Pengaruh ikatan patron-klien terhadap perilaku nelayan

advertisement
 PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU NELAYAN
DALAM PEMASARAN HASIL TANGKAPAN
(Kasus: Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)
Oleh:
Diah Ayu Ningsih
I34070107
Dosen Pembimbing:
Dr. Arif Satria, SP, MSi
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ABSTRACT
This paper focuses on the effect of patron-client ties to the behavior of fishermen
in marketing the catch: Case Tanjung Pasir Village, Teluknaga Subdistrict,
Tangerang District, Banten Province. The purpose of this study is to: (1) identify
the level of financial dependence in patron-client ties, (2) determine the behavior
of fishermen in marketing the catch, and (3) analyze the influence of patron-client
ties to the behavior of fishermen in the marketing of the catch. The results showed
that: (1) there is a relationship between the level of fishers’ education and the
level of their financial dependence on patron-client ties, (2) there is a relationship
between the level of fishers’ income and the level of financial dependence on
patron-client ties, (3) there is a relationship between the type of fishing gear and
the level of financial dependence on patron-client ties, (4) there is a relationship
between the level of financial dependence and the behavior of fishermen in
marketing the catch, and (5) there is a relationship between the perceptions about
fish auction place condition and the behavior of fishermen in marketing the catch. Keywords: Financial Dependence Levels, Fish Auction Place, Fishermen, PatronClient Ties.
RINGKASAN
DIAH AYU NINGSIH. Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Perilaku Nelayan
dalam Pemasaran Hasil Tangkapan: Kasus Desa Tanjung Pasir, Kecamatan
Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. (Di Bawah Bimbingan ARIF
SATRIA).
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang kaya akan
sumberdaya laut dan seharusnya dapat memberikan peluang bagi masyarakat
nelayan. Akan tetapi, potensi tersebut belum mampu mensejahterakan nelayan
karena 32,14 persen masyarakat nelayan masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Menjalin ikatan dengan patron sangat penting dilakukan klien untuk menjaga
kelangsungan kegiatannya karena patron-klien merupakan institusi jaminan sosial
ekonomi. Usaha pemerintah untuk mensejahterakan nelayan adalah dengan
membangun institusi TPI, tetapi tidak semua nelayan memanfaatkan TPI karena
pemasaran hasil tangkapan nelayan dipengaruhi oleh ikatan patron-klien. Tujuan
penulisan ini adalah untuk: (1) mengetahui masalah yang terjadi dalam tataniaga
hasil tangkapan nelayan, (2) mengidentifikasi tingkat ketergantungan finansial
nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi, (3) mengetahui perilaku nelayan
dalam pemasaran hasil tangkapan, dan (4) menganalisis pengaruh ikatan patronklien terhadap perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan.
Penelitian dilakukan di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga,
Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Metode yang digunakan adalah
pendekatan kuantitatif dan didukung pendekatan kualitatif. Populasi penelitian ini
adalah nelayan dengan unit analisis adalah individu. Penentuan responden
menggunakan Simple Random Sampling yaitu sebanyak 40 orang. Teknik analisis
data kuantitatif menggunakan teknik analisa data deskriptif, sedangkan teknik
analisis data kualitatif menggunakan konsep Miles dan Hubermas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) semakin rendah tingkat
pendidikan nelayan maka semakin tinggi tingkat ketergantungan finansial
nelayan, (2) semakin rendah tingkat pendapatan nelayan maka semakin tinggi
iv
tingkat ketergantungan finansial nelayan, (3) nelayan yang memiliki tingkat
ketergantungan finansial tinggi akan memilih untuk memasarkan hasil tangkapan
ikannya kepada langgan, (4) nelayan pancing lebih cenderung memiliki tingkat
ketergantungan tinggi dibanding nelayan jaring, dan (5) semakin tinggi persepsi
nelayan mengenai kondisi institusi TPI maka semakin cenderung nelayan
memasarkan hasil tangkapan ikannya melalui TPI. Ketergantungan finansial
nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi dapat dilihat dari: (1) nelayan tidak
dapat melakukan aktifitas melaut apabila tidak meminjam uang sebagai modal
melaut kepada langgan, (2) nelayan harus memasarkan hasil tangkapan ikan
kepada langgan karena keterikatan hutang terhadap langgan tersebut, (3) nelayan
tetap memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan meskipun harga yang
ditawarkan langgan lebih rendah dibandingkan harga lelang di TPI, (4) nelayan
memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan karena terpaksa, dan (5)
nelayan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan karena mendapatkan
kepastian dari langgan untuk membeli hasil tangkapannya.
Nelayan dapat memilih antara langgan ataupun TPI sebagai tempat
pemasaran hasil tangkapan. Faktor penarik nelayan dalam menjual hasil
tangkapan kepada langgan adalah: (1) langgan dapat meminjamkan modal melaut
kepada nelayan, (2) langgan dapat dengan cepat memberikan hutang kepada
nelayan untuk kebutuhan sehari-hari, dan (3) langgan memberikan kepastian
dalam membeli hasil tangkapan nelayan. Selain kepada langgan, nelayan juga
dapat memasarkan hasil tangkapan ke melalui institusi TPI. Faktor pendorong
nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan tidak kepada langgan adalah: (1)
nelayan sadar manfaat dan kegunaan TPI, dan (2) kondisi Fisik dan non-fisik
institusi TPI baik. Analisis ikatan patron-klien terhadap perilaku nelayan dalam
pemasaran hasil tangkapan menunjukkan bahwa 72,7 persen dari nelayan yang
memiliki tingkat ketergantungan tinggi dan persepsi nelayan mengenai kondisi
TPI tinggi akan memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan. Sisanya 27,27
persen akan memasarkan kepada langgan dan TPI, dengan catatan apabila nelayan
memiliki hutang kepada langgan maka nelayan akan memasarkannya kepada
langgan, jika nelayan tidak memiliki hutang kepada langgan maka nelayan bebas
memasarkan ikannya melalui TPI.
PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU NELAYAN
DALAM PEMASARAN HASIL TANGKAPAN
(Kasus: Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)
Oleh:
Diah Ayu Ningsih
I34070107
Skripsi
Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ii
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh:
Nama Mahasiswa
: Diah Ayu Ningsih
Nomor Pokok
: I34070107
Departemen
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul
: Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Perilaku Nelayan dalam
Pemasaran Hasil Tangkapan (Kasus: Desa Tanjung Pasir,
Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Komunikasi dan Pengembanangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Menyetujui.
Dosen Pembimbing
Dr. Arif Satria, SP, MSi
NIP. 19710917 199702 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS
NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan:
iii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU NELAYAN
DALAM PEMASARAN HASIL TANGKPAN (KASUS DESA TANJUNG
PASIR,
KECAMATAN
TELUKNAGA,
KABUPATEN
TANGERANG,
PROVINSI BANTEN), ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN
BELUM
PERNAH
DIAJUKAN
SEBAGAI
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI MANAPUN, SEMUA DATA DAN INFORMASI
YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN
DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, Juni 2011
Diah Ayu Ningsih
I34070107
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala
rahmat dan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil
Tangkapan” dengan baik.
Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Allah SWT pengatur dan pemerlancar segala urusan. Atas rahmat dan
ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
2. Dr. Arif Satria, SP, MSi, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
memberikan banyak waktu dan tenaga untuk dapat membimbing, memberi
saran, kritik, bantuan baik moril maupun materil serta motivasi yang
demikian besarnya sehingga Skripsi ini dapat selesai dengan baik dan tepat
waktu.
3. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc sebagai dosen penguji utama dan
Martua Sihaloho, SP, MSi sebagai dosen penguji wakil departemen.
4. Kedua orangtua tercinta Sukarjo dan Sumiati serta seluruh keluarga besar
atas segala doa yang mengalir tanpa diminta.
5. Anggi Akhirta Muray,
Dinda Thalita, Yuvita Amalia Pohan, Wina
Ekawati, Marifatu’rodiah, Dewi Vivi Vanadiani, Rahmawati (Ira), Alfian
Helmi, Novita Randan, Yossika, Aini Zahra, Uun, tante Rukmana, Mbak
Pipit, teman-teman satu Departemen KPM khususnya KPM 44,
Departemen lain, B14 ada disini, dan segala pihak
yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
6. Bapak Suryadi (Ketua TPI Tanjung Pasir) dan pengurus lainnya yang telah
membantu dalam proses pengumpulan data, serta Ibu Nining atas
penginapan di mes DKP Tanjung Pasir.
v
RIWAYAT HIDUP
Diah Ayu Ningsih dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Agustus 1989.
Pendidikan yang telah ditempuh adalah taman kanak-kanak selama dua tahun di
TK Anyelir Jakarta, sekolah dasar selama enam tahun di SDN 03 Jakarta, sekolah
menengah pertama selama tiga tahun di SMPN 102 Jakarta, dan sekolah menegah
atas selama tiga tahun di SMAN 98 Jakarta. Masuk universitas pada tahun 2007 di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Pemerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB). Penulis merupakan mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) dengan
minor Kewirausahaan Agribisnis. Penulis memiliki minat pada dunia junalistik.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberi
rahmat-Nya sehingga Skripsi yang berjudul “Pengaruh Ikatan Patron-Klien
terhadap Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan (Kasus: Desa
Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi
Banten)” dapat penulis selesaikan dengan baik. Judul ini penulis angkat atas
dasar realita sosial yang terjadi di masyarakat pesisir yaitu ikatan patron-klien
dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan yang dinilai sangat merugikan nelayan.
Usaha pemerintah dalam mensejahterakan nelayan telah dilakukan dengan
mendirikan Tempat Pelelangan Ikan untuk menjaga stabilitas harga tangkapan.
Akan tetapi, usaha pemerintah tersebut belum tentu berhasil jika dalam struktur
sosial masyarakat nelayan masih terdapat ikatan patron-klien sehingga nelayan
cenderung memasarkan hasil tangkapan mereka kepada tengkulak yang harga jual
hasil tangkapannya rendah. Oleh karena itu diperlukan upaya lain dan kebijakan
yang tepat untuk mensejahterakan nelayan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Arif Satria, SP,
MSi yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis
juga berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan memberi
dukungan selama proses penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menjadi
dasar yang baik untuk penelitian yang akan dilakukan serta bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya.
Bogor, Juni 2011
Diah Ayu Ningsih
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL...........................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
xvi
1. PENDAHULUAN.....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang..................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah..........................................................................
3
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................
4
1.4 Kegunaan Penelitian.........................................................................
4
2. PENDEKATAN TEORITIS....................................................................
5
2.1 Tinjauan Pustaka...............................................................................
5
2.1.1 Masyarakat Pesisir.......................................................................
5
2.1.2 Nelayan................................................................................
6
2.1.3 Struktur Sosial Masyarakat Nelayan...........................................
7
2.1.3.1 Patron-Klien.........................................................................
8
2.1.3.2 Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan...............................
12
2.1.4 Teori Pertukaran..........................................................................
13
2.1.5 Teori Modal Sosial......................................................................
13
2.1.6 Perilaku........................................................................................
14
2.1.7 Pemasaran....................................................................................
14
2.1.8 Institusi........................................................................................
14
xii
2.1.9 Tempat Pelelangan Ikan (TPI).....................................................
15
2.1.9.1 Fungsi, Manfaat, dan Tujuan TPI........................................
15
2.1.9.2 Teknis Pelelangan Ikan........................................................
16
2.1.9.3 Status dan Peranan dalam Institusi TPI...............................
18
2.2 Kerangka Pemikiran…………………………………………….....
20
2.3 Hipotesis Penelitian……………………………………………......
22
2.4 Definisi Operasional…………………………………………….....
22
3. PENDEKATAN LAPANGAN.................................................................
25
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................
25
3.2 Teknik Pengumpulan Data................................................................
25
3.3 Populasi dan Sample.........................................................................
26
3.4 Uji Validitas dan Realibilitas............................................................
28
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data..............................................
29
4. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN..................................................
31
4.1 Sejarah Desa Tanjung Pasir..............................................................
31
4.2 Kondisi Geografis Desa Tanjung Pasir.............................................
31
4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Desa Tanjung Pasir...................................
32
4.4 Kondisi Sosial Budaya Desa Tanjung Pasir.....................................
33
4.5 Kondisi Perikanan Desa Tanjung Pasir............................................
34
xiii
5. PENGARUH
IKATAN
PATRON-KLIEN
TERHADAP
PERILAKU NELAYAN DALAM PEMASARAN HASIL
TANGKAPAN..........................................................................................
41
5.1 Ikatan Patron-Klien...........................................................................
41
5.2 Masalah dalam Tataniaga Hasil Tangkapan Nelayan......................
43
5.3 Kondisi Tingkat Ketergantungan......................................................
44
5.3.1 Hubungan antara Tingkat Pendidikan Nelayan dengan
Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan............................
45
5.3.2 Hubungan antara Tingkat Pendapatan Nelayan dengan
Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan............................
5.3.3 Hubungan antara
Jenis Alat Tangkap dengan Tingkat
Ketergantungan Finansial Nelayan.........................................
5.3.4 Hubungan
antara
46
47
Tingkat Ketergantungan Finansial
Nelayan dengan Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil
Tangkapan...............................................................................
48
5.4 Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan....................
51
5.5 Analisis Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Perilaku Nelayan
dalam Pemasaran Hasil Tangkapan..................................................
58
5.6 Ikhtisar..............................................................................................
59
6. PENUTUP.................................................................................................
61
6.1. Kesimpulan.......................................................................................
61
6.2. Saran.................................................................................................
62
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
64
DAFTAR TABEL
Nomor
Naskah
Halaman
Tabel 1. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir di Indonesia............................
Tabel 2.
5
Status dan Peranan dalam Masyarakat Nelayan..............................
12
Tabel 3. Keuntungan Jasa Tempat Pelelangan Ikan......................................
16
Tabel 4.
Status dan Peranan Komponen Pokok Pelelangan Ikan..................
18
Tabel 5.
Status dan Peranan Komponen dalam Pelaksanaan Proses Lelang.
19
Tabel 6. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011....................................
25
Tabel 7.
Daftar Fasilitas Pokok PPI Tanjung Pasir.......................................
35
Tabel 8.
Daftar Fasilitas Fungsional PPI Tanjung Pasir...............................
36
Tabel 9.
Ikan Dominan yang Didaratkan di PPI Tanjung Pasir....................
37
Tabel 10. Kalender Musim Penangkapan Ikan...............................................
39
Tabel 11. Data Produksi Ikan Hasil Tangkapan..............................................
39
Tabel 12. Hubungan
antara
Tingkat
Pendidikan
Nelayan
dengan
Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan...................................
Tabel 13. Hubungan
antara Tingkat
Pendapatan
Nelayan
dengan
Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan…………...................
Tabel 14. Hubungan
antara Jenis Alat
Tangkap
dengan
47
Tingkat
Ketergantungan Finansial Nelayan...............................................
Tabel 15. Hubungan antara Tingkat Ketergantungan Finansial
46
48
terhadap
Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan..................
49
Tabel 16. Hubungan antara Persepsi Nelayan mengenai Kondisi Institusi
TPI
dengan
Perilaku
Nelayan
dalam
Pemasaran
Hasil
Tangkapan......................................................................................
52
Tabel 17. Status dan Peran Pengelola TPI......................................................
55
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Naskah
Halaman
Gambar 1. Mekanisme Pelelangan Ikan..........................................................
17
Gambar 2.
21
Kerangka Pemikiran......................................................................
Gambar 3. Kerangka Percontohan Penelitian.................................................. 27
Gambar 4.
Diagram Jumlah Pendudukan Berdasarkan Mata Pencaharian.....
32
Gambar 5.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan.....................
33
Gambar 6.
Diagram Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut...... 34
Gambar 7.
Struktur Organisasi PPI Tanjung Pasir..........................................
Gambar 8.
Struktur Organisasi TPI Tanjung Pasir.......................................... 38
35
Gambar 9. Prakiraan Perbandingan Jumlah Produksi Ikan Berdasarkan
Jenis Ikan di TPI Tanjung Pasir....................................................
40
Gambar 10. Fluktuasi Jumlah Produksi dan Nilai Produksi Ikan di TPI..........
42
Gambar 11. Diagram Pembagian Hasil Melaut................................................. 45
Gambar 12. Diagram Arah Pemasaran Nelayan yang Memiliki Tingkat
Ketergantungan Tinggi.................................................................. 50
Gambar 13. Diagram Arah Pemasaran Nelayan yang Memiliki Tingkat
Ketergantungan Rendah................................................................
51
Gambar 14. Mekanisme Pemasaran Ikan melalui TPI......................................
54
Gambar 15. Mekanisme Pemasaran Ikan Kepada Langgan.............................. 56
Gambar 16. Arah Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan yang Diharapkan......
60
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Naskah
Halaman
Lampiran 1. Uji Validitas dan Reliabilitas.......................................................
68
Lampiran 2. Peta Desa...................................................................................... 69
Lampiran 3. Kuesioner.....................................................................................
70
Lampiran 4. Pedoman Wawancara................................................................... 74
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian...............................................................
76
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) menyebutkan bahwa letak
geografis negara Indonesia dikelilingi lautan dengan garis pantai sepanjang
95.181 km dan luas laut sekitar 5,8 juta km² (0,8 juta km² perairan territorial; 2,3
juta km² perairan nusantara; dan 2,7 juta perairan Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia). Indonesia disebut juga sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
yang terdiri dari 17.504 pulau dengan segala kekayaan sumberdaya di dalamnya.
Dengan potensi sumberdaya laut seperti itu maka seharusnya dapat memberikan
peluang bagi masyarakat nelayan. Menurut Fauzi (2005) dalam Widayanti
(2008), pembangunan perikanan dan kelautan di Indonesia seolah menghadapi
dilema. Di satu sisi, Indonesia dihadapkan pada sumberdaya perikanan dan
kelautan yang kaya dan mampu menghasilkan potensi ekonomi yang tidak sedikit.
Akan tetapi kenyataannya, di sisi lain, potensi tersebut belum juga mampu
meningkatkan ekonomi para pelakunya secara signifikan.
Nelayan bukan merupakan suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari
beberapa kelompok yang saling berinteraksi atau mempunyai hubungan sosial
yang terpola dan dapat disebut sebagai pengorganisasian sosial. Pola-pola dalam
pengorganisasian sosial itu disebut struktur sosial. Menurut Satria (2002), ciri
umum struktur sosial dalam masyarakat nelayan adalah kuatnya ikatan patronklien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat
kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi
nelayan, menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk
menjaga kelangsungan kegiatannya karena patron-klien merupakan institusi
jaminan sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum
menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial
ekonomi mereka. Keadaan tersebut tampak tidak lepas dari struktur sosial
masyarakat nelayan dan upaya-upaya pemerintah yang dapat dilakukan untuk
pembangunan perikanan dan masyarakat nelayan.
