9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Pengertian dan Batasan Umur Lansia Lanjut usia atau lansia merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia. Hal ini pasti dialami bagi individu yang memiliki umur panjang. Lansia bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan untuk beradaptasi terhadap stimulus internal maupun internal yang dipengaruhi perubahan struktur dan fungsi anatomi tubuh. Untuk dapat mengatakan seseorang telah lansia, para ahli membedakannya menjadi usia kronologis dan usia biologis. Usia kronologis adalah usia yang dihitung dengan kalender, sedangkan usia biologis adalah usia yang dilihat dari kondisi jaringan tubuh seseorang yang sangat tergantung dari faktor nutrisi maupun lingkungan sehingga usia biologis dapat dipengaruhi (Lestiani, 2014; Nugroho, 2014). Pengertian lansia dibagi menjadi beberapa batasan-batasan berdasarkan usia. Menurut WHO, lansia dibagi tiga, yaitu lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Menurut Prof. DR. Koessoemanto, lansia (usia lebih dari 65/70 tahun) dibagi lagi menjadi tiga, yaitu usia 70-75 tahun (young old), usia 75-80 tahun (old), dan usia lebih dari 80 tahun (very old). Menurut 9 10 Hulock (1979), lansia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu early old age (usia 60-69 tahun) dan advanced old age (usia >70 tahun). Menurut Burnside (1979), membagi lansia menjadi empat tahapan, antara lain young old (usia 60-69 tahun), middle age old (usia 70-79 tahun), old-old (usia 8089 tahun), dan very old-old (usia >90 tahun). Di Indonesia, berdasarkan UU No.13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Usia Lanjut, seseorang dikatakan lansia apabila telah berusia 60 tahun atau lebih, karena pada umumnya digunakan sebagai usia maksimal kerja dan mulai tampaknya ciriciri ketuaan (Nugroho, 2014; Noorkasiani, 2009). 2.1.2 Perubahan yang Terjadi pada Lansia Proses menua menyebabkan terjadinya perubahan secara fisik dan psikososial pada lansia. 1. Perubahan Fisik Perubahan fisik muskuloskeletal, yang sistem terjadi antara persarafan, lain gangguan penurunan sistem pendengaran dan penglihatan, sistem reproduksi. Penurunan kemampuan pada sistem muskuloskeletal akibat digunakan secara terus-menerus menyebabkan sel tubuh lelah terpakai dan regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, seperti penurunan aliran darah ke otot, atropi dan penurunan massa otot, gangguan sendi, tulang kehilangan densitasnya, penurunan kekuatan dan stabilitas tulang, kekakuan jaringan penghubung yang menyebabkan hambatan dalam aktivitas seperti gangguan gaya berjalan. Hal tersebut sesuai dengan teori ‘wear and tear’ 11 dan ‘genetic clock’. Oleh karena itu, semakin tua usia seseorang maka semakin besar juga potensi gangguan gerak yang dialami. Penurunan pada sistem persarafan dapat terjadi seiring bertambahnya usia, hal ini dikaitkan dengan teori ‘genetic clock’, dimana pada waktu tertentu dalam kehidupan, otak secara perlahan dan pasti mengalami atrofi sehingga beratnya menurun 10-20% (Nugroho, 2014). Penurunan ini juga dikatikan dengan teori radikal bebas, dimana radikal bebas dapat memicu terjadinya inflamasi kronik. Menurut Marshland, et al (2006), inflamasi kronik berhubungan dengan buruknya fungsi kognitif, dimana inflamasi kronik merangsang dilepaskannya sitokin pro-inflamasi oleh otak seperti interleukin-6 (IL-6) yang bertanggung jawab atas kerusakan sel korteks otak yang merupakan area kognitif. Penurunan lainnya yang sangat jelas terlihat pada sistem reproduksi terutama pada perempuan. Ketika sudah mengalami masa menopause, secara perlahan dan pasti organ-organ reproduksi akan mengalami penurunan baik secara struktur dan fungsinya. Ovari akan menciut dan ukurannya mengecil, atrofi pada uterus, dan penurunan produksi hormon estrogen. Pada laki-laki tidak terjadi perubahan yang drastis pada sistem reproduksinya (Nugroho, 2014; Santoso & Rohmah 2011). 2. Perubahan psikososial Perubahan psikososial dapat terjadi akibat adanya penyakit kronis, gangguan panca indra seperti kebutaan dan ketulian, dan gangguan gerak 12 sehingga intensitas hubungan lansia dengan lingkungan sosialnya berkurang karena lansia lebih banyak berada di rumah. Bahkan dapat timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosialnya ini (Nugroho, 2014). 3. Penurunan Fungsi Kognitif Perubahan tidak hanya terjadi pada fisik dan psikososial, tetapi juga pada kognitif , karena fungsi kognitif dipengaruhi oleh adanya perubahan pada struktur dan fungsi organ otak, penurunan fungsi sistem muskuloskeletal, dan sistem reproduksi. Atropi yang terjadi pada otak akibat penuaan menyebabkan penurunan hubungan antarsaraf, mengecilnya saraf panca indra sehingga waktu respon dan waktu bereaksi melambat, defisit memori, gangguan pendengaran, penglihatan, penciuman, dan perabaan. Menurunya daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap nada tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada orang di atas umur 65 tahun (Nugroho, 2014). Selain itu radikal bebas dapat memicu terjadinya inflamasi kronik yang menyebabkan meningkatnya kadar IL-6 yang merupakan sitokin proinflamasi dan adanya peningkatan IL-6 dapat digunakan menjadi sebagai biomarker untuk risiko penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut (Frydecka, et al, 2004 dan Marshland, et al, 2006). Fungsi kognitif juga berkaitan dengan aktivitas fisik, dimana aktivitas fisk erat kaitannya dengan sistem muskloskeletal. Pada dasarnya, setiap 13 gerakan fisik yang dilakukan memberikan rangsangan kepada otak, dengan menurunnya aktivitas maka rangsangan kepada otak juga berkurang. Karena otak memiliki sifat plastisitas dimana bila terus diberikan rangsangan, fungsinya akan tetap terjaga dan sebaliknya bila rangsangan tersebut kurang atau tidak ada, proses plastisitas tidak terjadi dan otak akan mengalami