Ambulatory Anesthesia

advertisement
CONTINUING MEDICAL
TINJAUAN
EDUCATION
PUSTAKA
Ambulatory Anesthesia
Syahrul Mubarak, Danar Sumantri
Staf IGD RS Mitra Medika, Bondowoso, Indonesia
ABSTRAK
Ambulatory anesthesia mulai banyak dipertimbangkan karena sejumlah center bedah mengembangkan pelayanan pembedahan ambulatory
dan semakin bervariasinya teknik bedah yang memungkinkannya. Tipe anestesi One Day Care ini dapat menekan biaya perawatan dan
pengobatan serta mencegah kemungkinan infeksi nosokomial akibat lamanya masa inap di Rumah Sakit. Sejak tahun 195 0, saat di Kanada
terjadi problem keterbatasan kapasitas tempat tidur Rumah Sakit, mulai dikembangkan pelayanan pembedahan ambulatory, demikian pula
teknik anestesinya. Metode ambulatory anesthesia sampai saat ini tidak banyak berbeda dengan teknik anestesi pada umumnya, kecuali dengan
ditinggalkannya penggunaan obat dengan masa pulih sadar yang lama beralih pada pilihan obat premedikasi dan induksi baru dengan masa
kerja singkat. Metode ini membutuhkan kerja sama dan ketelitian antar bidang dalam memilih dan mengevaluasi pasien prabedah, sehingga
tidak timbul penyulit berat selama dan sesudah pembedahan.
Kata kunci: ambulatory anesthesia, one day care, teknik anestesi
ABSTRACT
Ambulatory anesthesia is increasingly important, as ambulatory surgical technique and varieties developed by many surgery center are steadily
growing. This One Day Care anesthesia may minimize medication and in-patient costs, also lower the risk of nosocomial infections during hospital stays. Since the 1950s, spurred by the problem of limited hospital capacity, many new technique of ambulatory surgeries were developed
and so were the method of anesthesia itself. Ambulatory anesthesia techniques have many similarities with the regular ones, with less usage of
medicine with long term recovery. This method requires cooperation among departments involved in pre-surgery election and evaluation to
avoid in- and post-surgery complication. Syahrul Mubarak, Danar Sumantri. Ambulatory Anesthesia.
Key words: ambulatory anesthesia, one day care, anesthesia techniques
PENDAHULUAN
Ambulatory anesthesia modern dimulai
dengan menggunakan nitrogen oksida pada
anestesi gigi dan pembedahan di Hartford,
Connecticut, pada tahun 1846. Sebelumnya
nitrogen oksida telah diperkenalkan,
didemonstrasikan kemudian digunakan
oleh Horace Wells. Pada waktu yang
bersamaan, Gardner Colton, seorang ahli
kimia dan wiraswastawan, menggabungkan
kemampuan pemasaran dan hubungan
dengan dokter gigi untuk mengembangkan
penggunaan nitrogen oksida untuk mengatasi
nyeri cabut gigi.1 Pada tahun 1868, Edmund
Andrew, seorang dokter bedah dari Chicago,
mendapatkan hipoksemia pada penggunaan
nitrogen
oksida;
dia
menyarankan
penambahan oksigen pada nitrogen oksida
agar memberikan hasil yang aman.1
an ambulatory meningkat karena sebagian
rumah sakit kekurangan tempat tidur dan
meningkatnya biaya rawat inap, seperti di
Kanada. Operasi hernia menjadi populer untuk
bedah ambulatory. Tahun 1960 John Dillon dan
David Cohen mengembangkan pelayanan
pembedahan ambulatory di Universitas
California, Los Angeles (UCLA). Tidak seperti
di Kanada yang terstimulasi kerena kurangnya
tempat tidur rawat inap, Dillon dan Cohen
terdorong karena pembedahan ambulatory
lebih murah dibandingkan pembedahan
rawat inap.1 Ambulatory anesthesia (outpatient
anesthesia) telah terbukti aman, praktis, biaya
murah dan dapat dilakukan di berbagai
fasilitas termasuk rumah sakit, freestanding
surgery center dan kantor ahli bedah. Anastesi
akan dilakukan dan diawasi oleh seorang ahli
anestesiologi.8
Pada tahun 1950, minat terhadap pembedah-
Saat ini diperkirakan 20-40% dari seluruh
Alamat korespondensi
pembedahan dapat secara ambulatory.4
DEFINISI
Ambulatory anesthesia adalah pelayanan
anestesia untuk pembedahan, yang secara
medis diduga tidak akan memerlukan
perawatan menginap pascabedah. Dalam
bahasa Indonesia, ambulatory anesthesia
disamakan dengan pengertian anastesi
tanpa rawat inap atau pasien ODC (One-day
Care).9,10
Beberapa
faktor
yang
mendorong
perkembangannya yaitu:
1. Makin meningkatnya biaya perawatan
(rawat inap) di rumah sakit. Perawatan
ambulatory dapat menekan biaya perawatan
dan pengobatan sampai 40-80%.