Kelembagaan dalam produksi perikanan terbagi menjadi dua yaitu
kelembagaan formal dan kelembagaan informal. Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
2
merupakan kelembagaan formal yang didirikan pemerintah untuk melindungi
nelayan dari permainan harga yang dilakukan oleh tengkulak/pengijon, dimana
tengkulak merupakan kelembagaan informal. TPI merupakan kelembagaan formal
yang berperan dalam produksi, tataniaga perikanan, dan sebagai pusat
pengumpulan data. Tengkulak merupakan kelembagaan informal yang berperan
dalam produksi, tataniaga perikanan, dan konsumsi/social security. Fungsi dari
kedua kelembagaan tersebut berlawanan dalam hal kesejahteraan nelayan.
Nelayan merupakan produsen dari kegiatan perikanan, dalam hal ini persaingan
terjadi antara TPI dan tengkulak yang merupakan pembeli hasil tangkapan
nelayan.
Struktur sosial masyarakat nelayan seperti hubungan patron-klien dari
kelembagaan (institusi) yang ada dapat menyebabkan ketidakberdayaan warga
masyarakat nelayan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pemerintah
sebagai penentu kebijakan dalam pembangunan telah memfasilitasi kegiatan
usaha dan memperbaiki keadaan kehidupan nelayan seperti pembangunan institusi
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di berbagai tempat yang tersebar di seluruh
Indonesia. Pemerintah melalui undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang
perikanan mengarah pada keberpihakan kepada nelayan kecil. Seperti tercantum
dalam pasal 41 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah menyelenggarakan dan
melakukan pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan. Selain itu, pemerintah
berkewajiban untuk membangun dan membina prasarana perikanan (pelabuhan
perikanan dan saluran irigasi tambak). TPI merupakan salah satu fungsi utama
dalam kegiatan perikanan serta merupakan salah satu faktor yang menggerakkan,
meningkatkan usaha, dan kesejahteraan nelayan (Wiyono 2005).
Tipe-tipe institusi yang dikemukakan oleh Gillin, J.L dan Gillin J.P (1964)
adalah dari sudut perkembangannya, TPI dapat digolongkan sebagai tipe enacted
institution, yaitu institusi yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan.
Pramitasari, Anggoro dan Susilowati (2006) menyebutkan bahwa TPI didirikan
dan diselenggarakan oleh koperasi perikanan yang bertujuan untuk: (1)
melindungi
nelayan
dari
permainan
harga
yang
dilakukan
oleh
tengkulak/pengijon, (2) membantu nelayan mendapatkan harga yang layak, dan
(3) membantu nelayan dalam mengembangkan usahanya. Mengacu kepada
3
delapan kategori kelembagaan, kelembagaan/institusi Koentjaraningrat (1979),
TPI tergolong ke dalam economic institution, dimana TPI berfungsi untuk
memenuhi keperluan manusia dalam mencari nafkah dan mendistribusikan hasil
produksi perikanan, yaitu dengan pelelangan ikan.
Nelayan diharapkan menggunakan institusi TPI sebagai sarana penjualan
hasil tangkapannya karena melalui pendataan yang dilakukan di TPI, dapat
diketahui jumlah produksi perikanan. Namun permasalahannya apakah nelayan
mau menggunakan jasa institusi TPI sebagai tempat menjual tangkapannya.
Terdapat beberapa TPI yang diketahui tidak berfungsi dengan baik seperti TPI di
Karimunjawa, TPI di Sukabumi, dan TPI Cikidang di Pangandaran. Institusi TPI
yang tidak berfungsi disebabkan karena arah pemasaran hasil tangkapan nelayan
juga dipengaruhi dari struktur sosial masyarakat nelayan itu sendiri, dimana
terdapat tengkulak/langgan yang juga menjadi pembeli hasil tangkapan nelayan.
Kegiatan di TPI dinilai berfungsi apabila terjadi transaksi lelang di dalamnya
sehingga TPI mampu mencapai tujuannya. Karena itu, fenomena ikatan patronklien dan aktivitas pemasaran nelayan menarik untuk diteliti lebih dalam.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, adapun isu-isu
kritikal mengenai ketidakadilan patron-klien dalam tataniaga nelayan seperti
terjadi ketidakseimbangan dalam pertukaran jasa/pelayanan yang diperoleh,
dimana klien mendapatkan keuntungan lebih sedikit dibanding patron karena
lemahnya posisi klien. Merujuk latar belakang dan isu-isu tersebut maka
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Apa masalah yang terjadi dalam tataniaga hasil tangkapan nelayan?
2) Bagaimana tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patronklien yang terjadi?
3) Bagaimana perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan?
4) Bagaimana pengaruh ikatan patron-klien terhadap perilaku nelayan dalam
pemasaran hasil tangkapan?
4
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah
untuk:
1) mengetahui masalah yang terjadi dalam tataniaga hasil tangkapan nelayan;
2) mengidentifikasi tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan
patron-klien yang terjadi;
3) mengetahui perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan; dan
4) menganalisis pengaruh ikatan patron-klien terhadap perilaku nelayan
dalam pemasaran hasil tangkapan.
1.4
Kegunaan Penelitian
Secara umum, diharapkan penelitian ini akan memberikan manfaat kepada
kalangan akademisi khususnya mahasiswa, masyarakat umum, para ahli sosial
perikanan, dan juga bagi pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan
Perikanan sebagai pemegang kendali masalah perikanan Indonesia. Adapun
manfaat-manfaat tersebut adalah:
1. Bagi kalangan akademisi khususnya mahasiswa dapat memperkaya
pengetahuan mengenai pengaruh ikatan patron-klien terhadap perilaku
nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Selain itu, tulisan ini juga dapat
dijadikan referensi untuk penelitian lebih lanjut.
2. Bagi masyarakat umum dapat menambah wawasan mengenai struktur
sosial masyarakat nelayan dan Tempat Pelelangan Ikan.
3. Bagi para ahli sosial perikanan dapat menjadi tambahan referensi dalam
mengkritisi kebijakan penggunaan TPI yang ditetapkan oleh pemerintah.
4. Bagi pemerintah khususnya Kementrian Kelautan dan Perikanan, dapat
menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan kebijakan berikutnya
agar TPI dapat berfungsi secara efisien sesuai dengan tujuan pendiriannya
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan.
5
2. PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersamasama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas
terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria
2004). Masyarakat pesisir meliputi nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan,
bahkan pedagang ikan. Dalam perspektif stratifikasi sosial ekonomi, masyarakat
pesisir bukanlah masyarakat yang homogen. Masyarakat pesisir terbentuk oleh
kelompok-kelompok sosial beragam (Kusnadi 2009) 1 . Suatu data mengenai
kondisi umum masyarakat pesisir di Indonesia disajikan dalam Tabel 1. Terlihat
bahwa penduduk masyarakat pesisir berjumlah 16,42 juta pada tahun 2002 dan
sekitar sepertiga (32,14 persen) hidup dalam kemiskinan.
Tabel 1. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir di Indonesia, 2002 2
Kondisi Masyarakat Pesisir
1
Desa Pesisir
2
Masyarakat Pesisir
3
Jumlah
8,090 desa
16,420,000 jiwa
- Nelayan
4,015,320 jiwa
- Pembudidaya Ikan
2,671,400 jiwa
- Masyarakat Pesisir lainnya
9,733,280 jiwa
Persentase yang hidup di bawah garis kemiskinan (32,14%)
5,254,400 jiwa
Sumber: DKP (2007) dalam Satria (2009)
1
Dikutip dari buku Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir, Kusnadi (2009) hlm 38
2
Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) yang sekarang menjadi Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam buku Pesisir dan Laut, Arif Satria (2009). hlm. 25
6
2.1.2 Nelayan
Terdapat berbagai definisi nelayan antara lain yang dikemukakan oleh
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 45 tahun 2009, Satria (2009), dan
Kusnadi (2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 45 tahun
2009, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan
ikan.
Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (GT).
Definisi nelayan menurut Satria (2009) 3 adalah merupakan kelompok
sosial yang selama ini terpinggirkan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.
Di Indonesia, nelayan masih banyak yang belum berdaya secara ekonomi dan
politik. Organisasi ekonomi nelayan belum solid, sementara nelayan masih
terkukung pada ikatan-ikatan tradisional dengan para tauke atau tengkulak. Belum
ada institusi yang mampu menjamin kehidupan nelayan selain institusi patronklien itu. Sementara itu, Kusnadi (2009) menyatakan bahwa masyarakat nelayan
adalah kesatuan sosial kolektif masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dengan
mata pencahariannya menangkap ikan di laut, yang pola-pola perilakunya diikat
oleh sistem nilai budaya yang berlaku, memiliki identitas bersama dan batas-batas
ketentuan sosial, struktur sosial yang sama.
Nelayan adalah orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut
(Satria 2002). Secara geografis masyarakat nelayan adalah masyarakat yang
hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi
antara wilayah darat dan laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri
atas kategori-kategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Sebagian besar
masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan
kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya perikanan. Mereka
menjadi komponen utama dalam masyarakat (Kusnadi 2009) 4 . Terlihat dari
definisi tersebut berbeda-beda dan tampak terkait dengan tujuan penggunaannya.
3
Dikutip dari buku Ekologi Politik Nelayan, Arif Satria (2009). Hlm 120
4
Dikutip dari buku Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir, Kusnadi (2009) hlm 27
7
Menurut Hermanto (1986) dalam Widiastuti (1999), nelayan dibedakan
statusnya dalam usaha penangkapan ikan. Status nelayan tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Juragan darat, yaitu orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan
ikan tetapi dia tidak ikut dalam operasi penangkapan di laut. Juragan darat
menanggung seluruh biaya operasi penangkapan.
2) Juragan laut, yaitu orang yang tidak memiliki perahu dan alat penangkapan
dan ikut dalam operasi penangkapan. Mereka menerima bagi hasil sebagai
nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit penangkapan.
3) Juragan darat-laut, yaitu orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan
ikut dalam operasi penangkapan.
4) Buruh atau pandega, yaitu orang yang tidak memiliki unit penangkapan
dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal. Buruh atau pandega
umumnya menerima bagi hasil tangkapan dan jarang diberi upah harian.
Mereka ini akan menerima uang makan jika mereka berhasil menangkap
ikan.
5) Anggota kelompok, yaitu bentuk usaha secara kelompok. Ini merupakan
suatu sistem kelembagaan baru dalam usaha penangkapan. Perahu yang
diusahakan adalah perahu hasil pembelian dari modal yang dikumpulkan
oleh tiap-tiap anggota kelompok. Pemimpin kelompok umumnya berfungsi
sebagai juragan laut, sedangkan anggota kelompok berfungsi sebagai anak
buah kapal.
2.1.3 Struktur Sosial Masyarakat Nelayan
Struktur sosial adalah jejaring hubungan sosial yang sudah mantap dimana
interaksi sudah menjadi rutin dan berulang, antar berbagai peran sosial, grup,
organisasi dan institusi/pranata yang membentuk masyarakat tersebut. Termasuk
di dalam pengertian struktur sosial adalah pelapisan sosial atau juga disebut
stratifikasi sosial, jumlah, dan ciri kependudukan suatu masyarakat (Harper 1989
dalam Abdulkadir dan Sunito 2003). Struktur sosial dapat dibagi menjadi ke
8
dalam tiga golongan: keterampilan teknologi, lembaga-lembaga 5 , dan kultur
(Duverger 2007) 6 .
Ciri umum struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya adalah
dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut
merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan
resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan patron
merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya
karena patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Hal ini terjadi
karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu
menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka (Satria 2002). Karena masyarakat
nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam struktur masyarakat
pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan
atau perilaku sosial budaya masyarakat nelayan adalah sebagai berikut: memiliki
struktur relasi patron-klien sangat kuat, etos kerja tinggi memanfaatkan
kemampuan diri dan adaptasi optimal, kompetitif dan berorientasi prestasi,
apresiatif terhadap keahlian, kekayaan, dan kesuksesan hidup, terbuka dan
ekspresif, solidaritas sosial tinggi, sistem pembagian kerja berbasis seks (laut
menjadi ranah laki-laki dan darat adalah ranah kaum perempuan), dan berperilaku
“konsumtif” (Kusnadi 2009).
2.1.3.1 Patron-Klien
Struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan
kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan
konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh resiko dan
ketidakpastian. Menurut Rivers (1954) dalam (Samsulbahri 1995), patronase
merupakan hubungan seorang yang memiliki status sosial, ekonomi dan politik
yang lebih tinggi (superior) dengan seseorang atau pihak lain dalam hubungan
vertikal yang memiliki status sosial, politik dan ekonomi lebih rendah (inferior).
5
Lembaga-lembaga adalah alat mempertahankan ketertiban hubungan sosial yang mapan (stabil).
6
Dikutip dari buku Sosiologi Politik, Maurice Duverger (2007)
9
Ikatan ini tidak simetris seperti persahabatan yang berat sebelah, masing-masing
pihak saling mempercayai dan pengertian serta tidak ada sanksi formal.
Patron-klien merupakan basis relasi sosial masyarakat nelayan atau pesisir.
Relasi sosial patron-klien sangat dominan dan terbentuk karena karakteristik
kondisi mata pencaharian, sistem ekonomi, dan lingkungan. Hubungan-hubungan
demikian terpola dalam kegiatan organisasi produksi, aktivitas pemasaran, dan
kepemimpinan sosial. Pola-pola hubungan patron-klien dapat menghambat atau
mendukung perubahan sosial ekonomi (Kusnadi 2009).
Legg (1983) dalam Najib (1999) yang dikutip oleh Satria (2002),
mengungkapkan bahwa hubungan patron-klien umumnya berkaitan dengan:
1. hubungan antarpelaku yang menguasai sumberdaya yang tidak sama,
2. hubungan yang bersifat kusus yang merupakan hubungan pribadi dan
mengandung keakraban, dan
3. hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan.
Scott (1977) dalam Samsulbahri (1995) menyebutkan ciri-ciri penting
dalam hubungan patron-klien yaitu: (1) adanya hubungan pertukaran yang bersifat
timbal balik, (2) adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran, (3) adanya
interaksi yang bersifat tatap muka antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan (4)
adanya ketergantungan yang bersifat luas dan lentur antara patron dan kliennya.
Scoot (1981) juga menyebutkan tipe-tipe hubungan patronase terkait dalam
kegiatan produksi, kegiatan konsumsi, dan kegiatan tataniaga.
Bentuk-bentuk hubungan yang terjadi antara patron dan klien (Scott 1981)
adalah:
1) Penghidupan subsistensi dasar. Pada banyak daerah agraria, jasa utama
adat berupa pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocok-tanam
dan biasa juga mencakup penyediaan benih, peralatan, jasa pemasaran,
nasihat teknis dan seterusnya.
2) Jaminan krisis subsistensi. Umumnya, patron diharapkan memberikan
pinjaman pada saat bencana ekonomi, membantu dalam keadaan sakit atau
kecelakaan, atau membantu pada waktu panen kecil atau saat panen gagal.
Patron sering menjamin ” dasar” subsistensi bagi kliennya dengan
10
menyerap kerugian-kerugian (dalam pertanian atau pendapatan) yang akan
merusak kehidupan klien jika tidak dilakukan oleh patron.
3) Perlindungan. Seperti di Eropa pada jaman feodal, perlindungan bisa
berarti memelihara sekelompok orang bersenjata atau janji untuk
membakaskan dendam untuk klien. Ini berarti melindungi klien baik dari
bahaya pribadi (bandit, musuh pribadi) maupun dari bahaya umum
(tentara, pejabat luar, pengadilan, pemungut pajak).
4) Makelar dan pengaruh. Jika patron melindungi kliennya dari perusakan
yang berasal dari luar, ia juga menggunakan kekuatan dan pengaruhnya
untuk menarik hadiah dari luar untuk kepentingan kliennya. Perlindungan
merupakan peran defensifnya dalam menghadapi dunia luar, kemakelaran
adalah peran agresifnya.
5) Jasa patron kolektif. Secara internal, patron sebagai kelompok dapat
melakukan fungsi ekonomi secara kolektif. Mereka dapat mengelola dan
mensubsidi sumbangan dan keringanan, menyumbanagkan tanah untuk
kegunaan kolektif, mendukung sarana umum setempat seperti sekolah,
jalan kecil, bangunan masyarakat) menjadi tuan rumah pejabat yang
berkunjung, dan mensponsori festival serta perayaan desa. Dalam
berurusan dengan pihak luar, para patron dapat melakukan sesuatu yang
dilakukan oleh seorang patron tertentu untuk kliennya, secara bersamasama untuk desanya. Artinya, mereka bisa saja melindungi masyarakat
dari kekuatan luar, baik dari negara atau bandit, dan mereka bisa
memajukan kepentingan masyarakat dengan melakukan pekerjaan dan jasa
publik, keuntungan administratif, pinjaman masyarakat, bantuan pertanian,
dan seterusnya.
Menurut Scott (1972), ikatan patron-klien adalah hubungan timbal-balik
antara dua peran sebagai ikatan persahabatan instrumental antara dua orang di
mana patron mempergunakan pengaruh dan sumberdaya yang dimilikinya untuk
memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi klien. Sebagai imbalannya,
klien memberikan dukungan dan bantuan, termasuk pelayanan pribadi, kepada
patron. Dasar ikatan semacam ini adalah ketidaksetaraan dan fleksibilitas yang
longgar. Selanjutnya, Scott menyatakan bahwa bagi klien, rasio antara jasa atau
11
pelayanan yang klien terima dan yang klien berikan merupakan elemen evaluasi
kunci dalam kontrak patron-klien. Semakin besar nilai dari apa yang klien terima
dari patronnya dibandingkan dengan apa yang harus klien berikan, semakin besar
pula legitimasi ikatan tersebut. Klien menginginkan terpenuhinya jaminan sosial
dasar dari pekerjaan dan keamanan.
Hubungan patron-klien memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada
masing-masing daerah 7 . Karakteristik hubungan patron-klien pada daerah tertentu
dibagi menjadi dua yaitu: (1) masih kuat dengan tradisi patron-kliennya, dan (2)
sudah luntur pola hubungan patron-klien pada masyarakat tersebut.
