View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
JURNAL
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN
KARENA TIDAK ADANYA IZIN DARI ORANG TUA
(studi kasus Nomor 397/Pdt.G/2009/PA.Mks)
Diajukan Sebagai Usulan Penelitian Pada Seminar Usulan Penelitian
Untuk Penyusunan Skripsi Pada Bagian Hukum Acara Program Studi
Ilmu Hukum
OLEH :
YUNI ZULFIANI RISKI AHMAD
B11109107
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
ABSTRAK
YUNI ZULFIANI RISKI AHMAD, B11109107, Tinjauan Yuridis
Terhadap Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin dari Orang
Tua, dibawah bimbingan Bapak Arfin Hamid selaku pembimbing I dan Ibu
Ratnawati selaku pembimbing II.
Penelitian mengenai tinjauan yuridis terhadap pembatalan perkawinan
karena tidak adanya izin dari orang tua, bertujuan untuk mengetahui kedudukan
izin orang tua terhadap anak yang akan melakukan perkawinan. Serta untuk
mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan permohonan
pembatalan perkawinan.
Dalam penelitian ini penulis memilih pengadilan agama Makassar sebagai
lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa Pengadilan Agama
Makassar
merupakan instansi atau badan yang terkait dan berwenang untuk
melayani serta menangani setiap permasalahan yang berhubungan dengan
perkawinan. Serta untuk memperoleh data maka penulis melakukan wawancara
dengan hakim pengadilan agama Makassar. data dalam penelitian ini
menggunakan metode kualitatif selanjutnya diuraikan secara deskriptif. Hal
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang dapat dipahami secara jelas dan
terarah guna menjawab permasalahan yang diteliti.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa dalam melangsungkan
perkawinan haruslah memenuhi syarat maupun rukun di dalam perkawinan.
Syarat dan rukun perkawinan yang sudah ditentukan terkadang diabaikan, hingga
akhirnya tidak tertutup kemungkinan perkawinannya batal atau dibatalkan.
Pertimbangan hukum pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Makassar
ialah dimana perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat dan rukun untuk
melakukan perkawinan,hasil wawancara dengan beberapa pihak menyetujui dan
membenarkan alasan pembatalan perkawinan ini. Kurang telitinya pemeriksaan
administrasi calon suami istri, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap
ketentuan hukum islam dan Undang-Undang Perkawinan, bahwa untuk
melakukan perkawinan tanpa wali nasab harus mendapat izin dari pengadilan.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang meliputi
kebutuhan lahiriah maupun batiniah. Kebutuhan lahiriah tersebut terdorong
oleh naluri manusia untuk mengembangkan keturunan yang sah, ini bersifat
biologis. Unsur rohaniah dalam perkawinan merupakan penjelmaan dari
hasrat manusia untuk hidup berpasang-pasangan dengan rasa kasih sayang.1
Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung
seumur hidup dan tidak boleh diputus begitu saja. Pemutusan karena sebabsebab lain dari kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga
suatu pemutusan yang berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan
terakhir, setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.2
Hukum
Perkawinan
yang
berlaku
menurut
Undang-undang
Perkawinan pertama-tama adalah Hukum masing-masing agama dan
kepercayaan bagi masing-masing pemeluknya. Bagi orang islam tidak ada
kemungkinan untuk kawin dengan melanggar agamanya sendiri. Demikian
juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu Buddha seperti
yang dijumpai di Indonesia.3
Namun perkawinan tidak semua berjalan sesuai dengan yang
diharapkan, terkadang harus putus di tengah jalan apakah sebab perceraian
1
Elis Adhayana. Pembatalan Nikah Menurut Hukum Islam dan Akibat Hukumnya. Tesis.
Universitas Diponegoro Semarang. 2006 : 12
2 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia, 1976 : 15
3 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
Jakarta: Tintamas, 1975: 5-6
itu karena cerai talak, cerai gugat, fasid nikah, fasakh nikah, atau
pembatalan sebuah perkawinan.
Pembatalan perkawinan dapat terjadi karena tidak dipenuhinya
syarat untuk melangsungkan suatu perkawinan yaitu tidak ada izin dari
pihak ketiga. Dalam hukum islam, wali nikah merupakan salah satu rukun
perkawinan yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang akan
bertindak untuk menikahkannya, sebab sahnya nikah menurut Hukum Islam
ditentukan antara lain adanya wali nikah. Wali nikah ini, bisa wali nasab
atau wali hakim. Wali nasab itu pria yang beragama islam dan akil baliqh
yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah
menurut Hukum Islam. Adapun wali hakim itu pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai
wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali (nasab).
Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya,
apakah alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan
yang dibenarkan oleh hukum syara’, misalnya anak gadis wali tersebut
sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon
suaminya adalah orang kafir (misal beragama Kriten/Katholik), atau orang
fasik (misalnya pezina dan suka mabok), atau mempunyai cacat tubuh yang
menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak
menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali
wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali
hakim).4
Namun adakalanya wali menolak menikahkan dengan alasan yang
tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya
calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana,
atau wajah tidak rupawan, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang
tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan
syar’i. Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang
tidak syar’i seperti ini, maka wali tersebut disebut wali ‘adhol. Makna
‘adhol, kata Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, adalah menghalangi seorang
perempuan untuk menikahkannya jika perempuan itu telah menuntut nikah.
Perbuatan ini adalah haram dan pelakunya (wali) adalah orang fasik.
Dalam contoh kasus putusan Nomor 397/Pdt.G/2009/PA.MKS
terjadi pembatalan nikah karena dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan
oleh wali yang tidak berhak. Suatu kenyataan yang sulit diterima oleh suami
isteri, perkawinan yang telah dilaksanakan dinyatakan tidak sah dan ikatan
pernikahan itu dinyatakan batal. Dasar yuridis yang digunakan hakim
Pengadilan Agama dalam menjatuhkan putusan pembatalan perkawinan
adalah Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: “perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan”. Namun demikian perkawinan yang tidak
memenuhi syarat tidak dengan sendirinya menjadi batal melainkan harus
4
HSA Alhamdani, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 1989: 90-91
diputuskan oleh Pengadilan (Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kedudukan izin orang tua terhadap anak yang akan
melakukan perkawinan?
2. Apakah pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan permohonan
pembatalan perkawinan?
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Izin Orang Tua Terhadap Anak yang Akan
Melakukan Pernikahan
Usia dewasa pada hakekatnya mengandung unsur yang
berkaitan dengan dapat atau tidaknya seseorang mempertanggung
jawabkan atas perbuatan hukum yang telah dilakukannya, yang
menggambarkan kecakapan seseorang untuk bertindak dalam lalu
lintas hukum perdata.5
Pada umumnya seorang anak yang belum dewasa yang belum
mencapai umur 19 tahun atau belum pernah melangsungkan
pernikahan berada dibawah kekuasaan orang tuanya. Orang tua
tersebut yang mewakili segala kepentingan si anak. Tetapi bila
seorang anak yang belum dewasa tidak berada didalam kekuasaan
5
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Pelaksanaannya, Jakarta, C.V Gitamaya Jaya,
2003 :19
orang tuanya (misalnya karena orang tuanya dicabut kekuasaannya,
atau perkawinan orang tuanya putus karena perceraian), maka
berada dibawah kekuasaan seorang wali. Dan perwalian itu
menyangkut pribadi anak yang bersangkutan. Maupun harta benda
dari anak tersebut.6
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan, Bab 2 Pasal 7 Ayat (1) berbunyi “perkawinan hanya di
izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun”. Selanjutnya dalam
Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang
Pencatatan Nikah Bab IV Pasal 8 “Apabila seorang calon suami
belum mencapai umur 19 tahun dan seorang calon isteri belum
mencapai umur 16 tahun, harus mendapat dispensasi dari
pengadilan”.
