BluePrint E-Government: Antara Mitos Dan Realita

advertisement
BluePrint E-Government: Antara Mitos Dan Realita
Ditulis oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Direktur / Peneliti Strategi dan Kebijakan Telematika
Institute for Technology and Economic Policy Studies <<INSTEPS>>
Menyusul pergantian Kabinet Gotong Royong menjadi Kabinet Indonesia Bersatu, gema
electronic government (e-government) yang sempat naik daun ternyata meredup walau
tidak padam sama sekali. Departemen Kominfo yang sebelumnya sempat menjadi
pengemuka dalam sosialisasi e-government, meski di dalamnya sendiri belum
menerapkan aplikasi e-government, terlihat berhenti sejenak, para pilotnya masih ragu
menunggu perintah terbang kembali dari Menteri. Dua minggu lalu, para pejabat eselon
satu Departemen Kominfo sudah dilantik, mudah – mudahan gema e-government
berdengung lagi, mewujud dalam bentuk transformasi tata pemerintahan yang berbasis
elektronik, menghasilkan layanan publik yang adil, transparan, efisien, dan manfaatnya
dirasakan oleh semua warga masyarakat tanpa kecuali.
Beberapa pihak yang menaruh perhatian terhadap e-government menyatakan terjadi
kelambatan dalam pengembangan dan implementasi e-government di Indonesia.
Sinyalemen yang mengarah kepada “tuduhan” tersebut mengatakan ada beberapa sebab
kelambatan (kalau tidak mau disebut kegagalan) implementasi e-government. Pertama,
di lingkungan pemerintahan banyak yang
beranggapan bahwa e-government adalah
urusan Kementrian/Departemen Kominfo semata. Meski banyak unit Departemen
maupun Pemerintah Daerah yang meng-klaim sudah mengimplementasikan egovernment, namun sebagian besar di antaranya merupakan inisiatif masing – masing
unit yang acapkali menimbulkan benturan kepentingan dengan unit – unit lainnya.
Padahal e-government dalam suatu departemen idealnya mengintegrasikan semua
layanan pemerintahan yang dikelola oleh seluruh unit di bawahnya.
Kedua, para pendukung e-government – yang sebagian besar berasal dari atau berlatar
belakang telekomunikasi dan teknologi informasi dan (Telematika) - lebih banyak yang
mendekati e-government sebagai aplikasi Telematika untuk pemerintahan semata. Sangat
jarang di antara mereka yang memahami tata laksana organisasi pemerintahan beserta
karakteristik pemerintahan itu sendiri. Seringkali pakar Telematika yang berbicara
tentang e-government sudah punya kerangka acu (template) tersendiri mengenai aplikasi
e-government, seperti mereka membangun aplikasi Sistem Informasi di organisasi privat,
padahal karakter lembaga pemerintahan sungguh sangat kompleks.
Hal ini pun tercermin dari hasil karya gugus tugas nasional e-government, bobot terbesar
dari kerangka kebijakan e-government lebih banyak bicara memandang e-government
dari kaca mata Telematika. Aspek penting non-Telematika seperti model pendanaan;
kemitraan public-private; perlunya perubahan organisasi dan tatalaksana (SOP)
pemerintahan; perlunya SDM yang melek Telematika; bagaimana skenario perubahan
(change management) dari aktivitas pemerintahan yang berbasis kertas menjadi
paperless, memang sudah termasuk dalam luaran karya gugus tugas, namun masih perlu
penyempurnaan dan kebijakan operasional yang lebih detail.
Di berbagai kesempatan kegiatan sosialisasi, edukasi, workshop, pelatihan, artikel kolom,
dan lain sebagainya, yang banyak dibahas aspek teknis Telematika-nya saja. Atau, meski
bukan aspek teknis namun model pendekatannya masih lebih banyak diwarnai oleh
pendekatan pengembangan dan pemanfaatan
sistem informasi/teknologi informasi.
Sebaliknya di arena internasional, setidaknya dalam berbagai diskusi di fora internasional
yang berhasil dipantau, pendekatan sosialisasi dan pembangunan e-government justru
menohok persoalan "reformasi birokrasi" dan "pelayanan publik" yang menjadi inti dari
tujuan akhir e-government. Titik perhatian bukan pada aplikasi Telematika-nya, namun
pada penguatan paradigma bagaimana birokrasi pemerintah dan layanan publik dapat
lebih efisien, efektif, transparan, dan memberikan layanan secara non-diskriminatif.