Scott (1972) memaparkan bahwa erosi ikatan patron-klien terjadi karena
para penguasa sebagai patron tidak lagi memenuhi kewajibannya, yakni tidak
memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada rakyat. Mereka melindungi
dan menyejahterakan diri mereka sendiri. Dengan demikian, masyarakat Jawa
tidak lagi harmonis. Masyarakat Jawa merasakan bahwa apa yang diberikan oleh
para patron (penguasa) semakin kecil saja. Sebaliknya, mereka mengambil terlalu
banyak untuk diri mereka sendiri.
Status dan peranan merupakan bagian dari hubungan patron-klien.
Duverger (2007) dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Politik mengungkapkan
bahwa peran dan status menjelaskan masalah dasar dari posisi relatif individu di
dalam lembaga-lembaga sosial. Suatu kenyataan bahwa peran dan status adalah
dalam diri institusi. Setiap posisi ini menampilkan kesempatan bagi suatu seri
hubungan-hubungan sosial. Berbagai ragam status hanyalah menunjukkan begitu
banyak jenis hubungan. Bagi setiap status ada sejumlah pola tingkah laku yang
diharapkan dari individu, yang memegang posisi, dan serentak atribut-atribut
tertentu yang seharusnya dia miliki. Peranan adalah atribut sebagai akibat dari
status, dan perilaku yang diharapkan oleh anggota-anggota lain dari masyarakat
terhadap pemegang status. Peranan hanyalah sebuah aspek dari status atau suatu
status mempelajari sejumlah peranan. Maksud dari konsep peranan adalah untuk
membuat garis batas antara masyarakat dan individu. Dalam batas peranan
sosialnya, seorang mempunyai batas kebebasan tertentu. Aktor juga dapat
7
Dikutip dari buku Pesisir dan Laut, Arif Satria (2009). hlm 36
12
menyeleweng, dalam tingkat besar atau kecil, dari pola yang sudah menjadi
stereotip dari peranan yang dimainkan. Status dan peranan juga adalah faktorfaktor integratif dalam pembentukan kepribadian, yang membantu menciptakan
dan memperkuatnya. Stoetzel (1936) dalam Duverger (2007) mengatakan bahwa
status adalah pola perilaku kolektif yang secara normal bisa diharapkan,
sedangkan peranan adalah pola perilaku kolektif yang diharapkan oleh orang lain.
Status merupakan kumpulan dari hak dan kewajiban, sedangkan peranan
terkait pada aspek dinamis dari status (Sunarto 1993). Suatu rumusan status dan
peran yang terdapat dalam masyarakat nelayan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Status dan Peranan dalam Masyarakat Nelayan
Tauke atau
Status
Peran
Patron
- Memberikan kredit atau pinjaman untuk modal dan
Tengkulak
Nelayan
kebutuhan sehari-hari nelayan
Klien
- Menjual hasil tangkapannya kepada Tauke atau
Tengkulak dengan harga lebih murah dari harga pasar
Sumber: Silalahi (2006)
2.1.3.2 Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan
Sistem pelapisan masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan istilah social
stratification (stratifikasi sosial). Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk
atau masyarakat dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkis),
perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah.
Dasar dari inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya
keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara
anggota-anggota masyarakat (Soekanto 1987). Kelompok warga masyarakat yang
termasuk lapisan tertentu, disebut sebagai kelas sosial (Soekanto 1988). Menurut
Davis dan Moore (1945) yang dikutip oleh Pandjaitan dan Prasodjo (2007),
manusia umumnya menghendaki adanya perbedaan kedudukan dan peranan
dalam masyarakat sebagai konsekuensi adanya pembagian kerja dalam
masyarakat.
13
Menurut Samsulbahri (1995), stratifikasi sosial masyarakat nelayan dapat
digolongkan berdasarkan tingkat ekonomi dan pekerjaan. Tingkat ekonomi
masyarakat nelayan dapat dilihat dari
peningkatan faktor-faktor produksi,
sedangkan dalam aspek pekerjaan dilihat bedasarkan jenis pekerjaan dalam
kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan perikanan lain. Sebagaimana telah
dikemukakan Hermanto (1986) dalam Widiastuti (1999), di dalam kalangan
masyarakat nelayan telah dikenal penggolongan juragan darat, juragan laut, dan
buruh atau pandega. Dalam hal ini secara struktur, juragan berada pada “lapisan
atas” dan buruh atau pandega berada pada “lapisan bawah” masyarakat nelayan.
2.1.4 Teori Pertukaran
Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) menjelaskan teori pertukaran
(exchange theory) yaitu didasarkan pada norma resiprositas yaitu ada posisi
sejajar di antara dua pihak, tempat dipertukarkannya sumberdaya, dan materi.
Nilai dan norma merujuk pada aturan-aturan yang kemudian disepakati bersama.
Struktur merujuk pada pola-pola tindakan yang telah disetujui bersama, dan
materi merujuk pada pertukaran benda di antara mereka.
2.1.5 Teori Modal Sosial
Menurut Coleman (1993), modal sosial 8 bukanlah entitas tunggal, tetapi
entitas majemuk yang mengandung dua elemen: (1) modal sosial mencakup
beberapa aspek dari struktur sosial, (2) modal sosial memfasilitasi tindakan
tertentu dari pelaku (baik individu maupun perusahaan) di dalam struktur tersebut.
Riddell, Baron, dan Wilson (2001) mengungkapkan terdapat tiga
parameter modal sosial yaitu:
1) Kepercayaan. Kepercayaan adalah sebuah harapan yang tumbuh di dalam
sebuah masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya perilaku yang jujur,
teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama.
8
Dikutip dalam American Journal of Sociology yang berjudul ”Social Capital in the Creation of
Human Capital”
14
2) Norma. Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai,
harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalani bersama oleh
sekelompok orang.
3) Jaringan. Jaringan merupakan infrastruktur dinamis dalam modal sosial.
Jaringan memfasilitasi terjadinya interaksi, komunikasi, memungkinkan
tubuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama.
2.1.6 Perilaku
Menurut Hickerson dan Middleton (1975) dalam Mugniesyah (2006),
perilaku merupakan segala sesuatu yang mencakup tiga komponen, yaitu
pengetahuan, sikap, dan tindakan. Selain itu, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa perilaku adalah tanggapan atau reaksi
individu terhadap rangsangan atau lingkungan.
2.1.7 Pemasaran
Menurut Kotler (2002), pemasaran adalah suatu proses sosial yang di
dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan
diinginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan
produk yang bernilai dengan pihak lain. Rangkuti (2005) menyebutkan bahwa
pemasaran adalah suatu proses kegiatan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
sosial, budaya, politik, ekonomi dan manajerial.
2.1.8 Institusi
Institusi adalah model struktural dan koleksi citra-citra yang secara luas
diterima, artinya setiap lembaga adalah berhubungan dengan, sampai tingkat
tertentu, sistem nilai, dengan konsep tentang yang baik dan yang jelek, tentang
yang benar atau yang salah, termasuk dalam pendirian tertentu baik “setuju” atau
“tidak setuju” (Duverger 2007). Dalam ilmu sosiologi, yang dimaksud dengan
kelembagaan sosial atau social institution adalah suatu kompleks atau sistem
peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang
penting (Polak dalam Kolopaking 2003). Setiap masyarakat tentu mempunyai
15
beragam norma yang mengatur perilaku dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pokok yang apabila dikelompokkan akan terhimpun menjadi kelembagaan sosial.
Sebagai suatu batasan, dapatlah dikatakan kelembagaan sosial merupakan
himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan
pokok di dalam kehidupan masyarakat (Nasdian 2003).
2.1.9
Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
2.1.9.1 Fungsi, Manfaat, dan Tujuan TPI
Berkaitan dengan fungsi TPI, sebagaimana contoh Dinas Perikanan dan
Kelautan Propinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan Perda nomor I/ tahun 1984
mengenai petunjuk penyelenggaraan pelelangan Ikan di Jawa Tengah. Pada Perda
tersebut antara lain menyebutkan bahwa:
a) Yang disebut dengan Tempat Pelelangan Ikan adalah tempat yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan pelelangan
ikan, disingkat TPI.
b) Penanggung jawab pelelangan ikan di TPI adalah Dinas Perikanan.
c) Pelaksanaan pelelangan ikan di TPI diserahkan kepada organisasi
nelayan dalam bentuk koperasi.
Mohogito (1991) dalam Widyastuti (1993) menyebutkan fungsi TPI
adalah sebagai berikut: (1) pusat pendaratan ikan, (2) pusat pembinaan mutu hasil
perikanan, (3) pusat pengumpulan data, dan (4) pusat pengembangan kegiatan
para nelayan di bidang pemasaran.
Tujuan pendirian TPI adalah untuk:
1) Melindungi nelayan dari permainan harga yang dilakukan oleh
tengkulak/pengijon (Pramitasari, Anggoro dan Susilowati 2006).
2) Membantu nelayan mendapatkan harga yang layak (Pramitasari,
Anggoro dan Susilowati 2006).
3) Membantu nelayan dalam mengembangkan usahanya (Pramitasari,
Anggoro dan Susilowati 2006).
4) Memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan lelang (Widayanti 2008).
5) Mengusahakan stabilitas harga ikan (Widayanti 2008).
16
6) Meningkatkan
taraf
hidup
dan
kesejahteraan
nelayan
beserta
keluarganya (Widayanti 2008).
7) Meningkatkan pendapatan asli daerah (Widayanti 2008).
Selain empat hal tersebut, Widiastuti (1993) menyebutkan keuntungan TPI
yang disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3, dapat dilihat manfaat Institusi TPI
yang dapat diterima oleh tiga pihak, yaitu bagi nelayan, pembeli dan pemerintah .
Tabel tersebut juga menjelaskan keuntungan penggunaan jasa TPI bagi ketiga
pihak tersebut serta kerugian yang akan diperoleh apabila tidak menggunakan jasa
TPI.
Tabel 3. Keuntungan Jasa Tempat Pelelangan Ikan 9
Pemakai
Nelayan
Menggunakan Jasa TPI
Tidak Menggunakan Jasa TPI
- Penanganan ikan cepat
-
Penanganan ikan kurang cepat
- Harga yang diperoleh wajar
-
Harganya rendah
-
Pembinaan
- Jumlah
tangkapannya
dapat
diketahui
Pemerintah
- Pembinaan ke nelayan mudah
pengawasan
nelayan sulit
- Ada pemasukan untuk kas
daerah
dan
-
Tidak ada pemasukan ke kas
daerah
Konsumen
- Mutu ikan terjamin
-
Mutu ikan bisa tidak terjamin
- Harga wajar
-
Harga dapat dipermainkan
-
Penanganan kurang cepat
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan (1985) dalam Widiastuti (1993)
2.1.9.2 Teknis Pelelangan Ikan
Menurut Silalahi (2006), pelelangan dimulai dari pemisahan hasil
tangkapan sesuai dengan jenisnya. Pelelangan dilakukan oleh juru lelang di TPI,
harga tertinggi yang menang. Pelaksanaan lelang dipimpin oleh juru tawar yang
secara struktural bertanggung jawab kepada kepala teknik lelang. Dipaparkan
9
Direktorat Jenderal Perikanan (1985) dalam skripsi Widiyastuti (1993) yang berjudul Keadaan
Pelelangan Ikan dan Sikap Nelayan terhadap Tempat Pelelangan Ikan Pelabulan ratu, Kecamatan
Pelabuhan ratu, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat.
17
lebih rinci, kegiatan pelelangan dimulai pagi hari setelah terdapat sejumlah
pedagang yang telah mencukupi untuk terjaminnya lelang dengan baik. Sebelum
kegiatan pelelangan dimulai, seorang petugas TPI melakukan perhitungan dan
pencatatan jumlah ikan yang terdapat dalam setiap satu kelompok ikan yang akan
dilelang. Jumlah ikan ini dicatat dalam karcis total satuan lelang. Sebelum
pelelangan dimulai semua pedagang diberi kesempatan untuk memeriksa ikan
yang akan dilelang. Setelah kegiatan pencatatan dan pemeriksaan selesai,
kemudian pelelangan ikan dimulai dengan dipimpin juru tawar. Sebelum juru
tawar menawarkan ikan kepada peserta lelang, pembantu juru tawar lebih dulu
menyebutkan jenis dan mutu ikan, pemilik ikan dan volume ikan sesuai dengan
catatan yang terdapat dalam karcis total satuan lelang. Kemudian juru tawar mulai
menawarkan ikan dengan harga patokan adalah harga ikan sehari sebelumnya
sesuai dengan jenis dan mutu ikan bersangkutan. Naik turunnya harga penawaran
tergantung pada volume ikan dan kemampuan modal pedagang. Pemenang lelang
ditetapkan oleh juru tawar berdasarkan harga penawaran tertinggi. Juru tawar
lelang kemudian mengumumkan pemenang lelang dengan menyebutkan harga
ikan, nama dan alamat pemenang lelang. Pelaksanaan lelang dilakukan secara
berurut sesuai dengan nomor urut lelang. Terdapat beberapa tata tertib yang harus
dipatuhi dalam suatu kegiatan pelelangan ikan. Mekanisme pelelangan ikan
disajikan pada Gambar 1.
NELAYAN
PROSES PELELANGAN
BAKUL
PENGECER
BAKUL
PENGUSAHA
KONSUMEN
Gambar 1.
Mekanisme Pelelangan Ikan (Silalahi 2006)
18
Terlihat jelas dari Gambar 1, bahwa nelayan selaku penjual ikan menjual
hasil tangkapannya melalui TPI, kemudian terjadi proses lelang untuk
menentukan harga jual ikan. Para bakul ikan menawar ikan atau hasil tangkapan
nelayan tersebut dan harga tertinggi yang menang. Bakul ikan yang menang
lelang berhak mendapatkan hasil tangkapan tersebut dengan membayar sesuai
dengan harga kesepakatan. Selanjutnya bakul ikan menjual ikan tersebut kepada
konsumen.
TPI sebagai salah satu tempat pelelangan ikan masih mengutamakan
pengumpulan dana dan retribusi. Pada dasarnya apabila seluruh pembayaran
retribusi ini berjalan dengan baik, maka akan memberikan pengaruh positif baik
bagi nelayan maupun bagi pemerintah daerah setempat. Pengaruh positif tersebut
berasal dari pengalokasian biaya retribusi yang cukup adil, disamping dapat
memberikan pemasukan bagi pemerintah daerah, juga pengalokasian yang
memperhatikan keamanan dan kesejahteraan nelayan (Silalahi 2006).
2.1.9.3 Status dan Peranan dalam Institusi Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Struktur sosial erat kaitannya dengan status dan peran masing-masing
aktor yang terlibat dalam interaksi. Rincian tentang status dan peranan komponenkomponen pokok dan komponen lainnya disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Status dan Peranan Komponen Pokok Pelelangan Ikan
Status
Peranan
Nelayan
Produsen
Bakul Ikan
Pembeli
Pengelola TPI
Pemegang fungsi manajemen
Sumber: Silalahi (2006)
Dari Tabel 4 dapat dilihat status dan peranan masing-masing individu.
Nelayan berperan sebagai produsen yaitu menangkap serta memasok hasil
tangkapan dan dijual ke TPI. Peran bakul ikan adalah sebagai pembeli yang
melakukan transaksi tawar-menawar dalam proses lelang ikan. TPI berperan
19
sebagai fungsi manajemen yaitu yang memfasilitasi nelayan dan bakul ikan dalam
proses lelang.
Tabel 5. Status dan Peranan Komponen dalam Pelaksanaan Proses Lelang 10
Status
Peranan
Manager
Penanggung jawab secara keseluruhan terhadap keberlangsungan TPI
Tata Usaha
Pengurus administrasi
Juru Lelang
- Penanggung jawab kegiatan pelelangan
- Pemimpin jalannya proses pelelangan, termaksud tawar-menawar harga
Juru Timbang
Menimbang hasil tangkapan nelayan yang akan dilelang
Juru Catat
Mencatat seluruh hasil pelelangan, termasuk mencatat tangkapan nelayan
yang telah ditimbang dan mencatat harga ikan yang terjual
Juru Kasir
Bertanggung jawab terhadap pengaturan para pembeli atau para peserta
pelelangan
Keamanan
Menjaga keamanan di wilayah TPI terutama pada proses berlangsungnya
pelelangan
Kebersihan
Penjaga kebersihan lingkungan gedung TPI
Sumber: Silalahi (2006)
Pada Tabel 5 dijelaskan bahwa dalam kegiatan TPI, pelaksanaan lelang
dipimpin oleh juru tawar yang secara struktural bertanggung jawab kepada kepala
teknik lelang. Peranan juri tawar dibantu oleh pembantu juru tawar dan juru tulis.
Juru tawar bertugas melaksanakan lelang ikan dengan cepat, tertib, lancar, tegas,
dan sopan. Juru tawar juga berwenang menetapkan pemenang lelang berdasarkan
penawaran tertinggi. Pembantu juru tawar bertugas melaporkan jenis, mutu, berat
ikan yang siap dilelang kepada juru tawar. Juru tulis karcis bertugas mengikuti
jalannya pelelangan dengan cermat dan mengerjakan karcis lelang dengan baik
dan dapat dibaca dengan baik. Juru tulis buku bakul (pedagang) berfungsi
10
Berdasarkan penelitian David Ganda Silalahi (2006) yang berjudul Efektifitas Kelembagaan
Tempat Pelelangan Ikan sebagai Kelembagaan Ekonomi masyarakat Nelayan. Kasus
Kelembagaan TPI Kelurahan Pelabuhan ratu, Kecamatan Pelabuhan ratu, Kabupaten Sukabumi,
Propinsi Jawa Barat.
20
mencatat dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan dan mengikuti jalannnya
lelang dengan cermat dan menutup buku bakul (pedagang) setiap hari setelah
selesai lelang. Juru tulis buku nelayan bertugas mencatat buku nelayan dengan
baik dan benar sesuai ketentuan dan berkewajiban pula menutup buku nelayan
setiap hari.
2.2
Kerangka Pemikiran
Secara teoritis, ciri umum struktur sosial dalam masyarakat nelayan
umumnya adalah kuatnya ikatan patron-klien. Dalam hal ini, nelayan bertindak
sebagai klien, sedangkan tengkulak bertindak sebagai patron. Bagi nelayan,
menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga
kelangsungan kegiatannya karena patron-klien merupakan institusi jaminan sosial
ekonomi (Satria 2002). Pemikiran serupa oleh Kusnadi (2009) bahwa patron-klien
merupakan basis relasi sosial masyarakat nelayan atau pesisir. Hubungan
demikian terpola dalam kegiatan organisasi produksi, aktivitas pemasaran, dan
kepemimpinan sosial. Menurut Scoot (1981), tipe-tipe hubungan patronase terkait
dalam kegiatan produksi, kegiatan konsumsi, dan kegiatan tataniaga. Penelitian ini
akan memusatkan perhatian pada ikatan patron-klien yang terjadi di Desa Tanjung
Pasir yang dapat mempengaruhi perilaku nelayan dalam pemasaran hasil
tangkapan.
