BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin yaitu, yang communis berarti “sama”, communico, communicate, communication yang berarti “membuat sama” (to make common) (Mulyana, 2007:46). Komunikasi adalah jembatan dalam mewujudkan keinginan dan kebutuhan tiap individu sebagai mahluk sosial. Seorang ibu berbelanja ke sebuah toko kepunyaan Cina di Dumai. Ibu itu tertarik pada suatu barang baru kemudian menawar harganya. Setelah ibu menyebut harga yang ditawarkannya, pedagang lalu berkata “Lugila”. Ibu spontan marah namun pedagang tetap mengulangi perkataannya. Hal ini menimbulkan keramaian. Orang-orang mengerumuni ibu dan pedagang. Istri pemilik toko kemudian datang membantu suaminya. Ia terkejut suaminya dimarahi oleh si ibu. Ia lantas bertanya mengapa ibu tersebut memarahi suaminya. Ternyata si ibu tidak terima disebut gila oleh suaminya. Ia berganti menanyai suaminya tentang pokok permasalahan yang sebenarnya. Menurut sang suami, ia tidak mengatakan bahwa si ibu gila melainkan berkata “Rugilah”. Ini dikarenakan pemilik toko tidak dapat melafalkan huruf R dengan baik maka terdengar seperti melafalkan huruf L. Akhir dari cerita ini, kedua belah pihak saling memaafkan (Mulyana, 2007:259-260). Dari contoh kasus di atas terlihat bahwa komunikasi verbal tidak semudah mengucapkan kata sesuai yang dikehendaki melainkan memaknai 1 2 kata itu sendiri merupakan hal yang kompleks. Apalagi jika terlibat dalam komunikasi beda bahasa. Contoh di atas merupakan persoalan aksen akan tetapi efeknya bisa menimbulkan masalah. Adapun hasil penelitian oleh Ray Birdwhistell dari University of Pensyllvania yang menyatakan bahwa hanya sekitar 30-35% komunikasi manusia menggunakan pesan verbal, sisanya 6570% menggunakan pesan atau cara-cara non verbal (Mulyana, 2007:269). Artinya, manusia berkomunikasi secara verbal sangat terbatas. Angka presentasi yang hanya 35% menyebabkan kurangnya komunikasi melalui kata-kata dibandingkan dengan berkomunikasi secara verbal. Mungkin ini pulalah yang menyebabkan seringnya terjadi miskomunikasi akibat terbatasnya komunikasi yang dilakukan secara verbal. Oleh karena itu, timbullah keinginan penulis untuk menganalisis lebih jauh mengenai komunikasi verbal. Komunikasi verbal dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk mengombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan dipahami oleh suatu komunitas (Mulyana, 2007). Misalnya, orang Eskimo mempunyai 30 kata tentang salju sedangkan orang Indonesia cuma satu kata saja: salju. Salah satu suku di Filipina mempunyai 92 nama untuk “rice” dalam bahasa inggris, orang Indonesia cuma 4: padi, gabah, beras, dan nasi. Dan orang Inggris serta Amerika menyebutnya dengan satu kata: rice. Ini menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi secara verbal terdapat begitu 3 banyak komponen bahasa yang patut dimengerti, jelas untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merefleksikan berbagai aspek realitas individual manusia. Akan tetapi, konsekuensi atas bahasa verbal tersebut yakni, tidak totalnya sebuah penyampaian pesan dikarenakan kata-kata yang digunakan sebagai perwakilan. Bahasa membantu kita dalam proses belajar, mengingat, memecahkan soal, dan menarik kesimpulan. Dengan bahasa, manusia yang satu dapat mengomunikasikan pemikirannya dengan manusia yang lainnya. Sebetulnya, setiap kata yang diucapkan menghasilkan konotasi yang berbeda-beda bagi setiap manusia bergantung pada pengalaman hidupnya. Dalam teori Whorf dijelaskan bahwa pandangan kita tentang dunia dibentuk oleh bahasa; karena bahasa berbeda-beda, pandangan kita tentang dunia pun berbeda. Manusia menyaring data sensori yang masuk secara selektif seperti yang telah diprogram oleh bahasa yang digunakan. Dengan demikian, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda hidup dalam dunia sensori yang berbeda pula. Dalam penjelasannya, Whorf mengungkapkan bahwa kategori gramatikal suatu bahasa menunjukkan kategori kognitif dari pemakai bahasa itu. Artinya, manusia memberikan makna kepada apa yang dilihatnya, didengarnya, atau yang dirasakannya dengan kategori-kategori yang ada dalam bahasa kita. Terdapat keterkaitan 4 antara bahasa dan realitas. Menurut teori principle of linguistic relativity, bahasa menyebabkan manusia memandang suatu realitas dengan cara tertentu. Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengindetifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Kita pun dapat menerima informasi sejak kita bangun dari tidur hingga tidur lagi, dari orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung (media massa). Penggunaan bahasa yang berbeda jelas berlaku pada pria dan wanita. Ada bahasa pria dan ada bahasa wanita. Hal inilah yang mengundang keingintahuan (rasa penasaran) akan perbedaan cara keduanya memaknai kata-kata yang diucapkan satu sama lain untuk dianalisis ke dalam sebuah penelitian. Objeknya bukan pada sepasang atau dua pasang pria dan wanita dalam kehidupan nyata melainkan dari tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah film. Berangkat dari sebuah buku self-improvement berjudul He’s Just Not That