PERENCANAAN AUDIT: BERBASIS RISIKO ATAU BERBASIS MASALAH? Nirwan Ristiyanto*) Abstrak Desawa ini di kalangan APIP sedang digalakkan untuk menerapkan perencanaan audit berbasis risiko. Risiko dimaksud adalah peluang terjadinya ancaman yang akan menggagalkan upaya pencapaian tujuan. Perencanaan audit demikian dimaksudkan agar APIP mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja auditi. Jika risiko dimaksud masih berifat potensi yang akan menggagalkan pencapaian tujuan, sebenarnya di sekitar kita sudah sering, bahkan banyak terjadi permasalahan yang menunjukkan bahwa tujuan telah gagal. Oleh karena itu perlu dipertanyakan, untuk membantu manajemen auditi, apakah APIP cukup menyusun perencanaan auditnya berbasis risiko atau harus berbasis masalah yang sudah benar-benar ada. Penulis mencoba membahas hal ini untuk dapat dipertimbangkan bagi para manajemen APIP. Pendahuluan APIP masih cenderung mengagendakan auditnya secara konvensional, yakni hanya melaksanakan audit yang sifatnya post-audit. Auditor internal masih sering melakukan auditnya secara tradisional, berorientasi pada perolehan temuan yang mengarah pada penyimpangan prosedur yang cenderung dipandang oleh auditi sebagai mencari-cari kesalahan auditi tanpa memberikan nilai tambah bagi perbaikan kinerja auditi. Perencanaan audit berbasis risiko pada dasarnya berusaha mengubah tradisi perencanaan di bidang audit yang cenderung post-audit menjadi audit yang benar-benar memertimbangkan segi kemanfaatan jasa yang diberikan APIP kepada pihak auditi. Dewasa ini di lingkungan APIP sedang digalakkan pemahaman dan penerapan Perencanaan Audit Berbasis Risiko. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sesuai dengan perannya, telah banyak memberikan pengarahan ke APIP lainnya untuk menerapkan perencanaan audit berbasis risiko. Permasalahan Meski perencanaan audit berbasis risiko berupaya untuk memberikan nilai tambah secara maksimal kepada auditi untuk memberikan jaminan bahwa kinerja auditi dapat 1 tercapai, namun menurut penulis, implementasinya mengalami birokrasi yang perlu disederhanakan. Menyusun perencanaan audit berbasis risiko identik dengan menerawang secara konseptual terhadap titik-titik kelemahan atas sistem pengendalian yang disusun oleh manajemen auditi. Keharusan penerawangan tersebut dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum dalam Standar 1110 Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/05/M.Pan/03/2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah. Dikemukakan bahwa penentuan prioritas kegiatan audit (harus) didasarkan pada evaluasi risiko yang dilakukan oleh APIP dan memertimbangkan prinsip kewajiban untuk menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat. Penyusunan rencana pengawasan tahunan tersebut didasarkan atas prinsip keserasian, keterpaduan, menghindari tumpang tindih dan pemeriksaan berulang-ulang, serta memerhatikan efisiensi dan efektifitas penggunaan sumber daya. Rencana strategis sekurang-kurangnya berisi visi, misi, tujuan, strategi, program, dan kegiatan APIP selama lima tahun. Sekalipun ketentuan untuk menyusun perencanaan memang harus dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu berbagai peluang risiko yang ada di wilayah kerja APIP, namun untuk ini cukup sulit karena memerlukan banyak enerji. Tingkat kesulitan ini akan sangat terasa jika dibandingkan dengan perencanaan audit berbasis masalah. Untuk perencanaan audit berbasis masalah, adanya kenyataan banyak masalah yang terjadi di sekitar kita, sehingga sangat mudah untuk menginventarisasi masalah yang sudah benarbenar ada. Di sekeliling kita banyak kita jumpai adanya masalah-masalah nyata, yang jika ditelusuri penyebabnya akan bermuara pada lemahnya pengendalian intern yang dibangun oleh manajemen auditi. Sebagai contoh, permasalahan tersebut adalah: sering terjadinya banjir, masih banyaknya anak-anak usia sekolah yang menggelandang di jalanan, adanya kemacetan di kota-kota besar, dan sebagainya. Jika ditelusuri, penyebab adanya permasalahan tersebut adalah lemahnya pengendalian manajemen atau kurangnya koordinasi dari institusi-institusi yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengurusi hal itu. Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan rumusan masalah, yakni mengapa perencanaan audit harus dilakukan dengan terlebih dahulu menerawang berbagai peluang 2 risiko terhadap suatu sistem pengendalian yang dirancang oleh manajemen? Bukankah di sekitar kita banyak permasalahan nyata yang perlu segera dicarikan solusinya? Konsepsi Risiko RAIS yang mengambil dari The Oxford English Dictionary (Oxford University Press, 1971) mendefinisikan risiko sebagai “bahaya yang memungkinkan dapat mengganggu tercapainya tujuan”. Ditinjau dari segi pihak yang menghadapinya, RAIS merincinya ke dalam risiko yang berkaitan dengan aktivitas yang kita jalani (voluntarily) dan risiko yang berkaitan dengan dampak buruk yang dapat menimpa kita semua, baik yang telah atau belum teridentifikasi terlebih dahulu (involuntarily). Risiko yang berkaitan dengan aktivitas yang kita jalani (voluntarily) meliputi risiko langsung dengan kegiatan, seperti seorang pengendara mobil akan menghadapi risiko kecelekaan di jalan, risiko merokok terhadap kesehatan diri seseorang, risiko jatuh dari memanjat di ketinggian, dan sebagainya. Sedangkan risiko yang berkaitan dengan dampak buruk terhadap kejadian yang dapat menimpa kita (involuntarily) tidak secara langsung berhubungan dengan kegiatan yang dijalaninya, melainkan berkaitan dengan kejadian alam pada umumnya seperti adanya sambaran petir, kebakaran, banjir, puting beliung, dan sebagainya. RAIS juga mengelompokkan risiko ke dalam risiko yang secara statistik dapat diverifikasi (statistically verifiable) dan tidak dapat diverifikasi (statistically nonverifiable). Risiko yang dapat diverifikasi, baik yang berkaitan dengan aktivitas maupun yang tidak berhubungan dengan aktivitas (risiko kejadian alam) adalah risiko yang telah teridentifikasi dari pengamatan secara langsung. Risiko yang telah terferifikasi dapat berasal dari risiko voluntary maupun involuntary dan dapat diperbandingkan satu dengan yang lain. Sedangkan risiko yang tidak terverifikasi adalah risiko yang berasal dari risiko involuntary. Tidak atau belum terverifikasinya risiko ini berhubung karena langkanya suatu data dan atau belum dapat dirumuskan secara matematis. 3 Konsepsi Manajemen Risiko Pada dasarnya, untuk merealisasikan tujuan organisasi, manajemen menyiapkan perangkat sistem untuk dapat merealisasikan tujuan yang telah ditetapkan. Sistem yang disiapkan tersebut sering disebut sebagai Sistem Pengendalian Manajemen (SPM), Sistem Pengendalian Intern (SPI), dan masih ada lagi beberapa istilah lainnya. Terhadap sistem yang telah dibangun tersebut, betapa baiknya sistem yang ada, selalu saja masih ada unsur memungkinkan tidak tercapainya tujuan. Kemungkinan tersebut dapat terjadi karena adanya keterbatasan dari sistem itu sendiri (Pusdiklatwas BPKP, Modul Diklat Sistem Pengendalian Manajemen: 2008), misalnya karena: (1) adanya pertimbangan yang kurang matang waktu menyusun sistem; (2) adanya kegagalan para pelaksana dalam menerjemahkan sistem yang ada; (3) pengabaian manajemen yang berarti manajemen kurang berkomitmen terhadap penerapan sistem; dan (4) ada kolusi di antara para pihak yang terkait dalam pelaksanaan sistem. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pasal 7 huruf a menyebutkan bahwa menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota memertimbangkan dalam risiko melakukan dalam pengendalian setiap kegiatan pengambilan pemerintahan keputusan dengan wajib cermat, menganalisisnya, dan menentukan bagaimana risiko tersebut diminimalkan Ditinjau dari sudut pandang auditi, mulai dari perencanaan hingga ke implementasi kegiatan, auditi juga masih kurang memerhatikan peluang-peluang risiko yang mungkin terjadi di kemudian hari. Akibatnya, auditi juga cenderung masih melaksanakan kegiatan secara trdisional, kurang efisien dan efektif atas kegiatan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban auditi masih cenderung bersifat administratif formal dan kurang mengarah pada akuntabilitas kinerjanya sebagai pelayan masyarakat. Untuk dapat mengurangi risiko kegagalan dalam mencapai tujuan organisasi, pihak auditi seharusnya menerapkan manajemen risiko. Dewasa ini telah banyak institusi, khususnya di kalangan usaha, termasuk di kalangan badan usaha milik negara/daerah (BUMN/BUMD) yang telah menerapkan manajemen risiko (Pusdiklatwas BPKP, Modul Diklat Audit Berpeduli Risiko: 2007). Di institusi tersebut, penanganan risiko yang tadinya 4 dilakukan secara terpisah-pisah, saat ini telah terfokus, terkoordinasi, dan telah ditetapkan kebijakan dalam penanganannya. Konsepsi Perencanaan Audit Berbasis Risiko Standar Audit butir 1110 mewajibkan APIP untuk menyusun rencana strategis lima tahunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan menyusun rencana pengawasan tahunan dengan prioritas pada kegiatan yang mempunyai risiko terbesar dan selaras dengan tujuan organisasi. Auditor intern mempunyai peran dalam membantu untuk memastikan bahwa manajemen telah melakukan pengelolaan risiko organisasi secara memuaskan. Sehubungan dengan peran tersebut, auditor intern harus melakukan identifikasi dan evaluasi risiko signifikan yang dihadapi organisasi (Pusdiklatwas BPKP, Modul Diklat Audit Berpeduli Risiko. 2007.) Untuk keperluan ini auditor intern perlu melakukan penaksiran risiko terhadap kecukupan proses pengelolaan risiko yang dilakukan oleh manajemen auditi. Pendekatan audit berbasis risiko menyarankan agar risiko-risiko yang mungkin dihadapi pleh manajemen auditi diidentifikasi dan dilaporkan kepada pihak manajemen apakah risikorisiko tersebut telah dapat dikelola dengan baik atau bahkan sebaliknya. Perencana audit terlebih dahulu harus mengelompokkan sejumlah risiko yang teridentifikasi, selanjutnya melakukan penaksiran risiko tersebut. Penaksiran risiko pada dasarnya untuk menentukan besarnya tingkat kemungkinan terjadinya risiko serta pengaruh atau akibat yang harus ditanggung oleh manajemen auditi. Penaksiran dilakukan dengan cara menguantifikasi peluang risiko yang sebenarnya bersifat kualitatif. Kuantifikasi tingkat risiko biasanya dilakukan dengan menyatakannya dalam bentuk angka, biasanya dalam skala lima. Angka tersebut mewakili tingkat risiko yang teridentifikasi, yakni: angka 5 menunjukkan risiko “sangat tinggi”, angka 4 “tinggi”, 3 “cukup tinggi”, 2 “rendah”, dan 1 “sangat rendah”. Untuk menentukan dapat diterima atau tidaknya suatu risiko perlu dibuat suatu tabel untuk mengalikan tingkat kemungkinan terjadinya risiko dengan taksiran dampak terjadinya risiko yang bersangkutan. Atas dasar perhitungan risiko tersebut, selanjutnya ditentukan auditi mana yang akan diaudit. Semakin tinggi tingkat risiko, semakin tinggi prioritasnya untuk diaudit. 5 Perencanaan Audit Berbasis Masalah Jika konsep audit berbasis risiko mengatur tatacara pemilihan auditi yang akan ditetapkan sebagai auditi terpilih, maka perencanaan audit berbasis masalah, pemilihan auditinya cukup dilakukan secara sederhana dengan melihat fakta yang telah terjadi dan fakta tersebut tidak dikehendaki keberadaannya. Fakta-fakata masalah yang dipilih adalah fakta yang bertentangan dengan keinginan masyarakat pada umumnya. Contoh-contoh seperti dikemukakan di atas, misalnya: terjadinya banjir, masih banyaknya anak-anak usia sekolah yang menggelandang di jalanan, adanya kemacetan di kota-kota besar, masih adanya pungutan liar dalam pelayanan publik, penebangan hutan secara liar, penambangan yang