View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari
bahasa
Latin
yaitu,
yang
communis
berarti
“sama”,
communico,
communicate, communication yang berarti “membuat sama” (to make
common) (Mulyana, 2007:46). Komunikasi adalah jembatan dalam
mewujudkan keinginan dan kebutuhan tiap individu sebagai mahluk sosial.
Seorang ibu berbelanja ke sebuah toko kepunyaan Cina di Dumai. Ibu
itu tertarik pada suatu barang baru kemudian menawar harganya. Setelah ibu
menyebut harga yang ditawarkannya, pedagang lalu berkata “Lugila”. Ibu
spontan marah namun pedagang tetap mengulangi perkataannya. Hal ini
menimbulkan keramaian. Orang-orang mengerumuni ibu dan pedagang. Istri
pemilik toko kemudian datang membantu suaminya. Ia terkejut suaminya
dimarahi oleh si ibu. Ia lantas bertanya mengapa ibu tersebut memarahi
suaminya. Ternyata si ibu tidak terima disebut gila oleh suaminya. Ia berganti
menanyai suaminya tentang pokok permasalahan yang sebenarnya. Menurut
sang suami, ia tidak mengatakan bahwa si ibu gila melainkan berkata
“Rugilah”. Ini dikarenakan pemilik toko tidak dapat melafalkan huruf R
dengan baik maka terdengar seperti melafalkan huruf L. Akhir dari cerita ini,
kedua belah pihak saling memaafkan (Mulyana, 2007:259-260).
Dari contoh kasus di atas terlihat bahwa komunikasi verbal tidak
semudah mengucapkan kata sesuai yang dikehendaki melainkan memaknai
1
2
kata itu sendiri merupakan hal yang kompleks. Apalagi jika terlibat dalam
komunikasi beda bahasa. Contoh di atas merupakan persoalan aksen akan
tetapi efeknya bisa menimbulkan masalah. Adapun hasil penelitian oleh Ray
Birdwhistell dari University of Pensyllvania yang menyatakan bahwa hanya
sekitar 30-35% komunikasi manusia menggunakan pesan verbal, sisanya 6570% menggunakan pesan atau cara-cara non verbal (Mulyana, 2007:269).
Artinya, manusia berkomunikasi secara verbal sangat terbatas. Angka
presentasi yang hanya 35% menyebabkan kurangnya komunikasi melalui
kata-kata dibandingkan dengan berkomunikasi secara verbal. Mungkin ini
pulalah yang menyebabkan seringnya terjadi miskomunikasi akibat
terbatasnya komunikasi yang dilakukan secara verbal. Oleh karena itu,
timbullah keinginan penulis untuk menganalisis lebih jauh mengenai
komunikasi verbal.
Komunikasi verbal dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut
bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan
untuk mengombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan
dipahami oleh suatu komunitas (Mulyana, 2007). Misalnya, orang Eskimo
mempunyai 30 kata tentang salju sedangkan orang Indonesia cuma satu kata
saja: salju. Salah satu suku di Filipina mempunyai 92 nama untuk “rice”
dalam bahasa inggris, orang Indonesia cuma 4: padi, gabah, beras, dan nasi.
Dan orang Inggris serta Amerika menyebutnya dengan satu kata: rice. Ini
menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi secara verbal terdapat begitu
3
banyak komponen bahasa yang patut dimengerti, jelas untuk menghindari
terjadinya kesalahpahaman.
Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran,
perasaan, dan maksud. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang
merefleksikan berbagai aspek realitas individual manusia. Akan tetapi,
konsekuensi atas bahasa verbal tersebut yakni, tidak totalnya sebuah
penyampaian
pesan
dikarenakan
kata-kata
yang digunakan
sebagai
perwakilan.
Bahasa membantu kita dalam proses belajar, mengingat, memecahkan
soal, dan menarik kesimpulan. Dengan bahasa, manusia yang satu dapat
mengomunikasikan pemikirannya dengan manusia yang lainnya. Sebetulnya,
setiap kata yang diucapkan menghasilkan konotasi yang berbeda-beda bagi
setiap manusia bergantung pada pengalaman hidupnya.
Dalam teori Whorf dijelaskan bahwa pandangan kita tentang dunia
dibentuk oleh bahasa; karena bahasa berbeda-beda, pandangan kita tentang
dunia pun berbeda. Manusia menyaring data sensori yang masuk secara
selektif seperti yang telah diprogram oleh bahasa yang digunakan. Dengan
demikian, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda hidup dalam
dunia
sensori
yang
berbeda
pula.
Dalam
penjelasannya,
Whorf
mengungkapkan bahwa kategori gramatikal suatu bahasa menunjukkan
kategori kognitif dari pemakai bahasa itu. Artinya, manusia memberikan
makna kepada apa yang dilihatnya, didengarnya, atau yang dirasakannya
dengan kategori-kategori yang ada dalam bahasa kita. Terdapat keterkaitan
4
antara bahasa dan realitas. Menurut teori principle of linguistic relativity,
bahasa menyebabkan manusia memandang suatu realitas dengan cara
tertentu.
Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga fungsi: penamaan
(naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. Penamaan atau
penjulukan merujuk pada usaha mengindetifikasi objek, tindakan, atau orang
dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi
interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi yang dapat mengundang
simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Melalui bahasa,
informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Kita pun dapat menerima
informasi sejak kita bangun dari tidur hingga tidur lagi, dari orang lain, baik
secara langsung maupun tidak langsung (media massa).
Penggunaan bahasa yang berbeda jelas berlaku pada pria dan wanita.
Ada bahasa pria dan ada bahasa wanita. Hal inilah yang mengundang
keingintahuan (rasa penasaran) akan perbedaan cara keduanya memaknai
kata-kata yang diucapkan satu sama lain untuk dianalisis ke dalam sebuah
penelitian. Objeknya bukan pada sepasang atau dua pasang pria dan wanita
dalam kehidupan nyata melainkan dari tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah
film.
Berangkat dari sebuah buku self-improvement berjudul He’s Just Not
That Into You karya Greg Behrendt dan Liz Tuccillo, rumah produksi New
Line Cinema bekerja sama dengan Flowers Film mengangkatnya ke dalam
sebuah film berjudul sama yang diproduksi pada tahun 2009. Buku yang
5
ditulis oleh dua orang di balik layar serial Sex And The City ini terinspirasi
oleh dialog dari salah satu episodenya. Di mana tokoh Miranda mendapati
teman kencannya menolak mampir ke apartemennya dengan alasan ia ada
rapat keesokan paginya. Tokoh Miranda lantas mencurahkan isi hatinya pada
sang teman, kemudian temannya tersebut mengatakan bahwa “he’s just that
into you”. Yang artinya, jika seorang pria tertarik padamu, dia akan datang
dengan sendirinya.
Terdapat sembilan orang dewasa yang tinggal di Baltimore dengan
segala problematika romantisme mereka masing-masing. Cerita berpusat pada
tokoh Gigi, wanita muda yang seringkali salah mengartikan pesan romantika
yang dikirimkan teman kencannya. Kesembilan orang tersebut berada dalam
empat buah kisah cinta yang saling berhubungan. Gigi yang penasaran
mengapa sang teman kencan tidak pernah meneleponnya setelah kencan
mereka berdua padahal Gigi merasa ia dan pria tersebut sama-sama memiliki
ketertarikan kemudian mendatangi sebuah bar di mana Alex yang merupakan
kawan baik teman kencannya memberitahukannya beragam alasan jika pria
tersebut menyukai atau tidak menyukainya. Alex akhirnya menjalin
pertemanan dengan Gigi. Seiring waktu berjalan, mulai tumbuh rasa suka di
hati Gigi terhadap Alex. Akan tetapi, sama seperti pria-pria yang pernah
dikencaninya, Alex tidak memiliki ketertarikan pada Gigi. Padahal
sebelumnya, Gigi sudah sangat yakin pada sinyal-sinyal yang dikirimkan
Alex untuknya.
6
Ada pula Janine dan suaminya Ben yang dilihat dari luar, tampak
sepasang keluarga bahagia. Seolah-olah di antara mereka tidak pernah ada
masalah apapun sampai Janine memergoki sang suami menyembunyikan sisa
puntung rokok yang ditemukannya di belakang rumah. Ditambah lagi dengan
pengakuan Ben bahwa ia telah selingkuh dengan seorang instruktur yoga
yang berobsesi menjadi penyanyi bernama Anna.
Di sisi lain, ada Beth, rekan kerja Gigi dan Janine yang sudah tujuh
tahun hidup bersama dengan kekasihnya. Awalnya tidak terlintas keinginan
untuk meresmikan hubungannya dengan Neil, namun pikiran tersebut
membayanginya tatkala sang adik akan melangsungkan pernikahan. Neil
yang tidak menganut paham pernikahan tidak dapat menyanggupi permintaan
Beth dan mereka pun putus.
Anna memiliki pemuja yang amat menyukainya, Conor, yang tidak
lain adalah teman kencan Gigi dan kawan baik Alex. Conor hanya menyukai
Anna sampai pada akhirnya, Anna memperjelas bahwa hubungan mereka
hanya sekadar teman biasa. Muncul tokoh Mary, teman Anna yang bekerja di
sebuah surat kabar lokal gay yang menjadi tempat curhatan Anna kemudian
akhirnya jatuh cinta pada Conor setelah melalui hubungan percintaan yang
tak kunjung bersambut, sama seperti Gigi.
Sutradara Ken Kwapis mengemasnya ke dalam banyak kisah di mana
masing-masing tokoh terkait satu dan lainnya. Dengan menampilkan deretan
aktor Hollywood ternama, film yang diproduseri oleh Drew Barrymore yang
juga ambil peran dalam film ini berhasil menduduki puncak Box Office
7
dengan perolehan pemasukan senilai 180 juta dollar AS di pemutaran seluruh
dunia.
Bukan karena film He’s Just Not That Into You sukses di pasaran
sehingga penulis tertarik untuk mengangkatnya sebagai objek penelitian
melainkan karena film tersebut memuat isi cerita yang berkaitan dengan studi
komunikasi. Seperti dikutip dari artikel di www.21cineplex.com, Inti
cerita He’s Just Not That Into You memang simpel, tentang kehidupan
beberapa wanita serta quarterlife crisis-nya. Namun, yang membuat film ini
unik adalah cara untuk memahami bahasa laki-laki yang disampaikan melalui
gesture dan ucapan bersayap mereka. Banyak wanita kurang bisa menangkap
gesture dan pesan bersayap dari para lelaki atau bahkan pasangannya sendiri.
Apakah dirinya cuma sekedar the rule or exception?
Berbekal
cerita
yang
sederhana
tersebutlah
penulis
tertarik
mengangkat pesan-pesan verbal yang terkandung dalam film He’s Just Not
Into You sebagai objek penelitian dengan judul:
ANALISIS KOMUNIKASI VERBAL
DALAM FILM HE’S JUST NOT THAT INTO YOU
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan
rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perbedaan komunikasi verbal antara pria dan wanita dalam
film He’s Just Not That Into You?
8
2. Mengapa terjadi kesalahan penafsiran oleh wanita terhadap pesan verbal
pria dalam film He’s Just Not That Into You?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
1. Tujuan penelitian
a) Untuk mengetahui perbedaan proses komunikasi verbal antara pria
dan wanita dalam film He’s Just Not That Into You
b)
Untuk mengetahui kesalahan penafsiran oleh wanita terhadap pesan
verbal pria dalam film He’s Just Not That Into You?
2. Kegunaan penelitian
a) Penelitian
ini
diharapkan
mampu
menjadi
referensi
dalam
pembelajaran mengenai studi komunikasi verbal.
b) Penelitian diharapkan menjadi bahan rujukan para mahasiswa dalam
mengembangkan bidang keilmuan dalam studi analisis komunikasi
verbal terkhusus pada studi komunikasi untuk Language and Gender.
D. KERANGKA KONSEPTUAL
Istilah “Words don’t mean, people mean” adalah contoh bahwa letak
komunikasi bukan pada kata-kata atau bahasa verbal yang diucapkan
melainkan pada siapa yang menafsirkan. Manusia adalah mahluk berbudaya
yang berkembang dengan cara belajar dari alam dan pengalaman. Menurut
Noam Chomsky dalam teori behaviorisme dan nativismenya bahwa
pengetahuan manusia dalam hal ini adalah anak-anak tentang bahasa melalui
tiga proses: asosiasi, imitasi, dan peneguhan. Asosiasi berarti melazimkan
suatu bunyi dengan objek tertentu. Imitasi berarti menirukan pengucapan, dan
9
struktur kalimat yang didengarnya. Peneguhan merupakan ungkapan
kegembiraan yang dinyatakan ketika anak mengucapkan kata-kata itu dengan
benar. Kemampuan menggunakan suatu bahasa menurut Noam Chomsky
karena adanya pengetahuan bawaan yang diprogram secara genetik dalam
otak. Ini disebut LAD (Language Acquisition Device). LAD tidak
mengandung kata atau gagasan tetapi hanya merupakan suatu sistem yang
memungkinkan manusia menggabungkan komponen-komponen bahasa
walaupun bentuk luar bahasa di dunia masing-masing berbeda. Bahasabahasa itu memiliki kesamaan pokok yang disebut Chomsky linguistic
universal.
Menurut teori Aksi Bicara, komunikasi verbal adalah di mana jika
Anda menyampaikan sebuah niat tentang sesuatu yang Anda lakukan di masa
depan dan mengharapkan pelaku komunikasi lain sadar terhadap apa yang
Anda katakan dan niat Anda, Anda berasumsi orang lain tahu makna dari
kata-kata Anda. Mengetahui kata-kata tidaklah cukup. Mengetahui niat Anda
untuk menyelesaikannya dengan kata-kata adalah vital. Teori kemampuan
berbicara yang kebanyakan dihubungkan dengan John Searle dirancang untuk
membantu kita memahami bagaimana manusia menyempurnakan hal dengan
kata-katanya. Menurut Searle, kita tahu maksud di balik sebuah pesan tertentu
karena kita berbagi permainan bahasa sederhana yang terdiri dari sejumlah
aturan yang membantu kita untuk mendefinisikan kekuatan memengaruhi
sebuah pesan.
10
Dalam berbahasa kita sering mencampuradukkan fakta (uraian),
penafsiran (dugaan), dan penilaian. Masalah ini berkaitan dengan kekeliruan
persepsi. Dan banyak peristiwa yang kita anggap fakta sebenarnya merupakan
dugaan yang berdasarkan kemungkinan. Komunikasi kita akan lebih efektif
kalau kita memisahkan pernyataan fakta dengan dugaan.
Kita menganggap bahwa arti atau makna kata dikandung setiap kata
yang kita ucapkan. Sebenarnya kitalah yang memberi makna pada kata.
Makna muncul dari hubungan khusus antara kata (simbol verbal) dan
manusia.
Makna
tidak
melekat
pada
kata-kata
namun
kata-kata
membangkitkan makna dalam pikiran orang. Jadi tidak ada hubungan
langsung
antara
suatu
objek
dan
simbol
yang
digunakan
untuk
mempresentasikannya.
Film He’s Just Not That Into You mengangkat kasus komunikasi
verbal antara pria dan wanita “About meaning what you say without saying
what you mean”. Karena film ini memusatkan cerita pada tokoh wanita di
dalamnya, maka sebagai pisau analisis penulis menggunakan Muted Gorup
Theory oleh Cheris Kramarae yang berfokus pada Language and Gender.
Film He’s Just Not That Into You menggambarkan kesalahan wanita dalam
menafsirkan perkataan pria.
Seperti yang Colte Haines tuliskan dalam summary-nya:
Have you ever wondered why in Charles Shultz’s cartoon, Peanuts,
you can never understand what Charley Brown’s teacher is saying? It
is always the sound of someone trying to talk through a drive through
speaker box, followed by a reply of “Yes ma’am” from Charley.
Perhaps Mr. Shultz wanted to cutback on the budge and not pay an
extra woman actor for such a minor role, or it could be determined
11
that women in society have trouble communicating and are hard to
understand. Women, having trouble to communicate…
Apakah kau pernah membayangkan mengapa dalam kartun Charles
Shultz, Peanuts, kau tidak pernah dapat mengerti apa yang dikatakan oleh
guru tokoh Charley Brown? Cara bicaranya terdengar seperti seseorang yang
berbicara dengan pengeras suara, diikuti dengan jawaban “ya, bu” dari tokoh
Charley. Mungkin Tuan Shultz ingin memotong budget dengan tidak
menyewa pemeran wanita tambahan untuk peran kecil, atau mungkin
dikarenakan
wanita
dalam
masyarakat
memiliki
masalah
dalam
berkomunikasi dan sulit untuk dimengerti. Wanita, memiliki masalah untuk
berkomunikasi.
