ANALISIS POLIMORFISME DNA TANAMAN KUNYIT (Curcuma longa L.) DAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb) LOKAL MENGGUNAKAN MARKA RAPD ANNISA UTAMI DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ABSTRAK ANNISA UTAMI. Analisis Polimorfisme DNA Tanaman Kunyit (Curcuma longa L.) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Lokal Menggunakan Marka RAPD. Dibimbing oleh LAKSMI AMBARSARI dan POPI ASRI KURNIATIN. Tanaman kunyit (Curcuma longa L.) dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) lokal Indonesia yang tersebar dan mudah ditemukan di wilayah Indonesia banyak digunakan sebagai obat tradisional. Kandungan kurkumin pada kedua tanaman tersebut memiliki banyak khasiat kesehatan, yaitu sebagai obat antiproliferatif dan antiinflamasi. Adanya polimorfisme DNA pada kedua tanaman tersebut di beberapa lokasi Pulau Jawa belum diidentifikasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis genetik untuk menentukan keragaman kedua tanaman tersebut. Salah satu teknik yang biasa digunakan untuk analisis keragaman genetik adalah PCR RAPD. Tujuan penelitian ini mengisolasi DNA tanaman kunyit dan temulawak dan menentukan pola genetik tanaman tersebut dengan PCR RAPD. PCR dilakukan dengan menggunakan 20 primer acak OPA, OPB, OPC, dan OPD (1-5). Ekstraksi DNA menggunakan metode modifikasi Zheng et al. 1995 pada 13 sampel daun temulawak dan kunyit. Hasil menunjukkan bahwa primer yang dapat mengamplifikasi DNA sampel, yaitu: primer OPA-1, OPA-3, OPA-4, OPC-1, OPC-2, OPC-4, dan OPD-4. Selain itu, hanya tiga sampel yang dapat teramplifikasi, yaitu: temulawak Wonogiri, temulawak Karang Anyar, dan kunyit Wonogiri. Sampel yang teramplifikasi memiliki pola genetik yang berbeda yang dihasilkan oleh setiap primer acak sehingga kedua puluh primer acak dapat digunakan sebagai marka untuk analisis fingerprint. Kata kunci: kunyit, temulawak, RAPD, kunyit Wonogiri, fingerprint ABSTRACT ANNISA UTAMI. DNA Polymorphism Analysis of Turmeric (Curcuma longa L.) and Ginger (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Local Plant Using RAPD’s Marker. Under the direction of LAKSMI AMBARSARI and POPI ASRI KURNIATIN. Turmeric (Curcuma longa L) and ginger (Curcuma xanthorrhiza Roxb) local plants widely spread and easily find throughout Indonesian region. It’s widely used as traditional medicine. Both of plants have Curcumin which has many health benefits, such as antiproliferative and antiinflamation activity. DNA polymorphism on both plants of Java Island has yet to be performed. Hence, the genetic analysis to determine the diversity of both plants are necessary. RAPD PCR technic can fulfill such purpose. The aim of this research are isolate genomic DNA of turmeric and ginger and determine the genetic patterns of these plants using RAPD PCR. PCR accomplished using 20 random primers OPA, OPB, OPC, and OPD (1-5). DNA extraction was accomplished using modified Zheng et al. (1995) method on 13 leaves of turmeric and ginger. The results showed that the primers are OPA-1, OPA-3, OPA-4, OPC-1, OPC-2, OPC-4, and OPD-4. In addition, there is are three amplifiable samples. They are Wonogiri ginger, Karang anyar ginger, and Wonogiri turmeric. Furthermore, the amplifiable samples has different genetic patterns on each random primer so 20 random primers that can be used as marker for fingerprint analysis. Key word: turmeric, ginger, RAPD, Wonogiri turmeric, fingerprint ANALISIS POLIMORFISME DNA TANAMAN KUNYIT (Curcuma longa L.) DAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb) LOKAL MENGGUNAKAN MARKA RAPD ANNISA UTAMI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Judul Skripsi : Analisis Polimorfisme DNA Tanaman Kunyit (Curcuma longa L.) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Lokal Menggunakan Marka RAPD Nama : Annisa Utami NIM : G84080002 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Laksmi Ambarsari, MS Ketua Popi Asri Kurniatin, S.Si. Apt, M.Si Anggota Diketahui Dr.Ir. I Made Artika, M.App.Sc. Ketua Departemen Biokimia Tanggal Lulus: PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan barokah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian yang dilakukan berjudul “Analisis Polimorfisme DNA Tanaman Kunyit (Curcuma longa L.) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Lokal Menggunakan Marka RAPD”. Penulis melakukan penelitian tersebut pada bulan Februari hingga September 2012 di Laboratorium Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Laboratorium Genetika Molekuler Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pembuatan karya ilmiah ini tidak lepas dari kontribusi berbagai pihak. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Laksmi Ambarsari, MS dan Popi Asri Kurniatin, S.Si, Apt, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran, kritik, dan bimbingannya selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang selalu mendukung, memberi semangat, dan mendo’akan penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah. Selain itu, penulis sampaikan terima kasih kepada Khoerotun Nisa’, Meylisa, Rara June Azni, Riani Meryalita, Deffy Prahaditya, Rabiatul Adawiyah, Nur Aeny P, Rian Triana, An Nisa Rosiyana, Kak Dora, Aulia Eka Anindita, Nadia Adi Pratiwi, Lusianawati, Yuanita Kusuma, serta teman-teman lainnya yang telah membantu dalam melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Penulis menyadari bahwa dalam melaksanakan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berterima kasih atas kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan karya selanjutnya. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan. Bogor, September 2012 Annisa Utami RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Februari 1990, putri pertama dari Bapak Sutomo dan Ibu Anna Roselliana. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Batan Indah tamat tahun 2002. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama 2 Cisauk tamat tahun 2005. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cisauk dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih mayor Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama perkuliahan, penulis menjadi pengajar Fisika Dasar untuk TPB selama periode UTS 2009/2010 di salah satu bimbingan pelajar. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia Dasar selama matrikulasi 2010/2011 dan reguler periode 2010/2011. Penulis juga mejadi asisten praktikum Biokimia Umum dan Pengantar Penelitian Biokimia periode 2011/2012. Penulis juga ikut dalam beberapa kepanitian. Penulis menjadi sekertaris dalam divisi CIC di CREBs periode 2010/2011. Penulis melakukan praktik lapangan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan judul “Aktivitas dan Karakter Kitinase Isolat Jamur Paecilomyces sp dari Pupa Arctornis riguata”. Penulis pernah menulis abstrak karya ilmiah yang berjudul “The Prospect of Taxus sumatrana as Anticancer Drug with Nanoencapsulation Technology” bersama Khoerotun Nisa’ dan Titi Rohmayanti yang diterima di konferensi Universitas Kyoto tahun 2011. Penulis juga pernah menjadi pemakalah dalam seminar Himpunan Kimia Indonesia (HKI) 2012 bersama Nur Aeny P dan Riani Meryalita yang dibimbing oleh Ibu Laksmi Ambarsari, Ibu Popi Asri Kurniatin, dan Bapak Waras Nurcholis. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... . ix DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN .................................................................................. ix ......................................................................................... 1 TINJAUAN PUSTAKA Kunyit ................................................................................................... Temulawak ............................................................................................. PCR ....................................................................................................... PCR-RAPD ............................................................................................ Marka Molekular ..................................................................................... 1 2 3 4 5 BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat . ................................................................................... .. Metode Penelitian ................................................................................ .. 6 6 HASIL DAN PEMBAHASAN DNA Genom Tanaman Kunyit dan Temulawak ................................... .. 7 Analisis Kuantitatif DNA Genom ......................................................... .. 8 Fragmen DNA Hasil PCR RAPD .......................................................... .. 11 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. .. 14 DAFTAR PUSTAKA ............... ...................................................................... .. 15 LAMPIRAN .................................................................................................. .. 18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman kunyit ......................................................................................... 2 2 Tanaman temulawak .................................................................................. 3 3 Reaksi PCR RAPD .................................................................................... 4 4 Reaksi penemuan perbedaan genom DNA (PCR-RAPD) ......................... 4 5 Elektroforegram DNA genom temulawak dan kunyit ............................... 9 6 Elektroforegram OPC-1 ............................................................................. 12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Strategi penelitian .................................................................................... 19 2 Analisis kuantitatif DNA kunyit dan temulawak ...................................... 20 3 Elektroforegram amplikon dengan primer RAPD ...................................... 21 4 Pola pita DNA hasil amplifikasi PCR RAPD ............................................ 