Pasal-pasal tersebut di atas sangat jelas sekali bahwa usia
yang diperbolehkan menikah di Indonesia untuk laki-laki 19 tahun
dan untuk wanita 16 tahun. Namun itu saja belum cukup dalam
implementasinya masih ada syarat yang harus ditempuh oleh calon
pengantin, yakni jika calon suami dan calon isteri belum genap
berusia 21 tahun maka harus ada izin dari orang tua atau wali
nikah, hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11
Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV Pasal 7 “apabila
6
http://wanita.sabda.org/pernikahan_dalam_aspek_hukum diakses pada 18-01-2013
seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, harus
mendapat izin tertulis kedua orang tua”. Izin ini sifatnya wajib,
karena usia
itu dipandang masih memerlukan bimbingan dan
pengawasan orang tua/wali. Orang tua/ wali harus menambahkan
tandatangan dengan nama jelas, sehingga izin dijadikan dasar oleh
PPN/Penghulu bahwa kedua mempelai sudah mendapat izin/restu
orang tua. Lain halnya jika kedua calon pengantin sudah berusia
lebih dari 21 tahun, maka para calon pengantin dapat menikah
tanpa izin tertulis dari orang tua/wali. Namun bagi calon pengantin
wanita ini akan menjadi masalah karena orang tuanya merupakan
wali nasab sekaligus orang yang akan menikahkannya. Oleh karena
itu izin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat penting
karena akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya
wali nikah.
Untuk perempuan tidak ada istilah batasan usia untuk
meminta izin orang tuanya, tetap izin menikah harus didapatkan
dari orang tuanya selama perwalian itu belum berpindah. Perwalian
bagi perempuan beda dengan laki-laki, untuk laki-laki usia 21
tahun tidak perlu ada perwalian atau izin orang tuanya karena
dianggap sudah bisa bertanggung jawab sudah bisa di anggap
dewasa. Tapi pada posisi ini dia sudah betul-betul lepas dari
tanggung jawab orang tua.7
7
Wawancara dengan Dr. Nur Taufiq S. Pembantu Rektor IV Universitas Islam Makassar
Apabila kedua orang tua masih hidup maka yang berhak
memberi izin adalah kedua-duanya, sedangkan apabila salah
seorang meninggal dunia, maka yang berhak memberikan izin
adalah salah satu yang masih hidup. Jika yang meninggal adalah
orang tua wanita maka izin perkawinan ada pada orang tua lakilaki, demikian juga sebaliknya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
memberikan ruang toleransi, hal ini bisa dilihat dari Pasal 7 ayat (2)
dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan agama atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun pihak wanita. 8
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memuat aturan yang kurang
lebih sama. Pada Pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia
perkawinan sama seperti Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan.
Demikian juga soal dispensasi perkawinan dibawah umur. Bedanya
dalam KHI disebutkan sebuah alasan mengapa dispensasi itu bisa
diberikan, yaitu untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
Bagi umat islam tentu orang tua atau wali para calon
pengantin harus mengajukan izin dispensasi nikah kepada
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah kabupaten didaerah
calon pengantin tinggal. Setelah izin keluar baru akad nikah bisa
dilaksanakan. Ijin tersebut akan dijadikan dasar oleh Pegawai
8
Wawancara dengan Drs. H. Mustamin Dahlan SH. Hakim Pengadilan Agama Makassar
Pencatat Nikah/Penghulu serta akan mencantumkannya dalam
lembaran NB daftar pemeriksaan nikah. Dengan demikian
pernikahan yang masih dibawah umur atas izin pengadilan menjadi
sah dan berkekuatan hukum.9
B. Pertimbangan
Hukum
Hakim
dalam
Mengabulkan
Permohonan Pembatalan Perkawinan
Pada kasus pembatalan perkawinan terlampir antara tergugat
I dan tergugat II yang digugat oleh ayah kandung/wali tergugat I
dimana pada saat perkawinan tergugat I dan tergugat II,
perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh penggugat selaku
orang tua/wali wasab dari tergugat I.
Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Sehingga dengan putusan pengadilan
yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut dibatalkan maka
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada walaupun
perkawinan baru dilangsungkan ataupun telah berlangsung lama.
Dan diharamkan bagi mereka yang perkawinannya dibatalkan
untuk melakukan hubungan suami isteri.
Menurut kaidah fiqih, “kemudaratan tidak boleh dihilangkan
dengan melakukan kemudaratan yang lain”. Serta “darurat tidak
9
ibid
bisa dibolehkan dengan melakukan sesuatu yang darurat lainnya”.