Penggalan summary di atas merupakan ulasan singkat mengenai
sebuah kartun berjudul Peanuts di mana ada salah satu tokoh guru berjenis
kelamin wanita yang ketika ia berbicara, seperti berbicara dengan pengeras
suara. Tidak jelas. Tidak dapat dimengerti. Kemungkinan, sang kreator dalam
kartunnya tersebut ingin mencerminkan keadaan yang sebenarnya di
masyarakat bahwa wanita mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
Mereka memiliki masalah dalam berkomunikasi dengan tokoh guru wanita
dalam kartun Peanuts.
Sehubungan dengan kartun Peanuts yang menggambarkan tokoh guru
wanita dalam berbicara menimbulkan ketidakjelasan dalam berkomunikasi,
teori yang berkaitan dengan kasus tersebut adalah Muted-Group Theory oleh
Cheris Kramarae. Karena tokoh guru tersebut berjenis kelamin perempuan,
dan masalah penelitian yang diangkat berkaitan dengan komunikasi antara
12
pria dan wanita berfokus pada wanita, maka teori tersebut merupakan teori
yang menyangkut tentang bahasa dan gender.
Colte Haines dalam summary-nya mengenai Muted-Group Theory:
Cheris Kramarae Muted Group Theory is based on 3
assumptions. First, men and women look at the world
differently, and because they look at the world differently, they
do different jobs in society. Second, men are politically
dominate and suppress women’s ideas and meaning though
public support. Finally, women must translate their meanings,
their thoughts, and their feelings into man’s terms in order to
communicate (Chadwick, 2003, ¶ 3). (Colte Haines, 2003).
Muted-Group Theory memiliki tiga asumsi dasar yakni: (1) pria dan
wanita berbeda dalam cara memandang dunia oleh karena itu mereka pun
berbeda dalam memiliki pekerjaan di masyarakat (2) pria mendominasi
sistem di masyarakat dengan menindas ide-ide wanita (3) wanita harus
menerjemahkan pikiran dan perasaan mereka ke dalam istilah pria agar dapat
berkomunikasi.
Komunikasi melibatkan dua jenis komunikasi yakni:
a. Komunikasi konteks tinggi: bersifat implisit, tidak langsung, dan tidak
berterus terang. Tahan lama, lamban berubah, dan mengikat kelompok
yang menggunakannya
b. Komunikasi konteks rendah: bersifat eksplisit, gaya bicara langsung,
lugas, dan berterus terang. Cepat dan mudah berubah, karena itu tidak
menyatukan kelompok.
13
SKEMA OPERASIONAL KERANGKA KONSEPTUAL
Film He’s Just Not That Into You
Komunikasi Verbal
Pria dan Wanita
Muted-Group Theory
Oleh Cheris Kramarae
Language and Gender
E. DEFINISI OPERASIONAL
Berikut variabel-variabel yang akan diteliti oleh penulis:
a) Komunikasi Verbal: Proses pertukaran pesan menggunakan bahasa lisan
(kata atau kalimat) yang diucapkan melalui indera mulut dan lidah.
Pemaknaan ditandai dengan adanya simbol-simbol yang disertakan. Baik
melalui bahasa lisan itu sendiri tetapi juga disertai gesture dan mimik
wajah.
b) Film He’s Just Not That Into You: Film yang memuat cerita mengenai
kesalahan dalam berkomunikasi antara pria dan wanita.
c) Cheris Kramarae: Seorang pakar komunikasi yang studinya berfokus pada
language and gender serta feminisme. Ia merupakan speaker dalam
berbagai seminar dan salah satu pengajar di University of Oregon.
d) Muted-Group Theory: Teori komunikasi yang berfokus pada bahasa dan
gender. Teori ini awalnya merupakan hasil penelitian dua ahli Antropologi
14
yakni, Shirley dan Edwin Ardener yang kemudian dikembangkan oleh
Cheris Kramarae.
F. METODE PENELITIAN
1. Waktu dan objek penelitian
Waktu penelitian berlangsung dari April-Juni 2011 sedangkan objek
penelitian adalah film Hes’ Just Not That Into You berdurasi 129 menit
produksi New Line Cinema bekerja sama dengan Flowers Film tahun
2009 dan disutradarai oleh Ken Kwapis.
2. Tipe penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif di mana
penulis akan mengadakan observasi terhadap film He’s Just Not That Into
You. Deskriptif kualitatif yakni dengan melakukan pengamatan pada
objek film He’s Just Not That Into You, menganalisis pesan komunikasi
verbal di dalamnya dengan menggunakan Muted Group Theory.
3. Teknik pengumpulan data
Menggunakan data primer yakni dengan melakukan pengamatan pada
film He’s Just Not That Into You.
Data sekunder diperoleh dari wawancara dengan:
a) Psikolog
b) Wawancara dengan coder berjumlah tiga orang yang berjenis
kelamin wanita.
c) Artikel-artikel yang bersangkutan pada majalah dan internet.
15
4. Teknik analisis data
Teknis analisis data yakni dengan menggunakan Muted-Group Theory
oleh Cheris Kramarae. Teori ini berkaitan dengan masalah yang diangkat
dalam penelitian yakni, perbedaan cara berkomunikasi verbal antara pria
dan wanita dan masalah serta kesalahan wanita dalam berkomunikasi
dalam film He’s Just Not That Into You sebagai objek penelitian.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. MEMAHAMI KOMUNIKASI VERBAL
Dalam essay yang ditulis oleh Robert M. Krauss dari Columbia
University mengenai The Psychology of Verbal Communication, dalam
abstraknya, ia menuliskan bahwa:
Communication occurs when signals carry information-bearing
messages between a source (or sender) and a destination (or
receiver).
Komunikasi terjadi ketika sinyal membawa informasi akan pesan
antara pengirim dan penerima. Artinya, ketika manusia berkomunikasi maka
saat itulah keinginannya disampaikan dan terjadi penafsiran akan pesan
tersebut.
Selanjutnya, Krauss menyebutkan bahwa:
At a fundamental level verbal messages convey meanings the speaker
has encoded into the words of an utterance, but a listener who has
understood the utterance has gone beyond the literal meaning of the
words and grasped the particular sense in which the speaker intended
them to be understood.
Pada level fundamental, pesan verbal membawa arti yang pembicara
(pengirim) telah sandi ke dalam sebuah ungkapan, tapi pendengar yang
mengerti ungkapan tersebut keluar dari arti yang sebenarnya akan kata dan
pemahaman akan pengertian khusus yang mana si pengirim pesan
mengharapkan mereka mengerti.
Menurut Krauss, sistem komunikasi menggunakan dua jenis sinyal
yaitu, tanda dan simbol. Tanda adalah sinyal yang menyebabkan hubungan
pesan yang dibawa. Contohnya, kita mengatakan ‘blushing’ atau ‘memerah
17
malu-malu’ berarti seseorang yang malu karena kita tahu bahwa kemaluan
disebabkan oleh blushing atau memerah malu-malu. Simbol, di sisi lain,
adalah produk kebiasaan sosial. Artinya, simbol terbentuk dari hasil
kebiasaan yang dilakukan di masyarakat. Dan simbol dapat berbeda-beda
pada setiap masyarakat tertentu.
Selanjutnya
dalam
essay Krauss,
terdapat
empat
paradigma
komunikasi yakni: 1. Encoding and Decoding; 2. Communicative Intentions;
3. Perspective-Taking; 4. Dialogism.
1. Encoding and Decoding adalah proses menyandi dan membaca
sandi yang terjadi antara komunikator dan komunikan atas pesan
yang mereka bawa.
2. Communicative Intentions adalah maksud atau tujuan dalam proses
komunikasi. Pesan yang disampaikan terkadang tidak dapat
diterjemahkan
dengan
baik
karena
tidak
semua
orang
berpandangan sama.
3. Perspective-Taking adalah kelanjutan daripada poin kedua di mana
ini merupakan penglibatan sudut pandang masing-masing orang.
4. Dialogism adalah proses komunikasi atau saling berdialog antara
satu dan lainnya mengenai hal yang ingin dicapai.
Komunikasi merupakan alat untuk mencapai keinginan akan sesuatu.
Menyampaikan pesan berupa informasi harus melalui komunikasi. Dengan
komunikasi hubungan antar satu manusia dengan manusia yang lain terjalin.
Komunikasi dilakukan dengan dua cara: komunikasi verbal dan komunikasi
18
non verbal. Komunikasi verbal berfokus pada bahasa lisan (diucapkan)
sedangkan komunikasi non verbal adalah komunikasi yang dilakukan dengan
menggunakan bahasa tubuh.
Berdasarkan pada penelitian Ray Birdwhistell dari University of
Pensyllvania bahwa hanya sekitar 35% dari keseluruhan aktivitas komunikasi
manusia dilakukan dengan komunikasi verbal maka banyak orang tidak sadar
bahwa bahasa itu terbatas (Mulyana, 2007:269).
Berbicara tentang komunikasi berarti berbicara tentang bahasa. Dan
komunikasi verbal adalah komunikasi yang melibatkan bahasa (lisan). Tidak
ada yang bisa menampik bahwa bahasa adalah unsur terpenting dalam
terjadinya komunikasi
verbal (lisan). Bahasa adalah alat manusia
menyampaikan pesan secara verbal dalam berkehidupan. Tidak ada satu
manusia pun di dunia ini yang tidak memiliki bahasa. Bahasa merupakan
identitas suatu kelompok atau bangsa---dalam pengertian secara luas. Tanpa
bahasa maka tidak akan terjadi komunikasi.
Studi tentang bahasa merupakan studi yang penting mengenai cara
manusia hidup, berpikir, berpengetahuan, menyusun konsep tentang dunianya
lalu mengungkapkannya secara lisan maupun tulisan. Bahasa merupakan
petunjuk mutu dan kekayaan pengetahuan suatu bangsa bagaimana mereka
mengonsepkan dunianya (Alo liliweri, 1994:2).
Begitu pentingnya bahasa maka ia tidak lepas dari siapa dan
bagaimana ia digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa dalam
komunikasi verbal adalah mutlak. Pesan verbal diucapkan secara lisan. Oleh
19
karena secara lisan maka komunikasi verbal sudah jelas berpusat pada ‘kata’
yang digunakan. Menurut Alo liliweri, ‘kata’ tersebut pun dalam
penggunaannya harus tepat karena apabila tidak, akan menimbulkan masalah
dalam komunikasi.
Bahasa harus dipahami sebagai wahana komunikasi verbal, maka
hendaklah dengan (1) mulai berpikir tentang bagaimana berbicara seharusnya
dan bukan seharusnya bagaimana seorang berbicara; (2) memberikan tekanan
tentang pemaknaan maupun implikasi sosial yang diakibatkan oleh bahasa;
(3) mengajarkan orang berbicara secara benar karena ia berasal dari dialek
yang berbeda; (4) menjelaskan dan mempelajari suatu standar berbahasa yang
diperlukan.
Menurut Casagrande (Aloliliweri, 1994) studi bahasa yang berpusat
pada ‘kata’ umumnya menitikberatkan pada taksonomi kata-kata. Yaitu, studi
mengenai makna kata yang sering disalahgunakan sehingga mengakibatkan
kegagalan dalam berkomunikasi.
Menurut Robin Lakoff:
Language uses us as much as we use language. As much as our
choice of forms of expression is guided by the thoughts we want to
express, to the same extent the way we feel about the things in the real
world governs the way we express ourselves about these things.
Apa yang dikemukakan oleh Robin Lakoff mendeskripsikan bahwa
bahasa menggunakan manusia sebanyak manusia menggunakan bahasa.
Sebanyak mungkin manusia menggunakannya sebagai hasil dari berpikir
untuk kemudian diekspresikan sebagai perluasan cara manusia merasakan
20
sesuatu di dunia nyata yang menentukan cara manusia mengekspresikan
dirinya sendiri.
B. BAHASA PRIA DAN BAHASA WANITA
Pria dan wanita adalah dua mahluk berbeda yang diciptakan Allah
SWT di dunia. Lebih baik atau lebih buruk, keduanya berbeda. Dan karena
itu pulalah bahasa
yang mereka
gunakan
berbeda. Cara
mereka
berkomunikasi tidak sama. Pria dengan bahasa pria dan wanita dengan bahasa
wanita. Mungkin, itu sebabnya pria dan wanita sering mengalami kegagalan
komunikasi seperti yang banyak diuraikan dalam penelitian, buku, jurnal,
artikel, dan sebagainya.
Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dedy Mulyana dalam buku Pengantar
Ilmu Komunikasi bahwa dalam berbagai penelitian, pria dan wanita dikaji
dalam berbagai aspek kehidupan. Wanita dilaporkan mengenal lebih banyak
warna seperti chartreuse, ecru, magenta, mauve, puce, teal, dan sebagainya.
Mereka juga lebih lazim menggunakan kata-kata sifat yang hambar (empty
adjectives), seperti divine, charming, cute, sweet, adorable, lovely, precious,
dan sebagainya. Mungkin karena berada dalam dominasi pria, bahasa yang
mereka gunakan tidak setegas bahasa pria. Misalnya, wanita sering
menggunakan kalimat yang mengandung ekor tanya (tag questions), seperti
“Sarah is here, isn’t she?” daripada “Is Sarah here?” atau kalimat yang
diakhiri dengan “right?” atau “OK?” Kekurangpercayaan diri mereka juga
diekspresikan lewat kata-kata penguat (intensifiers), misalnya, so, very, dan
sebagainya; juga berbagai kata atau frase yang melemahkan, seperti,
21
“maybe”, “perhaps”, “It’s sort of in here”, “It seems like…,” “Well, I may
be wrong, but…” dan sebagainya.; dan tata bahasa serta ucapan yang
hiperkorek (resmi); serta frase-frase yang lebih sopan seperti, “I’d really
appreciate it if…”; “Would you please…,” dan sebagainya. Dan ternyata,
wanita kurang memiliki rasa humor; kurang pandai menyampaikan lelucon;
dan sering tidak paham arti lelucon yang disampaikan pria. Wanita
menggunakan lebih banyak pertanyaan daripada pria dan mereka
menggunakannya sebagai strategi pemeliharaan percakapan. Pria cenderung
tidak mengakui apa yang dikatakan sebelumnya, melainkan menyatakan
pendapatnya. Karena perbedaan gaya ini, wanita mungkin merasa bahwa
komentar mereka diabaikan sementara pria merasa bahwa mengubah topik
secara implisit menyatakan persetujuan.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, jelas bahwa wanita adalah mahluk
ekpresif. Cara wanita menyampaikan pesan verbalnya “berbunga-bunga”
dibandingkan pria yang cenderung “datar”. Untuk itu, lahir istilah awam,
“wanita terlalu berperasaan sedangkan pria terlalu logis”. Ini berlaku dalam
menangani suatu permasalahan baik kaitannya dengan lingkungan sosial
maupun pribadi (bisa jadi dalam kehidupan percintaan).
Dalam buku best seller karya Allan dan Barbara Pease yang berjudul
Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read The Maps, diungkapkan
bahwa pria dan wanita memiliki perbedaan dalam berkomunikasi. Dalam bab
Introduction digambarkan bahwa sepasang suami istri dan ketiga putri
remajanya mengalami pertengkaran mulut saat sedang berkendara menuju
22
pantai. Sang suami kesal dengan kegaduhan yang ditimbulkan keempat
wanita yang sedang bersamanya sedangkan sang istri dan ketiga putrinya
heran mengapa sang suami dan ayah mereka menegur mereka yang gaduh
sehingga membuat konsentrasinya menyetir terganggu. Sang suami
menginginkan agar mereka berempat diam dan membiarkannya menyetir
dengan tenang sedangkan keempat wanita yang bersamanya bingung, mereka
tidak menemukan kaitan antara kegaduhan mereka dengan konsentrasi
menyetir sang suami. Masalah paling fundamental dalam kasus tersebut
adalah: pria dan wanita berbeda. Kedengaran sederhana. Apakah sesederhana
itu? Jawabannya, tidak.