26 1 PENDAHULUAN Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Di antara tanaman tersebut terdapat tanaman kunyit (Curcuma longa L.) dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Kedua tanaman tersebut memiliki banyak manfaat terutama dalam bidang kesehatan. Selain itu, kedua tanaman tersebut sangat digemari masyarakat Indonesia sebagai obat tradisional karena mudah ditemukan hampir di seluruh bagian Indonesia terutama di daerah dataran sedang dan tinggi (Warintek 2004). Tanaman kunyit (Curcuma longa L.) dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) memiliki banyak manfaat. Kunyit bermanfaat sebagai pemberi warna kuning alami. Hal tersebut disebabkan adanya kandungan senyawa kurkumin di dalam kunyit. Selain itu, kunyit sangat berguna sebagai pengawet pada makanan. Kunyit banyak digunakan sebagai obat tradisional, seperti menyembuhkan penyakit disentri, sakit kuning, infeksi kulit dan mata, luka, arthitis, dan bisul (Singh 2007). Kunyit mengandung senyawa kurkumin dan turunan kurkumin (demetoksi kurkumin dan bis-demetoksi kurkumin). Senyawa kurkumin pada rimpang kunyit terdapat sebanyak 3-4%. Kurkumin tersebut memiliki banyak manfaat, yaitu: sebagai antioksidan, antiinflamasi, antikarsinogenik, antibakteri, dan antitumor (Chattopadhyay et al. 2004). Kandungan kurkumin pada kunyit dapat menghambat pertumbuhan sel kanker paru in vivo (Meiyanto 1999). Kandungan kurkumin pada kunyit saat ini telah digunakan sebagai agen terapi kanker di Indonesia. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) juga memiliki banyak khasiat, yaitu: menyembuhkan penyakit hepatitis, penyakit hati, dan diabetes. Temulawak dikenal sebagai hepatoprotektor di seluruh Indonesia. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) sangat efektif dalam menurunkan kadar SGPT, SGOT, dan γ-glutamat transferase (Seong et al. 2004). Temulawak mengandung senyawa kurkumin, turunan kurkumin, dan xanthorizol. Xanthorizol berkhasiat sebagai agen antiproliferatif (Cheah et al 2006), antibakteri (Husein et al 2009), antiinflamasi, dan antioksidan (Lim et al 2005). Senyawa kimia pada kunyit dan temulawak telah diketahui bermanfaat untuk antiproliferatif dan antiinflamasi. Aktivitas antiinflamasi dalam tubuh akan mengurangi rasa nyeri, panas, dan lainnya yang disebabkan oleh inflamasi. Aktivitas antiproliferatif dalam tubuh membantu menghambat dan menurunkan pertumbuhan sel kanker sehingga mencegah pertumbuhan sel kanker pada tubuh. Oleh karena itu, kedua aktivitas tersebut yang ditemukan dalam temulawak dan kunyit merupakan hal penting. Tanaman kunyit dan temulawak banyak tersebar luas di Pulau Jawa, seperti Sragen dan Wonogiri. Perbedaan wilayah menyebabkan adanya polimorfisme DNA atau keragaman genetik pada tanaman tersebut (Hutter et al. 2006). Adanya polimorfisme DNA pada kedua tanaman tersebut di beberapa lokasi di Pulau Jawa belum diidentifikasi. Polimorfisme DNA dapat diketahui dengan menggunakan teknik analisis DNA, yaitu PCR-RAPD (Polymerase Chain ReactionRandom Amplified Polymorphic DNA). Oleh karena itu, penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui pola genetik dari tanaman kunyit dan temulawak. Penelitian bertujuan mengisolasi DNA tanaman kunyit dan temulawak dan menentukan pola genetik tanaman tersebut dengan PCR RAPD menggunakan empat jenis primer (OPA, OPB, OPC, dan OPD) dengan range 1-5. Hipotesis penelitian, yaitu masingmasing sampel menghasilkan DNA genom dan pola genetik. Pola genetik tersebut dapat dimanfaatkan untuk menganalisis kekerabatan genetik dengan membuat pohon filogenetik. Pola genetik tersebut dapat dijadikan sebagai DNA fingerprint dengan menggunakan empat jenis primer tersebut sebagai marka. Selain itu, pola genetik tersebut digunakan untuk identifikasi pertanian. TINJAUAN PUSTAKA Kunyit (Curcuma longa L.) Kunyit merupakan tanaman obat yang dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Tanaman kunyit tumbuh sangat baik jika mendapat sinar matahari langsung. Tanaman kunyit ditanam sebagai komponen tanaman rotasi dengan beras, tebu, dan kapas. Tanaman kunyit juga dapat tumbuh di lereng bukit. Tanaman Kunyit dibudidayakan di India, Cina Selatan, Myanmar, Indonesia (Jawa), Thailand, dan Filipina (Ravindran et al. 2007). Tanaman kunyit merupakan divisi Spermatofita, subdivisi Angiospermae, memiliki kelas Monokotiledon, memiliki bangsa Zingiberales, famili Zingiberaceae, memiliki genus Curcuma, dan spesies Curcuma longa Linn. Nama ilmiah lain dari 2 tanaman kunyit, yaitu Curcuma domestiva Val. (Ravindran et al. 2007). Tanaman kunyit tumbuh bercabang hingga 1m. Batang tanaman kunyit merupakan batang semu, tegak, bulat, berwarna hijau, dan membentuk rimpang serta tersusun dari pelepah daun. Daun tanaman kunyit memiliki ujung dan pangkal daun runcing dan pertulangan daun menyirip dengan warna hijau pucat serta panjang daun hingga 50 cm. Kulit luar rimpang berwarna jingga kekuningan dan daging buah berwarna orange kemerahan (Gambar 1) (Ravindran et al. 2007). Kunyit memiliki rasa agak pahit, sedikit pedas, berbau khas aromatik, bersifat sejuk, dan tidak beracun (Hariana 2008). Kunyit mengandung senyawa kimia yang berkhasiat bagi kesehatan. Kandungan kimia dari kunyit, yaitu: minyak atsiri (zingiberen, turmeron, curzerene, dan sesquiterpenol), kurkuminoid, pati, tanin, dan resin (Wijayakusuma 2008). Kurkuminoid pada kunyit, yaitu: kurkumin, metilkurkumin, sodiumcurcuminate, demetoksikurkumin, dan bis- demetoksikurkumin (Chattopadhyay et al. 2004). Kurkumin di dalam rimpang kunyit memiliki efek sebagai antiinflamasi, antibakteri, antioksidan, dan hepatoprotektor. Oleh karena itu, kunyit dapat digunakan dalam membantu meredakan rasa sakit pada kanker, menurunkan kolesterol tinggi, hipertensi, hepatitis, rematik sendi, antibakteri, analgesik, dan melancarkan sirkulasi darah (Wijayaksusuma 2008). Selain itu, kunyit dapat menghambat angiogenesis, melindungi pembentukan katarak, dan menekan gejala rematik sendi (Ravindran et al. 2007). 1 2 3 Gambar 1 Tanaman kunyit. (1) daun (2) batang tanaman (3) rimpang (tanamanherbal.wordpress.com) Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Curcuma xanthorrhiza berasal dari bahasa Arab, kurkum yang berarti kuning dan xanthorrhiza berasal dari bahasa Yunani yang berarti umbi akar. Pertumbuhan temulawak tersebar di beberapa negara, seperti India, Arab, dan Cina Selatan. Tinggi tanaman temulawak dapat mencapai 2 m. Warna bunga temulawak berwarna merah keunguan. Daun temulawak berwarna hijau dengan panjang hingga 84 cm. Batang tanaman berasal dari pelepah daun yang saling menutup (Sidik et al.1993). Batang tersebut berwarna hijau hingga coklat gelap dan tumbuh tegak lurus. Akar temulawak merupakan akar rimpang. Rimpang temulawak berwarna jingga kecoklatan. Rimpang temulawak berukuran paling besar di antara semua rimpang genus Curcuma (Afifah & Lentera 2003) (Gambar 2). Temulawak memiliki beberapa kandungan kimia. Kandungan kimia temulawak, yaitu: protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, kurkumin, dan mineral (K, Na, Ca, Mg, Fe, Mn, dan Cd). Mineral yang banyak terkandung di dalam temulawak, yaitu Ca sebesar 19.07 ppm (Sidik et al. 1993). Temulawak memiliki tiga bagian utama, yaitu: pati, kurkuminoid, dan minyak atsiri. Akar rimpang temulawak mengandung minyak atsiri yang tidak kurang dari 6%. Minyak atsiri temulawak mengandung beberapa zat, yaitu: xanthorhizol, zingiberen, seskuiterpen, turunan bisabolen, α-curcumene, 1-sikloisoprenmyrcene, ketonseskuiterpen, epolisid-bisakuron A, bisakuron B, bisakuron C, tumeron, α-turmeron, monoterpen, dan sineol (Afifah & Lentera 2003). Kandungan kurkuminoid pada temulawak, yaitu: 5’metoksikurkumin, dihidrokurkumin, kurkumin, demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin, monometoksikurkumin, oktahidrokurkumin, dan heksahidrokurkumin (Setiawan 2007). Kurkuminoid memiliki aroma khas, tidak toksik, tidak larut dalam dietileter dan air serta berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit. Kurkuminoid akan berwarna kuning jika dalam suasana asam dan akan berwarna merah jika dalam suasana basa (Afifah & Lentera 2003). Xanthorizol merupakan salah satu minyak atsiri yang hanya ditemukan di dalam temulawak. Xanthorizol berkhasiat sebagai agen antiproliferatif (Cheah et al. 2006), antibakteri (Husein et al. 2009), antiinflamasi, dan antioksidan (Lim et al. 2005). Tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) juga memiliki banyak khasiat, yaitu: 3 menyembuhkan penyakit hepatitis, penyakit hati, dan diabetes. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) sangat efektif dalam menurunkan kadar SGPT, SGOT, dan γglutamat transferase (Seong et al. 2004). 1 2 3 Gambar 2 Tanaman temulawak. (1) daun (2) batang tanaman (3) rimpang (sejutaherba.blogspot.com; myplanta.com) Polymerase Chain Reaction Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan sintesis penentuan wilayah DNA menggunakan fragmen DNA (primer) untuk diamplifikasi. Reaksi amplifikasi PCR bersifat spesifik. Hal tersebut ditentukan dengan penempelan sekuen spesifik primer pada sekuen DNA target yang komplementer (Verkuil et al. 2008). Prinsip PCR, yaitu sejumlah kecil DNA target dapat diamplifikasi menjadi jumlah yang banyak. PCR banyak digunakan dalam berbagai aplikasi laboratorium, yaitu: amplifikasi target, amplifikasi probe, dan amplifikasi sinyal (Verkuil et al. 2008). PCR terdapat beberapa macam, yaitu PCR-RFLP (Restriction Fragmen Length Polymorphism), PCR-RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), Real Time-PCR, Reverse Transcriptase PCR, AFLP (Amplified Fragmen Length Polymorphism), dan ISSR (Intersequence Spesific) PCR (Semagn et al. 2006). Amplifikasi PCR memiliki beberapa tahapan reaksi. DNA didenaturasi untuk memisahkan double helix DNA menjadi single strand. Hal tersebut dilakukan dengan pemanasan sampel DNA di dalam larutan dengan suhu 94oC selama 30 detik hingga 5 menit. Penempelan primer spesifik pada setiap strand (annealing) dilakukan pada suhu rendah, yaitu 40oC dan 65oC (bergantung dari primer yang digunakan). Suhu kemudian ditingkatkan hingga sekitar 72oC. Suhu tersebut merupakan suhu optimal dari DNA polimerase. Kemudian, siklus tersebut diulang hingga beberapa kali. Satu siklus replikasi menghasilkan molekul DNA double strand baru (amplikon) yang komplementer