Ikatan patron-klien dalam penelitian ini diukur dari tingkat ketergantungan
finansial nelayan, dimana tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan akan
berpengaruh terhadap tingkat ketergantungan finansial nelayan. Kondisi institusi
TPI diduga mempengaruhi perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan.
Kondisi institusi TPI akan diukur dari enam aspek yaitu waktu lelang, kebersihan,
retribusi, harga lelang, kinerja pengelola TPI, serta kondisi gedung dan peralatan
TPI. Kerangka Penelitian disajikan pada Gambar 2.
21
Ikatan Patron-Klien
Tingkat Pendidikan
Tingkat
Ketergantungan
Finansial
Tingkat Pendapatan
Saluran Pemasaran
Perilaku Nelayan dalam
Pemasaran Hasil Tangkapan
Kondisi Institusi TPI
Keterangan:
: mempengaruhi
: lingkup
: Fokus Penelitian
Gambar 2.
- Waktu Lelang
- Kebersihan
- Retribusi
- Harga Lelang
- Kinerja Pengelola
- Kondisi Gedung dan Peralatan
Kerangka Pemikiran
22
2.3
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat disusun hipotesis
penelitian sebagai berikut:
1) Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan nelayan dengan tingkat
ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi.
2) Terdapat hubungan antara tingkat pendapatan nelayan dengan tingkat
ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi.
3) Terdapat
hubungan
antara
jenis
alat
tangkap
dengan
tingkat
ketergantungan finansial nelayan.
4) Terdapat hubungan antara tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam
ikatan patron-klien yang terjadi dengan perilaku nelayan dalam pemasaran
hasil tangkapan.
5) Terdapat hubungan antara persepsi nelayan kondisi TPI dengan perilaku
nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan.
2.4
Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang berfungsi
untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak seperti konsep dan variabel agar menjadi
kongrit untuk diukur. Sejumlah variabel dalam penelitian ini merujuk pada hasil
perhitungan yang didasarkan pada nilai (skor) minimal dan maksimal serta ratarata untuk setiap variabel. Di bawah ini telah disusun definisi operasional sebagai
berikut:
A.
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan adalah jenjang terakhir sekolah formal yang pernah
diikuti responden. Diukur berdasarkan jenjang pendidikan formal terakhir.
a. Tamat SMA, Perguruan Tinggi
= skor 3 = tinggi
b. Tamat SMP, Tidak tamat SMP
= skor 2 = sedang
c. Tamat SD, Tidak tamat SD, Tidak bersekolah
= skor 1 = rendah
23
B.
Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan adalah jumlah pendapatan bersih nelayan secara
keseluruhan yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan sekali melaut (satu
hari). Skala tingkat pendapatan ditentukan dari rata-rata pendapatan nelayan.
C.
a. Lebih dari dari Rp.1.000.000,-
= skor 3 = tinggi
b. Rp.500.000,- sampai Rp.1.000.000,-
= skor 2 = sedang
c. Kurang dari Rp.500.000,-
= skor 1 = rendah
Ikatan Patron-Klien
Patron-klien merupakan basis relasi sosial masyarakat nelayan atau pesisir.
Batasan ikatan patron-klien dalam penelitian ini adalah tingkat ketergantungan
finansial. Tingkat ketergantungan finansial yang terjadi yaitu antara nelayan
terhadap tengkulak. Tengkulak adalah pembeli hasil tangkapan nelayan.
Tengkulak di Desa Tanjung Pasir disebut Langgan. Tingkat ketergantungan
finansial ini diukur dengan menggunakan delapan pernyataan dengan pemberian
skor bertingkat pada masing-masing pernyataan. Pernyataan mengenai tingkat
ketergantungan finansial diukur sebagai berikut.
a. Setuju
= skor 2 = tinggi
b. Ragu-ragu = skor 1 = sedang
c. Tidak setuju = skor 0 = rendah
D.
Persepsi Nelayan mengenai Kondisi Institusi TPI
Kondisi TPI adalah keadaan fisik maupun non-fisik TPI. Keadaan fisik
meliputi kondisi gedung dan peralatan. Indikator keadaan non-fisik diukur dari
waktu lelang, kebersihan, retribusi, harga lelang, dan kinerja pengelola TPI.
(i)
Kondisi gedung dan peralatan adalah kondisi tempat dan
peralatan kegiatan pelelangan ikan di TPI.
(ii)
Waktu lelang adalah waktu pelaksanaan lelang di TPI.
(iii)
Kebersihan adalah kondisi lingkungan TPI yang bersih dan
nyaman untuk pelaksanaan lelang.
24
(iv)
Harga lelang adalah harga ikan yang ditetapkan dalam proses
pelelangan.
(v)
Retribusi adalah uang yang dibayarkan oleh nelayan pada saat
melakukan lelang di TPI.
(vi)
Kinerja Pengelola TPI adalah kesesuaian antara status dan peran
pengelola TPI dalam pelaksanaan lelang.
Pengukuran kondisi institusi TPI menggunakan enam pernyataan dari
indikator yang telah disebutkan di atas dengan pemberian skor bertingkat pada
masing-masing pernyataan. Berikut adalah penentuan skor dari masing-masing
jawaban:
a. Setuju
= skor 2 = tinggi
c. Ragu-ragu = skor 1 = sedang
b. Tidak setuju = skor 0 = rendah
3. PENDEKATAN LAPANGAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga,
Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan
secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan terdapat tengkulak/langgan di
Desa Tanjung Pasir dan terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang masih aktif
berjalan. Waktu penelitian dilaksanakan dalam waktu empat bulan (Tabel 6) yang
dimulai sejak bulan Maret 2011 hingga Juni 2011. Penelitian yang dimaksud
mencakup waktu sejak peneliti intensif di daerah penelitian, pengumpulan,
pengolahan data, dan hingga pembuatan draft skripsi.
Tabel 6. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan proposal
skripsi
Kolokium
Pengambilan data
lapangan
Pengolahan dan
analisis data
Penulisan draft
skripsi
Sidang skripsi
Perbaikan laporan
penelitian
3.2
Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kuantitatif yang digunakan adalah metode survai dengan instrumen kuesioner.
Metode survai yaitu mengumpulkan informasi dari suatu sampel dengan
26
menanyakan melalui angket atau interview supaya nantinya menggambarkan
berbagai aspek dari populasi 11 . Pendekatan kualitatif menggunakan metode
wawancara mendalam, observasi atau pengamatan langsung, dan studi litelatur.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:
1.
Data Primer
Data primer diperoleh dari wawancara dengan responden dan informan
serta observasi. Wawancara kepada responden menggunakan metode survai
dengan menggunakan instrumen kuesioner. Tujuan pembuatan kuesioner
adalah untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan survai dan
memperoleh informasi dengan realibilitas dan validitas setinggi mungkin
(Singarimbun dan Handayani 1987). Kuesioner memuat pertanyaan tertutup.
Data yang akan didapat dari penelitian survai ini mencakup tingkat
pendidikan nelayan, tingkat pendapatan nelayan, tingkat ketergantungan
finansial nelayan, dan kondisi institusi TPI.
Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam (in depth interview)
kepada informan dengan menggunakan pedoman pertanyaan. Data deskriptif
berupa kutipan langsung kata-kata atau tulisan dari informan juga
memungkinkan untuk digunakan. Observasi yang dilakukan sebagai metode
pengumpulan data untuk mengamati tingkah laku nelayan, tengkulak, kondisi
fisik TPI, dan pengelola TPI dalam kegiatan jual-beli ikan dan pada proses
lelang di TPI.
2.
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari studi literatur yaitu berupa dokumendokumen yang menunjukkan data kependudukan nelayan dan data TPI.
3.3
Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah nelayan di Desa Tanjung Pasir yaitu
sebanyak 2331 jiwa. Total populasi nelayan tersebut merupakan gabungan dari
jumlah keseluruhan anggota keluarga nelayan. Populasi sasaran adalah nelayan
11
Dikutip dari Fraenkel dan Wallen (1990) dalam bahan kuliah Metode Penelitian Sosial,
Wahyuni dan Mulyono (2009).
27
jaring (78 jiwa) dan nelayan pancing (270 jiwa) dengan jumlah 348 jiwa.
Pemilihan populasi dipilih secara purposive. Populasi penelitian diambil
berdasarkan informasi yang diperoleh dari kelurahan dan TPI. Unit analisis
penelitian ini adalah individu. Penentuan responden dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan Sample Random Distratifikasi (Stratified
Random Sampling). Teknik ini digunakan karena satuan-satuan elementer dalam
populasi tidak homogen karena penggolongan nelayan dalam penelitian ini akan
dibedakan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan. Responden ditentukan
dengan membuat kerangka percontohan (Gambar 3). Banyaknya responden
dalam penelitian ini adalah sebanyak 40 orang dengan komposisi yang terdiri dari
20 orang nelayan jaring dan 20 orang nelayan pancing. Komposisi dari jumlah
nelayan tersebut merupakan nonproporsional. Menurut Walpole (1997) untuk
penelitian dengan menggunakan metode statistik jumlah responden minimal
adalah 30 orang, oleh karena itu jumlah responden sebanyak 40 orang ini sudah
dapat mewakili seluruh populasi. Responden diwawancarai sesuai dengan
kuesioner yang telah disusun (Lampiran 3).
Nelayan Desa Tanjung Pasir
(348 jiwa)
Nelayan Jaring
Nelayan Pancing
(78 jiwa)
(270 jiwa)
Jaring Rampus
Pancing Rawe
Pancing Klitik
(78 jiwa)
(165 jiwa)
(105 jiwa)
Responden
Responden
(20 jiwa)
(20 jiwa)
Total Responden
(40 jiwa)
Gambar 3.
Kerangka Percontohan Penelitian
28
Informan meliputi nelayan, Pemerintah Desa, pengelola TPI, dan
langgan/tengkulak. Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi dengan
tujuan untuk memperbanyak informasi mengenai struktur sosial masyarakat
nelayan daerah tersebut dan aktivitas lelang yang dilaksanakan di TPI. Pemilihan
informan
menggunakan
teknik
bola
salju
(snowball
sampling)
karena
memungkinkan perolehan data sari suatu informan ke informan lainnya.
3.4
Uji Validitas dan Reliabilitas
Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa
yang ingin diukur. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana
suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Pengukuran validitas
kuesioner mengacu pada Singarimbun (1987), dengan tahap-tahap sebagai
berikut:
a. mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur,
b. melakukan uji coba skala pengukur tersebut pada sejumlah responden,
c. mempersiapkan tabel tabulasi jawaban,
d. menghitung korelasi antara masing-masing pertanyaan dengan skor total,
menggunakan rumus teknik korelasi ‘product moment’, sebagai berikut:
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
Keterangan:
N
: jumlah responden
X
: skor pernyataan
Y
: skor total
XY
: skor pernyataan dikalikan skor total
Nilai korelasi perhitungan yang diperoleh, selanjutnya dibandingkan
dengan nilai tabel korelasi nilai r, yaitu bila nilai korelasi hasil hitungan lebih
besar daripada nilai tabel pada taraf nyata lima persen, maka pernyataan tersebut
adalah
nyata
(valid),
dan
berlaku
sebaliknya.
Perhitungan
reslibilitas
menggunakan teknik pengukuran ulang (testretest). Responden yang sama
29
diharuskan menjawab semua pertanyaan dalam alat pengukur (kuesioner)
sebanyak dua kali. Selang waktu antara pengukuran pertama dengan pengukuran
kedua antara 15-30 hari. Kemudian hasil pengukuran kedua dikorelasikan dengan
menggunakan teknik korelasi ‘product moment’ kembali (Singarimbun 1987).
Berdasarkan hasil uji coba kuesioner kepada 20 persen dari total responden
atau sebanyak delapan orang nelayan didapatkan bahwa tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan, tingkat ketergantungan finansial, dan kondisi institusi TPI
dinyatakan valid karena pengujian validitas dan reliabilitas didapat hasil nilai r
hitung lebih besar dari r tabel dengan alfa sebesar lima persen. Indikator lama
menjadi nelayan dan lama nelayan tinggal di Desa tersebut tidak digunakan dalam
penelitian ini karena seluruh nelayan merupakan penduduk asli Desa Tanjung
Pasir dan telah melakukan kegiatan nelayan sejak masih Sekolah Dasar (SD)
sehingga tidak valid karena pengujian validitas dan reliabilitas didapat hasil nilai r
hitung lebih kecil dari r tabel dengan alfa sebesar lima persen.
3.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik analisis data pada penelitian kuantitatif ini dilakukan dengan
menggunakan teknik analisa data deskriptif yaitu melalui statistika deskriptif.
Statistika
deskriptif
digunakan
untuk
menganalisis
data
dengan
cara
mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul tanpa membuat
generalisasi hasil penelitian. Termasuk dalam analisis data statistik deskriptif
antara lain penyajian data melalui tabel, grafik, diagram, persentase, frekuensi,
perhitungan mean, median atau modus. Data diolah menggunakan Microsoft
Office Excel 2007. Analisis data meliputi:
1. Penentuan jumlah skor. Proses scoring yaitu penentuan jumlah skor
pada masing-masing responden. Jumlah skor akan digolongkan ke dalam range
kelas. Kelas-kelas tersebut ditentukan dengan menggunakan bantuan aplikasi
minitab yaitu dalam menentukan quartil satu, median, dan quartil tiga untuk
membuat range kelas. Proses scoring ini dilakukan untuk:
a) menghitung tingkat pendidikan nelayan
b) menghitung tingkat pendapatan nelayan
30
c) menghitung tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan
patron-klien yang terjadi
d) menghitung kondisi institusi TPI
Skor tinggi untuk mengukur tingkat pendidikan nelayan adalah tiga, skor
sedang adalah dua, dan skor rendah adalah satu. Skor tinggi untuk mengukur
tingkat pendapatan nelayan adalah tiga, skor sedang adalah dua, dan skor rendah
adalah satu. Tingkat ketergantungan finansial masing-masing responden akan
dilihat pada total skor dan penggolongan kriteria yang telah ditentukan. Skor total
maksimum dari pernyataan yang menunjukkan tingkat ketergantungan finansial
bernilai 16. Tingkat ketergantungan finansial nelayan terhadap tengkulak
dinyatakan tinggi apabila skor yang diperoleh sebesar 12-16. Tingkat
kergantungan finansial sedang berada dalam skor 6-11. Sedangkan untuk tingkat
ketergantungan rendah skor yang didapat 0-5.
Kondisi institusi TPI juga akan dilihat pada total skor dan penggolongan
kriteria yang telah ditentukan. Skor total maksimum dari pernyataan yang
menunjukkan kondisi institusi TPI bernilai 12. Kondisi institusi TPI dinyatakan
tinggi apabila skor yang diperoleh sebesar 8-12. Kondisi institusi TPI sedang
berada dalam skor 4-7. Skor 0-3 menunjukkan kondisi TPI yang rendah.
2. Dummy table. Tabel tiruan (dummy table) dibuat untuk menghasilkan
tabel-tabel bentukan hasil penghitungan (kalkulasi) dalam tabel atau antar tabel.
Kegunaan utama untuk menghasilkan tabel-tabel frekuensi dan tabel indikator.
Dengan cara ini akan dapat dihasilkan tabel-tabel yang sesuai dengan keinginan,
seperti hubungan pengaruh antara tingkat pendidikan nelayan dengan tingkat
ketergantungan
finansial,
tingkat
pendapatan
nelayan
dengan
tingkat
ketergantungan finansial, tingkat ketergantungan finansial dengan perilaku
nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan, dan kondisi institusi TPI dengan
perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan.
Teknik analisis data kualitatif yang akan mendukung penelitian ini
menggunakan konsep Miles dan Hubermas. Konsep tersebut menyebutkan bahwa
terdapat tiga sub-proses analisis data yang saling terkait yaitu reduksi data,
penyajian data, dan pengambilan kesimpulan.
4. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
4.1
Sejarah Desa
Desa Tanjung Pasir adalah Desa yang mayoritas masyarakatnya bermata
pencaharian sebagai nelayan tradisional. Kata Tanjung Pasir berasal dari kata
“Tanjung” yang berarti daratan yang menonjol di permukaan Laut Jawa dan kata
“Pasir” berarti permukaan tanah yang berupa pasir. Di samping itu, Tanjung Pasir
pada masa zaman penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia pernah dijadikan
tempat atau benteng pertahanan. Setiap bagian dari wilayah tersebut dikuasai oleh
tuan tanah. Desa Tanjung Pasir merupakan pemekaran wilayah yang dahulu masih
bagian dari Desa Tegalangus. Pemekaran wilayah Desa Tegalangus dan Desa
Tanjung Pasir terjadi pada tahun 1984-an.
4.2
Kondisi Geografis
Desa Tanjung Pasir terletak di sebelah utara kantor Kecamatan Teluknaga
dengan jarak tempuh 12 kilometer dan mempunyai unsur pembantu pemerintah
terbawah, terdiri dari enam Kepala Dusun, 14 Rukun Warga (RW), dan 34 Rukun
Tetangga (RT). Desa Tanjung Pasir memiliki luas 570 hekto are (Ha) yang terdiri
dari 72 Ha, Empang 334 Ha, Sawah 83 Ha, dan TPU seluas 7000 meter. Desa
Tanjung Pasir merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian dari
permukaan laut satu meter dengan suhu udara 30 derajat celcius sampai 37 derajat
celcius. Jarak tempuh dari pusat Pemerintahan Desa Tanjung Pasir dalam
melaksanakan hubungan komunikasi kerja dengan kantor Kecamatan adalah 12
kilometer. Jarak tempuh dari pusat pemerintahan Desa Tanjung Pasir dengan
Ibukota Kabupaten adalah 54 kilometer, sedangkan jarak tempuh dari pusat
Pemerintahan Desa Tanjung Pasir dengan Ibukota Propinsi adalah 72 kilometer.
Desa Tanjung Pasir mempunyai batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara
berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Desa Muara,
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tegalangus, dan sebelah barat berbatasan
dengan Desa Tanjung Burung.
32
Desa Tanjung Pasir mempunyai tiga musim yaitu penghujan, kemarau,
dan angin. Musim yang mempengaruhi Desa Tanjung Pasir pada masa kurun
waktu satu tahun 2010 adalah musim angin. Angin bertiup dari arah barat/
baratdaya dengan kecepatan 15 km/jam dan curah hujan rata-rata 26,4 mm/tahun.