Pria dan wanita berbeda. Lebih baik atau lebih buruk, mereka itu
berbeda. Ilmuwan, ahli Antropologi, ahli Sosiobiologis telah mengetahui hal
tersebut (perbedaan) sejak dahulu kala. Akan tetapi, jika penelitian mengenai
perbedaan pria dan wanita dipublikasikan kepada masyarakat maka hanya
akan menjadi sampah. Masyarakat masa kini cenderung menganggap bahwa
pria dan wanita sejajar dalam hal kemampuan, bakat, dan potensi diri--padahal secara ilmiah, pria dan wanita jelas berbeda.
Buku yang ditulis oleh sepasang suami istri ini bertujuan untuk
memberikan
pemahaman
akan
perbedaan
antara
pria
dan
wanita,
pembelajaran mengenai hubungan pria dan wanita, dan segala macam
permasalahan yang ditimbulkan akibat perbedaan tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Allan dan Barbara Pease bukan
sekadar penelitian kacangan.
23
This book took us three years, and more than 400, 000 kilometres, to
write. In the course of our research, we studied papers, interviewed
experts and gave seminars throughout Australia, New Zealand,
Singapore, Thailand, Hong Kong, Malaysia, England, Scotland,
Ireland, Italy, Greece, Germany, Holland, Spain, Turkey, the USA,
South Africa, Botswana, Zimbabwe, Zambia, Namibia, Angola,
Switzerland, Austria, Finland, Indonesia, Bulgaria, Saudi Arabia,
Poland, Hungary, Borneo, Russia, Belgium, France, Japan and
Canada.
Penelitian sepasang suami istri ini merupakan penelitian mendalam
dengan mempelajari naskah, mewawancarai para ahli hingga berkeliling
memberikan seminar ke 36 negara termasuk Indonesia untuk mendapatkan
jawaban atas pertanyaan mengapa pria tidak mendengarkan sedangkan
wanita tidak dapat membaca petunjuk.
Dalam penggalan kata pengantarnya, Allan dan Barbara Pease
berkata:
'But why don't you understand?' Relationships fail because men still
don't understand why a woman can't be more like a man, and women
expect their men to behave just like they do. Not only will this book
help you come to grips with the opposite sex, it'll help you understand
yourself. And how you can both lead happier, healthier and more
harmonious lives as a result.
Pertanyaan ‘Mengapa kau tetap tidak mengerti (paham)?’
Mencerminkan kegagalan hubungan antara pria dan wanita karena pria tidak
dapat memahami mengapa wanita menginginkan lebih dari mereka dan
wanita mengharapkan para pria berperilaku layaknya yang mereka lakukan.
Buku yang laris di pasaran ini membantu kita tidak hanya memahami lawan
jenis melainkan juga membantu kita memahami diri kita sendiri. Dan
bagaimana agar kita dan pasangan kita dapat hidup lebih baik dan harmonis.
Walau hanya membaca beberapa penggalan tulisan dari bab
Introduction oleh kedua penulis buku tersebut, sudah dapat dipahami bahwa
24
buku ini memuat studi mengenai perbedaan antara pria dan wanita dalam hal
berkomunikasi dan bertindak. Apa saja faktor yang menyebabkan dan solusi
yang diambil. Buku ini membahas seluk beluk pria dan wanita dalam
memandang aspek-aspek kehidupan. Ini sangat membantu dalam memahami
siapa sebenarnya pria dan wanita dalam konteks lebih luas.
Dari sebelas bab isi buku Why Men Don’t Listen and Women Can’t
Read The Maps, bab keenam adalah bab yang paling berkaitan dengan
pembahasan mengenai komunikasi verbal pria dan wanita melalui cara
berpikir keduanya.
CHAPTER 6: THOUGHTS, ATTITUDES, EMOTIONS AND
OTHER DISASTER AREAS
25
Belum membaca bab enam, kita sudah dapat membayangkan isi dari
bab enam tersebut dengan hanya melihat cover animasi atau pengantar bab
enam seperti yang penulis tunjukkan dengan gambar di atas.
Wanita memikirkan begitu banyak kemungkinan terhadap apa yang ia
pikirkan tentang pasangannya sedangkan pria hanya memikirkan satu hal.
Terlihat bahwa dalam kasus ini, wanita cenderung membuat banyak pilihan
jawaban atas pertanyaan pikirannya sedangkan pria cukup dengan satu
jawaban.
Menurut Allan dan Barbara Pease:
Men and women perceive the same world through different eyes. A
man sees things and objects and their relationship to each other in a
spatial way, as though he was putting the pieces of a jigsaw puzzle
together. Women literally take in a bigger, wider picture and see the
fine detail, but the individual pieces of the puzzles and their
relationship to the next piece is more relevant than their spatial
positioning. Male awareness is concerned with getting results,
achieving goals, status and power, beating the competition and
getting efficiently to the bottom line. Female awareness is focused on
communication, co-operation, harmony, love, sharing and our
relationship to one another. This contrast is so great that it's amazing
men and women can even consider living together in the first place.
Inti dari pembahasan di atas yakni, bahwa pria memandang suatu hal
dan objek serta hubungan satu sama lain menurut ruang dan waktu yang
artinya, pria memiliki satu pandangan mengenai satu hal sedangkan wanita
yang cenderung memandang secara lebih besar, luas, dan mendetil akan suatu
hubungan dengan lebih mementingkan unsur yang relevan daripada sekedar
penempatan ruang dan waktu. Pria fokus pada hasil, penghargaan,
pencapaian, status, kekuatan, dan kompetisi sedangkan wanita menyenangi
hal-hal yang berbau komunikasi, bekerja sama, cinta dan kasih sayang, serta
hubungan satu sama lain. Terlihat jelas perbedaan keduanya dari cara berpikir
26
dan memandang sesuatu. Hal yang menakjubkan mengingat bahwa keduanya
dapat memutuskan untuk hidup bersama.
Girls want relationships and cooperation,
boys want power and status.
Adapun survey mengenai apa yang dibicarakan pria dan wanita di
telepon yang dilakukan oleh perusahaan telekomunikasi Inggris, Telewest.
Men
Women
Friends
30%
53%
Sex/relationships
18%
22 %
Work
25%
11%
Sports
16%
2%
Other
11%
12%
A third of all women said their calls lasted at least 15 minutes and
half the men said their calls were less than 5 minutes.
Dari hasil survey di atas, dapat disimpulkan bahwa pertama, wanita
sangat jelas menyukai “mengobrol” dibandingkan pria dengan membahas
tentang teman dan hubungan (pria dan wanita dewasa). Kedua, pria hanya
menghabiskan lima menit waktu berbicara di telepon (berkomunikasi verbal)
sedangkan wanita membutuhkan waktu tiga kali lipatnya.
Women rated being of service to others and meeting interesting
people as high on their scale of values, whereas men rated prestige,
power and owning things as important. Men valued things, women
valued relationships. The structure of their brains dictated their
preferences.
Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa wanita cenderung
menyukai memerhatikan individu lain dan bertemu dengan orang banyak
sebagaimana yang mereka inginkan sedangkan pria menyukai prestise,
27
kekuasaan, dan kepemilikan atas hal-hal penting. Pria mementingkan materi
sedangkan wanita memetingkan hubungan. Struktur dalam otak mereka telah
terdikte atas apa yang menjadi pilihan mereka.
Canadian research scientist Sandra Witleson conducted tests on
men and women to locate the position of emotion in the brain:
For men, emotion is generally positioned in the right brain, meaning
that it can operate separately from other brain functions. For
example, in an argument, a man can argue logic and words (left
brain) and then switch to spatial solutions (right front brain) without
becoming emotional about the issue. It's as if emotion is in a little
room of its own and a man's smaller corpus callosum means that
emotion is less likely to operate simultaneously with other functions.
For women, emotion operates on a more widely spread area in both
hemispheres and thus can operate at the same time as other brain
functions. A woman can become emotional while discussing an
emotional issue, while a man is less likely to do the same, or he will
simply refuse to discuss the issue. This way, he can avoid becoming
emotional or appear not to be in control. Overall, women's emotions
can switch on simultaneously with most other brain functions
meaning that she can cry while changing a flat tyre, whereas a man
sees tyre-changing as a test of his problem-solving abilities, and will
remain completely dry-eyed even when he discovers, by the side of a
deserted road, at midnight, in the pouring rain, that the spare is flat
and he took the jack from the boot of the car last week.
Ruben Gur, professor of neuro-psychology at the University of
Pennsylvania, pioneered similar research and concluded that men's
brains, being highly compartmentalised, deal with emotions on a
more basic animal level, similar to an attacking crocodile, whereas a
woman will 'sit down and talk about it'. When a woman is talking with
28
emotion, she uses expressive facial signals, body language and a
range of speech patterns. A man who switches on his emotions is
more likely to go into a reptilian mode and lash out vocally or become
aggressive.
Penggalan-penggalan isi bab enam dalam buku Why Men Don’t Listen
and Women Can’t Read The Maps memberikan penjelasan secara ilmiah letak
perbedaan mendasar antara pria dan wanita sehingga dengan merujuk pada isi
buku tersebut dapat diketahui pulalah mengapa seringkali terjadi kesalahan
dalam berkomunikasi di antara keduanya.
Sehubungan dengan tema penelitian yang mengangkat tentang
perbedaan cara pria dan wanita berkomunikasi secara verbal, ini pun
merupakan penelitian yang menyangkut mengenai perbedaan gender dalam
penggunaan bahasa. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Matthew L.
Newman dari Department of Social and Behavioral Sciences Arizona State
University, Carla J. Groom dari Department of Psychology The University of
Texas at Austin, Lori D. Handelman dari Oxford University Press New York
dan James W. Pennebaker Department of Psychology The University of Texas
at Austin dengan judul Gender Differences in Language Use: An Analysis of
14,000 Text Samples dikemukakan bahwa ternyata perbedaan cara pria dan
wanita dalam menggunakan bahasa telah lama menarik perhatian dalam studi
wacana. Meskipun perpanjangan teori, investigasi aktual empirisnya belum
dikumpulkan dalam suatu penggambaran yang masuk akal mengenai
perbedaan gender dalam penggunaan bahasa. Dan alasan yang signifikan
adalah kurangnya persetujuan mengenai cara yang paling tepat dalam
menganalisis bahasa.
29
Dalam penelitian oleh keempat ahli, dikemukakan bahwa wanita
menggunakan banyak kata yang berkaitan dengan psikologi dan proses sosial
sedangkan pria lebih berhubungan kepada sesuatu objek dan topik yang tidak
pribadi. Meskipun menurut keempatnya, these effects were largely consistent
across different contexts, the pattern of variation suggests that gender
differences are larger on tasks that place fewer constraints on language use.
Menurut hasil penelitian yang dituangkan ke dalam essay oleh
keempat peneliti, beberapa dekade terakhir terlihat ledakan penelitian akan
sifat dan perbedaan eksistensi antara pria dan wanita. Satu pertanyaan yang
istimewa menjadi luas antara pria dan wanita dalam menggunakan bahasa
secara berbeda. Kepopuleran ini bertangkai, ke dalam bagian, dari fakta
bahwa bahasa sudah menjadi sifat dari fenomena sosial dan dapat
memberikan wawasan mengenai bagaimana pria dan wanita mendekatkan
kehidupan sosial mereka. Dalam ilmu sosial, sebuah peningkatan
permufakatan terhadap penemuan mengenai menyarankan para pria, sanak
keluarga para wanita, cenderung menggunakan bahasa lebih bertujuan untuk
menyampaikan informasi; para wanita lebih menyukai menggunakan
interaksi verbal untuk tujuan sosial melalui komunikasi verbal.
Kemudian, dipaparkan bahwa pada saat yang sama, sejumlah
teoretekus berargumen menentang eksistensi setiap perbedaan pemaknaan
dalam bahasa pria dan wanita. Salah satu yang berkontribusi atas
ketidakjelasan ini mungkin disebabkan karena kurangnya metrik yang biasa
diterima terhadap analisis dalam studi empiris mengenai bahasa. Perkalian
30
studi, misalnya, telah menganalisis sejumlah kecil contoh sampel dan
kemudian membuat papan penggeneralisasi mengenai perbedaan di antara
pria dan wanita. Dalam proyek ini, kami mengeksplor perbedaan gender
dalam penggunaan bahasa dalam sebuah kumpulan data tertulis dan yang
diucapkan yang sangat besar dengan menggunakan sistem komputerisasi
analisis teks. Melalui eksplorasi ini, kami berharap dapat memberikan
beberapa resolusi empiris terhadap pertanyaan, apakah, bagaimana, dan
mengapa pria dan wanita menggunakan bahasa yang berbeda.
Essay tersebut juga memuat mengenai penelitian sebelumnya
mengenai perbedaan gender dalam penggunaan bahasa. Di situ dijelaskan
bahwa pustaka empiris telah melalui peninjauan di suatu tempat. Apa yang
mengikutinya adalah sebuah berkas penelitian sebelumnya mengenai
penggunaan bahasa pria dan wanita. Sebagai tambahan untuk sasaran semua
pesan yang disebutkan di awal, pria dan wanita juga memiliki perbedaan
semantik dalam pikiran mereka ketika mereka mengonstruksi kalimat.
Beberapa peneliti menemukan bahwa pertanyaan lebih sering digunakan
wanita dalam interaksi diadik mereka (“Does anyone want to get some
food?”), di mana mengarah pada mengatakan kepada khalayak untuk
melakukan sesuatu (“Let’s go get some food”) lebih sering digunakan pria
dalam perbincangan mereka. Dalam studi terhadap 96 anak SD yang
dilakukan pada kelas 4, 8, dan 12, Mulac, Studley, and Blau (1990)
menemukan bahwa anak laki-laki di ketiga grup lebih menyukai memberi
opini dibandingkan anak perempuan (“This idea is Puritanical.”). Ketika
31
makna kalimat panjang dikalkulasi, wanita keluar sebagai gender yang lebih
banyak berkata baik dalam menulis maupun berbicara. Namun, pria
menggunakan lebih banyak kata secara keseluruhan dan mengambil alih
pembicaraan. Beberapa studi yang baru gagal mereplikasi penemuan ini.
Thomson and Murachver’s (2001) dalam studi komunikasi melalui e-mail
menemukan pria dan wanita seimbang dalam memberikan pertanyaan; pujian,
meminta maaf, dan beropini; dan saling menghina sesama “teman internet”.
Studi yang lain memperlihatkan perbedaan yang signifikan di arah yang
berlawanan. Sebagai perbandingan, 36 manajer wanita dan 50 manajer pria
memberikan kritik professional dalam peran mereka, prialah yang
menggunakan negosiasi secara signifikan dan bertanya lebih sedangkan
wanita menggunakan lebih banyak perintah (Mulac, Seibold, & Farris, 2000).
Walaupun
begitu,
studi
tersebut
tidak
mengonfirmasi
bahwa
pria
menggunakan lebih banyak kata secara keseluruhan sedangkan wanita
menggunakan kalimat-kalimat yang lebih panjang. Satu penjelasan yang
mungkin untuk kontradiksi ini adalah perbedaan konteks dalam sampel
bahasa yang digeneralisasi memengaruhi ukuran dan petunjuk terhadap
perbedaan gender.
Selanjutnya, Matthew L. Newman, Carla J. Groom, Lori D.
Handelman, dan James W. Pennebaker mengemukakan mengenai penelitian
yang dilakukan oleh beberapa peneliti lainnya lagi:
Beginning with Robin Lakoff’s (1975) pioneering work, gender
differences have also been investigated at the level of specific
phrases. Lakoff identified in women’s language two specific types of
phrases—hedges (e.g., “it seems like,”) and tag questions (e.g.,
32
“…aren’t you?”)—that can be inserted into a wide variety of
sentences. A number of studies have reported greater female use of
tag questions (e.g., McMillan, Clifton, McGrath, & Gale, 1977;
Mulac & Lundell, 1986), although others have found the opposite
(e.g., Dubois & Crouch, 1975). Other researchers have found further
evidence that women use phrases that may communicate relative
uncertainty. Uncertainty verb phrases, especially those combining
first-person singular pronouns with perceptual or cognitive verbs
(e.g., “I wonder if”), have been found more often in women’s writing
(Mulac&Lundell, 1994) and speech (Hartman, 1976; Poole, 1979). A
related interpretation of women’s use of hedge phrases is that women
are more reluctant to force their views on another person. Consistent
with this idea, Lakoff claimed that women were more likely than men
in the same situation to use extra-polite forms (e.g., “Would you
mind…”), a claim that was supported by subsequent empirical work
(Holmes, 1995; McMillan et al., 1977).
Dari hasil penelitian inilah Prof. Dedy Mulyana mengemukakan
mengenai bahasa pria dan bahasa wanita pada bab Komunikasi Verbal dalam
buku Pengantar Ilmu Komunikasinya.