penurunan struktur dan fungsinya (Nugroho, 2014). Santoso dan Rohmah (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara gangguan gerak dan fungsi kognitif, dimana pengaruhnya sebesar 68,5%. Perubahan lainnya yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif adalah penurunan pada sistem reproduksi. Menurut Nugroho (2014) dan Schiff and Walsh (1995) dalam Santoso dan Rohmah (2011), hal ini terjadi pada lansia perempuan yang mengalami menopause dimana terjadi penurunan struktur dan fungsi organ reproduksi, ovari menciut, atrofi pada uterus, dan penurunan produksi hormon estrogen, dimana hal ini berdampak negatif bagi tubuh perempuan, antara lain peningkatan aterosklerosis, kadar kolesterol total, trigliserida, dan lain sebagainya. Diketahui bahwa penurunan estrogen erat kaitannya dengan penurunan fungsi kognitif. Menurut Czlonkowska, Ciesielska, and Joniec (2003), estrogen memiliki fungsi neuroprotektif yang perannya sebagai antioksidan yang mampu mengubah produksi radikal bebas. Pada perkembangan otak, kontrol diferensiasi dan plastisitas populasi saraf yang berbeda dipengaruhi oleh estrogen. Estrogen juga berperan dalam meningkatkan pertumbuhan 14 hipotalamus, hipokampus, otak tengah, dan korteks yang dapat mempengaruhi seuasana hati, status mental dan belajar serta ingatan. Oleh karena itu. Lansia perempuan lebih rentan menderita penyakit neurodegeneratif yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Sedangkan pada pria tidak terjadi perubahan yang begitu nampak karena tidak terjadi penurunan produksi hormon seks secara drastis selama proses penuaan. 2.2 Kognitif 2.2.1 Pengertian Kognitif Kognitif adalah kegiatan-kegiatan mental memperoleh, menyimpan, mendapat yang dibutuhkan dalam kembali, dan menggunakan pengetahuan suatu hal. Kognitif meliputi proses-proses mental, seperti mempersepsikan, belajar, mengingat, menggunakan bahasa, dan berpikir. Dalam kognisi, kita mempelajari sesuatu dan menempatkan sesuatu tersebut dalam ingatan kita, mengkomunikasikannya lewat bahasa menggunakan simbol-simbol mental, dan secara cerdas memecahkan masalah menggunakan informasi yang telah dipelajari dan disimpan. Oleh karena itu kemampuan fungsi mengingat pada seseorang akan mempengaruhi kemampuan berpikir sehingga respon kognitif yang ditimbulkan akan berbeda. Proses mengingat terjadi dengan menggabungkan antara informasi yang diterima melalui panca indra dengan informasi yang telah disimpan dalam ingatan jangka panjang. Kapasitas atau kemampuan kognisi 15 seseorang disebut sebagai kecerdasan atau intelegensi (Semium, 2010; Kompasiana, 2014). Proses kognitif adalah proses tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan di dalam kehidupan yang melibatkan fungsi panca indra, kesadaran, dan perasaan yang berupa pengalaman (Kushartanti, Yuwono, dan Lauder, 2005). Kemampuan kognitif adalah kemampuan untuk memikirkan sesuatu, berkhayal, bercita-cita, atau melihat jauh ke depan, menetapkan tujuan-tujuan, dan membuat rencana kegiatan guna mencapai hal tersebut (Waruwu, 2014). 2.2.2 Struktur dan Fungsi Otak Otak manusia dbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu otak besar (serebrum), batang otak (brain stem), dan otak kecil (serebelum). Lapisan yang menyelimuti otak besar adalah korteks serebri yang juga sering disebut sebagai ‘thinking cup’ karena di bagian inilah kemampuan intelektual disimpan (Kushartanti, Yuwono, dan Lauder, 2005). Korteks serebral dibagi menjadi dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan, dimana fungsi kedua hemisfer ini berbeda bahkan bertentangan dalam proses kognitif. Hemisfer kanan mengontrol pemrosesan informasi spasial dan visual seperti melihat, memperkirakan, atau memahami ruang atau benda secara tiga dimensi. Dengan demikian, kegiatan seperti menuruni tangga atau mengambil barang di depan kita dapat dilakukan dengan baik. Sedangkan, hemisfer kiri mengontrol 16 kegiatan berbahasa, berpikir secara sistematis, logika. Bila terjadi gangguan pada bagian ini, maka yang terganggu adalah fungsi berbicara, bahasa, dan matematika (Kushartanti, Yuwono, dan Lauder, 2005). Daerah di otak dibagi menjadi beberapa bagian (lobus) yang memiliki fungsi spesifik. Fungsi pancaindra seperti pusat penglihatan terletak di area 17 lobus oksipitalis, pusat pendengaran di area 41 lobus temporalis, pusat sensorik di area 3,4,5 lobus parietalis (postsentral), pusat penghidu terletak di daerah yang berdekatan dengan girus parahipotalamus lobus temporalis, dan pusat motorik terletak di area 4,6,8 lobus frontalis (presentral). Masingmasing pusat pancaindra memiliki area asosiasi untuk memahami stimulus sensorik yang masuk. Kemampuan otak (kognitif) akan meningkat secara optimal apabila terdapat integrasi yang baik antara area sensoris dan asosiasi (Syaifuddin, 2012; Ganong, 2012). Lobus frontalis, parietalis, dan temporalis merupakan tiga daerah asosiasi yang penting, serta bertanggung jawab atas kemampuan kognitif. Perhatian atau konsentrasi berada di lobus frontalis terutama otak bagian sisi kanan, pusat visuospasial (persepsi dan orientasi) di lobus parietalis (bagian atas otak) terutama bagian otak sisi kanan, pusat daya ingat di lobus temporalis, untuk daya ingat visual di belahan otak sisi kanan, pusat bahasa di lobus frontalis dan temporalis terutama bagian otak sisi kiri. Lobus frontalis merupakan lobus terbesar dan paling akhir berkembang, dan merupakan pusat integrasi semua fungsi lobus yang ada. Integrasinya dengan lobus 17 disekitarnya memiliki peran yang penting, termasuk kemampuan memori kerja (working memory) dan kemampuan seseorang dalam executive function (pengorganisasian, perencanaan, dan pelaksanaan) (Kushartanti, Yuwono, dan Lauder, 2005; Ganong, 2012) 2.2.3 Fungsi Kognitif Fungsi kognitif adalah suatu kegiatan mental yang dimiliki manusia yang diantaranya adalah