2. Jumlah tempat tidur di rumah sakit makin
terbatas, dibanding dengan pertambahan
penduduk.
email: [email protected]
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
273
TINJAUAN PUSTAKA
3. Pengadaan rumah sakit dengan segala
sarananya memerlukan biaya besar.
4. Mengurangi dan mencegah risiko infeksi
nosokomial.
5. Mempersingkat
terpisahnya
pasien
(terutama anak-anak) dengan keluarga atau
kenalannya.
6. Menumpuknya jadwal pembedahan.
Departemen atau klinik ambulatory ini dapat
merupakan:
1. Satu kesatuan (unit) tersendiri baik kamar
bedah maupun ruang perawatannya di dalam
satu rumah sakit besar.
2. Mempunyai ruang perawatan khusus dan
tersendiri tetapi masih menggunakan kamar
bedah umum di dalam rumah sakit besar.
3. Satu klinik terpisah yang berdiri sendiri
tetapi mempunyai rumah sakit besar untuk
rujukan jika terjadi komplikasi.
KEUNTUNGAN AMBULATORY
ANESTHESIA 3,4,5,11
1. Biaya lebih murah. Biaya perawatan dan
pengobatan dapat ditekan sampai 40-80%.
2. Kemudahan menjadwalkan pembedahan.
Pasien dapat memilih jam yang sesuai,
terutama untuk anak dan lanjut usia.
3. Tidak tergantung kapasitas rumah sakit,
tidak usah menunggu kamar kosong di rumah
sakit.
4. Mengurangi dan mencegah kemungkinan
infeksi nosokomial, terutama untuk pasien
imunocompromised.
5. Berkurangnya insidens medication errors.
6. Menjaga privasi pasien.
7. Pasien lebih cepat kembali ke lingkungan
rumah terutama untuk pasien anak dan usia
lanjut.
SYARAT OBAT AMBULATORY
ANESTHESIA 2
1. Induksi cepat dan lancar.
2. Analgesia dan anestesia cukup baik.
3. Cukup dalam untuk pembedahan.
4. Masa pulih sadar cepat.
5. Komplikasi anestesia pasca bedah minimal
(mual, muntah, nyeri kepala, hipoksia).
SYARAT BEDAH AMBULATORY 4
Tidak semua tindakan atau penderita
dapat ditanggulangi secara ambulatory,
demikian pula tidak semua teknik anestesi
dapat diterapkan pada pasien ambulatory.
Ada beberapa persyaratan pembedahan
ambulatory, yaitu:
274
1. Kriteria Pasien
• Sehat termasuk status fisik ASA 1 atau
ASA 2 dengan penyakit atau kelainan sistemik
yang terkendali.
• Tidak ada riwayat pascabedah atau anestesia
yang kurang baik, misalnya mual atau muntah
yang lama atau nyeri pasca bedah yang sulit
ditanggulangi dengan anelgetika peroral.
• Walaupun umur tidak merupakan faktor
seleksi mutlak tetapi pasien dewasa muda
dan anak (kecuali bayi prematur di bawah 6
bulan) lebih dapat diterima.
• Pasien mengerti dan memahami instruksi
prabedah dan pascabedah atau anestesia.
• Sebaiknya tempat tinggal pasien tidak
jauh dari rumah sakit (tidak lebih dari satu jam
perjalanan).
• Keinginan pasien sendiri.
