PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU NELAYAN DALAM PEMASARAN HASIL TANGKAPAN (Kasus: Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten) Oleh: Diah Ayu Ningsih I34070107 Dosen Pembimbing: Dr. Arif Satria, SP, MSi DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ABSTRACT This paper focuses on the effect of patron-client ties to the behavior of fishermen in marketing the catch: Case Tanjung Pasir Village, Teluknaga Subdistrict, Tangerang District, Banten Province. The purpose of this study is to: (1) identify the level of financial dependence in patron-client ties, (2) determine the behavior of fishermen in marketing the catch, and (3) analyze the influence of patron-client ties to the behavior of fishermen in the marketing of the catch. The results showed that: (1) there is a relationship between the level of fishers’ education and the level of their financial dependence on patron-client ties, (2) there is a relationship between the level of fishers’ income and the level of financial dependence on patron-client ties, (3) there is a relationship between the type of fishing gear and the level of financial dependence on patron-client ties, (4) there is a relationship between the level of financial dependence and the behavior of fishermen in marketing the catch, and (5) there is a relationship between the perceptions about fish auction place condition and the behavior of fishermen in marketing the catch. Keywords: Financial Dependence Levels, Fish Auction Place, Fishermen, PatronClient Ties. RINGKASAN DIAH AYU NINGSIH. Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan: Kasus Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. (Di Bawah Bimbingan ARIF SATRIA). Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang kaya akan sumberdaya laut dan seharusnya dapat memberikan peluang bagi masyarakat nelayan. Akan tetapi, potensi tersebut belum mampu mensejahterakan nelayan karena 32,14 persen masyarakat nelayan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Menjalin ikatan dengan patron sangat penting dilakukan klien untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Usaha pemerintah untuk mensejahterakan nelayan adalah dengan membangun institusi TPI, tetapi tidak semua nelayan memanfaatkan TPI karena pemasaran hasil tangkapan nelayan dipengaruhi oleh ikatan patron-klien. Tujuan penulisan ini adalah untuk: (1) mengetahui masalah yang terjadi dalam tataniaga hasil tangkapan nelayan, (2) mengidentifikasi tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi, (3) mengetahui perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan, dan (4) menganalisis pengaruh ikatan patronklien terhadap perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Penelitian dilakukan di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dan didukung pendekatan kualitatif. Populasi penelitian ini adalah nelayan dengan unit analisis adalah individu. Penentuan responden menggunakan Simple Random Sampling yaitu sebanyak 40 orang. Teknik analisis data kuantitatif menggunakan teknik analisa data deskriptif, sedangkan teknik analisis data kualitatif menggunakan konsep Miles dan Hubermas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) semakin rendah tingkat pendidikan nelayan maka semakin tinggi tingkat ketergantungan finansial nelayan, (2) semakin rendah tingkat pendapatan nelayan maka semakin tinggi iv tingkat ketergantungan finansial nelayan, (3) nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan finansial tinggi akan memilih untuk memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan, (4) nelayan pancing lebih cenderung memiliki tingkat ketergantungan tinggi dibanding nelayan jaring, dan (5) semakin tinggi persepsi nelayan mengenai kondisi institusi TPI maka semakin cenderung nelayan memasarkan hasil tangkapan ikannya melalui TPI. Ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi dapat dilihat dari: (1) nelayan tidak dapat melakukan aktifitas melaut apabila tidak meminjam uang sebagai modal melaut kepada langgan, (2) nelayan harus memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan karena keterikatan hutang terhadap langgan tersebut, (3) nelayan tetap memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan meskipun harga yang ditawarkan langgan lebih rendah dibandingkan harga lelang di TPI, (4) nelayan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan karena terpaksa, dan (5) nelayan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan karena mendapatkan kepastian dari langgan untuk membeli hasil tangkapannya. Nelayan dapat memilih antara langgan ataupun TPI sebagai tempat pemasaran hasil tangkapan. Faktor penarik nelayan dalam menjual hasil tangkapan kepada langgan adalah: (1) langgan dapat meminjamkan modal melaut kepada nelayan, (2) langgan dapat dengan cepat memberikan hutang kepada nelayan untuk kebutuhan sehari-hari, dan (3) langgan memberikan kepastian dalam membeli hasil tangkapan nelayan. Selain kepada langgan, nelayan juga dapat memasarkan hasil tangkapan ke melalui institusi TPI. Faktor pendorong nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan tidak kepada langgan adalah: (1) nelayan sadar manfaat dan kegunaan TPI, dan (2) kondisi Fisik dan non-fisik institusi TPI baik. Analisis ikatan patron-klien terhadap perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan menunjukkan bahwa 72,7 persen dari nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi dan persepsi nelayan mengenai kondisi TPI tinggi akan memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan. Sisanya 27,27 persen akan memasarkan kepada langgan dan TPI, dengan catatan apabila nelayan memiliki hutang kepada langgan maka nelayan akan memasarkannya kepada langgan, jika nelayan tidak memiliki hutang kepada langgan maka nelayan bebas memasarkan ikannya melalui TPI. PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU NELAYAN DALAM PEMASARAN HASIL TANGKAPAN (Kasus: Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten) Oleh: Diah Ayu Ningsih I34070107 Skripsi Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ii DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa : Diah Ayu Ningsih Nomor Pokok : I34070107 Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul : Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan (Kasus: Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten) Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembanangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui. Dosen Pembimbing Dr. Arif Satria, SP, MSi NIP. 19710917 199702 1 003 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Dr. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Pengesahan: iii PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU NELAYAN DALAM PEMASARAN HASIL TANGKPAN (KASUS DESA TANJUNG PASIR, KECAMATAN TELUKNAGA, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN), ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN, SEMUA DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA. Bogor, Juni 2011 Diah Ayu Ningsih I34070107 iv UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan” dengan baik. Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Allah SWT pengatur dan pemerlancar segala urusan. Atas rahmat dan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. 2. Dr. Arif Satria, SP, MSi, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan banyak waktu dan tenaga untuk dapat membimbing, memberi saran, kritik, bantuan baik moril maupun materil serta motivasi yang demikian besarnya sehingga Skripsi ini dapat selesai dengan baik dan tepat waktu. 3. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc sebagai dosen penguji utama dan Martua Sihaloho, SP, MSi sebagai dosen penguji wakil departemen. 4. Kedua orangtua tercinta Sukarjo dan Sumiati serta seluruh keluarga besar atas segala doa yang mengalir tanpa diminta. 5. Anggi Akhirta Muray, Dinda Thalita, Yuvita Amalia Pohan, Wina Ekawati, Marifatu’rodiah, Dewi Vivi Vanadiani, Rahmawati (Ira), Alfian Helmi, Novita Randan, Yossika, Aini Zahra, Uun, tante Rukmana, Mbak Pipit, teman-teman satu Departemen KPM khususnya KPM 44, Departemen lain, B14 ada disini, dan segala pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 6. Bapak Suryadi (Ketua TPI Tanjung Pasir) dan pengurus lainnya yang telah membantu dalam proses pengumpulan data, serta Ibu Nining atas penginapan di mes DKP Tanjung Pasir. v RIWAYAT HIDUP Diah Ayu Ningsih dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Agustus 1989. Pendidikan yang telah ditempuh adalah taman kanak-kanak selama dua tahun di TK Anyelir Jakarta, sekolah dasar selama enam tahun di SDN 03 Jakarta, sekolah menengah pertama selama tiga tahun di SMPN 102 Jakarta, dan sekolah menegah atas selama tiga tahun di SMAN 98 Jakarta. Masuk universitas pada tahun 2007 di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Pemerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis merupakan mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) dengan minor Kewirausahaan Agribisnis. Penulis memiliki minat pada dunia junalistik. vi KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat-Nya sehingga Skripsi yang berjudul “Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan (Kasus: Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)” dapat penulis selesaikan dengan baik. Judul ini penulis angkat atas dasar realita sosial yang terjadi di masyarakat pesisir yaitu ikatan patron-klien dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan yang dinilai sangat merugikan nelayan. Usaha pemerintah dalam mensejahterakan nelayan telah dilakukan dengan mendirikan Tempat Pelelangan Ikan untuk menjaga stabilitas harga tangkapan. Akan tetapi, usaha pemerintah tersebut belum tentu berhasil jika dalam struktur sosial masyarakat nelayan masih terdapat ikatan patron-klien sehingga nelayan cenderung memasarkan hasil tangkapan mereka kepada tengkulak yang harga jual hasil tangkapannya rendah. Oleh karena itu diperlukan upaya lain dan kebijakan yang tepat untuk mensejahterakan nelayan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Arif Satria, SP, MSi yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan memberi dukungan selama proses penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menjadi dasar yang baik untuk penelitian yang akan dilakukan serta bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Bogor, Juni 2011 Diah Ayu Ningsih DAFTAR ISI DAFTAR ISI................................................................................................... xi DAFTAR TABEL........................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvi 1. PENDAHULUAN..................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah.......................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................. 4 1.4 Kegunaan Penelitian......................................................................... 4 2. PENDEKATAN TEORITIS.................................................................... 5 2.1 Tinjauan Pustaka............................................................................... 5 2.1.1 Masyarakat Pesisir....................................................................... 5 2.1.2 Nelayan................................................................................ 6 2.1.3 Struktur Sosial Masyarakat Nelayan........................................... 7 2.1.3.1 Patron-Klien......................................................................... 8 2.1.3.2 Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan............................... 12 2.1.4 Teori Pertukaran.......................................................................... 13 2.1.5 Teori Modal Sosial...................................................................... 13 2.1.6 Perilaku........................................................................................ 14 2.1.7 Pemasaran.................................................................................... 14 2.1.8 Institusi........................................................................................ 14 xii 2.1.9 Tempat Pelelangan Ikan (TPI)..................................................... 15 2.1.9.1 Fungsi, Manfaat, dan Tujuan TPI........................................ 15 2.1.9.2 Teknis Pelelangan Ikan........................................................ 16 2.1.9.3 Status dan Peranan dalam Institusi TPI............................... 18 2.2 Kerangka Pemikiran……………………………………………..... 20 2.3 Hipotesis Penelitian……………………………………………...... 22 2.4 Definisi Operasional……………………………………………..... 22 3. PENDEKATAN LAPANGAN................................................................. 25 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................ 25 3.2 Teknik Pengumpulan Data................................................................ 25 3.3 Populasi dan Sample......................................................................... 26 3.4 Uji Validitas dan Realibilitas............................................................ 28 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data.............................................. 29 4. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN.................................................. 31 4.1 Sejarah Desa Tanjung Pasir.............................................................. 31 4.2 Kondisi Geografis Desa Tanjung Pasir............................................. 31 4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Desa Tanjung Pasir................................... 32 4.4 Kondisi Sosial Budaya Desa Tanjung Pasir..................................... 33 4.5 Kondisi Perikanan Desa Tanjung Pasir............................................ 34 xiii 5. PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU NELAYAN DALAM PEMASARAN HASIL TANGKAPAN.......................................................................................... 41 5.1 Ikatan Patron-Klien........................................................................... 41 5.2 Masalah dalam Tataniaga Hasil Tangkapan Nelayan...................... 43 5.3 Kondisi Tingkat Ketergantungan...................................................... 44 5.3.1 Hubungan antara Tingkat Pendidikan Nelayan dengan Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan............................ 45 5.3.2 Hubungan antara Tingkat Pendapatan Nelayan dengan Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan............................ 5.3.3 Hubungan antara Jenis Alat Tangkap dengan Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan......................................... 5.3.4 Hubungan antara 46 47 Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan dengan Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan............................................................................... 48 5.4 Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan.................... 51 5.5 Analisis Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan.................................................. 58 5.6 Ikhtisar.............................................................................................. 59 6. PENUTUP................................................................................................. 61 6.1. Kesimpulan....................................................................................... 61 6.2. Saran................................................................................................. 62 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 64 DAFTAR TABEL Nomor Naskah Halaman Tabel 1. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir di Indonesia............................ Tabel 2. 5 Status dan Peranan dalam Masyarakat Nelayan.............................. 12 Tabel 3. Keuntungan Jasa Tempat Pelelangan Ikan...................................... 16 Tabel 4. Status dan Peranan Komponen Pokok Pelelangan Ikan.................. 18 Tabel 5. Status dan Peranan Komponen dalam Pelaksanaan Proses Lelang. 19 Tabel 6. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011.................................... 25 Tabel 7. Daftar Fasilitas Pokok PPI Tanjung Pasir....................................... 35 Tabel 8. Daftar Fasilitas Fungsional PPI Tanjung Pasir............................... 36 Tabel 9. Ikan Dominan yang Didaratkan di PPI Tanjung Pasir.................... 37 Tabel 10. Kalender Musim Penangkapan Ikan............................................... 39 Tabel 11. Data Produksi Ikan Hasil Tangkapan.............................................. 39 Tabel 12. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Nelayan dengan Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan................................... Tabel 13. Hubungan antara Tingkat Pendapatan Nelayan dengan Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan…………................... Tabel 14. Hubungan antara Jenis Alat Tangkap dengan 47 Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan............................................... Tabel 15. Hubungan antara Tingkat Ketergantungan Finansial 46 48 terhadap Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan.................. 49 Tabel 16. Hubungan antara Persepsi Nelayan mengenai Kondisi Institusi TPI dengan Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan...................................................................................... 52 Tabel 17. Status dan Peran Pengelola TPI...................................................... 55 DAFTAR GAMBAR Nomor Naskah Halaman Gambar 1. Mekanisme Pelelangan Ikan.......................................................... 17 Gambar 2. 21 Kerangka Pemikiran...................................................................... Gambar 3. Kerangka Percontohan Penelitian.................................................. 27 Gambar 4. Diagram Jumlah Pendudukan Berdasarkan Mata Pencaharian..... 32 Gambar 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan..................... 33 Gambar 6. Diagram Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut...... 34 Gambar 7. Struktur Organisasi PPI Tanjung Pasir.......................................... Gambar 8. Struktur Organisasi TPI Tanjung Pasir.......................................... 38 35 Gambar 9. Prakiraan Perbandingan Jumlah Produksi Ikan Berdasarkan Jenis Ikan di TPI Tanjung Pasir.................................................... 40 Gambar 10. Fluktuasi Jumlah Produksi dan Nilai Produksi Ikan di TPI.......... 42 Gambar 11. Diagram Pembagian Hasil Melaut................................................. 45 Gambar 12. Diagram Arah Pemasaran Nelayan yang Memiliki Tingkat Ketergantungan Tinggi.................................................................. 50 Gambar 13. Diagram Arah Pemasaran Nelayan yang Memiliki Tingkat Ketergantungan Rendah................................................................ 51 Gambar 14. Mekanisme Pemasaran Ikan melalui TPI...................................... 54 Gambar 15. Mekanisme Pemasaran Ikan Kepada Langgan.............................. 56 Gambar 16. Arah Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan yang Diharapkan...... 60 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Naskah Halaman Lampiran 1. Uji Validitas dan Reliabilitas....................................................... 68 Lampiran 2. Peta Desa...................................................................................... 69 Lampiran 3. Kuesioner..................................................................................... 70 Lampiran 4. Pedoman Wawancara................................................................... 74 Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian............................................................... 76 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) menyebutkan bahwa letak geografis negara Indonesia dikelilingi lautan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km dan luas laut sekitar 5,8 juta km² (0,8 juta km² perairan territorial; 2,3 juta km² perairan nusantara; dan 2,7 juta perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia). Indonesia disebut juga sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau dengan segala kekayaan sumberdaya di dalamnya. Dengan potensi sumberdaya laut seperti itu maka seharusnya dapat memberikan peluang bagi masyarakat nelayan. Menurut Fauzi (2005) dalam Widayanti (2008), pembangunan perikanan dan kelautan di Indonesia seolah menghadapi dilema. Di satu sisi, Indonesia dihadapkan pada sumberdaya perikanan dan kelautan yang kaya dan mampu menghasilkan potensi ekonomi yang tidak sedikit. Akan tetapi kenyataannya, di sisi lain, potensi tersebut belum juga mampu meningkatkan ekonomi para pelakunya secara signifikan. Nelayan bukan merupakan suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok yang saling berinteraksi atau mempunyai hubungan sosial yang terpola dan dapat disebut sebagai pengorganisasian sosial. Pola-pola dalam pengorganisasian sosial itu disebut struktur sosial. Menurut Satria (2002), ciri umum struktur sosial dalam masyarakat nelayan adalah kuatnya ikatan patronklien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka. Keadaan tersebut tampak tidak lepas dari struktur sosial masyarakat nelayan dan upaya-upaya pemerintah yang dapat dilakukan untuk pembangunan perikanan dan masyarakat nelayan. Kelembagaan dalam produksi perikanan terbagi menjadi dua yaitu kelembagaan formal dan kelembagaan informal. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) 2 merupakan kelembagaan formal yang didirikan pemerintah untuk melindungi nelayan dari permainan harga yang dilakukan oleh tengkulak/pengijon, dimana tengkulak merupakan kelembagaan informal. TPI merupakan kelembagaan formal yang berperan dalam produksi, tataniaga perikanan, dan sebagai pusat pengumpulan data. Tengkulak merupakan kelembagaan informal yang berperan dalam produksi, tataniaga perikanan, dan konsumsi/social security. Fungsi dari kedua kelembagaan tersebut berlawanan dalam hal kesejahteraan nelayan. Nelayan merupakan produsen dari kegiatan perikanan, dalam hal ini persaingan terjadi antara TPI dan tengkulak yang merupakan pembeli hasil tangkapan nelayan. Struktur sosial masyarakat nelayan seperti hubungan patron-klien dari kelembagaan (institusi) yang ada dapat menyebabkan ketidakberdayaan warga masyarakat nelayan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pemerintah sebagai penentu kebijakan dalam pembangunan telah memfasilitasi kegiatan usaha dan memperbaiki keadaan kehidupan nelayan seperti pembangunan institusi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di berbagai tempat yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemerintah melalui undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan mengarah pada keberpihakan kepada nelayan kecil. Seperti tercantum dalam pasal 41 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah menyelenggarakan dan melakukan pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan. Selain itu, pemerintah berkewajiban untuk membangun dan membina prasarana perikanan (pelabuhan perikanan dan saluran irigasi tambak). TPI merupakan salah satu fungsi utama dalam kegiatan perikanan serta merupakan salah satu faktor yang menggerakkan, meningkatkan usaha, dan kesejahteraan nelayan (Wiyono 2005). Tipe-tipe institusi yang dikemukakan oleh Gillin, J.L dan Gillin J.P (1964) adalah dari sudut perkembangannya, TPI dapat digolongkan sebagai tipe enacted institution, yaitu institusi yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan. Pramitasari, Anggoro dan Susilowati (2006) menyebutkan bahwa TPI didirikan dan diselenggarakan oleh koperasi perikanan yang bertujuan untuk: (1) melindungi nelayan dari permainan harga yang dilakukan oleh tengkulak/pengijon, (2) membantu nelayan mendapatkan harga yang layak, dan (3) membantu nelayan dalam mengembangkan usahanya. Mengacu kepada 3 delapan kategori kelembagaan, kelembagaan/institusi Koentjaraningrat (1979), TPI tergolong ke dalam economic institution, dimana TPI berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia dalam mencari nafkah dan mendistribusikan hasil produksi perikanan, yaitu dengan pelelangan ikan. Nelayan diharapkan menggunakan institusi TPI sebagai sarana penjualan hasil tangkapannya karena melalui pendataan yang dilakukan di TPI, dapat diketahui jumlah produksi perikanan. Namun permasalahannya apakah nelayan mau menggunakan jasa institusi TPI sebagai tempat menjual tangkapannya. Terdapat beberapa TPI yang diketahui tidak berfungsi dengan baik seperti TPI di Karimunjawa, TPI di Sukabumi, dan TPI Cikidang di Pangandaran. Institusi TPI yang tidak berfungsi disebabkan karena arah pemasaran hasil tangkapan nelayan juga dipengaruhi dari struktur sosial masyarakat nelayan itu sendiri, dimana terdapat tengkulak/langgan yang juga menjadi pembeli hasil tangkapan nelayan. Kegiatan di TPI dinilai berfungsi apabila terjadi transaksi lelang di dalamnya sehingga TPI mampu mencapai tujuannya. Karena itu, fenomena ikatan patronklien dan aktivitas pemasaran nelayan menarik untuk diteliti lebih dalam. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, adapun isu-isu kritikal mengenai ketidakadilan patron-klien dalam tataniaga nelayan seperti terjadi ketidakseimbangan dalam pertukaran jasa/pelayanan yang diperoleh, dimana klien mendapatkan keuntungan lebih sedikit dibanding patron karena lemahnya posisi klien. Merujuk latar belakang dan isu-isu tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Apa masalah yang terjadi dalam tataniaga hasil tangkapan nelayan? 2) Bagaimana tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patronklien yang terjadi? 3) Bagaimana perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan? 4) Bagaimana pengaruh ikatan patron-klien terhadap perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan? 4 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk: 1) mengetahui masalah yang terjadi dalam tataniaga hasil tangkapan nelayan; 2) mengidentifikasi tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi; 3) mengetahui perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan; dan 4) menganalisis pengaruh ikatan patron-klien terhadap perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. 1.4 Kegunaan Penelitian Secara umum, diharapkan penelitian ini akan memberikan manfaat kepada kalangan akademisi khususnya mahasiswa, masyarakat umum, para ahli sosial perikanan, dan juga bagi pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pemegang kendali masalah perikanan Indonesia. Adapun manfaat-manfaat tersebut adalah: 1. Bagi kalangan akademisi khususnya mahasiswa dapat memperkaya pengetahuan mengenai pengaruh ikatan patron-klien terhadap perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Selain itu, tulisan ini juga dapat dijadikan referensi untuk penelitian lebih lanjut. 2. Bagi masyarakat umum dapat menambah wawasan mengenai struktur sosial masyarakat nelayan dan Tempat Pelelangan Ikan. 3. Bagi para ahli sosial perikanan dapat menjadi tambahan referensi dalam mengkritisi kebijakan penggunaan TPI yang ditetapkan oleh pemerintah. 4. Bagi pemerintah khususnya Kementrian Kelautan dan Perikanan, dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan kebijakan berikutnya agar TPI dapat berfungsi secara efisien sesuai dengan tujuan pendiriannya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. 5 2. PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersamasama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria 2004). Masyarakat pesisir meliputi nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, bahkan pedagang ikan. Dalam perspektif stratifikasi sosial ekonomi, masyarakat pesisir bukanlah masyarakat yang homogen. Masyarakat pesisir terbentuk oleh kelompok-kelompok sosial beragam (Kusnadi 2009) 1 . Suatu data mengenai kondisi umum masyarakat pesisir di Indonesia disajikan dalam Tabel 1. Terlihat bahwa penduduk masyarakat pesisir berjumlah 16,42 juta pada tahun 2002 dan sekitar sepertiga (32,14 persen) hidup dalam kemiskinan. Tabel 1. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir di Indonesia, 2002 2 Kondisi Masyarakat Pesisir 1 Desa Pesisir 2 Masyarakat Pesisir 3 Jumlah 8,090 desa 16,420,000 jiwa - Nelayan 4,015,320 jiwa - Pembudidaya Ikan 2,671,400 jiwa - Masyarakat Pesisir lainnya 9,733,280 jiwa Persentase yang hidup di bawah garis kemiskinan (32,14%) 5,254,400 jiwa Sumber: DKP (2007) dalam Satria (2009) 1 Dikutip dari buku Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir, Kusnadi (2009) hlm 38 2 Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) yang sekarang menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam buku Pesisir dan Laut, Arif Satria (2009). hlm. 25 6 2.1.2 Nelayan Terdapat berbagai definisi nelayan antara lain yang dikemukakan oleh Undang-Undang Republik Indonesia nomor 45 tahun 2009, Satria (2009), dan Kusnadi (2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 45 tahun 2009, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (GT). Definisi nelayan menurut Satria (2009) 3 adalah merupakan kelompok sosial yang selama ini terpinggirkan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Di Indonesia, nelayan masih banyak yang belum berdaya secara ekonomi dan politik. Organisasi ekonomi nelayan belum solid, sementara nelayan masih terkukung pada ikatan-ikatan tradisional dengan para tauke atau tengkulak. Belum ada institusi yang mampu menjamin kehidupan nelayan selain institusi patronklien itu. Sementara itu, Kusnadi (2009) menyatakan bahwa masyarakat nelayan adalah kesatuan sosial kolektif masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dengan mata pencahariannya menangkap ikan di laut, yang pola-pola perilakunya diikat oleh sistem nilai budaya yang berlaku, memiliki identitas bersama dan batas-batas ketentuan sosial, struktur sosial yang sama. Nelayan adalah orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut (Satria 2002). Secara geografis masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya perikanan. Mereka menjadi komponen utama dalam masyarakat (Kusnadi 2009) 4 . Terlihat dari definisi tersebut berbeda-beda dan tampak terkait dengan tujuan penggunaannya. 3 Dikutip dari buku Ekologi Politik Nelayan, Arif Satria (2009). Hlm 120 4 Dikutip dari buku Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir, Kusnadi (2009) hlm 27 7 Menurut Hermanto (1986) dalam Widiastuti (1999), nelayan dibedakan statusnya dalam usaha penangkapan ikan. Status nelayan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Juragan darat, yaitu orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan ikan tetapi dia tidak ikut dalam operasi penangkapan di laut. Juragan darat menanggung seluruh biaya operasi penangkapan. 2) Juragan laut, yaitu orang yang tidak memiliki perahu dan alat penangkapan dan ikut dalam operasi penangkapan. Mereka menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit penangkapan. 3) Juragan darat-laut, yaitu orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan ikut dalam operasi penangkapan. 4) Buruh atau pandega, yaitu orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal. Buruh atau pandega umumnya menerima bagi hasil tangkapan dan jarang diberi upah harian. Mereka ini akan menerima uang makan jika mereka berhasil menangkap ikan. 5) Anggota kelompok, yaitu bentuk usaha secara kelompok. Ini merupakan suatu sistem kelembagaan baru dalam usaha penangkapan. Perahu yang diusahakan adalah perahu hasil pembelian dari modal yang dikumpulkan oleh tiap-tiap anggota kelompok. Pemimpin kelompok umumnya berfungsi sebagai juragan laut, sedangkan anggota kelompok berfungsi sebagai anak buah kapal. 2.1.3 Struktur Sosial Masyarakat Nelayan Struktur sosial adalah jejaring hubungan sosial yang sudah mantap dimana interaksi sudah menjadi rutin dan berulang, antar berbagai peran sosial, grup, organisasi dan institusi/pranata yang membentuk masyarakat tersebut. Termasuk di dalam pengertian struktur sosial adalah pelapisan sosial atau juga disebut stratifikasi sosial, jumlah, dan ciri kependudukan suatu masyarakat (Harper 1989 dalam Abdulkadir dan Sunito 2003). Struktur sosial dapat dibagi menjadi ke 8 dalam tiga golongan: keterampilan teknologi, lembaga-lembaga 5 , dan kultur (Duverger 2007) 6 . Ciri umum struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya adalah dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka (Satria 2002). Karena masyarakat nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat nelayan adalah sebagai berikut: memiliki struktur relasi patron-klien sangat kuat, etos kerja tinggi memanfaatkan kemampuan diri dan adaptasi optimal, kompetitif dan berorientasi prestasi, apresiatif terhadap keahlian, kekayaan, dan kesuksesan hidup, terbuka dan ekspresif, solidaritas sosial tinggi, sistem pembagian kerja berbasis seks (laut menjadi ranah laki-laki dan darat adalah ranah kaum perempuan), dan berperilaku “konsumtif” (Kusnadi 2009). 2.1.3.1 Patron-Klien Struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh resiko dan ketidakpastian. Menurut Rivers (1954) dalam (Samsulbahri 1995), patronase merupakan hubungan seorang yang memiliki status sosial, ekonomi dan politik yang lebih tinggi (superior) dengan seseorang atau pihak lain dalam hubungan vertikal yang memiliki status sosial, politik dan ekonomi lebih rendah (inferior). 5 Lembaga-lembaga adalah alat mempertahankan ketertiban hubungan sosial yang mapan (stabil). 