dengan sekuen primer yang digunakan (Verkuil et al. 2008). Reaksi PCR membutuhkan beberapa hal dalam reaksi. Hal-hal yang dibutuhkan dalam reaksi PCR, yaitu: thermocycler, sampel dsDNA (sekuen target), DNA polimerase, dua primer, dNTPs, dan larutan bufer (MgCl 2 ) (Semagn et al. 2006). PCR memerlukan sepasang primer untuk proses amplifikasi. Primer merupakan sekuen DNA yang digunakan untuk amplifikasi sekuen DNA target. Komposisi basa dan panjang primer merupakan karakteristik yang penting dalam amplifikasi untuk menghasilkan produk PCR yang spesifik. Primer dapat didisain baik secara manual maupun menggunakan software. Beberapa program komputer dapat membantu dalam mendisain primer PCR yang spesifik, yaitu: MEDUSA, Primer3, dan PrimerQuest. Primer dirancang antara 18 hingga 30 nukleotida. Panjang primer PCR sangat mempengaruhi suhu annealing primer (Verkuil et al. 2008). PCR bermanfaat dalam bidang penelitian molekuler. PCR dapat digunakan dalam mengidentifikasi suatu spesies. PCR dapat digunakan dalam menentukan kekerabatan genetik dari spesies Curcuma (Hayakawa et al. 2011). PCR juga bermanfaat dalam menentukan kestabilan genetik dari micropropagated Curcuma amada Roxb. dengan tanaman tetua (Mohanti et al. 2012). Selain itu, PCR juga dapat digunakan untuk diagnosis patogen, menentukan marker genetik, mencari templat DNA, mendeteksi mutasi titik, kloning cDNA, kloning DNA genom, dan mutagenesis In vitro (Viljoen et al. 2005). PCR meskipun memiliki banyak keuntungan dalam penelitian, namun PCR juga memiliki kekurangan. Beberapa kekurangan PCR, yaitu: PCR merupakan teknik yang sensitif, adanya kontaminasi silang antar sampel, konsentrasi ion Mg2+ sangat menentukan, ikatan yang tidak spesifik antara sekuen target dengan primer, dan pembentukan dimmer pada primer. Selain itu, hasil PCR juga tidak dapat memuaskan karena beberapa hal, yaitu: terlalu banyak dNTP atau dNTP terdegradasi, tidak menghomogenkan larutan MgCl 2 , konsentrasi MgCl 2 salah, ada beberapa inhibitor di dalam reaksi, terlalu banyak enzim, salah menambahkan 4 konsentrasi primer, memilih program yang salah pada PCR, terlalu banyak atau sedikit template yang digunakan, dan disain primer yang kurang baik (Srhidrar 2006). Random Amplification of Polymorphic DNA Random Amplification of Polymorphic DNA (RAPD) merupakan salah satu jenis dari reaksi PCR yang menggunakan fragmen DNA acak sebagai primer. Acak yang dimaksud adalah menggunakan segmen DNA yang tidak diketahui. Marker-marker RAPD adalah pita DNA hasil amplifikasi PCR dari DNA genom dengan primer tunggal yang memiliki sekuen nukleotida tidak tentu. Prinsip PCR RAPD, yaitu RAPD tidak membutuhkan informasi spesifik mengenai sekuen DNA target. PCRRAPD membutuhkan 10 nukleotida sebagai primer yang dapat mengamplifikasi sekuen DNA target bergantung dari posisi komplementer pada sekuen primer. Pemilihan sekuen yang tepat untuk primer sangat penting. Sekuen yang berbeda akan menghasilkan susunan pita yang berbeda dan memungkinkan terjadinya pengenalan spesifik pada strain individu. Jika terdapat delesi pada suatu lokasi template, maka akan terjadi polimorfisme. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil elektroforesis dari pita yang terputusputus sehingga bersifat dominan (NCBI 2011). Reaksi PCR RAPD ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar tersebut menunjukkan terdapat beberapa panah pada reaksi pertama. Panah-panah tersebut merupakan banyaknya salinan dari primer (semua primer memiliki sekuen yang sama). Arah panah menunjukkan arah sintesis DNA akan terjadi. Nomor pada setiap panah menunjukkan lokasi templat DNA yang berikatan dengan primer. Primer berikatan pada sisi 1, 2, dan 3 pada ujung bawah templat DNA dan primer berikatan pada sisi 4, 5, dan 6 pada ujung atas templat DNA. Reaksi tersebut menghasilkan dua produk, yaitu produk A dan produk B. Produk A dihasilkan oleh amplifikasi PCR pada sekuen DNA yang terletak di antara ikatan primer pada posisi 2 dan 5. Produk B dihasikan oleh amplifikasi PCR pada sekuen DNA yang terletak di antara ikatan primer 3 dan 6. Selain itu, tidak terdapat hasil PCR RAPD pada ikatan 1 dan 4 karena primer terlalu jauh untuk menyelesaikan reaksi PCR. Hasil PCR RAPD juga tidak dihasilkan pada ikatan 4 dan 2 atau 5 dan 3 karena pasangan primer tidak saling berhadapan (tatap muka). Gambar 4 menunjukkan bahwa hanya produk B yang dihasilkan dari PCR RAPD. Jika templat DNA lain dihasilkan dari sumber yang berbeda, maka mungkin terdapat beberapa perbedaan dalam sekuen DNA dari dua template. Hal tersebut disebabkan primer tidak dapat secara lama mengikat dua sisi (Rutgers 2008). Metode PCR-RAPD terdapat beberapa tahap. Tahapan metode PCR RAPD secara umum, yaitu: isolasi DNA, reaksi PCR dengan primer, pemisahan fragmen DNA dengan elektroforesis gel, dan visualisasi fragmen DNA menggunakan etidium bromida. Fragmen DNA target yang digunakan dapat berupa sejumlah kecil DNA dan DNA harus bersih. DNA yang murni bertujuan mencegah penghambatan kerja enzim polimerase oleh polisakarida dan polifenol. Jika jumlah molekul DNA tidak mencukupi, maka hasil PCR akan susah dipastikan. Reaksi PCR membutuhkan primer dengan panjang 10 nukleotida, penambahan MgCl 2 , dan siklus penempelan dengan DNA template (fragmen DNA) pada suhu rendah (40oC). Elektroforesis gel dapat dilakukan pada gel agarosa dan gel akrilamid (William et al. 1990). Templat DNA Reaksi PCR Produk A Produk B Gambar 3 Reaksi PCR RAPD (avery.rutges.edu) Templat DNA Reaksi PCR Produk B Gambar 4 Reaksi penemuan perbedaan genom DNA dengan analisis PCR RAPD (avery.rutges.edu) 5 PCR RAPD memiliki beberapa keuntungan. RAPD menghasilkan fragmen DNA (amplikon) dengan jumlah yang tinggi. RAPD merupakan metode yang sederhana dan mudah. Primer acak mudah diperoleh dan tidak memerlukan informasi DNA gen atau genom awal. PCR RAPD hanya membutuhkan DNA target dengan jumlah yang sedikit. Biaya metode PCR RAPD murah (William et al. 1990). Proses PCR RAPD cepat (Hoy 2003). PCR RAPD memiliki beberapa kekurangan. Semua marker RAPD dominan sehingga tidak mungkin untuk membedakan dari segmen DNA yang diampilifikasi dari lokus yang heterozigous (satu kali salin) atau homozigous (2 kali salinan). Teknik RAPD memiliki ketergantungan terhadap kondisi alat dan perlu dengan hati-hati mengembangkan protokol alat tersebut untuk menghasilkan produk yang banyak. Ikatan pasangan yang tidak tepat antara primer dan templat DNA tidak akan menghasilkan produk PCR (amplikon) atau terjadi penurunan jumlah amplikon. Jadi, hasil RAPD dapat menjadi sulit untuk diinterpretasikan (NCBI 2011). Selain itu, kekurangan dari RAPD, yaitu dominan, kurangnya pengetahuan utama pada identitas hasil amplifikasi, permasalahan dengan reprodusibilitas (perulangan rendah), dan masalah migrasi (William et al. 1990). RAPD dapat digunakan dalam berbagai aplikasi. Aplikasi tersebut, yaitu: perbedaan genetika (keragaman genetik), karakterisasi germplasma, struktur genetika populasi, identifikasi pertanian, pemurnian hibridisasi, dan pemetaan genom (William et al. 1990). PCR RAPD digunakan untuk menganalisis jumlah variasi genetik dalam parasitoid Trioxys pallidus dan Diglyphus begini (Hoy 2003). Penentuan jenis primer dan kondisi PCR yang sesuai untuk menghasilkan produk amplifikasi yang maksimum perlu dilakukan penelitian tersendiri. Pemilihan primer dalam PCR RAPD sangat penting untuk dapat menampilkan polimorfisme pita-pita DNA di antara sampel (Prana & Hartati 2003). PCR RAPD menggunakan primer yang acak pada sekuen nukleotidanya. PCR RAPD menggunakan primer yang pendek dan hanya terdiri dari 10 nukleotida (William et al. 1990). Primer-primer yang digunakan dalam PCR RAPD banyak ditemukan dalam bentuk kit, misalnya OPA, OPB, OPC, dan OPD. Kata OP merupakan kependekan dari kata operon sementara huruf alfabet setelah OP menunjukkan jenis kit primer tersebut (Hakim 2003). Penelitian telah dilakukan dalam menganalisis DNA talas menggunakan OPB01, OPB-02, OPB-04, OPB-05, OPB-06, OPB-07, OPB-10, OPB-15, dan OPB-16. Hasil menunjukkan bahwa tidak semua primer OPB terdapat pita DNA pada gel agarosa dengan konsentrasi primer yang ditambahkan sebanyak 3.2 µM (Prana & Hartati 2003). Selain itu, penelitian terhadap germplasma Curcuma longa L. juga dilakukan dengan menggunakan marker RAPD OPB. Penelitian tersebut dihasilkan pita DNA dari OPB-07 (Jan et al. 2011). Kualitas pita DNA penting untuk memudahkan interpretasi dan keakuratan data. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pita DNA hasil amplifikasi PCR RAPD, yaitu: konsentrasi MgCl 2 , konsentrasi DNA, konsentrasi enzim polimerase, primer, dan suhu siklus PCR (suhu annealing) (Prana & Hartati 2003). Adanya polimorfisme dari fragmen yang diamplifikasi dapat disebabkan substitusi atau delesi basa pada sisi primer, adanya insersi sehingga sisi primer terlalu panjang untuk proses amplifikasi, dan adanya insersi atau delesi yang merubah ukuran fragmen DNA sampel (William et al. 1990). Selain itu, adanya polimorfisme dapat disebabkan adanya variasi DNA yang terdapat di dalam satu spesies. Polimorfisme DNA tersebut disebabkan oleh demografik, yaitu migrasi pada suatu wilayah (Hutter et al. 2006). Polimorfisme DNA juga dapat disebabkan oleh ketidakcocokan pada sisi primer, penempelan primer dengan sekuen DNA unik, dan perbedaan panjang wilayah amplifikasi di antara sisi-sisi primer (NCBI 2011). Polimorfisme DNA dapat dibuat dalam suatu bentuk pohon filogenetik sehingga dapat mencari pola genetik dan kekerabatan genetik dari suatu spesies. Polimorfisme DNA dapat dijadikan genomic marker sehingga bermanfaat dalam filogenetik, fingerprinting, deteksi variasi genetik, dan taksonomi (Benali et al. 2011). Marka Molekular Marka molekular (molecular marker) atau marka genetik (genetic marker) merupakan sekuen DNA yang terletak pada spesifik kromosom. Marka molekular tersebut berasal dari jaringan tanaman (biji, polen, dan jaringan kayu), hewan, dan manusia. Marka molekular memicu untuk mengkarakteristik keanekaragaman genetik pada beberapa organisme. Setiap marka molekuler memiliki karakteristik sehingga dapat digunakan dalam teknik analisis DNA (USDA 2006). 