perhatian, persepsi, proses berpikir, pengetahuan dan memori. Fungsi kognitif yang merupakan salah satu fungsi otak, memiliki area sebesar 75% di otak, terutama di bagian korteks otak (Saladin, 2007). Berdasarkan alat ukur MoCA-Ina, data demografi yang harus ada adalah usia, jenis kelamin, dan pendidikan. Ketiga data ini sangat penting karena sangat berpengaruh terhadap fungsi kognitif individu (Nasreddine et al, 2005). Hal yang sama ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Mongisidi (2013), dimana individu yang masuk dalam kategori old age (7590 tahun) memiliki rata-rata persentasi kognitif tidak normal, sehingga disimpulkan semakun tua usia seseorang, maka fungsi kognitif individu cenderung menurun. Hasil berikutnya pada data jenis kelamin, ditemukan bahwa laki-laki lebih banyak memiliki presentasi yang tidak normal, tetapi menurut hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, ditemukan bahwa hasil skor penilaian fungsi kognitif perempuan rata-rata lebih rendah dibandingkan laki-laki. Dilihat dari latar belakang pendidikan, ditemukan bahwa individu yang mengenyam pendidikan lebih dari sembilan tahun memiliki fungsi kognitif yang tergolong normal atau lebih baik 18 dibandingkan individu yang pendidikannya kurang dari sembilan tahun. Sehingga data demografi usia, jenis kelamin, dan pendidikan lebih utama dapat mempengaruhi fungsi kognitif individu. Issealbacher, et al, (2006), menyebutkan ada lima komponen kognitif yang mudah untuk dilihat, antara lain : 1. Kesadaran adalah keadaan sadar akan diri sendiri dan lingkungan yang mempunyai beberapa sisi, dimana arti kesadaran merupakan gabungan kognitif dan fungsi mental afektif dan hanya dapat dinilai dengan penarikan kesimpulan melalui hasi suatu pemeriksaan khusus. Bangun berhubungan erat dengan gambaran kewaspadaan, yaitu kesiapan individu memberikan respons terhadap suatu stimulus yang diterimanya. Perhatian meliputi kapasitas untuk memperhatikan secara selektif terhadap stimulus yang relevan dan untuk memanipulasi ide yang abstrak. Kesadaran juga meliputi konsep insight dan pengenalan diri. 2. Persepsi mengenai kesadaran, seleksi, dan identifikasi stimulus dari lingkungan. Dalam keadaan normal, persepsi dipengarui oleh beberapa faktor, baik fisiologik dan psikologik, misalnya penglihatan yang buruk atau tuli dapat mengganggu persepsi orang tua terhadap suatu hal. 3. Ingatan dibedakan berdasarkan lamanya mengingat. Sistem ingatan segera memegang informasi yang dengan kesadaran selama beberapa detik dan dapat diperiksa dengan reproduksi barisan angka yang pada umumnya mempunyai kapasistas terbatas untuk informasi sekitar tujuh 19 angka, yang hanya tertahan beberapa detik atau menit. Ingatan terakhir, mengingat informasi yang ada dalam beberapa menit, jam, atau hari. Sedangkan ingatan jauh adalah kemampuan mengingat kejadian atau informasi beberapa bulan atau tahun sebelumnya. Mengingat informasi setelah terlambat beberapa menit memerlukan proses konsolidasi atau belajar yang diperantarai oleh sistem ingatan sekunder atau jangka panjang dengan kapasitas dan ketahanan yang hampir tanpa batas. 4. Suasana hati dan kepribadian. Suasana hati menunjukkan keadaan emosi yang paling sering, sedangkan afek adalah pengalaman emosional yang dicetuskan oleh stimulus khusus. Suasana hati dapat memberikan pengaruh secara nyata pada seluruh aspek kognitif, terutama pada rangkaian suasana hati yang ekstrim. Hipomania mungkin disertai dengan ilusi, pikiran yang melompat-lompat, dan keluaran motorik dan verbal yang ekstrim. Kondisi sebaliknya ditunjukkan ketika depresi, dimana terjadi perlambatan pikiran, bicara, dan aktivitas. Kecemasan yang ektrim juga dapat mempengaruhi koherensi pikiran dan pembicaraan. 5. Pemecahan masalah. Pikiran sulit untuk dapat dimengerti dan ditangkap, tetapi dapat dinilai melalui proses penalaran, logik dan kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan bahasa atau matematika. 20 Pemeriksaan yang teliti dari fungsi kognitif adalah komponen penting dari pemeriksaan neurologik, yang mencakup antara lain (Issealbacher, et al, 2006) : 1. Orientasi Orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu (termasuk tanggal, jam, hari, bulan, dan tahun). Pada gangguan ingatan berat, biasanya kesalahan dalam penyebutan tanggal. 2. Kesadaran Individu sadar yang normal masuk dalam pembicaraan atau beberapa aktivitas lain yang berbeda, sedangkan individu dengan gangguan kesadaran tetap tenang atau masuk dalam aktivitas yang berulang-ulang dan kurang bertujuan. 3. Abnormalitas persepsi Sebaiknya dicari dengan pertanyaan spesifik mengenai persepsi lingkungan, kejadian yang sedang terjadi atau yang dirasakan. 4. Bahasa Afasia mengakibatkan pembicaraan menjadi tidak lancar. Pemeriksan yang dilakukan berguna untuk mengetahui adanya afasia nominal dengan meminta individu untuk menyebutkan objek yang umum dan tidak umum dan pemberian perintah yang kompleks untuk menilai derajat ringan disfasia reseptif. Agraphia dicari dengan meminta individu untuk menulis namanya dan kalimat spontan. Membaca 21 sebaiknya dinilai dengan menggunakan teks standar atau artikel surat kabar dan meminta penjelasan dari artinya. 5. Fungsi visuospasial Tes yang paling berguna untuk memeriksa fungsi visuospasial adalah dengan menirukan gambar. Adanya apraksia konstuksional atau agnosia visuospasial dapat menyebabkan kesulitan dalam menggambar garis yang diperlukan untuk orientasi ruang atau posisi yang tepat. 6. Ingatan Ingatan segera dan perhatian diperiksa dengan meminta individu mengulang deret angka yang ditunjukkan dalam interval setengah detik. Ingatan terakhir dapat dinilai dengan meminta individu mempelajari tiga nama objek umum, mengingat kembali dites setelah dua sampai lima menit. ingatan jauh-jangka panjang dapat dites dengan menanyakan hal yang berkaitan dengan pengetahuan umum seperti tanggal yang penting tentang kejadian masa lalu, nama-nama orang politikus yang penting, dan sebagainya. 