6 Dikutip dari buku Sosiologi Politik, Maurice Duverger (2007) 9 Ikatan ini tidak simetris seperti persahabatan yang berat sebelah, masing-masing pihak saling mempercayai dan pengertian serta tidak ada sanksi formal. Patron-klien merupakan basis relasi sosial masyarakat nelayan atau pesisir. Relasi sosial patron-klien sangat dominan dan terbentuk karena karakteristik kondisi mata pencaharian, sistem ekonomi, dan lingkungan. Hubungan-hubungan demikian terpola dalam kegiatan organisasi produksi, aktivitas pemasaran, dan kepemimpinan sosial. Pola-pola hubungan patron-klien dapat menghambat atau mendukung perubahan sosial ekonomi (Kusnadi 2009). Legg (1983) dalam Najib (1999) yang dikutip oleh Satria (2002), mengungkapkan bahwa hubungan patron-klien umumnya berkaitan dengan: 1. hubungan antarpelaku yang menguasai sumberdaya yang tidak sama, 2. hubungan yang bersifat kusus yang merupakan hubungan pribadi dan mengandung keakraban, dan 3. hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan. Scott (1977) dalam Samsulbahri (1995) menyebutkan ciri-ciri penting dalam hubungan patron-klien yaitu: (1) adanya hubungan pertukaran yang bersifat timbal balik, (2) adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran, (3) adanya interaksi yang bersifat tatap muka antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan (4) adanya ketergantungan yang bersifat luas dan lentur antara patron dan kliennya. Scoot (1981) juga menyebutkan tipe-tipe hubungan patronase terkait dalam kegiatan produksi, kegiatan konsumsi, dan kegiatan tataniaga. Bentuk-bentuk hubungan yang terjadi antara patron dan klien (Scott 1981) adalah: 1) Penghidupan subsistensi dasar. Pada banyak daerah agraria, jasa utama adat berupa pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocok-tanam dan biasa juga mencakup penyediaan benih, peralatan, jasa pemasaran, nasihat teknis dan seterusnya. 2) Jaminan krisis subsistensi. Umumnya, patron diharapkan memberikan pinjaman pada saat bencana ekonomi, membantu dalam keadaan sakit atau kecelakaan, atau membantu pada waktu panen kecil atau saat panen gagal. Patron sering menjamin ” dasar” subsistensi bagi kliennya dengan 10 menyerap kerugian-kerugian (dalam pertanian atau pendapatan) yang akan merusak kehidupan klien jika tidak dilakukan oleh patron. 3) Perlindungan. Seperti di Eropa pada jaman feodal, perlindungan bisa berarti memelihara sekelompok orang bersenjata atau janji untuk membakaskan dendam untuk klien. Ini berarti melindungi klien baik dari bahaya pribadi (bandit, musuh pribadi) maupun dari bahaya umum (tentara, pejabat luar, pengadilan, pemungut pajak). 4) Makelar dan pengaruh. Jika patron melindungi kliennya dari perusakan yang berasal dari luar, ia juga menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk menarik hadiah dari luar untuk kepentingan kliennya. Perlindungan merupakan peran defensifnya dalam menghadapi dunia luar, kemakelaran adalah peran agresifnya. 5) Jasa patron kolektif. Secara internal, patron sebagai kelompok dapat melakukan fungsi ekonomi secara kolektif. Mereka dapat mengelola dan mensubsidi sumbangan dan keringanan, menyumbanagkan tanah untuk kegunaan kolektif, mendukung sarana umum setempat seperti sekolah, jalan kecil, bangunan masyarakat) menjadi tuan rumah pejabat yang berkunjung, dan mensponsori festival serta perayaan desa. Dalam berurusan dengan pihak luar, para patron dapat melakukan sesuatu yang dilakukan oleh seorang patron tertentu untuk kliennya, secara bersamasama untuk desanya. Artinya, mereka bisa saja melindungi masyarakat dari kekuatan luar, baik dari negara atau bandit, dan mereka bisa memajukan kepentingan masyarakat dengan melakukan pekerjaan dan jasa publik, keuntungan administratif, pinjaman masyarakat, bantuan pertanian, dan seterusnya. Menurut Scott (1972), ikatan patron-klien adalah hubungan timbal-balik antara dua peran sebagai ikatan persahabatan instrumental antara dua orang di mana patron mempergunakan pengaruh dan sumberdaya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi klien. Sebagai imbalannya, klien memberikan dukungan dan bantuan, termasuk pelayanan pribadi, kepada patron. Dasar ikatan semacam ini adalah ketidaksetaraan dan fleksibilitas yang longgar. Selanjutnya, Scott menyatakan bahwa bagi klien, rasio antara jasa atau 11 pelayanan yang klien terima dan yang klien berikan merupakan elemen evaluasi kunci dalam kontrak patron-klien. Semakin besar nilai dari apa yang klien terima dari patronnya dibandingkan dengan apa yang harus klien berikan, semakin besar pula legitimasi ikatan tersebut. Klien menginginkan terpenuhinya jaminan sosial dasar dari pekerjaan dan keamanan. Hubungan patron-klien memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada masing-masing daerah 7 . Karakteristik hubungan patron-klien pada daerah tertentu dibagi menjadi dua yaitu: (1) masih kuat dengan tradisi patron-kliennya, dan (2) sudah luntur pola hubungan patron-klien pada masyarakat tersebut. Scott (1972) memaparkan bahwa erosi ikatan patron-klien terjadi karena para penguasa sebagai patron tidak lagi memenuhi kewajibannya, yakni tidak memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada rakyat. Mereka melindungi dan menyejahterakan diri mereka sendiri. Dengan demikian, masyarakat Jawa tidak lagi harmonis. Masyarakat Jawa merasakan bahwa apa yang diberikan oleh para patron (penguasa) semakin kecil saja. Sebaliknya, mereka mengambil terlalu banyak untuk diri mereka sendiri. Status dan peranan merupakan bagian dari hubungan patron-klien. Duverger (2007) dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Politik mengungkapkan bahwa peran dan status menjelaskan masalah dasar dari posisi relatif individu di dalam lembaga-lembaga sosial. Suatu kenyataan bahwa peran dan status adalah dalam diri institusi. Setiap posisi ini menampilkan kesempatan bagi suatu seri hubungan-hubungan sosial. Berbagai ragam status hanyalah menunjukkan begitu banyak jenis hubungan. Bagi setiap status ada sejumlah pola tingkah laku yang diharapkan dari individu, yang memegang posisi, dan serentak atribut-atribut tertentu yang seharusnya dia miliki. Peranan adalah atribut sebagai akibat dari status, dan perilaku yang diharapkan oleh anggota-anggota lain dari masyarakat terhadap pemegang status. Peranan hanyalah sebuah aspek dari status atau suatu status mempelajari sejumlah peranan. Maksud dari konsep peranan adalah untuk membuat garis batas antara masyarakat dan individu. Dalam batas peranan sosialnya, seorang mempunyai batas kebebasan tertentu. Aktor juga dapat 7 Dikutip dari buku Pesisir dan Laut, Arif Satria (2009). hlm 36 12 menyeleweng, dalam tingkat besar atau kecil, dari pola yang sudah menjadi stereotip dari peranan yang dimainkan. Status dan peranan juga adalah faktorfaktor integratif dalam pembentukan kepribadian, yang membantu menciptakan dan memperkuatnya. Stoetzel (1936) dalam Duverger (2007) mengatakan bahwa status adalah pola perilaku kolektif yang secara normal bisa diharapkan, sedangkan peranan adalah pola perilaku kolektif yang diharapkan oleh orang lain. Status merupakan kumpulan dari hak dan kewajiban, sedangkan peranan terkait pada aspek dinamis dari status (Sunarto 1993). Suatu rumusan status dan peran yang terdapat dalam masyarakat nelayan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Status dan Peranan dalam Masyarakat Nelayan Tauke atau Status Peran Patron - Memberikan kredit atau pinjaman untuk modal dan Tengkulak Nelayan kebutuhan sehari-hari nelayan Klien - Menjual hasil tangkapannya kepada Tauke atau Tengkulak dengan harga lebih murah dari harga pasar Sumber: Silalahi (2006) 2.1.3.2 Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan Sistem pelapisan masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan istilah social stratification (stratifikasi sosial). Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkis), perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dasar dari inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara anggota-anggota masyarakat (Soekanto 1987). Kelompok warga masyarakat yang termasuk lapisan tertentu, disebut sebagai kelas sosial (Soekanto 1988). Menurut Davis dan Moore (1945) yang dikutip oleh Pandjaitan dan Prasodjo (2007), manusia umumnya menghendaki adanya perbedaan kedudukan dan peranan dalam masyarakat sebagai konsekuensi adanya pembagian kerja dalam masyarakat. 13 Menurut Samsulbahri (1995), stratifikasi sosial masyarakat nelayan dapat digolongkan berdasarkan tingkat ekonomi dan pekerjaan. Tingkat ekonomi masyarakat nelayan dapat dilihat dari peningkatan faktor-faktor produksi, sedangkan dalam aspek pekerjaan dilihat bedasarkan jenis pekerjaan dalam kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan perikanan lain. Sebagaimana telah dikemukakan Hermanto (1986) dalam Widiastuti (1999), di dalam kalangan masyarakat nelayan telah dikenal penggolongan juragan darat, juragan laut, dan buruh atau pandega. Dalam hal ini secara struktur, juragan berada pada “lapisan atas” dan buruh atau pandega berada pada “lapisan bawah” masyarakat nelayan. 2.1.4 Teori Pertukaran Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) menjelaskan teori pertukaran (exchange theory) yaitu didasarkan pada norma resiprositas yaitu ada posisi sejajar di antara dua pihak, tempat dipertukarkannya sumberdaya, dan materi. Nilai dan norma merujuk pada aturan-aturan yang kemudian disepakati bersama. Struktur merujuk pada pola-pola tindakan yang telah disetujui bersama, dan materi merujuk pada pertukaran benda di antara mereka. 2.1.5 Teori Modal Sosial Menurut Coleman (1993), modal sosial 8 bukanlah entitas tunggal, tetapi entitas majemuk yang mengandung dua elemen: (1) modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur sosial, (2) modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (baik individu maupun perusahaan) di dalam struktur tersebut. Riddell, Baron, dan Wilson (2001) mengungkapkan terdapat tiga parameter modal sosial yaitu: 1) Kepercayaan. Kepercayaan adalah sebuah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya perilaku yang jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. 8 Dikutip dalam American Journal of Sociology yang berjudul ”Social Capital in the Creation of Human Capital” 14 2) Norma. Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalani bersama oleh sekelompok orang. 3) Jaringan. Jaringan merupakan infrastruktur dinamis dalam modal sosial. Jaringan memfasilitasi terjadinya interaksi, komunikasi, memungkinkan tubuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. 2.1.6 Perilaku Menurut Hickerson dan Middleton (1975) dalam Mugniesyah (2006), perilaku merupakan segala sesuatu yang mencakup tiga komponen, yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan. Selain itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. 2.1.7 Pemasaran Menurut Kotler (2002), pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan diinginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Rangkuti (2005) menyebutkan bahwa pemasaran adalah suatu proses kegiatan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, politik, ekonomi dan manajerial. 2.1.8 Institusi Institusi adalah model struktural dan koleksi citra-citra yang secara luas diterima, artinya setiap lembaga adalah berhubungan dengan, sampai tingkat tertentu, sistem nilai, dengan konsep tentang yang baik dan yang jelek, tentang yang benar atau yang salah, termasuk dalam pendirian tertentu baik “setuju” atau “tidak setuju” (Duverger 2007). Dalam ilmu sosiologi, yang dimaksud dengan kelembagaan sosial atau social institution adalah suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting (Polak dalam Kolopaking 2003). Setiap masyarakat tentu mempunyai 15 beragam norma yang mengatur perilaku dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok yang apabila dikelompokkan akan terhimpun menjadi kelembagaan sosial. Sebagai suatu batasan, dapatlah dikatakan kelembagaan sosial merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat (Nasdian 2003). 2.1.9 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) 2.1.9.1 Fungsi, Manfaat, dan Tujuan TPI Berkaitan dengan fungsi TPI, sebagaimana contoh Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan Perda nomor I/ tahun 1984 mengenai petunjuk penyelenggaraan pelelangan Ikan di Jawa Tengah. Pada Perda tersebut antara lain menyebutkan bahwa: a) Yang disebut dengan Tempat Pelelangan Ikan adalah tempat yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan pelelangan ikan, disingkat TPI. b) Penanggung jawab pelelangan ikan di TPI adalah Dinas Perikanan. c) Pelaksanaan pelelangan ikan di TPI diserahkan kepada organisasi nelayan dalam bentuk koperasi. Mohogito (1991) dalam Widyastuti (1993) menyebutkan fungsi TPI adalah sebagai berikut: (1) pusat pendaratan ikan, (2) pusat pembinaan mutu hasil perikanan, (3) pusat pengumpulan data, dan (4) pusat pengembangan kegiatan para nelayan di bidang pemasaran. Tujuan pendirian TPI adalah untuk: 1) Melindungi nelayan dari permainan harga yang dilakukan oleh tengkulak/pengijon (Pramitasari, Anggoro dan Susilowati 2006). 2) Membantu nelayan mendapatkan harga yang layak (Pramitasari, Anggoro dan Susilowati 2006). 3) Membantu nelayan dalam mengembangkan usahanya (Pramitasari, Anggoro dan Susilowati 2006). 4) Memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan lelang (Widayanti 2008). 5) Mengusahakan stabilitas harga ikan (Widayanti 2008). 16 6) Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan beserta keluarganya (Widayanti 2008). 7) Meningkatkan pendapatan asli daerah (Widayanti 2008). Selain empat hal tersebut, Widiastuti (1993) menyebutkan keuntungan TPI yang disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3, dapat dilihat manfaat Institusi TPI yang dapat diterima oleh tiga pihak, yaitu bagi nelayan, pembeli dan pemerintah . Tabel tersebut juga menjelaskan keuntungan penggunaan jasa TPI bagi ketiga pihak tersebut serta kerugian yang akan diperoleh apabila tidak menggunakan jasa TPI. Tabel 3. Keuntungan Jasa Tempat Pelelangan Ikan 9 Pemakai Nelayan Menggunakan Jasa TPI Tidak Menggunakan Jasa TPI - Penanganan ikan cepat - Penanganan ikan kurang cepat - Harga yang diperoleh wajar - Harganya rendah - Pembinaan - Jumlah tangkapannya dapat diketahui Pemerintah - Pembinaan ke nelayan mudah pengawasan nelayan sulit - Ada pemasukan untuk kas daerah dan - Tidak ada pemasukan ke kas daerah Konsumen - Mutu ikan terjamin - Mutu ikan bisa tidak terjamin - Harga wajar - Harga dapat dipermainkan - Penanganan kurang cepat Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan (1985) dalam Widiastuti (1993) 2.1.9.2 Teknis Pelelangan Ikan Menurut Silalahi (2006), pelelangan dimulai dari pemisahan hasil tangkapan sesuai dengan jenisnya. Pelelangan dilakukan oleh juru lelang di TPI, harga tertinggi yang menang. Pelaksanaan lelang dipimpin oleh juru tawar yang secara struktural bertanggung jawab kepada kepala teknik lelang. Dipaparkan 9 Direktorat Jenderal Perikanan (1985) dalam skripsi Widiyastuti (1993) yang berjudul Keadaan Pelelangan Ikan dan Sikap Nelayan terhadap Tempat Pelelangan Ikan Pelabulan ratu, Kecamatan Pelabuhan ratu, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. 17 lebih rinci, kegiatan pelelangan dimulai pagi hari setelah terdapat sejumlah pedagang yang telah mencukupi untuk terjaminnya lelang dengan baik. Sebelum kegiatan pelelangan dimulai, seorang petugas TPI melakukan perhitungan dan pencatatan jumlah ikan yang terdapat dalam setiap satu kelompok ikan yang akan dilelang. Jumlah ikan ini dicatat dalam karcis total satuan lelang. Sebelum pelelangan dimulai semua pedagang diberi kesempatan untuk memeriksa ikan yang akan dilelang. Setelah kegiatan pencatatan dan pemeriksaan selesai, kemudian pelelangan ikan dimulai dengan dipimpin juru tawar. Sebelum juru tawar menawarkan ikan kepada peserta lelang, pembantu juru tawar lebih dulu menyebutkan jenis dan mutu ikan, pemilik ikan dan volume ikan sesuai dengan catatan yang terdapat dalam karcis total satuan lelang. Kemudian juru tawar mulai menawarkan ikan dengan harga patokan adalah harga ikan sehari sebelumnya sesuai dengan jenis dan mutu ikan bersangkutan. Naik turunnya harga penawaran tergantung pada volume ikan dan kemampuan modal pedagang. Pemenang lelang ditetapkan oleh juru tawar berdasarkan harga penawaran tertinggi. Juru tawar lelang kemudian mengumumkan pemenang lelang dengan menyebutkan harga ikan, nama dan alamat pemenang lelang. Pelaksanaan lelang dilakukan secara berurut sesuai dengan nomor urut lelang. Terdapat beberapa tata tertib yang harus dipatuhi dalam suatu kegiatan pelelangan ikan. Mekanisme pelelangan ikan disajikan pada Gambar 1. NELAYAN PROSES PELELANGAN BAKUL PENGECER BAKUL PENGUSAHA KONSUMEN Gambar 1. Mekanisme Pelelangan Ikan (Silalahi 2006) 18 Terlihat jelas dari Gambar 1, bahwa nelayan selaku penjual ikan menjual hasil tangkapannya melalui TPI, kemudian terjadi proses lelang untuk menentukan harga jual ikan. Para bakul ikan menawar ikan atau hasil tangkapan nelayan tersebut dan harga tertinggi yang menang. Bakul ikan yang menang lelang berhak mendapatkan hasil tangkapan tersebut dengan membayar sesuai dengan harga kesepakatan. Selanjutnya bakul ikan menjual ikan tersebut kepada konsumen. TPI sebagai salah satu tempat pelelangan ikan masih mengutamakan pengumpulan dana dan retribusi. Pada dasarnya apabila seluruh pembayaran retribusi ini berjalan dengan baik, maka akan memberikan pengaruh positif baik bagi nelayan maupun bagi pemerintah daerah setempat. Pengaruh positif tersebut berasal dari pengalokasian biaya retribusi yang cukup adil, disamping dapat memberikan pemasukan bagi pemerintah daerah, juga pengalokasian yang memperhatikan keamanan dan kesejahteraan nelayan (Silalahi 2006). 