6 Penggunaan marka molekul dalam teknik analisis DNA menggunakan teknik PCR. Metode yang digunakan untuk mengkarakteristik keanekaragaman genetik pada organisme, yaitu: AFLP, RAPD, Simple Sequence Repeats (SSRs), RFLP, dan Allozymes. Masing-masing teknik tersebut memiliki marka molekuler tertentu yang dapat mengamplifikasi sekuen DNA target. Marka molekular tersebut bertujuan mengukur variasi genetik (pola genetik). Pola genetik akibat adanya polimorfisme DNA bermanfaat dalam filogenetik, taksonomi, dan fingerprinting (USDA 2006). BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian menggunakan beberapa bahan. Bahan ekstraksi DNA, yaitu daun kunyit (Curcuma longa L.) dan daun temulawak (Curcuma xanthorrhizaxanthorrhiza Roxb) dari beberapa daerah di Indonesia, 0.3 M NaCl, 25 mM Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), 50 mM Tris-HCl (pH 8), kloroform, etanol 70%, etanol absolut 96%, SDS 1% (Sodium Dodecyl Sulphate), proteinase K, molecular water, dan RNase A. Bahan visualisasi DNA, yaitu: 0.5 x bufer TBE (Tris Borat-EDTA), gel agarosa 1.7 %, dan etidium bromida (0.5 µg mL-1). Bahan PCR-RAPD, yaitu produk Fermentas termasuk dNTPs, bufer dan MgCl 2 , Taq polimerase, OPA, OPB, OPC, dan OPD (1-5). Penelitian juga menggunakan beberapa alat. Alat-alat yang digunakan dalam ekstraksi DNA, yaitu: mortar, pestle, pipet mikro, alatalat gelas, water bath, mikrosentrifus AB, dan tabung Eppendorf 1.5 mL. Visualisasi DNA juga menggunakan alat-alat, yaitu: alat stirer Thermolyne, microwave Sharp, seperangkat alat elektroforesis Advance Co. Ltd., dan Gel Doc Alpha Innotech. Penentuan konsentrasi DNA menggunakan spektrofotometer Gene Quont 1300. PCR-RAPD menggunakan beberapa pipet mikro dan PCR thermocycle ESCO. Selain itu, freezer Sharp digunakan sebagai tempat untuk penyimpanan DNA genom dan DNA hasil PCR. Metode Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga September 2012 di Laboratorium Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Laboratorium Genetika Molekuler ternak Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ekstraksi DNA (Zheng et al. 1995) Bufer ekstraksi terdiri atas 25 mM EDTA (pH 7.5), 50 mM TrisHCl ((pH 8.0), 300 mM NaCl, SDS 1%, dan H 2 O. Sampel daun dipotong (200 mg) dan dimasukkan ke dalam mortar dingin. Daun tersebut digerus hingga halus dan ditambahkan bufer ekstraksi sebanyak 400 µL. Hasil tersebut dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf 1.5 mL yang telah didinginkan dan ditambahkan kembali 100 µL bufer ekstraksi. Campuran tersebut dilakukan inkubasi pada suhu 65oC selama 1 jam dan kemudian ditambahkan 0.25 µL proteinase K serta dilanjutkan inkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Campuran tersebut diinkubasi kembali pada suhu 65oC selama 20 menit. Kloroform ditambahkan ke dalam tabung tersebut sebanyak 400 µL. Tabung dibolak-balik sehingga tercampur sempurna. Campuran tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 13000 rpm selama 1 menit pada suhu 4oC. Lapisan atas yang terbentuk dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf steril yang telah didinginkan dan ditambahkan 800 µL etanol absolut. Larutan tersebut diinkubasi pada suhu -20oC selama 1 jam. Larutan tersebut disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 13000 rpm pada suhu 4oC. Supernatan yang dihasilkan dibuang dan pelet ditambahkan 500 µL Etanol 70%. Campuran tersebut disentrifugasi kembali dengan kecepatan 13000 rpm selama 3 menit pada suhu 4oC. Supernatan yang dihasilkan dibuang dan dilakukan penambahan kembali 500 µL etanol 70%. Supernatan dibuang dan pelet dikeringkan. Pelet diresuspensi dengan 50 µL molecular water. Suspensi tersebut ditambahkan 0.05 µL RNase A dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Suspensi tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pelet ditambah 25 µL molecular water. Suspensi tersebut disimpan pada suhu 20oC. Visualisasi dan Penentuan Konsentrasi DNA Visualisasi DNA dilakukan dengan cara elektroforesis gel agarosa 1.7% dalam bufer 0.5x TBE (Tris borat-EDTA) dengan etidium bromida (0.5 µg mL-1). Elektroforesis DNA dilakukan pada 100 V selama 45 menit dan DNA diamati dengan menggunakan UV transilluminator (Zheng et al. 1995 dengan modifikasi). 7 Konsentrasi DNA ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer DNA. Masing-masing sampel DNA sebanyak 3.5 µL ditambahkan dengan 346.5 µL molecular water ke dalam tabung Eppendorf 1.5 mL. Tabung Eppendorf 1.5 mL tersebut dihomogenkan dan diukur konsentrasi DNA tersebut dengan spektrofotometer DNA pada panjang gelombang 260 nm. PCR RAPD (Random Amplified Polymerase DNA) PCR RAPD dilakukan dengan menggunakan random primer dari Operon Technologies, ALT Biotech, Singapura. Primer yang digunakan, yaitu: OPA-1, OPA2, OPA-3, OPA-4, OPA-5, OPB-1, OPB-2, OPB-3, OPB-4, OPB-5, OPC-1, OPC-2, OPC3, OPC-4, OPC-5, OPD-1, OPD-2, OPD-3, OPD-4, dan OPD-5. Reaksi PCR menggunakan produk Fermentas. Volume reaksi yang digunakan dalam analisis RAPD ini adalah 20 µL. Dalam satu tube PCR dilakukan penambahan awal sebanyak 19.2 µL mix reaction yang mengandung molecular water, bufer PCR (2 mM MgCl 2 ), 200 µM dNTPs, sampel DNA (dengan konsentrasi 50 ng/ µL), dan 2.75 µL 1 U (unit) Taq polimerase DNA kemudian ditambahkan 0.8 µL primer (dengan konsentrasi 0.2 µM). Program siklus termal yang digunakan, yaitu aktivasi untuk satu siklus awal 5.5 menit pada 92°C, 1 menit pada 35oC, dan 1 menit pada 72oC yang diikuti 44 siklus yang terdiri dari 1 menit pada 92°C, 1 menit pada 35°C dan 1 menit pada 72°C dan 7 menit 72°C terakhir. Hasil amplifikasi PCR-RAPD diamati dengan elektroforesis pada 1.7% gel agarosa dalam 0.5x bufer TBE (Tris Borat-EDTA) beserta DNA ladder (gene ruler 100 bp, Fermentas) yang diwarnai dengan etidium bromida (William et al. 1990). Hasil visulisasi dimasukkan ke dalam software AlphaImager EP untuk mengukur bobot molekul tiap band yang dihasilkan. HASIL DAN PEMBAHASAN DNA Genom Tanaman Kunyit dan Temulawak DNA genom tanaman kunyit dan temulawak diisolasi dari daun muda berwarna hijau dari masing-masing tanaman. DNA genom tersebut digunakan sebagai templat DNA untuk proses PCR RAPD. Metode isolasi yang digunakan, yaitu metode Zheng et al. (1995) dengan modifikasi. Metode tersebut menggunakan bufer ekstraksi yang mengandung SDS 1% yang berperan dalam melisis sel dengan membentuk kompleks dengan polisakarida dan melarutkan protein pada membran sel. Prinsip metode Zheng (1995), yaitu: lisis sel dengan SDS yang dilanjutkan dengan pengendapan protein, lipid, dan debris sel dengan kloroform. Proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan presipitasi DNA menggunakan etanol absolut 96% serta pencucian DNA dengan etanol 70%. Isolasi DNA menggunakan bufer ekstraksi yang berisi 25 mM EDTA (pH 7.5), 50 mM TrisHCl (pH 8.0), 300 mM NaCl, dan SDS 1%. Masing-masing larutan tersebut memiliki fungsi yang berbeda dalam mengisolasi DNA genom. Larutan EDTA (pH 7.5) berfungsi sebagai agen pengkelat logam, seperti Mg2+ sehingga mencegah kerja enzim DNase (Bellstedt et al. 2010). Larutan bufer TrisHCl (pH 8.0) berfungsi menjaga kestabilan pH agar DNA yang keluar dari lisis sel tidak rusak oleh perubahan pH. Bufer TrisHCl pH 8.0 juga menjaga agar DNase tidak bekerja karena DNase bekerja pada pH 7.0 (Yasuda et al. 2004). Selain itu, bufer Tris akan berinteraksi dengan membran sel sehingga kestabilan membran sel menjadi terganggu dan menyebabkan sel menjadi lisis. Larutan NaCl berfungsi sebagai agen penghilang polisakarida pada larutan DNA. Selain itu, larutan NaCl akan mencegah polisakarida mengendap bersama dengan DNA (Sa et al. 2011). Larutan terakhir, yaitu larutan SDS merupakan suatu deterjen anionik. Deterjen tersebut berfungsi dalam melisiskan dinding sel secara kimia. SDS akan melarutkan protein membran sehingga sitosol akan terekstraksi oleh bufer ekstraksi (Kim et al. 2009). Penelitian ini menggunakan metode Zheng et al. (1995) yang dimodifikasi, yaitu adanya penambahan enzim proteinase K dan RNase A. Proteinase K berfungsi menghilangkan protein dan DNase saat isolasi DNA (Fermentas 2012). Penambahan proteinase K dilakukan setelah inkubasi pada suhu 65oC setelah bufer ekstraksi aktif bekerja. Selain itu, RNase A berfungsi menghilangkan RNA yang diperoleh saat ekstraksi. Ekstraksi tanpa RNase menghasilkan RNA yang dapat dilihat setelah elektroforesis DNA. Penambahan RNase A dilakukan setelah pencucian pelet DNA dengan etanol 70% dan dilarutkan dengan molecular water. DNase dan RNA harus dihilangkan untuk menghasilkan DNA dengan kualitas yang baik dan memudahkan 8 dalam analisis karena kualitas templat DNA berpengaruh terhadap hasil dan resolusi hasil amplifikasi (Sijapati et al. 2008). Beberapa perlakuan selama proses ekstraksi dibutuhkan untuk menghasilkan DNA genom, seperti penggerusan, inkubasi, homogenasi, sentrifugasi, penyimpanan pada dan pencucian DNA. suhu -20oC, Penggerusan sampel dengan menambahkan larutan bufer ekstraksi bertujuan melisis dinding sel daun. Sampel yang telah halus untuk diinkubasi pada suhu 65oC mengaktifkan bufer ekstraksi sehingga dapat dengan mudah mengisolasi DNA. Proses inkubasi diikuti dengan penambahan proteinase K untuk menghilangkan protein dan DNase, kemudian sampel diinkubasi pada suhu 37oC. Deaktivasi enzim proteinase K dilakukan pada suhu 65oC (Fermentas 2012). Kemudian, larutan tersebut didinginkan dan ditambahkan kloroform. Kloroform akan menghilangkan polisakarida, lipid, dan senyawa non polar lainnya (Xin & Chen 2012). Homogenisasi dilakukan dengan cara inversi (membolak-balikkan tube). Hasil sentrifugasi berupa supernatan ditambahkan dengan etanol absolut 96% dan diinkubasi pada suhu -20oC. Penambahan etanol absolut tersebut berfungsi mengendapkan DNA. Mekanisme kerja proses tersebut adalah like dissolve like. DNA yang memiliki sifat polar akan mengalami presipitasi dengan larutan yang non polar (kloroform). Inkubasi pada suhu -20oC bertujuan mempercepat presipitasi dan menghasilkan yield DNA yang tinggi (Chen et al. 2010). Pencucian DNA dengan etanol 70% dilakukan untuk membersihkan sisa etanol absolut. Penguapan dilakukan untuk menghilangkan sisa etanol pada pelet DNA. Penyimpanan DNA yang telah dilarutkan dengan molecular water dilakukan pada suhu -20oC dengan tujuan mencegah kerusakan DNA. Hasil isolasi DNA genom menunjukkan bahwa semua sampel yang berjumlah 13 yang terdiri atas tujuh kunyit dan enam temulawak lokal di Pulau Jawa menghasilkan DNA genom (Gambar 5). DNA genom kunyit dan temulawak ditunjukkan dengan adanya pita DNA genom pada gel agarosa 1.7%. DNA genom kunyit dan temulawak yang ditunjukkan pada gambar memiliki ukuran bobot molekul sekitar 6800-7450 bp. Hasil menunjukkan bahwa DNA genom daun tanaman kunyit dan temulawak memiliki ukuran bobot molekul yang tidak jauh berbeda. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan tanaman kunyit dan temulawak berasal dari genus yang sama, yaitu Curcuma. Hasil juga menunjukkan bahwa masingmasing sampel menghasilkan intensitas pita yang berbeda. Hal tersebut dapat disebabkan masing-masing sampel memiliki konsentrasi DNA yang berbeda. Konsentrasi DNA genom yang tinggi akan menghasilkan intensitas pita yang tinggi. DNA genom yang memiliki konsentrasi tinggi berarti saat ekstraksi menghasilkan high yield DNA. Hal yang mempengaruhi tinggi dan rendahnya yield DNA, yaitu: kandungan senyawa yang terdapat pada sampel, prosedur ekstraksi, dan metode pengendapan DNA (Chen et al. 2010). Semua sampel dilakukan dengan perlakuan yang sama sehingga hal yang memungkinkan adanya perbedaan hasil DNA genom (yield DNA) dapat disebabkan kandungan senyawa kimia yang berbeda pada sampel, seperti polisakarida dan polifenol. Kedua seyawa tersebut dapat mengganggu isolasi DNA selama ekstraksi (Palomera-Avalos et al. 2007). Hasil menunjukkan bahwa semua sampel kunyit menghasilkan intensitas pita yang rendah dibandingkan sampel temulawak. Hal tersebut disebabkan sampel tanaman kunyit memiliki jumlah pati yang lebih tinggi dibandingkan temulawak. Kunyit memiliki jumlah pati sekitar 69.4% (Chattopadhyay et al. 2004) sedangkan temulawak sebanyak 48.18% (Afifah 2005). Selain itu, perbedaan wilayah (dataran) mempengaruhi pembentukan polisakarida pada tanaman sehingga masing-masing sampel memiliki intensitas pita yang berbeda (Asriani 2010). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa metode Zheng et al. (1995) dengan modifikasi dapat menghasilkan DNA genom tanaman kunyit dan temulawak lokal. DNA genom yang dihasilkan memiliki bobot molekul yang cukup tinggi. Selain itu, semua sampel yang dihasilkan memiliki intensitas yang cukup tinggi sehingga DNA genom tersebut dapat digunakan untuk analisis selanjutnya, yaitu PCR RAPD. Analisis Kuantitatif DNA Genom DNA genom tanaman kunyit dan temulawak dilakukan analisis kuantitatif dengan melakukan pengukuran absorbans pada panjang gelombang 230 nm, 260 nm, dan 280 nm. Hal tersebut bertujuan mencari konsentrasi DNA genom tanaman kunyit dan temulawak dari hasil ekstraksi. Selain itu, hasil absorbans menunjukkan data kualitatif, yaitu rasio absorbans dengan membandingkan absorbans pada 260 nm dengan yang lain. Rasio absorbans tersebut dapat mengetahui 9 7444 bp Gambar 5 Elektroforegram DNA genom kunyit dan temulawak pada gel agarosa 1.7%. Lajur 1-7 adalah DNA genom kunyit yang berasal dari berbagai sumber (1) Ngawi (2) Wonogiri (3) Sukabumi (4) T1, Bogor (5) T2, Bogor (6) Karang anyar (7) Ciemas. Lajur 8-13 adalah DNA genom temulawak yang berasal dari berbagai sumber (8) Ngawi (9) Wonogiri (10) Sragen (11) Karang anyar (12) C3, Bogor (13) Sukabumi. M (marker). kemurnian DNA genom dari hasil ekstraksi. Hal tersebut disebabkan berbagai macam komponen seperti protein, polifenol, dan polisakarida dapat tertinggal saat presipitasi DNA. Prinsip analisis kuantitaif DNA genom, yaitu melarutkan DNA genom dengan molecular water dan mengukur nilai absorbans DNA genom pada spektrofotometer. DNA genom akan terbaca pada panjang gelombang 260 nm sementara protein akan terbaca pada panjang gelombang 280 nm dan polisakarida pada panjang gelombang 230 nm. Absorbans yang keluar kemudian dihitung rasio A260/280 untuk melihat kemurnian DNA terhadap protein, yaitu 1.8-2.0 (Kundu et al. 2011). Rasio A260/230 digunakan untuk melihat kemurnian DNA terhadap polisakarida, yaitu 1.5-2.1 (Kheyrodin & Ghazvinian 2012). Hasil pengukuran absorbans DNA genom tanaman kunyit dan temulawak menunjukkan bahwa semua sampel tidak menunjukkan nilai A260/280 pada range kemurnian DNA 1.82.0. Nilai rasio sampel berkisar antara 1.1501.545. Nilai rasio tertinggi pada tanaman temulawak diperoleh oleh temulawak Ngawi, yaitu 1.545. Hal tersebut ditunjukkan dengan tebalnya pita DNA dan tidak adanya smear (Gambar 5, lajur 8). Selain itu, temulawak Sukabumi memiliki nilai rasio tertinggi kedua, yaitu 1.539. Hal tersebut ditunjukkan dengan tebalnya pita DNA dan sedikitnya smear kontaminan dibandingkan pita DNA temulawak lainnya (Gambar 5, lajur 13). Nilai rasio terendah diperoleh temulawak C3 (Bogor) yang menghasilkan nilai rasio terendah dibandingkan dengan temulawak dan kunyit lainnya, yaitu 1.151. Nilai rasio A260/280 tertinggi pada tanaman kunyit diperoleh pada kunyit T1 (Bogor), yaitu 1.368. Hal tersebut ditunjukkan dengan sedikitnya smear dan tebalnya pita. Nilai rasio kemurnian terendah pada tanaman kunyit diperoleh pada kunyit Karang anyar, yaitu 1.232. Hal tersebut ditunjukkan dengan tipisnya pita DNA dan banyaknya smear (Gambar 5). Nilai-nilai rasio tersebut di bawah 1.8 menunjukkan bahwa hasil ekstraksi memiliki kontaminan protein (Kheyrodin & Ghazvinian 2012). Walaupun nilai rasio kemurnian DNA sampel di bawah 1.6 bukan berarti DNA tersebut tidak dapat digunakan untuk berbagai aplikasi. Beberapa aplikasi tidak membutuhkan DNA yang murni untuk analisis, seperti PCR RAPD (Kheyrodin & Ghazvinian 2012). Hasil menunjukkan bahwa temulawak Ngawi dan temulawak Sukabumi memiliki rasio tertinggi di antara sampel lainnya (Lampiran 2). Hal tersebut berarti kedua temulawak tersebut memiliki paling sedikit kontaminan protein. Hal tersebut dapat disebabkan oleh sampel yang digunakan masih baru (belum lama penyimpanan dalam freezer) dibandingkan sampel lainnya sehingga sel daun tersebut mudah dilakukan isolasi DNA genom dan mudah dalam melakukan pemisahan protein oleh kloroform. Selain itu, banyaknya kontaminasi oleh protein pada DNA genom dapat disebabkan kemungkinan banyaknya jumlah polifenol dan polisakarida yang terdapat pada sampel 10 menyebabkan larutan kloroform tidak mampu mengendapkan protein. Hasil pengukuran absorbans DNA genom pada rasio A260/230 pada semua sampel menunjukkan nilai di bawah range 1.5-2.1. Semua sampel DNA genom memiliki rasio 0.555-1.357. Nilai rasio tertinggi pada tanaman temulawak diperoleh pada temulawak Ngawi, yaitu 1.357. Hal tersebut ditunjukkan dengan tebalnya pita DNA dan sedikit smear. Selain itu, temulawak Wonogiri memiliki rasio terendah dibandingkan sampel kunyit dan temulawak lainnya, yaitu 0.555. Hal tersebut ditunjukkan dengan tipisnya pita DNA dan banyaknya smear. Nilai rasio tertinggi pada tanaman kunyit diperoleh oleh kunyit T2 (Bogor), yaitu 1.022 dan nilai rasio terendah diperoleh pada kunyit Wonogiri, yaitu 0.653. Hal tersebut tidak dapat ditunjukkan pada gambar karena tidak memiliki perbedaan yang terlalu signifikan dibandingkan dengan kunyit lainnya. Hal tersebut disebabkan nilai rasio pada masingmasing tanaman kunyit tidak jauh berbeda tidak seperti pada tanaman temulawak. Semua sampel daun kunyit tidak memiliki perbedaan waktu saat penyimpanan daun sampel. Hasil menunjukkan bahwa DNA genom belum dapat dikatakan murni karena nilai rasio berada di bawah 1.5 yang menunjukkan DNA genom masih memiliki kontaminan, seperti polisakarida dan komponen organik lainnya (Kheyrodin & Ghazvinian 2012). Adanya kontaminan polisakarida dapat disebabkan polisakarida membentuk kompleks dengan DNA sehingga mengendap bersama saat presisipitasi DNA dengan etanol absolut 96% (Matasyoh et al. 2008). Hasil menunjukkan bahwa temulawak Ngawi dan Sukabumi memiliki nilai rasio yang mendekati nilai 1.5 sehingga dapat dikatakan hampir murni. Hal tersebut disebabkan kedua tanaman tersebut merupakan sampel yang baru dibandingkan lainnya. Selain itu, nilai rasio tertinggi diperoleh pada tanaman temulawak. Hal tersebut sesuai dengan literatur bahwa kandungan polisakarida kunyit lebih tinggi dibandingkan dengan temulawak (Chattopadhyay et al. 2004; Afifah 2005). Nilai absorbans pada 230 nm menunjukkan bahwa masing-masing sampel memiliki kadar polisakarida yang berbeda. Selain itu, menurut Asriani (2010) bahwa perbedaan wilayah atau ketinggian daratan akan mempengaruhi jumlah polisakarida. Hal tersebut disebabkan ketinggian daratan akan mempengaruhi suhu atmosfer lingkungan, intensitas cahaya, dan karakteristik tanah. Asriani (2010) menyatakan bahwa sampel yang berada di bawah ketinggian 240 m akan memiliki polisakarida yang tinggi. Hal tersebut disebabkan suhu lingkungan terebut memiliki suhu dan intensitas cahaya yang tinggi sehingga tumbuhan melakukan pembentukan polisakarida terus-menerus melalui fotosintesis (Ravindran et al. 2007). Hasil menunjukkan bahwa tanaman kunyit dan temulawak yang berasal dari Wonogiri memiliki kadar polisakarida lebih tinggi dibandingkan dari daerah lainnya. Hal tersebut kemungkinan daerah Wonogiri merupakan daerah daratan rendah (< 240 dpl). Selain itu, dataran rendah yang memiliki suhu dan intensitas cahaya yang tinggi akan menghasilkan daun tanaman yang berlilin untuk mencegah kehilangan air. Hal tersebut menyebabkan daun temulawak C3 Bogor yang berada pada daratan rendah memiliki lilin pada permukaan daunnya. Hasil juga menunjukkan bahwa semua sampel kunyit dan temulwak memiliki konsentrasi DNA genom yang berbeda meskipun proses ekstraksi dilakukan dengan prosedur yang sama. Konsentrasi DNA tertinggi pada tanaman temulawak diperoleh oleh temulawak Wonogiri, yaitu 4500 ng/µL. Hal tersebut ditunjukkan dengan intensitas pita DNA yang tinggi dan smear DNA yang tinggi, tetapi tidak lebih tinggi dari temulawak Ngawi dan Sukabumi. Hal tersebut disebabkan DNA temulawak Wonogiri mengalami degradasi oleh DNase sehingga tidak dapat memiliki intensitas pita yang terang seperti temulawak Ngawi (780 ng/µL) dan Sukabumi (585 ng/µL) (Roder et al. 2010). Konsentrasi tertinggi kedua diperoleh pada temulawak C3 (Bogor) (4375 ng/µL), namun tidak memiliki intensitas pita yang terang. Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa temulawak C3 (Bogor) memiliki intensitas smear yang tinggi dibandingkan lainnya. Hal tersebut disebabkan munculnya kontaminan DNase pada penyimpanan isolat DNA genom yang telah lama dibandingkan sampel temulawak Ngawi dan temulawak Sukabumi. Konsentrasi DNA terendah pada sampel temulawak dan kunyit diperoleh pada temulawak Sukabumi, namun temulawak tersebut memiliki intensitas DNA yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan DNA temulawak Sukabumi masih baru. Konsentrasi DNA tertinggi pada tanaman kunyit diperoleh pada kunyit Wonogiri, yaitu 2960 ng/µL. Hal tersebut ditunjukkan dengan intensitas pita DNA genom yang tinggi. Konsentrasi 11 terendah diperoleh pada kunyit T2 (Bogor), yaitu 455 ng/µL. Hasil menunjukkan bahwa hubungan konsentrasi DNA dengan intensitas pita DNA berkorelatif positif (berbanding lurus) pada tanaman kunyit, tetapi berbeda dengan temulawak. Hal tersebut disebabkan adanya sampel temulawak Ngawi dan Sukabumi yang masih baru. Perbedaan waktu dalam pengambilan sampel mengakibatkan adanya perbedaan penyimpanan sampel daun. Penyimpanan yang lama pada sampel daun dan isolat DNA genom di dalam freezer berpengaruh terhadap intensitas pita DNA yang kurang tinggi dan tipis. Hal tersebut dapat disebabkan penyimpanan yang lama pada sampel daun mengakibatkan kerusakan DNA sehingga menghasilkan low yield DNA pada isolasi DNA. Selain itu, freeze-thaw berkali-kali pada sampel juga dapat menyebabkan degradasi DNA (Qiagen 2012). Oleh karena itu daun segar akan menghasilkan DNA yang lebih banyak dibandingkan dengan sampel daun segar yang telah lama di simpan di dalam freezer (Qiagen 2012). Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa isolat DNA yang telah disimpan dalam waktu lama terjadi beberapa kali freeze-thaw sehingga dapat memunculkan DNase yang mengakibatkan intensitas pita semakin menurun (Qiagen 2012). Hasil analisis DNA genom menunjukkan bahwa masing-masing DNA genom yang berasal dari wilayah atau dataran yang berbeda menghasilkan kemurnian polisakarida yang berbeda pula. Masing-masing DNA genom memiliki kemurnian DNA yang rendah, namun memiliki konsentrasi yang cukup tinggi sehingga dapat dilakukan analisis selanjutnya, yaitu PCR RAPD. Hal tersebut disebabkan PCR RAPD membutuhkan konsentrasi DNA 5-50 ng untuk dapat melakukan proses PCR. Konsentrasi DNA tersebut cukup rendah sehingga konsentrasi DNA sampel yang diperoleh dapat digunakan untuk analisis selanjutnya (PCR RAPD). Fragmen DNA Hasil PCR-RAPD DNA genom tanaman kunyit dan temulawak dari berbagai daerah di Pulau Jawa dilakukan PCR dengan teknik RAPD. Hal tersebut bertujuan menganalisis pola genetik yang dihasilkan oleh masing-masing sampel. Hasil PCR RAPD pada masing-masing sampel diharapkan memiliki pola genetik yang berbeda. Prinsip PCR RAPD, yaitu pembuatan mix reaction dan proses PCR pada kondisi optimum. Saat pembuatan mix reaction dilakukan penambahan DNA genom sebagai sekuen templat DNA untuk penempelan primer. Primer secara acak akan menempel pada sekuen DNA genom yang komplementer sehingga akan diperpanjang oleh Taq polimerase. DNA tersebut akan teramplifikasi dan membentuk suatu pola. Proses PCR RAPD dilakukan pada kondisi optimum PCR, yaitu memiliki satu siklus awal untuk adaptasi dan 44 siklus selanjutnya. Adaptasi perlu dilakukan karena DNA berasal dari DNA genom berbobot molekul yang cukup tinggi sehingga perlu dilakukan untuk memudahkan dalam proses PCR. Hasil diperoleh bahwa proses PCR yang menggunakan primer acak sebanyak 20 primer (Operon Tech), yaitu OPA, OPB, OPC, dan OPD (1-5) menghasilkan tujuh primer yang dapat mengamplifikasi tanaman kunyit dan temulawak lokal. Tujuh primer acak tersebut, yaitu OPA-1, OPA-3, OPA-4, OPC-1, OPC-2, OPC-4, dan OPD-4. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak semua primer yang digunakan cocok untuk PCRRAPD pada tanaman temulawak dan kunyit lokal. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan di China, yaitu untuk mengetahui kekerabatan genetik enam spesies Curcuma dilakukan PCR RAPD dengan 30 primer RAPD acak, namun hanya 21 primer yang dapat mengamplifikasi DNA genom sampel (Zou et al. 2010). Hal tersebut disebabkan tidak adanya sekuen templat DNA yang komplementer dengan primer sehingga tidak terjadi amplifikasi dan tidak dihasilkan amplikon. Teknik PCR RAPD merupakan teknik dengan primer yang memiliki sekuen DNA acak menggunakan templat DNA yang tidak diketahui sekuen DNAnya. Oleh karena itu, primer RAPD tidak selalu dapat mengamplifikasi sekuen templat DNA, namun untuk proses analisis filogenetik perlu dilakukan dengan primer RAPD yang dapat mengamplifikasi semua DNA sampel. Primerprimer yang dapat mengamplifikasi tanaman Curcuma berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dari OPA-OPD, yaitu: OPA-2, OPA-3, OPA-4, OPA-6, OPA-7, OPA-8, OPA-10. OPA-11, OPA-12, OPA-18, OPA19, OPB-7, OPC-2, OPC-5, OPC-6, OPC-7, OPC-12, OPD-3, OPD-7, OPD-8, OPD-18, dan OPD-20 (Jan et al. 2010; Panda et al. 2007). Hasil menunjukkan bahwa beberapa sampel teramplifikasi oleh beberapa primer acak. Hasil ditunjukkan oleh elektroforegram (Lampiran 4). Elektroforegram dengan primer OPA-1 menunjukkan hanya sampel kunyit Wonogiri yang dapat teramplifikasi 12 Gambar 6 Elektroforegram OPC-1 pada gel agarosa 1.7%. Lajur 1-6 adalah DNA genom temulawak yang berasal dari berbagai sumber (1) Ngawi (2) Wonogiri (3) Sragen (4) Karang anyar (5) C3, Bogor (6) Sukabumi. Lajur 7-13 adalah DNA genom kunyit yang berasal dari berbagai sumber (7) Ngawi (8) Wonogiri (9) Sukabumi (10) T1, Bogor (11) T2, Bogor (12) Karang anyar (13) Ciemas. M (marker). oleh OPA-1. Amplifikasi tersebut menghasilkan empat pita DNA yang masingmasing menunjukkan bobot molekul yang berbeda, yaitu: 1040 bp, 711.11 bp, 655 bp, dan 605 bp. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa DNA temulawak lokal tidak memilki sekuen DNA yang sesuai dengan primer OPA-1. Elektroforegram OPA-3 menunjukkan bahwa hanya sampel kunyit Wonogiri yang dapat teramplifikasi. Amplifikasi tersebut menghasilkan 14 pita DNA, yaitu sekitar 650-3330 bp. Elektroforegram OPA-4 menunjukkan primer tersebut hanya dapat mengamplifikasi temulawak dan kunyit Wonogiri. Kedua sampel tersebut menghasilkan jumlah pita DNA yang berbeda. Temulawak Wonogiri menghasilkan 11 pita DNA yang menunjukkan bobot molekul, yaitu 921.054228 bp sedangkan kunyit Wonogiri menghasilkan 4 pita DNA, yaitu sekitar 6501523.81 bp. Hal tersebut menunjukkan bahwa sampel dengan spesies yang berbeda memiliki jumlah pita DNA, pola fragmen DNA, dan bobot molekul yang berbeda. Elektroforegram OPC-1 menunjukkan bahwa primer tersebut dapat mengamplifikasi DNA temulawak Wonogiri dan Karang anyar yang masingmasing memiliki jumlah pita DNA, yaitu: 7 dan 6 pita (Gambar 6). Temulawak Wonogiri menunjukkan bobot molekul sekitar 812.53908.45 bp dan temulawak Karang anyar menunjukkan bobot molekul 1047.62-1947.37 bp. Kedua sampel tersebut memiliki bobot molekul yang berbeda. Hal tersebut berarti bahwa pada spesies yang sama meskipun berasal dari daerah yang berbeda memiliki lokus yang berbeda. Elektroforegram OPC-2 menunjukkan bahwa primer tersebut dapat mengamplifikasi temulawak Wonogiri dan kunyit Wonogiri. Kedua sampel tersebut memiliki jumlah pita yang berbeda, yaitu satu dan 18 pita. Temulawak wonogiri menunjukkan pita berbobot molekul 180.56 dan kunyit wonogiri sekitar 288-2750 bp. Kedua sampel tersebut memiliki pola yang berbeda dengan spesies yang berbeda meskipun terdapat pada daerah yang sama. Primer tersebut sama seperti OPA-4, namun jumlah pita, pola fragmen DNA, dan bobot molekul yang dihasilkan berbeda. Elektroforegram OPC-4 menunjukkan bahwa primer tersebut hanya dapat mengamplifikasi temulawak Karang anyar. Amplifikasi tersebut menghasilkan sebelas pita DNA yang memiliki bobot molekul, yaitu 537.043091.70 bp. Selain itu, elektroforegram menunjukkan bahwa kunyit lokal tidak dapat teramplifikasi. Elektroforegram OPD-4 menunjukkan bahwa primer tersebut hanya mengamplifikasi temulawak Wonogiri yang menghasilkan dua pita, yaitu 883.33 dan 1130.44 bp. Selain diperoleh primer yang dapat mengamplifikasi DNA genom dan sampel yang dapat teramplifikasi, hasil menunjukkan bahwa masing-masing primer menghasilkan jumlah pita, pola fragmen, dan bobot molekul tertentu yang berbeda pada masing-masing sampel tanaman kunyit dan temulawak. 13 Primer-primer selain ketujuh primer tersebut tidak dapat mengamplifikasi baik temulawak lokal dan kunyit lokal. Hal tersebut dapat disebabkan primer tersebut tidak sesuai dengan sekuen DNA sampel. Selain itu, tidak semua ketujuh primer tersebut dapat mengamplifikasi semua sampel. Sekuen DNA primer tersebut hanya menempel pada sekuen DNA yang sesuai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa primer OPA-4 dan OPC2 dapat mengamplifikasi sampel berbeda spesies yang berasal dari asal daerah yang sama, yaitu Wonogiri. Namun, hasil amplifikasi menunjukkan fragmen-fragmen DNA tersebut memiliki pola yang berbeda. Hal tersebut terlihat bahwa spesies yang berbeda memiliki pola genetik yang berbeda. Selain itu, terdapat primer yang dapat mengamplifikasi sampel DNA dengan spesies yang sama, yaitu OPC-1. Hasil PCR juga menunjukkan bahwa hanya beberapa sampel yang dapat teramplifikasi, yaitu temulawak Wonogiri, temulawak Karang anyar, dan kunyit Wonogiri. Temulawak Wonogiri dapat teramplifikasi pada primer OPA-4, OPC-1, OPC-2, dan OPD-4 menghasilkan 21 pita DNA berbeda. Temulawak Karang anyar dapat teramplifikasi pada primer OPC-1, OPC-3, dan OPC-4 menghasilkan 17 pita DNA berbeda dan smear sepanjang sumur. Kunyit Wonogiri dapat teramplifikasi pada primer OPA-1, OPA-3, OPA-4, OPC-2, dan OPD-4 menghasilkan 40 pita DNA berbeda. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kunyit Wonogiri merupakan tanaman lokal terbanyak yang dapat teramplifikasi oleh primer RAPD. Selain itu, temulawak Wonogiri juga merupakan tanaman yang menghasilkan pita DNA terbanyak. Hasil juga menunjukkan bahwa pada elektroforegram dengan primer OPC-3 terdapat smear saja bukan merupakan pita DNA sesuai harapan yang terdapat pada sampel temulawak Karanganyar. Smear tersebut merupakan DNA berkonsentrasi tinggi dan mengalami fragmentasi sehingga terdapat smear sepanjang sumur dari atas gel pada gel agarosa. Hal tersebut kemungkinan di dalam tube PCR dengan primer OPC-3 terdapat konsentrasi DNA yang tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan proses homogenasi pada mix reaction (sampel Temulawak Karanganyar) kurang sempurna sehingga ada bagian sampel DNA yang tidak larut. Saat PCR berlangsung, DNA dengan konsentrasi tinggi tidak dapat terdenaturasi secara sempurna dengan waktu yang telah ditetapkan. Hal tersebut menyebabkan primer tidak dapat menempel pada sekuen DNA yang komplementer. Oleh karena itu, hasil PCR tidak terdapat amplikon. Hal tersebut sesuai dengan literatur bahwa kuantitas templat DNA yang terlalu besar dapat menghasilkan smear dengan bobot molekul yang tinggi (Roux 2009). Tidak adanya amplikon yang dihasilkan memiliki dua kemungkinan, yaitu sampel tersebut dapat teramplifikasi dan tidak dapat teramplifikasi. Hasil menunjukkan bahwa semua sampel kecuali temulawak Karanganyar tidak dapat teramplifikasi oleh primer OPC-3. Selain itu, setiap primer tidak dapat mengamplifikasi semua sampel. Oleh karena itu, hasil dapat disimpulkan bahwa primer OPC-3 belum tentu tidak mengamplifikasi sampel temulawak Karanganyar. Hasil menunjukkan bahwa sampel temulawak dan kunyit memiliki pola tertentu pada hasil PCR RAPD. Enam sampel temulawak memiliki pola berbeda dari amplifikasi semua primer, seperti temulawak Wonogiri memiliki pola yang berbeda dari temulawak lainnya. Temulawak Wonogiri memiliki 21 total pita DNA dari 20 primer. Selain itu, temulawak tersebut memiliki pola amplifikasi tertentu pada 20 primer. Hal tersebut menjadikan hal yang spesifik dan unik pada temulawak Wonogiri sehingga hal tersebut menjadi ciri khas dari temulawak Wonogiri. Temulawak Karang anyar memilki pola yang berbeda dengan temulawak Wonogiri. Temulawak Karang anyar menghasilkan 17 pita DNA berbeda dari 20 primer dan memiliki pola amplifikasi yang berbeda. Keunikan tersebut menjadikan ciri khas bagi temulawak Karang anyar. Kedua pola amplifikasi berbeda tersebut dapat dijadikan sebagai DNA fingerprint untuk temulawak. Suatu temulawak tidak diketahui asalnya dapat diuji dengan 20 primer tersebut dan mencocokkan dengan DNA fingerprint dari kedua temulawak tersebut. Jika kedua DNA fingerprint temulawak tersebut tidak cocok, maka kemungkinan temulawak yang tidak diketahui asalnya tersebut dapat berasal dari Ngawi, Sragen, Bogor (C3), atau Sukabumi. Selain itu, tanaman kunyit juga memiliki pola yang khas. Kunyit Wonogiri memiliki ciri khas dengan menghasilkan 40 pita berbeda dari 20 primer dan memiliki pola amplifikasi berbeda dari tanaman kunyit sehingga hal tersebut dapat dijadikan pola yang khas. Oleh karena itu, hasil PCR RAPD dapat dijadikan DNA fingerprint untuk menentukan daerah asal dari temulawak yang tidak diketahui. Hal tersebut juga 14 menunjukkan bahwa tidak teramplifikasinya suatu sampel pada primer tertentu bukan merupakan suatu yang sia-sia, melainkan merujuk pada suatu pola amplifikasi sehingga dapat dijadikan DNA fingerprint untuk tanaman temulawak dan kunyit. Penelitian sebelumnya juga menggunakan teknik PCR RAPD untuk melihat keunikan yang terdapat pada pola genetik sampel sehingga bobot molekul yang spesifik dan unik dijadikan sebagai DNA fingerprint untuk autentifikasi tanaman herbal (Khan et al. 2009). Adanya DNA fingerprint tersebut memudahkan dalam membedakan tanaman herbal yang lainnya. Namun, fungsi DNA fingerprint dalam penelitian ini, yaitu sebagai autentifikasi untuk mencari tanaman kunyit dan temulawak terstandard yang akan digunakan untuk produk obat. Hasil menunjukkan bahwa pola genetik yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai DNA fingerprint. Keberhasilan PCR RAPD dalam menghasilkan pita yang bagus dan jelas serta reproducible membutuhkan beberapa faktor penting untuk memudahkan selama analisis polimorfisme. Pemilihan primer yang tepat merupakan faktor penting dalam analisis RAPD (Zulkifli et al. 2009). Selain itu, keberhasilan dalam PCR RAPD dipengaruhi oleh optimasi kondisi PCR (Zulkifli et al. 2009). Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam PCR, yaitu kemurnian DNA. Hal tersebut disebabkan adanya penghambat amplifikasi DNA yang terdapat pada DNA saat presipitasi DNA, seperti polisakarida, polifenol, dan deterjen (SDS atau CTAB) (Anklam et al. 2002). Namun, tidak semua DNA genom membutuhkan kemurnian DNA dalam reaksi amplifikasi DNA (Hasan et al. 2009). Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian bahwa temulawak Wonogiri yang memiliki nilai rasio kemurnian A260/280 (1.216) dan A260/230 (0.555) terendah dapat teramplifikasi oleh empat primer menghasilkan 21 pita DNA. Optimasi kondisi PCR merupakan hal penting dalam memudahkan analisis PCR, seperti konsentrasi templat DNA, konsentrasi MgCl 2 , dNTPs, Taq polimerase, dan primer (Sijapati et al. 2008). Konsentrasi templat DNA yang terlalu tinggi akan meningkatkan kontaminasi pada mix reaction (Chen 2000). Tinggi rendahnya konsentrasi MgCl 2 mempengaruhi hasil RAPD yang signifikan. Jika konsentrasi terlalu tinggi dan rendah akan menghasilkan pita yang tidak spesifik dan sedikit. Hal tersebut disebabkan Mg2+ merupakan kofaktor dari enzim Taq polimerase sehingga jika terlalu sedikit akan menghasilkan amplifikasi yang gagal dan tidak efisien (hasil tidak optimal). Jika konsentrasi terlalu tinggi akan memberikan amplifikasi yang tidak spesifik sebagai hasil dari ketepatan kerja enzim yang menurun (Sijapati et al. 2008). Konsentrasi Taq polimerase juga mempengaruhi hasil. Zou et al. (2011) menggunakan 1 U taq dalam 25 µL volume reaksi PCR yang mengandung 20 ng dapat menghasilkan pohon filogenetik Curcuma. Oleh karena itu, konsentrasi optimum Taq polimerase pada tanaman genus Curcuma, yaitu 1 U. Penelitian dilakukan dengan menggunakan 1 U Taq polimerase dan menghasilkan pita DNA. Selain itu, program siklus PCR RAPD juga dapat mempengaruhi hasil PCR. Suhu yang tidak tepat dapat menyebabkan tidak menempelnya sekuen DNA primer pada sekuan templat DNA (Hasan et al. 2009). Penelitian menunjukkan adanya amplifikasi pada sampel sehingga dapat dikatakan program siklus PCR telah optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DNA genom yang memiliki kemurnian rendah dapat digunakan untuk proses PCR RAPD sehingga dalam PCR RAPD tidak perlu menggunakan DNA genom dengan kemurnian tinggi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Zheng et al. (1995) dengan modifikasi dapat mengisolasi DNA genom tanaman kunyit dan temulawak lokal. Primer yang dapat mengamplifikasi, yaitu OPA-1, OPA-3, OPA-4, OPC-1, OPC-2, OPC-4, dan OPD-4. Kunyit Wonogiri merupakan sampel yang paling banyak teramplifikasi oleh primer, yaitu OPA-1, OPA-3, OPA-4, dan OPC-2. Selain itu, hasil PCR RAPD dengan 20 primer acak (OPA, OPB, OPC, dan OPD 1-5) menunjukkan bahwa sampel yang teramplifikasi memiliki pola genetik yang khas dan unik (masing-masing berbeda) sehingga dapat digunakan sebagai DNA fingerprint. Saran Penelitian perlu dilanjutkan dengan teknik PCR RAPD menggunakan metode modifikasi Zheng et al. (1995) dengan primer RAPD 15 OPA-OPD (6-20) sehingga dapat terlihat pola amplifikasi lainnya. DAFTAR PUSTAKA Afifah E, Lentera T. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak: Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia. Afifah E. 2005. Khasiat dan Manfaat Temulawak: Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia. Anklam E, Gadani F, Heinze P, Pijnenburg H, Van Den Eede G. 2002. Analytical methods for detection and determination of genetically modified organisms in agricultural crops and plant-derived food products. European Food Research and Technology 214: 326. [Anonim]. 2007. Informasi Herbal: Kunyit [terhubung berkala]. Tanamanherbal.wordpress.com (13 Oktober 2011). [Anonim]. 2011. Temulawak [terhubung berkala].Sejutaherba.blogspot.com/201 1/11/temu-lawak.html (13 Oktober 2011). [Anonim]. 2011. Manfaat Temulawak untuk Kesehatan [terhubung berkala]. www.mypalanta.com/2012/06/manfaat -temulawak-untuk-kesehatan.htm (13 Oktober 2011). Asriani D. 2010. Isolasi xanthorrizhol dari temulawak terpilih berdasarkan nomor harapan. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bellstedt DU, Pirie MD, Visser C, de Villiers MJ, Gehrke B. 2010. A rapid and inexpensive method for the direct PCR amplification of DNA from plants. American Journal of Botany 97: 65-68. Benali S, Mohamed B, Eddine HJ, Neema C. Advances of molecular markers application in plant pathology research. European Journal of Scientific Research 50: 110-123. Chattopadhyay I, Biswas K, Bandyopadhyay, Banerjee RK. 2004. Turmeric and curcumin: biological actions and medicinal applications. Current Science 87: 44-53. Cheah YH, Azimahtol HLP, Abdullah NR. 2006. Xanthorrhizol exhibits antiproliferative activity on MCF-7 breast cancer cells via apoptosis induction. Anticancer Research 26: 4527-4534. Chen HA. 2000. PCR [terhubung berkala]. http://users.breathe.com/hachen/protoc ols/PCR.html. (20 September 2012). Chen et al. 2010. Evaluation of five methodes for total DNA extraction from Western Corn Rootworm Beetles. Plos ONE 5: 1-6. [Fermentas]. 2012. Proteinase K [terhubung berkala]. www.fermentas.com (15 Februari 2012). Hakim L. 2003. Study of linkage relationship of Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) markers in a doubled haploid population of barleys. International Journal of Agriculture & Biology 5: 526-529. Hariana A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Depok: Penebar Swadaya. Hasan SMZ, Shafie MSB, Shah RM. 2009. Analysis of Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) of Artemisia capillaris (Wormwood capilary) in East Coast of Peninsular Malaysia. World Applied Sciences Journal 6: 976-986. Hayakawa et al. 2011. Development of a molecular marker to identify a candidate line of turmeric (Curcuma longa L.) with a high curcumin content. American Journal of Plant Science 2: 15-26. Hoy MA. 2003. Insect Molecular Genetics: An Introduction to Principles and Applications. New York: Elsvier Science. Husein S, Parhusip A, Romasi EF. 2009. Study on antibacterial activity from Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) rhizomes against pathogenics microbes cell dectruction. Journal of Applied and Industrial Biotechnology in Tropical Region 2: 1-4. Hutter S, Viella AJ, Rozas J. 2006. Genomewide DNA polymorphism analyses using VariScan. BMC Bioinformatics 7: 1-10. 