MODUL PERKULIAHAN Filsafat Manusia FEMINISME Fakultas Program Studi Psikologi Psikologi Tatap Muka Kode MK 14 Abstract Kompetensi Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837 yang melahirkan feminism gelombang pertama dan kedua. Femimisme sebagai filsafat memperjuangkan kebebasan dan harkat martabat wanita dengan tetap memperhatiakan latar kebudayanya. Mahasiswa dapat memahami gerakan feminism dalam perspektif filsafat dengan memperhatikan gelombang perkembangan gerakan feminism yang dipelopori oleh para filosof dengan tetap memprhatikan latar kebudayaan. Disusun Olehpemii Fahrul Rozi & Juneman Feminisme # modul ini sepenuhnya disadur dari modul filsafat manusia karya Juneman (2008) yang berjudul “Manusia Dalam Wacana Filosofis”.# I. Feminismus: Kelahiran ”Universalisme Perempuan” yang Timpang Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg , sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan-putih di Eropa. Simone de Beauvoir dalam Le Deuxieme Sexe (1949), the Second Sex, memunculkan eksistensi perempuan sebagai kelas kedua. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa (baca: perempuan kulit putih) memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837 (baca: lebih awal tahun 1808). Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya membongkar glass-ceiling logophalos dengan ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (Yahudi kelahiran Algeria kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (Bulgaria kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam “the Laugh of the Medusa”, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis-putih-barat, meskipun tidak 2014 2 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id semua, banyak mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga; meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya (baca: tidak semua feminis Barat menjadikan perempuan dunia ketiga sebagai “objek” per se). Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya. Dalam wacana ini, banyak kasus (baca: meskipun tidak semua kasus), menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks “all women”. Dengan apropiasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki nya saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu. Senyampang dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial. Dalam melihat peran perempuan dalam urusan domestik, para feminis ini gagal melihat bahwa domestikasi perempuan kadangkala bukan bentuk penindasan. Dalam berbagai diskursus, banyak perempuan kulit hitam mengajukan protes bahwa tinggal di rumah dan tidak bekerja, bagi perempuan kulit hitam, adalah kemewahan. Karena perempuan kulit hitam dari lapis kelas bawah harus bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Di sini terlihat bahwa posisi ekonomi yang tidak paralel membuat universalisme penjajahan domestik menjadi tidak bisa diaplikasikan begitu saja tanpa menimbang aspek-aspek lain. Di sini ada ambivalensi persoalan yang bertolak belakang antara masalah perempuan kulit putih kelas menengah dan perempuan kulit hitam. 2014 3 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dalam persoalan pertama, domestikasi dianggap sebagai bentuk opresi. Perempuan dilarang bekerja di luar rumah, dan lain-lain yang non-domestik. Sedang untuk persoalan kulit hitam, mereka kebanyakan harus berada di luar rumah, bekerja keras, dan melingkupi pekerjaan kasar dan tidak terdidik. Domestikasi bagi perempuan kulit hitam adalah kemewahan yang kadang tidak terbeli. Ada paradoks dalam istilah domestikasi sebagai alat propaganda. Disputasi konsep yang diajukan dalam gelombang kedua ini terutama dalam aktualisasi universal sisterhood dalam objektifikasi. Dalam banyak kasus perempuan dunia ketiga dianggap sebagai yang terbelakang dan perlu mendapatkan pendidikan ala Barat tanpa ada prekonsepsi bahwa di dunia ketiga, para perempuan, juga memiliki pujangga-pujangga yang mengajarkan bagaimana bisa beradab. Misi peradaban berubah menjadi misi developmentalis, dimana perempuan dunia ketiga menjadi obyek pemuasan nafsu “ingin tahu” a la ilmu ilmiah Barat. Dalam ranah antropologi, banyak studi diarahkan pada dunia ketiga yang Obyek. Di sini ada pengaruh kuat untuk memenuhi tuntutan ilmu tentang yang lain. “Yang lain” sebagai yang berbeda dengan pusat adalah sumber penelitian yang digunakan untuk memuaskan rasa ingin tahu. Lagi-lagi, di sini, perempuan dunia ketiga mengalami objektifikasi ganda dalam relasi ekonomi-sosial yang tidak