tesis yang menarik tentang hubungan pengetahuan dan
kekuasaan. Foucault melihat bahwa suatu patokan keilmuan atau filosofis tertentu sangat
dipengaruhi (kalau tidak bisa disebut ‘ditentukan‘) oleh kekuasaan yang dimiliki pihak-pihak
penyampai patokan-patokan itu. Tesis Foucault ini dapat membantu kita memahami
mengapa Barat cenderung menolak filsafat Timur. Dalam penentuan apakah pemikiran
Timur merupakan filsafat atau bukan filsafat, selama ini Barat-lah yang berperan secara
2014
7
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dominan. Kita tahu bahwa dominasi Barat atas Timur sangat besar, apalagi dalam ilmu dan
filsafat.
Penentuan pemikiran Timur sebagai ‘bukan filsafat‘ tak lepas dari pengaruh
kekuasaan Barat yang menjejalkan kriteria-kriteria mereka kepada pemikiran Timur.
Memang secara etimologis (asal-usul kata) istilah filsafat muncul di Barat, namun filsafat
bukanlah monopoli Barat. Timur juga punya begitu banyak pemikiran yang tak kalah dalam,
dan bahkan beberapa lebih mendalam, lebih analitis dan kritis daripada pemikiran Barat.
Fung Yu Lan menunjukkan bahwa pengertian filsafat tidak selalu seperti pengertian
yang digunakan oleh filsafat Barat. Mengingat asal kata filsafat (philosophy) adalah philos
dan sophis, dengan arti ‘cinta kepada kebenaran‘, maka pemikiran Timur dapat
dikategorikan sebagai filsafat. Pemikiran Timur adalah proses dan hasil usaha manusia
untuk memperoleh kebenaran yang didasari rasa cinta mereka kepada kebenaran.
Pendeknya, sebuah pemikiran yang berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan didasari
oleh kecintaannya pada kebenaran dapat disebut filsafat. Pendapat Fung Yu lan ini jauhjauh hari sudah dikemukakan Socrates yang kemudian dikutip Plato dalam Phaedrus:
“…those whose ideas are based on the knowledge of the truth and who can defend or prove
them, when they are put to the test by spoken arguments, are to be called not merely poets,
orators, or legislators, but are worthy of a higher name, befitting the serious pursuit of their
life. However, we cannot give them the name of „wise‟, since only God is worthy to be called
wise. Therefore we call these lovers of wisdom „philosophers‟.”
Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang
kebenaran dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut
filsuf. Mereka adalah pencinta kebijaksanaan atau wisdom. Dengan dasar ini pemikir-pemikir
Timur seperti Confucius, Lao Tze, dan Sidharta Gautama layak disebut filsuf. Dengan
demikian buah pikirannya dapat digolongkan sebagai pemikiran filosofis.
Batasan yang dikemukakan Fung Yu Lan yang sejalan dengan Socrates dan Plato
ini sering dianggap masih terlalu umum. Pengertian kebenaran atau kebijaksanaan di sini
masih belum jelas. Pengertian kebijaksanaan atau wisdom perlu kita perjelas di sini.
Kata wisdom, yang kadang diterjemahkan sebagai kebijaksanaan dan kadang
sebagai kebenaran, menurut Brand Blanshard dalam The Encyclopedia of Philosophy (Vol.
8, hal:322-324) diartikan sebagai: “…a practical knowledge based on reflection and
judgment concerned with the art of living.” Wisdom sebagai pengetahuan praktis yang
didasari oleh refleksi dan penilaian disertai dengan kepedulian terhadap seni kehidupan
tampil pula dalam pemikiran para pemikir Timur seperti Sidharta Gautama dan Confucius.
Batasan pengertian wisdom memang masih sangat luas dan umum.
2014
8
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Blanshard menilai banyak filsuf modern mengabaikan pencapaian kebijaksanaan
dengan dua kemungkinan alasan: pertama karena merasa bahwa penilaian terhadap apa
yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari oleh perasaan (feelings) dan
keinginan/nafsu/gairah (desires atau passion) ketimbang pengetahuan. Kedua, penilaian itu
didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis. Namun, menurut
Sanderson Beck penggunaan perasaan, gairah dan intuisi dalam proses memahami sesuatu
bukanlah hal yang buruk. Perasaan, gairah, dan intuisi merupakan sesuatu yang manusiawi.