16 Jan HU, Rabbani MA, Shinwari ZK. 2011. Assesment of genetic diversity of indigenous turmeric (Curcuma longa L.) germplasm from Pakistan using RAPD markers. Journal of Medicine Plants Research 5: 823-830. Khan S, Mirza KJ, Tayaab Md, Abdin MZ. 2009. RAPD profile for authentication of medical plant Glycyrrhiza glabra Linn. International Journal of Food Safety 11: 24-28. Kheyrodin H, Ghazvinian K. 2011. DNA purification and isolation of genomic DNA from bacterial species by plasmid purification system. African Journal of Agriculture Research 7: 433-442. Kim J, Johnson M, Hill P, Gill BK. 2009. Microfluidic sample preparation: cell lysis and nucleic acid purification. Integrative Biology 1: 574-586. Kundu et al. 2011. A simple ethanol wash of the tissue homogenates recovers highquality genomic DNA from Corchorus species characterized by highly acidic and proteinaceous mucilages. Electronic Journal of Biotechnology 14: 1-7. Lim et al. 2005. Antioxidant and antiimflammatory activities of xanthorrhizol in hippocampal neorons and primary cultured microglia. Journal of Neuroscience Research 6: 831-838. Matasyoh et al. 2008. Leaf storage conditions and genomic DNA isolation efficiency in Ocimum gratissimum L. from Kenya. African Journal of Biotechnelogy 7: 557-564. Meiyanto E. 1999. Kurkumin sebagai obat antikanker: menelusuri mekanisme aksinya. Majalah Farmasi Indonesia 10 : 224-236. Mohanti et al. 2012. Genetic stability assesment of micropropagated mango ginger (Curcuma amada Roxb) through RAPD and ISSR markers. Research Journal of Medical Plant 7: 529-536. [NCBI]. National Center for Biotechnology Information. 2011. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) [terhubung berkala].http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ projects/genome/probe/doc/TechRAPD .shtml (5 Juni 2011). Palomera-Avalos V, Castro-Felix P, Villalobos-Arambula A. 2007. High yield and high quality DNA from vegetative and sexual tissue of Mexican white pine (Pinus ayacahuite). African Journal of Biotechnology 7: 51-54. Panda MJ, Sujata M, Subudhi E, Acharya L, Nayak S. 2007. Assesment of genetic stability of micropropagated plants of Curcuma longa L. by cytophotometry and RAPD analyses. International Journal of Integrative Biology 2: 289295. Prana TK, Hartati NS. 2003. Identifikasi sidik jari DNA talas (Colocasia esculenta L. Schott) Indonesia dengan teknik RAPD: skrining primer dan optimalisasi kondisi PCR. Jurnal Natur Indonesia 5: 107-112. [Qiagen]. 2012. Bench Guide Chp. 2 [terhubung berkala]. www.qiagen.com/literature/benchguide /pdf (27 September 2012). Ravindran PN, Babu KN, Sivarman K. 2007. Turmeric: The genus Curcuma. New York: CRC Press, Taylor & Francies Group. Roux KH. 2009. Optimization and troubleshooting in PCR. Cold Spring Harbour Laboratory Press 4:1-6. [Rutgers]. Rutgers University. 2008. RAPD PCR [terhubung berkala]. http://avery.rutgers.edu/WSSP/Student Scholars/project/archives/onions/rapd.h tml (5 Juni 2011). Sa O, Pereira JA, Baptista P. Optimization of DNA extraction for RAPD and ISSR analysis of Arbutus unedo L. leaves. International Journal of Molecular Sciences 12: 4156-4164. Semagn K, Bjornstad A, Ndjondjop MN. 2006. An overview of molecular marker marker methods for plants. African Journal of Biotechnology 5: 2540-2568. Seong HK, Kyoung OH, Won YC, Jae KH, Kwang KP. 2004. Abrogation of cisplatin-induced hepatotoxicity in mice by xanthorrhizol is related to its effect on the regulation of gene transcription. Toxicology and Applied Pharmacology 196: 346-355. 17 Setiawan. 2007. Pendekatan regresi kontinum dalam model kalibrasi [disertasi].Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sidik, MW Mulyono, Muhtadi A. 1993. Temulawak. Jakarta: Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam. Sijapati J, Rana N, Rana P, Shrestha S. 2008. Optimization of RAPD-PCR conditions for the study of genetic diversity in Nepalese isolates of Bacillus thuringiensis Berliner. Nepal Journal of Science and Technology 9: 91-97. Singh S. 2007. From exotic spice to modern drug. Cell 130: 765-768. Sridhar RPN. 2006. Polymerase Chain Reaction (PCR) [terhubung berkala]. www.microrao.com (15 Oktober 2011). [USDA]. The United States Departement of Agriculture. 2006. What is a genetic marker. Why We Care about Genetics 5: 1-2. Verkuil EP, Belkum A, Hays JP. 2008. Principle and Technical Aspects of PCR Amplification. New York: Springer Science. Viljoen GJ, Nel LH, Crowther JR. 2005. Molecular Diagnostic PCR Handbook. New York: Springer. [Warintek]. Warung Informasi Riset dan Teknologi. 2004. Temulawak [terhubung berkala]. www.warintek.risrek.go.id/pertanian/te mulawak.pdf (13 Oktober 2011). Wijayakusuma H. 2008. Atasi Kanker dengan Tanaman Obat. Jakarta: Puspa Swara, Anggota IKAPI. William et al. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Research 18: 6531-6535. Xin Z, Chen J. 2012. A high throughput DNA extraction method with high yield and quality. Plant Methods 8:1-7. Yasuda et al. 2004. A single amino acid sustitution can shift the optimum pH of DNase I for enzyme activity: biochemical and molecular analysis of the piscine DNase I family. Biochimica et Biophysica Acta 1672: 174-183. Zheng K, Huang N, Bennet P, Khush GS. 1995. PCR-based marker assisted selection in rice breeding. Zheng K, editor. IRRI Discussion Paper Series No.12. Manilla: International Rice Research Institue: 24. Zulkifli et al. 2009. Random amplified polymorphic DNA-PCR and ERIC PCR analysis on Vibrio parahaemolyticus is isolated from cockles in Padang, Indonesia. International Food Research Journal 16: 141-150. Zou et al. 2010. Relationships among six medicinal species of Curcuma assessed by RAPD markers. Journal of Medicinal Plants Research 5: 13491354. 18 LAMPIRAN 19 Lampiran 1 Strategi penelitian Ekstraksi PCR RAPD Analisis Hasil Isolasi DNA Optimasi Kondisi PCR Seleksi Primer Elektroforesis DNA Analisis Kuantitatif DNA Elektroforesis Hasil PCR Analisis fingerprinting 20 Lampiran 2 Analisis kuantitatif DNA temulawak dan kunyit Sampel A230 A260 A280 A260/280 A260/230 T. Ngawi T. Wonogiri T. Sragen T. BPTO T. C3 T. Sukabumi K. Ngawi K. Wonogiri K. Sukabumi K. T1 K. T2 K. BPTO K. Ciemas 0.115 1.622 0.289 0.211 1.439 0.094 0.231 0.906 0.159 0.145 0.089 0.152 0.186 0.156 0.900 0.210 0.186 0.875 0.117 0.191 0.592 0.131 0.130 0.091 0.117 0.151 0.101 0.740 0.161 0.132 0.760 0.076 0.148 0.453 0.098 0.095 0.070 0.095 0.119 1.545 1.216 1.304 1.409 1.151 1.539 1.291 1.307 1.337 1.368 1.300 1.232 1.269 1.357 0.555 0.727 0.882 0.608 1.245 0.827 0.653 0.824 0.897 1.022 0.770 0.812 Contoh perhitungan: Konsentrasi DNA = A260 × 50 μg/ml × faktor pengenceran = 0.151 × 50 μg/ml × 100 = 755 ng/µL [DNA] ng/µL 780 4500 1050 930 4375 585 955 2960 655 650 455 585 755 21 Lampiran 3 Elektroforegram amplikon dengan primer RAPD OPA-1, OPA2, OPA-3, OPA-4, OPA-5, OPB-1, OPB-2, OPB-3, OPB-4, OPB5, OPC-1, OPC-2, OPC-3, OPC-4, OPC-5, OPD-1, OPD-2, OPD3, OPD-4, dan OPD-5 OPA-1 OPA-2 OPA-3 OPA-4 22 Lampiran 3 (lanjutan) OPA-4 OPA-5 OPB-1 OPB-2 23 Lampiran 3 (lanjutan) OPB-3 OPB-4 OPB-5 OPC-1 24 Lampiran 3 (lanjutan) OPC-2 OPC-3 OPC-4 OPC-5 OPD-1 25 Lampiran 3 (lanjutan) OPD-2 OPD-3 OPD-4 OPD-5 Ket: 1. Temulawak Ngawi 2. Temulawak Wonogiri 3. Temulawak Sragen 4. Temulawak Karang anyar 5. Temulawak C3 (Bogor) 6. Temulawak Sukabumi M. Marker 7. Kunyit Ngawi 8. Kunyit Wonogiri 9. Kunyit Sukabumi 10. Kunyit T1 (Bogor) 11. Kunyit T2 (Bogor) 12. Kunyit Karang anyar 13. Kunyit Ciemas 26 Lampiran 4 Pola pita DNA hasil amplifikasi PCR RAPD Temulawak Jumlah Pita No. Primer 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 OPA-1 OPA-2 OPA-3 OPA-4 OPA-5 OPB-01 OPB-02 OPB-03 OPB-04 OPB-05 OPC-1 OPC-2 OPC-3 OPC-4 OPC-5 OPD-1 OPD-2 OPD-3 OPD-4 OPD-5 Ket: T1 T2 T3 T4 T5 T6 ~ Sekuen Primer (5’-3’) CAGGCCCTTC TGCCGACGTG AGTCAGCCAC AATCGGGCTG AGGGGTCTTG GTTTCGCTCC TGATCCCTGG CATCCCCCTG GGACTGGAGT TGCGCCCTTC TTCGAGCCAG GTGAGGCGTC CCGCATCTAC CCGCATCTAC GATGACCGCC ACCGCGAAGG GGACCCAACC GTCGCCGTCA TCTGGTGAGG TGAGCGGACA Total : Temulawak Ngawi : Temulawak Wonogiri : Temulawak Sragen : Temulawak Karang anyar : Temulawak C3 (Bogor) : Temulawak Sukabumi : smear T1 T2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 0 0 0 0 0 0 7 1 0 0 0 0 0 0 2 0 21 T3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 T4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 ~ 11 0 0 0 0 0 0 17 T5 T6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Range Amplikon (bp) 0 0 0 921-4228 0 0 0 0 0 0 812-3908.45 180.56 ~ 537-3091.70 0 0 0 0 883-1130.44 0 38 27 Lampiran 4 (lanjutan) Kunyit No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Ket: K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 Primer Sekuen Primer (5’-3’) CAGGCCCTT C TGCCGACGT OPA-2 G AGTCAGCC OPA-3 AC AATCGGGCT OPA-4 G AGGGGTCTT OPA-5 G GTTTCGCTC OPB-01 C TGATCCCTG OPB-02 G CATCCCCCT OPB-03 G GGACTGGA OPB-04 GT TGCGCCCTT OPB-05 C TTCGAGCCA OPC-1 G GTGAGGCG OPC-2 TC CCGCATCTA OPC-3 C CCGCATCTA OPC-4 C GATGACCG OPC-5 CC ACCGCGAA OPD-1 GG GGACCCAA OPD-2 CC GTCGCCGTC OPD-3 A TCTGGTGAG OPD-4 G TGAGCGGA OPD-5 CA Total OPA-1 : Kunyit Ngawi : Kunyit Wonogiri : Kunyit Sukabumi : Kunyit T1 (Bogor) : Kunyit T2 (Bogor) : Kunyit Karang anyar : Kunyit Ciemas Jumlah Pita K1 Range Amplikon (bp) K2 K3 K4 K5 K6 K7 0 4 0 0 0 0 0 605-1040 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14 0 0 0 0 0 650-3330.28 0 4 0 0 0 0 0 650-1523.81 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 6 0 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 288-2750 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 40 0 0 0 0 0 40