Panduan yang berisi arah kebijakan beserta skenario pembangunan dan pengelolaan egovernment secara makro inilah yang seharusnya menjadi bagian utama dari Blueprint egovernment. Memang perlu waktu, pengalaman, sumber daya yang mencukupi untuk
dapat membuat Blueprint e-government yang ideal. Berbagai kendala menjadikan
Blueprint seolah mitos yang kuat menancap di angan belaka, sebagai gambaran ideal
yang tak pernah terwujud, dijaga sedemikian rupa karena ketidak –mampuan dalam
membangunnya. Sementara itu realita yang terjadi jauh dari ideal. Ibarat orang hendak
berangkat memenuhi undangan pesta tetangga, tidak harus bersiap diri hingga bersepatu,
berjas dan berdasi, sementara ketiganya belum sempat dimiliki, maka sepatu sandal,
celana panjang dan baju kasual pun sudah memadai untuk disandang ke pesta. Gambaran
yang sama terjadi dalam konteks pengembangan e-government di Indonesia, Pemda dan
beberapa unit Pemerintah Pusat tidak dapat menunggu terbitnya Blueprint yang entah
kapan terbitnya. Sehingga, sebagaimana yang kita lihat sekarang, e-government tidak
lebih dari sekedar penayangan informasi melalui website, otomatisasi administrasi
lembaga publik, dan salah satu cara sah menghabiskan APBN/D. Paradoks seperti ini
memerlukan segera terbitnya Blueprint e-government.
Pertanyaannya, siapa saja yang perlu terlibat dalam membangun Blueprint, apa sajakah
yang harus termuat, dan bagaimana mewujudkan bangunan e-government sesuai dengan
Blueprint tersebut. Jika mengacu pada gugus tugas nasional e-government yang dibentuk
oleh Kementrian Kominfo, di mana sebagian besar personalianya berasal dari atau
berlatar belakang pendidikan teknologi informasi, tim perumus Blueprint e-government
nasional perlu dilengkapi dengan para ahli atau praktisi dari bidang lain seperti
pemerintahan, politik, budaya, manajemen, ekonomi, antropologi, filsafat, agama,
pertanian, industri, perdagangan, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Hal ini
penting karena membangun e-government tidak identik dengan membangun Telematika,
membangun e-government adalah me-redefinisi dan menyusun kembali (re-engineering)
sendi – sendi kehidupan dan tata laksana pemerintahan. Anggapan dan pendekatan egovernment sebagai implementasi Telematika di pemerintahan sudah lewat, sekarang
yang penting adalah bagaimana memastikan semua karyawan dan pejabat instansi
pemerintah pusat dan daerah memahami pentingnya e-government dan memastikan
layanan egovernment dapat dinikmati oleh semua pihak yang berurusan dengan
pemerintah.
Luaran gugus tugas e-government nasional dapat menjadi bahan awal untuk
disempurnakan menjadi Blueprint e-government nasional. Penyempurnaan terutama
ditujukan untuk rekonstruksi luaran yang memuat aspek non-teknis Telematika dengan
mengakomodasi masukan dari berbagai ahli bidang lain seperti tersebut di atas. Senario
manajemen perubahan menjadi sangat penting bahkan syarat mutlak bagi suksesnya
implementasi e-government. Pengayaan materi dari berbagai disiplin ini diharapkan akan
menjadikan Blueprint mampu mencerminkan wajah sebenarnya dari Pemerintahan masa
depan yang selama ini digambarkan sebagai mitos. Sebagaimana kita tahu, substansi dan
lingkup tugas pemerintah sangat luas, dengan demikian menjadi wajar kiranya dalam
pembuatan Blueprint melibatkan pula orang – orang non Telematika.
Seorang rekan aktivis e-government, yang meski berlatar belakang Telematika namun
sudah mampu melihat e-government bukan semata perkara Telematika, selalu
mengatakan ‘at the end of the day, there is only government’. Penjelasan rekan ini, egovernment hanyalah sarana yang menjadi sasaran antara. Artinya, yang dituju bukan egovernment-nya tetapi kondisi pemerintahan yang bersih, transparan, melayani warga
tanpa diskriminiasi, murah, efisien, 24/7 dan lain sebagainya yang semuanya menjadi
representasi dari public good governance. Akan halnya e-government, tak lebih menjadi
sasaran antara yang diawali dengan implementasi Telematika di lingkungan instansi
pemerintahan.
Dengan memahami posisi dan tujuan e-government yang benar, dan mengacu pada
panduan yang terdapat pada Blueprint, semestinya sudah menjadi syarat cukup bagi
suksesnya upaya membangun public good governance melalui e-government. Best
practices yang dialami di negara – negara lain mengingatkan bahwa ternyata syarat
cukup belumlah cukup, masih diperlukan dukungan, keberpihakan dan keteladanan dari
para pemimpin politik. Memperhatikan hal ini dan menyimak pernyataan Presiden
maupun Menteri Kominfo, optimistik perlu dibangun kembali, karena kedua pemimpin
nasional ini telah menujukkan komitmennya untuk mewujudkan pemerintahan good
governance dengan e-government sebagai sarananya. Jika demikian, mari kita bangun
Blueprint e-government, tunggu apa lagi???
Download