2.1.9.3 Status dan Peranan dalam Institusi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Struktur sosial erat kaitannya dengan status dan peran masing-masing aktor yang terlibat dalam interaksi. Rincian tentang status dan peranan komponenkomponen pokok dan komponen lainnya disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4. Status dan Peranan Komponen Pokok Pelelangan Ikan Status Peranan Nelayan Produsen Bakul Ikan Pembeli Pengelola TPI Pemegang fungsi manajemen Sumber: Silalahi (2006) Dari Tabel 4 dapat dilihat status dan peranan masing-masing individu. Nelayan berperan sebagai produsen yaitu menangkap serta memasok hasil tangkapan dan dijual ke TPI. Peran bakul ikan adalah sebagai pembeli yang melakukan transaksi tawar-menawar dalam proses lelang ikan. TPI berperan 19 sebagai fungsi manajemen yaitu yang memfasilitasi nelayan dan bakul ikan dalam proses lelang. Tabel 5. Status dan Peranan Komponen dalam Pelaksanaan Proses Lelang 10 Status Peranan Manager Penanggung jawab secara keseluruhan terhadap keberlangsungan TPI Tata Usaha Pengurus administrasi Juru Lelang - Penanggung jawab kegiatan pelelangan - Pemimpin jalannya proses pelelangan, termaksud tawar-menawar harga Juru Timbang Menimbang hasil tangkapan nelayan yang akan dilelang Juru Catat Mencatat seluruh hasil pelelangan, termasuk mencatat tangkapan nelayan yang telah ditimbang dan mencatat harga ikan yang terjual Juru Kasir Bertanggung jawab terhadap pengaturan para pembeli atau para peserta pelelangan Keamanan Menjaga keamanan di wilayah TPI terutama pada proses berlangsungnya pelelangan Kebersihan Penjaga kebersihan lingkungan gedung TPI Sumber: Silalahi (2006) Pada Tabel 5 dijelaskan bahwa dalam kegiatan TPI, pelaksanaan lelang dipimpin oleh juru tawar yang secara struktural bertanggung jawab kepada kepala teknik lelang. Peranan juri tawar dibantu oleh pembantu juru tawar dan juru tulis. Juru tawar bertugas melaksanakan lelang ikan dengan cepat, tertib, lancar, tegas, dan sopan. Juru tawar juga berwenang menetapkan pemenang lelang berdasarkan penawaran tertinggi. Pembantu juru tawar bertugas melaporkan jenis, mutu, berat ikan yang siap dilelang kepada juru tawar. Juru tulis karcis bertugas mengikuti jalannya pelelangan dengan cermat dan mengerjakan karcis lelang dengan baik dan dapat dibaca dengan baik. Juru tulis buku bakul (pedagang) berfungsi 10 Berdasarkan penelitian David Ganda Silalahi (2006) yang berjudul Efektifitas Kelembagaan Tempat Pelelangan Ikan sebagai Kelembagaan Ekonomi masyarakat Nelayan. Kasus Kelembagaan TPI Kelurahan Pelabuhan ratu, Kecamatan Pelabuhan ratu, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. 20 mencatat dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan dan mengikuti jalannnya lelang dengan cermat dan menutup buku bakul (pedagang) setiap hari setelah selesai lelang. Juru tulis buku nelayan bertugas mencatat buku nelayan dengan baik dan benar sesuai ketentuan dan berkewajiban pula menutup buku nelayan setiap hari. 2.2 Kerangka Pemikiran Secara teoritis, ciri umum struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya adalah kuatnya ikatan patron-klien. Dalam hal ini, nelayan bertindak sebagai klien, sedangkan tengkulak bertindak sebagai patron. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi (Satria 2002). Pemikiran serupa oleh Kusnadi (2009) bahwa patron-klien merupakan basis relasi sosial masyarakat nelayan atau pesisir. Hubungan demikian terpola dalam kegiatan organisasi produksi, aktivitas pemasaran, dan kepemimpinan sosial. Menurut Scoot (1981), tipe-tipe hubungan patronase terkait dalam kegiatan produksi, kegiatan konsumsi, dan kegiatan tataniaga. Penelitian ini akan memusatkan perhatian pada ikatan patron-klien yang terjadi di Desa Tanjung Pasir yang dapat mempengaruhi perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Ikatan patron-klien dalam penelitian ini diukur dari tingkat ketergantungan finansial nelayan, dimana tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan akan berpengaruh terhadap tingkat ketergantungan finansial nelayan. Kondisi institusi TPI diduga mempengaruhi perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Kondisi institusi TPI akan diukur dari enam aspek yaitu waktu lelang, kebersihan, retribusi, harga lelang, kinerja pengelola TPI, serta kondisi gedung dan peralatan TPI. Kerangka Penelitian disajikan pada Gambar 2. 21 Ikatan Patron-Klien Tingkat Pendidikan Tingkat Ketergantungan Finansial Tingkat Pendapatan Saluran Pemasaran Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan Kondisi Institusi TPI Keterangan: : mempengaruhi : lingkup : Fokus Penelitian Gambar 2. - Waktu Lelang - Kebersihan - Retribusi - Harga Lelang - Kinerja Pengelola - Kondisi Gedung dan Peralatan Kerangka Pemikiran 22 2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: 1) Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan nelayan dengan tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi. 2) Terdapat hubungan antara tingkat pendapatan nelayan dengan tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi. 3) Terdapat hubungan antara jenis alat tangkap dengan tingkat ketergantungan finansial nelayan. 4) Terdapat hubungan antara tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. 5) Terdapat hubungan antara persepsi nelayan kondisi TPI dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. 2.4 Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak seperti konsep dan variabel agar menjadi kongrit untuk diukur. Sejumlah variabel dalam penelitian ini merujuk pada hasil perhitungan yang didasarkan pada nilai (skor) minimal dan maksimal serta ratarata untuk setiap variabel. Di bawah ini telah disusun definisi operasional sebagai berikut: A. Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan adalah jenjang terakhir sekolah formal yang pernah diikuti responden. Diukur berdasarkan jenjang pendidikan formal terakhir. a. Tamat SMA, Perguruan Tinggi = skor 3 = tinggi b. Tamat SMP, Tidak tamat SMP = skor 2 = sedang c. Tamat SD, Tidak tamat SD, Tidak bersekolah = skor 1 = rendah 23 B. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan adalah jumlah pendapatan bersih nelayan secara keseluruhan yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan sekali melaut (satu hari). Skala tingkat pendapatan ditentukan dari rata-rata pendapatan nelayan. C. a. Lebih dari dari Rp.1.000.000,- = skor 3 = tinggi b. Rp.500.000,- sampai Rp.1.000.000,- = skor 2 = sedang c. Kurang dari Rp.500.000,- = skor 1 = rendah Ikatan Patron-Klien Patron-klien merupakan basis relasi sosial masyarakat nelayan atau pesisir. Batasan ikatan patron-klien dalam penelitian ini adalah tingkat ketergantungan finansial. Tingkat ketergantungan finansial yang terjadi yaitu antara nelayan terhadap tengkulak. Tengkulak adalah pembeli hasil tangkapan nelayan. Tengkulak di Desa Tanjung Pasir disebut Langgan. Tingkat ketergantungan finansial ini diukur dengan menggunakan delapan pernyataan dengan pemberian skor bertingkat pada masing-masing pernyataan. Pernyataan mengenai tingkat ketergantungan finansial diukur sebagai berikut. a. Setuju = skor 2 = tinggi b. Ragu-ragu = skor 1 = sedang c. Tidak setuju = skor 0 = rendah D. Persepsi Nelayan mengenai Kondisi Institusi TPI Kondisi TPI adalah keadaan fisik maupun non-fisik TPI. Keadaan fisik meliputi kondisi gedung dan peralatan. Indikator keadaan non-fisik diukur dari waktu lelang, kebersihan, retribusi, harga lelang, dan kinerja pengelola TPI. (i) Kondisi gedung dan peralatan adalah kondisi tempat dan peralatan kegiatan pelelangan ikan di TPI. (ii) Waktu lelang adalah waktu pelaksanaan lelang di TPI. (iii) Kebersihan adalah kondisi lingkungan TPI yang bersih dan nyaman untuk pelaksanaan lelang. 24 (iv) Harga lelang adalah harga ikan yang ditetapkan dalam proses pelelangan. (v) Retribusi adalah uang yang dibayarkan oleh nelayan pada saat melakukan lelang di TPI. (vi) Kinerja Pengelola TPI adalah kesesuaian antara status dan peran pengelola TPI dalam pelaksanaan lelang. Pengukuran kondisi institusi TPI menggunakan enam pernyataan dari indikator yang telah disebutkan di atas dengan pemberian skor bertingkat pada masing-masing pernyataan. Berikut adalah penentuan skor dari masing-masing jawaban: a. Setuju = skor 2 = tinggi c. Ragu-ragu = skor 1 = sedang b. Tidak setuju = skor 0 = rendah 3. PENDEKATAN LAPANGAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan terdapat tengkulak/langgan di Desa Tanjung Pasir dan terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang masih aktif berjalan. Waktu penelitian dilaksanakan dalam waktu empat bulan (Tabel 6) yang dimulai sejak bulan Maret 2011 hingga Juni 2011. Penelitian yang dimaksud mencakup waktu sejak peneliti intensif di daerah penelitian, pengumpulan, pengolahan data, dan hingga pembuatan draft skripsi. Tabel 6. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 Februari Maret April Mei Juni Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan proposal skripsi Kolokium Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan laporan penelitian 3.2 Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah metode survai dengan instrumen kuesioner. Metode survai yaitu mengumpulkan informasi dari suatu sampel dengan 26 menanyakan melalui angket atau interview supaya nantinya menggambarkan berbagai aspek dari populasi 11 . Pendekatan kualitatif menggunakan metode wawancara mendalam, observasi atau pengamatan langsung, dan studi litelatur. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer Data primer diperoleh dari wawancara dengan responden dan informan serta observasi. Wawancara kepada responden menggunakan metode survai dengan menggunakan instrumen kuesioner. Tujuan pembuatan kuesioner adalah untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan survai dan memperoleh informasi dengan realibilitas dan validitas setinggi mungkin (Singarimbun dan Handayani 1987). Kuesioner memuat pertanyaan tertutup. Data yang akan didapat dari penelitian survai ini mencakup tingkat pendidikan nelayan, tingkat pendapatan nelayan, tingkat ketergantungan finansial nelayan, dan kondisi institusi TPI. Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam (in depth interview) kepada informan dengan menggunakan pedoman pertanyaan. Data deskriptif berupa kutipan langsung kata-kata atau tulisan dari informan juga memungkinkan untuk digunakan. Observasi yang dilakukan sebagai metode pengumpulan data untuk mengamati tingkah laku nelayan, tengkulak, kondisi fisik TPI, dan pengelola TPI dalam kegiatan jual-beli ikan dan pada proses lelang di TPI. 2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari studi literatur yaitu berupa dokumendokumen yang menunjukkan data kependudukan nelayan dan data TPI. 3.3 Populasi dan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah nelayan di Desa Tanjung Pasir yaitu sebanyak 2331 jiwa. Total populasi nelayan tersebut merupakan gabungan dari jumlah keseluruhan anggota keluarga nelayan. Populasi sasaran adalah nelayan 11 Dikutip dari Fraenkel dan Wallen (1990) dalam bahan kuliah Metode Penelitian Sosial, Wahyuni dan Mulyono (2009). 27 jaring (78 jiwa) dan nelayan pancing (270 jiwa) dengan jumlah 348 jiwa. Pemilihan populasi dipilih secara purposive. Populasi penelitian diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari kelurahan dan TPI. Unit analisis penelitian ini adalah individu. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Sample Random Distratifikasi (Stratified Random Sampling). Teknik ini digunakan karena satuan-satuan elementer dalam populasi tidak homogen karena penggolongan nelayan dalam penelitian ini akan dibedakan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan. Responden ditentukan dengan membuat kerangka percontohan (Gambar 3). Banyaknya responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 40 orang dengan komposisi yang terdiri dari 20 orang nelayan jaring dan 20 orang nelayan pancing. Komposisi dari jumlah nelayan tersebut merupakan nonproporsional. Menurut Walpole (1997) untuk penelitian dengan menggunakan metode statistik jumlah responden minimal adalah 30 orang, oleh karena itu jumlah responden sebanyak 40 orang ini sudah dapat mewakili seluruh populasi. Responden diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah disusun (Lampiran 3). Nelayan Desa Tanjung Pasir (348 jiwa) Nelayan Jaring Nelayan Pancing (78 jiwa) (270 jiwa) Jaring Rampus Pancing Rawe Pancing Klitik (78 jiwa) (165 jiwa) (105 jiwa) Responden Responden (20 jiwa) (20 jiwa) Total Responden (40 jiwa) Gambar 3. Kerangka Percontohan Penelitian 28 Informan meliputi nelayan, Pemerintah Desa, pengelola TPI, dan langgan/tengkulak. Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi dengan tujuan untuk memperbanyak informasi mengenai struktur sosial masyarakat nelayan daerah tersebut dan aktivitas lelang yang dilaksanakan di TPI. Pemilihan informan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) karena memungkinkan perolehan data sari suatu informan ke informan lainnya. 3.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Pengukuran validitas kuesioner mengacu pada Singarimbun (1987), dengan tahap-tahap sebagai berikut: a. mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur, b. melakukan uji coba skala pengukur tersebut pada sejumlah responden, c. mempersiapkan tabel tabulasi jawaban, d. menghitung korelasi antara masing-masing pertanyaan dengan skor total, menggunakan rumus teknik korelasi ‘product moment’, sebagai berikut: ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ Keterangan: N : jumlah responden X : skor pernyataan Y : skor total XY : skor pernyataan dikalikan skor total Nilai korelasi perhitungan yang diperoleh, selanjutnya dibandingkan dengan nilai tabel korelasi nilai r, yaitu bila nilai korelasi hasil hitungan lebih besar daripada nilai tabel pada taraf nyata lima persen, maka pernyataan tersebut adalah nyata (valid), dan berlaku sebaliknya. Perhitungan reslibilitas menggunakan teknik pengukuran ulang (testretest). Responden yang sama 29 diharuskan menjawab semua pertanyaan dalam alat pengukur (kuesioner) sebanyak dua kali. Selang waktu antara pengukuran pertama dengan pengukuran kedua antara 15-30 hari. Kemudian hasil pengukuran kedua dikorelasikan dengan menggunakan teknik korelasi ‘product moment’ kembali (Singarimbun 1987). Berdasarkan hasil uji coba kuesioner kepada 20 persen dari total responden atau sebanyak delapan orang nelayan didapatkan bahwa tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat ketergantungan finansial, dan kondisi institusi TPI dinyatakan valid karena pengujian validitas dan reliabilitas didapat hasil nilai r hitung lebih besar dari r tabel dengan alfa sebesar lima persen. Indikator lama menjadi nelayan dan lama nelayan tinggal di Desa tersebut tidak digunakan dalam penelitian ini karena seluruh nelayan merupakan penduduk asli Desa Tanjung Pasir dan telah melakukan kegiatan nelayan sejak masih Sekolah Dasar (SD) sehingga tidak valid karena pengujian validitas dan reliabilitas didapat hasil nilai r hitung lebih kecil dari r tabel dengan alfa sebesar lima persen. 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik analisis data pada penelitian kuantitatif ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisa data deskriptif yaitu melalui statistika deskriptif. Statistika deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul tanpa membuat generalisasi hasil penelitian. Termasuk dalam analisis data statistik deskriptif antara lain penyajian data melalui tabel, grafik, diagram, persentase, frekuensi, perhitungan mean, median atau modus. Data diolah menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Analisis data meliputi: 1. Penentuan jumlah skor. Proses scoring yaitu penentuan jumlah skor pada masing-masing responden. Jumlah skor akan digolongkan ke dalam range kelas. Kelas-kelas tersebut ditentukan dengan menggunakan bantuan aplikasi minitab yaitu dalam menentukan quartil satu, median, dan quartil tiga untuk membuat range kelas. Proses scoring ini dilakukan untuk: a) menghitung tingkat pendidikan nelayan b) menghitung tingkat pendapatan nelayan 30 c) menghitung tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi d) menghitung kondisi institusi TPI Skor tinggi untuk mengukur tingkat pendidikan nelayan adalah tiga, skor sedang adalah dua, dan skor rendah adalah satu. Skor tinggi untuk mengukur tingkat pendapatan nelayan adalah tiga, skor sedang adalah dua, dan skor rendah adalah satu. Tingkat ketergantungan finansial masing-masing responden akan dilihat pada total skor dan penggolongan kriteria yang telah ditentukan. Skor total maksimum dari pernyataan yang menunjukkan tingkat ketergantungan finansial bernilai 16. Tingkat ketergantungan finansial nelayan terhadap tengkulak dinyatakan tinggi apabila skor yang diperoleh sebesar 12-16. Tingkat kergantungan finansial sedang berada dalam skor 6-11. Sedangkan untuk tingkat ketergantungan rendah skor yang didapat 0-5. Kondisi institusi TPI juga akan dilihat pada total skor dan penggolongan kriteria yang telah ditentukan. Skor total maksimum dari pernyataan yang menunjukkan kondisi institusi TPI bernilai 12. Kondisi institusi TPI dinyatakan tinggi apabila skor yang diperoleh sebesar 8-12. Kondisi institusi TPI sedang berada dalam skor 4-7. Skor 0-3 menunjukkan kondisi TPI yang rendah. 