Tidak hanya sampai di situ, dalam essay ini pun dibahas mengenai
pembatasan penelitian sebelumnya. Di mana, terdapat kegagalan dalam
mengkaji bahasa alami yang manusia gunakan dalam bermacam variasi cara
yang mengubah fungsi teks. Untuk menggambarkan besar kesimpulan
mengenai bagaimana pria dan wanita berbeda dalam menggunakan latar
bahasa mereka, metode yang tidak tradisional dengan sampel yang besar
sering dipakai. Studi sebelumnya menguji umur dan perbedaan individu,
makna efek ukuran untuk gender yang khas, mulai dari .08 dan .20. sebagai
contoh, Pennebeker dan Stone (2003) melaporkan sebuah efek ukuran yang
signifikan pada 12 di antara gender dan panjang kalimat dengan sebuah
sampel lebih dari 2.000 orang. Namun, makna setiap kata per kalimat hanya
23.4 untuk pria dan 19.1 untuk wanita, dengan standar deviasi 35.1, melalui
33
teks tertulis maupun bicara.perbedaan 4 kata dibandingkan dengan standar
deviasi pada 35 kata yang tidak ditampilkan dalam sampel kecil dengan
kekuatan statistik rendah. Melalui sampel yang besar, bisa dipakai untuk
mendeteksi perbedaan yang lebih kecil di antara bahasa pria dan bahasa
wanita.
Sayangnya, banyak penelitian sebelumnya hanya berkisar lebih kecil
dengan jumlah partisipan sebanyak 50 orang. Sampel yang lebih besar sering
menyulitkan dalam mengumpulkan setiap sampel yang harus diberi kode.
Kebutuhan untuk menghemat pengoder waktu juga mereduksi sejumlah fitur
yang dapat dikode dalam studi tunggal. Kenyataan ini berfokus pada
perhatian kepada fitur bahasa yang dapat dengan mudah direlasikan pada
stereotip gender, secara potensial jelas menghilangkan perbedaan dalam
kategori bahasa. Kemudian, sebuah strategi yang membolehkan menganalisa
dengan efisien sampel yang besar pada teks dapat menolong untuk
menciptakan lebih lengkap gambaran akan perbedaan gender dalam
penggunaan bahasa.
Simpulannya, dalam essay yang ditulis oleh empat orang peneliti
tersebut bahwa selama ini dalam mengkaji yakni mencari perbedaan bahasa
antara pria dan wanita dalam berkomunikasi verbal, dilakukan dengan studi
empiris dengan melibatkan sampel yang melalui uji teks tertulis maupun
bicara. Studi tersebut boleh disebut sebagai studi analisis bahasa. Hal ini
memang bertujuan untuk mencari signifikansi antara perbedaan gender
34
dengan bahasa yang digunakan antara pria dan wanita. Penelusuran akan
kaitan di antara keduanya.
C. BAHASA DAN GENDER
Telah dipaparkan secara ilmiah melalui berbagai penelitian mengenai
penggunaan bahasa antara pria dan wanita dari buku maupun essay yang
ditulis oleh peneliti asing. Penelitian tersebut mengenai komunikasi verbal
yang merujuk pada gender yakni, pria dan wanita di mana ini merupakan
studi mendalam untuk mengetahui apa dan mengapa terjadi perbedaan dalam
cara mereka menyampaikan pesan. Jika sebelumnya dikemukakan mengenai
perihal munculnya bahasa pria dan bahasa wanita, maka selanjutnya, pada
bagian ini akan dipaparkan mengenai bahasa dan gender. Keterkaitan
keduanya merupakan sebab utama mengapa tercipta bahasa pria dan bahasa
wanita.
Penelope Eckert dan Sally Mc-Connel Ginet (West and Zimmerman
1987) mengemukakan bahwa gender bukanlah sesuatu yang ada pada diri kita
sejak kita lahir dan atau bukan sesuatu yang kita miliki melainkan sesuatu
yang kita yakini. Adapun pengertian lain gender yakni, sesuatu yang kita
tunjukkan (Butler 1990).
Gender selalu berkaitan dengan jenis kelamin. Jika seorang anak lakilaki mendeksripsikan dirinya sebagai sosok yang tangguh maka, ia
merefleksikan itu berdasarkan pada siapa yang menjadi panutannya, dan
kesan tangguh terdapat pada sosok berjenis kelamin laki-laki juga. Gender
bisa jadi memiliki pengertian yakni, sesuatu yang menjadi arah dalam
35
bertindak. Di mana, ketika kita menyadari bahwa kita terlahir sebagai
perempuan, maka pada saat itu pula, secara otomatis kita pun akan bertindak
layaknya perempuan.
Dalam essay yang berjudul Gender-Linked Miscommunication in
“Hills Like White Elephants” oleh Pamela Smiley dari University of
Winconsin, Amerika, dikemukakan bahwa dugaan bahwa pria dan wanita
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi bukanlah hal baru. Sebuah
penelitian yang baru yang kebanyakan dilakukan pada sekitar tahun 1970-an
mengindikasikan bahwa terjadi miskomunikasi antara pria dan wanita
dikarenakan mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda (Key 124).
Apakah sebenarnya dimaksud dengan penanda gender bahasa? Robin
Lakoff telah menggambarkan sebuah uraian singkat tentang ciri khas
pembicara pria dan pembicara wanita. Ciri bahasa pria adalah di mana
kontribusi merupakan hal yang saksama dan tepat pada sasaran---sangat
berterus terang---dan memberitahukan kepada kita sedikit mungkin mengenai
pikirannya perilaku yang ditunjukkannya. …nada yang rendah, intonasi datar,
struktur kalimat menyatakan, tidak ada pembatasan atau ketepatan, tidak
berharga, dan murni kognitif bukan menampilkan warna atas emosi mereka.
(Stilystic 66).
Ciri bahasa wanita adalah tidak jelas. Sepertinya terkesan bahwa
pendengarnya tidak mengerti apa yang sebenarnya yang ia bicarakan (bahkan
ia sendiri), akan tetapi, wanita sangat peduli pada siapa ia berbicara, peduli
bahwa apakah si pria tertarik padanya, dan ingin bertemu dengannya… ia
36
menggunakan kalimat seru, dan dialognya dibubuhi dengan kata ‘I guess’ and
‘kinda…’ (Stilystic 67).
Ketika terjadi kerusakan dalam paradigma umum, penelitian
mengindikasi bahwa ada tiga area utama dalam hubungan antara perbedaan
gender dan bahasa yakni, how, about what, and why men and women talk. Ini
mungkin sudah mencakup kesemuanya, dan berdasarkan catatan Tannen:
male-female conversation is cross-cultural communication. Culture,
after all, is simply a network of habits and patterns based on past
experiences---and women and men have very different past
experiences. (22)
inti dari ulasan mengenai nyanyian berjudul “Hills Like White
Elephants” adalah perbedaan pria dan wanita dalam berkomunikasi yang
ditandai dengan perbedaan bahasa yang digunakan karena perbedaan gender
keduanya.
trouble develops when there is really no difference of opinion, when
everyone is sincerely trying to get along… this is the type of
miscommunication that drives people crazy. It is usually caused by
differences in conversational styles. (Tannen 21).
Adapun catatan oleh Tannen mengenai orang Amerika (dalam Hills
Like White Elephants) dalam merespon kata ganti orang tunggal dan jamak di
mana pria dan wanita menggunakannya secara berbeda. Kata ganti orang
yang dimaksud adalah kata ‘we’. Yang mana, pria cenderung menggunakan
kata ganti orang tunggal yakni, ‘I’ dan ‘You’ sedangkan wanita cenderung
menggunakan kata ganti orang jamak ‘we’. Ternyata, wanita sering
mengalami kekecewaan jika pria menggunakan kata ganti ‘I’ or ‘me’ dalam
konteks hubungan yang dijalin. Dalam pola tradisional bahasa wanita, kata
ganti orang jamak mengindikasi bahwa pembicara merasa ia adalah bagian
37
dari pasangannya. Kata ganti orang tunggal mengartikan seseorang yang
berdiri sendiri.
Hemingway (pencipta Hills Like White Elephants) menduplikasi
miskomunikasi yang terjadi karena perbedaan gender yang memang terjadi di
kehidupan nyata antara pria dan wanita.
Kemudian dalam buku yang ditulis oleh Deborah Tannen dengan
tajuk You Just Don’t Understand: Women and Men in conversation
dikemukakan bahwa pria lebih nyaman berbicara banyak dalam pembicaraan
umum sementara wanita lebih nyaman berbicara secara pribadi.
Menurut Dale Spender (Deborah Tannen), stereotip tentang wanita
bahwa mereka adalah mahluk yang banyak bicara muncul dikarenakan wanita
seperti anak-anak, banyak melihat dan sedikit mendengar. Oleh karena itu,
banyak perkataan dari mereka terkesan terlalu berlebihan. Banyak studi
menggambarkan bahwa ketika pria dan wanita berbicara dalam grup, wanita
yang paling banyak bicara.
Adegan dalam film Divorce American Style dibuka dengan
percakapan Debbie Reynolds yang mengklaim bahwa ia dan Dick Van Diyk
tidak berkomunikasi, dan Dick mengatakan bahwa ia mengatakan semua
yang ia pikirkan padanya. Namun, adegan pertengkaran mereka disela oleh
bel pintu yang berbunyi, mereka kemudian bergerak untuk menjamu tamu
yang datang dengan memasang senyum ceria.
Adegan demikian sering terjadi. Banyak pasangan yang mengalami
pertengkaran seperti itu. Seperti karakter yang diperankan oleh Debbie
38
Reynolds, ia merasa pria tidak berkomunikasi dengannya. Sedangkan tokoh
yang diperankan oleg Dick Van Diyk sebagai suami Debbie, ia merasa
disalahkan.
Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa pria dan wanita memang
jelas berbeda dalam berkomunikasi. Pria mengatakan apa yang ingin
dikatakannya dan wanita menginginkan lebih dari sekedar apa yang
didengarnya.
Banyak studi di Amerika mengenai perbedaan gender dan bahasa
antara pria dan wanita dirangkum dalam dokumentasi seperti video di
samping buku, essay, jurnal, dan artikel. Dalam video yang dibuat oleh
institusi pendidikan seperti yang dibuat oleh Barkeley Media LLC,
ditampilkan bahwa pria dan wanita dalam berkomunikasi verbal tidak
terhindar dari penggunaan bahasa tubuh dalam mendukung percakapan yang
terjalin dan hubungan di antara keduanya.
D. MUTED-GROUP THEORY
Colte Haines memberikan pengantar mengenai Muted-Group Theory
oleh Cheris Kramarae yang ditulisnya pada tahun 2003:
Have you ever wondered why in Charles Shultz’s cartoon, Peanuts,
you can never understand what Charley Brown’s teacher is saying? It
is always the sound of someone trying to talk through a drive through
speaker box, followed by a reply of “Yes ma’am” from Charley.
Perhaps Mr. Shultz wanted to cutback on the budge and not pay an
extra woman actor for such a minor role, or it could be determined
that women in society have trouble communicating and are hard to
understand. Women, having trouble to communicate, is a theory
expanded by Cheris Kramarae called the “Muted Group Theory”?
Isi dari pengantar summary di atas adalah wanita dalam masyarakat
mengalami masalah berkomunikasi dan sulit untuk dimengerti. Para wanita,
39
memiliki masalah untuk berkomunikasi, ini merupakan teori yang diperluas
oleh Cheris Kramarae yang disebut “Muted Group Theory”.
Muted Group Theory pertama kali muncul atas hasil pemikiran dan
studi oleh dua orang Antropolog bernama Edwin dan Shirley Ardener pada
dekade 1970-an. Mereka menulis In Perceiving Women pada tahun 1985,
sebuah observasi yang paling banyak dikaji dalam Etnografi oleh Antropolog
yang lain dalam bidang yang hanya membicarakan tentang kultur
kepemimpinan, yang digeneralisasikan oleh figur pria dewasa. Para peneliti
kemudian menggunakan data tersebut untuk merepresentasi kultur secara
keseluruhan, keluar dari perspektif wanita, anak-anak, dan grup lain yang
tidak bersuara (tidak berkaitan) dalam kultur hirarki.
Edwin Ardener menulis:
“Those trained in ethnography evidently have a bias towards the
kinds of model that men are ready to provide (or to concur in) rather
than towards any that women might provide. If the men appear
‘articulate’ compared with the women, it is a case of like speaking to
like”.
Edwin Ardener dalam tulisannya tersebut mengatakan bahwa hal
mengenai studi yang terkaji dalam Etnografi secara jelas memiliki bias dalam
memelajari pria dan wanita. Jika artikulasi pria dibandingkan dengan wanita
maka, hal tersebut merupakan kasus dalam hal bicara (speaking).
Colte Haines menuliskan asal mula Muted Group Theory yang
sebelumnya merupakan studi oleh Edwin Ardener bahwa dalam studi tersebut
bahasa dalam sistem hirarki dikendalikan oleh pria. Hal tersebut merupakan
suatu ketidaknyamanan oleh kaum wanita. Stephen Lilttlejohn menganggap
40
bahwa dominasi pria tersebut dengan mereka sebagai pemegang kendali
bahasa menjadikan wanita bisu.
Haines mengutip isi buku Stephen Littlejohn yang mengemukakan
bahwa:
“Ardener concluded that our language favors men. Since men created
the meanings of the words, women are said to be muted” (1999). That
is how we get the term “muted group”. Since the original creation of
the Muted Group Theory, a lot of scholars have expanded on it, but
the person who has done the most is Cheris Kramarae. “Cheris
Kramarae is one of the most prolific scholars in the communication
field”
Dengan kata lain, berdasarkan kutipan perkataan Stephen Littlejohn
dalam bukunya, Muted Group Theory adalah ciptaan Cheris Kramarae
sebagai perluasan studi oleh Edwin Ardener di mana Muted Group Theory
berada dalam kajian Ilmu Komunikasi.
Dalam artikel yang ditulis oleh Scott Chadwick, Muted Group Theory
dimulai dengan alasan bahwa bahasa merupakan lompatan kultur, dan karena
pria memiliki kekuasaan dibandingkan wanita, pria memiliki lebih banyak
pengaruh dalam bahasa, sebagai hasil dari bias bahasa pria. Pria menciptakan
kata dan makna dalam kultur, bentuk ekspresi atas ide-ide mereka. Wanita, di
sisi lain, keluar dari penciptaan makna tersebut dan keluar tanpa berminat
berekspresi yang mana merupakan keunikan mereka. Inilah mengapa wanita
dikategorikan dalam muted group.
Dalam summary-nya Haines mengemukakan bahwa karena wanita
merupakan muted group, maka mereka harus mencari cara agar dapat
berkomunikasi. Mereka berkomunikasi menggunakan diari, jurnal, surat,
cerita rakyat, gosip, seni, grafiti, puisi, lagu, dan bermacam cara yang lain.
41
Efek lain yang ditimbulkan sebagai muted group adalah mengharuskan
mereka mengatakan apa yang akan mereka katakan dan mengubahnya ke
dalam istilah pria. Ketika pria dan wanita berada dalam konflik dalam proses
memaknai kata, maskulinitas pria, pemanaknaan oleh mereka, merekalah
yang menang. Ini dikarenakan dominasi mereka dalam masyarakat, dan lagi,
wanita ‘bisu’.
Muted Group Theory juga membahas mengenai beberapa masalah
antara suami-suami dan istri-istri yang mencoba berbicara satu sama lain.
Wanita biasa mengumpan balik ketika berkomunikasi, tapi pria, karena
mereka mengembangkan bahasa dalam bahasa di masyarakat, mereka lebih
berterus terang atas apa yang mereka katakan dan membutuhkan waktu
memahami apa yang hendak dikatakan sang istri. Teori ini juga
mengemukakan bahwa masalah komunikasi tersebut merupakan masalah
kultur dasar, bukan secara biologis, dan hal tersebut dapat diperbaiki jika pria
mau mengurangi dominasinya dalam bahasa di masyarakat.
Dalam bukunya berjudul Women and Men Speaking; Frameworks for
Analysis (1981), Kramarae membuat tiga asumsi dalam teorinya, Muted
Group Theory yakni, pertama: pria dan wanita berada dalam dunia yang
berbeda oleh karena itu mereka memandang sesuatu dengan cara yang
berbeda, kedua: dominasi pria membuat wanita kehilangan kesempatan
mengeluarkan ide di masyarakat, dan terakhir: wanita harus dapat
menerjemahkan keinginan mereka, perasaan, dan pikiran ke dalam istilah pria
agar dapat berkomunikasi.