2. Kriteria Pembedahan
Pembedahan yang dapat dilakukan secara
ambulatory harus memenuhi kriteria:
• Lama pembedahan tidak melebihi 60
menit. Pembedahan yang terlalu lama akan
menimbulkan efek akumulasi anestetik
sehingga masa pulih sadar pasien juga
berlangsung lama.
• Pembedahan superfisial, bukan tindakan
bedah di dalam kranium, toraks, atau
abdomen (kecuali laparoskopi).
• Tidak memerlukan pelemas otot yang
sempurna.
• Tidak banyak menimbulkan perubahan
fisiologis.
• Diduga tidak menyebabkan banyak
perdarahan.
• Kemungkinan komplikasi pascabedah
rendah sekali.
MACAM TINDAKAN BEDAH
AMBULATORY3,4
Pembedahan yang sering dijadwalkan untuk
dilakukan secara ambulatory adalah bedah
minor dan berlangsung kurang dari 60 menit.
Contoh pembedahan:
1. Mata: reseksi otot-otot ekstraokular,
bedah katarak, eksisi khalazion, reparasi
ptosis, koreksi strabismus, pemeriksaan mata
yang memerlukan anestesi, sumbatan duktus
nasolakrimalis.
2. THT:
tonsilektomi,
adenoidektomi,
antrostomi, mikrolaringoskopi, miringotomi,
polipektomi, nasales, rinoplasti, bronkoskopi.
3. Bedah umum: biopsi, ekstirpasi tumor
superfisial,
mammoplasti,
fisurektomi,
hemoroidektomi, herniorafi, insisi dan drainase
abses, stripping vena varises, sigmoidoskopi,
endoskopi.
4. Kebidanan: biopsi, dilatasi dan kuretase,
marsupialisasi, kista Bartholini, laparoskopi.
5. Ortopedi: reposisi tertutup, eksotektomi,
ganglionektomi, bedah minor di lengan dan
kaki, dekompresi tunnel karpal.
6. Urologi: sirkumsisi, sistokopi, frenulektomi,
meatotomi, orkhidopeksi, vasektomi.
7. Plastik: prosedur kosmetika: pengangkatan
keloid, blefaroplasti, otoplasti.
TATA LAKSANA 2
Keberhasilan
pembedahan
ambulatory
anesthesia tergantung pada seleksi pasien,
jenis pembedahan dan teknik anestesia
yang tepat. Persiapan prabedah harus sama
seperti pada pasien rawat inap karena risiko
anestesinya juga sama. Persiapan dilakukan
1-2 hari sebelum hari pembedahan, untuk
mengetahui:
1. Keadaan umum pasien.
Harus sebaik atau seoptimal mungkin untuk
mengurangi komplikasi. Dapat diketahui dari
aktivitas sehari-sehari pasien (kuat berjalan,
berlari, olahraga). Pemeriksaan laboratorium
darah dan urin rutin; jika meragukan, dilakukan
pemeriksan khusus lain seperti foto toraks,
EKG, dan lain-lain.
2. Kondisi sistem pernapasan.
Riwayat penyakit bronkhitis kronik, asma
bronkhial, sesak napas, kebiasaan merokok.
3. Kondisi sistem kardiovaskuler.
Riwayat infark miokard akut, dekompensasi
kordis, hipertensi berat. Riwayat infark miokard
6 bulan sebelumnya dianggap stabil.
4. Penyakit ginjal, hepar, dan kelainan
endokrin (diabetes melitus), kalau perlu
diperiksa lebih lanjut.
5. Obat-obat yang sedang diminum, antara
lain obat anti hipertensi, MAO inhibitor, insulin,
antibiotik tertentu, kortikosteroid.
Persiapan pra-bedah 3,4
a. Wawancara, meliputi:
• Penyakit yang diderita.
• Pembedahan atau anestesi yang pernah
dialami.
• Pengobatan selama ini.
• Alergi.
• Kecenderungan mual, muntah, dan
vertigo.
• Keluhan kardiovaskuler dan pernapasan.
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
b.
•
•
•
Pemeriksaan fisik, meliputi:
sistem kardiovaskular
sistem pernapasan
sistem organ lain
c. Status psikologis: pasien atau pengantar
dapat memahami dan mengerti instruksi yang
diberikan. Misal: puasa ± 6-8 jam, instruksi pradan pascabedah.
d. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
• Urine rutin, Hb, leukosit, eritrosit,
trombosit; syarat Hb ≥10 g%. Pada kasus yang
secara klinis sehat, pemeriksaan laboratorium
ini tidak mutlak.