2. Dummy table. Tabel tiruan (dummy table) dibuat untuk menghasilkan tabel-tabel bentukan hasil penghitungan (kalkulasi) dalam tabel atau antar tabel. Kegunaan utama untuk menghasilkan tabel-tabel frekuensi dan tabel indikator. Dengan cara ini akan dapat dihasilkan tabel-tabel yang sesuai dengan keinginan, seperti hubungan pengaruh antara tingkat pendidikan nelayan dengan tingkat ketergantungan finansial, tingkat pendapatan nelayan dengan tingkat ketergantungan finansial, tingkat ketergantungan finansial dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan, dan kondisi institusi TPI dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Teknik analisis data kualitatif yang akan mendukung penelitian ini menggunakan konsep Miles dan Hubermas. Konsep tersebut menyebutkan bahwa terdapat tiga sub-proses analisis data yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. 4. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Desa Desa Tanjung Pasir adalah Desa yang mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan tradisional. Kata Tanjung Pasir berasal dari kata “Tanjung” yang berarti daratan yang menonjol di permukaan Laut Jawa dan kata “Pasir” berarti permukaan tanah yang berupa pasir. Di samping itu, Tanjung Pasir pada masa zaman penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia pernah dijadikan tempat atau benteng pertahanan. Setiap bagian dari wilayah tersebut dikuasai oleh tuan tanah. Desa Tanjung Pasir merupakan pemekaran wilayah yang dahulu masih bagian dari Desa Tegalangus. Pemekaran wilayah Desa Tegalangus dan Desa Tanjung Pasir terjadi pada tahun 1984-an. 4.2 Kondisi Geografis Desa Tanjung Pasir terletak di sebelah utara kantor Kecamatan Teluknaga dengan jarak tempuh 12 kilometer dan mempunyai unsur pembantu pemerintah terbawah, terdiri dari enam Kepala Dusun, 14 Rukun Warga (RW), dan 34 Rukun Tetangga (RT). Desa Tanjung Pasir memiliki luas 570 hekto are (Ha) yang terdiri dari 72 Ha, Empang 334 Ha, Sawah 83 Ha, dan TPU seluas 7000 meter. Desa Tanjung Pasir merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian dari permukaan laut satu meter dengan suhu udara 30 derajat celcius sampai 37 derajat celcius. Jarak tempuh dari pusat Pemerintahan Desa Tanjung Pasir dalam melaksanakan hubungan komunikasi kerja dengan kantor Kecamatan adalah 12 kilometer. Jarak tempuh dari pusat pemerintahan Desa Tanjung Pasir dengan Ibukota Kabupaten adalah 54 kilometer, sedangkan jarak tempuh dari pusat Pemerintahan Desa Tanjung Pasir dengan Ibukota Propinsi adalah 72 kilometer. Desa Tanjung Pasir mempunyai batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Desa Muara, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tegalangus, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Tanjung Burung. 32 Desa Tanjung Pasir mempunyai tiga musim yaitu penghujan, kemarau, dan angin. Musim yang mempengaruhi Desa Tanjung Pasir pada masa kurun waktu satu tahun 2010 adalah musim angin. Angin bertiup dari arah barat/ baratdaya dengan kecepatan 15 km/jam dan curah hujan rata-rata 26,4 mm/tahun. Kondisi udara tercemar ringan walaupun tidak memiliki taman kota. 4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Keadaan ekonomi erat kaitannya dengan sumber mata pencaharian penduduk. Jumlah penduduk Desa Tanjung Pasir sampai dengan bulan Juni tahun 2010 tercatat sebanyak 10.225 jiwa dengan jumlah usia produktif sebesar 7.654 jiwa. Komposisi penduduk Desa Tanjung Pasir terdiri dari laki-laki 4.115 jiwa dan perempuan sebanyak 6.110 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 1.853 KK. Penduduk Desa Tanjung Pasir 100 persen merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Secara umum dapat dijelaskan bahwa Desa Tanjung Pasir bermata pencaharian nelayan. Berikut adalah rincian jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian pokok (Gambar 4): y 2331 2500 2000 1500 1213 1000 500 65 15 24 62 30 5 25 6 30 43 6 8 176 0 x Keterangan: sb.x: jenis pekerjaan sb.y: jiwa Gambar 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian 33 Ekonomi masyarakat dapat meningkat melalui upaya ekonomi produktif setiap individu. Sarana perekonomian/perdagangan di Desa Tanjung Pasir yaitu satu unit koperasi, 100 unit warung/kedai, lima unit kios kelontong, delapan unit bengkel, dan 20 unit toko. Sarana kesehatan yang tersedia di Desa Tanjung Pasir meliputi satu unit Poskesdes (Pos Kesehatan Desa), enam unit Posyandu, dua praktek Dokter, empat praktek Bidan, dan empat orang Paraji. Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Tanjung Pasir yaitu empat unit Taman Kanak-Kanak (TK), empat unit Sekolah Dasar (SD)/Sederajat, dan satu unit Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tingkat pendidikan di Desa Tanjung Pasir tergolong rendah karena masih banyak penduduk yang hanya menempuh pendidikan sampai Sekolah Dasar (SD) saja. Berikut ini adalah jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yang akan disajikan pada Gambar 5. Tamat SMA/sederajat; 954 Perguruan tinggi/Sarjana/D1 -D3; 566 Tamat SMP/sederajat; 1653 Belum sekolah/tidak sekolah; 2619 Tamat SD/sederajat; 3789 Gambar 5. 4.4 Tidak tamat SD/sederajat; 243 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Kondisi Sosial Budaya Dari jumlah penduduk sebesar 10.225 jiwa, penduduk yang beragama Islam berjumlah 97 persen. Suasana kehidupan beragama di Desa Tanjung Pasir cukup baik, tenang, dan saling menghormati. Sarana peribadatan terdiri dari enam unit masjid, 30 unit mushola, dan 12 unit majelis taklim. Rincian penduduk berdasarkan agama yang dianut (Gambar 6) adalah 9594 orang beragama islam, 34 12 orang beraga khatolik, dua orang beragama protestan, 56 orang beragama hindu, dan 51 orang beragama budha. 9594 10000 5000 12 0 Islam Gambar 6. 4.5 Khatolik 2 Protestan 56 Hindu 51 jiwa Budha Diagram Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut Kondisi Perikanan Mengingat lokasi Desa Tanjung Pasir yang berada dekat dengan laut, maka sebagian besar penduduknya bergantung dengan hasil laut. Untuk memanfaatkan hasil laut tersebut, masyarakat Tanjung Pasir melakukan kegiatan menangkap ikan dengan berprofesi sebagai nelayan. Pemerintah memberikan fasilitas berupa Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang terletak di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Jarak dengan Ibukota Provinsi Banten sejauh 120 kilometer, dengan Ibukota Kabupaten Tangerang sejauh 35 kilometer dan berjarak tujuh kilometer dari Ibukota Kecamatan Tanjung Pasir. Secara geografis, PPI Tanjung Pasir ini berada pada koordinat 6.0239 S Latitude dan 106.6568 E Longitude. Adapun batas PPI Tanjung Pasir, yaitu: sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tegal Angus, sebelah timur berbatasan dengan Desa Temo, dan sebelah barat berbatasan dengan Kampung Garapan. PPI Tanjung Pasir ini merupakan milik pemerintah Kabupaten Tangerang yang pengelolaannya oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Wilayah Kabupaten Tangerang termasuk kedalam kawasan minapolitan yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.32/MEN/2010. Pegawai TPI 35 Tanjung Pasir berjumlah tiga orang yang terdiri dari satu orang berpendidikan S1 dan dua orang SLTA. Struktur organisasi PPI Tanjung Pasir dapat dilihat pada Gambar 7. Manajer TU Kasir Penerima Juru Tulis Lelang Juru Lelang Kasir Kasir Bayar Gambar 7. Entry Computer Struktur Organisasi PPI Tanjung Pasir Fasilitas pelabuhan merupakan sarana dan prasarana yang tersedia di lokasi pelabuhan untuk mendukung kegiatan operasional pelabuhan perikanan. Fasilitas ini terdiri dari fasilitas pokok (Tabel 7), fasilitas fungsional (Tabel 8), dan fasilitas penunjang. Tabel 7. Daftar Fasilitas Pokok PPI Tanjung Pasir Nama Jumlah Volume Fasilitas (unit) Areal Daratan Pelabuhan 1 2165 m Dermaga 1 800 Tempat Tambat (Bollard) 2 Jalan 1 1500 Satuan Kondisi Pemanfaatan Tahun Sumber Fasilitas Pembuatan Dana Baik Sesuai 1998 APBD m Baik Sesuai 2000 APBD m Rusak ringan Sesuai 2000 APBD m Baik Sesuai 2000 APBD Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) Fasilitas pokok yang dimiliki oleh PPI Tanjung Pasir adalah areal daratan pelabuhan, dermaga, tempat tambat (bollard) dan jalan. Fasilitas fungsional 36 meliputi TPI, penampung/tangki air, daya listrik, SPBN, kantor administrasi pelabuhan. Fasilitas penunjang yang dimiliki oleh PPI Tanjung Pasir adalah berupa satu unit rumah karyawan seluas 42 m2. Fasilitas ini diadakan pada tahun 2000 dimana sumber dananya berasal dari APBD. Kondisi fasilitas rusak ringan dan tidak dimanfaatkan. Berdasarkan Permen KP No.Per. 16/MEN/2006, fasilitas yang ada sudah memenuhi syarat sebagai sebuah pelabuhan tipe D (PPI) dimana salah satu syaratnya adalah memiliki dermaga minimal 50 m2. Dengan demikian, PPI Tanjung Pasir berada dalam standar fasilitas pokok klasifikasi pelabuhan perikanan. Tabel 8. Daftar Fasilitas Fungsional PPI Tanjung Pasir Nama Jumlah Volume Satuan Fasilitas (unit) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) 1 1000 m2 Penampung/ tangki air 1 1000 Sumber Air 1 Daya Listrik Kondisi Pemanfaatan Tahun Sumber Fasilitas Pembuatan Dana Baik Sesuai 2000 APBD 1 Baik Sesuai 2000 APBD 7 m Rusak ringan Tidak dimanfaatkan 2000 APBD 1 900 watt Baik Sesuai 2000 SPBN 1 16000 1 Baik Tidak dimanfaatkan 2000 APBD Tempat Parkir 1 170 m Rusak Ringan Sesuai 2000 APBD Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) Armada kapal perikanan yang mendaratkan ikan di TPI Tanjung Pasir didominasi oleh kapal motor tempel yang berjumlah 50 unit dan kapal kurang dari lima GT yang berjumlah 52 unit. Jenis alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan yang yang tercatat pada tahun 2010 adalah jaring insang tetap sebanyak 27 unit dan rawai tetap sebabyak 75 unit. Jumlah ikan hasil tangkapan yang tercatat di PPI Tanjung Pasir pada tahun 2010 sebanyak 65,789 ton dengan nilai produksi sebesar Rp. 725.263.000,-. Jumlah ikan dominan yang didaratkan di pelabuhan ini dapat disajikan pada Tabel 9. Tujuan pemasaran ikan segar yang berasal dari PPI Tanjung Pasir adalah Kabupaten Tangerang dan Jakarta, sedangkan untuk ikan olahan dipasarkan ke wilayah Kabupaten Tangerang. 37 Tabel 9. Ikan Dominan yang Didaratkan di PPI Tanjung Pasir (2010) Jenis Ikan Dominan Jumlah Produksi Ikan (ton) Nilai Produksi (Rp) Pari 11,847 67.093.000 Tengkek 8,074 64.920.000 Manyung 6,993 53.074.500 Kembung 8,907 108.784.000 Samge 6,103 38.686.000 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) merupakan salah satu fasilitas fungsional dari Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). TPI Tanjung Pasir terletak di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, provinsi Banten. Berikut ini adalah batas-batas TPI Tanjung Pasir, yaitu: sebelah utara berbatasan dengan Kepulauan Seribu, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tegal Angus, sebelah timur berbatasan dengan Pantai Dadap, dan sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Burung. Manajer: Suryadi TU: Masudi Kasir: Yanto Kasir Penerima: Masudi Gambar 8. Juru Lelang: Andi Lala Juru Tulis Lelang: Roni Kasir Bayar: Yanto Struktur Organisasi TPI Tanjung Pasir (2011) Data jumlah armada kapal perikanan yang mendaratkan ikan di TPI Tanjung Pasir didominasi oleh kapal motor tempel sebanyak 79 unit. Jenis alat 38 penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan yang berorientasi di TPI Tanjung Pasir yang tercatat pada tahun 2010 adalah Jaring Rampus sebanyak 22 unit dan Pancing Rawe sebanyak 57 unit. Pegawai TPI Tanjung Pasir berjumlah tiga orang. Struktur organisasi TPI disajikan pada Gambar 8. Status dan peranan individu dalam struktur organisasi TPI diharapkan sesuai dengan pratik di lapang. Kegiatan lelang di TPI Tanjung Pasir dilakukan setiap hari pada pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB. Kegiatan pelelangan ikan melibatkan pengelola TPI sebagai pelaksana lelang, nelayan sebagai produsen ikan yang akan dilelang, dan palele sebagai bakul atau pembeli ikan hasil tangkapan nelayan yang akan dilelang. Retribusi yang dipungut dalam pelaksanaan lelang berdasarkan Perda Kabupaten Tangerang No 19 tahun 2002 tentang Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Rincian retribusi tersebut yaitu sebesar lima persen dipungut dari nelayan dua persen dan dari bakul tiga persen. Retribusi yang masuk akan disetorkan untuk Pemda tiga persen, dana operasional 1,5 persen, dana paceklik 0,15 persen, dana sosial 0,15 persen, dan simpanan nelayan sebesar 0,2 persen. Wilayah penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Tanjung Pasir adalah Perairan Kepulauan Seribu. Produksi ikan hasil tangkapan yang tercatat di TPI Tanjung Pasir pada tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Tabel 11. Produksi ikan tersebut terkait dengan musim penangkapan ikan (Tabel 10). Tabel 10. Kalender Musim Penangkapan Ikan Musim Ikan Bulan 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11 12 9 9 9 Penangkapan Tinggi 9 9 Penangkapan Sedang Penangkapan Rendah 6 9 9 9 9 9 9 9 Musim penangkapan tertinggi atau puncak panen berada dalam bulan Juni, Juli, dan Agustus. Musim penangkapan tertinggi disebut Along. Sedangkan musim penangkapan terendah adalah Januari, Februari, dan Maret. Pada bulan April, 39 Mei, dan September, Oktober, November, dan Desember banyaknya ikan biasa saja. Tabel 11. Data Produksi Ikan Hasil Tangkapan Bulan, Tahun Produksi Ikan (kg) Nilai Produksi (Rp) Juli, 2010 11,331 125.126.000 Agustus, 2010 12,645 133.821.000 September, 2010 7,549 77.561.000 Oktober, 2010 12,574 133.980.000 November, 2010 9,332 100.902.000 Desember, 2010 13,067 161.850.000 Januari, 2011 3,828 49.997.000 Februari, 2011 6,741 80.652.000 Maret, 2011 9,014 104.710.000 Sumber: Data Operasional TPI Tanjung Pasir Jenis ikan yang diproduksi oleh nelayan yang dilelang di TPI Tanjung Pasir meliputi ikan kuwe, ekor kuning, bambangan, kurisi, kerapu, tengiri, talang, rajungan, kembung, lape (kaci-kaci), perek, manyung, tengek, cucut, pari, selar, udang, tembang, samge, kuro, dan belanak. Produksi ikan dominan yang dilelang di TPI Tanjung Pasir adalah ikan pari dan nilai produksi terbesar berasal dari pelelangan ikan kuwe. Prakiraan perbandingan jumlah produksi ikan berdasarkan jenisnya dapat digambarkan pada Gambar 9. Prakiraan perbandingan jenis tangkapan ikan ini diperoleh dari data TPI bulan Juli tahun 2010. 40 kuro samge 4,28% 5,22% belanak kuwe ekor kuning 0,83% 3.78% 0,87% tambang 8,31% udang 0.26% selar 8,71% kurisi 4,32% kerapu 2.57% Gambar 9. tengiri 2.40% talang 1,83% rajungan 1.75% kembung 9.21% laci 2,60% pari 12.11% cucut 5.52% bambangan 2,67% tengkek 9,23% perek 5,60% manyung 7,92% Prakiraan Perbandingan Jumlah Produksi Ikan Berdasarkan Jenis Ikan di TPI Tanjung Pasir. 5. PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU NELAYAN DALAM PEMASARAN HASIL TANGKAPAN 5.1 Ikatan Patron-Klien Patron-klien di dalam masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan terjadi karena perbedaan struktur sosial 12 dan telah menjadi basis relasi sosial. Struktur sosial tersebut menyebabkan terjadinya pola hubungan antara patron dengan klien. Ikatan patron-klien dapat terjadi dalam beberapa aktivitas diantaranya aktivitas pemasaran yang terkait dengan faktor ketergantungan finansial, aktivitas produksi yang terkait dengan pemilihan alat tangkap, hingga kepemimpinan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Penelitian ini akan memusatkan perhatian pada ikatan patron-klien dalam aktivitas pemasaran yang terjadi karena ketergantungan finansial antara klien dengan patron dalam kegiatan mencari nafkah. Kegiatan mencari nafkah yang dimaksud adalah kegiatan melaut atau menangkap ikan di laut. Patron adalah orang yang memiliki kemampuan finansial tinggi, sedangkan klien adalah orang yang secara alamiah tergantung kepada patron dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam penelitian ini, yang dimaksud patron adalah langgan dan yang dimaksud klien adalah nelayan. Peran patron adalah sebagai pembeli hasil tangkapan nelayan yang telah menjadi kliennya. Peran klien adalah menjual hasil tangkapan mereka kepada patron yang telah meminjamkan modal melaut. Ikatan patron-klien ini terjadi karena ketidakmampuan nelayan dalam pemenuhan modal untuk melakukan aktivitas melaut yang merupakan mata pencaharian pokok mereka. Modal yang dibutuhkan nelayan dalam sekali melaut meliputi biaya bahan bakar perahu, biaya konsumsi melaut, dan untuk kebutuhan hidup keluarga atau rumah tangga nelayan. Modal melaut terkait dengan lokasi atau wilayah penangkapan ikan. Wilayah penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Tanjung Pasir adalah perairan Kepulauan Seribu. Awalnya nelayan tidak jauh dalam menentukan lokasi untuk menangkap ikan atau melaut, namun dengan 12 Termasuk di dalam pengertian struktur sosial adalah pelapisan sosial atau juga disebut stratifikasi sosial dan jumlah dan ciri kependudukan suatu masyarakat (Harper 1989 dalam Adulkadir, Sunito 2003). 