simetris. Penelitian-penelitian ini lebih jauh diaplikasikan oleh para elit-nasionalis (baca: pemerintahan developmentalis dunia ketiga) dalam kebijakan-kebijakan menangani perempuan. Walhasil perempuan melengkapi perannya sebagai sekelompok kelas marjinal yang menjadi obyek pelaksanaan kebijakan tanpa adanya proses prekonsepsi tentang Subyek. Dalam banyak kasus, perempuan dunia ketiga mengalami efek dramatis dari penyebaran alat kontrasepsi. Perempuan dunia ketiga, sekali lagi, diam, bisu, dan menerima begitu saja. Ini adalah proses konsepsi objektifikasi yang membiarkan mereka sebagai manusia yang tidak perlu diberi ruang untuk berbicara. Dalam konsep objektifikasi ini, perempuan diletakkan dalam sebuah ruang tanpa nama. Mereka adalah padang tempat benih disemaikan. Mereka mengambil bentuk rahim yang siap menampung orok. Di sini kuasa perempuan dimutilasi sedemikian rupa hanya dalam tataran obyek. Pengetahuan obyek ini berangkat dari konsepsi bahwa mereka tidak berpendidikan dan tidak beradab, maka perlu diberi pendidikan dan diperadabkan dengan kontrasepsi dan lain-lain. Hampir seluruh kasus penelitian reproduksi, usaha semua diupayakan untuk menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek, yang rela tidak rela harus menjalani peran kontrasepsi. Dalam penelitian psikologi, seorang feminis Giligan dalam penelitian menentang riset Kohlberg sebelumnya yang menganggap bahwa anak perempuan hanya mencapai nilai rendah dibanding anak laki-laki dalam perkembangan moral. Menurutnya hasil itu bias karena kebanyakan partisipannya adalah anak laki-laki, dan hasil penilaian 2014 4 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sangat dipengaruhi oleh nilai maskulin. Lebih jauh dia mengkritik persoalan etika hukum dan mengusulkan etika perhatian. II. Tubuh, Identitas, Penindasan, Perjuangan, dan Pembebasan Tubuh Perempuan Bagi filsuf perempuan Simone de Beauvoir, konsep tubuh sangat penting untuk memahami penindasan yang terjadi dalam ketidaksetaraan jender. Sebab, melalui fungsi tubuhlah identitas jender diciptakan. Mitos yang diciptakan oleh budaya patriarkat membuat banyak perempuan percaya bahwa dirinya tidak berdaya karena kelemahan tubuhnya. De Beauvoir menegaskan "Jika seseorang tidak memiliki keyakinan pada tubuhnya sendiri, dia akan segera kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. [Pemutlakan] kelemahan fisik perempuan ini meluas menjadi kerentanan perempuan secara umum; perempuan tidak punya keyakinan pada kekuatan yang tidak dialaminya sendiri dengan tubuhnya; perempuan tidak berani bereksplorasi, melakukan revolusi, mencipta; dia terkurung dalam sikap pasif dan tidak berdaya. Dia hanya bisa menempati tempat yang sudah ditentukan masyarakat baginya. Baginya, segala sesuatu dalam hidupnya sudah ditentukan, sudah tetap, dan pasti." Dikonstruksikan bahwa menjadi perempuan berarti menjadi makhluk yang berpusat pada fungsi tubuhnya, dalam hal ini rahim. Perempuan terutama dihargai karena perempuanlah satu-satunya yang bisa melahirkan kehidupan baru melalui fungsi reproduksi. Melalui fungsi tersebut, keberlangsungan eksistensi manusia dapat dipertahankan. Namun, melalui fungsi tersebut pula, perempuan dibelenggu dalam sebuah 'kodrat'. Perempuan diakui 'ada' dan berguna dalam kehidupan sebatas sebagai penyedia rahim dan penjaga keberlanjutan keturunan. Ketiadaan fungsi rahim menjadikan seorang perempuan berkurang nilainya, bahkan tidak 'dianggap'. Budaya patriarkat memulai riwayat penindasannya terhadap perempuan dengan stigmatisasi negatif terhadap kebertubuhan perempuan. Unsur-unsur biologis pada tubuh perempuan dilekati dengan atribut-atribut patriarkat dengan cara menegaskan bahwa tubuh perempuan adalah hambatan untuk melakukan aktualisasi diri. Perempuan diciutkan semata dalam fungsi biologisnya saja. Dengan cara demikian, tubuh bagi kaum perempuan tak lagi dapat menjadi instrumen untuk melakukan transendensi sehingga perempuan tak dapat memperluas dimensi subjektivitasnya kepada dunia dan lingkungan di sekitarnya. Tubuh yang sudah dilekati nilai-nilai patriarkat ini kemudian dikukuhkan dalam proses sosialisasi serta diinternalisasikan melalui mitos-mitos yang ditebar ke berbagai pranata sosial: keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan mungkin juga negara. Dalam kerangka penjelasan seperti inilah maka perempuan kemudian diposisikan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex) dalam struktur masyarakat. Akibatnya, perempuan tak 2014 