Yang dimaksud dalam kasus ini adalah tergugat I ingin menikah,
termasuk dalam hal darurat namun orang tua tergugat I tidak setuju
kemudian tergugat I melakukan darurat yang lainnya yakni
memalsukan keberadaan orang tuanya kepada KUA. Ini dijadikan
dasar oleh KUA dan Pengadilan Agama untuk mengabulkan
pembatalan perkawinan tergugat I dan tergugat II.10
Dalam studi kasus terlampir penggugat berhak untuk
mengajukan pembatalan perkawinan karena ia adalah orang tua
kandung atau wali nashab dari tergugat I. Wali nikah dari
mempelai wanita merupakan unsur pokok/rukun perkawinan dalam
Islam, sebab sebagai mempelai perempuan, wali haruslah ada
dalam perkawinannya sebab wanita tidak boleh menikahkan
dirinya sendiri. Apabila perkawinan dilangsungkan tidak dengan
wali atau dilangsungkan dengan wali yang tidak berhak, maka
pernikahan tersebut tidak sah. Dalam contoh kasus pembatalan
perkawinan dengan putusan Nomor 397/Pdt.G/2009/PA.MKS yang
menjadi wali bukanlah wali nashabnya dan juga tidak memenuhi
syarat
untuk
menjadi
wali
hakim,
itulah
yang
menjadi
pertimbangan hakim untuk mengabulkan permohonan pembatalan
perkawinan tergugat I dan tergugat II.11
10
Hasil wawancara dengan Dr. Nur Taufik S. Pembantu Rektor IV Universitas Islam
Makassar
11 Wawancara dengan Drs. H. Mustamin Dahlan SH. Hakim Pengadilan Agama
Makassar
Wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, apabila
wanita diperbolehkan untuk menikahkan dirinya sendiri, maka
keberadaan wali tidak lagi menjadi penentu sahnya perkawinan.
Sehingga dalam hal ini penggugat sebagai wali nasab dari tergugat
I berhak untuk meminta kepada hakim untuk membatalkan
perkawinan tergugat I dan tergugat II.
Disamping
perundang-undangan
telah
mengatur
penyelenggaraan dari suatu perkawinan, yang pada umumnya telah
menyatu dengan pendangan masyarakat islam dan mendukung
tujuan dari perkawinan tersebut (dari mulai proses pelamaran,
pertunangan, sampai pelaksanaan aqad nikah, sampai tercipta
ikatan harmonis keluarga besar kedua belah pihak), penyimpangan
dari tatanan tersebut hanya menimbulkan problema keluarga dan
kehampaan nilai luhur tersebut.
Menurut saya sebenarnya tergugat I apabila orang tuanya
tidak memberi izin dan enggan menikahkan tergugat I dan ergugat
II dengan alasan yang tidak syar’i, bisa mengajukan permohonan
wali hakim ke Pengadilan Agama, tanpa harus memberikan
keterangan palsu kepada KUA mengenai keberadaan orang tuanya.
wali yang tidak mau menikahkan dalam kasus ini, maka hak
kewaliannya berpindah kepada wali hakim, hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah SAW : “jika mereka [wali] berselisih/bertengkar
[tidak mau menikahkan], maka penguasa (as-sulthan) adalah wali
bagi orang [perempuan] yang tidak punya wali.”
Sehingga sejak adanya putusan pembatalan perkawinan maka
hubungan
mereka
(para
pihak
yang
dimintai
pembatalan
perkawinannya) tidak mempunyai ikatan perkawinan bahkan sejak
perkawinan itu dilangsungkan. Dan sejak adanya keputusan
tersebut apabila mereka melakukan hubungan suami isteri haram
hukumnya karena diantara mereka tidak ada ikatan sama sekali dan
mereka harus hidup terpisah. Kecuali mereka melakukan kembali
pernikahan yang sah menurut agama dan hukum yang berlaku di
negara ini maka perkawinan mereka adalah perkawinan yang sah.
Dari
uraian
diatas
inti
dari
studi
kasus
Nomor
397/Pdt.G/2009/PA.Mks adalah KUA membatalkan surat nikah
karena diketahui tergugat I memalsukan keberadaan orang tuanya,
kemudian Pengadilan Agama mempertimbangkan keputusan KUA
lalu membatalkan perkawinan tergugat I dan tergugat II.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Izin orang tua terhadap anak yang akan melangsungkan pernikahan
sifatnya wajib. Untuk anak perempuan tidak ada batasan umur
untuk meminta izin orang tua, karena orang tua yang akan bertindak
sebagai wali dalam pernikahan. Untuk menikahkan anak dibawah
umur 21 tahun wali para calon pengantin harus mengajukan izin
dispensasi nikah kepada pengadilan Agama.