• Pada pasien yang mempunyai penyakit
ringan (ASA II) atau tersangka mengidap
penyakit atau usia lebih dari 40 tahun,
dimintakan
pemeriksaan
laboratorium
lengkap (urea, N, kreatinin, gula darah).
e. Pemeriksaan foto toraks dan EKG, terutama
untuk penderita usia >40 tahun.
f. Pemeriksaan lain yang diperlukan.
Premedikasi
Pada
umumnya
tidak
diberikan
premedikasi, kecuali pasien terlalu gelisah
atau
sulit
dikendalikan.
Premedikasi
akan memperpanjang masa pulih. Obat
premedikasi yang umum adalah sulfas atropin,
terutama bila memakai eter atau ketamin yang
menambah sekresi jalan napas. Narkotik tidak
digunakan karena memperpanjang masa
pulih dan menyebabkan mual atau muntah
pascabedah.2
Obat-obat premedikasi selain harus memenuhi
tujuan premedikasi juga harus bersifat “short
acting” dan diberikan dalam dosis rendah.
Clarke and Hurtig telah membuktikan bahwa
premedikasi meperidin (petidin) 1 mg/kgBB
tidak memperpanjang masa pemulihan;
demikian pula dengan pemberian diazepam,
untuk anak-anak dapat diberi diazepam 0,1
mg/kg BB per oral.4
Untuk antimuntah, diberi droperidol 0,25-1,5
mg IV (50-75 μg/kgBB IV) sebagai premedikasi,
tidak memperpanjang masa pemulihan.4
Ranitidin, metoklopramid atau natrium sitrat
dapat digunakan sebagai profilaksis aspirasi.
Tidak ada keuntungan memberikan profilaksis
tripel atau ganda dibandingkan pemberian
antagonis H2 saja.5
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
Ranitidin dikatakan lebih poten dan spesifik
mengurangi produksi asam lambung dan
menurunkan volume gaster. Metoklopramid
meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian
bawah yang akan memfasilitasi pengosongan
gaster.5
Teknik Anestesi4
Teknik anestesi untuk pasien ambulatory harus
memenuhi kriteria:
a. Induksi cepat, lancar dan menyenangkan.
b. Pemeliharaan anestesi cukup sempurna,
aman dan menyenangkan bagi pasien dan
pembedah.
c. Bebas dari rasa sakit, takut, dan
pemulihannya cepat tanpa komplikasi (mual,
muntah, vertigo, dan lain-lain).
d. Tonus simpatis/refleks protektif cepat
kembali.
Dapat dipilih:
1. Teknik anestesia lokal (topikal, infiltrasi,
field block).
• Paling aman, sederhana dan dapat
dilakukan oleh ahli bedah.
• Penderita harus kooperatif.
2. Blokade saraf.
• Sederhana dan cukup aman.
• Perlu keterampilan dan pengalaman.
3. Anestesi regional (spinal atau epidural)
• Terbatas pada beberapa kasus saja (sangat
selektif ).
• Tidak disenangi oleh pasien muda.
• Kesulitan yang timbul:
a. Adanya blok simpatis sampai saat-saat
pemulihan (bahaya hipotensi).
b. Efek samping nyeri kepala sering terjadi.
c. Efek samping lain (retensi urin, diplopia,
gangguan keseimbangan) walau jarang
terjadi.
4. Anestesi umum2,3
Pada dasarnya tidak berbeda dengan
anestesia pada pembedahan-pembedahan
elektif. Bedanya hanya menghindari obat yang
menyebabkan masa pulih sadar lama.
Induksi propofol 2-2,5 mg/kgBB i.v lebih
digemari dibandingkan tiopental 3-7 mg/
kgBB IV karena efek samping propofol minimal
dan pulih sadarnya cepat. Nyeri suntikan
propofol IV dapat dikurangi atau dihilangkan
dengan memberikan lidokain 10-20 mg IV
sebelumnya. Pada bayi dan anak induksi
pilihan ialah halotan atau sevofluran.