Manusia diperkaya oleh kemampuan-kemampuan nonrasional itu untuk menjalani hidupnya.
Justru manusia akan jadi timpang jika hanya menggunakan rasio saja. Intuisi, informasiinformasi yang diperoleh lewat perasaan dan gairah merupakan modal awal manusia untuk
memahami lingkungannya. Rasio kemudian membantu memperjelas dan mempertajam
pemahaman itu. Beck menunjukkan hal itu dengan percobaannya menemukan pengertian
wisdom secara intuitif, kemudian mengkajinya secara rasional. Berikut ini batasan
pengertian wisdom yang ia peroleh secara intuitif:
Dalam pandangan Beck, kebijaksanaan atau wisdom adalah pengetahuan tentang
dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi dalam segala aspek. Ada dua kondisi yang
niscaya (necessary conditions) yang harus ada dalam pengertian kebijaksanaan dan
keduanya tak bisa berdiri sendiri:
1) pengetahuan tentang kebaikan tertinggi (knowledge of the highest good); dan
2) tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi (action for the highest good).
Mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar saja bukanlah kebijaksanaan.
Begitu pula mengerjakan sesuatu yang benar tanpa tahu bahwa itu benar. Untuk dapat
menilai seseorang sebagai orang bijaksana, keduanya harus tampil sekaligus pada diri
orang itu. Perolehan pengetahuan tentang kebaikan tertinggi dan tindakan untuk
mencapainya melibatkan keseluruhan manusia, bukan hanya rasio. Keseluruhan sistem
psikofisik manusia terlibat di sini. Pelibatan keseluruhan diri manusia inilah yang terlihat
kental dalam pemikiran-pemikiran Timur. Dua kondisi niscaya yang terkandung dalam
kebijaksanaan inilah yang kemungkinan luput dari pemahaman para pengikut pemikir Timur.
Mereka yang mengamalkan saja ajaran-ajaran pemikir Timur, seperti Confucius dan
Sidharta Gautama, dalam tindakan tanpa mengetahui secara mendasar kebaikan tertinggi,
tidak akan mencapai kebijaksanaan.
Pembahasan
yang
hanya
membicarakan
pengetahuan
tertinggi
tanpa
menjalankannya dalam tindakan juga tidak akan membawa kita kepada kebijaksanaan.
Untuk mencapai kebijaksanaan, mereka harus melibatkan keseluruhan dirinya. Pikiran dan
perbuatan perlu terlibat secara intensif dalam pencapaian kebijaksanaan. Inilah filsafat
2014
9
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dalam pengertian para pemikir Timur seperti Lao Tze, Confucius, Sidharta Gautama, para
filsuf Hindu dan Islam.
Selain batasan yang dikemukakan Fung Yu Lan, kriteria-kriteria yang tercakup dalam
pengertian filsafat sebagai upaya memahami segala sesuatu secara kritis, sistematis, dan
radikal tetap perlu dipenuhi oleh pemikiran Timur agar pemikiran Timur terbuka pada
pengembangan yang lebih luas lagi. Dengan begitu juga dapat dihindari terjadinya
pembekuan pemikiran Timur menjadi ajaran dogmatis. Hanya batasan pengertiannya perlu
diklarifikasi dan dilepaskan dari ‘wacana‘ filsafat Barat. Di sisi lain pemikiran timur sendiri
perlu mawas diri dan membuka diri pada berbagai modifikasi.
Pendapat Iqbal dapat dijadikan bahan introspeksi diri bagi pemikiran Timur. Iqbal
mengajak orang-orang Timur untuk menilai secara objektif isi dari pemikiran Barat, menilai
baik-buruk pemikiran itu berdasarkan kualitas isinya, bukan
berdasarkan siapa yang
menyampaikannya. Iqbal secara kritis menilai pemikiran Barat memiliki banyak keunggulan
dan di sisi lain menentang pengagungan rasionalisme Barat dengan argumentasiargumentasi tajam dan masuk akal.