2. Pertimbangan hukum dari hakim yang dijadikan dasar Putusan
Pengadilan Agama Makassar Nomor : 397/Pdt.G/2009/PA.Mks
adalah: bahwa perkawinan tergugat I dan tergugat II yang bertindak
sebagai wali bukanlah orang tua kandungnya padahal orang tua
kandung tergugat I (mempelai wanita) tetap berada di Makassar
bukan di Surabaya, lalu yang bertindak sebagai wali nikah adalah
orang yang kapasitasnya bukan sebagai wali nashab dan juga tidak
memenuhi syarat untuk menjadi wali hakim.
B. Saran
1. Perkawinan dari sisi hukum bukan hanya sekadar untuk keabsahan
melakukan persetubuhan, tetapi jauh untuk mencapai sesuatu yang
lebih luhur karena perkawinan di pandang sebagai sebuah
persetujuan perikatan atau kontrak. Sedangkan dari sudut pandang
agama perkawinan merupakan suatu yang suci dan sakral. Untuk
itu hendaknya perkawinan haruslah dilakukan sesuai dengan
agama serta aturan dan hukum yang mengatur dan ada di negara
ini. Sehingga peristiwa pembatalan perkawinan seperti pada kasus
yang ada di atas tidak akan terjadi apabila proses perkawinan
ditempuh dengan prosedur hukum.
2. Sebaiknya pemerintah lebih memperketat dalam mengadakan
pemeriksaan data-data sebelum dilakukan perkawinan yakni
mengenai status keabsahan data masing-masing pihak yang akan
melangsungkan perkawinan sehingga tidak terjadi hal-hal yang
diinginkan, seperti permintaan untuk membatalkan pernikahan
oleh pihak ketiga.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Al-Jaziri.1986. Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, t,tp.
Dar Ihya al-Turas al-Arabi.
Ahmad Azhar Basyir. 2000. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UI
Pres.
Ahmad Rofiq. 1997. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press.
Amir Syarifuddin, 2009. Hukum Perkawinan di Indonesia : Antara Fiqih
Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan. Jakarta. Kencana
Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, 1978. Hukum Perkawinan di
Indonesia. Jakarta. Bulan Bintang
Hazairin, 1975. Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974. Jakarta. Tintamas
HSA Alhamdani,1989. Risalah Nikah. Jakarta. Pustaka Amani.
Ibrahim Hosen. 1971. Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak
dan Rujuk. Jakarta, Ihya Ulumuddin.
Juhaya S. Praja, 1988. Epistimologi Hukum Islam. Disertasi. Jakarta. IAIN
K. Wantjik Saleh, 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta. Ghalia.
Lili Rasjidi. 1991. Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia dan di
Indonesia. Bandung. Remaja Rosda Karya.
Mohammad Daud Ali. 1990. Hukum Islam. Jakarta. PT RajaGrafindo
Persada
Moh. Idris Ramulyo. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta. Bumi
Aksara.
Rahmadi Usman. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
di Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika.
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1974. Hukum Orang dan
Keluarga, Bandung. Alumni.
Sulaiman Rasjid. 2010. Fikih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
Yogyakarta, Liberty, 1986
Soerjono Soekanto, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT. Grafinda.
Titik Triwulan Tutik. 2008. Hukum Perdata Dalam Hukum Nasional.
Jakarta. Kencana Permada Media Group.
Wahbah al-Zuhaily. 1989. Al-fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Juz VII,
Damsyiq; Dar Al-Fiqh.
Wahyono Darmabrata. 2003. Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Pelaksanaannya,
Jakarta, C.V Gitamaya Jaya.
Zainuddin Ali, 2007. Hukum Perdata Islam di Indonesia, cetakan ke2.
Jakarta. Sinar Grafika.
Lain- Lain
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Instruksi Presidan Nomor 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
http://koleksi-skripsi.blogspot.com/2009/03/pandangan-islam-terhadapperwalian.html
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131130-T%2027460-AnalisisterhadapKesimpulan%20dan%20Saran.pdf
http://www.makalahkuliah.com/2013/01/macam-macam-wali-dan-tertibwali-nikah-dalam-perkawinan.html
http://makalahpendidikandanhukum.blogspot.com/2010/12/pembatalanperkawinan-dan-pencegahan.html
http://wanita.sabda.org/pernikahan_dalam_aspek_hukum
Download