BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cardiac arrest menurut (Cummins et al, 1991) adalah "... penghentian secara tiba-tiba aktivitas mekanis jantung, yang ditandai oleh tidak terdeteksinya nadi (pulse), unresponsiveness dan apnea (agonal, pernafasan gasping)." Aktivitas listrik jantung (ventricular fibrillation, ventricular tachycardia atau pulseless electrical activity) yang dapat dilihat pada monitor jantung mungkin satu-satunya tanda aktivitas terpenting. Dengan tidak adanya resusitasi cardiopulmonary (CPR) dan / atau defibrilasi listrik, seperti tidak adanya aktivitas kelistrikan jantung (asistole), maka akan diikuti dengan kematian dalam hitungan menit (Vaillancourt, 2004). Cardiac Arrest merupakan situasi emergency yang dapat terjadi di dalam maupun di luar rumah sakit yang memiliki resiko kematian tinggi (Sharma, 2012). Data terbaru dari American Heart Association yang dilaporkan oleh Heart Disease and Stroke Statistics tahun 2013 menyebutkan bahwa terdapat perbedaan angka kejadian insiden Cardiac Arrest di dalam dan di luar rumah sakit. Insiden Cardiac Arrest di luar rumah sakit atau Out-of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) yaitu sebanyak 382.800 di tahun 2012 dan sebanyak 359.400 di tahun 2013. Insiden Insiden Cardiac Arrest di dalam rumah sakit atau In Hospita Cardia Arrest (IHCA) sebanyak 209.000 di tahun 2012, dan dengan jumlah yang sama di tahun 2013 (Alan, et al 2013). Sedangkan jumlah prevalensi penderita henti jantung di Indonesia tiap tahunnya belum diadapatkan data yang jelas, namun diperkirakan sekitar 10 ribu warga, yang berarti 30 orang per hari 1 2 (Depkes, 2006). Sesuai dengan pemaparan di atas, maka terbukti bahwa kejadian henti jantung di luar rumah sakit lebih banyak dibandingkan di dalam rumah sakit. Tindakan yang menghubungkan korban Cardiac Arrest dengan kelangsungan hidup disebut Chain of Survival. Chain of Survival terdiri dari segera mengenali tanda henti jantung dan mengaktifkan bantuan gawat darurat, segera melakukan basic life support dengan penekanan pada kompresi dada, segera melakukan defibrilasi jika ada indikasi, bantuan hidup lanjut yang efektif, dan perawatan post henti jantung yang integratif (Travers et al, 2010 ). Menurut Hirose, et al (2014) tiga rantai pertama sangat penting untuk kelangsungan hidup korban OCHA. Bystander yang mengaplikasikan rantai pertama akan memberikan kesempatan bagi operator untuk membantu bystander tersebut untuk membantu mengidentifikasi kondisi pasien, mengurangi rasa takut bystander, dan mengarahkan untuk memulai melakukan CPR, sehingga pada saat mengaplikassikan rantai kedua dapat menambah efektifitas dalam kelangsungan hidup korban, yaitu menjadi dua kali lipat (Lerner, et al 2012). Rantai ketiga adalah segera melakukan defibrilasi jika ada indikasi, dimana menurut Capucci, et al (2002) di Rochester, Minnesota, pertolongan henti jantung yang dilengkapi dengan AED mempunyai tingkat kelangsungan hidup 45% untuk untuk korban Ventricular fibrilation (VF) yang merupakan penyebab paling banyak untuk kasus henti jantung. Di Indonesia, henti jantung dialami oleh Raden Pandji Chandra Pratomo Samiadji Massaid yang merupakan anggota DPR-RI periode 2004-2009 dan 2009-2014, Ida Kusumah, dan Ricky Johannes, namun nyawa meereka tidak bisa diselamatkan karena langsung dilarikan ke rumah sakit, tanpa ada 3 pertolongan awal yakni resusitasi jantung paru. Pernyataan di atas telah membuktikan bagaimana pentingnya peran bystander CPR dalam berkontribusi meningkatkan kelangsungan hidup korban Out-of Hospital Cardiac Arrest (OHCA). Bystander CPR menurut Chew 2008 adalah seseorang yang dia bukan dari tim resustasi di rumah sakit yang mengetahui korban henti jantung,meskipun orang itu adalah dokter, perawat atau mahasiswa kesehatan termasuk mahasiswa keperawatan. Mahasiswa keperawatan telah mendapatkan materi bagaimana melakukan penanganan korban henti jantung. Pengetahuan yang telah diberikan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat pengetahuan mahasiswa keperawatan tentang resusitasi jantung paru sehingga dapat menambah jumlah bystander di Indonesia yang mau menolong korban. Namun penelitian yang dilakukan Kuramoto et al. (2008) di Jepang mendapatkan data bahwa hanya 13% masyarakat yang bersedia melakukan RJP kepada keluarga dan teman-temannya, dan hanya 7% yang bersedia melakukan RJP kepada orang asing. Faktor psikososial seperti serangan panik, kehawatiran tidak dapat melakukan RJP dengan benar, takut merugikan korban dan keyakinan bahwa orang tersebut sudah meninggal juga menjadi faktor penentu kemauan bystander untuk melakukan RJP (Coons and Guy, 2009). Kekomplekan kondisi yang telah dipaparkan di atas yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan terhadap kemauan melakukan resusitasi jantung paru pada mahasiawa ilmu keperawatan di Universitas Brawijaya Malang. 4 1.2 Perumusan Masalah Apakah terdapat hubungan tingkat pengetahuan terhadap kemauan melakukan resusitasi jantung paru pada mahasiawa ilmu keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan terhadap kemauan melakukan resusitasi jantung paru pada mahasiawa ilmu keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. 