5 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dapat mengolah kebebasan dan identitas kediriannya dalam kegiatan-kegiatan yang positif, konstruktif, dan aktual. Dalam situasi yang demikian ini, pola relasi kaum laki-laki dan perempuan menjadi tak ramah lagi. Kaum laki-laki tak menghendaki adanya ketegangan relasi subjek-objek, sebagaimana dijelaskan oleh filsuf-filsuf eksistensial, dengan menyangkal subjektivitas perempuan dan menjadikannya sebagai pengada lain absolut. Pada titik inilah pemikiran Beauvoir tentang etika ambiguitas menjadi penting dikemukakan. Dengan etika ambiguitas, Beauvoir menolak sikap yang ingin mengelak dari ketegangan relasi tersebut. Menurut Beauvoir, ketegangan antara “kebutuhan akan orang lain” dan “kekhawatiran dikuasai orang lain” (diobjekkan) merupakan situasi yang harus diterima apa adanya dan ditransendensikan ke dalam situasi yang lebih proporsional dan manusiawi. Peradaban mengajarkan perempuan sebuah kewajiban, yaitu mengabdi kepada orang lain. Pengabdian itu ia lakukan melalui fungsionalitas tubuhnya. Padahal, ketika tubuh tak lain sekadar merupakan instrumen alam, itulah penyangkalan paling kuat terhadap kemanusiaan manusia. Kehadiran perempuan sebagai manusia, sebagai subjek hidup yang berkehendak dan berakal budi, digerus begitu saja. Perempuan tidak berhak untuk berpikir neko-neko dan turut campur dalam urusan yang “berat-berat” karena tanggung jawab sebagai pengabdi pada orang lain sudah cukup memberatkan. Identitas perempuan tidak dianggap penting, kecuali yang dirujukkan pada hubungannya dengan laki-laki. Otonomi perempuan menjadi tidak layak untuk diperhitungkan. Oleh karena itu, adalah sebuah prestasi besar jika perempuan mampu mengetahui apa yang diinginkan oleh-nya dan mengaktualisasikan diri secara utuh dan apa adanya. Perempuan yang berhasil menyandang peran yang menunjukkan keberdayaannya disebut sebagai individu yang berani dan mandiri (independent woman). Permasalahannya, perjuangan jender tidak bisa berhenti pada level individu. Menurut de Beauvoir, kaum perempuan sendiri bertanggung jawab terhadap penindasan yang dilakukan kepadanya. Melalui sikap diam dan pasrah, perempuan melanggengkan upaya peminggiran terhadap kaumnya. Tak heran, diskriminasi jender terus lestari. Sebenarnya, peran perempuan mempertahankan dominasi laki-laki menunjukkan gejala ketidakdewasaan. Perempuan takut memperoleh kebebasan sebagai hakikat manusia dewasa, dan berusaha menghindar dari tanggung jawab dan resiko yang menyertai kebebasan tersebut. Jalan pembebasan kaum perempuan ditempuh dari dua jalur utama, yakni level pemikiran dan praktik. Pada tataran pemikiran, tubuh perempuan harus dibebaskan dari label-label yang ditempelkan oleh budaya patriarkat yang membuatnya tak leluasa melakukan proses transendensi. Selain menempatkan konsep subjek dengan tubuh yang berbeda dan ambigu, Beauvoir juga menyerukan untuk mengubah pola relasi antara kaum 2014 6 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id laki-laki dan perempuan dari ikatan biologis dan fungsional menjadi ikatan manusiawi dan etis, yang terangkum dalam semangat persahabatan dan kemurahan hati. Di level praktik, Beauvoir mengusulkan pentingnya kemandirian ekonomi sebagai pintu pembuka bagi pembebasan tubuh perempuan, yang akan semakin mantap jika dipadukan dengan perlakuan setara terhadap perempuan di ranah sosial, budaya, dan politik, yang dicapai melalui revolusi sosial. De Beauvoir menyerukan kepada kaum perempuan: hiduplah secara otentik! Tidak ada salahnya perempuan menunjukkan nilai dan cara hidup yang orisinal, sesuai dengan eksistensinya sebagai perempuan. Perempuan bisa memaknai tubuhnya sebagai belenggu, namun bisa juga sebaliknya: keistimewaan tubuh perempuan menjadikannya sebagai surga, menuju keotentikan dan pembebasan. Perlu ditambahkan pula bahwa ketika tubuh perempuan mengalami perbedaan makna dalam ruang episteme berbeda-beda, interpretasi terhadap perempuan juga tidak monolitik. Perempuan sendiri mengidentifikasikan dirinya bergantung pada episteme di mana dia berada. Perempuan dalam episteme Islam akan mengetahui apa itu arti aurat. Dan makna dari jilbab juga mengalami transformasi dari kreator asalnya, Arab, sehingga jilbab sendiri sebagai sistem penutup aurat juga mengambil bentuk cukup beraneka ragam, bentuk purdah, jubah hitam panjang, jilbab panjang, jilbab pendek dan warna-warni ala Muslim Indonesia. Perempuan dalam episteme agama Katolik, misalnya, juga menerjemahkan