Into You karya Greg Behrendt dan Liz Tuccillo, rumah produksi New Line Cinema bekerja sama dengan Flowers Film mengangkatnya ke dalam sebuah film berjudul sama yang diproduksi pada tahun 2009. Buku yang 5 ditulis oleh dua orang di balik layar serial Sex And The City ini terinspirasi oleh dialog dari salah satu episodenya. Di mana tokoh Miranda mendapati teman kencannya menolak mampir ke apartemennya dengan alasan ia ada rapat keesokan paginya. Tokoh Miranda lantas mencurahkan isi hatinya pada sang teman, kemudian temannya tersebut mengatakan bahwa “he’s just that into you”. Yang artinya, jika seorang pria tertarik padamu, dia akan datang dengan sendirinya. Terdapat sembilan orang dewasa yang tinggal di Baltimore dengan segala problematika romantisme mereka masing-masing. Cerita berpusat pada tokoh Gigi, wanita muda yang seringkali salah mengartikan pesan romantika yang dikirimkan teman kencannya. Kesembilan orang tersebut berada dalam empat buah kisah cinta yang saling berhubungan. Gigi yang penasaran mengapa sang teman kencan tidak pernah meneleponnya setelah kencan mereka berdua padahal Gigi merasa ia dan pria tersebut sama-sama memiliki ketertarikan kemudian mendatangi sebuah bar di mana Alex yang merupakan kawan baik teman kencannya memberitahukannya beragam alasan jika pria tersebut menyukai atau tidak menyukainya. Alex akhirnya menjalin pertemanan dengan Gigi. Seiring waktu berjalan, mulai tumbuh rasa suka di hati Gigi terhadap Alex. Akan tetapi, sama seperti pria-pria yang pernah dikencaninya, Alex tidak memiliki ketertarikan pada Gigi. Padahal sebelumnya, Gigi sudah sangat yakin pada sinyal-sinyal yang dikirimkan Alex untuknya. 6 Ada pula Janine dan suaminya Ben yang dilihat dari luar, tampak sepasang keluarga bahagia. Seolah-olah di antara mereka tidak pernah ada masalah apapun sampai Janine memergoki sang suami menyembunyikan sisa puntung rokok yang ditemukannya di belakang rumah. Ditambah lagi dengan pengakuan Ben bahwa ia telah selingkuh dengan seorang instruktur yoga yang berobsesi menjadi penyanyi bernama Anna. Di sisi lain, ada Beth, rekan kerja Gigi dan Janine yang sudah tujuh tahun hidup bersama dengan kekasihnya. Awalnya tidak terlintas keinginan untuk meresmikan hubungannya dengan Neil, namun pikiran tersebut membayanginya tatkala sang adik akan melangsungkan pernikahan. Neil yang tidak menganut paham pernikahan tidak dapat menyanggupi permintaan Beth dan mereka pun putus. Anna memiliki pemuja yang amat menyukainya, Conor, yang tidak lain adalah teman kencan Gigi dan kawan baik Alex. Conor hanya menyukai Anna sampai pada akhirnya, Anna memperjelas bahwa hubungan mereka hanya sekadar teman biasa. Muncul tokoh Mary, teman Anna yang bekerja di sebuah surat kabar lokal gay yang menjadi tempat curhatan Anna kemudian akhirnya jatuh cinta pada Conor setelah melalui hubungan percintaan yang tak kunjung bersambut, sama seperti Gigi. Sutradara Ken Kwapis mengemasnya ke dalam banyak kisah di mana masing-masing tokoh terkait satu dan lainnya. Dengan menampilkan deretan aktor Hollywood ternama, film yang diproduseri oleh Drew Barrymore yang juga ambil peran dalam film ini berhasil menduduki puncak Box Office 7 dengan perolehan pemasukan senilai 180 juta dollar AS di pemutaran seluruh dunia. Bukan karena film He’s Just Not That Into You sukses di pasaran sehingga penulis tertarik untuk mengangkatnya sebagai objek penelitian melainkan karena film tersebut memuat isi cerita yang berkaitan dengan studi komunikasi. Seperti dikutip dari artikel di www.21cineplex.com, Inti cerita He’s Just Not That Into You memang simpel, tentang kehidupan beberapa wanita serta quarterlife crisis-nya. Namun, yang membuat film ini unik adalah cara untuk memahami bahasa laki-laki yang disampaikan melalui gesture dan ucapan bersayap mereka. Banyak wanita kurang bisa menangkap gesture dan pesan bersayap dari para lelaki atau bahkan pasangannya sendiri. Apakah dirinya cuma sekedar the rule or exception? Berbekal cerita yang sederhana tersebutlah penulis tertarik mengangkat pesan-pesan verbal yang terkandung dalam film He’s Just Not Into You sebagai objek penelitian dengan judul: ANALISIS KOMUNIKASI VERBAL DALAM FILM HE’S JUST NOT THAT INTO YOU B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan rumusan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perbedaan komunikasi verbal antara pria dan wanita dalam film He’s Just Not That Into You? 8 2. Mengapa terjadi kesalahan penafsiran oleh wanita terhadap pesan verbal pria dalam film He’s Just Not That Into You? C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN 1. Tujuan penelitian a) Untuk mengetahui perbedaan proses komunikasi verbal antara pria dan wanita dalam film He’s Just Not That Into You b) Untuk mengetahui kesalahan penafsiran oleh wanita terhadap pesan verbal pria dalam film He’s Just Not That Into You? 2. Kegunaan penelitian a) Penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi dalam pembelajaran mengenai studi komunikasi verbal. b) Penelitian diharapkan menjadi bahan rujukan para mahasiswa dalam mengembangkan bidang keilmuan dalam studi analisis komunikasi