1.3.2. Tujuan Khusus 1.3.2.1. Untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan mahasiswa ilmu keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang tentang Resusitasi Jantung Paru 1.3.2.2. Untuk mengidentifikasi kemauan melakukan Resusitasi Jantung Paru pada mahasiswa ilmu keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang 1.3.2.3. Untuk menganalisa hubungan tingkat pengetahuan terhadap kemauan melakukan Resusitasi Jantung Paru pada mahasiswa ilmu keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang 5 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan oleh peneliti dari penelitian ini adalah : 1.4.1 Bagi peneliti Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti yang lain mengenai hubungan tingkat pengetahuan terhadap kemauan melakukan Resusitasi Jantung Paru pada mahasiswa ilmu keperawatan di Universitas Brawijaya malang 1.4.2 Bagi institusi keperawatan Sebagai bahan informasi mengenai hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap kemauan melakukan resusitasi jantung paru sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam masalah kesehatan. 6 American Heart Association CPR and First Aid. (2013). About cardiopulmonary resuscitation (CPR). American Heart Association. (2010). Higlights of The 2010 American Heart Association Guidelines for CPR and ECC. Circulation. In Press. Bobrow, et al. (2010. Chest Compression–Only CPR by Lay Rescuers and Survival From Out-of-Hospital Cardiac Arrest. JAMA, October 6, 2010— Vol 304, No. 13 Bryan, et al. (2011). Out-of-hospital cardiac arrest surveillance — cardiac arrest registry to enhance survival (CARES), united states. Morbidity and Mortality Weekly Report Surveillance Summaries / Vol. 60 / No. 8. Capucci, et al. (2002). Tripling Survival From Sudden Cardiac Arrest Via EarlyDefibrillation Without Traditional Education in Cardiopulmonary Resuscitation. Circulation. 2002;106:1065-1070 Cave, et al. (2011). Importance and implementation of training in cardiopulmonary resuscitation and automated external defibrillation in schools: a science advisory from the american heart association. Circulation 2011, 123(6):691–706. Coons, S. J. and Guy, M. C. (2009) Performing bystander CPR for sudden cardiac arrest: Behavioral intentions among the general adult population in Arizona. Resuscitation 2009, 334–340. Cummins, et al. (1991). Recommended guidelines for uniform reporting of data from out-of-hospital cardiac arrest: the utstein style. task force of the american heart association, the european resuscitation council, the heart and stroke foundation of canada, and the australian resuscitation council. Ann Emerg Med. 20:861-74. Departemen Kesehatan. (2006). Pharmaceutical care untuk pasien penyakit jantung koroner : Fokus sindrom koroner akut Jones, Ian.(2007). At What Age Can Schoolchildren Provide Effective Chest Compressions ? An Observasional Study from The Heartstart UK School Training Programme. A Science Advisory From The American Heart Association. Circulation 2007;123:9871-706 7 Kuramoto, N. et al. (2008). Public perception of and willingness to perform bystander CPR in Japan. Resuscitation (2008) 79, 475-481. Lesnik, et al. (2011). Impact of Additional Module Training on The Level of Basic Life Support Knowledge of First Year Students at The University of Maribor. International Journal of Emergency Medicine 2011, 4:16 Meissner, et al. (2012). Basic life support skills of high school students before and after cardiopulmonary resuscitation training: A longitudinal investigation. Scand J Trauma Resusc Emerg Med 2012, 20:31. Pennsylvania Department of Health., American Heart Association., Heart Rescue Project Pennsylvania. (2013). Lend a hand, save a life CPR challenge. Pennsylvania. Sandroni, et al. (2007). In-Hospital Cardiac Arrest: Incidence, Prognosis and Possible Measures to Improve Survival. Intensive Care Med (2007) 33:237–245 Sasson, Comilla et al. (2013). Increasing cardiopulmonary resuscitation provision in communities with low bystander cardiopulmonary resuscitation rates. Circulation.127:1-9. Shahab, et al. (2011). School Children Training for Basic Life Support. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan 2011, Vol. 21 (10): 611615 Sharma, et al. (2012). Adult Basic Life Support (BLS) Awareness and Knowledge Among Medical and Dental Interns Completing Internship From Deemed University. Nitte University Journal of Health Sciene Vol. 2, September 2012, ISSN 2249-7110. Travers, et al. (2010). Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart Association Guidelines fof Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S676-S684 Vaillancourt, et al. (2008). A Survey Of Attitudes And Factors Associated With Successful Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) Knowledge Transfer In An Older Population Most Likely To Witness Cardiac Arrest: Design And Methodology. BMC Emergency Medicine 2008, 8:13