tubuh perempuan dengan penanda berbeda. Perempuan Bali dalam episteme Hindu-Bali juga mengejawantahkan teks-teks dan kode etik keagamaan dengan cara transformatif dibandingkan dengan asal agama itu di India. Demikian juga perempuan dalam ranah episteme berbagai suku dan etnis budaya di seluruh Indonesia. Perempuan Indonesia adalah perempuan dengan penjelasan nonmonolitik. Perempuan Indonesia adalah perempuan yang berada dalam kompleksitas dan kemajemukan ruang episteme yang sangat berbeda dan bahkan paradoksal satu sama lain. Berangkat dari realitas dasar being Indonesian women, UU Antipornografi dan Pornoaksi (UU APP) adalah bentuk simplifikasi tubuh perempuan Indonesia. UU itu hanya terbatas pada ruang episteme salah satu penggagas ide UU yang tidak memerhatikan kemajemukan realitas tubuh perempuan Indonesia yang lain. Maksud dan niat baik UU itu seyogianya berfokus pada perlindungan terhadap tubuh perempuan yang dieksploitasi dalam tindakan pornografi dan pornoaksi, meskipun kedua istilah itu juga sulit diidentifikasikan atau dijelaskan dalam satu paragraf penjelasan. Dalam hubungannya dengan pornografi, penulis menyebutkan bahwa para feminis membedakan antara pornografi dengan erotika. Untuk para feminis, antara lain disuarakan oleh Andrea Dworkin dan Catharine MacKinnon, pornografi adalah grafis berbentuk gambar atau katakata yang eksplisit secara seksual menyubordinasi perempuan. 2014 7 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Eilen O‘Neill mencoba mendefinisikan erotika menurut garis- garis moral dan sampai pada definisi "erotika mengandung muatan yang lebih bersifat seksual, bukan cabul, dan condong membangkitkan minat seksual pihak penatap". Sedangkan "pornografi lebih cenderung merupakan representasi yang merangsang birahi melalui ketidakabsahan seksual dari apa yang direpresentasikan". Feminis yang lain, Maria Marcus, menggolongkan pornografi menurut selera seks penggunanya sebab inilah yang mendorong pornografi ke dunia industri karena konsumen pornografi berkepentingan memenuhi kebutuhan seksnya. Menurut Marcus, tidak ada pornografi yang terlepas dari sikap masyarakat terhadap perempuan. Gambar pornografis seolah menyampaikan pesan bahwa seksualitas tidak lebih dari sekadar barang, dan dengan demikian perempuan juga dianggap hanya sebagai barang. Pandangan penting lain dari feminis adalah apa yang disampaikan Susanne Kappeler. Melalui pemahaman mengenai representasi subyek tentang obyek, maka pornografi bukan sekadar grafis praktik seks perempuan yang dilacurkan, khayalan tentang seks yang berfungsi sebagai barang hiburan, batu loncatan masuk ke dunia selebriti yang gemerlap, atau lapangan kerja berbayaran menggiurkan untuk modelnya. Bagi Kappeler, pornografi adalah representasi kekuasaan yang implisit menyatakan pemegang kekuasaan adalah subyek representasi, yaitu para produsen, konsumen, penulis skenario, dan pembaca/penonton pornografi. Di sisi lain, ada ketidak-kuasaan yang dimunculkan pada kelas atau jender yang direpresentasikan tanpa akses terhadap sarana produksi barang pornografis itu. Unsur yang diperlukan untuk citra atau representasi pornografis menurut Kappeler bukan seks maupun kekerasan, melainkan obyek yang sebenarnya adalah korban. Di dalam masyarakat patriarkhi, tubuh perempuan merupakan fokus tatapan mata dan di dalam pandangan penatapnya tubuh atau bagian tubuh diberi makna tertentu secara kultural hanya sebagai seks. Dengan demikian, adegan pornografis tidak tidak selalu membutuhkan praktik seks eksplisit, seks dengan kekerasan, seks yang terang-terangan menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan menggunakan cara berpikir Sartre, objektivikasi perempuan dalam representasi pornografi merupakan peruntuhan status epistemologi perempuan karena cara dia mengada dalam dunia sama sekali tidak merujuk pada "adabagi-dirinya-sendiri" (manusia), tetapi dijadikan "perempuannya laki-laki" atau "ada-dalamdirinya-sendiri" atau dipandang sebagai benda. Pun di Barat, yang tersohor dengan liberalismenya, masih membatasi pornografi dan pornoaksi. Bisa dipahami keresahan sebagian masyarakat yang idenya naik menjadi UU ini. Yang sebenarnya menjadi prioritas utama bangsa ini adalah good governance dan penegakan hukum. Tanpa kedua hal itu, UU macam apa pun hanya akan tersimpan dengan 2014 8 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id baik di lemari dokumentasi. Keresahan UU itu lahir karena adjektif yang disematkan pada tubuh perempuan. Tubuh