42 kondisi ikan yang semakin sedikit membuat nelayan harus lebih jauh dalam mencari ikan. Jarak tempuh nelayan dalam menangkap ikan tersebut berpengaruh terhadap biaya operasional nelayan khususnya bahan bakar perahu. Semakin jauh jarak tempuh nelayan untuk melaut, semakin tinggi biaya yang dibutuhkan dalam pemenuhan bahan bakar perahu. Modal yang dibutuhkan nelayan untuk satu kali melaut dalam sehari sebesar Rp.50.000,- sampai dengan Rp.150.000,-. Sedangkan nilai hasil tangkapan nelayan hanya sebesar Rp.150.000,- sampai Rp.600.000,-. Jumlah tersebut masih harus dikurangi biaya operasional melaut, dan dibagi dengan ABK (Anak Buah Kapal) yang berjumlah dua sampai tiga orang. Dengan kondisi demikian fluktuasi produksi ikan hasil tangkapan nelayan (Gambar 10) terkait dengan musim penangkapan ikan. Produksi Ikan (kg) Agt Nilai Produksi (Rp) Des Okt Des Jul Nov Mar Sept Feb Jan Gambar 10. Jul Agt Okt Mar Nov Feb Sept Jan Fluktuasi Jumlah Produksi dan Nilai Produksi Ikan di TPI Pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, produksi ikan dan nilai produksi makin meningkat, maka berimplikasi pada penghasilan nelayan yang akan turut meningkat. Sebaliknya, pada bulan Januari, Februari, dan Maret terjadi penurunan jumlah ikan yang akan mengakibatkan rendahnya nilai produksi, maka berimplikasi terhadap penghasilan nelayan yang akan menurun. Dari data musim penangkapan ikan tersebut dapat menggambarkan ketidakpastian penghasilan nelayan. Terlebih jika terjadi musim angin maka nelayan tidak melakukan aktivitas melaut, akibatnya nelayan tidak memiliki penghasilan. Hal tersebut yang menyebabkan nelayan harus meminjam uang kepada langgan untuk memenuhi 43 kebutuhan hidup. Keadaan tersebut yang memacu terjadinya hubungan patronklien. 5.2 Masalah dalam Tataniaga Hasil Tangkapan Nelayan Berdasarkan teori pertukaran yang diungkapkan oleh Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) bahwa pertukaran didasarkan pada norma resiprositas yaitu ada posisi sejajar di antara dua pihak, tempat dipertukarkannya sumberdaya, dan materi. Terkait dengan teori pertukaran tersebut maka pertukaran yang terjadi dalam institusi patron-klien telah terjadi ketidakadilan, dimana nelayan (klien) mendapatkan keuntungan yang lebih sebikit dibanding langgan (patron). Keuntungan yang diperoleh klien meliputi pinjaman modal melaut yaitu biaya untuk melaut dan biaya untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan keuntungan yang diperoleh patron meliputi harga beli hasil tangkapan nelayan yang rendah/murah. Masalah-masalah yang terjadi dalam tataniaga hasil tangkapan nelayan adalah sebagai berikut: 1) Belum ada institusi jaminan sosial ekonomi untuk nelayan yang dapat memberikan modal melaut dan pinjaman kebutuhan hidup, selain institusi patron-klien. 2) Belum ada institusi lain seperti koperasi yang dapat memberikan fasilitas finansial dalam hal pemberian pinjaman sebagai modal melaut nelayan, karena TPI hanya berperan dalam penyelenggaraan lelang untuk membantu pemasaran hasil tangkapan nelayan. 3) Institusi patron-klien tidak dapat mendata secara valid total produksi perikanan, sebaliknya institusi TPI melakukan pendataan terhadap produksi perikanan. 4) Data produksi perikanan yang masih belum valid karena tidak semua nelayan menggunakan institusi TPI sebagai sarana pemasaran hasil tangkapan mereka. Data produksi perikanan bersifat sangat penting karena dibutuhkan untuk pengelolaan sumberdaya. 44 5.3 Kondisi Tingkat Ketergantungan Ketergantungan adalah suatu wujud dari ketidakseimbangan hubungan antara seseorang yang memiliki status sosial, ekonomi, dan politik yang lebih tinggi dengan pihak lain yang memiliki posisi lebih rendah. Ketergantungan terjadi secara alamiah antara klien terhadap patron. Ketergantungan finansial nelayan dalam Ikatan patron-klien yang terjadi dapat dilihat dari: 1) Nelayan tidak dapat melakukan aktifitas melaut apabila tidak meminjam uang sebagai modal melaut kepada langgan. 2) Nelayan harus memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan karena keterikatan hutang terhadap langgan tersebut. 3) Nelayan tetap memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan meskipun harga yang ditawarkan langgan lebih rendah dibandingkan harga lelang di TPI. 4) Nelayan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan karena terpaksa. 5) Nelayan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan karena mendapatkan kepastian dari langgan untuk membeli hasil tangkapannya. Nelayan yang tidak memiliki modal untuk melaut akan meminjam uang kepada langgan. Keterikatan hutang dari pinjaman modal tersebut menyebabkan nelayan harus memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan tersebut. Namun, harga yang diberikan langgan cenderung lebih rendah dibandingkan harga pasar atau harga lelang di TPI. Hal tersebut menyebabkan semakin kecilnya pendapatan nelayan. Pendapatan nelayan yang didapatkan dari hasil melaut harus dipotong dengan hutang nelayan. Besarnya potongan tergantung dari besarnya pinjaman dan kesepakatan antara nelayan dengan langgan. Nelayan akan terus memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan tersebut hingga seluruh hutangnya terbayar penuh. Akan tetapi, akan sangat sulit bagi nelayan karena pendapatan nelayan akan terus mengecil karena selain dipotong angsuran hutang, pendapatan mereka juga harus dibagi dengan ABK (abnak buah kapal) lainnya. Rasio pembagian pendapatan apabila terdapat dua ABK dan satu orang juragan adalah 1 : 1 : 3. Artinya, satu bagian untuk ABK dan tiga bagian untuk juragan (Gambar 11). Juragan mendapatkan tiga bagian karena memiliki perahu dan alat 45 tangkap. Selain itu, akan sulit sekali bagi nelayan untuk melunasi hutang tersebut agar tidak bergantung terhadap langgan karena produksi melaut nelayan yang tidak pasti. Ketidakpastian produksi melaut nelayan dipengaruhi oleh faktor cuaca dan angin. 20% JURAGAN 20% 60% ABK 1 ABK 2 Gambar 11. Diagram Pembagian Hasil Melaut Nelayan Ketergantungan nelayan terhadap langgan disebabkan karena tidak ada institusi lain selain langgan yang dapat memberikan pinjaman secara cepat dan mudah. Selain memberikan pinjaman modal melaut, langgan juga dapat memberikan pinjaman untuk kebutuhan hidup sehari-hari pada rumah tangga nelayan. Hubungan antara nelayan dan langgan memang saling menguntungkan, namun terjadi ketidakseimbangan dalam perolehan keuntungan tersebut. Nelayan diuntungkan dalam peminjaman modal melaut, sedangkan langgan diuntungkan dalam membeli hasil tangkapan nelayan. Ketidakseimbangan tersebut terletak pada harga yang ditetapkan langgan untuk hasil tangkapan nelayan yaitu sangat jauh di bawah harga pasar atau harga lelang di TPI. 5.3.1 Hubungan antara Tingkat Pendidikan Nelayan dengan Tingkat Ketergantungan Nelayan Hipotesis satu adalah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan nelayan dengan tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi (Tabel 12). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa hasil yang telah diperoleh adalah sebanyak 32,5 persen responden nelayan yang memiliki tingkat pendidikan rendah memiliki tingkat ketergantungan finansial yang tinggi. Sebanyak 2,5 persen responden yang memiliki tingkat pendidikan rendah memiliki tingkat ketergantungan finansial yang sedang. Responden nelayan yang 46 memiliki tingkat pendidikan sedang dan tingkat ketergantungan finansial sedang sebanyak 7,5 persen. Responden nelayan yang memiliki karakteristik serta tingkat ketergantungan finansial yang sedang sebanyak 7,5 persen. Sebanyak sepuluh persen responden nelayan memiliki tingkat pendidikan sedang dan tingkat ketergantungan finansial yang rendah. Data penelitian menunjukkan tidak terdapat atau nol persen responden nelayan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan tingkat ketergantungan finansial tinggi. Demikian serupa dengan tidak terdapat atau nol persen responden nelayan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi serta tingkat ketergantungan finansial sedang dan rendah. Dari keterangan data di atas dapat dilihat bahwa semakin rendah tingkat pendidikan nelayan maka semakin tinggi tingkat ketergantungan finansial nelayan. Kondisi tersebut menunjukkan terdapat hubungan pengaruh antara tingkat pendidikan nelayan dengan tingkat ketergantungan finansial dalam ikatan patron-klien yang terjadi sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa cukup alasan untuk menerima hipotesis satu. Tabel 12. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Nelayan dengan Ketergantungan Finansial Nelayan. Tingkat Pendidikan Nelayan Tingkat Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan terhadap Langgan (%) Tinggi Sedang Rendah Tinggi 0 0 0 Sedang 2,5 7,5 10 Rendah 32,5 7,5 0 5.3.2 Hubungan antara Tingkat Pendapatan Nelayan dengan Tingkat Ketergantungan Nelayan Hipotesis dua adalah terdapat hubungan antara tingkat pendapatan nelayan dengan tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi (Tabel 13). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa hasil yang telah diperoleh adalah sebanyak 30 persen responden nelayan yang memiliki tingkat pendapatan rendah memiliki tingkat ketergantungan finansial yang tinggi. Sebanyak 40 persen responden yang memiliki tingkat pendapatan sedang memiliki tingkat ketergantungan finansial yang rendah. Responden nelayan yang 47 memiliki tingkat pendapatan tinggi dan tingkat ketergantungan finansial rendah sebanyak 20 persen. Responden nelayan yang memiliki tingkat pendapatan serta tingkat ketergantungan finansial yang sedang sebanyak lima persen. Sebanyak lima persen responden nelayan memiliki tingkat pendapatan sedang dan tingkat ketergantungan finansial yang tinggi. Data penelitian menunjukkan tidak terdapat atau nol persen responden nelayan yang memiliki tingkat pendapatan tinggi dan tingkat ketergantungan finansial tinggi. Demikian serupa dengan tidak terdapat atau nol persen responden nelayan yang memiliki tingkat pendapatan rendah dan tingkat ketergantungan finansial rendah. Tabel 13. Hubungan antara Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan. Tingkat Pendapatan Nelayan Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan terhadap Langgan (%) Tinggi Sedang Rendah Tinggi 0 0 20 Sedang 5 5 40 Rendah 30 0 0 Dari keterangan data di atas dapat dilihat bahwa semakin rendah tingkat pendapatan nelayan maka semakin tinggi tingkat ketergantungan finansial nelayan. Kondisi tersebut menunjukkan terdapat hubungan pengaruh antara tingkat pendapatan nelayan dengan tingkat ketergantungan finansial dalam ikatan patron-klien yang terjadi sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa cukup alasan untuk menerima hipotesis dua. 5.3.3 Hubungan antara Jenis Alat Tangkap dengan Tingkat Ketergantungan Finansial Hipotesis tiga adalah terdapat hubungan antara jenis alat tangkap dengan tingkat ketergantungan finansial nelayan (Tabel 14). Tabel tersebut menunjukkan bahwa hasil yang telah diperoleh adalah sebanyak 25 persen responden nelayan yang menggunakan pancing sebagai alat tangkap memiliki tingkat ketergantungan finansial yang tinggi. Sebanyak 10 persen responden nelayan yang menggunakan 48 jaring sebagai alat tangkap memiliki tingkat ketergantungan finansial yang tinggi. Responden nelayan yang menggunakan pancing sebagai alat tangkap serta tingkat ketergantungan finansial yang sedang sebanyak lima persen, sedangkan responden nelayan yang menggunakan jaring sebagai alat tangkap serta tingkat ketergantungan finansial yang sedang sebanyak 2,5 persen. Responden nelayan yang menggunakan pancing sebagai alat tangkap dan tingkat ketergantungan finansial yang rendah adalah sebanyak 20 persen. Sebanyak 37,5 persen responden nelayan yang menggunakan jaring sebagai alat tangkap memiliki tingkat ketergantungan finansial yang rendah. Tabel 14. Hubungan antara Jenis Alat Tangkap dengan Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan Jenis Alat tangkap Tingkat Ketergantungan Finansial (%) Tinggi Sedang Rendah Pancing 25 5 20 Jaring 10 2,5 37,5 Dari keterangan data di atas dapat dilihat bahwa responden nelayan yang menggunakan pancing sebagai alat tangkap cenderung memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi, sedangkan responden nelayan yang menggunakan jaring sebagai alat tangkap cenderung memiliki tingkat ketergantungan yang rendah. Kondisi tersebut menunjukkan terdapat hubungan antara jenis alat tangkap dengan tingkat ketergantungan finansial sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa cukup alasan untuk menerima hipotesis tiga. 5.3.4 Hubungan antara Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan dengan Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan Hipotesis empat adalah terdapat hubungan antara tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan (Tabel 15). Tingkat ketergantungan finansial nelayan dihitung dengan menggunakan delapan pernyataan yang ditanyakan kepada responden (lampiran 3). Pada Tabel 10 dijelaskan bahwa sebanyak 17,5 persen responden nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan finansial tinggi 49 akan memutuskan untuk memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan. Responden nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan rendah dan memutuskan untuk memasarkan hasil tangkapannya kepada TPI adalah sebanyak 57,5 persen. Terdapat 15 persen responden nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan finansial tinggi dan memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan dan TPI. Terdapat 2,5 persen responden nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan finansial sedang kemudian memasarkan hasil tangkapan kepada langgan dan TPI. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa nelayan yang memasarkan hasil tangkapan kepada langgan dan TPI akan memilih salah satu tempat pemasaran sesuai dengan kondisi finansial dan hasil tangkapan. Semua responden yang memasarkan hasil tangkapan kepada langgan dan TPI menyatakan bahwa apabila mereka memiliki hutang kepada langgan, mereka akan memasarkan hasil tangkapan kepada langgan. Akan tetapi, apabila tidak memiliki hutang, maka mereka akan memilih untuk memasarkan hasil tangkapan melalui proses lelang di TPI. Selain itu, dapat dilihat dari data bahwa tidak ada atau nol persen responden nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi dan memasarkan hasil tangkapan ikannya melalui proses lelang di TPI. Sebaliknya, tidak ada atau nol persen responden nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan rendah dan memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan. Tabel 15. Hubungan antara Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan dengan Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan. Tingkat ketergantungan Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan finansial nelayan terhadap (%) langgan Langgan TPI Langgan dan TPI Tinggi 17,5 0 15 Sedang 7,5 0 2,5 Rendah 0 57,5 0 Hasil survai yang diperoleh dari 40 responden menyebutkan bahwa tingkat ketergantungan finansial nelayan sangat berpengaruh terhadap perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Nelayan akan cenderung untuk memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan apabila memiliki tingkat ketergantungan 50 tinggi (Gambar 12). Sebaliknya, nelayan akan bebas menjual hasil tangkapan ikannya melalui proses lelang di TPI apabila tingkat ketergantungan finansialnya Tingkat Ketergantungan Tinggi rendah (Gambar 13). 