Kondisi udara tercemar ringan walaupun tidak memiliki taman kota.
4.3
Kondisi Sosial Ekonomi
Keadaan ekonomi erat kaitannya dengan sumber mata pencaharian
penduduk. Jumlah penduduk Desa Tanjung Pasir sampai dengan bulan Juni tahun
2010 tercatat sebanyak 10.225 jiwa dengan jumlah usia produktif sebesar 7.654
jiwa. Komposisi penduduk Desa Tanjung Pasir terdiri dari laki-laki 4.115 jiwa
dan perempuan sebanyak 6.110 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK)
sebanyak 1.853 KK. Penduduk Desa Tanjung Pasir 100 persen merupakan Warga
Negara Indonesia (WNI). Secara umum dapat dijelaskan bahwa Desa Tanjung
Pasir bermata pencaharian nelayan. Berikut adalah rincian jumlah penduduk
berdasarkan mata pencaharian pokok (Gambar 4):
y
2331
2500
2000
1500
1213
1000
500
65
15
24
62
30
5
25
6
30
43
6
8
176
0
x
Keterangan:
sb.x: jenis pekerjaan
sb.y: jiwa
Gambar 4.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
33
Ekonomi masyarakat dapat meningkat melalui upaya ekonomi produktif
setiap individu. Sarana perekonomian/perdagangan di Desa Tanjung Pasir yaitu
satu unit koperasi, 100 unit warung/kedai, lima unit kios kelontong, delapan unit
bengkel, dan 20 unit toko. Sarana kesehatan yang tersedia di Desa Tanjung Pasir
meliputi satu unit Poskesdes (Pos Kesehatan Desa), enam unit Posyandu, dua
praktek Dokter, empat praktek Bidan, dan empat orang Paraji.
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Tanjung Pasir yaitu empat unit
Taman Kanak-Kanak (TK), empat unit Sekolah Dasar (SD)/Sederajat, dan satu
unit Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tingkat pendidikan di Desa Tanjung
Pasir tergolong rendah karena masih banyak penduduk yang hanya menempuh
pendidikan sampai Sekolah Dasar (SD) saja. Berikut ini adalah jumlah penduduk
berdasarkan tingkat pendidikan yang akan disajikan pada Gambar 5.
Tamat
SMA/sederajat;
954
Perguruan
tinggi/Sarjana/D1
-D3; 566
Tamat
SMP/sederajat;
1653
Belum
sekolah/tidak
sekolah; 2619
Tamat
SD/sederajat;
3789
Gambar 5.
4.4
Tidak tamat
SD/sederajat;
243
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Kondisi Sosial Budaya
Dari jumlah penduduk sebesar 10.225 jiwa, penduduk yang beragama
Islam berjumlah 97 persen. Suasana kehidupan beragama di Desa Tanjung Pasir
cukup baik, tenang, dan saling menghormati. Sarana peribadatan terdiri dari enam
unit masjid, 30 unit mushola, dan 12 unit majelis taklim. Rincian penduduk
berdasarkan agama yang dianut (Gambar 6) adalah 9594 orang beragama islam,
34
12 orang beraga khatolik, dua orang beragama protestan, 56 orang beragama
hindu, dan 51 orang beragama budha.
9594
10000
5000
12
0
Islam
Gambar 6.
4.5
Khatolik
2
Protestan
56
Hindu
51
jiwa
Budha
Diagram Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut
Kondisi Perikanan
Mengingat lokasi Desa Tanjung Pasir yang berada dekat dengan laut,
maka sebagian besar penduduknya bergantung dengan hasil laut. Untuk
memanfaatkan hasil laut tersebut, masyarakat Tanjung Pasir melakukan kegiatan
menangkap ikan dengan berprofesi sebagai nelayan. Pemerintah memberikan
fasilitas berupa Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang terletak di Desa Tanjung
Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Jarak
dengan Ibukota Provinsi Banten sejauh 120 kilometer, dengan Ibukota Kabupaten
Tangerang sejauh 35 kilometer dan berjarak tujuh kilometer dari Ibukota
Kecamatan Tanjung Pasir. Secara geografis, PPI Tanjung Pasir ini berada pada
koordinat 6.0239 S Latitude dan 106.6568 E Longitude. Adapun batas PPI
Tanjung Pasir, yaitu: sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan
berbatasan dengan Desa Tegal Angus, sebelah timur berbatasan dengan Desa
Temo, dan sebelah barat berbatasan dengan Kampung Garapan.
PPI Tanjung Pasir ini merupakan milik pemerintah Kabupaten Tangerang
yang pengelolaannya oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Wilayah Kabupaten
Tangerang termasuk kedalam kawasan minapolitan yang ditetapkan melalui
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.32/MEN/2010. Pegawai TPI
35
Tanjung Pasir berjumlah tiga orang yang terdiri dari satu orang berpendidikan S1
dan dua orang SLTA. Struktur organisasi PPI Tanjung Pasir dapat dilihat pada
Gambar 7.
Manajer
TU
Kasir Penerima
Juru Tulis Lelang
Juru Lelang
Kasir
Kasir Bayar
Gambar 7.
Entry Computer
Struktur Organisasi PPI Tanjung Pasir
Fasilitas pelabuhan merupakan sarana dan prasarana yang tersedia di
lokasi pelabuhan untuk mendukung kegiatan operasional pelabuhan perikanan.
Fasilitas ini terdiri dari fasilitas pokok (Tabel 7), fasilitas fungsional (Tabel 8),
dan fasilitas penunjang.
Tabel 7. Daftar Fasilitas Pokok PPI Tanjung Pasir
Nama
Jumlah
Volume
Fasilitas
(unit)
Areal
Daratan
Pelabuhan
1
2165
m
Dermaga
1
800
Tempat
Tambat
(Bollard)
2
Jalan
1
1500
Satuan
Kondisi
Pemanfaatan
Tahun
Sumber
Fasilitas
Pembuatan
Dana
Baik
Sesuai
1998
APBD
m
Baik
Sesuai
2000
APBD
m
Rusak
ringan
Sesuai
2000
APBD
m
Baik
Sesuai
2000
APBD
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010)
Fasilitas pokok yang dimiliki oleh PPI Tanjung Pasir adalah areal daratan
pelabuhan, dermaga, tempat tambat (bollard) dan jalan. Fasilitas fungsional
36
meliputi TPI, penampung/tangki air, daya listrik, SPBN, kantor administrasi
pelabuhan. Fasilitas penunjang yang dimiliki oleh PPI Tanjung Pasir adalah
berupa satu unit rumah karyawan seluas 42 m2. Fasilitas ini diadakan pada tahun
2000 dimana sumber dananya berasal dari APBD. Kondisi fasilitas rusak ringan
dan tidak dimanfaatkan. Berdasarkan Permen KP No.Per. 16/MEN/2006, fasilitas
yang ada sudah memenuhi syarat sebagai sebuah pelabuhan tipe D (PPI) dimana
salah satu syaratnya adalah memiliki dermaga minimal 50 m2. Dengan demikian,
PPI Tanjung Pasir berada dalam standar fasilitas pokok klasifikasi pelabuhan
perikanan.
Tabel 8. Daftar Fasilitas Fungsional PPI Tanjung Pasir
Nama
Jumlah
Volume
Satuan
Fasilitas
(unit)
Tempat
Pelelangan
Ikan (TPI)
1
1000
m2
Penampung/
tangki air
1
1000
Sumber Air
1
Daya
Listrik
Kondisi
Pemanfaatan
Tahun
Sumber
Fasilitas
Pembuatan
Dana
Baik
Sesuai
2000
APBD
1
Baik
Sesuai
2000
APBD
7
m
Rusak
ringan
Tidak
dimanfaatkan
2000
APBD
1
900
watt
Baik
Sesuai
2000
SPBN
1
16000
1
Baik
Tidak
dimanfaatkan
2000
APBD
Tempat
Parkir
1
170
m
Rusak
Ringan
Sesuai
2000
APBD
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010)
Armada kapal perikanan yang mendaratkan ikan di TPI Tanjung Pasir
didominasi oleh kapal motor tempel yang berjumlah 50 unit dan kapal kurang dari
lima GT yang berjumlah 52 unit. Jenis alat tangkap ikan yang digunakan oleh
nelayan yang yang tercatat pada tahun 2010 adalah jaring insang tetap sebanyak
27 unit dan rawai tetap sebabyak 75 unit. Jumlah ikan hasil tangkapan yang
tercatat di PPI Tanjung Pasir pada tahun 2010 sebanyak 65,789 ton dengan nilai
produksi sebesar Rp. 725.263.000,-. Jumlah ikan dominan yang didaratkan di
pelabuhan ini dapat disajikan pada Tabel 9. Tujuan pemasaran ikan segar yang
berasal dari PPI Tanjung Pasir adalah Kabupaten Tangerang dan Jakarta,
sedangkan untuk ikan olahan dipasarkan ke wilayah Kabupaten Tangerang.
37
Tabel 9. Ikan Dominan yang Didaratkan di PPI Tanjung Pasir (2010)
Jenis Ikan Dominan
Jumlah Produksi Ikan (ton)
Nilai Produksi (Rp)
Pari
11,847
67.093.000
Tengkek
8,074
64.920.000
Manyung
6,993
53.074.500
Kembung
8,907
108.784.000
Samge
6,103
38.686.000
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010)
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) merupakan salah satu fasilitas fungsional
dari Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). TPI Tanjung Pasir terletak di Desa Tanjung
Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, provinsi Banten. Berikut ini
adalah batas-batas TPI Tanjung Pasir, yaitu: sebelah utara
berbatasan
dengan
Kepulauan Seribu, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tegal Angus, sebelah
timur berbatasan dengan Pantai Dadap, dan sebelah barat berbatasan dengan
Tanjung Burung.
Manajer: Suryadi
TU: Masudi
Kasir: Yanto
Kasir Penerima:
Masudi
Gambar 8.
Juru Lelang:
Andi Lala
Juru Tulis Lelang:
Roni
Kasir Bayar:
Yanto
Struktur Organisasi TPI Tanjung Pasir (2011)
Data jumlah armada kapal perikanan yang mendaratkan ikan di TPI
Tanjung Pasir didominasi oleh kapal motor tempel sebanyak 79 unit. Jenis alat
38
penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan yang berorientasi di TPI Tanjung
Pasir yang tercatat pada tahun 2010 adalah Jaring Rampus sebanyak 22 unit dan
Pancing Rawe sebanyak 57 unit. Pegawai TPI Tanjung Pasir berjumlah tiga
orang. Struktur organisasi TPI disajikan pada Gambar 8. Status dan peranan
individu dalam struktur organisasi TPI diharapkan sesuai dengan pratik di lapang.
Kegiatan lelang di TPI Tanjung Pasir dilakukan setiap hari pada pukul
10.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB. Kegiatan pelelangan ikan
melibatkan pengelola TPI sebagai pelaksana lelang, nelayan sebagai produsen
ikan yang akan dilelang, dan palele sebagai bakul atau pembeli ikan hasil
tangkapan nelayan yang akan dilelang. Retribusi yang dipungut dalam
pelaksanaan lelang berdasarkan Perda Kabupaten Tangerang No 19 tahun 2002
tentang Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Rincian retribusi tersebut yaitu sebesar
lima persen
dipungut dari nelayan dua persen dan dari bakul tiga persen.
Retribusi yang masuk akan disetorkan untuk Pemda tiga persen, dana operasional
1,5 persen, dana paceklik 0,15 persen, dana sosial 0,15 persen, dan simpanan
nelayan sebesar 0,2 persen.
Wilayah penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Tanjung Pasir
adalah Perairan Kepulauan Seribu. Produksi ikan hasil tangkapan yang tercatat di
TPI Tanjung Pasir pada tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Tabel 11.
Produksi ikan tersebut terkait dengan musim penangkapan ikan (Tabel 10).
Tabel 10. Kalender Musim Penangkapan Ikan
Musim Ikan
Bulan
1
2
3
4
5
7
8
9
10
11
12
9 9 9
Penangkapan Tinggi
9 9
Penangkapan Sedang
Penangkapan Rendah
6
9 9 9 9
9 9 9
Musim penangkapan tertinggi atau puncak panen berada dalam bulan Juni,
Juli, dan Agustus. Musim penangkapan tertinggi disebut Along. Sedangkan musim
penangkapan terendah adalah Januari, Februari, dan Maret. Pada bulan April,
39
Mei, dan September, Oktober, November, dan Desember banyaknya ikan biasa
saja.
Tabel 11. Data Produksi Ikan Hasil Tangkapan
Bulan, Tahun
Produksi Ikan (kg)
Nilai Produksi (Rp)
Juli, 2010
11,331
125.126.000
Agustus, 2010
12,645
133.821.000
September, 2010
7,549
77.561.000
Oktober, 2010
12,574
133.980.000
November, 2010
9,332
100.902.000
Desember, 2010
13,067
161.850.000
Januari, 2011
3,828
49.997.000
Februari, 2011
6,741
80.652.000
Maret, 2011
9,014
104.710.000
Sumber: Data Operasional TPI Tanjung Pasir
Jenis ikan yang diproduksi oleh nelayan yang dilelang di TPI Tanjung
Pasir meliputi ikan kuwe, ekor kuning, bambangan, kurisi, kerapu, tengiri, talang,
rajungan, kembung, lape (kaci-kaci), perek, manyung, tengek, cucut, pari, selar,
udang, tembang, samge, kuro, dan belanak. Produksi ikan dominan yang dilelang
di TPI Tanjung Pasir adalah ikan pari dan nilai produksi terbesar berasal dari
pelelangan ikan kuwe. Prakiraan perbandingan jumlah produksi ikan berdasarkan
jenisnya dapat digambarkan pada Gambar 9. Prakiraan perbandingan jenis
tangkapan ikan ini diperoleh dari data TPI bulan Juli tahun 2010.
40
kuro
samge
4,28%
5,22%
belanak kuwe ekor kuning
0,83% 3.78% 0,87%
tambang
8,31%
udang
0.26%
selar
8,71%
kurisi
4,32%
kerapu
2.57%
Gambar 9.
tengiri
2.40%
talang
1,83%
rajungan
1.75%
kembung
9.21%
laci
2,60%
pari
12.11%
cucut
5.52%
bambangan
2,67%
tengkek
9,23%
perek
5,60%
manyung
7,92%
Prakiraan Perbandingan Jumlah Produksi Ikan Berdasarkan Jenis
Ikan di TPI Tanjung Pasir.
5. PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU
NELAYAN DALAM PEMASARAN HASIL TANGKAPAN
5.1
Ikatan Patron-Klien
Patron-klien di dalam masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan terjadi
karena perbedaan struktur sosial 12 dan telah menjadi basis relasi sosial. Struktur
sosial tersebut menyebabkan terjadinya pola hubungan antara patron dengan klien.
Ikatan patron-klien dapat terjadi dalam beberapa aktivitas diantaranya aktivitas
pemasaran yang terkait dengan faktor ketergantungan finansial, aktivitas produksi
yang terkait dengan pemilihan alat tangkap, hingga kepemimpinan sosial dalam
kehidupan bermasyarakat. Penelitian ini akan memusatkan perhatian pada ikatan
patron-klien dalam aktivitas pemasaran yang terjadi karena ketergantungan
finansial antara klien dengan patron dalam kegiatan mencari nafkah. Kegiatan
mencari nafkah yang dimaksud adalah kegiatan melaut atau menangkap ikan di
laut. Patron adalah orang yang memiliki kemampuan finansial tinggi, sedangkan
klien adalah orang yang secara alamiah tergantung kepada patron dalam
pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam penelitian ini, yang dimaksud patron adalah
langgan dan yang dimaksud klien adalah nelayan. Peran patron adalah sebagai
pembeli hasil tangkapan nelayan yang telah menjadi kliennya. Peran klien adalah
menjual hasil tangkapan mereka kepada patron yang telah meminjamkan modal
melaut.
Ikatan patron-klien ini terjadi karena ketidakmampuan nelayan dalam
pemenuhan modal untuk melakukan aktivitas melaut yang merupakan mata
pencaharian pokok mereka. Modal yang dibutuhkan nelayan dalam sekali melaut
meliputi biaya bahan bakar perahu, biaya konsumsi melaut, dan untuk kebutuhan
hidup keluarga atau rumah tangga nelayan. Modal melaut terkait dengan lokasi
atau wilayah penangkapan ikan. Wilayah penangkapan ikan yang dilakukan oleh
nelayan Tanjung Pasir adalah perairan Kepulauan Seribu. Awalnya nelayan tidak
jauh dalam menentukan lokasi untuk menangkap ikan atau melaut, namun dengan
12
Termasuk di dalam pengertian struktur sosial adalah pelapisan sosial atau juga disebut
stratifikasi sosial dan jumlah dan ciri kependudukan suatu masyarakat (Harper 1989 dalam
Adulkadir, Sunito 2003).
42
kondisi ikan yang semakin sedikit membuat nelayan harus lebih jauh dalam
mencari ikan. Jarak tempuh nelayan dalam menangkap ikan tersebut berpengaruh
terhadap biaya operasional nelayan khususnya bahan bakar perahu. Semakin jauh
jarak tempuh nelayan untuk melaut, semakin tinggi biaya yang dibutuhkan dalam
pemenuhan bahan bakar perahu. Modal yang dibutuhkan nelayan untuk satu kali
melaut dalam sehari sebesar Rp.50.000,- sampai dengan Rp.150.000,-. Sedangkan
nilai hasil tangkapan nelayan hanya sebesar Rp.150.000,- sampai Rp.600.000,-.
Jumlah tersebut masih harus dikurangi biaya operasional melaut, dan dibagi
dengan ABK (Anak Buah Kapal) yang berjumlah dua sampai tiga orang. Dengan
kondisi demikian fluktuasi produksi ikan hasil tangkapan nelayan (Gambar 10)
terkait dengan musim penangkapan ikan.
Produksi Ikan (kg)
Agt
Nilai Produksi (Rp)
Des
Okt
Des
Jul
Nov
Mar
Sept
Feb
Jan
Gambar 10.
Jul
Agt
Okt
Mar
Nov
Feb
Sept
Jan
Fluktuasi Jumlah Produksi dan Nilai Produksi Ikan di TPI
Pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, produksi ikan dan nilai produksi makin
meningkat, maka berimplikasi pada penghasilan nelayan yang akan turut
meningkat. Sebaliknya, pada bulan Januari, Februari, dan Maret terjadi penurunan
jumlah ikan yang akan mengakibatkan rendahnya nilai produksi, maka
berimplikasi terhadap penghasilan nelayan yang akan menurun. Dari data musim
penangkapan ikan tersebut dapat menggambarkan ketidakpastian penghasilan
nelayan. Terlebih jika terjadi musim angin maka nelayan tidak melakukan
aktivitas melaut, akibatnya nelayan tidak memiliki penghasilan. Hal tersebut yang
menyebabkan nelayan harus meminjam uang kepada langgan untuk memenuhi
43
kebutuhan hidup. Keadaan tersebut yang memacu terjadinya hubungan patronklien.