42
Adapun hipotesis yang dibuat oleh Cheris Kramarae mengenai
komunikasi wanita. Di mana wanita memiliki waktu yang lama untuk dapat
mengekspresikan diri mereka dalam membandingkan diri mereka dengan
pria, wanita bisa memahami pria lebih baik dibandingkan pria dalam
memahami wanita karena wanita harus memelajari sistem komunikasi pria,
wanita menggunakan media lain yang tidak diterima oleh pria dalam
berkomunikasi, dan wanita bukan bagian dari komunikasi.
Wanita tidak mengumpulkan kata-kata baru, meskipun mereka
menciptakan kata hanya agar mereka dapat mengekspresikan perasaan
mereka dan situasi spesial kepada pria. Dan juga, wanita harus menggunakan
lebih banyak ekspresi nonverbal dibandingkan pria untuk mendukung apa
ekspresi tentang yang dirasakan mereka yang tidak ada dalam bahasa pria.
Dan lagi, wanita memiliki selera humor yang berbeda dibandingkan pria.
Muted Group Theory penting dalam masyarakat karena teori ini
membawa fokus ke dalam isu wanita dalam masyarakat di mana wanita
merupakan kaum yang ditindas dalam usaha mereka berkomunikasi. Teori ini
juga mengatakan bahwa kita butuh untuk memepelajari perbedaan cara pria
dan wanita dalam menggunakan bahasa nonverbal ketika mereka berbicara
dalam rangka memahami perbedaan di antara keduanya. Teori ini
mengemukakan bahwa wanita harus dapat menyatu dengan sistem bahasa
yang diciptakan oleh pria agar mereka dapat lebih mudah memahami sudut
pandang pria. Dan teori menjelaskan mengapa pria membutuhkan waktu yang
lama agar dapat memahami wanita daripada wanita memahami pria.
43
Tujuan utama mengapa Kramarae menciptakan Muted Group Theory
sebagai perluasan dari studi oleh Antropolog Edwin Ardener dikemukakan
oleh Haines dalam summary-nya yakni bahwa Kramarae ingin membangun
jembatan yang memisahkan komunikasi pria dan komunikasi wanita.
Kramarae ingin melihat dunia yang tercipta dari sebuah hubungan bukan dari
sebuah perpisahan. Sebuah dunia yang menerima perbedaan bukan
menolaknya.
Terdapat beberapa kelemahan dalam teori yang diciptakan Kramarae.
Kramarae sendiri merasa bahwa tidak selamanya muted group adalah kaum
wanita melainkan pria bahkan terkadang digolongkan sebagai muted group.
Walau, penelitiannya mengatakan sebaliknya.
Dalam bukunya berjudul Women and Men Speaking ia mengatakan:
“Men are less likely to talk about their feelings, troubles, and pain.
This makes them the muted group. Also, as children, males are likely
to meet aggression with violence, while women will more often talk it
out”
Pria cenderung kurang berminat membicarakan mengenai perasaan
mereka, masalah dan sakit yang dialami. Itu sebabnya mereka termasuk ke
dalam muted group. Dan juga sebagai anak-anak, pria rentan membicarakan
kekerasan sementara wanita lebih sering tidak ingin membicarakannya.
44
BAB III
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
A. HE’S JUST NOT THAT INTO YOU
Gambar 3.1 Sampul Buku He’s Just Not That Into You
Buku bergenre self-improvement ini ditulis oleh dua orang konsultan
drama seri Sex And The City. Buku ini diterbitkan pada tahun 2004 dan
pernah diangkat menjadi pulp-fiction pada salah satu episode di drama seri
Gilmore Girls. Buku ini dinobatkan sebagai best selling-novel oleh New York
Times dan pernah ditayangkan di The Oprah Winfrey Show. Kemudian pada
tahun 2009, buku yang ditulis berkat inspirasi dari penggalan dialog dalam
drama seri Sex And The City tersebut diangkat ke layar lebar berjudul sama
He’s Just Not That Into You oleh rumah produksi New Line Cinema bekerja
45
sama dengan Flowers Film dengan aktris Drew Barrymore bertindak sebagai
produser. Ken Kwapis menduduki jabatan sutradara dengan menampilkan
jajaran bintang Hollywood, yakni Ben Affleck, Jennifer Aniston, Drew
Barrymore, Jennifer Connelly, Kevin Connolly, Bradley Cooper, Ginnifer
Goodwin, Scarlett Johansson, dan Justin Long. Film yang dirilis pada 6
Februari 2009 ini berhasil meraup keuntungan sebesar 180 juta dollar pada
pemutarannya di seluruh dunia.
Gambar 3.2 Poster Film He’s Just Not That Into You
46
Deretan pemain Film He’s Just Not That Into You:
1. Ben Affleck sebagai Neil
2. Jennifer Aniston sebagai Beth
3. Bradley Cooper sebagai Ben
4. Jennifer Connelly sebagai Janine
5. Kevin Connolly sebagai Conor
6. Drew Barrymore sebagai Mary
7. Scarlett Johansson sebagai Anna
8. Justin Long sebagai Alex
9. Ginnifer Goodwin sebagai Gigi
B. GREG BEHRENDT AND LIZ TUCCILLO
Gambar 3.3 Greg Behrendt
47
Greg Behrendt terlahir dengan nama lengkap Gregory Paul Behrendt
pada 21 Juli 1963 di Irvine, Negara bagian California. Dia berprofesi sebagai
penulis dan pelawak panggung. Ia bekerja sebagai konsultan di stasiun
televisi HBO untuk situasi komedi (sitkom) Sex And The City yang dibintangi
oleh Sarah Jessica Parker yang kemudian mengantarkannya menulis buku
laris He’s Just Not That Into You pada tahun 2004. Kemudian di tahun 2009,
buku bergenre self-improvement tersebut diangkat ke layar lebar oleh rumah
produksi New Line Cinema bekerja sama dengan Flowers Film dengan Drew
Barrymore sebagai produser.
Selain itu Greg juga memandu talkshow berjudul The Greg Behrendt
Show pada tahun 2006 dan Greg Behrendt’s Wake Up Call pada tahun 2009.
Greg Behrendt menyelesaikan S1-nya di University of Oregon pada tahun
1991 jurusan drama di mana sebelumnya ia mengambil jurusan bisnis dan
bermain rugby. Setelah lulus, Greg pindah ke San Fransisco di mana ia
bergabung sebagai komedian dan bertemu dengan komedian Margaret Cho.
Greg juga menulis buku bersama istrinya, Amiira Ruotola-Behrendt
berjudul It’s Called Break Up Because It’s Broken. Dengan istrinya tersebut,
ia memiliki dua anak bernama Mighty dan True. Ia pernah kecanduan alkohol
selama 12 tahun.
48
Gambar 3.4 Liz Tuccillo
Liz Tuccillo adalah seorang penulis dan aktris berkebangsaan
Amerika yang terkenal lewat situasi komedi (sitkom) Sex And The City dan
buku He’s Just Not That Into yang ditulisnya bersama Greg Behrendt. Novel
pertamanya berjudul How to Be Single diterbitkan pada Juni 2008. Dan
sebagai aktris, ia pernah terlibat dalam film berjudul Welcome to New York.
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai penemuan-penemuan dalam
penelitian yang mana mengangkat masalah komunikasi verbal antara pria dan
wanita dalam film He’s Just Not That Into You. Metode analisis data yang
dilakukan adalah metode deskriptif kualitatif yakni, memaparkan analisis
secara mendalam dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara
dengan psikolog dan coder.
Teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah Muted Group
Theory oleh Cheris Kramarae seorang pakar komunikasi yang berfokus pada
studi language and gender. Objek penelitian ini adalah film namun, masalah
yang diangkat bukan terletak pada semiotika film tersebut melainkan
mengenai komunikasi verbal yang merupakan pokok cerita dalam film.
Film telah merupakan produk budaya manusia sejak abad 18. Film
menjadi media manusia menuangkan ide dan kreatifitas dengan memadukan
unsur science yang artinya sebuah film dapat dibuat jika si pembuat memiliki
ilmu dan pengetahuan tentang film, bagaimana cara membuatnya, dan hal-hal
apa saja yang ada di dalamnya. Demikian film menjadi media menyampaikan
hasil pikiran melalui visualisasi gambar bergerak, ini memungkinkan film
sebagai cerminan masyarakat yang sebenarnya atau direkayasa.
Film He’s Just Not That Into yang diangkat dari sebuah buku berjudul
sama mengusung tema cinta yang diikuti dengan pokok masalah dalam
50
berkomunikasi antar lawan jenis. Terdapat sembilan tokoh sentral yang mana
kisah di antara mereka saling terkait satu dan lainnya. Terlibat dalam lima
kisah berbeda, berikut adalah penemuan hasil penelitian terhadap tiap dialog
yang mengandung permasalahan yang diangkat yakni, komunikasi verbal.
Pertama dimulai dengan dialog yang diucapkan anak lelaki di taman
bermain.
Gambar 4.1
Anak tersebut dalam dialognya mengucapkan kalimat kasar yang
kemudian menyakitkan hati seorang gadis kecil bernama Gigi. Anak tersebut
mengatakan bahwa Gigi kecil bodoh seperti kotoran anjing.
Kemudian Gigi kecil yang menangis mengadu pada ibunya tentang
makian anak laki-laki tersebut.
51
Gambar 4.2
Sang ibu memberikan penjelasan mengapa anak laki-laki tersebut
mengatakan hal yang demikian kepada Gigi kecil. Dan jawaban sang ibu,
“Because he likes you…” menurut sang ibu, mengapa anak laki-laki
mengatakan hal menyakitkan seperti itu karena dia menyukai Gigi kecil.
Anak laki-laki tersebut melakukan hal yang menyakitkan karena ia naksir
pada Gigi kecil. Sang ibu yang menjadi pemberi jawaban, membuat Gigi
kecil lantas berpikir bahwa jika seorang pria melakukan hal yang buruk pada
seorang wanita berarti pria tersebut menyukai si wanita. Sejak mendengar
perkataan ibunya tersebut, Gigi berkesimpulan bahwa jika seorang pria
bersikap buruk padamu, berarti ia menyukaimu. Karena ia hanya tidak bisa
mengungkapkan perasaannya. Maka ia bersikap kasar.
Dan cerita lain yang mendukung perkataan sang ibu dari Gigi kecil
ditampilkan.
52
Gambar 4.3
Seperti cerita di atas yang mana wanita tersebut mengalami patah hati
dan teman-teman wanitanya menghibur hati si wanita bahwa pria yang
disukainya mengecewakannya karena pria tersebut terlalu menyukainya
karena wanita tersbut sangat cantik dan luar biasa. Salah seorang teman
wanitanya mengatakan bahwa ia dibuat patah hati karena sang pria hanya
tidak bisa menghadapi wanita yang luar biasa.
Gambar 4.4
53
Terlihat dua orang wanita yang menunggu telepon dari pria yang
ditaksirnya oleh salah seorang dari mereka. Setelah lama menunggu, salah
satu dari mereka berkata, “Dia jelas menyukaimu. Aku yakin dia hanya
kehilangan nomor teleponmu”. Dan sang teman pun terhibur oleh
perkataannya.
Gambar 4.5
Gambar 4.6
54
Gambar 4.7
Gambar 4.8
55
Gambar 4.9
Kelima cerita lain pun sama. Para wanita dalam cerita di awal film
menampilkan bahwa jika seorang pria menyukai wanita, mungkin pria
tersebut tidak langsung menghubungi sang wanita dengan berbagai alasan
seperti yang mereka katakan yakni, mungkin saja si pria belum siap memiliki
hubungan serius…, si pria takut pada kedewasaan dan kesuksesan sang
wanita…, atau bahkan si pria lupa alamatmu.
Dalam kasus ini, para wanita dari kelima cerita di atas mengalami
kesalahan fatal. Ketika para teman-teman wanita memberikan sebuah
tanggapan atas apa yang dialami teman wanitanya yang sedang sibuk
mengartikan perkataan dan sikap pria yang disukainya, mereka memberikan
terjemahan yang bukan sebenarnya. Mereka seolah-olah mengetahui dengan
pasti pria yang teman mereka sukai dengan sangat baik karena memberikan
jawaban demikian. Padahal, mereka bersikap demikian karena perempuan
yang cenderung mengandalkan perasaan, adalah mahluk peka yang lemah
56
dalam menerima suatu kenyataan. Mereka yang menerjemahkan salah
tersebut menggunakan bahasa permisif yang mana bahasa tersebut bertujuan
untuk melindungi secara emosional. Dan pada kenyataannya, mereka hanya
tidak ingin mengatakan ‘penolakan’ sebagai arti sebenarnya.
Seperti book statement He’s Just Not That Into You yaitu, There Is
No-Excuses Truth to Understanding Guys, film yang kisahnya diilhami dari
buku self-improvement tersebut mengangkat masalah komunikasi antara pria
dan wanita yang selama ini menjadi penyebab gagalnya hubungan
(percintaan) di antara kedua manusia berlawan jenis tersebut.
Gambar 4.10
Dialog antara Gigi dan Conor menggambarkan di mana wanita
memang menggunakan frase seperti if… yang sifatnya lemah. Ini
menunjukkan bahwa wanita memiliki kekurangpercayaan diri dan terkesan
tidak tegas. Ini dikarenakan wanita berada dalam dominasi pria di mana
bahasa wanita cenderung ‘diredam’ atau muted group yang artinya, dominasi
57
pria dalam berbagai aspek kehidupan membuat pria menjadi yang ‘terlihat’
dibandingkan wanita. Karena secara ilmiah pun, pria cenderung to-the-point
sehingga bahasanya bersifat ‘menguasai’. Wanita oleh karenanya kemudian
memiliki bahasa sendiri yang mereka terjemahkan ke dalam istilah pria.
Gambar 4.11
Setelah Gigi dan Conor berkencan, sebagai salam perpisahan, mereka
saling mengucapkan, “It’s nice to see you…” yang artinya menyenangkan
bisa bertemu denganmu.
58
Gambar 4.12
Tidak lama setelah keduanya berpisah dan kembali ke rumah masingmasing, Gigi maupun Conor langsung mengambil telepon genggam mereka
masing-masing dan segera menelepon teman masing-masing.
Gigi
menelepon
Janine,
wanita
rekan
sekantornya
yang
mengenalkannya pada Conor yang tak lain seorang real estate yang menjual
rumah pada Janine dan sang suami, Ben.
Gigi berkata di telepon bahwa ia mendapatkan sinyal positif akan
kencan yang dijalaninya bersama Conor dan ia menyimpulkan bahwa
sementara Gigi berbicara pada Janine melalui kotak pesan, Conor sedang
meneleponnya di telepon rumah. Artinya, Gigi menganggap bahwa Conor
menyukainya dan akan menelepon sebagai kelanjutan hubungan.
Di sini terlihat jelas bahwa Gigi (wanita) menerjemahkan perkataan
Conor (pria) “it’s nice to see you…” sebagai pertanda bahwa ada
kemungkinan Conor memang tertarik padanya yang memang di lain pihak
59
kencan mereka terbilang lancar. Gigi menunjukkan bahwa ia sebagai wanita
menerjemahkan perkataan Conor sebagai pria ke dalam istilah pria akan
tetapi
sepertinya
ia
mengalami
kesalahan
di
mana
ketika
ia
menerjemahkannya, ia justru membuat karangan atas terjemahan tersebut.
Dan karangan tersebut berlebihan.
Gambar 4.13
Beberapa hari kemudian, Gigi masih sibuk menunggu telepon dari
Conor yang tak kunjung menelepon. Janine mengatakan padanya bahwa
mungkin Conor sedang dalam bisnis sehingga ia tidak ada waktu untuk
menelepon Gigi.
Di sini jelas bahwa pokok permasalahan dalam kisah Gigi adalah ia
menganggap bahwa jika pria tersebut tertarik padanya maka pria tersebut
akan meneleponnya. Janine yang mengatakan bahwa ia tidak perlu menunggu
telepon Conor karena mungkin pria tersebut sedang berada di luar kota
bermaksud membuat Gigi tidak berobsesi terlalu berlebihan dan berharap
60
terlalu jauh. Hanya karena wanita tidak ingin menyakiti perasaan sesama
wanita maka wanita menggunakan bahasa yang diperhalus (permisif) sebagai
ganti arti sebenarnya yang cenderung sarkasme. Dan menurut psikologi,
wanita memang cenderung ingin mendengar apa yang ingin didengarnya
bukan apa yang sebenarnya.