42,86 % 14,28% 0% 0% 46,15 % 14,28% Pancing Jaring Langgan TPI TPI dan Langgan Arah Pemasaran Gambar 12. Diagram Jumlah Responden yang Memiliki Tingkat Ketergantungan Tinggi Berikut dengan Arah Pemasarannya. Sebanyak 42,86 persen responden yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi merupakan nelayan pancing dan akan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan. Sebanyak 14,28 persen responden yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi merupakan nelayan jaring dan akan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan. Sebaliknya, sebanyak 34,78 persen responden yang memiliki tingkat ketergantungan rendah merupakan nelayan pancing dan akan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada TPI. Sebanyak 65,22 persen responden yang memiliki tingkat ketergantungan rendah merupakan nelayan jaring dan akan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada TPI. Dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki tingkat ketergantungan finansial tinggi akan memilih untuk memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan. Hal tersebut disebabkan karena nelayan tidak memiliki modal awal untuk melakukan aktifitas melaut. Keterikatan terhadap hutang ini yang membuat nelayan terpaksa memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan tersebut, walaupun harga yang diberikan jauh dibawah harga pasar atau harga lelang di TPI. Hal tersebut menunjukkan terdapat hubungan pengaruh antara tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi 51 dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan, maka hipotesis empat Tingkat Ketergantungan Rendah dapat diterima. 65,22 % 0 % 0 % 34,78 % Langgan TPI Pancing 0% 0% Jaring TPI dan Langgan Arah Pemasaran Gambar 13. 5.4 Diagram Jumlah Responden yang Memiliki Tingkat Ketergantungan Rendah Berikut dengan Arah Pemasarannya. Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan Perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan adalah tingkah laku nelayan dalam memilih tempat pemasaran hasil tangkapan ikannya. Dalam kasus ini, nelayan dapat memilih antara institusi TPI ataupun langgan sebagai tempat pemasaran. Hipotesis lima adalah terdapat hubungan antara persepsi nelayan mengenai kondisi TPI dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Kondisi institusi TPI diukur menggunakan enam indikator yaitu: 1) waktu lelang; 2) kebersihan; 3) retribusi; 4) harga lelang; 5) kinerja pengelola TPI; 6) kondisi gedung dan peralatan lelang. Data hubungan pengaruh antara persepsi nelayan mengenai kondisi TPI dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan yang diperoleh dari responden disajikan pada tabel 16. Tabel 16 menunjukkan bahwa 57,5 persen responden nelayan yang memiliki persepsi positif terhadap kondisi institusi TPI maka akan lebih cenderung memasarkan hasil tangkapannya melalui proses lelang 52 di TPI. Sedangkan sebanyak 7,5 persen responden nelayan yang memiliki persepsi sedang mengenai institusi TPI cenderung memasarkan hasil tangkapannya kepada TPI maupun langgan. Tidak ada atau sebanyak nol persen responden nelayan yang memiliki persepsi rendah terhadap institusi TPI. Data di atas menunjukkan persepsi nelayan yang memasarkan ikan kepada langgan ataupun TPI cenderung positif terhadap institusi TPI sebagai sarana untuk memasarkan hasil tangkapan ikan. Akan tetapi dapat ditunjukkan bahwa semakin tinggi tinggi persepsi responden nelayan mengenai kondisi institusi TPI maka semakin cenderung responden memasarkan hasil tangkapan ikannya melalui proses lelang di TPI. Setelah ditarik kesimpulan, data tersebut dapat menunjukkan terdapat hubungan pengaruh antara persepsi nelayan mengenai kondisi institusi TPI terhadap perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan, maka hipotesis lima dapat diterima. Tabel 16. Hubungan antara Persepsi Nelayan mengenai Kondisi Institusi TPI dengan Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan. Persepsi Nelayan Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan (%) Langgan TPI Langgan dan TPI Tinggi 25 57,5 10 Sedang 0 0 7,5 Rendah 0 0 0 Data TPI Tanjung Pasir (2011) menyebutkan bahwa sebanyak 233 nelayan yang terdiri dari 79 juragan dan 154 anak buah kapal (ABK) telah menjadi anggota tetap TPI. Nelayan yang merupakan anggota tetap TPI akan secara rutin menjual hasil tangkapannya melalui proses lelang di TPI. Jika dibandingkan dengan total nelayan Desa Tanjung Pasir secara keseluruhan yaitu sebanyak 348 orang nelayan, maka hanya sebanyak 66,95 persen nelayan yang memanfaatkan institusi TPI. Sisanya sebesar 33,05 persen nelayan memasarkan hasil tangkapan kepada langgan. Dari data yang telah dipaparkan sebelumnya, banyak nelayan yang memiliki pendapat positif mengenai institusi TPI. Meskipun demikian, masih banyak nelayan yang tidak memanfaatkan institusi TPI dan memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan. Berikut ini dijelaskan keuntungan menggunakan institusi TPI: 53 Keuntungan menggunakan institusi TPI sebagai sarana pemasaran ikan bagi nelayan, antara lain: 1) Harga lelang di TPI yang lebih tinggi karena penawar tertinggilah yang berhak membeli ikan. 2) Pendapatan nelayan dari hasil menangkap ikan membaik. 3) Terdapat simpanan nelayan untuk musim paceklik (ditarik melalui retribusi). Mekanisme pemasaran ikan melalui TPI (Gambar 14) dimulai saat nelayan melalui institusi TPI menjual ikannya kepada palele 13 melalui proses lelang. Setelah itu, palele mendistribusikannya kepada konsumen. Jalur transaksi lelang atau proses lelang dimulai dengan pemisahkan hasil tangkapan ikan oleh nelayan sesuai dengan jenisnya setelah itu dijejer dengan kondisi ikan diikat. Seorang petugas TPI melakukan perhitungan dan pencatatan jumlah ikan yang terdapat dalam setiap satu kelompok ikan yang akan dilelang. Jumlah ikan ini dicatat dalam karcis total satuan lelang. Setelah palele berkumpul, maka kegiatan lelang dimulai. Pelelangan dipimpin oleh juru lelang yang menawarkan harga lelang. Naik turunnya harga penawaran tergantung pada volume ikan dan kemampuan modal pedagang. Palele yang ingin membeli dapat langsung menawar dan harga tertinggi yang berhak membeli ikan. Setelah itu palele membayar ikan kepada kasir penerima, kemudian kasir penerima menyerahkan karcis lelang kepada kasir bayar. Kasir bayar akan membayarkan ikan sesuai dengan harga ikan setelah dipotong retribusi kepada nelayan. Pelaksanaan lelang dilakukan secara berurut sesuai dengan nomor urut lelang. 13 Palele adalah sebutan lain untuk bakul yaitu orang yang akan membeli ikan di dalam proses lelang. Palele terdiri dari pedagang, langgan, dan orang umum. 54 Nelayan 1 Institusi TPI 1 5 Kasir Bayar Juru Lelang 4 Kasir Penerima 2 Palele 2 3 3 Konsumen Keterangan: : Jalur Transaksi Lelang : Mekanisme Pemasaran : Lingkup TPI Gambar 14. Mekanisme Pemasaran Ikan melalui TPI Faktor pendorong nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan tidak kepada langgan adalah: 1) Nelayan sadar manfaat dan kegunaan TPI. 2) Kondisi Fisik dan non-fisik institusi TPI baik. Kondisi fisik TPI meliputi gedung dan peralatan TPI. Sedangkan kondisi non-fisik TPI meliputi waktu lelang, harga lelang, kebersihan, retribusi, dan kinerja pengelola TPI. Kinerja institusi TPI dapat diketahui berdasarkan kesesuaian antara status dan peran setiap individu pengelola (Tabel 17). Nelayan yang mengetahui manfaat dan keuntungan dari institusi TPI akan lebih cenderung untuk memasarkan hasil tangkapan ikannya melalui proses lelang di TPI. Namun, pengaruh yang lebih besar dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan melalui proses lelang terjadi ketika nelayan melihat rekan nelayan lainnya mendapatkan penghasilan yang lebih besar pada kuota ikan yang sama. 55 Tabel 17. Status dan Peranan Pengelola TPI Status Manajer TU Juru Lelang Peranan Penanggung jawab keseluruhan kegiatan lelang Pengurus administrasi dan pembukuan kegiatan lelang - Penanggung jawab kegiatan pelelangan - Pemimpin jalannya proses pelelangan, termaksud tawarmenawar harga, serta penentu harga ikan Juru Tulis Lelang Kasir Penerima Pencatat tansaksi lelang nelayan Menerima uang pembelian ikan pada kegiatan lelang dari palele/bakul Kasir Bayar Membayarkan uang hasil lelang ikan kepada nelayan setelah dipotong retribusi Selain melalui institusi TPI, nelayan juga dapat memasarkan hasil tangkapan kepada langgan. Berikut adalah mekanisme pemasaran hasil tangkapan dan hubungan yang terjadi di dalamnya, disajikan pada Gambar 15. Arah pemasaran hasil tangkapan dimulai dari nelayan yang menjual hasil tangkapannya kepada langgan. Setelah itu, langgan memasarkan kembali atau mendistribusikannya kepada konsumen. Hubungan yang terjadi dimulai saat nelayan meminjam modal melaut kepada langgan (1). Dalam proses pemberian modal tersebu, terjadi perjanjian antara nelayan dan langgan yaitu hasil tangkapan nelayan tersebut harus dijual kembali kepada langgan dengan harga yang ditentukan oleh langgan. Setelah terjadi kesepakatan, barulah langgan meminjamkan modal (2). Setelah nelayan pulang melaut, hasil tangkapan ikan nelayan dijual seluruhnya kepada langgan sesuai dengan harga yang ditentukan langgan (3). Uang yang diterima dari penjualan tersebut kemudian dipotong dari banyaknya hutang. 56 Nelayan 2 1 1 3 Langgan 2 Konsumen Keterangan: : Arah pemasaran : Hubungan Perilaku Gambar 15. Mekanisme Pemasaran Ikan kepada Langgan Alasan utama nelayan memasarkan ikannnya kepada langgan adalah karena nelayan tidak memiliki modal melaut. Nelayan tidak memiliki modal melaut yang cukup karena tidak mampu membeli solar sebagai bahan bakar perahu dan tidak mempunyai cukup dana untuk membeli perbekalan melaut dan untuk kebutuhan sehari-hari keluarga mereka di rumah. Faktor penarik nelayan dalam menjual hasil tangkapannya kepada langgan adalah: 1) Langgan dapat meminjamkan modal melaut kepada nelayan. 2) Langgan dapat dengan cepat memberikan hutang kepada nelayan untuk kebutuhan sehari-hari. 3) Langgan memberikan kepastian dalam membeli hasil tangkapan nelayan. Selain faktor penarik yang disebutkan diatas, terdapat faktor lain yang juga dapat menyebabkan nelayan menjual hasil tangkapan ikannya kepada langgan yaitu: 1) Jenis alat tangkap nelayan dan waktu melaut nelayan. 2) Hubungan kekerabatan atau keluarga. 57 Jenis alat tangkap juga menentukan arah pemasaran hasil tangkapan. Sebanyak 47,06 persen responden yang memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan menggunakan pancing klitik sebagai alat tangkapannya. Kemudian 23,53 persen menggunakan pancing rawe, dan sisanya 29,41 persen menggunakan jaring rampus. Dari observasi lapang, 100 persen nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing klitik memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan. Hal tersebut karena nelayan yang menggunakan pancing klitik memiliki waktu melaut yang lebih lama dan melakukan bongkar muatan pada sore hari. Waktu melaut nelayan yang menggunakan pancing klitik biasanya berkisar antara delapan sampai sepuluh jam perhari. Nelayan pergi melaut pukul 05.00 WIB dan bongkar muatan / pulang melaut pukul 17.00 WIB. Nelayan dengan jenis alat tangkap pancing klitik akan lebih mudah mendapatkan ikan apabila menjelang sore hari karena ikan akan lebih dekat ke permukaan laut. Nelayan yang memasarkan hasil tangkapan ikannya di TPI umumnya menggunakan alat pancing berjenis pancing rawe dan jaring rampus. Pancing rawe memiliki mata pancing yang banyak sehingga ikan yang akan tertangkap lebih banyak. Jaring rampus juga dapat menangkap ikan dengan hasil yang lebih banyak dibanding menggunakan pancing klitik. Jaring rampus dapat menangkap ikan pada kedalaman yang lebih dalam sehingga tidak perlu bagi nelayan untuk menunggu sore hari agar ikan naik ke permukaan air. Umumnya nelayan yang menggunakan alat pancing berupa pancing rawe dan jaring rampus melakukan aktifitas melaut mulai pukul 23.00 WIB - 03.00 WIB dan pulang melaut atau bongkar muatan pukul 08.00 WIB – 10.00 WIB. Jadwal tersebut sesuai dengan kegiatan lelang yang dimulai pukul 10.00 WIB. Perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan juga dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan atau keluarga. Nelayan yang mempunyai kerabat seorang langgan akan cenderung memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan tersebut. Hal ini dilakukan nelayan karena rasa sungkan nelayan apabila memasarkan hasil tangkapan ikannya di tempat lain. Menurut informan, pengaruh hubungan kekerabatan ini berada dalam jumlah yang sangat sedikit, hanya berkisar antara 0,5 sampai satu persen dari total nelayan. Pengaruh terbesar 58 pemasaran hasil tangkapan nelayan terletak pada ketergantungan finansial kepada langgan. 5.5 Analisis Pengaruh Ikatan Patron-Klien Terhadap Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan Hasil penelitian menunjukkan 72,7 persen dari nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi dan kondisi institusi TPI tinggi akan memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan. Sisanya 27,27 persen akan memasarkan kepada langgan dan TPI, dengan catatan apabila nelayan memiliki hutang kepada langgan maka akan memasarkannya kepada langgan. Akan tetapi, jika nelayan tidak memiliki hutang kepada langgan maka nelayan bebas memasarkan ikannya melalui proses lelang di TPI. Artinya 100 persen nelayan akan memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan apabila memiliki tingkat ketergantungan finansial yang tinggi. Meskipun nelayan memiliki persepsi tinggi mengenai kondisi institusi TPI tetapi nelayan juga memiliki tingkat ketergantungan finansial yang tinggi, maka nelayan akan memasarkan hasil tangkapan ikannnya kepada langgan. Tingkat ketergantungan finansial ini merupakan bagian dari ikatan patron-klien dalam aktivitas pemasaran. Ikatan patron-klien akan lebih kuat pengaruhnya pada perilaku nelayan dalam memasarkan hasil tangkapan dibandingkan dengan kondisi institusi TPI itu sendiri. Tingkat ketergantungan finansial merupakan indikator dari ikatan patronklien dalam aspek pemasaran. Pernyataan tersebut telah terbukti melalui survai yang dilakukan terhadap nelayan. Ikatan patron-klien yang terjadi dalam kehidupan nelayan berpengaruh terhadap perilaku nelayan tersebut dalam memasarkan hasil tangkapan ikannya. Pengaruh ikatan patron-klien terhadap perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan adalah nelayan memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan meskipun harga jual di langgan jauh lebih rendah dibanding di TPI. Contohnya harga ikan kuwe pada bulan maret 2011 di TPI yaitu Rp.27.000,-/kg. Sedangkan apabila dipasarkan kepada langgan ikan kuwe hanya dibeli dengan harga Rp.21.000,-/kg. Akibatnya adalah nelayan 59 semakin miskin, tidak berdaya, dan terikat kepada langgan karena faktor hutang nelayan kepada langgan bersifat persisten atau berkelanjutan. Faktor hutang diatas dapat dikatakan modified social capital yaitu menjerat nelayan agar memasarkan hasil tangkapan kepada langgan. Ikatan patron-klien ini terjadi secara alamiah karena secara otomatis nelayan miskin yang tidak memiliki modal melaut akan mencari langgan yang dapat memberikan modal melaut dan pinjaman untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Kemudian, nelayan harus menjual tangkapannya kepada langgan selama angsuran hutangnya belum lunas. Ikatan patron-klien yang terjadi dalam aktivitas pemasaran ini berdampak kepada jumlah nelayan yang menjadi anggota tetap TPI. Namun, hal tersebut pengaruhnya sangat kecil terhadap kegiatan TPI. Institusi TPI masih tetap berjalan dengan baik. Bahkan palele yang membeli pada proses lelang berasal dari berbagai kalangan seperti pedagang dan turis lokal yang sedang berkunjung. 5.6 Ikhtisar Merujuk terhadap lima bentuk hubungan yang terjadi antara patron dan klien dalam Scott (1981), patron-klien yang terjadi di Desa Tanjung Pasir tergolong dalam bentuk hubungan jaminan krisis subsistensi dimana patron dapat memberikan pinjaman pada saat klien membutuhkan uang secara cepat untuk kehidupan sehari-hari dan modal melaut. Akan tetapi, erosi patron-klien seperti yang diungkapkan oleh Scott (1972) juga terbukti. Erosi patron-klien tersebut dapat dilihat dari jasa yang diberikan oleh para patron semakin kecil terhadap klien, dimana patron lebih banyak menyerap keuntungan dari klien melalui harga beli hasil tangkapan klien yang rendah/murah. Sebagai institusi jaminan sosial ekonomi informal, patron-klien dinilai tidak mensejahterakan klien (nelayan) karena patron (langgan) dapat menghambat kemandirian finansial klien. Klien yang tidak memiliki modal melaut akan meminjam uang kepada patron karena hanya patron yang dapat meminjamkan modal melaut. Faktor hutang dari modal melaut tersebut dapat dikatakan menjerat nelayan karena nelayan harus memasarkan hasil tangkapan kepada patron tersebut dengan harga jual yang ditentukan patron. Ketergantungan finansial antara klien terhadap patron akan terjadi secara berkelanjutan atau terus-menerus karena tidak 60 ada institusi lain selain patron-klien yang dapat memberikan modal melaut. Patron-klien dapat disederhanakan menjadi jerat sosial karena langgan secara tidak langsung membuat nelayan menjadi tergantung dan tidak berdaya. Kegiatan Lelang Nelayan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palele (meliputi Langgan) Konsumen Gambar 16. Arah Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan yang Diharapkan Institusi TPI dinilai baik dalam menjaga stabilitas harga ikan. Tingginya harga ikan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan nelayan. Selain untuk mensejahterakan nelayan, fungsi penting dari institusi TPI adalah sebagai pusat pengumpulan data. Tujuan dari pengumpulan data tersebut adalah agar diperoleh data yang valid untuk pengelolaan sumberdaya perikanan. Patron-klien dapat dielaborasi dengan TPI, apabila terdapat koperasi nelayan yang dapat menyediakan modal melaut kepada nelayan. Namun, apabila permasalahan modal nelayan tidak dapat terpenuhi oleh koperasi, maka institusi patron-klien akan tetap ada dan nelayan tetap terikat dalam hubungan patron-klien tersebut. Rute baru pemasaran yang diharapkan adalah terjadi elaborasi antara institusi patron-klien dengan institusi TPI (Gambar 16). Elaborasi dapat dilakukan dengan cara memasukkan langgan ke dalam kegiatan lelang di TPI, dimana langgan (patron) dapat menjadi palele. Jika jumlah palele semakin banyak, maka harga hasil tangkapan/harga ikan nelayan posisi tawarnya akan semakin tinggi sehingga akan meningkatkan harga ikan. Jika harga ikan meningkat, maka pendapatan nelayan akan bertambah dan akan berdampak kepada kesejahteraan nelayan. 