5.2
Masalah dalam Tataniaga Hasil Tangkapan Nelayan
Berdasarkan teori pertukaran yang diungkapkan oleh Wrihatnolo dan
Dwidjowijoto (2007) bahwa pertukaran didasarkan pada norma resiprositas yaitu
ada posisi sejajar di antara dua pihak, tempat dipertukarkannya sumberdaya, dan
materi. Terkait dengan teori pertukaran tersebut maka pertukaran yang terjadi
dalam institusi patron-klien telah terjadi ketidakadilan, dimana nelayan (klien)
mendapatkan keuntungan yang lebih sebikit dibanding langgan (patron).
Keuntungan yang diperoleh klien meliputi pinjaman modal melaut yaitu biaya
untuk melaut dan biaya untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan keuntungan yang
diperoleh patron meliputi harga beli hasil tangkapan nelayan yang rendah/murah.
Masalah-masalah yang terjadi dalam tataniaga hasil tangkapan nelayan
adalah sebagai berikut:
1) Belum ada institusi jaminan sosial ekonomi untuk nelayan yang dapat
memberikan modal melaut dan pinjaman kebutuhan hidup, selain
institusi patron-klien.
2) Belum ada institusi lain seperti koperasi yang dapat memberikan fasilitas
finansial dalam hal pemberian pinjaman sebagai modal melaut nelayan,
karena TPI hanya berperan dalam penyelenggaraan lelang untuk
membantu pemasaran hasil tangkapan nelayan.
3) Institusi patron-klien tidak dapat mendata secara valid total produksi
perikanan, sebaliknya institusi TPI melakukan pendataan terhadap
produksi perikanan.
4) Data produksi perikanan yang masih belum valid karena tidak semua
nelayan menggunakan institusi TPI sebagai sarana pemasaran hasil
tangkapan mereka. Data produksi perikanan bersifat sangat penting
karena dibutuhkan untuk pengelolaan sumberdaya.
44
5.3
Kondisi Tingkat Ketergantungan
Ketergantungan adalah suatu wujud dari ketidakseimbangan hubungan
antara seseorang yang memiliki status sosial, ekonomi, dan politik yang lebih
tinggi dengan pihak lain yang memiliki posisi lebih rendah. Ketergantungan
terjadi secara alamiah antara klien terhadap patron. Ketergantungan finansial
nelayan dalam Ikatan patron-klien yang terjadi dapat dilihat dari:
1)
Nelayan tidak dapat melakukan aktifitas melaut apabila tidak meminjam
uang sebagai modal melaut kepada langgan.
2)
Nelayan harus memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan karena
keterikatan hutang terhadap langgan tersebut.
3)
Nelayan tetap memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan
meskipun harga yang ditawarkan langgan lebih rendah dibandingkan
harga lelang di TPI.
4)
Nelayan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan karena
terpaksa.
5)
Nelayan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada langgan karena
mendapatkan kepastian dari langgan untuk membeli hasil tangkapannya.
Nelayan yang tidak memiliki modal untuk melaut akan meminjam uang
kepada langgan. Keterikatan hutang dari pinjaman modal tersebut menyebabkan
nelayan harus memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan tersebut.
Namun, harga yang diberikan langgan cenderung lebih rendah dibandingkan
harga pasar atau harga lelang di TPI. Hal tersebut menyebabkan semakin kecilnya
pendapatan nelayan. Pendapatan nelayan yang didapatkan dari hasil melaut harus
dipotong dengan hutang nelayan. Besarnya potongan tergantung dari besarnya
pinjaman dan kesepakatan antara nelayan dengan langgan. Nelayan akan terus
memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan tersebut hingga seluruh
hutangnya terbayar penuh. Akan tetapi, akan sangat sulit bagi nelayan karena
pendapatan nelayan akan terus mengecil karena selain dipotong angsuran hutang,
pendapatan mereka juga harus dibagi dengan ABK (abnak buah kapal) lainnya.
Rasio pembagian pendapatan apabila terdapat dua ABK dan satu orang juragan
adalah 1 : 1 : 3. Artinya, satu bagian untuk ABK dan tiga bagian untuk juragan
(Gambar 11). Juragan mendapatkan tiga bagian karena memiliki perahu dan alat
45
tangkap. Selain itu, akan sulit sekali bagi nelayan untuk melunasi hutang tersebut
agar tidak bergantung terhadap langgan karena produksi melaut nelayan yang
tidak pasti. Ketidakpastian produksi melaut nelayan dipengaruhi oleh faktor cuaca
dan angin.
20%
JURAGAN
20%
60%
ABK 1
ABK 2
Gambar 11.
Diagram Pembagian Hasil Melaut Nelayan
Ketergantungan nelayan terhadap langgan disebabkan karena tidak ada
institusi lain selain langgan yang dapat memberikan pinjaman secara cepat dan
mudah. Selain memberikan pinjaman modal melaut, langgan juga dapat
memberikan pinjaman untuk kebutuhan hidup sehari-hari pada rumah tangga
nelayan. Hubungan antara nelayan dan langgan memang saling menguntungkan,
namun terjadi ketidakseimbangan dalam perolehan keuntungan tersebut. Nelayan
diuntungkan dalam peminjaman modal melaut, sedangkan langgan diuntungkan
dalam membeli hasil tangkapan nelayan. Ketidakseimbangan tersebut terletak
pada harga yang ditetapkan langgan untuk hasil tangkapan nelayan yaitu sangat
jauh di bawah harga pasar atau harga lelang di TPI.
5.3.1 Hubungan antara Tingkat Pendidikan Nelayan dengan Tingkat
Ketergantungan Nelayan
Hipotesis satu adalah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan nelayan
dengan tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang
terjadi (Tabel 12). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa hasil yang telah
diperoleh adalah sebanyak 32,5 persen responden nelayan yang memiliki tingkat
pendidikan rendah memiliki tingkat ketergantungan finansial yang tinggi.
Sebanyak 2,5 persen responden yang memiliki tingkat pendidikan rendah
memiliki tingkat ketergantungan finansial yang sedang. Responden nelayan yang
46
memiliki tingkat pendidikan sedang dan tingkat ketergantungan finansial sedang
sebanyak 7,5 persen. Responden nelayan yang memiliki karakteristik serta tingkat
ketergantungan finansial yang sedang sebanyak 7,5 persen. Sebanyak sepuluh
persen responden nelayan memiliki tingkat pendidikan sedang dan tingkat
ketergantungan finansial yang rendah. Data penelitian menunjukkan tidak terdapat
atau nol persen responden nelayan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan
tingkat ketergantungan finansial tinggi. Demikian serupa dengan tidak terdapat
atau nol persen responden nelayan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi serta
tingkat ketergantungan finansial sedang dan rendah. Dari keterangan data di atas
dapat dilihat bahwa semakin rendah tingkat pendidikan nelayan maka semakin
tinggi tingkat ketergantungan finansial nelayan. Kondisi tersebut menunjukkan
terdapat hubungan pengaruh antara tingkat pendidikan nelayan dengan tingkat
ketergantungan finansial dalam ikatan patron-klien yang terjadi sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa cukup alasan untuk menerima hipotesis satu.
Tabel 12. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Nelayan dengan
Ketergantungan Finansial Nelayan.
Tingkat Pendidikan Nelayan
Tingkat
Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan
terhadap Langgan (%)
Tinggi
Sedang
Rendah
Tinggi
0
0
0
Sedang
2,5
7,5
10
Rendah
32,5
7,5
0
5.3.2 Hubungan antara Tingkat Pendapatan Nelayan dengan Tingkat
Ketergantungan Nelayan
Hipotesis dua adalah terdapat hubungan antara tingkat pendapatan nelayan
dengan tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang
terjadi (Tabel 13). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa hasil yang telah
diperoleh adalah sebanyak 30 persen responden nelayan yang memiliki tingkat
pendapatan rendah memiliki tingkat ketergantungan finansial yang tinggi.
Sebanyak 40 persen responden yang memiliki tingkat pendapatan sedang
memiliki tingkat ketergantungan finansial yang rendah. Responden nelayan yang
47
memiliki tingkat pendapatan tinggi dan tingkat ketergantungan finansial rendah
sebanyak 20 persen. Responden nelayan yang memiliki tingkat pendapatan serta
tingkat ketergantungan finansial yang sedang sebanyak lima persen. Sebanyak
lima persen responden nelayan memiliki tingkat pendapatan sedang dan tingkat
ketergantungan finansial yang tinggi. Data penelitian menunjukkan tidak terdapat
atau nol persen responden nelayan yang memiliki tingkat pendapatan tinggi dan
tingkat ketergantungan finansial tinggi. Demikian serupa dengan tidak terdapat
atau nol persen responden nelayan yang memiliki tingkat pendapatan rendah dan
tingkat ketergantungan finansial rendah.
Tabel 13. Hubungan antara Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Ketergantungan
Finansial Nelayan.
Tingkat Pendapatan Nelayan
Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan
terhadap Langgan (%)
Tinggi
Sedang
Rendah
Tinggi
0
0
20
Sedang
5
5
40
Rendah
30
0
0
Dari keterangan data di atas dapat dilihat bahwa semakin rendah tingkat
pendapatan nelayan maka semakin tinggi tingkat ketergantungan finansial
nelayan. Kondisi tersebut menunjukkan terdapat hubungan pengaruh antara
tingkat pendapatan nelayan dengan tingkat ketergantungan finansial dalam ikatan
patron-klien yang terjadi sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa cukup alasan
untuk menerima hipotesis dua.
5.3.3 Hubungan antara Jenis Alat Tangkap dengan Tingkat
Ketergantungan Finansial
Hipotesis tiga adalah terdapat hubungan antara jenis alat tangkap dengan
tingkat ketergantungan finansial nelayan (Tabel 14). Tabel tersebut menunjukkan
bahwa hasil yang telah diperoleh adalah sebanyak 25 persen responden nelayan
yang menggunakan pancing sebagai alat tangkap memiliki tingkat ketergantungan
finansial yang tinggi. Sebanyak 10 persen responden nelayan yang menggunakan
48
jaring sebagai alat tangkap memiliki tingkat ketergantungan finansial yang tinggi.
Responden nelayan yang menggunakan pancing sebagai alat tangkap serta tingkat
ketergantungan finansial yang sedang sebanyak lima persen, sedangkan responden
nelayan yang menggunakan jaring sebagai alat tangkap serta tingkat
ketergantungan finansial yang sedang sebanyak 2,5 persen. Responden nelayan
yang menggunakan pancing sebagai alat tangkap dan tingkat ketergantungan
finansial yang rendah adalah sebanyak 20 persen. Sebanyak 37,5 persen
responden nelayan yang menggunakan jaring sebagai alat tangkap memiliki
tingkat ketergantungan finansial yang rendah.
Tabel 14.
Hubungan antara Jenis Alat Tangkap dengan Tingkat Ketergantungan
Finansial Nelayan
Jenis Alat tangkap
Tingkat Ketergantungan Finansial (%)
Tinggi
Sedang
Rendah
Pancing
25
5
20
Jaring
10
2,5
37,5
Dari keterangan data di atas dapat dilihat bahwa responden nelayan yang
menggunakan pancing sebagai alat tangkap cenderung memiliki tingkat
ketergantungan yang tinggi, sedangkan responden nelayan yang menggunakan
jaring sebagai alat tangkap cenderung memiliki tingkat ketergantungan yang
rendah. Kondisi tersebut menunjukkan terdapat hubungan antara jenis alat
tangkap dengan tingkat ketergantungan finansial sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa cukup alasan untuk menerima hipotesis tiga.
5.3.4 Hubungan antara Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan dengan
Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan
Hipotesis empat adalah terdapat hubungan antara tingkat ketergantungan
finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi dengan perilaku nelayan
dalam pemasaran hasil tangkapan (Tabel 15). Tingkat ketergantungan finansial
nelayan dihitung dengan menggunakan delapan pernyataan yang ditanyakan
kepada responden (lampiran 3). Pada Tabel 10 dijelaskan bahwa sebanyak 17,5
persen responden nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan finansial tinggi
49
akan memutuskan untuk memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan.
Responden nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan rendah dan
memutuskan untuk memasarkan hasil tangkapannya kepada TPI adalah sebanyak
57,5 persen. Terdapat 15 persen responden nelayan yang memiliki tingkat
ketergantungan finansial tinggi dan memasarkan hasil tangkapannya kepada
langgan dan TPI. Terdapat 2,5 persen responden nelayan yang memiliki tingkat
ketergantungan finansial sedang kemudian memasarkan hasil tangkapan kepada
langgan dan TPI. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa nelayan yang memasarkan
hasil tangkapan kepada langgan dan TPI akan memilih salah satu tempat
pemasaran sesuai dengan kondisi finansial dan hasil tangkapan. Semua responden
yang memasarkan hasil tangkapan kepada langgan dan TPI menyatakan bahwa
apabila mereka memiliki hutang kepada langgan, mereka akan memasarkan hasil
tangkapan kepada langgan. Akan tetapi, apabila tidak memiliki hutang, maka
mereka akan memilih untuk memasarkan hasil tangkapan melalui proses lelang di
TPI. Selain itu, dapat dilihat dari data bahwa tidak ada atau nol persen responden
nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi dan memasarkan hasil
tangkapan ikannya melalui proses lelang di TPI. Sebaliknya, tidak ada atau nol
persen responden nelayan yang memiliki tingkat ketergantungan rendah dan
memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan.
Tabel 15.
Hubungan antara Tingkat Ketergantungan Finansial Nelayan dengan
Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan.
Tingkat ketergantungan
Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan
finansial nelayan terhadap
(%)
langgan
Langgan
TPI
Langgan dan TPI
Tinggi
17,5
0
15
Sedang
7,5
0
2,5
Rendah
0
57,5
0
Hasil survai yang diperoleh dari 40 responden menyebutkan bahwa tingkat
ketergantungan finansial nelayan sangat berpengaruh terhadap perilaku nelayan
dalam pemasaran hasil tangkapan. Nelayan akan cenderung untuk memasarkan
hasil tangkapan ikan kepada langgan apabila memiliki tingkat ketergantungan
50
tinggi (Gambar 12). Sebaliknya, nelayan akan bebas menjual hasil tangkapan
ikannya melalui proses lelang di TPI apabila tingkat ketergantungan finansialnya
Tingkat Ketergantungan
Tinggi
rendah (Gambar 13).
42,86 %
14,28%
0% 0%
46,15 %
14,28%
Pancing
Jaring
Langgan
TPI
TPI dan
Langgan
Arah Pemasaran
Gambar 12.
Diagram
Jumlah
Responden
yang
Memiliki
Tingkat
Ketergantungan Tinggi Berikut dengan Arah Pemasarannya.
Sebanyak 42,86 persen responden yang memiliki tingkat ketergantungan
tinggi merupakan nelayan pancing dan akan memasarkan hasil tangkapan ikan
kepada langgan. Sebanyak 14,28 persen responden yang memiliki tingkat
ketergantungan tinggi merupakan nelayan jaring dan akan memasarkan hasil
tangkapan ikan kepada langgan. Sebaliknya, sebanyak 34,78 persen responden
yang memiliki tingkat ketergantungan rendah merupakan nelayan pancing dan
akan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada TPI. Sebanyak 65,22 persen
responden yang memiliki tingkat ketergantungan rendah merupakan nelayan
jaring dan akan memasarkan hasil tangkapan ikan kepada TPI.
Dapat
disimpulkan
bahwa
responden
yang
memiliki
tingkat
ketergantungan finansial tinggi akan memilih untuk memasarkan hasil tangkapan
ikannya kepada langgan. Hal tersebut disebabkan karena nelayan tidak memiliki
modal awal untuk melakukan aktifitas melaut. Keterikatan terhadap hutang ini
yang membuat nelayan terpaksa memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan
tersebut, walaupun harga yang diberikan jauh dibawah harga pasar atau harga
lelang di TPI. Hal tersebut menunjukkan terdapat hubungan pengaruh antara
tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi
51
dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan, maka hipotesis empat
Tingkat Ketergantungan
Rendah
dapat diterima.
65,22 %
0 % 0 % 34,78 %
Langgan
TPI
Pancing
0% 0%
Jaring
TPI dan
Langgan
Arah Pemasaran
Gambar 13.
5.4
Diagram
Jumlah
Responden
yang
Memiliki
Tingkat
Ketergantungan Rendah Berikut dengan Arah Pemasarannya.
Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan
Perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan adalah tingkah laku
nelayan dalam memilih tempat pemasaran hasil tangkapan ikannya. Dalam kasus
ini, nelayan dapat memilih antara institusi TPI ataupun langgan sebagai tempat
pemasaran. Hipotesis lima adalah terdapat hubungan antara persepsi nelayan
mengenai kondisi TPI dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan.
Kondisi institusi TPI diukur menggunakan enam indikator yaitu:
1) waktu lelang;
2) kebersihan;
3) retribusi;
4) harga lelang;
5) kinerja pengelola TPI;
6) kondisi gedung dan peralatan lelang.
Data hubungan pengaruh antara persepsi nelayan mengenai kondisi TPI
dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan yang diperoleh dari
responden disajikan pada tabel 16. Tabel 16 menunjukkan bahwa 57,5 persen
responden nelayan yang memiliki persepsi positif terhadap kondisi institusi TPI
maka akan lebih cenderung memasarkan hasil tangkapannya melalui proses lelang
52
di TPI. Sedangkan sebanyak 7,5 persen responden nelayan yang memiliki persepsi
sedang mengenai institusi TPI cenderung memasarkan hasil tangkapannya kepada
TPI maupun langgan. Tidak ada atau sebanyak nol persen responden nelayan
yang memiliki persepsi rendah terhadap institusi TPI. Data di atas menunjukkan
persepsi nelayan yang memasarkan ikan kepada langgan ataupun TPI cenderung
positif terhadap institusi TPI sebagai sarana untuk memasarkan hasil tangkapan
ikan. Akan tetapi dapat ditunjukkan bahwa semakin tinggi tinggi persepsi
responden nelayan mengenai kondisi institusi TPI maka semakin cenderung
responden memasarkan hasil tangkapan ikannya melalui proses lelang di TPI.