Gambar 4.14
Janine terlihat memberikan pendapat tentang kencan Gigi dengan
Conor. Janine menganalisa kronologi kencan Gigi. Janine dan Gigi terlibat
dalam proses menerjemahkan perkataan Conor.
61
Gambar 4.15
Gambar 4.16
Beth
menanggapi
pembicaraan
Gigi
dan
Janine
kemudian
memberikan peryataan bahwa kini wanita tidak perlu menunggu pria yang
disukainya karena peraturan seperti itu sudah kolot. Munculnya paham
feminis yang mana wanita sudah bukan mahluk golongan kedua yang
suaranya kurang didengar dan meruapakan mahluk lemah, feminisme
62
menimbulkan efek bahwa wanita pun dapat berdiri sejajar dengan pria dan
apa yang dulu dianggap tabu bagi wanita karena bertolak belakang dengan
kodrat dan status sosial, sekarang tidak lagi demikian. Dan salah satunya
adalah seperti yang dilakukan Gigi. Beth, rekan kerjanya mengatakan, jika
wanita menyukai pria, wanita tidak perlu menunggu telepon si pria agar
hubungan mereka berlanjut. Dan inilah yang kemudian membuat Gigi
terdorong untuk keluar dari konteks kuno bahwa wanita ditakdirkan untuk
menunggu. Artinya, wanita hanya diam dan pria yang melakukan tindakan.
Gambar 4.17
63
Gambar 4.18
Tidak lama kemudian, Gigi menelepon Conor setelah ia mendapat
‘pencerahan’ dari temannya, Beth. Ia meninggalkan pesan di kotak suara
Conor. Dalam perkataannya, Gigi beralasan mengapa ia yang menelepon
Conor bukan sebaliknya karena wanita zaman sekarang memiliki hak yang
sama dengan pria terbukti dengan lebih banyaknya wanita yang diterima di
sekolah hukum daripada pria.
Gambar 4.19
64
Ben, suami Janine bertemu dengan Anna. Setelah mengobrol, Ben
mengatakan ia mengenal seseorang yang bekerja di industri musik yang
mungkin bisa membantu Anna mewujudkan mimpinya sebagai penyanyi
professional. Anna lalu memberikan nomor teleponnya, Ben lantas berkata
bahwa ia sudah menikah.
Dalam kasus ini, Ben yang baru berkenalan dengan Anna di sebuah
mini market merasa ada kans bahwa hubungan mereka akan berlanjut di
mana didukung oleh sikap Anna yang bersahabat dengannya. Ben sebagai
pria secara to-the-point mengatakan pada Anna bahwa dia sudah menikah.
Alasannya, bahwa ia tidak ingin Anna menganggap Ben bermaksud lain
dengan mengenalkannya pada seorang produser musik dan ia tidak ingin
terjadi salah paham.
Gambar 4.20
65
Gambar 4.21
Gambar 4.22
Dari rentetan gambar di atas, terlihat Neil sedang meyakinkan Beth
mengapa mereka lebih baik dibandingkan mereka yang menikah dengan
hidup bersama tanpa sebuah ikatan resmi. Beth mulai goyah karena ia
mendapati dirinya menjalani hubungan tanpa status yang jelas bersama Neil
selama tujuh tahun di mana sang adik mendahuluinya menikah.
66
Neil terlihat meyakinkan Beth dengan memberikan alasan mengapa
mereka tidak harus menikah. Neil menunjukkan dominasinya terhadap Beth
dan tidak memberi Beth ruang untuk bernegosiasi. Di sini, Beth adalah muted
group.
Gambar 4.23
Gambar 4.24
67
Cerita berkembang di mana Gigi mendatangi sebuah klub yang sering
dikunjungi Conor dengan beranggapan mungkin Conor ada di sana.
Sesampainya di sana, ternyata Conor sedang berada di luar kota, kata Alex
yang ternyata teman baik Conor dan manajer klub tersebut.
Alex lantas mengatakan pada Gigi bahwa Conor tidak akan pernah
meneleponmu. Gigi bertanya mengapa Alex berkata seperti itu dan Alex
menjawab bahwa karena ia seorang pria dan begitulah kami (pria)
melakukannya.
Gambar 4.25
68
Gambar 4.26
Gambar 4.27
Gigi yang tidak percaya pada perkataan Alex, mengemukakan pilihan
jawaban mengapa Conor belum meneleponnya apalagi Gigi yakin Conor
tertarik padanya dengan bermodal ucapan “It’s nice to see you.”
69
Gambar 4.28
Gambar 4.29
Alex membantah kemungkinan yang dipaparkan Gigi dengan
mengatakan bahwa jika pria tidak meneleponmu maka dia memang tidak
ingin meneleponmu.
Alex merupakan contoh pria yang mengilhami dengan baik dominasi
pria dengan memiliki kepercayaan diri tinggi. Ia yakin pada gender yang
dianutnya. Oleh karena itu, ia menjawab pertanyaan Gigi dengan tegas.
70
Gambar 4.30
Kemudian cerita Beth berlanjut di mana ia mulai angkat bicara atas
hubungannya dengan Neil yang tak berujung pada pernikahan setelah terlibat
obrolan dengan Gigi dan Janine. Beth mulai mengeluhkan hubungan tanpa
statusnya bersama Neil. Beth selama tujuh tahun tidak pernah menuntut untuk
dinikahi. Dalam scene di atas, Beth dan Neil terlibat perbincangan di mana
Beth mengatakan bahwa sudah lima tahun belakangan ia menyembunyikan
keinginannya untuk menikah dengan Neil apalagi hal tersebut mulai
dipikirkannya kembali setelah saudara perempuannya mengumumkan akan
melangsungkan
pernikahan.
Namun,
ia
tidak
pernah
mengatakan
keinginannya tersebut karena ia ingin inisiatif akan pernikahan dimulai oleh
Neil. Kebungkaman Beth menandakan ia sedang bernegosiasi dengan Neil.
Di mana walau tidak mengatakannya, Neil akan memahaminya.
71
Gambar 4.31
Potongan scene di atas memperlihatkan tidak ada dialog. Beth
bertanya pada Neil apakah ia akan menikahinya. Beberapa saat Neil hanya
diam
terpaku.
Beth
menunggu
jawaban
yang
mana
Neil
tidak
memberikannya.
Untuk kasus ini, prialah yang merupakan muted group. Berdasarkan
teori Cheris Kramarae, pria menjadi muted group ketika pembicaraan
menyangkut masalah pribadi. Ini dikarenakan pria kurang mampu
mengekspresikan perasaannya.
72
Gambar 4.32
Cerita berlanjut di mana Gigi mendapatkan teman kencan yang baru.
Tidak ingin mengulangi kesalahan seperti kencannya dengan Conor di mana
ia menunggu Conor meneleponnya sebagai kelanjutan dari hubungan mereka,
Gigi ingin menegaskan kepada teman kencannya bahwa siapakah yang akan
menelepon duluan, Gigi atau si pria.
Gigi ingin mendapat kepastian secara verbal atau lisan dari sang pria
perihal siapa yang akan menelepon. Maksud Gigi, ia hanya ingin mendengar
pria mengucapkan, “aku yang akan meneleponmu.” Sebagai wujud kelanjutan
hubungan mereka namun, sang pria tidak mengatakannya. Pria di atas merasa
terintimidasi dengan pertanyaan Gigi. Di sini berlaku ucapan Alex bahwa jika
pria tersebut ingin menghubungimu, ia yang akan menghubungimu. Menurut
psikolog, pria memang cenderung langsung melakukan tindakan daripada
harus mengatakan akan melakukan tindakan tersebut sebelumnya jika
memang benar-benar ingin melakukan hal tersebut.
73
Gambar 4.33
Kemudian ada Mary, teman Anna yang menjalin komunikasi dengan
teman kencannya melalui teknologi komunikasi yakni, telepon dan internet.
Mary merasa cukup dengan bermodalkan komunikasi melalui
teknologi, ia dapat memiliki hubungan yang baik dengan pria yang
disukainya. Padahal, berhubungan secara virtual jelas tidak sama dengan
bertatap muka langsung.
Gambar 4.34
74
Conor, teman kencan Gigi bingung akan sikap Anna, wanita yang
ditaksirnya. Ia merasa aneh di mana Anna memberinya perhatian, sering
mampir ke apartemennya untuk sekedar curhat, bahkan pernah tidur
dengannya namun hubungan mereka tidak berkesan. Tidak ada status yang
jelas.
Dalam kasus Conor, ia clueless. Ia tidak dapat membaca Anna dari
sikap. Di sini, pria mengalami kesulitan memahami wanita.
Gambar 4.35
Setelah melalui drama dalam hubungan asmaranya dengan beberapa
pria, suatu malam Gigi menonton film favoritnya, ia lantas mengambil
kesimpulan bahwa Alex, teman yang selama ini dijadikannya ‘penasihat’
hubungannya dengan pria, menyukainya.
Film adalah hasil budaya manusia. Walau bahasa manusia di muka
bumi tidak ada yang sama. Pengalaman yang ditampilkan dalam film tersebut
bersifat universal. Artinya, siapa saja bisa memiliki pengalaman yang
75
diceritakan dalam sebuah film. Karena cerita di dalam film merupakan
perwakilan dari fenomena yang ada di masyarakat.
Dikarenakan wanita suka mengkhayal secara berlebihan atau
mengarang-ngarang, Gigi menganggap bahwa Alex layaknya tokoh di dalam
film favoritnya. Ia berkesimpulan demikian hanya dengan berangkat melalui
film.
Gambar 4.36
Mary sedang memamerkan pacar virtualnya kepada ketiga teman
gaynya. Ia dan pria tersebut berhubungan melalui situs MySpace. Hanya
dengan bermodalkan komunikasi verbal virtual, Mary yakin pria tersebut
menyukainya dan hubungan mereka dapat berjalan dengan baik. Mary
menyimpulkan dari segala tingkah manis pria tersebut seperti menciptakan
dan menyanyikan lagu untuknya.
76
Gambar 4.37
Gambar 4.38
Selanjutnya ada Janine dan suaminya Ben. Keduanya sedang
berbelanja bahan bangunan. Janine yang idealis tidak menyukai kayu tiruan
yang diperlihatkan Ben karena ia tidak menyukai kepura-puraan. Setelah
mendengarkan Janine berkata demikian, Ben lantas mengaku bahwa ia
selingkuh dengan seseorang.
77
Janine mendengar pengakuan Ben. Tapi bukannya marah besar, ia
justru menanyakan hal lain yakni, apakah Ben yang meninggalkan ampas
rokok di halaman belakang rumah mereka. Janine hanya berfokus pada
masalah rokok.
Gambar 4.39
Gambar 4.40
Alex mengadakan pesta kecil di rumahnya dan mengundang Gigi
turut serta. Ketika dua hadirin pesta Alex bertanya pada Gigi mengapa wanita
78
tersebut mengenal Alex, Gigi justru menjawab, “Aku yakin sesuatu terjadi di
antara kami. Dia memberiku tanda-tandanya.”
Gigi begitu percaya diri di depan publik bahwa Alex menyukainya.
Gambar 4.41
Gambar 4.42
79
Gambar 4.43
Gambar 4.44
Saat pesta usai, Gigi mengatakan bahwa Alex selama ini bersikap
seolah-olah ia adalah tokoh lain seperti dalam film yang ternyata diam-diam
menyukainya. Gigi mengatakan pada Alex atas apa yang ia tangkap dari sikap
Alex.
80
Alex marah dan tidak habis pikir mengapa Gigi menjadi begitu salah
paham pada apa yang dilakukannya untuk Gigi. Alex merasa Gigi sudah
sangat berlebihan.
Dalam potongan scene paling bawah, Alex mengatakan mengapa Gigi
memutar hal yang didapatnya dari perlakuan Alex ke tafsiran yang lain
sehingga membuatnya salah paham.
Gambar 4.45
Janine mendatangi kantor Ben, suaminya untuk menyelamatkan
pernikahannya. Janine yang masih marah karena Ben selingkuh memilih
berdamai dan ingin rujuk dengan Ben.
Masalah
Janine
yang
sebenarnya
adalah
ia
tidak
pernah
berkomunikasi dengan suaminya perihal hubungan pribadi mereka. Selama
ini Janine menganggap pernikahannya baik-baik saja sampai ia mendengar
sendiri pengakuan suaminya berselingkuh.
81
Gambar 4.46
Terlihat Neil sedang mencuci piring di rumah orang tua Beth. Ia
membantu Beth mengerjakan pekerjaan rumah karena Beth sibuk merawat
sang ayah yang sedang sakit.
Adegan ini memperlihatkan sikap gentleman Neil dengan mendatangi
Beth ke rumah orang tuanya dan membantu Beth mengerjakan pekerjaan
rumah. Pria lebih menyukai beraksi daripada mengumbar kata-kata. Inilah
yang dilakukan Neil. Ia memang tidak bisa memberi Beth pernikahan tapi
walau begitu ia menunjukkan bahwa ia sungguh ingin serius dengan Beth.
Neil hanya tidak bisa melakukan seperti orang lain dengan memberitahukan
bahwa ia ingin menikah dengan Beth.
82
Gambar 4.47
Mendekati akhir cerita, Alex sibuk melihat telepon genggamnya,
menerka siapa tahu Gigi meneleponnya atau sekedar meninggalkan pesan
suara untuknya.
Gambar 4.48
83
Gambar 4.49
Alex menjadi tidak fokus dalam pekerjaannya. Ia berubah seperti Gigi
yang terobsesi pada pria dengan menanti telepon agar hubungan mereka
berlanjut.
Berikut ini, sebuah review buku That’s Not What I Meant! oleh Dr.
Deborah Tannen yang ditulis oleh Emma Chamberlin pada Mei 2007.
Dalam buku berjudul That’s Not What I Meant! seperti yang
dikatakan Emma dalam reviewnya, buku tersebut mengandung penjelasan
mengapa terjadi misunderstanding. Dr. Tannen menjelaskan mengapa orangorang mengalami kesalahan dalam berkomunikasi terutama antara pria dan
wanita.
Emma mengutip kalimat dalam buku Tannen yakni:
“What is communicated about relationships- attitudes toward each
other, the occasion, and what we are saying- is the metamessage”
(Pg. 16, Tannen).
Ketika kita bertanya pada seorang teman, “Apakah kau baik-baik
saja?” dan dia menjawab, “Iya”. Namun jelas kita melihat dia bersedih. Apa
84
yang dikatakannya jelas bukan yang dimaksudkannya. Itu yang dinamakan
Metamessage.
We are constantly trying to take into account the effect of what we
say, and how we will make other people feel. Tannen lists three rules
devised by Robin Lakoff: 1. Don’t impose; keep your distance, 2. Give
options; let the other person have a say, 3. Be friendly; maintain
camaraderie. Naturally, each of these rules can have a negative side.
If we take approach number one for example, and decline an offer for
a drink, we may come off as rude and unappreciative when we are
just trying to be polite. We balance all three of these rules and try to
find a comfort level within ourselves. Furthermore, our attempts of
politeness can often backfire and end up being offensive.
Selanjutnya, Emma menuliskan bahwa kita selalu berusaha
menyamarkan apa yang kita katakan dan bagaimana cara kita membuat
perasaan yang tenang bagi orang lain dengan mempertimbangkan efeknya.
Tannen memaparkan tiga aturan yang didefinisikan oleh Robin Lakoff: 1.
Jangan menjatuhkan; jaga jarak Anda, 2. Berikan pilihan; biarkan orang lain
mengatakan sesuatu, 3. Bersikap ramahlah; pelihara hubungan persahabatan.
Naturally, each of these rules can have a negative side. If we take
approach number one for example, and decline an offer for a drink,
we may come off as rude and unappreciative when we are just trying
to be polite. We balance all three of these rules and try to find a
comfort level within ourselves. Furthermore, our attempts of
politeness can often backfire and end up being offensive.
Secara alamiah, masing-masing dari aturan tersebut memiliki sisi
negatif. Jika kita mempraktikkan aturan nomor satu misalnya, kita menolak
tawaran minum oleh seseorang, maka kita mungkin adalah seseorang yang
kasar dan tidak menghargai seseorang tersebut walau sebenarnya kita
berusaha untuk bersikap sopan. Kita kemudian menyeimbangkan ketiga
aturan tersebut dan mencoba mencari tingkatan yang nyaman dengan diri kita
85
sendiri. Lebih jauh, kecenderungan kita dalam bersikap sopan justru sering
menjadi serangan untuk diri kita sendiri.