merusak konservasi alam, dan masalah-masalah lain seperti itu banyak kita dijumpai. Analisis Perencanaan Berbasis Risiko versus Berbasis Masalah Jika tujuan audit intern pemerintah memang diharapkan untuk ikut membantu meningkatkan kinerja institusi pemerintah, sebenarnya tidak perlu bersusah payah untuk mencari auditi yang akan diberi bantuan. Masalah-masalah seperti pada contoh di atas, sudah dapat dipastikan bersifat kontraproduktif terhadap tujuan pembangunan. Institusi pemerintah yang terkait dengan masalah-masalah tersebut harus dibantu dalam mencari solusimya. Jika ditelusuri apa yang menjadi penyebab terjadinya masalah, akan bermuara pada buruknya sistem pengendalian yang ada. Sistem yang ada mungkin belum berorientasi pada capaian kinerja yang mampu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sistem yang buruk tersebut dapat berupa kurangnya perencanaan, kurangnya koordinasi antarinstitusi terkait, kurangnya komitmen manajemen pada tingkatan strategis, kurangnya alokasi dana, pembagian kerja yang buruk, dan sebagainya. Dalam perencanaan audit berbasis risiko, secara makro orientasi pemilihan auditinya cenderung bertolak dari keberadaan institusi, bahkan sangat mungkin hanya bertolak pada SKPD pengguna anggaran. Pemilihan demikian akan memungkinkan lolosnya fakta-fakta permasalahan yang ada untuk dijadikan sasaran audit. Sebagai contoh, di Jakarta sering terjadi banjir. Dengan perencanaan audit berbasis risiko, ada kemungkinan APIP hanya akan 6 memilih satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memiliki anggaran terkait dengan penanganan banjir. Banjir di Jakarta merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Penanganannya memerlukan sejumlah SKPD, bahkan melibatkan pemerintah pusat.Untuk ini juga perlu komitmen dari pucuk pimpinan, dan masih banyak lagi faktor penting lainnya. Mengingat bahwa kenyataan Jakarta telah bertahun-tahun mengalami banjir, dapat diduga bahwa SKPD pengguna anggaran yang dijadikan sasaran audit belum mampu menangani banjir dimaksud. Sangat mungkin pula anggaran yang tersedia di SKPD tersebut kurang memadai. Dengan anggaran yang ada, SKPD tersebut hanya mengagendakan sebagian kecil dari sekian banyak kegiatan yang diperlukan. Sebagai SKPD pengguna anggaran, kegiatan-kegiatan yang tercantum dalam DPA (dokumen pelaksanaan anggaran) merupakan kriteria yang harus dilaksanakan. Dengan perencanaan berbasis risiko, maka auditor yang mengaudit SKPD tersebut tidak akan dapat berbuat banyak dibandingkan dengan permasalahan banjir yang sebenarnya. Auditor juga akan memandang bahwa DPA merupakan kriteria bagi SKPD yang diauditnya. Dalam keadaan demikian berarti auditor telah mengalami pergeseran kriteria. Dari kriteria yang seharusnya adalah terselesaikannya masalah banjir, bergeser ke ketaatannya pada DPA. Mengingat DPA dipandang sebagai kriteria, maka jika DPA telah dilaksanakan dengan benar, maka auditor juga akan mengemukakan bahwa SKPD telah melaksanakan kegiatan sebagaimana mestinya, sekalipun kegiatan yang dilaksanakan kenyataannya belum mampu mengatasi banjir yang ada. Auditor tersebut paling jauh hanya akan menyampaikan rekomendasi untuk menambah anggaran. Sebaliknya, dengan perencanaan audit berbasis masalah, maka APIP tidak akan menerbitkan surat penugasan audit untuk SKPD tertentu, melainkan penugasan untuk penanganan banjir. Lokus yang dijadikan sasaran auditnya adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam penanganan banjir di Jakarta. Dari sini auditor akan menemukan banyak kekurangan dalam penanganan banjir tersebut. Dengan basis masalah, auditor tidak hanya melihat kegiatan yang ada pada satu atau dua SKPD yang memiki anggaran untuk pengendalian banjir. Auditor akan menginventarisasi faktor-faktor penyebab banjir, menghitung besarnya curah hujan, luapan air dari daerah lain, 7 dan akan membandingkannya dengan kapasitas