Perempuan yang seksi, cantik, gemulai. Adjektif itu menjadi penanda absolut bagi tubuh perempuan. Dengan adjektif itu, tubuh perempuan bisa menjadi obyek per se. Kategori adjektif juga bergantung di mana dia berada dalam ruang episteme. Dalam ruang episteme negara Barat liberal, kaki perempuan mungkin tidak membuat laki-laki terangsang. Namun, dalam ruang episteme negara di Arab yang mewajibkan perempuan menutup tubuh dan rambutnya, bisa jadi kaki perempuan adalah sesuatu yang sangat menarik. Apa yang disebut sebagai cantik dan seksi, atau apa yang disebut sebagai merangsang atau tidak merangsang, menjadi tidak menentu dan terperangkap pada ruang waktu dan tempat berbeda. Dengan kategori relativitas adjektif, UU ini telah menyederhanakan ruang adjektif bagi tubuh perempuan. Penyebutan paha, pusar, serta payudara perempuan sebagai sesuatu yang seksi dan perlu dilarang untuk dipertontonkan adalah masih terperangkap dalam salah satu ruang episteme. UU itu tidak memiliki kemampuan mengakomodasi kemajemukan ruang episteme adjektif yang berkisar dari Sabang sampai Merauke. Perempuan Indonesia adalah perempuan yang tidak bisa hanya diidentifikasikan dalam salah satu ruang episteme. Misalnya ruang episteme Islam: bahwa perempuan harus menutup auratnya. Atau hanya dalam episteme dari salah satu agama. Perempuan Indonesia memiliki penjelasan sangat kompleks, beragam, dan nonlinear. Sifat untuk perempuan Indonesia sangat kontekstual. Satu penggeneralisasian atau satu adjektif untuk tubuh perempuan Indonesia tidak cukup. Bila satu adjektif ini dipaksakan dalam bentuk UU, yang akan terjadi hanyalah kolonisasi internal antara satu hegemoni episteme terhadap minoritas partikular episteme lain yang jumlahnya tidak sedikit di Indonesia. UU itu telah berangkat dari logika ilmiah bahwa tubuh perempuan adalah “bahan” atau “obyek”. UU itu berbicara “tentang” (speak about) perempuan. Seharusnya UU itu berbicara “kepada” (speak to) perempuan. Kerangka filosofis yang melahirkan UU itu terbukti gagal melihat perempuan sebagai subyek dan paradigmanya dibangun untuk memenjarakan tubuh perempuan. Metodenya telah terperangkap pada obyektivikasi perempuan. Sekali lagi, UU itu telah menjadikan perempuan Indonesia “masih” di kelas kedua. Perempuan hanya sebagai subordinat. Perempuan Indonesia hanyalah cantolan bagi tubuh perempuan sendiri. Tubuh perempuan digambarkan dengan adjektif-adjektif yang minor dan negatif. Tubuh perempuan seolah sumber keresahan. Perempuan seolah sebagai gangguan. Apa yang disebut santun, baik, sopan, dan tidak porno telah diambil alih salah satu pihak yang mengangkangi ranah episteme tertentu. Perempuan hanya dipenjara dalam 2014 9 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id salah satu ruang episteme itu. Jika UU itu ingin akomodatif, UU itu hendaknya berbicara kepada perempuan Indonesia. III. Feminismus: Menuju Kesadaran Subyek Pada tahun 1978, Said menulis Orientalism. Tulisannya menandai kelahiran gerakan poskolonialisme. Ide dasarnya adalah bahwa telah ada kesalahan interpretasi terhadap Timur oleh Barat. Timur sebagai yang oriental, eksotik, perempuan, irrational, traditional, yang Lain (baca: Other), Subaltern, tidak beradab. Barat sebagai yang occidental, maskulin, rational, Center dan beradab. Meskipun sebelum usaha Said ini dilakukan, telah banyak aktivis-theorist-praktisi poskolonial lain seperti Aime Cesaire, Kwame Nkrumah, Frantz Fanon, Albert Memi, dan Homi Bhabha. Yang kemudian berkembang lebih lanjut sampai sekarang berkat usaha-usaha Bill Ashcroft, Robert J.C. Young, Achille Mbembe, Ranajit Guha, AijazAhmad, JanMuhammad, dll. Ini adalah proses dekonstruksi terhadap bagaimana Barat melihat Timur, dan adalah usaha untuk menentang white man‟s burden to civilize Others. Gerakan ini mendapatkan re-dekonstruksi lebih lanjut dari para feminisnya, feminisme poskolonial atau feminisme dunia ketiga, seperti Gayatri Spivak, Trinh T Minh-ha, Chandra Talpade Mohanty, Uma Narayan, Anne McClintock, bell hooks, dll. Gerakan ini mengalami quadruple hermeneutics karena harus melawan dari arus postcolonial-malecontemporary dan white-feminist-contemporary. Melawan white-man-burden; colored-manburden; dan terakhir white-female-burden. Dekonstruksi ini adalah perjuangan untuk menjadi subyek. Selama peralihan dari masa terjajah dan merdeka, perempuan dari dunia ketiga telah lama menjadi obyek dari penjajahan. Dalam era kolonialisasi, perempuan-perempuan ini banyak yang menjadi budak dan