Apa yang dilakukan Iqbal perlu dilakukan oleh para pengembang pemikiran Timur.
Untuk mempertegas kehadirannya sebagai filsafat, belakangan pengkajian pemikiran Timur
menyertakan juga pemenuhan kriteria-kriteria yang umumnya diterakan pada filsafat. Yang
pertama kali perlu dijadikan patokan adalah kriteria “filsafat sebagai usaha yang kritis”. Ini
merupakan pengertian yang paling penting bagi berkembangnya pemikiran filsafat.
Perkembangan pemikiran filsafat membutuhkan adanya dialog, diskusi, adu argumentasi,
dan kesiapan membuka diri terhadap berbagai pemikiran. Untuk itu kemampuan berpikir
kritis sangat dibutuhkan. Pemikiran Timur yang sudah ada merupakan bahan material yang
perlu diolah sedemikian rupa secara kritis dan terbuka terhadap berbagai modifikasi.
Pengolahan yang kritis dan sifat terbuka terhadap perbaikan akan memberikan
kualitas filosofis yang kental pada pemikiran Timur. Pada praktiknya, kajian-kajian kritis
terhadap pemikiran Timur sudah banyak dilakukan. Perbandingan-perbandingan pemikiran
dari para pemikir Timur juga sudah banyak yang diperbandingkan. Sebagai contoh
perbandingan antara pemikiran Confucius dan Socrates yang dilakukan oleh Sanderson
Beck dalam karyanya Confucius and Socrates; The Teaching of Wisdom.
Kriteria sistematis bukan berarti filsafat Timur harus memiliki bagian-bagian seperti
yang dimiliki filsafat Barat yang secara umum mencakup metafisika, epistemologi, dan
aksiologi. Pemenuhan kriteria sistematis bagi pemikiran Timur bisa berbeda-beda antara
satu sistem pemikiran dengan lainnya. Dalam pemikiran Cina misalnya, sistematikanya bisa
berdasarkan pada konstruksi kronologis, mulai dari proses penciptaan alam hingga
meninggalnya manusia yang dijalin secara runut. Yang penting ada alur yang runut dalam
2014
10
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
setiap sistem pemikiran, ada masalah yang jelas, ada proses pengolahan informasi sebagai
upaya penyelesaian masalah, dan ada solusi bagi masalah itu.
Sifat radikal dalam arti mendalam sampai ke akar-akarnya pada filsafat Timur sudah
tampak sejak para pemikir Timur mengemukakan buah pikirannya. Apa yang dilakukan
Sidharta Gautama adalah sesuatu yang sangat radikal pada masanya. Ia mencoba
menggali hakikat hidup sampai sedalam-dalamnya. Ia bahkan mencabut akar-akar
kehidupan yang lama di India waktu itu dan mengembangkan sistem pemikiran baru yang
kini kita kenal dengan Budhisme. Sifat radikal dari pemikiran Timur mungkin tidak banyak
ditampilkan oleh para pengikut pemikir-pemikir besar seperti Buddha dan Confucius
sehingga terkesan dogmatis dan tidak mendalam . Tetapi di akhir abad ke-20, pengkajian
Budhisme dan Confucianisme sudah menampilkan sifat-sifat radikal. Budhisme dan
Confucianisme siap untuk membedah dan dibedah habis-habisan, terbuka kepada berbagai
kemungkinan modifikasi sampai ke akar-akarnya.
Pengertian ketiga kriteria yang diajukan di atas menjadi dasar kategorisasi terhadap
pemikiran Timur. Pengertian-pengertian itu memungkinkan berbagai pemikiran lain di luar
pemikiran filsafat Barat masuk dalam kategori filsafat. Dengan mendasarkan pada
pengertian-pengertian itu, pemikiran Timur, seperti Hinduisme, Budhisme, Daoisme,
Budhisme Chan, dan pemikiran Islam dapat disebut sebagai filsafat.