7. Suasana hati dan kepribadian Penilaian terhadap kepribadian, suasana hati, afek, dan insight sebaiknya dilakukan selama anamnesis dan pemeriksaan. Penampilan individu, isi pembicaraan, dan kecepatan gerakan memberikan petunjuk tentang suasana hari. Afek diisyaratkan oleh bahasa, ekspresi wajah, gerakan isyarat, dan sikap tubuh. 22 8. Pikiran dan pemecahan masalah Inkoherensi penalaran dan pikiran logis dapat dideteksi selama anamnesis melalui tes keterampian bahasa dna matematika. Gangguan pikiran yang lebih rumit kadang dapat nampak dengan meminta individu untuk menjelaskan arti peribahasa. 2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif 1. Status kesehatan Faktor status kesehatan yang paling penting adalah adanya hipertensi. Peningkatan tekanan darah kronis telah terbukti meningkatkan efek penuaan struktur otak, termasuk reduksi pada substasi kelabu dan putih di lobus prefrontal, atrofi hipokampus (Raz and Rodrigue, 2006). Angina pektoris, infark miokardium, penyakit jantung koroner, dan penyakit vaskular lainnya berhubungan dengan fungsi kognitif yang buruk (Britton and Marmot, 2003 dalam Myers, 2008). 2. Usia Usia yang semakin tua menyebabkan perubahan pada struktur otak, diantaranya otak menjadi atrofi dan beratnya menurun 10-20%, perubahan biokimiawi pada susunan saraf pusat, sehingga terjadi gangguan pada hubungan sinapsis dan daya hantar impuls antar sel saraf (Nugroho, 2014). Mongisidi (2013) mengemukakan bahwa individu dengan kategori usia old age (lebih dari 60 tahun) rata-rata memiliki presentasi fungsi kognitif tidak normal. 23 3. Jenis Kelamin Perempuan tampaknya lebih berisiko megnalami penurunan kognitif dibandingkan laki-laki ketika memasuki usia lanjut. hal tersebut disebabkan karena perbedaan anatomis maupun fisiologis, dimana secara fisik laki-laki memiilki struktur tubuh yang lebih besardaripada perempuan (Kartinah, Komariyah, & Giriwijoyo, 2006). Secara fisiologis, volume darah yang dimiliki laki-laki kurang lebih satu liter lebih banyak daripada perempuan, dan laki-laki memiliki volume paruparu 10% lebih besar dibandingkan perempuan (Nopembri, 2010). Perbedaan fisiologis lainnya adalah adanya penurunan level seks endogen dalam perubahan fungsi kognitif pada perempuan menopause. Reseptor estrogen telah ditemukan berperan dalam fungsi belajar dan memori, seperti hipokampus. Pada perkembangan otak, estrogen mengontrol diferensiasi dan plastisitas populasi saraf yang berbeda. Estrogen juga diketahui memiliki fungsi neuroprotektif dan membatasi kerusakan akibat stress oksidatif (Yaffe, et al, 2001 dalam Myers, 2008; Czlonkowska, Ciesielska, and Joniec (2003). Pada pemeriksaan fungsi kognitif, sebagian besar (65%) lansia perempuan mengalami penurunan fungsi kognitif (Fadhia, Ulfiana, & Ismono, 20012). 4. Status pendidikan Fungsi kognitif pada kelompok dengan status pendidikan rendah cenderung memiliki fungsi kognitif lebih buruk dibandingkan kelompok dengan status pendidikan yang tinggi. Mongisidi (2013) mengemukakan 24 bahwa latar belakang pendidikan secara signifikan berpengaruh terhadap fungsi kognitif, dimana sampel yang memiliki latar belakang pendidikan lebih dari sembilan tahun atau lebih dari pendidikan dasar (SMA, diploma ataupun sarjana) memiliki hasil fungsi kognitif tergolong normal. Hal tersebut dipertegas oleh penelitian yang dilakukan oleh Ardi (2011), bahwa ada pengaruh yang bermakna antara tinggi rendahnya jenjang pendidikan dengan ketidakmampuan kognitif, dimana setelah dilakukan analisis Post Hoc terhadap perbedaan fungsi kognitif antar jenjang pendidikan dasar, menengah, atas, dan tinggi, didapatkan hasil kemampuan kognitif sampel yang memiliki jenjang pendidikan SD berbeda dengan sampel yang memiliki jenjang pendidikan SMP (p = 0,012), SD dengan SMA (p = 0,005), dan SD dengan PT (p = 0,0005). Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif yang diidentifikasi pada penelitian adalah usia, jenis kelamin dan status pendidikan, yang disesuaikan dengan lembar kuesioner MoCA-Ina. 2.2.5 Gangguan Fungsi Kognitif Gangguan fungsi kognitif dibagi menjadi beberapa kategori. Menurut Kurlowiez (1999) dalam Rohana (2011), kategori gangguan fungsi kognitif dibedakan berdasarkan tingkat keparahan, yaitu: tidak ada gangguan fungsi kognitif, gangguan kognitif ringan, dan gangguan kognitif berat. Menurut Global Deterioration Scale, gangguan fungsi kognitif dibagi menjadi tujuh, antara lain : tidak ada penurunan kognitif, penurunan kognitif amat ringan, 25 penurunan kognitif ringan, penurunan kognitif sedang, penurunan kognitif sedang sampai berat, penurunan kognitif berat, dan penurunan kognitif sangat berat. Kategori penilaian fungsi kognitif menggunakan Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) yang memiliki rentang nilai 0-30, menjadi dua, yaitu fungsi kognitif normal (total nilai ≥26) dan fungsi kognitif tidak normal (total nilai <26). MoCA memiliki tingkat sensitivitas sebesar 90% untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif sedang dan memiliki sensitivitas sebesar 100% untuk mendeteksi adanya attention disorder (AD) (Nasreddine, et al, 2005). 2.2.6 Masalah Akibat Gangguan Fungsi Kognitif Penurunan fungsi kognitif pada lansia merupakan salah satu penyebab meningkatnya ketergantungan lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Gangguan fungsi kognitif merupakan respon maladaptif yang ditandai oleh terganggunya daya ingat, disorientasi, inkoheren, dan sukar berpikir logis. Gangguan kognitif erat kaitannya dengan gangguan atau kerusakan pada daerah korteks. Masalah akibat gangguan kognitif antara lain: penurunan kemampuan konsentrasi (misalnya pertanyaan harus diulang); proses pikir yang tidak tertata (misalnya tidak relevan atau inkoheren); menurunnya tingkat kesadaran; gangguan persepsi (ilusi, halusinasi); gangguan tidur, tidur berjalan dan insomnia atau ngantuk pada siang hari; meningkat atau menurunnya aktivitas psikomotor; disorienasi tempat, waktu, orang; gangguan daya ingat, tidak dapat mengingat hal baru misalnya nama beberapa benda setelah beberapa menit (Kushartanti, Yuwono, dan 26 Lauder, 2005; Issealbacher, et al, 2006; Ganong, 2012). 