Pengelolaan Pasien Pasca Henti Jantung di Intensive Care

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Pasien Pasca Henti Jantung
di Intensive Care Unit
Andi Wahyuningsih Attas
PENDAHULUAN
Keberhasilan resusitasi jantung - paru yang
ditandai dengan kembalinya sirkulasi spontan (return
of spontaneous circulation/ROSC) yaitu terabanya
nadi karotis, yang sebenarnya adalah langkah awal
dari tujuan pengelolaan secara menyeluruh pada
pasien henti jantung. Pengelolaan pasca henti
jantung dilaporkan dapat menurunkan mortalitas
akibat tidak stabilnya hemodinamik, bahkan dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat gagal
multi organ dan brain injury.1
Setelah ROSC, neuro-neuron syaraf yang cedera
ada yang menjadi pulih kembali tetapi ada pula yang
mengalami kematian oleh karena apoptosis atau
lisis. Aktivitas listrik di otak dapat kembali normal,
terganggu atau bahkan tidak kembali sama sekali
dalam beberapa jam sampai beberapa hari, sehingga
kondisi ini harus diperhatikan pada saat transportasi
dari tempat pasien mengalami henti jantung ke tempat
rujukan karena kondisi otak yang masih sangat
rentan. Gangguan homeostasis yang terjadi meliputi
hipotensi, gangguan oksigenasi dan ventilasi, kejang
dan demam yang dapat mengakibatkan keluaran
neurologik yang lebih buruk. Keadaan ini disebut
sindrom pasca henti jantung/post-cardiac arrest
Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Fatmawati
Jl. Fatmawati, Jakarta Selatan
Korespondensi: [email protected]
94
syndrome yang terdiri atas cedera otak, respons
reperfusi/iskemia sistemik, disfungsi miokard dan
patologi penyebab henti jantung yang menetap.2,3,4,5.
(Tabel 1)
Dari beberapa pasien yang hidup kemudian
dirawat di intensive care unit (ICU) tetapi kemudian
akhirnya meniggal di rumah sakit (RS), dilaporkan
cedera otak merupakan penyebab kematian pada
68% pasien yang mengalami henti jantung di luar
rumah sakit dan 23% pada pasien yang mengalami
henti jantung di RS. Cedera otak pasca henti jantung
dapat diperberat oleh adanya gagal mikrosirkulasi,
gangguan autoregulasi, hiperkarbia, hiperoksia,
pireksia, hiperglikemia dan kejang. Reperfusi/
iskemia global pada henti jantung akan mengaktifkan
sistem immun dan koagulasi yang keduanya
berperan terhadap terjadinya gagal multi organ dan
meningkatkan risiko infeksi. Dengan demikian
sindrom pasca henti jantung mempunyai gambaran
seperti sepsis, yaitu penurunan volume intravaskular
dan vasodilatasi.2,6,7,8,9 Derajat keparahan sindrom ini
akan bervariasi tergantung lama dan penyebab henti
jantung, dan tidak akan terjadi pada henti jantung
yang singkat.
TUJUAN PENGELOLAAN
HENTI JANTUNG
PASIEN
PASCA
Menurut 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care, tujuan pengelolaan
dibagi dua yaitu tujuan awal dan lanjut.2
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Andi Wahyuningsih Attas
Tabel 1. Komponen-komponen sindrom pasca henti jantung4
Patofisiologi
Cedera otak
Reactive oxygen species
Oksidasi protein
Perioksidasi lipid
Gangguan otoregulasi
Koma
Kejang
Kondisi vegetatif yang
menetap
Terapi hipotermi
Optimasi hemodinamik
Terapi kejang
Pengendalian ventilasi
Strok
Serebrovaskular
Udem otak
Mati otak
dan oksigenasi
Manifestasi klinis
Pengelolaan
Disfungsi miokard
Cedera langsung akibat
Hipotensi
Revaskularisasi dini
tindakan RJP dan defibrilasi Disritmia Optimasi hemodinamik
Peningkatan katekolamin
Hipokinesis global
Bantuan mekanik
Radikal bebas oksigen
Kolaps sirkulasi
dengan IABP, LVAD,
Sindrom koroner akut
ECMO
Iskemia sistemik/ respons Mediator inflamasi, sitokain Hipovolemia Optimasi hemodinamik
reperfusi
Gangguan koagulasi
Hipotensi
Pengendalian suhu
Pembentukan radikal bebas
Kolaps sirkulasi
oksigen
Gagal multiorgan
Disfungsi adrenal
Peningkatan kerentanan
terhadap infeksi
Penyebab henti jantung SKA Sesuai penyebab Terapi spesifik penyebab
yang menetap
PPOK, asma
Strok
Emboli paru
Sepsis
Hipovolemia
Perdarahan
Overdosis obat
Keterangan: RJP: resusitasi jantung paru , IABP: intra aortic baloon pump, LVDA: left ventricular assist device, ECMO: extracorporeal
membrane oxygenation, SKA:sindrom koroner akut, PPOK: penyakit paru obstruksi kronik.