verbal terkhusus pada studi komunikasi untuk Language and Gender. D. KERANGKA KONSEPTUAL Istilah “Words don’t mean, people mean” adalah contoh bahwa letak komunikasi bukan pada kata-kata atau bahasa verbal yang diucapkan melainkan pada siapa yang menafsirkan. Manusia adalah mahluk berbudaya yang berkembang dengan cara belajar dari alam dan pengalaman. Menurut Noam Chomsky dalam teori behaviorisme dan nativismenya bahwa pengetahuan manusia dalam hal ini adalah anak-anak tentang bahasa melalui tiga proses: asosiasi, imitasi, dan peneguhan. Asosiasi berarti melazimkan suatu bunyi dengan objek tertentu. Imitasi berarti menirukan pengucapan, dan 9 struktur kalimat yang didengarnya. Peneguhan merupakan ungkapan kegembiraan yang dinyatakan ketika anak mengucapkan kata-kata itu dengan benar. Kemampuan menggunakan suatu bahasa menurut Noam Chomsky karena adanya pengetahuan bawaan yang diprogram secara genetik dalam otak. Ini disebut LAD (Language Acquisition Device). LAD tidak mengandung kata atau gagasan tetapi hanya merupakan suatu sistem yang memungkinkan manusia menggabungkan komponen-komponen bahasa walaupun bentuk luar bahasa di dunia masing-masing berbeda. Bahasabahasa itu memiliki kesamaan pokok yang disebut Chomsky linguistic universal. Menurut teori Aksi Bicara, komunikasi verbal adalah di mana jika Anda menyampaikan sebuah niat tentang sesuatu yang Anda lakukan di masa depan dan mengharapkan pelaku komunikasi lain sadar terhadap apa yang Anda katakan dan niat Anda, Anda berasumsi orang lain tahu makna dari kata-kata Anda. Mengetahui kata-kata tidaklah cukup. Mengetahui niat Anda untuk menyelesaikannya dengan kata-kata adalah vital. Teori kemampuan berbicara yang kebanyakan dihubungkan dengan John Searle dirancang untuk membantu kita memahami bagaimana manusia menyempurnakan hal dengan kata-katanya. Menurut Searle, kita tahu maksud di balik sebuah pesan tertentu karena kita berbagi permainan bahasa sederhana yang terdiri dari sejumlah aturan yang membantu kita untuk mendefinisikan kekuatan memengaruhi sebuah pesan. 10 Dalam berbahasa kita sering mencampuradukkan fakta (uraian), penafsiran (dugaan), dan penilaian. Masalah ini berkaitan dengan kekeliruan persepsi. Dan banyak peristiwa yang kita anggap fakta sebenarnya merupakan dugaan yang berdasarkan kemungkinan. Komunikasi kita akan lebih efektif kalau kita memisahkan pernyataan fakta dengan dugaan. Kita menganggap bahwa arti atau makna kata dikandung setiap kata yang kita ucapkan. Sebenarnya kitalah yang memberi makna pada kata. Makna muncul dari hubungan khusus antara kata (simbol verbal) dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran orang. Jadi tidak ada hubungan langsung antara suatu objek dan simbol yang digunakan untuk mempresentasikannya. Film He’s Just Not That Into You mengangkat kasus komunikasi verbal antara pria dan wanita “About meaning what you say without saying what you mean”. Karena film ini memusatkan cerita pada tokoh wanita di dalamnya, maka sebagai pisau analisis penulis menggunakan Muted Gorup Theory oleh Cheris Kramarae yang berfokus pada Language and Gender. Film He’s Just Not That Into You menggambarkan kesalahan wanita dalam menafsirkan perkataan pria. Seperti yang Colte Haines tuliskan dalam summary-nya: Have you ever wondered why in Charles Shultz’s cartoon, Peanuts, you can never understand what Charley Brown’s teacher is saying? It is always the sound of someone trying to talk through a drive through speaker box, followed by a reply of “Yes ma’am” from Charley. Perhaps Mr. Shultz wanted to cutback on the budge and not pay an extra woman actor for such a minor role, or it could be determined 11 that women in society have trouble communicating and are hard to understand. Women, having trouble to communicate… Apakah kau pernah membayangkan mengapa dalam kartun Charles Shultz, Peanuts, kau tidak pernah dapat mengerti apa yang dikatakan oleh guru tokoh Charley Brown? Cara bicaranya terdengar seperti seseorang yang berbicara dengan pengeras suara, diikuti dengan jawaban “ya, bu” dari tokoh Charley. Mungkin Tuan Shultz ingin memotong budget dengan tidak menyewa pemeran wanita tambahan untuk peran kecil, atau mungkin dikarenakan wanita dalam masyarakat memiliki masalah dalam berkomunikasi dan sulit untuk dimengerti. Wanita, memiliki masalah untuk berkomunikasi. Penggalan summary di atas merupakan ulasan singkat mengenai sebuah kartun berjudul Peanuts di mana ada salah satu tokoh guru berjenis kelamin wanita yang ketika ia berbicara, seperti berbicara dengan pengeras suara. Tidak jelas. Tidak dapat dimengerti. Kemungkinan, sang kreator dalam kartunnya tersebut ingin mencerminkan keadaan yang sebenarnya di masyarakat bahwa wanita mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Mereka memiliki masalah dalam berkomunikasi dengan tokoh guru wanita dalam kartun Peanuts. Sehubungan dengan kartun Peanuts yang menggambarkan tokoh guru wanita dalam berbicara menimbulkan ketidakjelasan dalam berkomunikasi, teori yang berkaitan dengan kasus tersebut adalah Muted-Group Theory oleh Cheris Kramarae. Karena tokoh guru tersebut