2.2.7 Pengukuran Fungsi Kognitif Ada beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif, antara lain Mini Mental State Examination (MMSE) dan Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina). Pada penelitian ini, alat ukur yang digunakan adalah MoCA-Ina yang bertujuan mengukur berbagai fungsi kognitif, seperti: ruang dan bentuk, daya ingat, atensi, kemampuan berbahasa, abstraksi, dan sebagainya. Tes MoCA versi Indonesia telah divalidasi oleh Husein, Lumempouw, Ramli, dan Herqutanto (Departemen Neurologi, Universitas Indonesia) dan menunjukkan skor validitas yang tinggi yaitu >80 (EL Rhino Global Reseacrh and Development, 2012). Hal yang sama ditemukan oleh Panentu (2013), yang mengatakan MoCA-Ina valid dan reliabel untuk pemeriksaan kognitif pada pasien pasca stroke fase pemulihan. MoCA adalah alat skrining baru yang dirancang untuk mengatasi keterbatasan MMSE yang kurang sensitif mendeteksi Mild Cognitive Impairment (MCI). Menurut laporan Nasreddine, et al, (2005), dengan batas skor 26, MMSE memiliki tingkat sensitivitas sebesar 18% untuk mendeteksi MCI, sedangkan MoCA sebesar 90% dari subyek MCI. Pada grup attention disorder (AD), MMSE memiliki tingkat sensitivitas sebesar 78%, sedangkan MoCA mendeteksi sebesar 100%. 27 2.2.8 Penatalaksanaan Gangguan Fungsi Kognitif Penuaan dan penyakit degeneratif pada dasarnya tidak dapat dihentikan karena merupakan proses alamiah dari siklus kehidupan manusia. Namun berbagai studi berbasis ilmiah telah menunjukkan berbagai fakta bahwa ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memperlambat proses penuaan yang terjadi pada otak. Fakta-fakta tersebut dijadikan landasan untuk membuat program kegiatan lansia di komunitas, sehingga kegiatan lansia yang dilakukan rutin tersebut dapat bermanfaat untuk menstimulasi otak dan memperlambat kemunduran fungsi otak (Kemenkes, 2013). Kegiatan yang dapat memberikan stimulasi otak dibagi menjadi tiga kegiatan utama, seperti aktivitas fisik, stimulasi mental, dan aktivitas sosial. 1. Aktivitas fisik Melakukan aktivitas fisik dapat memberikan stimulasi pada otak, dan dengan melakukan olahraga secara teratur dapat meningkatkan protein di otak yang disebut Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). Protein BDNF ini berperan penting menjaga sel saraf tetap bugar dan sehat, sehingga bila kadar BDNF rendah dapat menyebabkan penyakit kepikunan. Fakta inilah yang yang menjelaskan bahwa lansia yang melakukan banyak aktivitas fisik yang menyenangkan memiliki fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan lansia yang cenderung diam dan kurang aktivitas (Kemenkes, 2013) 28 Santoso dan Rohmah (2011) melaporkan bahwa gangguan gerak secara bermakna mempengaruhi fungsi kognitif seseorang. Salah satu kegiatan yang dapat memberikan stimulasi otak adalah dengan melakukan brain gym atau senam otak. Brain gym adalah suatu latihan gerak yang digunakan untuk memudahkan dan membantu kegiatan belajar, serta penyesuaian dengan tuntutan sehari-hari. 2. Stimulasi mental Memberikan stimulasi mental secara terus-menerus dengan berbagai aktivitas otak dapat memperbaiki dan menjaga hubungan antar sel-sel otak, sehingga terdapat cadangan fungsi kognitif untuk lansia. Aktivitas yang dapat menstimulasi mental seperti permainan puzzle, membuat kerajinan tangan, mengisi teka teki silang, diskusi, dan bernyanyi (Kemenkes, 2013). 3. Aktivitas sosial Lansia yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan interaksi dengan orang lain, diketahui memiliki fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan lansia yang tidak aktif dalam aktivitas sosial. Hal ini sesuai dengan teori aktivitas, dimana melalui berbagai aktivitas dalam kegiatan sosial dapat membantu menstimulasi fungsi kognitif. Dengan melakukan aktivitas sosial maka akan timbul adanya keterikatan sosial. Keterikatan sosial (meliputi pemeliharaan dan pembinaan berbagai hubungan sosial, 29 serta partisipasi aktif dalam kegiatan sosial) dapat mencegah penurunan fungsi kognitif pada lansia (Kemenkes, 2013). Seseorang yang mulai tua akan berefek pada menurunya aktivitas. Penurunan aktivitas akan mengakibatkan kelemahan serta atropi pada otot sehingga dapat menyebabkan kesulitan untuk mempertahankan serta menyelesaikan suatu masalah. Santoso dan Rohmah (2011) melaporkan tidak ada hubungan antara usia dan fungsi kognitif yang signifikan, tetapi terdapat hubungan yang signifikan antara umur dan gangguan gerak, dimana gangguan gerak secara bermakna mempengaruhi fungsi kognitif seseorang. Jadi jelas bahwa, untuk mempertahankan fungsi kognitif tetap optimal dan mengatasi gangguan fungsi kognitif dapat dilakukan melakukan latihan gerak. Ada berberapa latihan gerak yang diteliti pengaruhnya terhadap fungsi kognitif, seperti senam vitalisasi otak, senam lansia, dan brain gym atau senam otak. Brain gym adalah senam otak yang digunakan untuk memudahkan dan membantu kegiatan belajar dan penyesuaian dengan tuntutan sehari-hari (Muhammad, 2013). 2.3 Brain Gym 2.3.1 Pengertian Brain Gym Senam otak atau Brain Gym adalah latihan gerak yang digunakan untuk memudahkan dan membantu kegiatan belajar dan penyesuaian dengan tuntutan sehari-hari (Muhammad, 2013). Brain gym adalah latihan gerak yang terdiri dari gerakan-gerakan yang sederhana dan menyenangkan yang 30 digunakan oleh siswa di Pendidikan Kinesiology (Edu-K) untuk meningkatkan kemampuan belajar dengan menggunakan seluruh fungsi otak melalui pembaruan pola gerakan tertentu yang membuka bagian-bagian otak yang sebelumnya tertutup atau terhambat. Hasil kegiatan tersebut membuat proses belajar menjadi lebih mudah tetapi lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan akademik (Dennison, 2004). Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa brain gym atau senam otak adalah serangkaian gerakan latihan sederhana dan menyenangkan yang dapat memudahkan dan membantu kegiatan belajar dengan menggunakan seluruh fungsi otak melalui pembaruan pola gerakan tertentu yang membuka bagian-bagian otak yang sebelumnya tertutup atau terhambat. Penelitian yang dilakukan Verany, dkk, (2013) terkait brain gym pada lansia, diketahui bahwa senam otak atau brain gym dapat meningkatkan daya ingat. Hasil serupa juga didapatkan oleh Festi (2010), Nugroho (2009) dan Lisnaini (2012), dimana dengan melakukan latihan gerak yang dapat memberikan stimulus pada otak dapat meningkatkan fungsi kognitif seperti rentang perhatian, daya ingat, orientasi, dan fungsi kognitif lainnya pada lansia. 2.3.2 Mekanisme Brain Gym Mekanisme kerja senam otak berdasarkan tiga dimensi otak, yaitu dimensi lateralis, dimensi pemfokusan, dan dimensi pemusatan. Masing-masing 31 dimensi memiliki tugas yang berbeda, sehingga gerakannya bervariasi untuk tiap dimensi (Dennison, 2008; Muhammad, 2013). 1. Dimensi Lateralis Dimensi lateralis tubuh manusia dibagi dalam sisi kiri dan kanan. Sifat lateralis memungkinkan dominansi salah satu sisi otak, misalnya menulis dengan tangan kanan atau kiri. Integrasi kedua sisi tubuh dapat dilatih sehingga dapat menyeberang garis tengah tubuh untuk bekerja di bidang tengah. Apabila kemampuan ini dapat dikuasai, kemampuan belajar akan maksimal, seseorang akan mampu memproses kode linier, simbol tertulis dengan dua belahan otak dari kedua jurusan. Latihan untuk menyeberang garis tengah menyangkut sikap positif, seperti mendengar, melihat, dan bergerak. Otak bagian kiri aktif apabila tubuh sisi kanan digerakkan, dan sebaliknya. Bila kerjasama otak kanan dan kiri kurang baik, maka seseorang akan mengalami kesulitan untuk membedakan antara kanan dan kiri, pergerakan kaku, tulisan tangan yang jelek, atau cenderung menulis huruf terbalik, sulit membaca dan menulis, kesulitan mengikuti pergerakan sesuatu dengan mata, serta sulit menggerakkan mata tanpa mengikutinya dengan kepala, tangan miring ke dalam ketika menulis, cenderung melihat ke bawah sambil berpikir, keliru dengan huruf (misalnya d dan b, p dan q), maupun menyebut kata sambil menulis. Beberapa gerakan dalam senam otak yang merangsang dimensi lateralis adalah 8 tidur dan gajah. 32 2. Dimensi Pemfokusan Dimensi pemfokusan adalah kemampuan menyeberangi garis tengah partisipasi yang memisahkan bagian belakang dan depan tubuh atau bagian belakang (occipital) dan depan otak (frontal lobe). Garis tengah partisipasi adalah garis bayangan vertikal di tengah tubuh (dilihat dari samping) yang tergantung pada partisipasi batin pada suatu kegiatan apakah seseorang berada di depan atau belakang garis tersebut. Adanya gangguan pada dimensi ini menyebabkan seseorang kesulitan mengekspresikan diri, kurang fokus. Hubungannya dengan otak, informasi akan diterima oleh otak bagian belakang yang merekam semua pengalaman, lalu informasi diproses dan diteruskan ke otak bagian depan untuk mengekspresikan sesuai keinginan atau tuntutan. Bila seseorang gugup, takut, tidak percaya diri, stress saat belajar, maka secara refleks energi ditarik ke otak bagian belakang sehingga otak bagian depan kekurangan energi. Akibatnya, jawaban yang tadinya sudah siap, tiba-tiba lupa atau tidak dapat dijawab sempurna. Ada beberapa ciri khas bila otak bagian depan dan belakang kurang bekerja sama, antara lain otot tengkuk dan bahu yang tegang, kurang semangat untuk belajar, serta memiliki reaksi yang lambat. Hambatan pada otak bagian depan dapat berupa sikap pasif, melamun, bingung bila stress, hipoaktif, perhatian yang kurang, namum perasaan dan suasana (merekam dengan jelas). Sedangkan hambatan pada otak 33 bagian belakang berupa sikap hiperaktif, memiliki rentang konsentrasi dan analisis yang terlalu pendek, terinci, dan kurang fleksibel. Terkadang menjadi agresif, kurang rileks untuk memikirkan sesuatu yang lebih luas. Gerakan senam otak pada dimensi ini adalah burung hantu. 3. Dimensi Pemusatan Dimensi pemusatan adalah kemampuan untuk menyebrangi garis pisah antara bagian atas dan bawah tubuh, yaitu bagian tengah sistem limbik (midbrain) yang berhubungan dengan emosional dan otak besar (cerebrum) untuk berpikir yang abstrak. Mempelajari sesuatu, seseorang harus benar-benar dapat menghubungkannya dengan perasaan dan memberikan suatu arti. Gangguan pada dimensi pemusatan ditandai dengan adanya ketakutan yang tak beralasan, cenderung bereaksi berjuang atau melarikan diri dan ketidakmampuan untuk merasakan maupun menyatakan emosi. Dalam kondisi stres, tegangan listrik di otak besar akan berkurang sehingga fungsinya terganggu. Tubuh manusia adalah satu sistem listrik yang sangat kompleks. Dengan gerakan untuk meningkatkan energi dan minum air, aliran energi elektromagnetik antarbagian otak optimal. manjadi lancar sehingga komunikasi 34 Ciri khas bila bagian otak atas terhambat, antara lain bicara dan tindakan pelan, kurang fleksibel, kurang konsentrasi, penakut, kurang percaya diri, ragu-ragu, memiliki hambatan dalam hubungan sosial. Bila bagian bawah yang terhambat, maka akan menyebabkan tidak mampu mempertahankan keseimbangan, penilaian yang negatif, bicara dan tindakan yang terlalu cepat. Beberapa gerakan senam otak untuk dimensi pemusatan, antara lain tombol bumi, tombol keseimbangan, tombol angkasa, pasang telinga, titik positif, dan lain sebagainya. 