6. PENUTUP 6.1 Kesimpulan Analisis tentang hubungan patron-klien terhadap perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan menyimpulkan bahwa cukup alasan untuk menerima hipotesis: 1) Terdapat hubungan pengaruh antara tingkat pendidikan nelayan dengan tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi. Hal ini dapat dilihat dari semakin rendah tingkat pendidikan nelayan maka semakin tinggi tingkat ketergantungan finansial nelayan. 2) Terdapat hubungan pengaruh antara tingkat pendapatan nelayan dengan tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi. Hal ini dapat dilihat dari semakin rendah tingkat pendapatan nelayan maka semakin tinggi tingkat ketergantungan finansial nelayan. 3) Terdapat hubungan pengaruh antara jenis alat tangkap dengan tingkat ketergantungan finansial nelayan. Responden nelayan pancing lebih cenderung memiliki tingkat ketergantungan tinggi dibanding responden nelayan jaring. 4) Terdapat hubungan pengaruh antara tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Hal ini ditunjukkan dari responden yang memiliki tingkat ketergantungan finansial tinggi akan memilih untuk memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan karena keterikatan hutang. 5) Terdapat hubungan pengaruh antara persepsi nelayan mengenai kondisi TPI dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Hipotesis lima terbukti dengan alasan semakin tinggi persepsi responden nelayan mengenai kondisi institusi TPI maka semakin cenderung responden memasarkan hasil tangkapan ikannnya melalui proses lelang di TPI. Perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan dalam kasus ini adalah nelayan dapat memilih antara langgan ataupun institusi TPI sebagai tempat pemasaran. Faktor penarik nelayan dalam menjual hasil tangkapannya kepada 62 langgan adalah: (1) langgan dapat meminjamkan modal melaut kepada nelayan, (2) langgan dapat dengan cepat memberikan hutang kepada nelayan untuk kebutuhan sehari-hari, dan (3) langgan memberikan kepastian dalam membeli hasil tangkapan nelayan. Faktor pendorong nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan tidak kepada langgan adalah: (1) nelayan sadar manfaat dan kegunaan TPI, dan (2) kondisi fisik dan non-fisik institusi TPI baik. Ikatan patron-klien yang terjadi mengikat nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan dan berdampak terhadap kegiatan lelang di institusi TPI. Dampak dari ikatan patron-klien terhadap TPI terletak pada jumlah nelayan yang menjadi anggota tetap TPI. Dampak besar dirasakan oleh nelayan yang tidak menjadi anggota TPI karena penghasilan nelayan akan terus rendah terkait dengan harga yang ditawarkan langgan lebih rendah dibandingkan harga lelang di TPI. Nelayan akan terus bergantung kepada langgan karena belum ada institusi lain selain langgan yang dapat meminjamkan modal melaut secara cepat dan mudah. 6.2 Saran Upaya pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat nelayan dilakukan dengan pemberian bantuan ataupun kebijakan yang berkaitan dengan mayarakat pesisir. Bantuan dan kebijakan tersebut seharusnya dibuat melalui observasi terlebih dahulu ke daerah pesisir yang dituju. Tujuan dari observasi tersebut adalah untuk mengetahui dan memahami struktur sosial masyarakat pesisir pada daerah yang dituju, karena setiap daerah pesisir memiliki struktur sosial dan kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda. Penjajakan perlu dilakukan agar pemerintah mudah memberikan pemahaman dan memberikan kesadaran kepada nelayan sehingga nelayan sukarela dalam melaksanakan peraturan tersebut dan bukan karena paksaan pemerintah. Jika nelayan menggunakan TPI karena peraturan pemerintah maka TPI akan berfungsi diawal pendirian saja dan tidak berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk merevitalisasi institusi TPI: 1) Pemberian modal melaut bergilir bagi nelayan yang tidak memiliki modal melaut melalui koperasi nelayan. 63 2) Strategi komunikasi pemasaran yang tepat untuk mendatangkan banyak palele dari dalam maupun dari luar desa. Bahkan wisatawan lokal maupun asing pun dapat ikut serta menjadi palele dalam kegiatan lelang. 3) Membenahi sistem pasar secara perlahan yaitu dengan cara sedikit demi sedikit mengurangi jumlah langgan. Hal tersebut dimaksudkan agar langgan mau dan ikut serta dalam kegiatan lelang yaitu dengan menjadi palele. DAFTAR PUSTAKA Duverger M. 2007. Sosilogi Politik. Jakarta [ID]: Rajawali Pres. 426 hal. Fauzi A, Suzy A. 2005. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta [ID]: PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal. Gillin JL, Gillin JP. 1954. Cultural Sociology (3rd printing). New York [US]: The Macmillan Co. 844 hal. Kotler P. 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Kontrol, Edisi Indonesia. Jakarta [ID]: PT. Prenhallindo. Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta [ID]: Ar-ruzz Media. 161 hal. Mubyarto, et.al. 1984. Nelayan dan Kemiskinan Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta [ID]: Rajawali Pers. 195 hal. Muhidin AM, Adurahman M. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam Penelitian. Bandung [ID]: Pustaka Setia. 280 hal. Pramitasari SD, Anggoro S, Susilowati I. 2006. Analisis Efisiensi TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Kelas 1, 2, dan 3 di Jawa Tengah dan Pengembangannya untuk Peningkatan Kesejahteraan Nelayan. Dalam Jurnal Pasir Laut 2:12-21. Rangkuti F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta [ID]: PT. Gramedia Pustaka Umum. 177 hal. Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta [ID]: PT. Pustaka Cidesindo. 130 hal. _________. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPB Press. 144 hal. _________. 2009. Ekologi Nelayan Politik. Yogyakarta [ID]: LkiS. 410 hal. Scott JC. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta [ID]: LP3ES. 369 hal. _______. 1972. The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia. Journal of Asian Studies, 32:1, November 1972, hal. 5-37. 65 Silalahi DG. 2006. Efektivitas Kelembagaan Tempat Pelelangan Ikan Sebagai Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Nelayan. Kasus Kelembagaan TPI Kelurahan Palabulanratu, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Mugniesyah SS. 2006. Pendidikan Orang Dewasa. Bogor [ID]: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. 205 hal. Riddell S, Baron S, Wilson A. 2001. The Learning Society and People with Learning Difficulties. Great Britain [UK]: The Policy Press. Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES. 336 hal. Sunarto K. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta [ID]: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 266 hal. Samsulbahri. 1995. Nelayan dan Kemiskinan: Suatu Studi tentang Pola Hubungan Patron-Klien di Riau. [tesis]. Yogyakarta [ID]: Universitas Gajah Mada. Tim Editor Sosiologi Umum Institut Pertanian Bogor. 2003. Sosiologi Umum. Bogor [ID]: Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Pustaka Wirausaha Muda. 114 hal. Wahyuni ES, Mulyono P. 2003. Metode Penelitian Sosial. Bogor [ID]: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB. 102 hal. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta [ID]: PT Gramedia Pustaka Umum. 515 hal. Widayanti T. 2008. Analisis Efisiensi Teknis Tempat Pelelangan Ikan dan Tingkat Keberdayaan Pengelola Tempat Pelelangan Ikan serta Strategi Pemberdayaannya di Wilayah Pantai Utara Jawa Tengah [tesis]. Semarang [ID]: Universitas Diponegoro. 191 hal. Widodo J, Suadi. 2006. Pengelola Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta [ID]: Gajah Mada University Press. 66 Widyastuti R. 1999. Keadaan Pelelangan Ikan dan Sikap Nelayan terhadap Tempat Pelelangan Ikan Palabulanratu, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Wrihatnoto RR, Dwidjowijoto RN. 2007. Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta [ID]: Elex Media Komputindo. 323 hal. LAMPIRAN Lampiran 1. Uji Validitas dan Realiabilitas Responden *Pemasaran K1 K2 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 TOTAL I1 I2 I3 I4 I5 I6 TOTAL 1 L 1 1 2 L 1 1 3 L 1 2 4 L 1 1 5 L 1 2 6 L 1 2 7 L 1 1 8 L 1 1 9 T 1 3 10 T 1 3 11 B 2 2 12 T 2 3 13 B 1 1 14 B 1 1 15 B 1 1 16 T 2 2 17 T 2 2 18 T 1 2 19 T 1 3 20 T 1 3 21 T 1 2 22 T 1 2 23 T 2 2 24 L 1 1 25 L 1 1 26 B 1 1 27 B 1 1 28 B 1 3 29 T 1 3 30 T 1 2 31 T 1 2 32 T 1 2 33 T 1 2 34 T 1 3 35 T 1 2 36 T 1 2 37 T 1 2 38 T 1 3 39 T 1 2 40 T 1 2 2 2 2 2 2 0 0 2 12 2 2 2 2 2 0 0 2 12 2 2 2 2 1 1 1 2 13 2 2 2 2 2 2 1 2 15 2 0 2 0 2 0 0 0 6 2 0 2 0 2 0 0 0 6 2 2 2 2 2 2 2 2 16 2 2 2 2 2 2 2 2 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 1 0 1 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 0 0 2 12 2 2 2 2 2 0 0 2 12 2 2 2 2 2 0 0 2 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 0 0 2 12 2 2 2 2 2 0 0 2 12 2 2 2 2 2 1 0 1 12 2 2 2 2 2 0 0 2 12 2 1 2 2 2 0 0 1 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 10 0 2 2 2 1 2 9 0 2 2 1 1 2 8 0 2 2 2 2 2 10 0 2 2 2 2 2 10 0 2 2 2 2 2 10 2 2 2 2 0 2 10 2 2 2 2 0 2 10 2 2 2 2 2 2 12 2 2 2 2 2 2 12 2 2 2 2 2 2 12 2 2 2 2 2 2 12 1 1 1 1 0 1 5 1 1 1 1 0 1 5 1 1 1 1 0 1 5 2 2 2 2 2 2 12 2 2 2 2 2 2 12 2 0 2 2 2 2 10 2 2 2 2 2 2 12 2 1 2 2 2 2 11 2 2 2 2 1 1 10 2 1 2 2 2 1 10 2 2 2 1 2 2 11 2 2 2 1 2 2 11 2 2 2 2 2 2 12 2 2 2 2 2 2 12 1 2 2 2 2 2 11 1 2 2 2 2 2 11 2 2 2 2 2 2 12 2 2 2 2 2 2 12 2 2 2 2 2 2 12 2 1 2 2 2 2 11 2 1 2 2 2 2 11 2 1 2 2 2 2 11 2 1 2 2 2 2 11 2 1 2 2 2 2 11 2 1 2 2 2 2 11 2 1 2 2 2 2 11 2 2 2 2 2 2 12 *Keterangan: L= Langgan ; T= TPI; B= Langgan dan TPI 0,52045 0,92003 valid valid 0,52045 0,92003 reliabel reliabel 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,95989 0,96301 0,95989 0,96412 0,94315 0,61366 0,52847 0,9462 valid valid valid valid valid valid valid valid 0,94779 0,96109 0,94779 0,96519 0,97764 0,51747 0,50256 0,94745 reliabel reliabel reliabel reliabel reliabel reliabel reliabel reliabel 2 2 2 2 2 2 12 0,52115 0,37848 0,85738 0,69511 0,79485 0,72795 valid valid valid valid valid valid 0,52115 0,37848 0,85738 0,69511 0,79485 0,72795 reliabel reliabel reliabel reliabel reliabel reliabel Lampiran 2. Peta Desa Tanjung Pasir Skala: satu mili inchi banding dua kilometer Lampiran 3. Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN Nomor Responden : PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU NELAYAN DALAM PEMASARAN HASIL TANGKAPAN (Kasus: Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten) Kuesioner ini merupakan salah satu instrumen penelitian yang dilakukan oleh: Nama : Diah Ayu Ningsih NRP : I34070107 RAHASIA Fakultas/Departemen : Fakultas Ekologi Manusia/ Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Perguruan tinggi : Institut Pertanian Bogor Mohon kesedian saudara untuk mengisi kuesioner ini dengan jawaban yang sebenarnya dan saya menjamin kerahasiaan identitas anda. Terimakasih. Nama Responden : Umur : Jenis Kelamin : Alamat : Lama tinggal di Desa Tanjung Pasir : Lama menjadi menjadi nelayan : Jenis Alat Tangkap : a. Jaring Rampus b. Pancing (Pancing Rawe, Pancing Klitik) Aktivitas Melaut : Berangkat melaut Pulang melaut Modal Melaut : pukul............WIB : pukul.............WIB : ...............................rupiah 71 Menjual hasil tangkapan kepada : a. Langgan b. TPI c. Langgan dan TPI A. Pertanyaan yang berhubungan dengan karakteristik nelayan 1. Apakah tingkat pendidikan terakhir anda? Tamat SMA Perguruan Tinggi Tamat SMP Tidak tamat SMP Tamat SD Tidak tamat SD Tidak bersekolah 2. Berapakah penghasilan per-bulan anda? Kurang dari Rp.500.000,Rp.500.000,- sampai Rp.1.500.000,Lebih dari Rp.1.500.000,- B. Pernyatan yang berhubungan dengan Tingkat Ketergantungan Finansial Pilihlah pernyataan di bawah ini dengan benar! No 1 Pernyataan Anda menjual hasil tangkapan anda kepada langgan 2 Langgan memberikan modal melaut kepada anda 3 Langgan meminjamkan uang secara cepat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga anda 4 Hutang terhadap langgan mengikat anda dalam hal pemasaran hasil tangkapan 5 Harga jual hasil tangkapan anda ke langgan Setuju Ragu- Tidak ragu Setuju 72 lebih murah dibanding harga yang ditawarkan dalam proses lelang 6 Langgan menyediakan alat tangkap untuk anda melaut 7 Langgan mempengaruhi anda dalam penggunaan alat tangkap 8 Anda tidak dapat melaut apabila tidak meminjam uang kepada langgan C. Pertanyaan Mengenai Persepsi Nelayan tentang Kondisi TPI No 1 Kondisi Waktu lelang di TPI sesuai dengan jadwal melaut anda. 2 Kebersihan di TPI terjaga. 3 Tarif retribusi TPI tergolong normal dan tidak memberatkan nelayan. 4 Harga lelang di TPI tergolong tinggi. 5 Kinerja pengelola TPI baik. 6 Kondisi gedung dan peralatan lelang di TPI masih bagus. Setuju Ragu- Tidak Ragu Setuju 73 D. Pernyataan Pendukung Penelitian Faktor penarik nelayan dalam menjual hasil tangkapannya kepada langgan. No Pernyataan Ya 1 Anda harus menjual hasil tangkapan ikan anda kepada langgan karena keterikatan hutang 2 Langgan menghargai hasil tangkapan ikan anda dengan harga murah atau dibawah harga pasar. 3 Anda menjual hasil tangkapan ikan ke langgan karena terpaksa 4 Anda menjual hasil tangkapan ikan kepada langgan karena mendapatkan kepastian dari langgan untuk membeli tangkapan anda. 5 Tidak ada institusi lain selain langgan memberikan pinjaman untuk modal melaut 6 Bunga yang diberikan langgan tinggi yang Tidak Lampiran 4. Pedoman Wawancara Mendalam PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU NELAYAN DALAM PEMASARAN HASIL TANGKAPAN (Studi Kasus: TPI Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten) A. Pedoman Wawancara Mendalam untuk Pemerintah Desa Hari/Tanggal/Lokasi Wawancara : Nama dan Umur Informan : Alamat / No. Telp : Pertanyaan: 1. Bagaimana kondisi social dan ekonomi di Desa ini? 2. Bagaimana kondisi TPI Tanjung Pasir? 3. Bagaimana respon dan sikap nelayan terhadap TPI? 4. Mengapa nelayan banyak yang menjual hasil tangkapannya kepada langgan? 5. Faktor apa saja yang menyebabkan nelayan menjual hasil tangkapannya kepada langgan? 6. Apa saja peran pemerintah dalam memajukan kegiatan lelang di TPI? 7. Hal apa saja yang perlu diperbaiki pada TPI Tanjung Pasir? B. Pedoman Wawancara Mendalam untuk Langgan Hari/Tanggal/Lokasi Wawancara : Nama dan Umur Informan : Alamat / No. Telp : Pertanyaan: 1. Sejak kapan anda menjadi tengkulak di wilayah TPI Tanjung Pasir? 75 2. Apakah anda memberikan pinjaman kepada nelayan sebelum nelayan melaut? Seberapa besar? 3. Apa alasan anda memberikan pinjaman atau hutang kepada nelayan? 4. Setelah membeli ikan dari nelayan, kemana anda akan menjual ikan tersebut? C. Pedoman Wawancara Mendalam untuk Nelayan Hari/Tanggal/Lokasi Wawancara : Nama dan Umur Informan : Alamat / No. Telp : Pertanyaan: 1. Bagaimana kondisi masyarakat nelayan di kawasan Tanjung Pasir? 2. Kemana kecenderungan nelayan dalam menjual hasil tangkapan? Mengapa? 3. Bagaimana respon nelayan dengan adanya TPI? 4. Bagaimana kestabilan harga di TPI? 5. Apa saja keuntungan menggunakan TPI? 6. Apa saja peran pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan? D. Pedoman Wawancara Mendalam untuk Pengelola TPI Hari/Tanggall/Lokasi Wawancara : Nama dan Umur Informan : Alamat / No. Telp : Pertanyaan: 1. Bagaimana aktivitas TPI akhir-akhir ini? 2. Bagaimana kestabilan harga di TPI? 3. Keuntungan apa saja yang diperoleh nelayan apabila menjual ikannya di TPI? 4. Bagaimana prosedur yang dilakukan nelayan juka ingin mengikuti proses lelang di TPI? 5. Apa saja peran pemerintah dalam membangun TPI? 6. Apa yang perlu diperbaiki pada institusi TPI Tanjung Pasir? Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian Foto 1. Daerah Tempat Tinggal Nelayan Desa Tanjung Pasir Foto 2. Kondisi Pendaratan Perahu Nelayan di Pantai Tanjung Pasir 77 Foto 3. Foto 4. Nelayan yang Sedang Melakukan Bongkar Muatan Hasil Tangkapan Pelaksanaan Lelang di TPI 78 Foto 5. Jenis-Jenis Ikan yang Dilelang di TPI Foto 6. Kondisi Ikan yang Telah Diikat dan Dijejer untuk Lelang di TPI 79 Foto 7. Penjualan Ikan Kepada Langgan Foto 8. Menggali Data terhadap Responden 80 Foto 9. Jaring Rampus Foto 10. SPBN