Tujuan awal
• Mengoptimalkan fungsi kardiopulmoner dan perfusi
organ vital
• Pada henti jantung di luar rumah sakit, transpor
pasien ke rumah sakit yang tepat ddan mempunyai
fasilitas sistem pengelolaan pasca henti jantung yang
menyeluruh yaitu intervensi koroner akut, pengelolaan neurologi, goal-directed critical care, and hipotermia
• Transpor pasien henti jantung di rumah sakit yaitu ke
critical care unit yang tepat dan mampu memberikan
pengelolan pasca henti jantung yang menyeluruh.
• Melakukan identifikasi dan memberikan terapi penyebab henti jantung dan mencegah henti jantung
berulang.
Tujuan lanjut
• Mengedalikan suhu tubuh untuk mengoptimalkan
kesintasan dan pemulihan neurologik
• Mengidentifikasi dan melakukan terapi sindrom koroner akut
Volume 2 Nomor 2 April 2012
• Mengoptimalkan ventilasi mekanik dengan meminimalkan cedera paru
• Mengurangi risiko gagal multiorgan dan mendukung
fungsi organ-organ bila dibutuhkan
• Menilai secara obyektif prognosis untuk pemulihan
• Membantu pasien yang hidup dengan pelayanan rehabilitasi bila diperlukan
Pengolaan oksigenasi dan ventilasi
Hipoksemia dan hiperkarbia akan dapat
menyebabkan henti jantung berulang dan berperan
mengakibatkan cedera otak sekunder. Pada umumnya
setelah ROSC pasien akan diberikan oksigen
100% dengan atau tanpa intubasi endotrakheal.
Namun demikian, beberapa percobaan binatang
menunjukan bahwa hiperoksemia dapat menimbulkan
oxidative stress dan membahayakan neuron pasca
iskhemik5,10.
Kilgannon dkk meneliti 6000 pasien dengan
ROSC pasca henti jantung dan dalam keadaan
95
hiperoksia yaitu PaO2 lebih dari 300mmHg
mempunyai keluaran yang lebih buruk dibandingkan
pasien-pasien yang mempunyai nilai PaO2 antara
60 dan 300mmHg. Dilaporkan bahwa hiperoksemia
mempunyai keluaran yang lebih buruk dibandingkan
dengan hipoksemia dan normoksemia11. Panduan
AHA mengajurkan pemberian fraksi oksigen
inspirasi ditritrasi deng memlihara satorasi oksiken
arteri (SaO2) lebih dari 94% dan PaO2 sekitar 100
mmHg.2
Inisiasi bantuan ventilasi mekanik dianjurkan
dengan volume ventilation dengan volume tidal 6-8
mL/kg predicted body weight, laju napas 10-14 kali/
menit dengan memlihara Pa CO2 35-40 mmHg, atau
lebih baik dipantau dengan alat capnometer untuk
memelihara end tidal CO2 dalam batas normal. Oleh
karena pasien-pasien pasca henti jantung mempunyai
risiko terjadinya acute respiratory distress syndrome,
dan menghindari terjadinya ventilator-induced lung
injury maka plateau pressure dijaga kurang atau
sama dengan 30 cmH2O.12,13
Optimasi Hemodinamik
Pengelolaan hemodinamik diutamakan dengan
perbaikan volume intravaskular, menjaga tekanan
perfusi adekwat, mengoptimalkan pasokan oksigen,
mengidentifikasi dan mengobati penyebab henti
jantung. Seperti misalnya, bila penyebab henti
jantung adalah sepsis, maka early goal-directed
therapy (EGDT) menurut Rivers harus dilakukan
sebagai metode resusitasi hemodinamik.