Rumatan dapat menggunakan inhalasi
halotan, enfluran, isofluran, desfluran atau
sevofluran. Rumatan anestesia intravena
hanya menggunakan propofol 4-12 mg/
kgBB/jam dengan bantuan opioid fentanil 1
μg/kgBB.
Sungkup laring sering digunakan mengingat
pemasangannya
tidak
memerlukan
pelumpuh otot, asalkan puasa pasien cukup
lama. Penggunaan pelumpuh otot, jika perlu
pilihannya adalah golongan nondepolarisasi
kerja singkat misalnya mivakurium atau
rekuronium. Adanya sungkup laring,
mengurangi penggunaan pelumpuh otot
dan pipa trakea kian.
Pada penggunaan pelumpuh otot, usahakan
tanpa menggunakan penawar neostigmin
pada akhir operasi yang kadang-kadang
menyebabkan nyeri otot.
Pemantauan2
Selama anestesia berlangsung harus selalu
diawasi:
1. Pernapasan: tanda-tanda sumbatan
jalan napas: napas berbunyi, retraksi otot
dada, napas paradoksal. Tanda-tanda depresi
pernapasan: napas dangkal sekali.
2. Kardiovaskuler: hipertensi, hipotensi, syok,
aritmia, bradikardia, takikardia, tanda-tanda
henti jantung.
3. Warna: sianosis atau pucat
4. Suhu: hipotermia, hipertermia.
Hal-hal tersebut harus segera diatasi.
Ruang Pulih Sadar (RPS)2
Sarana ruang pulih sadar diperlukan bila
jumlah pembedahan ambulatory banyak
dan rutin. Perlengkapan ruang pulih sadar
untuk bedah ambulatory sama dengan yang
untuk bedah elektif, seperti O2, alat pengisap,
obat-obat, alat-alat untuk keadaan darurat
dan perawat terlatih untuk resusitasi jantung
paru. Pasien dapat dikeluarkan dari ruang
pulih bila: sadar penuh, kooperatif, tandatanda vital baik, refleks proteksi baik dan
komplikasi-komplikasi lain tidak ada, tidak
ada perdarahan ulang, rasa sakit hebat, mual
dan muntah.
Khusus untuk pasien dengan pipa endotrakea
saat anestesia perlu diawasi minimal 2 jam,
275
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel Alasan rawat inap pascaambulatory anesthesia5
Faktor pembedahan (63,2%)
Pembedahan meluas di luar prosedur yang diantisipasi
Komplikasi mengharuskan pembedahan ulang atau observasi lanjut
Perdarahan banyak selama atau pascaoperasi
Follow up pembedahan atau rencana prosedur diagnostik
Faktor medis (19,9%)
Kondisi medis yang tidak terkontrol
Membutuhkan terapi antibiotik intravena
Faktor anestesi (12,7%)
Mual atau muntah terus-menerus
Pneumonia aspirasi
Lemah dan lesu
Nyeri yang tidak terkontrol
Faktor lain (4,7%)
Pasien menolak pulang
Ahli bedah membutuhkan observasi semalam atau pemeriksaan tambahan
Tidak ada orang untuk merawat pasien di rumah
karena risiko edema laring. Keluarga pasien
kalau perlu boleh menunggu di RPS untuk
membantu mengawasi, terutama untuk
anak-anak yang akan merasa aman/tenang
bila orangtua/keluarga hadir. Pada saat
pasien dikeluarkan dari RPS hendaknya diberi
instruksi tertulis, misalnya siapa yang harus
dihubungi bila ada komplikasi.
KOMPLIKASI PASCABEDAH2
Ambulatory anesthesia tidak lepas dari
komplikasi meskipun tidak berat misalnya
nyeri kepala, mual, muntah-muntah nyeri
pada otot, nyeri tenggorok, batuk-batuk,
kurang konsentrasi.
Kategori Komplikasi:
• Ringan: bila berlangsung 1-2 hari.
• Sedang: bila berlangsung 2-5 hari.
• Berat: bila berlangsung lebih dari 5 hari.
Pencegahan dan penatalaksanaan
komplikasi 9
Komplikasi ringan biasanya tidak memerlukan
tindakan. Bila kemungkinan timbulnya
komplikasi tersebut sudah dijelaskan sebelum
menjalani anestesi, tidak akan timbul
kekhawatiran berlebihan pada keluarga
pasien. Keuntungan ambulatory anesthesia
lebih besar daripada potensi komplikasi
ringan tersebut.