drainase untuk menyalurkan limpahan air yang ada. Selanjutnya auditor akan mengiventarisasi SKPD-SKPD yang seharusnya terlibat dalam penanggulangan banjir, perencanaannya, koordinasinya, penjadwalannya, penyediaan anggarannya, penanggung jawabnya, dan sebagainya. Seluruh kegiatan audit akan mengarah hingga mampu memberikan jaminan bahwa sistem pengendalian yang ada mampu menangani banjir yang selalu melanda Jakarta. Jika perencanaan audit berbasis risiko terlebih dahulu harus menerawang titik-titik lemah dari sistem pengendalian intern auditi, perencanaan berbasis masalah cukup dengan melihat fakta-fakta yang ada di sekitar kita. Keluhan masyarakat tentang kondisi lingkungan setempat yang tidak dikehendaki, pada dasarnya adalah masalah yang perlu diselesaikan. Auditor internal dapat memberikan kontribusi untuk mengatasi masalah yang ada tersebut. Jika perencanaan audit berbasis risiko mendefinisikan risiko dengan “peluang” terjadinya ancaman yang akan menggagalkan upaya pencapaian tujuan, sebaliknya perencanaan berbasis masalah sudah benar-benar berdasar fakta yang “telah terjadi dan kejadiannya tidak dikehendaki”. Jika peluang risiko terbesar yang teridentifikasi dalam perencanaan berbasis risiko adalah “sangat berisiko” yang berarti masih berupa kemungkinan, perencanaan berbasis masalah tingkat kemungkinannya adalah “sudah nyata” karena memang sudah terjadi, bukan hanya “peluang”. Memang, dari penerawangan potensi risiko, kita dapat mengidentifikasi celah-celah yang mungkin terjadi risiko dan dengan cara demikian kita dapat melakukan perbaikan. Semakin jeli kita dalam mendeteksi adanya peluang risiko, semakin baik pula antisipasi untuk mengatasinya. Dengan demikian sebenarnya antara perencanaan audit berbasis risiko dan berbasis masalah keberadaannya saling melengkapi. Karena APIP harus memberikan jaminan bahwa tujuan organisasi auditi akan dapat dicapai, maka sekecil apa pun peluang risiko yang akan berdampak pada gagalnya pencapaian tujuan harus dapat diantisipasi. Untuk itu maka sebaiknya dua metode tersebut diterapkan secara bersama-sama. Permasalahan yang sudah muncul dan perlu penyelesaian merupakan prioritas utama. Prioritas berikutnya adalah potensi risiko yang “sangat mungkin terjadi” yang teridentifikasi dari hasil penerawangan sistem pengendalian yang dibangun oleh manajemen auditi. Auditi yang memiliki peluang risiko yang lebih rendah merupakan prioritas berikutnya lagi. 8 Simpulan Perencanaan audit berbasis risiko memilih auditi berdasarkan urutan risiko yang paling tinggi, perencanaan audit berbasis masalah memilih auditi berdasarkan fakta-fakta yang sudah menjadi masalah yang harus diatasi. Baik masalah yang sudah muncul maupun risiko yang masih bersifat peluang, dua-duanya harus dicarikan pemecahan dan atau antisipasinya. Auditor internal selaku pembantu manajemen organisasi harus memberikan kontribusinya dengan memberikan jaminan bahwa seluruh program pemerintah di lingkungan kerjanya dapat tercapai dengan baik. Dengan demikian, antara perencanaan audit berbasis risiko dan perencanaan berbasis masalah keberadaannya saling melengkapi. Kedua metode tersebut semuanya dapat diterapkan. Permasalahan yang sudah muncul harus dijadikan prioritas utama, sedangkan prioritas berikutnya adalah bidang-bidang yang memiliki potensi risiko, diurutkan dari yang memiliki risiko dan dampaknya yang paling besar. Referensi: Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/05/M.Pan/03/2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan. Audit Berpeduli Risiko. 2007. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan. Sistem Pengendalian Manajemen: 2008. RAIS (The Risk Assessment Information System). What is Risk Assessment. 2013. http://rais.ornl. gov/tutorials/whatisra.html Ciawi, 14 Agustus 2013 *) Nirwan Ristiyanto, Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengawasan BPKP 9