2.3.3 Prosedur Latihan Brain Gym Elizabeth dan Kim (2013), mengatakan bahwa untuk lanjut usia, durasi aerobik yang dapat dilakukan adalah 3-5 kali seminggu selama 10-30 menit. Menurut Festi (2010), brain gym baik dilakukan setiap hari untuk mendapatkan hasil yang optimal. Senam atau latihan gerak baik dilakukan pada pagi hari karena olahraga di pagi hari akan membantu menjaga ritme istirahat di malam hari, membuat pikiran lebih tajam, meningkatkan kualitas tidur, meningkatkan mood, membakar kalori dan meningkatkan nafsu makan (Huteri, 2013). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Verany, dkk, (2012), brain gym dilakukan dengan frekuensi empat kali seminggu selama dua minggu dan ternyata memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan fungsi kognitif. Pada penelitian ini, brain gym akan dilakukan dengan durasi latihan 30 menit, frekuensi empat kali seminggu selama dua minggu. 35 Perhatian khusus yang perlu diperhatikan bagi lansia yang ingin melakukan senam (Elizabeth dan Kim, 2013) : 1. Jika lansia menderita hipertensi dan tidak terkontrol, maka sebaiknya untuk konsultasi dengan dokter di pelayanan kesehatan untuk mendapatkan terapi. Batas tekanan darah yang direkomendasikan untuk dapat melakukan latihan fisik adalah ≤220 mmHg sistolik, ≤105 mmHg diatolik. Oleh karena itu, akan dilakukan pemeriksaan tekanan darah baik sebelum maupun sesudah dilakukan Brain Gym. 2. Lansia yang mendapat terapi Beta Blokers dan diuretik, fungsi termoregulasi dapat terganggu dan menyebabkan hipoglikemi. Dalam kondisi ini, informasikan kepada lansia tentang tanda dan gejala intoleransi jantung dan hipoglikemi. Jika ada tanda gejala tersebut, anjurkan lansia untuk tidak melakukan latihan fisik. 3. Bila terdapat perubahan napas pendek, pusing, tidak nyaman pada dada, palpitasi (dada berdebar) ketika melakukan lathan fisik (senam) agar segera menghentikan aktivitas dan segera mencari pelayanan kesehatan. Lansia juga dapat berisitrahat sejenak di kursi yang telah disiapkan di pinggir lapangan. Berikut adalah urutan gerakan pemanasan sebelum melakukan brain gym (Muhammad, 2013): 1. Minum air putih secukupnya 10 menit sebelum latihan dimulai. 2. Lakukan pernapasan perut sebanyak 4-8 kali. Pernapasan perut dilakukan dengan meletakkan kedua telapak tangan di atas perut dan 36 bernapas seperti biasa, yaitu perut yang mengambang dan mengempis tanpa menggunakan pergerakan otot dada. 3. Melihat ke kanan dan ke kiri selama 4-8 kali dengan melakukan pernapasan perut. 4. Santai selama 4-8 kali pernapasan perut. 5. Rentangkan kedua tangan seluas dan senyaman mungkin. Bayangkan otak tangan kanan adalah otak kanan dan tangan kiri adalah otak kiri, kemudian satukan kedua tangan sambil membayangkan bahwa otak kanan dan kiri menjadi satu. Gerakan ini dilakukan 4-8 kali. 6. Sentuh titik-titik di bagian kepala bagian kiri dan kanan (selain wajah dan leher) selama 4-8 kali pernapasan perut. Pedoman gerakan brain gym menurut Muhammad (2013), ada 24 gerakan dan pada penelitian ini digunakan enam gerakan, antara lain: 1. Gerakan Delapan Tidur Menggambar angka delapan dalam posisi tidur dengan titik tengah yang jelas, memisahkan wilayah lingkaran kanan dan kiri, serta dihubungkan dengan garis. Gambar delapan tidur dapat dilakukan di udara atau di atas permukaan seperti pasir, kertas atau papan tulis. Gerakan dilakukan sebanyak 8 hitungan kali untuk setiap tangan secara bergantian, sehingga totalnya menjadi 2x8 hitungan. Manfaat gerakan ini adalah untuk mengaktifkan kedua belahan otak pada saat yang sama, meningkatkan daya ingat otak. 37 Gambar 2.1 Gerakan 8 Tidur 2. Gerakan Putaran Leher Gerakan ini dilakukan dengan memutar leher dari posisi depan sampai setengah lingkaran ke kiri dan kanan saja, tidak dianjurkan memutar kepala sampai ke belakang. Kemudian menundukkan kepala dan ayunkan seperti bandul ke kanan dan ke kiri dengan posisi tubuh tetap tegak, lakukan gerakan sebanyak 2x8 hitungan. Maafaat dari gerakan ini adalah relaksasi sistem saraf pusat, pemusatan perhatian seperti menatap orang untuk berkomunikasi lebih fokus, mengerjakan sesuatu lebih baik, dan mengurangi efek pegal-pegal 38 sehabis belajar. Gerakan ini dapat dilakukan sebelum membaca atau menulis karena dapat memacu kemampuan penglihatan dengan kedua mata (binocular) dan pendengaran dengan kedua telinga (binaural) secara bersamaan. Gambar 2.2. Putaran Kepala 3. Gerakan Burung Hantu Gerakan burung hantu bertujuan untuk melatih dan meningkatkan keterampilan penglihatan, pendengaran, dan putaran kepala. Manfaat melakukan gerakan burung hantu adalah dapat merileksasi daerah tengkuk dan bahu, meningkatkan koordinasi mata terutama saat membaca, maupun kemampuan melihat dekat lainnya, serta 39 meningkatkan peredaran darah ke otak, kemampuan fokus, perhatian, dan ingatan. Cara melakukan gerakan ini, yaitu berdirilah dengan kedua kaki direntangkan selebar bahu. Letakkan telapak tangan kiri pada bahu kanan, sementara tangan kanan dibiarkan bebas. Sambil menengok atau menggerakan kepala secara perlahan ke kiri dan kanan dengan tinggi posisi dagu tetap, telapak tangan kiri meremas-remas atau memijat bahu dan melakukan pernapasan perut. Kemudian gerakan diulangi pada bahu lainnya. lakukan gerakan yang sama sebanyak 2x8 hitungan. Gambar 2.3. Gerakan Burung Hantu 40 4. Gerakan Mengaktifkan Tangan Gambar 2.4. Gerakan Mengaktifkan Tangan Jenis gerakan ini adalah gerakan isometrik yang bertujuan untuk memperpanjang otot-otot dada atas dan bahu. Gerakan isometrik membantu kemapuan menulis, koordinasi mata dan tangan, membantu penguasaan penggunaan peralatan, seperti komputer, meningkatkan durasi perhatian pada tulis-menulis, energi pada tangan dan jari, serta memperlancar pernapasan. 41 Cara melakukan gerakan ini, yaitu luruskan tangan kiri ke atas, lalu tangan kanan memegang siku tangan kiri. Kemudian buang napas, lalu dorong tangan ke depan, ke belakang, baik ke dalam maupun ke luar. Sementara itu, tangan lainnya menahan dorongan tersebut. Lakukan berulang-ulang sampai 2x8 hitungan, kemudian ganti dengan tangan lainnya secara bergantian. 