Pada sindrom pasca henti jantung akan terjadi
hipovolemi akibat peningkatan permiabilitas kapiler,
oleh karena itu resusitasi cairan dengan kristaloid
dapat dimulai. Target tekanan vena sentral (central
venous pressure/CVP) dilaporkan tidak dapat
menilai status volume bila emboli paru, tension
pneumothraks, tamponade jantung atau infark
miokard kanan sebagai penyebab henti jantung.
Akhir-akhir ini metode untuk menilai kecukupan
volume intravaskular adalah perubahan diameter
vena cava inferior yang dinilai dengan ultrasonografi,
pulse pressure variation atau systolic pressure
variation. Namun demikian,keluaran urin lebih dari
1 ml/kg berat badan/ jam dapat merupakan target
resusitasi.2,14
Tekanan perfusi yang adekwat dapat dicapai bila
tekanan arteri rerata (mean artery pressure/MAP)
kisaran 90-100 mmHg. Pada nilai MAP ini dilaporkan
dapat menjaga perfusi serebral dan pasokan oksigen
adekwat, sedangkan bila MAP lebih dari 100 mmHg
akan mempunyai efek merugikan.15 Untuk menilai
96
kecukupan pasokan oksigen ke jaringan dapat
diperiksa kadar laktat darah dan saturasi oksigen
vena sentral (ScvO2).16
Apabila dengan resusitasi cairan, pemberian
obat vasopresor dan inotropik gagal dalam menjaga
tekanan perfusi dan pasokan oksigen, maka bantuan
mekanik hemodinamik dapat dipertimbangkan seperti
pemasangan intra-aortic balloon pump (IABP) atau
left ventricular assist device (LVAD), meskipun alatalat ini tidak dianjurkan digunakan secara rutin.2
Seperti diketahui pasien pasca henti jantung
dengan STEMI harus dilakukan angiography
koroner dini dan percutaneus coronary intervention
(PCI) oleh karena nyeri dada dan/atau elevasi ST
merupakan prediktor lemah adanya sumbatan
koroner akut pada pasien seperti ini, maka intervensi
harus dipertimbangkan pada semua pasien pasca
henti jantung yang disebabkan penyakit jantung
koroner.2,3
Pengendalian suhu
Terapi hipotermi
Penelitian-penelitian pada binatang dan manusia
menunjukan bahwa hipotermi ringan merupakan
neuroproteksi dan memperbaiki keluaran setelah
suatu periode iskhemia-hipoksia serebral global.
Hipotermi menurunkan kecepatan metabolisme
oksigen serebral sekitar 6% setiap penurunan
suhu sebesar 1oC. Sebagian besar penelitian terapi
hipotermi pasca henti jantung karena ventricular
fibrilation (VF) menggunakan pasien dengan
kesadaran koma.Satu penelitian prospektif pada
pasien- pasien henti jantung non VF yang dilakukan
induksi hipotermi yang dimulai sebelum pasien
dirujuk ke rumah sakit dan dilanjutkan di rumah
sakit rujukan. Infusi 2000ml ringer laktat dingin
dapat mengurangi waktu untuk mencapai suhu pusat
< 34°C setelah tiba di rumah sakit dan memperbaiki
keluaran rumah sakit. Pasien yang diberikan terapi
hipertermi suhunya harus dapat diturunkan secepat
mungkin. Hasil penelitian prospektif menunjukan
waktu terbaik dlakukan hipotermi adalah antara 2-8
jam setelah ROSC, dengan target suhu antara 32 34° C.2,17,18,19
Terapi hipotermi dibagi menjadi 3 fase yaitu
induksi, pemeliharaan dan penghangatan. Fase
induksi dapat dilakukan dengan cara eksternal dan
internal. Pemberian infus 30ml/kg BB NaCl 0,9% atau
Ringer laktat yang bersuhu 4°C akan menurunkan
suhu inti sekitar 1,5°C. Sebagai tambahan pemberian
infus dingin adalah teknik surface cooling yaitu
meletakkan bongkahan es atau handuk dingin
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Andi Wahyuningsih Attas
atau selimut dingin pada lipat paha, ketiak, kepala
dan leher. Pemberian cairan dingin melalui pipa
nasogastrik juga dapat dilakukan. Pemantauan suhu
inti yang paling sederhana yaitu suhu rektal dapat
dilakukan selama induksi terapi hipotermi ini.2,17
Pasien menggigil merupakan efek samping yang
tidak diinginkan pada saat mencapai suhu target.