konkubin. Pada awal abad 17, VOC telah berhasil menjadikan Batavia (baca: Jakarta) sebagai pusat perdagangan. Dan sejak itu setidaknya 2000 orang, kebanyakan perempuan dan anak-anak dari Bali diperjualbelikan di pasar budak setiap tahunnya . Pada kasus Jawa, budak-budak Jawa diekspor untuk membangun Suriname. Pada tahun 1890 (baca: lebih dari 115 tahun yang lalu) buruh kontrak Jawa (baca: budak) pertama tiba di Suriname yang merupakan daerah kekuasaan Belanda. Sekarang terdapat sekitar 80 ribu orang Jawa di Suriname di samping dari Hindustan, Cina, Kreol India dan Eropa. Perempuan-perempuan Jawa pada waktu itu juga tidak luput dari praktik konkubinase dari penjajah Belanda. Masih dalam penelitian Kraan disebutkan bahwa perempuan Bali sangat diminati karena mereka bisa makan daging babi. Sedangkan perempuan Jawa yang kebanyakan Muslim tidak bisa makan babi. Dan secara kuliner, perempuan Bali juga dianggap lebih pintar memasak. Sejak tahun 1920, Bali diproyeksikan sebagai pusat pariwisata sampai dengan sekarang, di mana Bali berada dalam posisi 2014 10 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sebagai obyek dalam jaringan turisme dunia. Dan perempuan-perempuan dunia ketiga secara massal bekerja sebagai penjaja seksual. Fenomena ini sama dengan dibentuknya Thailand, khususnya pantai Pattaya, sebagai pusat prostitusi di Thailand (baca: proses ini dibentuk oleh penjajah Inggris mulai awal abad 19 bersamaan dengan Bali). Proses ini menjerat perempuan Asia dalam industri transnasional prostitusi. Hal ini tidak lepas dari pembentukan image yang telah dibangun dua ratus tahun sebelumnya sebagai konkubinasi bagi penjajah Eropa yang datang ke Asia Tenggara. Ini adalah proses akumulasi politik yang asimetris dan tidak diskursif. Di Indonesia, diperkirakan 100.000 anak diperjualbelikan setiap tahun-nya sebagai pekerja seks. Sepertiga dari jumlah itu adalah remaja di bawah 18 tahun. Penyebab trafficking itu adalah kemiskinan, status sosial rendah, buruh murah, seks komersial, lemahnya penegakan hukum, diskriminasi, daerah bencana dan daerah konflik. Salah satu NGO yang gigih bergerak melindungi anak-anak adalah KAKAK yang bekerjasama dengan UNICEF dan berpusat di Surakarta. Perjalanan dari dunia teori ke praxis ini adalah perjalanan panjang yang tidak hanya melibatkan kesadaran politik global tetapi juga sejarah kolonialisme yang melanda dunia ketiga. Fakta teori dalam poskolonial adalah fakta praxis atas diperjualbelikannya perempuan-perempuan dunia ketiga dalam pasar seks transnasional. Dengan perbedaan geografis, budaya, ras, dan relasi sosial tersebut, universal sisterhood menjadi problematis. Definisi perempuan sebagai “semua perempuan adalah sama, penderitaan perempuan adalah sama, penindasan terhadap perempuan adalah sama, penjajahan terhadap perempuan adalah sama”, sekali lagi perlu dipertanyakan kembali. Universalisme ini di satu sisi telah melibas adanya partikularisasi dan difference yang melekat pada tubuh. Persoalan auxiliary/adjective yang berbeda posisi-nya. Subyek dalam banyak diskursus merujuk pada berbagai rasionalisasi dalam diskursus pengetahuan yang beretika. Ketika suara peneliti hilang dalam obyektifitas ilmiah, hal ini akan menggeret kepada situasi hilangnya tanggung jawab. Dalam wacana dekonstruksi sangat diperlukan pengetahuan tentang dekonstruksi esensi. Esensi ini berkaitan erat dengan jenis kelamin, ras, agama, budaya, kelas, relasi sosial, Negara dan bangsa. Penemuan terhadap esensi, terkadang, membuat si pencari terpenjara dalam esensi tersebut tanpa mampu merekonstruksi kembali dengan menggunakan perspektif yang berkeadilan jender. Terperangkap dalam tubuh perempuan dan esensi-nya sebagai makhluk kedua tanpa bisa melihat konsepsi lebih inti dari maksud menemukan esensi. Kehadiran esensi adalah kelahiran kesadaran. Kelahiran esensi bukanlah kelahiran perbedaan. Perbedaan diakui sebagai sebuah perbedaan tanpa terjerembab dalam perbedaan per se. Di sini penemuan terhadap esensi mengacu pada politik identitas. Politik identitas membimbing seseorang untuk memiliki politik agensi. 