5. Gerakan Sakelar Otak ini dilakukan dengan memijiat jaringan lunak di bawah tulang selangka di kiri dan kanan tulang dada dengan satu tangan, sementara tangan yang lainnya memegang atau memijat sebelah kanan dan kiri pusar. Pijatan pada daerah bawah tulang selangka berfungsi memperlancar aliran darah darah, sedangkan tangan di pusar berfungsi menyeimbangkan impuls-impuls yang berhubungan dengan telinga bagian dalam dan berpengaruh pada kemampuan belajar. Lebih lanjut, pengiriman pesan dari otak kiri ke kanan, atau sebaliknya lebih optimal, dan meningkatkan penerimaan oksigen Penggunaan tangan dapat diganti untuk mengaktifkan kedua bagian otak. Lakukan gerakan sebanyak 2x8 hitungan. 42 Gambar 2.5. Gerakan Sakelar Otak Manfaat gerakan sakelar otak adalah mengkoordinasi kedua belahan otak, meningkatkan kelancaran aliran darah ke otak dan keseimbangan badan, serta kerja sama antarkedua mata sehingga dapat mengurangi mata juling, mengoptimalkan keterampilan motorik halus, memperbaiki sikap tubuh, meningkatkan energi, mengurangi stress visual dan relaksasi tengkuk, serta bahu. 6. Gerakan Tombol Bumi Ujung satu jari tangan menyentuh bawah bibir, sedangkan ujung jari lainnya menyentuh pinggir atas tulang kemaluan (±15 cm dibawah 43 pusar). Bila sudah mendapatkan titik yang dimaksud, kemudian sentuhlah titik tersebut di atas selama 2x8 hitungan. Bernapaslah dengan perlahan dan dalam untuk merasakan rileksasinya. Ganti tangan untuk mengaktifkan kedua belahan otak. Gerakan tombol bumi dapat meningkatkan koordinasi dan konsentrasi (melihat secara vertikal dan horizontal sekaligus tanpa keliru, seperti saat membaca kolom dalam tabel). Dapat juga untuk mengurangi stres, mengoptimalkan jenis pekerjaan, seperti organisasi, perancangan seni, serta pembukuan yang berhubungan yang dimensi vertikal dan horizontal. Gambar 2.6. Gerakan Tombol Bumi 44 2.3.4 Hubungan Brain Gym dan Fungsi Kognitif Fungsi kognitif dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia. Usia yang bertambah memberikan pengaruh pada berbagai perubahan pada dirinya, baik yang bersifat fisik maupun secara mental. Berdasarkan usia, seseorang yang berusia diatas 60 tahun dikatakan lanjut usiat atau sering disebut lansia (Nugroho, 2014). Menuut penelitian yang dilakukan Mongisidi (2013), individu dengan kategori usia tua atau old age (>60 tahun) rata-rata memiliki presentasi fungsi kognitif tidak normal. Hasil penelitian tersebut menunjukkan secara tidak langsung bahwa, dengan bertambahnya usia, dapat terjadi penurunan fungsi kognitif. Bertambahnya usia pada lansia, menyebabkan kondisi fisik menurun, antara lain massa tulang yang berkurang akibat adanya atrofi serabut otot, sehingga gerakannya menjadi lamban dan lemah, elastisitas pergerakan sendi menurun bahkan dapat terjadi gangguan sendi, kekakuan jaringan penghubung, tendon mengerut dan mengalami sklerosis., serta di tambah dengan menurunya curah jantung, kehilangan elastisitas pembuluh darah menyebabkan suplai darah ke otot dan organ lainnya terganggu (Nugroho, 2014). Kondisi tersebut menyebabkan lansia mudah lelah dan secara umum menjadi lebih pasif. Hal tersebut juga menambah risiko untuk tejadinya gangguan gerak yang lebih buruk. Kurang gerak menyebabkan badan menjadi tidak bugar, pompa otot terhadap aliran darah balik menjadi tidak 45 efektif, dan akhirnya suplai darah ke seluruh tubuh tidak baik. Suplai darah yang tidak baik dapat mengganggu kerja fungsi organ dan salah satu adalah otak yang merupakan organ yang sensitif terhadap adanya gangguan suplai darah (Stanley dan Beare, 2012; Nugroho, 2014). hal tersebut sesuai denga hasil penelitian yang dilakukan Santoso dan Rohmah (2011), dimana dikatakan bahwa gangguan gerak memberikan pengaruh sebesar 68,5% terhadap terjadinya gangguan fungsi kognitif pada lansia. Faktor internal yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif adalah perubahan struktur pada otak itu sendiri. Perubahan ukuran otak akibat atrofi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. Korteks serebral merupakan bagian otak yang sering disebut sebagai kubah intelegensia dan merupakan pusat fungsi kognitif pada otak. Bila hal tersebut terjadi, maka dapat terjadi gangguan atau penurunan fungsi kognitif. Tidak ada bedanya dengan otot, dimana otot dapat dilatih untuk meningkatkan ketahanan, kekuatan, dan meningkatkan massa otot. Otak juga dapat diolahragakan untuk mempertahankan fungsinya melalui latihan yang memberikan stimulus pada otak karena otak memiliki sifat plastisitas, yaitu kemampuan struktur dan fungsi otak untuk melakukan reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf dengan adanya stimulasi (Sanley and Beare, 2012; Muhammad, 2013). 46 Salah satu kegiatan yang dapat memberikan stimulasi otak menurut Kemenkes (2013) adalah melalui aktivitas fisik, dimana dengan melakukan olahraga teratur dapat meningkatkan protein-protein penting yang ada di dalam otak yang berperan untuk menjaga sel saraf tetap bugar dan sehat (Kemenkes, 2013). Latihan gerak yang dapat memberikan stimulus yang baik pada otak salah satunya adalah brain gym. Brain gym merupakan latihan gerak yang terdiri atas gerakan-gerakan sederhana, dimana masing-masing gerakan dari brain gym dapat memberikan stimulus pada tiga dimensi Dengan melatih gerakan-gerakan yang dapat memberikan stimulus pada otak diharapkan proses plastisitas dapat terus dipertahankan sehingga fungsi kerja otak tetap baik. Selain adanya proses plastisitas yang dimiliki otak, manfaat melakukan latihan gerak adalah dapat memperlancar aliran darah terutama aliran darah yang menyuplai otak. Bila perfusi otak baik, tentu otak akan dapat bekerja dengan baik. (Stanley and Beare, 2012; Muhammad, 2013).