III. Filsafat Timur Selangkah Lebih Maju Dari Filsafat Barat?
Max Müler suatu saat pernah mengungkapkan:
“Jika saya ditanya, di bawah langit manakah pikiran manusia telah merenungkan masalahmasalah terbesar dalam kehidupan ini secara sangat mendalam, dan telah menemukan
jawaban yang pantas diperhatikan mengenai beberapa masalah terbesar tersebut, bahkan
oleh mereka yang telah mempelajari Plato dan Kant, saya harus menunjuk ke India. Dan jika
saya menanyakan kepada diri saya sendiri, dari sumber tulisan manakah, kita yang hampir
secara khusus dibesarkan dalam pemikiran orang Yunani dan Romawi serta dalam alam
pikiran ras Semit, yaitu orang Yahudi, dapat memperoleh dasar-dasar perbaikan yang amat
diperlukan untuk membuat kehidupan rohani kita lebih sempurna, lebih menyeluruh, lebih
universal, bahkan lebih merupakan hidup yang sungguh-sungguh manusiawi, bukan banya
untuk hidup sekarang ini saja, tetapi juga untuk hidup abadi dan yang telah diubah, sekali
lagi saya harus menunjuk ke India.”
Pernyataan yang diungkapkan Muller di atas bukan ungkapan klise yang utopis. Ia
tidak mengada-ada ataupun membesar-besarkan tradisi India yang selama ini diabaikan dan
kurang begitu diperhitungkan dalam percaturan pemikiran modern. Muller berkata demikian
karena mendapati bahwa nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pemikiran India sangat
2014
11
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
anggun dan luhur. Jadi wajar jika Max Muller bukan satu-satunya orang yang terkesima di
depan kearifan dan kebijaksanaan negeri yang dalam setahun mampu memproduksi seribu
judul film tersebut. Arthur Schopenhauer misalnya, ketika mengulas mengenai kitab-kitab
suci utama agama Hindu, dia menulis sebagai berikut; “Di seluruh dunia, tidak ada naskah
yang demikian indah dan demikian luhurnya daripada Upanishad. Kitab tersebut merupakan
hiburan kehidupanku, dan akan menjadi hiburan dalam kematianku.” Syair karangan T.S.
Elliot yang berjudul The Waste Land, salah satu syair yang paling banyak dipuji dalam
generasi kita sekarang ini, berakhir dengan kalimat pemberkatan Hindu yang klasik yaitu;
“Shantih..., shantih..., shantih..., yang berarti Damai..., damai..., damai...” Heinrich Zimmer
dari Universitas Columbia menulis buku Philosophies of India, suatu buku yang membahas
gemuruh rimba kearifan India yang menggetarkan dunia. Buku itu dimulai dengan keyakinan
yang sungguh menarik bahwa “Kita di Barat baru akan mencapai persimpangan jalan, yang
telah dilalui oleh para pemikir India kira-kira tujuh ratus ratus sebelum masehi.”
Dalam sebuah ceramah yang disampaikan Arnold Toynbee di Universitas Edinburg
tahun 1952, ia berkata bahwa dalam 50 tahun dunia akan dikuasai oleh Amerika Serikat,
namun dalam abad ke-21, sewaktu agama menggantikan tempat teknologi, mungkin India
yang telah ditaklukkan, akan menaklukkan para penakluknya. Keyakinan Toynbee sekarang
sudah mulai terasa, pada abad ini, trend pemikiran Barat sudah mulai mengalami
pergeseran dari yang bercorak modern menjadi post-modern yang corak khasnya adalah
egelitarianisme budaya; tidak ada budaya yang lebih tinggi dan tidak ada budaya yang lebih
rendah. Barat kini mengakui bahwa kebudayan mereka bukanlah kebudayaan yang paling
baik. Benar bahwa Barat saat ini masih menempati peringkat teratas dalam hal ekonomi dan
teknologi, tapi dalam hal kebijaksanaan belum tentu demikian.