Dalam buku Tannen, ada contoh yang ditunjukkan mengapa
terkadang kita tidak mengatakan apa yang sebenarnya kita maksud.
Contohnya pada pasangan Greg dan Cynthia. Greg membuat kudapan untuk
dirinya sendiri kemudian ia menawarkannya pada Cynthia. Cynthia malah
menolak kudapan tersebut. Alasannya karena Greg hanya membuat kudapan
untuk dirinya sendiri tapi tidak membuatkan khusus untuk Cynthia. Greg
tidak bisa percaya hanya karena kudapan yang dibuatnya untuk diri sendiri
dan hanya menawarkan pada Cynthia bukan membuatkan khusus untuknya,
Cynthia lantas merasa Greg tidak peduli padanya.
Dr. Tannen next moves on to directness and telling the truth. She
describes how sometimes telling the complete truth can actually get
you into trouble. If someone asks you a question and you give them a
truthful answer with no explanation, he/she may think your answer is
suspicious even though you are telling the truth. Tannen also states
that a “reason we can’t solve the problems of indirectness by being
direct is that there are always unstated assumptions” (Pg 66,
Tannen). People speaking to each other often get confused because
they are saying something assuming that the other person knows
exactly what they are talking about. For the most part, we can’t know
everything that’s going on in someone else’s head so it’s nearly
impossible to be completely clear at all times.
Emma mengutip lagi dalam buku Tannen bahwa alasan mengapa kita
tidak dapat memecahkan masalah dalam komunikasi/indirectness karena kita
terlalu banyak berasumsi. Asumsi yang tidak tepat. Orang-orang sering
mengalami kebingungan ketika mereka berbicara itu karena mereka
berasumsi sedangkan orang lain mengetahui jelas apa yang dimaksudkan.
Yang paling penting dalam hal ini adalah kita tidak pernah mengerti jalan
86
pikiran masing-masing orang dan mustahil apa yang dibicarakan menjadi
jelas.
Dan hal lain mengapa kita justru tidak mengatakan hal yang
sebenarnya karena kita takut melukai perasaan orang lain dengan berkata
jujur.
Adapun dalam buku Tannen, Emma menemukan mengenai framing
dan reframing.
“Framing is a way of showing how we mean what we say or do and
figuring out how others mean what they say or do.” (pg. 75, Tannen).
Cara kita membingkai sesuatu adalah penyebab utama terjadinya
kesalahpahaman. Contoh, sepasang kekasih ingin makan malam di sebuah
restoran. Sang pria mengatakan ia ingin makan di restoran A. Sesampainya di
sana, ternyata makanan di restoran tersebut tidak enak. Di akhir makan
malam, si wanita berkata bahwa ia pernah makan di restoran A sebelumnya
dan telah mengetahui bahwa makanannya tidak enak. Sang pria bingung
mengapa si wanita tidak mengatakan sebelum mereka mendatangi restoran
tersebut. Ternyata, si wanita melakukan negosiasi. Ketika ia bertanya di mana
mereka akan makan kemudian sang pria menjawab maka ia menganggap
bahwa itu adalah hasil dari negosiasi.
Contoh dari reframing yakni, seseorang baru saja bercerai. Namun,
karena liburan, ia tidak ingin sendiri melewatkan hari liburnya jadi ia
menerima ajakan temannya untuk berlibur bersama ke luar negeri. Akan
tetapi, ia lantas berpikir bahwa orang-orang yang mengenalnya pasti mengira
ia sedang lari dari kenyataan akan perceraiannya. Dan pergi ke luar negeri
87
untuk berlibur adalah caranya menghindar. Karena berpikir demikian
akhirnya ia membatalkan liburannya bersama sang teman dan ia kecewa
karena itu.
Reframing is tricky because you are trying to say something to show
you care, but it can come out as pity, which practically no one
appreciates.
Reframing juga tidak lebih baik dari framing. Reframing di mana kita
berusaha agar sesuatu tersebut kedengaran normal tapi justru bagi orang lain
itu bukan hal yang dimaksudkan. Kita takut orang akan peduli pada hal
tersebut. Tapi pada kenyataannya tidak.
Dr. Tannen mentions that people seem to feel that communication
should come easy with love, and that just because we are in a
romantic relationship we should be able to understand one another
perfectly. Unfortunately this is not the case. Just because two people
are growing closer together, does not mean that their conversational
styles are changing and suddenly becoming in-sync. In fact,
communication gets even more frustrating over time because couples
feel like if anyone should understand them, it should be their
significant other, which is not always the case.
Dr. Tannen menyebutkan bahwa orang-orang merasa bahwa
komunikasi akan mudah jika melibatkan cinta dan terlibat dalam romantisme
sehingga kita dapat memahami satu sama lain dengan sempurna. Sayangnya,
tidak. Hanya karena ada dua orang yang berhubungan dekat, bukan berarti
gaya pembicaraan mereka berubah dan berkaitan. Komunikasi menjadi
bagian penting dalam berhubungan karena salah satu di antara dua orang
yang memiliki hubungan menginginkan agar pasangannya memahaminya
yang mana tidak selamanya seperti itu.
Wanita seringkali merasa bahwa parnernya harus bisa mengetahui yang
wanita inginkan tanpa harus wanita katakan, dan pria merasa bahwa pria dan
88
wanita tidak seharusnya terlalu lama berkutat dengan isu dan mengatakan apa
yang mereka inginkan. Secara alamiah, timbullah kesalahpahaman, sejak pria
dan wanita memiliki pandangan yang berbeda tentang dunia, memecahkan
masalah adalah hal yang sulit karena pria dan wanita memiliki perbedaan ide
dalam membicarakan masalah.
Dalam salah satu artikel di majalah GoGirl! Edisi Januari 2010
berjudul What Boys Can Learn From Girls, di dalamnya ditulis, “men think
with their logic and women think with their heart”. Artinya, pria berpikir
dengan logika sedang wanita berpikir dengan hati, menggunakan perasaan.
Ini yang menyebabkan wanita lebih sering mengalami sakit hati. Selain itu,
ditulis pula bahwa kemampuan pria dalam berkomunikasi membuat mereka
tidak bisa berbasa-basi. Mereka to-the-point. Oleh karena itu, wanita
diharapkan mengatakan apa yang memang ingin katakan.
Dalam artikel yang sama, dipaparkan pula hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lurentian University, Sudbury, Ontario, Canada, bahwa
perempuan ternyata lebih detil dibandingkan laki-laki. Penelitian terhadap 20
orang perempuan dan 20 orang laki-laki di mana mereka diminta untuk
meceritakan kembali apa yang mereka dengar selama 5 menit menghasilkan
bahwa perempuan 50% lebih banyak dan bercerita lebih detil dan akurat
daripada laki-laki. Ini dikarenakan perempuan memiliki pandangan
peripheral yang lebih luas hampir mencapai 180 derajat. Sedangkan pada pria
hanya berbentuk semacam tunnel vision yang hanya bisa melihat hal-hal jelas
yang ada di depan mata. Contohnya, laki-laki dapat dengan mudah
89
menemukan pom bensin atau bengkel dari kejuhan akan tetapi, susah
menemukan benda yang terletak di dalam rak atau kulkas.
Ada pun ditulis bahwa “women have a wonderful instinct about
things. They can discover everything except the obvious”. Artinya, saking
sangat memperhatikan hal-hal kecil, wanita lupa akan pokok utama.
Kemudian dalam hal kepekaan atau kesensitifan wanita lebih besar
oleh karena itu, wanita lebih perasa dibandingkan pria. Wanita lebih mudah
memahami perasaan orang lain dan menempatkan diri sesuai dengan keadaan
orang lain.
Menurut studi yang pernah dilakukan, pria memang memiliki ego
yang lebih besar dibandingkan wanita. Dari zaman purba, pria sudah incharge
untuk berburu dan melindungi wanitanya. Dikarenakan sifat superior dan
powerfulnya maka pria menjadi lebih egois dan merasa paling hebat.
Selanjutnya, ditulis bahwa wanita memiliki kemauan dan rasa ingin
tahu yang besar dibandingkan pria.
Terakhir, pada artikel Make Him Say Yes di mana artikel ini memuat
mengenai usaha keempat wanita meyakinkan sang pacar agar mau menuruti
kemauannya, tertulis bahwa salah satu dari mereka yang meminta agar sang
pacar menjadi pagar bagus pada nikahan sang kakak sepupu berusaha agar si
pria mengatakan ‘iya’. Faktanya adalah men are afraid of having further
relationship, especially comes to a big family.
Dalam edisi lain pada majalah GoGirl! Yang mengangkat isu tentang
link, dibahas mengenai Lost In Translation. Di dalam artikel ini, pria dan
90
wanita dibagi ke dalam dua kategori berdasarkan dunia asal mereka. Pria dan
wanita diistilahkan berasal dari Mars dan Venus. Yang mana kedua planet ini
merupakan dua dari sembilan planet di tata surya yang memiliki perbedaan
sangat jauh. Berdasarkan istilah ini pulalah, alasan mengapa terjadi sering
miscommunication antara pria dan wanita adalah karena mereka berasal dari
dua dunia yang berbeda.
Dalam artikel ini, ditulis bahwa pria menunjukkan rasa sayang serta
kepeduliannya terhadap sesuatu atau seseorang bukan dengan cara
‘mengatakan’
tapi
‘melakukan’
yang
artinya,
pria
tidak
perlu
mengungkapkannya pada orang lain, cukup dengan melakukan tindakan.
Karena seperti itulah mereka melakukannya. Terkhusus kepada orang yang
dicintainya. Pria hanya mengatakan apa yang penting untuk dikatakan. Tidak
seperti wanita yang penuh dengan ‘ornamen’. Pria cenderung meniadakan
hal-hal yang sifatnya pribadi.
Berikut ini hasil wawancara dengan coder berjumlah tiga orang yang
semuanya berjenis kelamin perempuan.
Nama
: Indri
Pekerjaan : Mahasiswa
“Saya dekat dengan seorang cowok yang menurut teman-teman
perempuan saya, cowok itu juga ada rasa ke saya. Dia begitu perhatian.
Menurut saya, ini cukup berlebihan berhubung status kami hanya teman. Ku
pikir dia menyukai seorang gadis, tapi ketika digoda oleh teman-teman,
sikapnya cuek dan saya menyimpulkan dia tidak benar-benar menyukai gadis
91
tersebut. Seiring waktu berjalan, tidak ada yang istimewa. Sikapnya justru
jauh dari yang saya harapkan, dan saya berkompromi dengan diri sendiri
bahwa dia wajar bersikap demikian. Saya anggap ini selesai. Karakter saya
kurang lebih seperti Gigi dalam film He’s Just Not That Into You.”
Nama
: Meike
Pekerjaan : Mahasiswa
“Saya mirip tokoh Gigi. Saya termasuk orang yang mungkin sedikit
berlebihan jika menyangkut masalah pria dan asmara. Setelah menonton He’s
Just Not That Into You, saya setuju jika film ini mengangkat tentang masalah
komunikasi antara pria dan wanita. Saya tidak berpikir walau ini film bule,
bukan berarti ceritanya tidak mewakili penonton Asia bahkan Indonesia
karena sebuah film adalah hasil budaya manusia yang bersifat universal.
Intinya, wanita-wanita dalam film He’s Just Not That Into You mengharapkan
sesuatu yang pada kenyataannya tidak sejalan.”
Nama
: Christin
Pekerjaan : Mahasiswa
“Saya menyimpulkan pria menyukai saya sesuai dengan apa yang
saya baca dan saya lihat seperti di buku-buku, majalah, dan film-film.”
Dari hasil wawancara dengan para coder, sebagai pendukung teori dan
hasil penelitian, berikut merupakan hasil wawancara dengan psikolog.
Nama
: Widyastuti, S.Psi,. M.Si, Psikolog
Tempat tanggal lahir
: Yogyakarta, 29 Mei 1968
Riwayat Pendidikan
: -S1 Psikologi UGM
92
-S2 Psikologi UGM
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Psikologi UNM
Pertanyaan:
1. Pria dan wanita memiliki bahasa yang berbeda. Seperti yang
ditunjukkan dalam film He’s Just Not That Into You, bagaimana
menurut ibu?
Jawaban: Memang iya, ya. Pria itu cenderung lebih langsung
mengatakan segala sesuatu dibanding wanita. Wanita sendiri lebih
cenderung menggunakan bahasa-bahasa permisif atau bahasa yang
diperhalus. Pria to the point jika yang dibicarakan rasional. Kapan
pria menggunakan bahasa yang berputar, yakni jika ia melibatkan
emosi.
2. Dalam film He’s Just Not That Into You, wanita sangat
mementingkan arti sebuah relationship. Apakah seperti itu
psikologinya?
Jawaban: sebetulnya memang, kadang-kadang wanita itu butuh
kepastian. Sementara pria cenderung lebih mengarah kepada
tindakan. Wanita butuh pengakuan secara verbal sedangkan pria
lebih mengutamakan tindakan real.
3. Dalam ilmu psikologi apakah perbedaan pria dan wanita dipelajari?
Jawaban: sebenarnya tidak dipelajari secara spesifik, tapi kami
mengenal dengan istilah neurolanguage programming yang mana
93
komunikasi verbal pasti disertai dengan komunikasi nonverbal. Ini
terjadi secara sadar maupun tidak.
4. Berdasarkan film He’s Just Not That Into You, menurut ibu, wanita
dalam film tersebutlah yang memiliki masalah dalam komunikasi?
Jawaban: kadang-kadang emosi cenderung tidak stabil sehingga
membuat kita mengeluarkan bahasa yang sifatnya tidak kuat.
Terkadang jika ingin melakukan sesuatu, bukanlah apa yang kita
katakan. Pada satu kasus, ada seorang wanita membunuh
suaminya. sang istri mengusir suaminya. mereka bertengkar. Sang
suami langsung menuruti perkataan sang istri. Ternyata, sang istri
mengatakan demikian dengan maksud ingin suaminya tetap
tinggal. Karena sang suami mengartikan sesuai dengan apa yang
dikatakan sang istri, ia pun pergi. Sang istri emosi dan langsung
membunuh sang suami.
5. Ada
istilah
pria
menggunakan
logika,
sedangkan
wanita
menggunakan perasaan. Benarkah?
Jawaban: dalam sistem neurologis, memang demikian. Pria
memang cenderung menggunakan pikiran/akal sehat sedangkan
wanita memang cenderung peka sehingga melibatkan perasaan.
6. Menurut ibu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi wanita
menciptakan sendiri pemaknaannya terhadap perkataan pria?
Jawaban: hal tersebut dilakukan untuk melindungi. Maksudnya,
mereka memberikan jawaban yang diperhalus agar tidak
94
menyakiti perasaan. Wanita cenderung lebih ingin mendegar apa
yang ingin didengarnya bukan kenyataan yang sebenarnya. Inilah
yang menjurumuskan wanita dalam masalahnya sendiri dengan
membuat ‘karangan’ akan hasil tafsiran terhadap perkataan pria.
7. Apakah relevan film He’s Just Not That Into You dengan penonton
di Indonesia?
Jawaban: khusus untuk kasus ini, hamper semua orang di seluruh
dunia seragam. Ini bersifat universal.
8. Dari semua tokoh wanita dalam film He’s Just Not That Into You,
siapa tokoh yang paling sukses mengalami kegagalan dalam
komunikasi?
Jawaban: tokoh Gigi. Sejak kecil ia didoktrin dengan pemahaman
yang salah. Ini dipengaruhi oleh didikan orang tua sejak kecil.
9. Menurut ibu, sudah benarkah bahwa masalah antara pria dan
wanita dalam film He’s Just Not That Into You adalah
komunikasi?
Jawaban: iya, benar. Di situ, ditampilkan bahwa para tokoh ingin
mengatakan A tapi bukan A yang akhirnya dikatakan. Tidak ada
kesensitifitasan terhadap nonverbal communication. Terjadi
coding yang salah.
10. Bahasa pria dan bahasa wanita merupakan bahasa yang
dipengaruhi oleh gender?
95
Jawaban: pria yang to the point dan wanita yang permisif. Jelas
ini karena gender. Jika bertanya pada pria, maka jawabannya
adalah jawaban khas pria. Jika bertanya pada wanita maka
jawabannya adalah jawaban khas wanita.
11. Bagaimana seharusnya para tokoh wanita dalam film He’s Just
Not That Into You agar keluar dari miscommunication?