Obat – obat yang dapat diberikan untuk mengatasi
menggigil adalah propofol, fentanyl, petidin dan
dexmedetomidine. Setelah suhu target 32-34°C
tercapai maka fase kedua yaitu fase pemeliharaan
dimulai dan dipertahankan selama 12 sampai 24 jam.
Infusi dingin dapat dihentikan, dan hanya dilakukan
pemeliharaan suhu dengan bongkahan es dan
selimut/handuk dingin. Setelah 12-24 jam hipotermi,
mulai dilakukan fase ketiga yaitu penghangatan.
Penghangatan yang dilakukan dengan kecepatan
0,25 °C sampai 0,5°C per jam. 2,17,18,19
Fase hipotermi ke normotermia dapat berpengaruh
terhadap hemodinamik, metabolisme, kadar elektrolit,
dan efek obat. Selama terapi hipotermi, pemantauan
dan optimasi oksigenasi, ventilasi dan hemodinamik
tetap dilakukan.18,20
Komplikasi terapi hipotermi adalah bradikardia,
peningkatan systemic vascular resistance, dan
penurunan curah jantung. Pendinginan dapat
mengakibatkan diuresis berlebihan sehingga
mengakibatkan gangguan keseimbangan elektrolit
seperti hipokalemia, hipomagnesium, hipokalsemia,
dan hipofosfatemia, kecuali itu dapat mengakibatkan
resistensi insulin dan gangguan koagulopati.18,20,21,22
Terapi hiperpireksi
Hipertermi dapat terjadi pada 48 jam pertama
pasca henti jantung. Suhu > 37,6°C akan
meningkatkan keluaran neurologik yang buruk pada
pasien-pasien pasca henti jantung.23 Bila hipertermi
terjadi selama fase penghangatan terapi hipertemi,
maka pasien harus dipantau dengan ketat dan suhu
diturunkan dengan segera.
Pengendalian kadar gula darah
Banyak dilaporkan adanya hubungan antara
kadar gula darah tinggi pasca henti jantung dengan
keluaran neurologik yang buruk.2,21 Terapi hipotermi
dapat pula mengakibatkan resistensi insulin sehingga
kadar gula darah meningkat, oleh sebab itu maka
kadar gula darah dijaga dengan kisaran 150 sampai
< 180 mg/dL, dengan infuse insulin dan pemantauan
kadar gula darah tiap 1-2jam agar tidak terjadi
hipoglikemia.
Volume 2 Nomor 2 April 2012
Pengendalian kejang
Kejang atau mioklonus atau keduanya terjadi
5-15% pasien dewasa setelah ROSC dan terjadi
pada 10-40% pasien yang tetap koma. Kejang akan
meningkatkan metabolisme serebral sampai 3 kali
dan dapat memperburuk cedera otak; sehingga harus
diterapi secepatnya dan seefektif mungkin dengan
benzodiazepin, phenytoin, barbiturat atau propofol.23
Tidak ada penelitian yang mendukung diberikannya
profilaksis obat anti kejang pada pasien dewasa pasca
henti jantung.2
KESIMPULAN
Pengelolaan pasien pasca henti jantung di ICU
terutama ditujukan untuk mengatasi sindrom pasca
henti jantung. Upaya-upaya yang dilakukan untuk
mencapai parameter-parameter target oksigenasi,
ventilasi, hemodinamik, dan segera melakukan
terapi hipotermik dan merencanakan tindakan PCI
dini dapat memperbaiki keluaran fungsi neurologik
dan menurunkan angka kematian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Neumar RW, Nolan JP, Adrie C etal. Post-cardiac
arrest syndrome: epidemiology, pathophysiology, treatment, and prognostication. Circulation
2008:118;2452-2483
2. Peberdy MA, Callaway CW, etal. Part 9: post-cardiac arrest care: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Circulation
2010;22:S768-86
3. Kilgannon JH, Roberts BW, Reihl LR etal. Early
arterial hypotensin is common in the post-cardiac
arrest syndrome and associated with increased inhospital mortality. Resuscitation 2008;79:410-416
4. Tezeciak S, Jones AE, Kilgannon JH, etal. Significance of arterial hypotension after resuscitation
from cardiac arrest. Crit Care Med 2009; 37:2895903
5. Bellomo R, Bailey M, Eastwood CM etal. Arterial
hyperoxia and in-hospital mortality after resuscitation from cardiac arrest. Crit Care 2011;15:R90