berjenis kelamin perempuan, dan masalah penelitian yang diangkat berkaitan dengan komunikasi antara 12 pria dan wanita berfokus pada wanita, maka teori tersebut merupakan teori yang menyangkut tentang bahasa dan gender. Colte Haines dalam summary-nya mengenai Muted-Group Theory: Cheris Kramarae Muted Group Theory is based on 3 assumptions. First, men and women look at the world differently, and because they look at the world differently, they do different jobs in society. Second, men are politically dominate and suppress women’s ideas and meaning though public support. Finally, women must translate their meanings, their thoughts, and their feelings into man’s terms in order to communicate (Chadwick, 2003, ¶ 3). (Colte Haines, 2003). Muted-Group Theory memiliki tiga asumsi dasar yakni: (1) pria dan wanita berbeda dalam cara memandang dunia oleh karena itu mereka pun berbeda dalam memiliki pekerjaan di masyarakat (2) pria mendominasi sistem di masyarakat dengan menindas ide-ide wanita (3) wanita harus menerjemahkan pikiran dan perasaan mereka ke dalam istilah pria agar dapat berkomunikasi. Komunikasi melibatkan dua jenis komunikasi yakni: a. Komunikasi konteks tinggi: bersifat implisit, tidak langsung, dan tidak berterus terang. Tahan lama, lamban berubah, dan mengikat kelompok yang menggunakannya b. Komunikasi konteks rendah: bersifat eksplisit, gaya bicara langsung, lugas, dan berterus terang. Cepat dan mudah berubah, karena itu tidak menyatukan kelompok. 13 SKEMA OPERASIONAL KERANGKA KONSEPTUAL Film He’s Just Not That Into You Komunikasi Verbal Pria dan Wanita Muted-Group Theory Oleh Cheris Kramarae Language and Gender E. DEFINISI OPERASIONAL Berikut variabel-variabel yang akan diteliti oleh penulis: a) Komunikasi Verbal: Proses pertukaran pesan menggunakan bahasa lisan (kata atau kalimat) yang diucapkan melalui indera mulut dan lidah. Pemaknaan ditandai dengan adanya simbol-simbol yang disertakan. Baik melalui bahasa lisan itu sendiri tetapi juga disertai gesture dan mimik wajah. b) Film He’s Just Not That Into You: Film yang memuat cerita mengenai kesalahan dalam berkomunikasi antara pria dan wanita. c) Cheris Kramarae: Seorang pakar komunikasi yang studinya berfokus pada language and gender serta feminisme. Ia merupakan speaker dalam berbagai seminar dan salah satu pengajar di University of Oregon. d) Muted-Group Theory: Teori komunikasi yang berfokus pada bahasa dan gender. Teori ini awalnya merupakan hasil penelitian dua ahli Antropologi 14 yakni, Shirley dan Edwin Ardener yang kemudian dikembangkan oleh Cheris Kramarae. F. METODE PENELITIAN 1. Waktu dan objek penelitian Waktu penelitian berlangsung dari April-Juni 2011 sedangkan objek penelitian adalah film Hes’ Just Not That Into You berdurasi 129 menit produksi New Line Cinema bekerja sama dengan Flowers Film tahun 2009 dan disutradarai oleh Ken Kwapis. 2. Tipe penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif di mana penulis akan mengadakan observasi terhadap film He’s Just Not That Into You. Deskriptif kualitatif yakni dengan melakukan pengamatan pada objek film He’s Just Not That Into You, menganalisis pesan komunikasi verbal di dalamnya dengan menggunakan Muted Group Theory. 3. Teknik pengumpulan data Menggunakan data primer yakni dengan melakukan pengamatan pada film He’s Just Not That Into You. Data sekunder diperoleh dari wawancara dengan: a) Psikolog b) Wawancara dengan coder berjumlah tiga orang yang berjenis kelamin wanita. c) Artikel-artikel yang bersangkutan pada majalah dan internet. 15 4. Teknik analisis data Teknis analisis data yakni dengan menggunakan Muted-Group Theory oleh Cheris Kramarae. Teori ini berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian yakni, perbedaan cara berkomunikasi verbal antara pria dan wanita dan masalah serta kesalahan wanita dalam berkomunikasi dalam film He’s Just Not That Into You sebagai objek penelitian. 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. MEMAHAMI KOMUNIKASI VERBAL Dalam essay yang ditulis oleh Robert M. Krauss dari Columbia University mengenai The Psychology of Verbal Communication, dalam abstraknya, ia menuliskan bahwa: Communication occurs when signals carry information-bearing messages between a source (or sender) and a destination (or receiver). Komunikasi terjadi ketika sinyal membawa informasi akan pesan antara pengirim dan penerima. Artinya, ketika manusia berkomunikasi maka saat itulah keinginannya disampaikan dan terjadi penafsiran akan pesan tersebut. Selanjutnya, Krauss menyebutkan bahwa: At a fundamental level verbal messages convey meanings the speaker has encoded into the words of an utterance, but a listener who has understood the utterance has gone beyond the literal meaning of the words and grasped the particular sense in which the speaker intended them to be understood. Pada level fundamental, pesan verbal membawa arti yang pembicara (pengirim) telah sandi ke dalam sebuah ungkapan, tapi pendengar yang mengerti ungkapan tersebut keluar dari arti yang sebenarnya akan kata dan pemahaman akan pengertian khusus yang mana si pengirim pesan mengharapkan mereka mengerti. Menurut Krauss, sistem komunikasi menggunakan dua jenis sinyal yaitu, tanda dan simbol. Tanda adalah sinyal yang menyebabkan hubungan pesan yang dibawa. Contohnya, kita mengatakan ‘blushing’ atau ‘memerah 17 malu-malu’ berarti seseorang yang malu karena kita tahu bahwa kemaluan disebabkan oleh blushing atau memerah malu-malu. Simbol, di sisi lain, adalah produk kebiasaan sosial. Artinya, simbol terbentuk dari hasil kebiasaan yang dilakukan di masyarakat. Dan simbol dapat berbeda-beda pada setiap masyarakat tertentu. Selanjutnya dalam essay Krauss, terdapat empat paradigma komunikasi yakni: 1. Encoding and Decoding; 2. Communicative Intentions; 3. Perspective-Taking; 4. Dialogism. 