Setelah ditarik kesimpulan, data tersebut dapat menunjukkan terdapat hubungan
pengaruh antara persepsi nelayan mengenai kondisi institusi TPI terhadap perilaku
nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan, maka hipotesis lima dapat diterima.
Tabel 16. Hubungan antara Persepsi Nelayan mengenai Kondisi Institusi TPI
dengan Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan.
Persepsi Nelayan
Perilaku Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan (%)
Langgan
TPI
Langgan dan TPI
Tinggi
25
57,5
10
Sedang
0
0
7,5
Rendah
0
0
0
Data TPI Tanjung Pasir (2011) menyebutkan bahwa sebanyak 233 nelayan
yang terdiri dari 79 juragan dan 154 anak buah kapal (ABK) telah menjadi
anggota tetap TPI. Nelayan yang merupakan anggota tetap TPI akan secara rutin
menjual hasil tangkapannya melalui proses lelang di TPI. Jika dibandingkan
dengan total nelayan Desa Tanjung Pasir secara keseluruhan yaitu sebanyak 348
orang nelayan, maka hanya sebanyak 66,95 persen nelayan yang memanfaatkan
institusi TPI. Sisanya sebesar 33,05 persen nelayan memasarkan hasil tangkapan
kepada langgan. Dari data yang telah dipaparkan sebelumnya, banyak nelayan
yang memiliki pendapat positif mengenai institusi TPI. Meskipun demikian,
masih banyak nelayan yang tidak memanfaatkan institusi TPI dan memasarkan
hasil tangkapannya kepada langgan. Berikut ini dijelaskan keuntungan
menggunakan institusi TPI:
53
Keuntungan menggunakan institusi TPI sebagai sarana pemasaran ikan
bagi nelayan, antara lain:
1) Harga lelang di TPI yang lebih tinggi karena penawar tertinggilah yang
berhak membeli ikan.
2) Pendapatan nelayan dari hasil menangkap ikan membaik.
3) Terdapat simpanan nelayan untuk musim paceklik (ditarik melalui
retribusi).
Mekanisme pemasaran ikan melalui TPI (Gambar 14) dimulai saat
nelayan melalui institusi TPI menjual ikannya kepada palele 13 melalui proses
lelang. Setelah itu, palele mendistribusikannya kepada konsumen. Jalur transaksi
lelang atau proses lelang dimulai dengan pemisahkan hasil tangkapan ikan oleh
nelayan sesuai dengan jenisnya setelah itu dijejer dengan kondisi ikan diikat.
Seorang petugas TPI melakukan perhitungan dan pencatatan jumlah ikan yang
terdapat dalam setiap satu kelompok ikan yang akan dilelang. Jumlah ikan ini
dicatat dalam karcis total satuan lelang. Setelah palele berkumpul, maka kegiatan
lelang dimulai. Pelelangan dipimpin oleh juru lelang yang menawarkan harga
lelang. Naik turunnya harga penawaran tergantung pada volume ikan dan
kemampuan modal pedagang. Palele yang ingin membeli dapat langsung
menawar dan harga tertinggi yang berhak membeli ikan. Setelah itu palele
membayar ikan kepada kasir penerima, kemudian kasir penerima menyerahkan
karcis lelang kepada kasir bayar. Kasir bayar akan membayarkan ikan sesuai
dengan harga ikan setelah dipotong retribusi kepada nelayan. Pelaksanaan lelang
dilakukan secara berurut sesuai dengan nomor urut lelang.
13
Palele adalah sebutan lain untuk bakul yaitu orang yang akan membeli ikan di dalam proses
lelang. Palele terdiri dari pedagang, langgan, dan orang umum.
54
Nelayan
1
Institusi TPI
1
5
Kasir Bayar
Juru
Lelang
4
Kasir Penerima
2
Palele
2
3
3
Konsumen
Keterangan:
: Jalur Transaksi Lelang
: Mekanisme Pemasaran
: Lingkup TPI
Gambar 14.
Mekanisme Pemasaran Ikan melalui TPI
Faktor pendorong nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan tidak kepada
langgan adalah:
1) Nelayan sadar manfaat dan kegunaan TPI.
2) Kondisi Fisik dan non-fisik institusi TPI baik. Kondisi fisik TPI meliputi
gedung dan peralatan TPI. Sedangkan kondisi non-fisik TPI meliputi
waktu lelang, harga lelang, kebersihan, retribusi, dan kinerja pengelola
TPI. Kinerja institusi TPI dapat diketahui berdasarkan kesesuaian antara
status dan peran setiap individu pengelola (Tabel 17).
Nelayan yang mengetahui manfaat dan keuntungan dari institusi TPI akan
lebih cenderung untuk memasarkan hasil tangkapan ikannya melalui proses lelang
di TPI. Namun, pengaruh yang lebih besar dalam pemasaran hasil tangkapan
nelayan melalui proses lelang terjadi ketika nelayan melihat rekan nelayan lainnya
mendapatkan penghasilan yang lebih besar pada kuota ikan yang sama.
55
Tabel 17. Status dan Peranan Pengelola TPI
Status
Manajer
TU
Juru Lelang
Peranan
Penanggung jawab keseluruhan kegiatan lelang
Pengurus administrasi dan pembukuan kegiatan lelang
- Penanggung jawab kegiatan pelelangan
- Pemimpin jalannya proses pelelangan, termaksud tawarmenawar harga, serta penentu harga ikan
Juru Tulis Lelang
Kasir Penerima
Pencatat tansaksi lelang nelayan
Menerima uang pembelian ikan pada kegiatan lelang dari
palele/bakul
Kasir Bayar
Membayarkan uang hasil lelang ikan kepada nelayan setelah
dipotong retribusi
Selain melalui institusi TPI, nelayan juga dapat memasarkan hasil
tangkapan kepada langgan. Berikut adalah mekanisme pemasaran hasil tangkapan
dan hubungan yang terjadi di dalamnya, disajikan pada Gambar 15. Arah
pemasaran hasil tangkapan dimulai dari nelayan yang menjual hasil tangkapannya
kepada
langgan.
Setelah
itu,
langgan
memasarkan
kembali
atau
mendistribusikannya kepada konsumen.
Hubungan yang terjadi dimulai saat nelayan meminjam modal melaut
kepada langgan (1). Dalam proses pemberian modal tersebu, terjadi perjanjian
antara nelayan dan langgan yaitu hasil tangkapan nelayan tersebut harus dijual
kembali kepada langgan dengan harga yang ditentukan oleh langgan. Setelah
terjadi kesepakatan, barulah langgan meminjamkan modal (2). Setelah nelayan
pulang melaut, hasil tangkapan ikan nelayan dijual seluruhnya kepada langgan
sesuai dengan harga yang ditentukan langgan (3). Uang yang diterima dari
penjualan tersebut kemudian dipotong dari banyaknya hutang.
56
Nelayan
2
1
1
3
Langgan
2
Konsumen
Keterangan:
: Arah pemasaran
: Hubungan Perilaku
Gambar 15.
Mekanisme Pemasaran Ikan kepada Langgan
Alasan utama nelayan memasarkan ikannnya kepada langgan adalah
karena nelayan tidak memiliki modal melaut. Nelayan tidak memiliki modal
melaut yang cukup karena tidak mampu membeli solar sebagai bahan bakar
perahu dan tidak mempunyai cukup dana untuk membeli perbekalan melaut dan
untuk kebutuhan sehari-hari keluarga mereka di rumah.
Faktor penarik nelayan dalam menjual hasil tangkapannya kepada langgan
adalah:
1) Langgan dapat meminjamkan modal melaut kepada nelayan.
2) Langgan dapat dengan cepat memberikan hutang kepada nelayan untuk
kebutuhan sehari-hari.
3) Langgan memberikan kepastian dalam membeli hasil tangkapan nelayan.
Selain faktor penarik yang disebutkan diatas, terdapat faktor lain yang juga
dapat menyebabkan nelayan menjual hasil tangkapan ikannya kepada langgan
yaitu:
1) Jenis alat tangkap nelayan dan waktu melaut nelayan.
2) Hubungan kekerabatan atau keluarga.
57
Jenis alat tangkap juga menentukan arah pemasaran hasil tangkapan.
Sebanyak 47,06 persen responden yang memasarkan hasil tangkapannya kepada
langgan menggunakan pancing klitik sebagai alat tangkapannya. Kemudian 23,53
persen menggunakan pancing rawe, dan sisanya 29,41 persen menggunakan jaring
rampus. Dari observasi lapang, 100 persen nelayan yang menggunakan alat
tangkap pancing klitik memasarkan hasil tangkapannya kepada langgan. Hal
tersebut karena nelayan yang menggunakan pancing klitik memiliki waktu melaut
yang lebih lama dan melakukan bongkar muatan pada sore hari. Waktu melaut
nelayan yang menggunakan pancing klitik biasanya berkisar antara delapan
sampai sepuluh jam perhari. Nelayan pergi melaut pukul 05.00 WIB dan bongkar
muatan / pulang melaut pukul 17.00 WIB. Nelayan dengan jenis alat tangkap
pancing klitik akan lebih mudah mendapatkan ikan apabila menjelang sore hari
karena ikan akan lebih dekat ke permukaan laut.
Nelayan yang memasarkan hasil tangkapan ikannya di TPI umumnya
menggunakan alat pancing berjenis pancing rawe dan jaring rampus. Pancing
rawe memiliki mata pancing yang banyak sehingga ikan yang akan tertangkap
lebih banyak. Jaring rampus juga dapat menangkap ikan dengan hasil yang lebih
banyak dibanding menggunakan pancing klitik. Jaring rampus dapat menangkap
ikan pada kedalaman yang lebih dalam sehingga tidak perlu bagi nelayan untuk
menunggu sore hari agar ikan naik ke permukaan air. Umumnya nelayan yang
menggunakan alat pancing berupa pancing rawe dan jaring rampus melakukan
aktifitas melaut mulai pukul 23.00 WIB - 03.00 WIB dan pulang melaut atau
bongkar muatan pukul 08.00 WIB – 10.00 WIB. Jadwal tersebut sesuai dengan
kegiatan lelang yang dimulai pukul 10.00 WIB.
Perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan juga dipengaruhi oleh
hubungan kekerabatan atau keluarga. Nelayan yang mempunyai kerabat seorang
langgan akan cenderung memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan
tersebut. Hal ini dilakukan nelayan karena rasa sungkan nelayan apabila
memasarkan hasil tangkapan ikannya di tempat lain. Menurut informan, pengaruh
hubungan kekerabatan ini berada dalam jumlah yang sangat sedikit, hanya
berkisar antara 0,5 sampai satu persen dari total nelayan. Pengaruh terbesar
58
pemasaran hasil tangkapan nelayan terletak pada ketergantungan finansial kepada
langgan.
5.5
Analisis Pengaruh Ikatan Patron-Klien Terhadap Perilaku Nelayan
dalam Pemasaran Hasil Tangkapan
Hasil penelitian menunjukkan 72,7 persen dari nelayan yang memiliki
tingkat ketergantungan tinggi dan kondisi institusi TPI tinggi akan memasarkan
hasil tangkapannya kepada langgan. Sisanya 27,27 persen akan memasarkan
kepada langgan dan TPI, dengan catatan apabila nelayan memiliki hutang kepada
langgan maka akan memasarkannya kepada langgan. Akan tetapi, jika nelayan
tidak memiliki hutang kepada langgan maka nelayan bebas memasarkan ikannya
melalui proses lelang di TPI. Artinya 100 persen nelayan akan memasarkan hasil
tangkapan ikannya kepada langgan apabila memiliki tingkat ketergantungan
finansial yang tinggi.
Meskipun nelayan memiliki persepsi tinggi mengenai kondisi institusi TPI
tetapi nelayan juga memiliki tingkat ketergantungan finansial yang tinggi, maka
nelayan akan memasarkan hasil tangkapan ikannnya kepada langgan. Tingkat
ketergantungan finansial ini merupakan bagian dari ikatan patron-klien dalam
aktivitas pemasaran. Ikatan patron-klien akan lebih kuat pengaruhnya pada
perilaku nelayan dalam memasarkan hasil tangkapan dibandingkan dengan
kondisi institusi TPI itu sendiri.
Tingkat ketergantungan finansial merupakan indikator dari ikatan patronklien dalam aspek pemasaran. Pernyataan tersebut telah terbukti melalui survai
yang dilakukan terhadap nelayan. Ikatan patron-klien yang terjadi dalam
kehidupan nelayan berpengaruh terhadap perilaku nelayan tersebut dalam
memasarkan hasil tangkapan ikannya. Pengaruh ikatan patron-klien terhadap
perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan adalah nelayan memasarkan
hasil tangkapan ikannya kepada langgan meskipun harga jual di langgan jauh
lebih rendah dibanding di TPI. Contohnya harga ikan kuwe pada bulan maret
2011 di TPI yaitu Rp.27.000,-/kg. Sedangkan apabila dipasarkan kepada langgan
ikan kuwe hanya dibeli dengan harga Rp.21.000,-/kg. Akibatnya adalah nelayan
59
semakin miskin, tidak berdaya, dan terikat kepada langgan karena faktor hutang
nelayan kepada langgan bersifat persisten atau berkelanjutan.
Faktor hutang diatas dapat dikatakan modified social capital yaitu
menjerat nelayan agar memasarkan hasil tangkapan kepada langgan. Ikatan
patron-klien ini terjadi secara alamiah karena secara otomatis nelayan miskin yang
tidak memiliki modal melaut akan mencari langgan yang dapat memberikan
modal melaut dan pinjaman untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Kemudian,
nelayan harus menjual tangkapannya kepada langgan selama angsuran hutangnya
belum lunas. Ikatan patron-klien yang terjadi dalam aktivitas pemasaran ini
berdampak kepada jumlah nelayan yang menjadi anggota tetap TPI. Namun, hal
tersebut pengaruhnya sangat kecil terhadap kegiatan TPI. Institusi TPI masih tetap
berjalan dengan baik. Bahkan palele yang membeli pada proses lelang berasal dari
berbagai kalangan seperti pedagang dan turis lokal yang sedang berkunjung.
5.6
Ikhtisar
Merujuk terhadap lima bentuk hubungan yang terjadi antara patron dan
klien dalam Scott (1981), patron-klien yang terjadi di Desa Tanjung Pasir
tergolong dalam bentuk hubungan jaminan krisis subsistensi dimana patron dapat
memberikan pinjaman pada saat klien membutuhkan uang secara cepat untuk
kehidupan sehari-hari dan modal melaut. Akan tetapi, erosi patron-klien seperti
yang diungkapkan oleh Scott (1972) juga terbukti. Erosi patron-klien tersebut
dapat dilihat dari jasa yang diberikan oleh para patron semakin kecil terhadap
klien, dimana patron lebih banyak menyerap keuntungan dari klien melalui harga
beli hasil tangkapan klien yang rendah/murah.
Sebagai institusi jaminan sosial ekonomi informal, patron-klien dinilai
tidak mensejahterakan klien (nelayan) karena patron (langgan) dapat menghambat
kemandirian finansial klien. Klien yang tidak memiliki modal melaut akan
meminjam uang kepada patron karena hanya patron yang dapat meminjamkan
modal melaut. Faktor hutang dari modal melaut tersebut dapat dikatakan menjerat
nelayan karena nelayan harus memasarkan hasil tangkapan kepada patron tersebut
dengan harga jual yang ditentukan patron. Ketergantungan finansial antara klien
terhadap patron akan terjadi secara berkelanjutan atau terus-menerus karena tidak
60
ada institusi lain selain patron-klien yang dapat memberikan modal melaut.
Patron-klien dapat disederhanakan menjadi jerat sosial karena langgan secara
tidak langsung membuat nelayan menjadi tergantung dan tidak berdaya.
Kegiatan Lelang
Nelayan
Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Palele
(meliputi Langgan)
Konsumen
Gambar 16.
Arah Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan yang Diharapkan
Institusi TPI dinilai baik dalam menjaga stabilitas harga ikan. Tingginya
harga ikan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan nelayan. Selain untuk
mensejahterakan nelayan, fungsi penting dari institusi TPI adalah sebagai pusat
pengumpulan data. Tujuan dari pengumpulan data tersebut adalah agar diperoleh
data yang valid untuk pengelolaan sumberdaya perikanan. Patron-klien dapat
dielaborasi dengan TPI, apabila terdapat koperasi nelayan yang dapat
menyediakan modal melaut kepada nelayan. Namun, apabila permasalahan modal
nelayan tidak dapat terpenuhi oleh koperasi, maka institusi patron-klien akan tetap
ada dan nelayan tetap terikat dalam hubungan patron-klien tersebut. Rute baru
pemasaran yang diharapkan adalah terjadi elaborasi antara institusi patron-klien
dengan institusi TPI (Gambar 16). Elaborasi dapat dilakukan dengan cara
memasukkan langgan ke dalam kegiatan lelang di TPI, dimana langgan (patron)
dapat menjadi palele. Jika jumlah palele semakin banyak, maka harga hasil
tangkapan/harga ikan nelayan posisi tawarnya akan semakin tinggi sehingga akan
meningkatkan harga ikan. Jika harga ikan meningkat, maka pendapatan nelayan
akan bertambah dan akan berdampak kepada kesejahteraan nelayan.
6. PENUTUP
6.1
Kesimpulan
Analisis tentang hubungan patron-klien terhadap perilaku nelayan dalam
pemasaran hasil tangkapan menyimpulkan bahwa cukup alasan untuk menerima
hipotesis:
1) Terdapat hubungan pengaruh antara tingkat pendidikan nelayan dengan
tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang
terjadi. Hal ini dapat dilihat dari semakin rendah tingkat pendidikan
nelayan maka semakin tinggi tingkat ketergantungan finansial nelayan.
2) Terdapat hubungan pengaruh antara tingkat pendapatan nelayan dengan
tingkat ketergantungan finansial nelayan dalam ikatan patron-klien yang
terjadi. Hal ini dapat dilihat dari semakin rendah tingkat pendapatan
nelayan maka semakin tinggi tingkat ketergantungan finansial nelayan.
3) Terdapat hubungan pengaruh antara jenis alat tangkap dengan tingkat
ketergantungan finansial nelayan. Responden nelayan pancing lebih
cenderung memiliki tingkat ketergantungan tinggi dibanding responden
nelayan jaring.
4) Terdapat hubungan pengaruh antara tingkat ketergantungan finansial
nelayan dalam ikatan patron-klien yang terjadi dengan perilaku nelayan
dalam pemasaran hasil tangkapan. Hal ini ditunjukkan dari responden
yang memiliki tingkat ketergantungan finansial tinggi akan memilih untuk
memasarkan hasil tangkapan ikannya kepada langgan karena keterikatan
hutang.