Mual dan muntah dapat dicegah dengan
droperidol atau hidroksizin, terutama untuk
pembedahan yang cenderung menimbulkan
muntah pasca bedah, seperti laparoskopi
dan pembedahan strabismus. Rasa nyeri otot
dapat dicegah dengan prekurarisasi sebelum
276
pemberian suksinilkolin.
Bila ada nyeri otot, dapat diberikan
parasetamol atau analgetik oral lain.
Pascaherniotomi dapat dilakukan blok
ilioinguinal dan iliohipogastrik dengan
infiltrasi bupivakain 0,5%, dengan dosis
kurang dari 2 mg/kgBB di daerah medial SIAS.
Pascasirkumsisi dapat diberikan bupivakain
0,25% tanpa adrenalin 1 cm dari garis tengah
(kanan dan kiri) di bawah fasia Buck. Dengan
cara ini akan didapatkan analgesia selama 6
jam.
Nyeri tenggorok dan croup dicegah dengan
teknik intubasi yang lancar dan atraumatis.
Jalan napas orofaring sebaiknya tidak dipakai.
Bila sudah terjadi croup sampai spasme laring,
dapat diberikan doxapram 1,5 mg/kgBB
intravena perlahan-lahan selama 20 detik.
Ong, Palahniuk dan Cumming menemukan,
pada masa praanestesia pasien ambulatory
mempunyai isi lambung yang lebih banyak
dengan pH yang lebih rendah, dibandingkan
dengan pasien yang dirawat tinggal. Karena itu,
dianjurkan pemberian antasida praanestesia
untuk mencegah aspirasi isi lambung.
Nyeri terlalu hebat, perdarahan, muntah
berlebihan dan keadaan lain yang tidak
dapat diatasi sendiri di rumah harus diatasi di
rumah sakit; harus ada perjanjian dengan unit
rawat tinggal untuk merawat pasien dengan
penyulit berat. Keluarga pasien juga harus
diberi penjelasan tertulis mengenai penyulitpenyulit yang harus segera dilaporkan/segera
dibawa ke rumah sakit.
RAWAT INAP PASCA-AMBULATORY
ANESTHESIA
Dalam 30 hari pascapembedahan ambulatory,
didapatkan 1,3% pasien kembali ke rumah
sakit yang sama, 54% kembali ke unit gawat
darurat, dan 46% menjalani perawatan kembali
di rawat inap maupun ambulatory. Pada
sekitar 1% pembedahan ambulatory, pasien
terpaksa menjalani rawat inap yang tidak
diharapkan; biasanya berhubungan dengan
jenis pembedahan, lamanya pembedahan,
penggunaan teknik anestesi umum dan usia
pasien.
Diperkirakan seperempat pasien yang terpaksa
menjalani rawat inap pascapembedahan
ambulatory berhubungan dengan teknik
anestesi. Kejadiannya cenderung lebih besar
pada pasien yang mendapat anestesi umum
dibandingkan dengan anestesi regional,
tetapi sedasi pada pasien yang mendapat
anestesi regional juga meningkatkan sejumlah
komplikasi.