2014 11 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Perempuan dunia pertama adalah perempuan terdidik a la barat dengan kesadaran akan politik identitas dan politik agensi. Hal ini membuat mereka memiliki kemampuan menerobos akses hegemoni yang menindas. Tetapi perempuan dunia ketiga adalah perempuan yang tidak terdidik a la barat dan kesadaran politik identitas-nya, dalam konteks sekarang, telah dirampas dengan daya global, dengan sebutan globalisasi. Banyak perempuan dunia ketiga menjadi terserap daya global ini dan tercerabut dari akarnya. Banyak intelektual perempuan dunia ketiga adalah produk pencerabutan ini. Len Ang (Feminis asal Indonesia yang menetap di Belanda kemudian di Australia) menyebutnya sebagai “identity panics” . Jadi politik identitas mereka menjadi kabur dan semu (baca: tidak semua intelektual perempuan dunia ketiga). Sebenarnya, di sini memang terletak kelemahannya tapi juga kekuatannya, bahwa resistensi yang dialami perempuan dunia ketiga adalah jenis resistensi yang jauh berbeda dengan resistensi yang dialami perempuan dunia pertama. Perempuan dunia ketiga harus mencari role model yang ditampilkan dalam banyak tabung kaca yang berpusat pada diskursus barat. Perempuan dunia ketiga adalah perempuan yang mengalami krisis politik identitas yang akhirnya membimbing mereka mengalami kesulitan dalam meng-aktual-kan daya agensi-nya. Dengan asumsi ini, universalisme perempuan menjadi sangat problematis dan harus dipertanyakan kembali. Perempuan harus dikaitkan dengan partikular yang melekat dalam dirinya sebelum dia memasuki wacana diskursus. IV. Perempuan Indonesia: Perempuan Jawa? Dalam banyak kancah pertunjukkan feminisme a la Indonesia, kebanyakan aktivis adalah perempuan Jawa yang berdiam di Jawa, terutama di pusat-pusat peradaban seperti Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Bandung, Semarang. Meski ada banyak usaha dari perempuan luar jawa untuk dapat masuk ke dalam center, la parole / Jakarta, representasi mereka tidak mampu mewakili luasnya aras persoalan yang masih membebani mereka. Dalam banyak kasus, Jawa memang telah menjadi pusat bagi Indonesia. Jawa menjadi tempat kelahiran dialektika feminisme. Usaha-usaha ini dipelopori oleh banyak perempuan Jawa dan banyak dipimpin oleh perempuan Jawa. Jawa-sentrisme dalam gerakan feminisme Indonesia. Dalam konteks media, perempuan Jawa identik dengan image perempuan Indonesia. Dalam berbagai tayangan media, perempuan Indonesia digambarkan sebagai perempuan Jawa yang halus/lembut, submisif/tunduk, kelas kedua, ibu yang baik, saudara perempuan yang mengalah pada saudara laki-lakinya, anak perempuan yang kelas kedua. Semua dikontekskan dalam situasi ke-Jawa-an. Dalam banyak kasus urusan kosmetika, merujuk ke budaya keraton Jawa atau Jogjakarta. Penayangan iklan-iklan juga hanya berbasis pada budaya konsumerisme. Dalam pembentukan image dan stereotyping beauty 2014 12 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id adalah stereotyping a la Barat yang ‗putih‘. Ini adalah perpaduan Barat-Jawa. Bahwa perempuan yang cantik adalah yang putih (baca: Barat) dan lembut (baca: Jawa). Perempuan bukan-Jawa mengalami kolonialisasi ganda dengan harus menjadi Barat dan menjadi Jawa. Hal ini bisa dilihat dalam keseharian melalui kehadiran iklan dalam televisi. Tidak dipungkiri, semua stasiun televisi di Indonesian berpusat di Jawa, terutama Jakarta. Pada titik ini, persoalan desentralisasi pusat kekuasaan dalam ranah image-setting dan bidang lain adalah proses langsung dikte Jawa ke luar Jawa. Meskipun usaha desentralisasi ini telah dilakukan dengan hadirnya otonomi daerah, peran Jakarta sebagai la parole Indonesia belum bergeser. La parole ini harus dipertanyakan dan dipersoalkan selama dia masih bertendensi untuk memusatkan dan men-general-isasikan partikularisme melalui politik identitas yang menuju politik agensi melalui resistensi. Dalam politik identitas, perlu dilakukan penelanjangan esensi. Penelanjangan esensi adalah proses pembukaan kembali arsip sejarah bangsa. Sejarah etnis. Sejarah ras. Sejarah tubuh. Dan sejarah sastra budaya. Dalam khasanah pembentukan hegemoni politik resistensi tumbuh karena adanya hegemoni. Hegemoni pusat (baca Jakarta) ke pada partikular-nya (luar Jawa). Ini membawa proses negoisasi menjadi tersumbat. Persoalan ketersumbatan ini adalah persoalan mutilasi. Dalam berbagai sektor, jelas terlihat, dalam upaya generalisasi dan developmentalisasi, telah terjadi mutilasi terhadap para partikular, baik itu bersifat tubuh/etnis dan bahasa/budaya. Sebagai lambang pakaian kebangsaan Indonesian pada waktu itu juga hanya mempromosikan baju kebaya (baju perempuan Jawa). Lebih jauh ada usaha akomodasi dari berbagai etnis untuk bisa menjadi satu dalam satu tubuh. Tapi ini adalah sebenarnya mutilasi dari aspek lain yang lebih penting. Penampilan Indonesia telah direkayasa bagaimana