Dengan berkiblat kepada Barat, Budiono boleh mengatakan bahwa hanya negara
yang penduduknya berpenghasilan 6 ribu US dollar perbulan yang bisa berdemokrasi. Tapi
coba cermati India. Kendati penghasilan penduduknya tidak mencapai angga 6 ribu US
dollar—bahkan mungkin tidak sampai separuhnya—tapi demokrasi berhasil ditegakkan di
negara itu. Dengan kata lain, prestasi di bidang tekonologi tidak secara otomatis
menandakan prestasi di bidang pemikiran.
Di samping itu, belakangan ini kita lihat masyarakat Barat sudah mulai merasakan
kejenuhan terhadap kemajuan ilmu dan teknologi yang ternyata berdampak pada
teraliniasinya manusia dari dirinya sendiri. Makanya, tidak heran kalau akhir-akhir ini ajaran
Hindu dan Budha menjadi trend yang sangat digemari oleh masyarakat Barat. dari Yoga,
Semedi, hingga seni kontemplasi sufistik mulai banyak diminati di negara-negara maju.
Fenomena ini terjadi karena peradaban Barat saat ini secara serampangan telah mereduksi
manusia sebagai moral and religious being menjadi sekadar makhluk-makhluk dengan
2014
12
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sejuta profesi dan ambisi. Kegandrungan terhadap kebijaksanaan Timur semakin menjadi
setelah corak pemikiran filsafat
Barat kontemporer kerap menggunakan terminologi kematian sebagai ikonnya.
Misalnya, kematian kebenaran universal, kematian cita humanisme universal, kematian
metafisika. Kendati bukan pelopor, akan tetapi Frederich Nietzsche adalah orang yang
memiliki peranan besar dalam mempopulerkan istilah ini dalam ranah filsafat. Sebab,
pernyataan bahwa dirinya telah membunuh Tuhan juga dimaksudkan sebagai bentuk
pemberontakan terhadap nilai-nilai universal yang saat itu masih dipegang secara kukuh
oleh para pemikir. Makanya, tidak heran kalau ada anekdot yang menyatakan bahwa filsafat
Barat adalah filsafat kuburan yang berbau kematian.
Pada titik-titik tertentu, plesetan terhadap filsafat Barat ini bisa dibenarkan.
Mengapa? Karena pada kenyataanya banyak masalah-masalah besar yang sangat vital nan
krusial yang tidak bisa diselesaikan oleh pemikiran Barat. Lucunya lagi, pemikiran Timur
klasik sudah mengulas semua masalah itu secara indah dan elegan ratusan tahun sebelum
pemikiran Barat berkembang pesat seperti sekarang ini. Salah satu contohnya adalah dalam
bidang filsafat manusia yang menjadi bahasan utama tulisan ini. Sudah banyak literatur
Barat yang coba untuk membahas mengenai manusia, tapi tak satu pun yang mampu untuk
menerangkan hakikat manusia secara utuh dan menyeluruh. Padahal jika diruntut ke
belakang, kajian mengenai manusia sudah dimulai sejak masa Yunani. Plato mendefinsikan
manusia sebagai suatu makhluk Ilahi.
Aristoteles, mendefinisikan manusia sebagai logos ezzoz (hewan yang berpikir). Epikuros
memandang manusia sebagai makhluk yang berumur pendek, lahir karena kebetulan, dan
akhirnya sama sekali lenyap. Seiring dengan perkembangan zaman, kajian tentang manusia
juga semakin beragam dan semakin spesifik berdasarkan sudut pandang tertentu. Hasilnya,
kita hanya mendapatkan ‘kosa kata‘ baru yang diklaim sebagai definisi manusia yang paling
tepat. Ada Homo Faber, Homo Economicus, Homo Homini Lupus, dan lain sebagainya.
2014
13
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Baker. A. 2000. Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Kanisius.
Juneman. 2008. Manusia Dalam Wacana Filosofis, Modul Filsafat Manusia
Universitas Mercu Buana.
Leahy. L. 1989. Manusia, Sebuah Misteri. Jakarta: Penerbit Gramedia.
2014
14
Filsafat Manusia
Juneman, S.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download