5) Terdapat hubungan pengaruh antara persepsi nelayan mengenai kondisi
TPI dengan perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Hipotesis
lima terbukti dengan alasan semakin tinggi persepsi responden nelayan
mengenai kondisi institusi TPI maka semakin cenderung responden
memasarkan hasil tangkapan ikannnya melalui proses lelang di TPI.
Perilaku nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan dalam kasus ini adalah
nelayan dapat memilih antara langgan ataupun institusi TPI sebagai tempat
pemasaran. Faktor penarik nelayan dalam menjual hasil tangkapannya kepada
62
langgan adalah: (1) langgan dapat meminjamkan modal melaut kepada nelayan,
(2) langgan dapat dengan cepat memberikan hutang kepada nelayan untuk
kebutuhan sehari-hari, dan (3) langgan memberikan kepastian dalam membeli
hasil tangkapan nelayan. Faktor pendorong nelayan dalam pemasaran hasil
tangkapan tidak kepada langgan adalah: (1) nelayan sadar manfaat dan kegunaan
TPI, dan (2) kondisi fisik dan non-fisik institusi TPI baik.
Ikatan patron-klien yang terjadi mengikat nelayan dalam pemasaran hasil
tangkapan dan berdampak terhadap kegiatan lelang di institusi TPI. Dampak dari
ikatan patron-klien terhadap TPI terletak pada jumlah nelayan yang menjadi
anggota tetap TPI. Dampak besar dirasakan oleh nelayan yang tidak menjadi
anggota TPI karena penghasilan nelayan akan terus rendah terkait dengan harga
yang ditawarkan langgan lebih rendah dibandingkan harga lelang di TPI. Nelayan
akan terus bergantung kepada langgan karena belum ada institusi lain selain
langgan yang dapat meminjamkan modal melaut secara cepat dan mudah.
6.2
Saran
Upaya pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat nelayan dilakukan
dengan pemberian bantuan ataupun kebijakan yang berkaitan dengan mayarakat
pesisir. Bantuan dan kebijakan tersebut seharusnya dibuat melalui observasi
terlebih dahulu ke daerah pesisir yang dituju. Tujuan dari observasi tersebut
adalah untuk mengetahui dan memahami struktur sosial masyarakat pesisir pada
daerah yang dituju, karena setiap daerah pesisir memiliki struktur sosial dan
kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda. Penjajakan perlu dilakukan agar
pemerintah mudah memberikan pemahaman dan memberikan kesadaran kepada
nelayan sehingga nelayan sukarela dalam melaksanakan peraturan tersebut dan
bukan karena paksaan pemerintah. Jika nelayan menggunakan TPI karena
peraturan pemerintah maka TPI akan berfungsi diawal pendirian saja dan tidak
berkelanjutan.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk merevitalisasi institusi TPI:
1) Pemberian modal melaut bergilir bagi nelayan yang tidak memiliki modal
melaut melalui koperasi nelayan.
63
2) Strategi komunikasi pemasaran yang tepat untuk mendatangkan banyak
palele dari dalam maupun dari luar desa. Bahkan wisatawan lokal maupun
asing pun dapat ikut serta menjadi palele dalam kegiatan lelang.
3) Membenahi sistem pasar secara perlahan yaitu dengan cara sedikit demi
sedikit mengurangi jumlah langgan. Hal tersebut dimaksudkan agar
langgan mau dan ikut serta dalam kegiatan lelang yaitu dengan menjadi
palele.
DAFTAR PUSTAKA
Duverger M. 2007. Sosilogi Politik. Jakarta [ID]: Rajawali Pres. 426 hal.
Fauzi A, Suzy A. 2005. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan.
Jakarta [ID]: PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal.
Gillin JL, Gillin JP. 1954. Cultural Sociology (3rd printing). New York [US]: The
Macmillan Co. 844 hal.
Kotler P. 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan
Kontrol, Edisi Indonesia. Jakarta [ID]: PT. Prenhallindo.
Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir.
Yogyakarta [ID]: Ar-ruzz Media. 161 hal.
Mubyarto, et.al. 1984. Nelayan dan Kemiskinan Studi Ekonomi Antropologi di
Dua Desa Pantai. Jakarta [ID]: Rajawali Pers. 195 hal.
Muhidin AM, Adurahman M. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam
Penelitian. Bandung [ID]: Pustaka Setia. 280 hal.
Pramitasari SD, Anggoro S, Susilowati I. 2006. Analisis Efisiensi TPI (Tempat
Pelelangan Ikan) Kelas 1, 2, dan 3 di Jawa Tengah dan Pengembangannya
untuk Peningkatan Kesejahteraan Nelayan. Dalam Jurnal Pasir Laut 2:12-21.
Rangkuti F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta [ID]:
PT. Gramedia Pustaka Umum. 177 hal.
Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta [ID]: PT. Pustaka
Cidesindo. 130 hal.
_________. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPB Press. 144 hal.
_________. 2009. Ekologi Nelayan Politik. Yogyakarta [ID]: LkiS. 410 hal.
Scott JC. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. Jakarta [ID]: LP3ES. 369 hal.
_______. 1972. The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural
Southeast Asia. Journal of Asian Studies, 32:1, November 1972, hal. 5-37.
65
Silalahi DG. 2006. Efektivitas Kelembagaan Tempat Pelelangan Ikan Sebagai
Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Nelayan. Kasus Kelembagaan TPI
Kelurahan Palabulanratu, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,
Propinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Mugniesyah SS. 2006. Pendidikan Orang Dewasa. Bogor [ID]: Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor. 205 hal.
Riddell S, Baron S, Wilson A. 2001. The Learning Society and People with
Learning Difficulties. Great Britain [UK]: The Policy Press.
Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES.
336 hal.
Sunarto K. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta [ID]: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. 266 hal.
Samsulbahri. 1995. Nelayan dan Kemiskinan: Suatu Studi tentang Pola Hubungan
Patron-Klien di Riau. [tesis]. Yogyakarta [ID]: Universitas Gajah Mada.
Tim Editor Sosiologi Umum Institut Pertanian Bogor. 2003. Sosiologi Umum.
Bogor [ID]: Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Pustaka
Wirausaha Muda. 114 hal.
Wahyuni ES, Mulyono P. 2003. Metode Penelitian Sosial. Bogor [ID]:
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas
Ekologi Manusia IPB. 102 hal.
Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta [ID]: PT Gramedia Pustaka
Umum. 515 hal.
Widayanti T. 2008. Analisis Efisiensi Teknis Tempat Pelelangan Ikan dan Tingkat
Keberdayaan
Pengelola
Tempat
Pelelangan
Ikan
serta
Strategi
Pemberdayaannya di Wilayah Pantai Utara Jawa Tengah [tesis]. Semarang
[ID]: Universitas Diponegoro. 191 hal.
Widodo J, Suadi. 2006. Pengelola Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta [ID]:
Gajah Mada University Press.
66
Widyastuti R. 1999. Keadaan Pelelangan Ikan dan Sikap Nelayan terhadap
Tempat Pelelangan Ikan Palabulanratu, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten
Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian
Bogor.
Wrihatnoto RR, Dwidjowijoto RN. 2007. Manajemen Pemberdayaan: Sebuah
Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta [ID]: Elex
Media Komputindo. 323 hal.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Uji Validitas dan Realiabilitas
Responden
*Pemasaran
K1
K2
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
TOTAL
I1
I2
I3
I4
I5
I6
TOTAL
1
L
1
1
2
L
1
1
3
L
1
2
4
L
1
1
5
L
1
2
6
L
1
2
7
L
1
1
8
L
1
1
9
T
1
3
10
T
1
3
11
B
2
2
12
T
2
3
13
B
1
1
14
B
1
1
15
B
1
1
16
T
2
2
17
T
2
2
18
T
1
2
19
T
1
3
20
T
1
3
21
T
1
2
22
T
1
2
23
T
2
2
24
L
1
1
25
L
1
1
26
B
1
1
27
B
1
1
28
B
1
3
29
T
1
3
30
T
1
2
31
T
1
2
32
T
1
2
33
T
1
2
34
T
1
3
35
T
1
2
36
T
1
2
37
T
1
2
38
T
1
3
39
T
1
2
40
T
1
2
2
2
2
2
2
0
0
2
12
2
2
2
2
2
0
0
2
12
2
2
2
2
1
1
1
2
13
2
2
2
2
2
2
1
2
15
2
0
2
0
2
0
0
0
6
2
0
2
0
2
0
0
0
6
2
2
2
2
2
2
2
2
16
2
2
2
2
2
2
2
2
16
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
2
2
2
1
0
1
12
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
2
2
2
0
0
2
12
2
2
2
2
2
0
0
2
12
2
2
2
2
2
0
0
2
12
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
2
2
2
0
0
2
12
2
2
2
2
2
0
0
2
12
2
2
2
2
2
1
0
1
12
2
2
2
2
2
0
0
2
12
2
1
2
2
2
0
0
1
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
2
2
2
10
0
2
2
2
1
2
9
0
2
2
1
1
2
8
0
2
2
2
2
2
10
0
2
2
2
2
2
10
0
2
2
2
2
2
10
2
2
2
2
0
2
10
2
2
2
2
0
2
10
2
2
2
2
2
2
12
2
2
2
2
2
2
12
2
2
2
2
2
2
12
2
2
2
2
2
2
12
1
1
1
1
0
1
5
1
1
1
1
0
1
5
1
1
1
1
0
1
5
2
2
2
2
2
2
12
2
2
2
2
2
2
12
2
0
2
2
2
2
10
2
2
2
2
2
2
12
2
1
2
2
2
2
11
2
2
2
2
1
1
10
2
1
2
2
2
1
10
2
2
2
1
2
2
11
2
2
2
1
2
2
11
2
2
2
2
2
2
12
2
2
2
2
2
2
12
1
2
2
2
2
2
11
1
2
2
2
2
2
11
2
2
2
2
2
2
12
2
2
2
2
2
2
12
2
2
2
2
2
2
12
2
1
2
2
2
2
11
2
1
2
2
2
2
11
2
1
2
2
2
2
11
2
1
2
2
2
2
11
2
1
2
2
2
2
11
2
1
2
2
2
2
11
2
1
2
2
2
2
11
2
2
2
2
2
2
12
*Keterangan: L= Langgan ; T= TPI; B= Langgan dan TPI
0,52045
0,92003
valid
valid
0,52045
0,92003
reliabel
reliabel
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,95989
0,96301
0,95989
0,96412
0,94315
0,61366
0,52847
0,9462
valid
valid
valid
valid
valid
valid
valid
valid
0,94779
0,96109
0,94779
0,96519
0,97764
0,51747
0,50256
0,94745
reliabel
reliabel
reliabel
reliabel
reliabel
reliabel
reliabel
reliabel
2
2
2
2
2
2
12
0,52115
0,37848
0,85738
0,69511
0,79485
0,72795
valid
valid
valid
valid
valid
valid
0,52115
0,37848
0,85738
0,69511
0,79485
0,72795
reliabel
reliabel
reliabel
reliabel
reliabel
reliabel
Lampiran 2. Peta Desa Tanjung Pasir
Skala: satu mili inchi banding dua kilometer
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN
Nomor Responden :
PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU
NELAYAN DALAM PEMASARAN HASIL TANGKAPAN
(Kasus: Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang,
Provinsi Banten)
Kuesioner ini merupakan salah satu instrumen penelitian yang dilakukan oleh:
Nama : Diah Ayu Ningsih
NRP : I34070107
RAHASIA
Fakultas/Departemen : Fakultas Ekologi Manusia/ Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat
Perguruan tinggi : Institut Pertanian Bogor
Mohon kesedian saudara untuk mengisi kuesioner ini dengan jawaban yang
sebenarnya dan saya menjamin kerahasiaan identitas anda. Terimakasih.
Nama Responden
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Alamat
:
Lama tinggal di Desa Tanjung Pasir :
Lama menjadi menjadi nelayan
:
Jenis Alat Tangkap
: a. Jaring Rampus
b. Pancing (Pancing Rawe, Pancing Klitik)
Aktivitas Melaut
: Berangkat melaut
Pulang melaut
Modal Melaut
: pukul............WIB
: pukul.............WIB
: ...............................rupiah
71
Menjual hasil tangkapan kepada
: a. Langgan
b. TPI
c. Langgan dan TPI
A. Pertanyaan yang berhubungan dengan karakteristik nelayan
1. Apakah tingkat pendidikan terakhir anda?
Tamat SMA
Perguruan Tinggi
Tamat SMP
Tidak tamat SMP
Tamat SD
Tidak tamat SD
Tidak bersekolah
2. Berapakah penghasilan per-bulan anda?
Kurang dari Rp.500.000,Rp.500.000,- sampai Rp.1.500.000,Lebih dari Rp.1.500.000,-
B. Pernyatan yang berhubungan dengan Tingkat Ketergantungan Finansial
Pilihlah pernyataan di bawah ini dengan benar!
No
1
Pernyataan
Anda menjual hasil tangkapan anda kepada
langgan
2
Langgan memberikan modal melaut kepada
anda
3
Langgan meminjamkan uang secara cepat
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
keluarga anda
4
Hutang terhadap langgan mengikat anda dalam
hal pemasaran hasil tangkapan
5
Harga jual hasil tangkapan anda ke langgan
Setuju
Ragu-
Tidak
ragu
Setuju
72
lebih murah dibanding harga yang ditawarkan
dalam proses lelang
6
Langgan menyediakan alat tangkap untuk anda
melaut
7
Langgan
mempengaruhi
anda
dalam
penggunaan alat tangkap
8
Anda
tidak
dapat
melaut
apabila
tidak
meminjam uang kepada langgan
C. Pertanyaan Mengenai Persepsi Nelayan tentang Kondisi TPI
No
1
Kondisi
Waktu lelang di TPI sesuai dengan jadwal
melaut anda.
2
Kebersihan di TPI terjaga.
3
Tarif retribusi TPI tergolong normal dan tidak
memberatkan nelayan.
4
Harga lelang di TPI tergolong tinggi.
5
Kinerja pengelola TPI baik.
6
Kondisi gedung dan peralatan lelang di TPI
masih bagus.
Setuju
Ragu-
Tidak
Ragu
Setuju
73
D. Pernyataan Pendukung Penelitian
Faktor penarik nelayan dalam menjual hasil tangkapannya kepada langgan.
No
Pernyataan
Ya
1
Anda harus menjual hasil tangkapan ikan anda kepada
langgan karena keterikatan hutang
2
Langgan menghargai hasil tangkapan ikan anda dengan
harga murah atau dibawah harga pasar.
3
Anda menjual hasil tangkapan ikan ke langgan karena
terpaksa
4
Anda menjual hasil tangkapan ikan kepada langgan
karena mendapatkan kepastian dari langgan untuk
membeli tangkapan anda.
5
Tidak
ada
institusi
lain
selain
langgan
memberikan pinjaman untuk modal melaut
6
Bunga yang diberikan langgan tinggi
yang
Tidak
Lampiran 4. Pedoman Wawancara Mendalam
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM
PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PERILAKU NELAYAN
DALAM PEMASARAN HASIL TANGKAPAN
(Studi Kasus: TPI Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang,
Provinsi Banten)
A. Pedoman Wawancara Mendalam untuk Pemerintah Desa
Hari/Tanggal/Lokasi Wawancara
:
Nama dan Umur Informan
:
Alamat / No. Telp
:
Pertanyaan:
1.
Bagaimana kondisi social dan ekonomi di Desa ini?
2.
Bagaimana kondisi TPI Tanjung Pasir?
3.
Bagaimana respon dan sikap nelayan terhadap TPI?
4.
Mengapa nelayan banyak yang menjual hasil tangkapannya kepada
langgan?
5.
Faktor apa saja yang menyebabkan nelayan menjual hasil tangkapannya
kepada langgan?
6.
Apa saja peran pemerintah dalam memajukan kegiatan lelang di TPI?
7.
Hal apa saja yang perlu diperbaiki pada TPI Tanjung Pasir?
B. Pedoman Wawancara Mendalam untuk Langgan
Hari/Tanggal/Lokasi Wawancara
:
Nama dan Umur Informan
:
Alamat / No. Telp
:
Pertanyaan:
1. Sejak kapan anda menjadi tengkulak di wilayah TPI Tanjung Pasir?
75
2. Apakah anda memberikan pinjaman kepada nelayan sebelum nelayan melaut?
Seberapa besar?
3. Apa alasan anda memberikan pinjaman atau hutang kepada nelayan?
4. Setelah membeli ikan dari nelayan, kemana anda akan menjual ikan tersebut?
C. Pedoman Wawancara Mendalam untuk Nelayan
Hari/Tanggal/Lokasi Wawancara
:
Nama dan Umur Informan
:
Alamat / No. Telp
:
Pertanyaan:
1. Bagaimana kondisi masyarakat nelayan di kawasan Tanjung Pasir?
2. Kemana kecenderungan nelayan dalam menjual hasil tangkapan? Mengapa?
3. Bagaimana respon nelayan dengan adanya TPI?
4. Bagaimana kestabilan harga di TPI?
5. Apa saja keuntungan menggunakan TPI?
6. Apa saja peran pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan?
D. Pedoman Wawancara Mendalam untuk Pengelola TPI
Hari/Tanggall/Lokasi Wawancara
:
Nama dan Umur Informan
:
Alamat / No. Telp
:
Pertanyaan:
1. Bagaimana aktivitas TPI akhir-akhir ini?
2. Bagaimana kestabilan harga di TPI?
3. Keuntungan apa saja yang diperoleh nelayan apabila menjual ikannya di TPI?
4. Bagaimana prosedur yang dilakukan nelayan juka ingin mengikuti proses
lelang di TPI?
5. Apa saja peran pemerintah dalam membangun TPI?
6. Apa yang perlu diperbaiki pada institusi TPI Tanjung Pasir?
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian
Foto 1.
Daerah Tempat Tinggal Nelayan Desa Tanjung Pasir
Foto 2.
Kondisi Pendaratan Perahu Nelayan di Pantai Tanjung Pasir
77
Foto 3.
Foto 4.
Nelayan yang Sedang Melakukan Bongkar Muatan Hasil Tangkapan
Pelaksanaan Lelang di TPI
78
Foto 5.
Jenis-Jenis Ikan yang Dilelang di TPI
Foto 6.
Kondisi Ikan yang Telah Diikat dan Dijejer untuk Lelang di TPI
79
Foto 7.
Penjualan Ikan Kepada Langgan
Foto 8.
Menggali Data terhadap Responden
80
Foto 9.
Jaring Rampus
Foto 10.
SPBN
Download