Risiko rawat inap setelah anestesi regional lebih
rendah (1,2%) dibandingkan setelah anestesi
umum (2,9%). Waktu pemulihan kelompok
anestesi regional lebih pendek dibandingkan
kelompok anestesi umum (56 menit vs 95
menit) dan kejadian nyeri pascaoperasi lebih
rendah pada anestesi regional.5,6
KRITERIA PEMULANGAN 10
• Orientasi tempat, waktu, dan orang sudah
baik
• Tanda-tanda vital telah stabil dalam 30-60
menit
• Mampu bergerak tanpa dibantu
• Mampu diberi cairan oral (tanpa muntah)
• Tidak ada nyeri dan perdarahan
• Pasien dengan induksi ketamin, baru
boleh pulang setelah 4 jam. Sedangkan
pasien dengan propofol atau pentotal, sudah
boleh pulang dalam 2 jam. 10
Pasien yang mendapat anestesi spinal atau
epidural hanya dapat dipulangkan jika fungsi
motorik, sensorik dan simpatis kembali seperti
sedia kala serta mampu mengosongkan
kandung kemih, artinya blok telah hilang
secara komplit.7 Berikut ini kriteria pemulangan
pasien dengan teknik anestesi spinal atau
epidural:
1. resolusi komplet anestesi sensorik,
2. resolusi komplet blokade motorik,
3. tanda vital kembali ke status preanestesi,
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
4. status mental kembali ke status
preanestesi,
5. manajemen adekuat terhadap nyeri
pascaoperasi,
6. tidak ada mual,
7. bisa buang air kecil, dan
8. bisa jalan tanpa bantuan asisten.7
SIMPULAN
Secara medis pasien yang dioperasi dan
dianestesi ambulatory, tidak memerlukan
rawat inap pascabedah. Risiko ambulatory
anestesia sama besarnya dengan anestesia
pasien rawat inap. Tindakan bedah pada
ambulatory anesthesia umumnya tergolong
bedah minor, superfisial, tidak sulit dan cepat
selesai. Walaupun demikian ambulatory
anestesia tidak dapat dikaitkan dengan
anestesia ringan. Anestesia juga harus dalam
(sama untuk bedah rawat) agar pembedahan
dapat dilakukan dengan baik, tidak tergesagesa dan aman. Risiko anestesia pada bedah
mayor juga mungkin terjadi pada bedah
ambulatory anesthesia. Yang diharapkan
pada kasus ambulatory adalah masa pulih
sadar yang cepat, tanpa penyulit berat,
selama atau pascabedah sehingga pasien
dapat dipulangkan pada hari yang sama.
Pelaksanaannya membutuhkan kerja sama
dan ketelitian memilih dan mengevaluasi
pasien prabedah.2
Mengingat pasien harus dapat dipulangkan
dengan aman, hendaknya tindakan bedah
ambulatory selain terbatas pada kelainan yang
kecil juga pada keadaan umum pasien yang
baik (status fisik ASA 1 dan 2). Harus dipilih
obat serta teknik anestesia agar pasien dapat
cepat pulih sadar kembali tanpa efek samping
seperti mual, muntah, atau pusing.
Banyak rumah sakit sekarang cenderung
melakukan lebih banyak pembedahan
ambulatory anestesia untuk keuntungan
pasien dan rumah sakit. Bagi pasien dapat
membantu menghemat biaya pengobatan,
mengurangi risiko infeksi, mengurangi stres
karena tidak perlu berpisah dengan keluarga.
Bagi rumah sakit pemakaian tempat tidur lebih
efektif dan efisien, dan juga memperpendek
daftar tunggu pasien yang akan dibedah.2
DAFTAR PUSTAKA
1.
Gudaityte J, Marchertiene I, Pavalkis D. Anesthesia for ambulatory anorectal surgery. Medicina. 2004;4 (2).
2.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Anestesiologi. FKUI: Jakarta. 1989. p. 135-9.
3.
Latief SA dkk. Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta 2001. Hal: 121-3.
4.
Joshi GP. Inhalational techniques in ambulatory anesthesia. Anesthesiology Clin N Am. 2003;21:263-72.
5.
Dewandre PY. Preoperative management for ambulatory anaesthesia: does the choice of drug matter? Acta Anaesth Belg Suppl. 2004.55 00-00.
6.
Deutsch N, Cristhoper L. Patient outcomes following ambulatory anesthesia. Anesthesiology Clin N Am. 2003;21: 403-15.
7.
Joshi GP. The society for ambulatory anesthesia: 20th annual meeting report. Anesth Analg. 2006;102:759-63.
8.
Posner KL. Liability profile of ambulatory anesthesia. ASA Newsletter. 2000;64(6):10-2.
9.
White P. Anesthesia for ambulatory surgery. Mxicana de Revista Anest. 2004;27 Sup.1: 43-52.
10. Wennervirta J, Ranta S, Hynynen M. Awareness and recall in outpatient anesthesia. Anesth Analg. 2002;95:72-7.
11. Chakravorty NJ, Chakravorty D, Agarwal. Spinal anaesthesia in the ambulatory setting: A review. Indian J Anaesth. 2003;47(3):167-73.
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
277
Download