Jawaban: segala sesuatu harus dikomunikasikan dengan jelas dan
mengatakan apa yang memang ingin dikatakan. Dan satu hal, jika
wanita meneruskan tafsiran ‘karangan’nya akan perkataan pria, ini
akan menjadi fatal terhadap dirinya sendiri, makin menyakiti diri
sendiri dan memperburuk hubungan yang terjalin.
12. Terakhir, kesimpulan terhadap bahasa wanita dalam film He’s Just
Not That Into You
Jawaban: bahasa mereka tidak realistis. Pembohongan terhadap
diri sendiri! Wanita melebih-lebihkan hal yang sederhana.
B. PEMBAHASAN
Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan berdasarkan data
primer yakni film He’s Just Not That Into You yang merupakan objek
penelitian dan data sekunder yakni, essay, summary, review, artikel majalah
dan wawancara dengan coder serta psikolog. Berikut adalah jawaban atas
rumusan masalah penelitian.
96
DAFTAR GAMBAR
PRIA
WANITA
Gambar 4.1
Anak
lelaki
kecil
menggunakan
bahasa verbal
yang
kasar.
Perkataannya
mengartikan
bahwa ia benarbenar
tidak
menyukai anak
perempuan.
Gigi
kecil
menggunakan
bahasa verbal yang
halus.
Ia
menggambarkan
tipikal
anak
perempuan yang
sebagaimana
mestinya bertindak
dan bertutur kata
yang halus.
Ibu Gigi kecil
menggunakan
bahasa
permisif
(diperhalus) guna
menenangkan hati
Gigi. Sang ibu
melakukan
pembohongan
terhadap kenyataan
bahwa anak lelaki
tersebut memang
tidak
menyukai
Gigi.
Para teman wanita
sang
tokoh
menggunakan
bahasa
yang
permisif.
Teman wanita sang
tokoh
menggunakan
bahasa
yang
permisif.
Teman wanita sang
tokoh
menggunakan
bahasa
yang
permisif.
Teman wanita sang
tokoh
menggunakan
bahasa
yang
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
97
permisif.
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Gambar 4.10
Conor
menggunakan
bahasa
yang
lugas
dengan
mengatakan
secara
jelas
setiap jawaban
atas pertanyaan
Gigi.
Gambar 4.11
Conor
menggunakan
bahasa formal
dengan
mengucapkan
‘it was really
nice
meeting
you’.
Gambar 4.12
Teman wanita sang
tokoh
menggunakan
bahasa
yang
permisif.
Teman wanita sang
tokoh
menggunakan
bahasa
yang
permisif.
Para teman wanita
sang
tokoh
menggunakan
bahasa
yang
permisif.
Gigi menggunakan
bahasa
yang
sifatnya
lemah
seperti
menggunakan kata
‘if’
dalam
pembicaraannya.
‘if’
merupakan
penunjuk
oleh
kelemahan bahasa
yang
digunakan
wanita karena ‘if’
mengandung
kekurangpercayaan
diri
yang
ditunjukkan oleh
wanita.
Gigi
juga
menggunakan
bahasa
formal
seperti
yang
diucapkan Conor.
Gigi menyatakan
kepercayaan diri
dengan
98
Gambar 4.13
Gambar 4.14
Gambar 4.15 dan 4.16
mangatakan pada
Janine
bahwa
kencannya berhasil
dan yakin bahwa
Conor
akan
melanjutkan
hubungan mereka.
Di
sini
Gigi
melakukan
karangan
berdasarkan hasil
interpretasinya.
Janine
menggunakan
bahasa
permisif
untuk
menghentikan
obsesi Gigi pada
telepon
genggamnya.
Janine mengatakan
jawaban
yang
terdengar
wajar
agar
Gigi
mengerti.
Janine
menganalisa dialog
antara Conor dan
Gigi ketika mereka
berkencan sebagai
wujud kepedulian
Janine agar Gigi
jangan
sampai
mengalami salah
interpretasi. Janine
melakukan analisa
bukan berdasarkan
karangan
yang
dibuatnya
melainkan bersifat
logis.
Beth, teman Gigi
dan
Janine
memperlihatkan
sisi feminis dengan
mengatakan bahwa
99
Gambar 4.17 dan 4.18
Ben
menggunakan
bahasa to the
point. Ben ingin
menunjukkan
kepada
Anna
bahwa ia pria
baik-baik yang
tidak
ingin
memanfaatkan
perkenalannya
dengan Anna.
Gambar 4.20, 4.21, dan 4.22 Neil
mendominasi
komunikasi
yang
terjalin
antara dia dan
Beth.
Ben
menunjukkan
sisi
arogansi
pria
dan
membuat Beth
lemah
atas
aspirasinya
sendiri.
Alex
Gambar 4.23 dan 4.24
menggunakan
bahasa
yang
lugas
dan
langsung pada
Gambar 4.19
jika
wanita
menginginkan
sebuah hubungan
maka tidak perlu
bagi mereka untuk
menunggu
melainkan
langsung
bertindak.
Gigi
menelepon
Conor
sebagai
perwujudan
perkataan
Beth.
Gigi menggunakan
bahasa yang tegas
dan percaya diri.
100
sasaran. Terlihat
dominasi
maskulinitas
dalam bahasa
yang
digunakannya.
Gigi mengutarakan
poin-poin
yang
diyakininya bahwa
Conor
memiliki
ketertarikan
padanya.
Gigi
memperlihatkan
bahwa wanita takut
akan
penolakan
dan
mencoba
membuat
kemungkinan dan
kebalikan dari apa
yang
dikatakan
Alex.
Gigi
menafsirkan
perkataan
dan
sikap Alex sesuai
dengan
karangannya yang
mana ia dapat dari
hasil perbincangan
dengan
teman
wanitanya,
menonton
film,
dan
pengalamannya di
masa lalu.
Gambar 4.25, 4.26, dan 4.27
Gambar 4.28 dan 4.29
Alex
memberikan
jawaban mutlak
mengapa Conor
tidak
akan
menghubungi
Gigi karena di
satu sisi ia
adalah sahabat
baik Conor dan
sisi
lain
ia
adalah pria yang
101
taat
pada
gendernya
di
mana
pria
melakukan
segala sesuatu
dengan cara pria
yakni to the
point.
Beth menggunakan
bahasa yang tegas,
langsung,
dan
berterus
terang
ketika
meminta
Neil
untuk
menikahinya
Gambar 4.30
Gambar 4.31
Gambar 4.32
Gambar 4.33
Neil
adalah
muted
group
yang mana ia
tidak
mampu
menampik
perkataan Beth.
Neil
adalah
pria, dan pria
sulit
mengungkapkan
aspirasinya jika
menyangkut
hubungan
pribadi
(asmara).
Tokoh
pria
mengatakan apa
yang memang
ingin
dikatakannya.
Gigi
ingin
mendengar
apa
yang
ingin
didengarnya.
Mary
berkomunikasi
secara
virtual
dengan
teman
kencannya dengan
melalui bermacam
jenis
teknologi
komunikasi. Mary
dapat
dengan
mudah
memercayai
102
perkataan teman
kencannya tanpa
pernah
bertemu
dengannya
sebelumnya. Mary
mengalami krisis
percaya diri.
Gambar 4.34
Gambar 4.35
Gambar 4.36
Conor
tidak
dapat membaca
tanda-tanda
yang
ditunjukkan
Anna
atas
sikapnya.
Wanita
dapat
dengan mudah
memahami pria
karena wanita
terkesan terlalu
terobsesi akan
sebuah
hubungan
sedangkan pria
tidak
dapat
mengerti
perkataan dan
sikap
wanita
yang cenderung
berubah-ubah.
Gigi menunjukkan
kepercayaan
dirinya sekali lagi
bahwa kali ini dia
benar-benar yakin
bahwa
Alex
menyukainya.
Mary
menunjukkan
teman
kencan
virtualnya
dan
yakin
pada
perkataan
pria
tersebut di dunia
maya
103
Gambar 4.37 dan 4.38
Ben langsung
mengatakan
bahwa ia pernah
tidur
dengan
wanita lain.
Gambar 4.39 dan 4.40
Gambar 4.41 dan 4.42
Gambar 4.43 dan 4.44
Gambar 4.45
Janine
menunjukkan
sikap
perfeksionisnya
dengan
mengatakan bahwa
ia tidak menyukai
kepura-puraan.
Gigi mengatakan
pada kedua tamu
pesta bahwa ia
meyakini
sinyal
yang
diberikan
Alex adalah tanda
bahwa
Alex
menyukainya.
Gigi
langsung
mengatakan pada
Alex bahwa ia
yakin
Alex
menyukainya dan
karena itu Alex
mau
menjadi
teman
curahan
hatinya.
Alex
tidak
percaya
mengapa Gigi
bisa mengarang
khayalannya
atas sikap dan
perkataan Alex
padanya.
Janine mendatangi
suaminya
Ben
untuk rujuk. Janine
sepanjang
film
yakin bahwa ia dan
suminya baik-baik
saja
dengan
berkomunikasi
seadanya sampai ia
mendengar
langsung
bahwa
suaminya
berselingkuh.
104
Gambar 4.46
Gambar 4.47 dan 4.48
Neil
mendatangi
rumah orang tua
Beth
dan
langsung
bertindak
layaknya
pengurus rumah
tangga.
Neil
menunjukkan
sisi
maskulinitas
yang
mana
bahwa
pria
tidak
perlu
mengatakan I
Love
You
melainkan
dengan
melakukan aksi
yang
menunjukkan ia
mencintai
pasangannya.
Alex berubah
seperti
Gigi
yang terobsesi
pada
telepon
genggamnya.
Alex
menunjukkan
sisi pria yang
menggunakan
emosinya
di
mana
pria
cenderung
berperilaku
layaknya wanita
untuk
kasuskasus tertentu
terutama
mengenai
hubungan
asmara.
105
Dan berdasarkan teori-teori serta hasil wawancara dengan psikolog
maka dapat disimpulkan bahwa pria dan wanita berkomunikasi verbal dengan
cara yang berbeda.
PRIA
1. Menggunakan bahasa verbal yang
bersifat tegas dan to the point.
2. Karena budaya patriarki sejak
zaman nenek moyang, pria tetap
pada dominasinya sebagai mahluk
paling berkuasa dan berpengaruh
dalam segala aspek berkehidupan.
Hal ini ditunjukkan dengan sikap
dan perkataan mereka yang
meredam aspirasi wanita.
3. Pria lebih cenderung melakukan
tindakan daripada mengatakan apa
yang diinginkan atau dilakukannya.
WANITA
1. Menggunakan bahasa verbal
yang berbelit-belit, terlalu
berlebihan, dan yang sifatnya
permisif (diperhalus) sebagai
wujud penolakan atas
kenyataan yang tidak sesuai
dengan harapan.
2. Wanita cenderung tidak
percaya diri oleh karena itu
mereka menciptakan bahasa
mereka sendiri atas hasil dari
menerjemahkan dominasi
bahasa pria.
3. Wanita cenderung aktif
berbicara akan apa yang
diinginkannya dan
dilakukannya.
Seperti yang ditunjukkan pada bagian hasil penelitian untuk data
primer yakni objek film berjudul He’s Just Not That Into You, berikut
penjelasannya.
a. Tokoh Alex diceritakan sebagai tokoh yang percaya diri di mana
segala apa yang dikatakannya dan dilakukannya adalah hasil dari
gender. Alex adalah perwujudan pria yang menganut budaya
patriarki.
106
b. Tokoh Ben adalah tokoh yang berusaha menjadi pria baik-baik
dengan menjaga sikap dan perkataannya kepada sang istri.
c. Tokoh Neil merupakan sosok pria egois yang hanya ingin menang
sendiri. Ia berbagi hidup dengan Beth tanpa mau berbagi status
yang jelas dengan wanita yang sudah tinggal seatap dengannya
selama tujuh tahun. Neil memperlihatkan dominasinya terhadap
Beth.
d. Tokoh Conor justru sedikit berbeda. Ia terkesan lembek dan kurang
percaya diri. Hal ini ditunjukkan dengan sikapnya yang kurang
tegas dalam menunjukkan perasaannya pada Anna.
e. Tokoh Gigi merupakan sosok wanita over confident, berlebihan
dalam segala hal, dan tidak konsisten. Ia digambarkan sebagai
tokoh yang bermasalah dalam menjalani hubungan percintaan
karena kurang dapat memahami sinyal dan perkataan verbal pria
yang disukainya.
f. Tokoh Janine adalah sosok wanita berwatak keras dan perfeksionis,
ini ditunjukkan atas dominasinya terhadap sang suami Ben.
g. Tokoh Beth digambarkan sabar dan tenang. Beth bukan tipe yang
memaksakan kehendak sampai ia menyadari ia pun menginginkan
pernikahan layaknya pasangan yang lain yang ketika mereka jatuh
cinta, mereka pun menikah.
h. Tokoh Anna adalah sosok wanita biasa yang jatuh cinta pada pria
beristri di mana di satu sisi ia sangat disukai oleh Conor. Anna
107
berusaha merebut Ben dari Janine setelah mendengar perkataan
sahabatnya, Mary bahwa terkadang jodoh yang ditakdirkan datang
tidak tepat waktu termasuk ketika Anna bertemu dengan pria yang
telah menikah, Ben.
i. Tokoh Mary adalah wanita yang selama ini hanya menjalani
hubungan dan berkomunikasi verbal dengan pria yang disukainya
melalui teknologi komunikasi. Ia tidak pernah bercakap secara
langsung (tatap muka) dengan semua pria yang dikencaninya.
Mary dan para pria virtualnya layaknya menjalani kencan buta.
108
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari hasil analisis film He’s Just Not That Into You, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Para pria dalam film He’s Just Not That Into You
berkomunikasi verbal dengan menggunakan bahasa yang to-thepoint, tegas, dan logis. Sedangkan para wanita dalam film He’s
Just Not That Into You adalah muted group yang berkomunikasi
verbal dengan menggunakan bahasa permisif (diperhalus), terlalu
berbelit-belit, berlebihan, dan tidak jelas.
2. Terjadi kesalahan penafsiran oleh para wanita dalam film He’s
Just Not That Into You karena pengalaman di masa lalu yang salah
dan cenderung membuat ‘karangan’ atas pesan verbal pria. Bahasa
yang permisif dan kesensitivan yang tinggi membuat wanita susah
untuk berterus terang terhadap apa yang ingin dikatakannya.
B. SARAN
1. Segala sesuatu harus dikomunikasikan dengan jelas. Jangan
cepat mengambil kesimpulan. Dan berdamai dengan kenyataan.
Artinya bahwa baik dalam berkehidupan sosial dan masyarakat,
komunikasi harus dijalin dengan baik bukan hanya dari segi
kuantitas melainkan kulitas. Menjaga tutur kata dan memahami isi
komunikasi adalah faktor berhasilnya hubungan yang baik. Jika
109
ingin mengatakan ‘ya’ katakan ‘ya’ dan jika ingin mengatakan
‘tidak’ katakana ‘tidak’. Ketegasan bagian dari kejujuran. Dalam
kasus para wanita dalam film He’s Just Not That Into You, mereka
hanya sebenarnya ingin mengatakan bahwa ‘he’s just not that into
you’ dengan cara yang diperhalus. Wanita yang terlalu sensitif
cenderung mengatakan sesuatu dengan tidak wajar dan berlebihan.
Hindari hal yang bukan pada intinya dan berfokus pada masalah
yang menjadi inti utama.
2. Komunikasi dilakukan secara verbal oleh pria dan wanita
dalam kehidupan sehari-hari menyangkut segala macam aspek
sosial. Terkhusus kepada hubungan pribadi, wanita tidak perlu
berlebihan dan memaksakan kehendaknya sesuai alur yang
dilakukan gendernya melainkan berusaha menyeimbangi cara pria
melakukannya. Terlebih dalam berkomunikasi verbal, bahasa yang
digunakan pria jangan diterjemahkan ke dalam bahasa pria setelah
diterjemahkan dalam bahasa wanita dengan cara mengarang atau
membuat kemungkinan yang bisa membuat kesalahan dan
menjadikan komunikasi gagal. Pria jangan diukur dari apa yang
dikatakannya tetapi dari apa yang diperlihatkannya lewat sikap.
Dan berilah kesempatan pada diri sendiri untuk dapat menafsirkan
perkataan pria dengan baik. Jangan
terburu-buru mengambil
kesimpulan. Dan berpikirlah dengan logis.
Download