bisa merepresentasikan semuanya, tapi secara mutilatif. Aspek ini sebenarnya mewarisi kebijakan struktur sosial dari penjajahan Belanda yang masih hidup terpelihara dengan bagus sampai sekarang. Sebagai Indonesia adalah penting sebagai Jawa. Motto para penjajah pada waktu itu sebagai “pecah dan jajah”. Apabila politik identitas setiap etnis telah berhasil dipecah, maka mereka akan mudah dijajah. Seperti yang terjadi sekarang, bahwa representasi Jawa masih dominan dalam berbagai aspek. Hal ini menggeser posisi Belanda oleh elit Jawa. Dengan pengetahuan politik esensi melahirkan kembali kesadaran kritis. Kesadaran kritis ini adalah sikap reflektif bagaimana rasanya menjadi: “perempuan Jawa kamu” dan “perempuan bukan Jawa kamu”. Ini mengandung implikasi yang jauh berbeda. Menjadi “Jawa kamu” sangat berbeda dengan “bukan Jawa kamu” dalam konteks ke-Indonesia-an. 2014 13 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Elit-elite strategis harus mampu melihat persoalan ini tidak sekadar persoalan pemerataan. Tetapi bagaimana pengetahuan Subyek bisa membiarkan politik agensi berperan dalam aktualisasi politik identitas. Dalam politik dekonstruksi, dekonstruksi bukan menjadi akhir dari perjalanan. Menjadi titik dan selesai. Tetapi perlu ada rekonstruksi yang memiliki kesadaran esensi, ras, identitas, sejarah dan agensi. Dengan konstruksi, semangat dekonstruksi bukan semangat nihilisme dan pesimisme. Semangat dekonstruksi adalah semangat optimisme. Yang menjadi pusat perhatian adalah penolakan terhadap identifikasi monolitik terhadap Perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia perlu melakukan penolakan terhadap politik mutilasi dalam proses identifikasi ini. Tulisan ini sangat terbatas dan tidak terbebas dari politik mutilasi dalam politik identifikasi. Rekonstruksi ini berangkat dari politik tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap Subyek. Keberangkatan Subyek adalah keberangkatan dari dalam diri sendiri. Permberdayaan diri lebih penting dari segala proses identifikasi tersebut. Karena proses identifikasi sendiri tidak lepas dari politik mutilasi. V. Ikhtisar Uraian di atas membongkar gerakan feminisme gelombang pertama pada era penjajahan Eropa dan gelombang feminisme kedua pada era setelah bangsa-bangsa terjajah memperjuangkan kemerdekaannya. Kelahiran post-strukturalisme dan postmodernisme, ditandai dengan kelahiran gerakan poskolonialisme yang melahirkan feminisme gelombang ketiga. Gelombang ini menentang universalisme perempuan. Pada lingkar terkini ini perempuan dunia ketiga menyuarakan suara mereka yang telah dijadikan sebagai obyek oleh feminis-individualis-Barat. Gerakan ini dipelopori oleh feminis poskolonial. Dengan kerangka feminisme dunia ketiga, uraian di atas lebih lanjut, membongkar identifikasi perempuan Indonesia sebagai perempuan Jawa. Mengeksplorasi kehadiran perempuan Indonesia sebagai Obyek (baca: Perempuan selain Jawa) bagi perempuan Jawa. Sebagai konklusi adalah proses rekonstruksi. Patut ditambahkan di sini bahwa para tokoh feminis telah menawarkan metode penelitian feminis, yang berangkat dari keprihatinan atas banyaknya penelitian tentang hubungan jender yang pada akhirnya bias jender—dan ini memang sangat berkaitan dengan pandangan ilmu sosial yang seksis. Meski banyak kaum positivis, terutama laki-laki, sulit menerima metodologi ini, para tokoh feminis tetap sepakat bahwa metodologi feminis akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan. Intinya, metode baru ini harus mengizinkan subjektivitas di mana perempuan mempelajari perempuan dalam proses interaktif tanpa kesenjangan subjek / objek yang dimunculkan antara peneliti dan yang diteliti. Judith Lorber menekankan bahwa metodologi feminis lalu menjadi satu-satunya cara untuk 2014 14 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id mengetuk masuk dan memahami kenyataan yang dialami perempuan, dan dengan ini kaum feminis memberikan kontribusi unik pada ilmu sosial tentang pola keterkaitan antar sebab dan akibat dari pertanyaan-pertanyaan yang belum terlihat oleh peneliti nonfeminis. 2014 15 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Baker, A. 2000. Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Kanisius Juneman. 2008. Manusia Dalam Wacana Filosofis, Modul Filsafat Manusia Universitas Mercu Buana. Leahy, L. 1989. Manusia, Sebuah Misteri. Jakarta: Penerbit Gramedia. 2014 16 Filsafat Manusia Juneman, S.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id