6. Rech TH, Vieira SR, Nagel F, Brauner JS etal. Serum neuron specific enolase as early predictor of
outcome after in-hospital cardiac arrest. Crit Care
2006:10:R133
7. Prohl J, Rother J, Kluge S, de Heer G, Liepert J.
Etal. Prediction of short-term and long-term outcomes after cardiac arrest: a prospective multivariate approach combining biochemical, clinical,
electrophysiological, and neuropsychological investigations. Crit Care Med 2007;35:1230-1237.
8. Trzeciak S, Jones AE, Kligannon JH etal. Signifi97
cance of arterial hypotension after resuscitation
from cardiac arrest. Crit Care Med 2009;37:28952904
9. Morimoto Y, Kemmotsu O, Kitami K etal. Acute
brain swelling after out-of hospital cardiac arrest: pathogenesis and outcome. Crit Care Med
1993;21:104_10
10. Kuisma M, Boyd J, Voipio V etal. Comparison of 30
and the 100% inspired oxygen concentrations during early post-resuscitation period: a randomized
controlled pilot study. Resuscitation 2006;69:199206
11. Kilgannon JH, Jones AE, Shapiro NI tal. Association between arterial hyperoxia following resuscitation from cardiac arrest and in-hospital mortality.
JAMA 2010;303:2165-6167
12. Curley G, Kavanagh BP, Laffey JG. Hypocapnia
and the injured brain: more harm than benefit. Crit
Care Med 2010;38:1348-59
13. The Acute Respiratory Distress Syndrome Network. Ventilation with Lower Tidal Volumes as
Compared with Traditional Tidal Volume for Acute
Lung Injury and the Acute Respiratory Distress
Syndrome. N Engl J Med 2000;342:1301-1308
14. Rivers E, Nguyen B, Havstad S etal. Early GoalDirected Therapy in the Treatment of Severe Sepsis
and Septic Shock. N Engl J Med 2001; 345:13681377
15. Mullner M, Sterz F, Binder M, etal. Arterial blood
pressure after human cardiac arrest and neurological recovery. Stroke 1996;27:59-62
16. Jones AE, Shapiro NI, Trzeciak S etal. Lactate
clearance vs central venous oxygen saturation as
98
goals of early sepsis therapy: a randomized clinical
trial. JAMA 2010;303:739-46.
17. Larsson IM, Wallin E, Rubeertson S. Cold saline
infusion and ice packs alone are effective in inducing and maintaining therapeutic hypothermia after
cardiac arrest. Resuscitation, 2010;81:15-19
18. Spiel AO, Klegel A, Janata A etal. Hemostasis
in cardiac arrest patients treated with mild hypothermia induced by cold fluids. Resuscitation
2009;80:762-765
19. Bernard SA, Smith K, Cameron P etal. Induction
of prehospital therapeutic hypothermia after resuscitation from nonventricular fibrilation cardiac arrest. Crit Care Med 2012;40:747-753
20. Cueni-Villoz N, Alessandro D, Delodder MSN
etal. Increased blood glucose variability during
therapeutic hypothermia and outcome after cardiac
arrest. Crit Care Med 2011;39:2225-2231
21. Lennmyr F, Molnar M, Samar B, Wiklund L. Cerebral effects of hyperglycemia in experimental cardiac arrest. Crit Care Med 2010;38:1726-1732
22. Tainen M, Parikka, J Makijarvi MA etal. Arrhytmias and heart rate variability during and after
therapeutic hypothermia for cardiac arrest. Crit
Care Med 2009; 37:403-409
23. Zeiner A, Holzer M, Sterz F etal. Hyperthermia
after cardiac arrest is associated with an unfavorable neurologic outcome. Arch Intern Med 2011;
161:2007-2012
24. Che D, Li L, Kopil CM etal. Impact of therapeutic
hypothermia onset and duration on survival, neurologic function, and neurodegeneration after cardiac
arrest. Crit Care Med 2011;39:1423-1430
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Download