1. Encoding and Decoding adalah proses menyandi dan membaca sandi yang terjadi antara komunikator dan komunikan atas pesan yang mereka bawa. 2. Communicative Intentions adalah maksud atau tujuan dalam proses komunikasi. Pesan yang disampaikan terkadang tidak dapat diterjemahkan dengan baik karena tidak semua orang berpandangan sama. 3. Perspective-Taking adalah kelanjutan daripada poin kedua di mana ini merupakan penglibatan sudut pandang masing-masing orang. 4. Dialogism adalah proses komunikasi atau saling berdialog antara satu dan lainnya mengenai hal yang ingin dicapai. Komunikasi merupakan alat untuk mencapai keinginan akan sesuatu. Menyampaikan pesan berupa informasi harus melalui komunikasi. Dengan komunikasi hubungan antar satu manusia dengan manusia yang lain terjalin. Komunikasi dilakukan dengan dua cara: komunikasi verbal dan komunikasi 18 non verbal. Komunikasi verbal berfokus pada bahasa lisan (diucapkan) sedangkan komunikasi non verbal adalah komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan bahasa tubuh. Berdasarkan pada penelitian Ray Birdwhistell dari University of Pensyllvania bahwa hanya sekitar 35% dari keseluruhan aktivitas komunikasi manusia dilakukan dengan komunikasi verbal maka banyak orang tidak sadar bahwa bahasa itu terbatas (Mulyana, 2007:269). Berbicara tentang komunikasi berarti berbicara tentang bahasa. Dan komunikasi verbal adalah komunikasi yang melibatkan bahasa (lisan). Tidak ada yang bisa menampik bahwa bahasa adalah unsur terpenting dalam terjadinya komunikasi verbal (lisan). Bahasa adalah alat manusia menyampaikan pesan secara verbal dalam berkehidupan. Tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang tidak memiliki bahasa. Bahasa merupakan identitas suatu kelompok atau bangsa---dalam pengertian secara luas. Tanpa bahasa maka tidak akan terjadi komunikasi. Studi tentang bahasa merupakan studi yang penting mengenai cara manusia hidup, berpikir, berpengetahuan, menyusun konsep tentang dunianya lalu mengungkapkannya secara lisan maupun tulisan. Bahasa merupakan petunjuk mutu dan kekayaan pengetahuan suatu bangsa bagaimana mereka mengonsepkan dunianya (Alo liliweri, 1994:2). Begitu pentingnya bahasa maka ia tidak lepas dari siapa dan bagaimana ia digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa dalam komunikasi verbal adalah mutlak. Pesan verbal diucapkan secara lisan. Oleh 19 karena secara lisan maka komunikasi verbal sudah jelas berpusat pada ‘kata’ yang digunakan. Menurut Alo liliweri, ‘kata’ tersebut pun dalam penggunaannya harus tepat karena apabila tidak, akan menimbulkan masalah dalam komunikasi. Bahasa harus dipahami sebagai wahana komunikasi verbal, maka hendaklah dengan (1) mulai berpikir tentang bagaimana berbicara seharusnya dan bukan seharusnya bagaimana seorang berbicara; (2) memberikan tekanan tentang pemaknaan maupun implikasi sosial yang diakibatkan oleh bahasa; (3) mengajarkan orang berbicara secara benar karena ia berasal dari dialek yang berbeda; (4) menjelaskan dan mempelajari suatu standar berbahasa yang diperlukan. Menurut Casagrande (Aloliliweri, 1994) studi bahasa yang berpusat pada ‘kata’ umumnya menitikberatkan pada taksonomi kata-kata. Yaitu, studi mengenai makna kata yang sering disalahgunakan sehingga mengakibatkan kegagalan dalam berkomunikasi. Menurut Robin Lakoff: Language uses us as much as we use language. As much as our choice of forms of expression is guided by the thoughts we want to express, to the same extent the way we feel about the things in the real world governs the way we express ourselves about these things. Apa yang dikemukakan oleh Robin Lakoff mendeskripsikan bahwa bahasa menggunakan manusia sebanyak manusia menggunakan bahasa. Sebanyak mungkin manusia menggunakannya sebagai hasil dari berpikir untuk kemudian diekspresikan sebagai perluasan cara manusia merasakan 20 sesuatu di dunia nyata yang menentukan cara manusia mengekspresikan dirinya sendiri. B. BAHASA PRIA DAN BAHASA WANITA Pria dan wanita adalah dua mahluk berbeda yang diciptakan Allah SWT di dunia. Lebih baik atau lebih buruk, keduanya berbeda. Dan karena itu pulalah bahasa yang mereka gunakan berbeda. Cara mereka berkomunikasi tidak sama. Pria dengan bahasa pria dan wanita dengan bahasa wanita. Mungkin, itu sebabnya pria dan wanita sering mengalami kegagalan komunikasi seperti yang banyak diuraikan dalam penelitian, buku, jurnal, artikel, dan sebagainya. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dedy Mulyana dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi bahwa dalam berbagai penelitian, pria dan wanita dikaji dalam berbagai aspek kehidupan. Wanita dilaporkan mengenal lebih banyak warna seperti chartreuse, ecru, magenta, mauve, puce, teal, dan sebagainya. Mereka juga lebih lazim menggunakan kata-kata sifat yang hambar (empty adjectives), seperti divine, charming, cute, sweet, adorable, lovely, precious, dan sebagainya. Mungkin karena berada dalam dominasi pria, bahasa yang mereka gunakan tidak setegas bahasa pria. Misalnya, wanita sering menggunakan kalimat yang mengandung ekor tanya (tag questions), seperti “Sarah is here, isn’t she?” daripada “Is Sarah here?” atau kalimat yang diakhiri dengan “right?” atau “OK?” Kekurangpercayaan diri mereka juga diekspresikan lewat kata-kata penguat (intensifiers), misalnya, so, very, dan sebagainya; juga berbagai kata atau frase yang melemahkan, seperti, 21 “maybe”, “perhaps”, “It’s sort of in here”, “It seems like…,” “Well, I may be wrong, but…” dan sebagainya.; dan tata bahasa serta ucapan yang hiperkorek (resmi); serta frase-frase yang lebih sopan seperti, “I’d really appreciate it if…”; “Would you please…,” dan sebagainya. Dan ternyata, wanita kurang memiliki rasa humor; kurang pandai menyampaikan lelucon; dan sering tidak paham arti lelucon yang disampaikan pria. Wanita menggunakan lebih banyak pertanyaan daripada pria dan mereka menggunakannya sebagai strategi pemeliharaan percakapan. Pria cenderung tidak mengakui apa yang dikatakan sebelumnya, melainkan menyatakan pendapatnya. Karena perbedaan gaya ini, wanita mungkin merasa bahwa komentar mereka diabaikan sementara pria merasa bahwa mengubah topik secara implisit menyatakan persetujuan. Berdasarkan contoh-contoh di atas, jelas bahwa wanita adalah mahluk ekpresif. Cara wanita menyampaikan pesan verbalnya “berbunga-bunga” dibandingkan pria yang cenderung “datar”. Untuk itu, lahir istilah awam, “wanita terlalu berperasaan sedangkan pria terlalu logis”. Ini berlaku dalam menangani suatu permasalahan baik kaitannya dengan lingkungan sosial maupun pribadi (bisa jadi dalam kehidupan percintaan). Dalam buku best seller karya Allan dan Barbara Pease yang berjudul Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read The Maps, diungkapkan bahwa pria dan wanita memiliki perbedaan dalam berkomunikasi. Dalam bab Introduction digambarkan bahwa sepasang suami istri dan ketiga putri remajanya mengalami pertengkaran mulut saat sedang berkendara menuju 22 pantai. Sang suami kesal dengan kegaduhan yang ditimbulkan keempat wanita yang sedang bersamanya sedangkan sang istri dan ketiga putrinya heran mengapa sang suami dan ayah mereka menegur mereka yang gaduh sehingga membuat konsentrasinya menyetir terganggu. Sang suami menginginkan agar mereka berempat diam dan membiarkannya menyetir dengan tenang sedangkan keempat wanita yang bersamanya bingung, mereka tidak menemukan kaitan antara kegaduhan mereka dengan konsentrasi menyetir sang suami. Masalah paling fundamental dalam kasus tersebut adalah: pria dan wanita berbeda. Kedengaran sederhana. Apakah sesederhana itu? Jawabannya, tidak. Pria dan wanita berbeda. Lebih baik atau lebih buruk, mereka itu berbeda. Ilmuwan, ahli Antropologi, ahli Sosiobiologis telah mengetahui hal tersebut (perbedaan) sejak dahulu kala. Akan tetapi, jika penelitian mengenai perbedaan pria dan wanita dipublikasikan kepada masyarakat maka hanya akan menjadi sampah. Masyarakat masa kini cenderung menganggap bahwa pria dan wanita sejajar dalam hal kemampuan, bakat, dan potensi diri--padahal secara ilmiah, pria dan wanita jelas berbeda. Buku yang ditulis oleh sepasang suami istri ini bertujuan untuk memberikan pemahaman akan perbedaan antara pria dan wanita, pembelajaran mengenai hubungan pria dan wanita, dan segala macam permasalahan yang ditimbulkan akibat perbedaan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Allan dan Barbara Pease bukan sekadar penelitian kacangan. 23 This book took us three years, and more than 400, 000 kilometres, to write. In the course of our research, we studied papers, interviewed experts and gave seminars throughout Australia, New Zealand, Singapore, Thailand, Hong Kong, Malaysia, England, Scotland, Ireland, Italy, Greece, Germany, Holland, Spain, Turkey, the USA, South Africa, Botswana, Zimbabwe, Zambia, Namibia, Angola, Switzerland, Austria, Finland, Indonesia, Bulgaria, Saudi Arabia, Poland, Hungary, Borneo, Russia, Belgium, France, Japan and Canada. Penelitian sepasang suami istri ini merupakan penelitian mendalam dengan mempelajari naskah, mewawancarai para ahli hingga berkeliling memberikan seminar ke 36 negara termasuk Indonesia untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengapa pria tidak mendengarkan sedangkan wanita tidak dapat membaca petunjuk. Dalam penggalan kata pengantarnya, Allan dan Barbara Pease berkata: 'But why don't you understand?' Relationships fail because men still don't understand why a woman can't be more like a man, and women expect their men to behave just like they do. Not only will this book help you come to grips with the opposite sex, it'll help you understand yourself. And how you can both lead happier, healthier and more harmonious lives as a result. Pertanyaan ‘Mengapa kau tetap tidak mengerti (paham)?’ Mencerminkan kegagalan hubungan antara pria dan wanita karena pria tidak dapat memahami mengapa wanita menginginkan lebih dari mereka dan wanita mengharapkan para pria berperilaku layaknya yang mereka lakukan. Buku yang laris di pasaran ini membantu kita tidak hanya memahami lawan jenis melainkan juga membantu kita memahami diri kita sendiri. Dan bagaimana agar kita dan pasangan kita dapat hidup lebih baik dan harmonis. Walau hanya membaca beberapa penggalan tulisan dari bab Introduction oleh kedua penulis buku tersebut, sudah dapat dipahami bahwa 24 buku ini memuat studi mengenai perbedaan antara pria dan wanita dalam hal berkomunikasi dan bertindak. Apa saja faktor yang menyebabkan dan solusi yang diambil. Buku ini membahas seluk beluk pria dan wanita dalam memandang aspek-aspek kehidupan. Ini sangat membantu dalam memahami siapa sebenarnya pria dan wanita dalam konteks lebih luas. Dari sebelas bab isi buku Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read The Maps, bab keenam adalah bab yang paling berkaitan dengan pembahasan mengenai komunikasi verbal pria dan wanita melalui cara berpikir keduanya. CHAPTER 6: THOUGHTS, ATTITUDES, EMOTIONS AND OTHER DISASTER AREAS 25 Belum membaca bab enam, kita sudah dapat membayangkan isi dari bab enam tersebut dengan hanya melihat cover animasi atau pengantar bab enam seperti yang penulis tunjukkan dengan gambar di atas. Wanita memikirkan begitu banyak kemungkinan terhadap apa yang ia pikirkan tentang pasangannya sedangkan pria hanya memikirkan satu hal. Terlihat bahwa dalam kasus ini, wanita cenderung membuat banyak pilihan jawaban atas pertanyaan pikirannya sedangkan pria cukup dengan satu jawaban. Menurut Allan dan Barbara Pease: Men and women perceive the same world through different eyes. A man sees things and objects and their relationship to each other in a spatial way, as though he was putting the pieces of a jigsaw puzzle together. Women literally take in a bigger, wider picture and see the fine detail, but the individual pieces of the puzzles and their relationship to the next piece is more relevant than their spatial positioning. Male awareness is concerned with getting results, achieving goals, status and power, beating the competition and getting efficiently to the bottom line. Female awareness is focused on communication, co-operation, harmony, love, sharing and our relationship to one another. This contrast is so great that it's amazing men and women can even consider living together in the first place. Inti dari pembahasan di atas yakni, bahwa pria memandang suatu hal dan objek serta hubungan satu sama lain menurut ruang dan waktu yang artinya, pria memiliki satu pandangan mengenai satu hal sedangkan wanita yang cenderung memandang secara lebih besar, luas, dan mendetil akan suatu hubungan dengan lebih mementingkan unsur yang relevan daripada sekedar penempatan ruang dan waktu. Pria fokus pada hasil, penghargaan, pencapaian, status, kekuatan, dan kompetisi sedangkan wanita menyenangi hal-hal yang berbau komunikasi, bekerja sama, cinta dan kasih sayang, serta hubungan satu sama lain. Terlihat jelas perbedaan keduanya dari cara berpikir 26 dan memandang sesuatu. Hal yang menakjubkan mengingat bahwa keduanya dapat memutuskan untuk hidup bersama. Girls want relationships and cooperation, boys want power and status. Adapun survey mengenai apa yang dibicarakan pria dan wanita di telepon yang dilakukan oleh perusahaan telekomunikasi Inggris, Telewest. Men Women Friends 30% 53% Sex/relationships 18% 22 % Work 25% 11% Sports 16% 2% Other 11% 12% A third of all women said their calls lasted at least 15 minutes and half the men said their calls were less than 5 minutes. Dari hasil survey di atas, dapat disimpulkan bahwa pertama, wanita sangat jelas menyukai “mengobrol” dibandingkan pria dengan membahas tentang teman dan hubungan (pria dan wanita dewasa). Kedua, pria hanya menghabiskan lima menit waktu berbicara di telepon (berkomunikasi verbal) sedangkan wanita membutuhkan waktu tiga kali lipatnya. Women rated being of service to others and meeting interesting people as high on their scale of values, whereas men rated prestige, power and owning things as important. Men valued things, women valued relationships. The structure of their brains dictated their preferences. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa wanita cenderung menyukai memerhatikan individu lain dan bertemu dengan orang banyak sebagaimana yang mereka inginkan sedangkan pria menyukai prestise, 27 kekuasaan, dan kepemilikan atas hal-hal penting. Pria mementingkan materi sedangkan wanita memetingkan hubungan. Struktur dalam otak mereka telah terdikte atas apa yang menjadi pilihan mereka. Canadian research scientist Sandra Witleson conducted tests on men and women to locate the position of emotion in the brain: For men, emotion is generally positioned in the right brain, meaning that it can operate separately from other brain functions. For example, in an argument, a man can argue logic and words (left brain) and then switch to spatial solutions (right front brain) without becoming emotional about the issue. It's as if emotion is in a little room of its own and a man's smaller corpus callosum means that emotion is less likely to operate simultaneously with other functions. For women, emotion operates on a more widely spread area in both hemispheres and thus can operate at the same time as other brain functions. A woman can become emotional while discussing an emotional issue, while a man is less likely to do the same, or he will simply refuse to discuss the issue. This way, he can avoid becoming emotional or appear not to be in control. Overall, women's emotions can switch on simultaneously with most other brain functions meaning that she can cry while changing a flat tyre, whereas a man sees tyre-changing as a test of his problem-solving abilities, and will remain completely dry-eyed even when he discovers, by the side of a deserted road, at midnight, in the pouring rain, that the spare is flat and he took the jack from the boot of the car last week. Ruben Gur, professor of neuro-psychology at the University of Pennsylvania, pioneered similar research and concluded that men's brains, being highly compartmentalised, deal with emotions on a more basic animal level, similar to an attacking crocodile, whereas a woman will 'sit down and talk about it'. When a woman is talking with 28 emotion, she uses expressive facial signals, body language and a range of speech patterns. A man who switches on his emotions is more likely to go into a reptilian mode and lash out vocally or become aggressive. Penggalan-penggalan isi bab enam dalam buku Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read The Maps memberikan penjelasan secara ilmiah letak perbedaan mendasar antara pria dan wanita sehingga dengan merujuk pada isi buku tersebut dapat diketahui pulalah mengapa seringkali terjadi kesalahan dalam berkomunikasi di antara keduanya. Sehubungan dengan tema penelitian yang mengangkat tentang perbedaan cara pria dan wanita berkomunikasi secara verbal, ini pun merupakan penelitian yang menyangkut mengenai perbedaan gender dalam penggunaan bahasa. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Matthew L. Newman dari Department of Social and Behavioral Sciences Arizona State University, Carla J. Groom dari Department of Psychology The University of Texas at Austin, Lori D. Handelman dari Oxford University Press New York dan James W. Pennebaker Department of Psychology The University of Texas at Austin dengan judul Gender Differences in Language Use: An Analysis of 14,000 Text Samples dikemukakan bahwa ternyata perbedaan cara pria dan wanita dalam menggunakan bahasa telah lama menarik perhatian dalam studi wacana. Meskipun perpanjangan teori, investigasi aktual empirisnya belum dikumpulkan dalam suatu penggambaran yang masuk akal mengenai perbedaan gender dalam penggunaan bahasa. Dan alasan yang signifikan adalah kurangnya persetujuan mengenai cara yang paling tepat dalam menganalisis bahasa. 29 Dalam penelitian oleh keempat ahli, dikemukakan bahwa wanita menggunakan banyak kata yang berkaitan dengan psikologi dan proses sosial sedangkan pria lebih berhubungan kepada sesuatu objek dan topik yang tidak pribadi. Meskipun menurut keempatnya, these effects were largely consistent across different contexts, the pattern of variation suggests that gender differences are larger on tasks that place fewer constraints on language use. Menurut hasil penelitian yang dituangkan ke dalam essay oleh keempat peneliti, beberapa dekade terakhir terlihat ledakan penelitian akan sifat dan perbedaan eksistensi antara pria dan wanita. Satu pertanyaan yang istimewa menjadi luas antara pria dan wanita dalam menggunakan bahasa secara berbeda. Kepopuleran ini bertangkai, ke dalam bagian, dari fakta bahwa bahasa sudah menjadi sifat dari fenomena sosial dan dapat memberikan wawasan mengenai bagaimana pria dan wanita mendekatkan kehidupan sosial mereka. Dalam ilmu sosial, sebuah peningkatan permufakatan terhadap penemuan mengenai menyarankan para pria, sanak keluarga para wanita, cenderung menggunakan bahasa lebih bertujuan untuk menyampaikan informasi; para wanita lebih menyukai menggunakan interaksi verbal untuk tujuan sosial melalui komunikasi verbal. Kemudian, dipaparkan bahwa pada saat yang sama, sejumlah teoretekus berargumen menentang eksistensi setiap perbedaan pemaknaan dalam bahasa pria dan wanita. Salah satu yang berkontribusi atas ketidakjelasan ini mungkin disebabkan karena kurangnya metrik yang biasa diterima terhadap analisis dalam studi empiris mengenai bahasa. Perkalian 30 studi, misalnya, telah menganalisis sejumlah kecil contoh sampel dan kemudian membuat papan penggeneralisasi mengenai perbedaan di antara pria dan wanita. Dalam proyek ini, kami mengeksplor perbedaan gender dalam penggunaan bahasa dalam sebuah kumpulan data tertulis dan yang diucapkan yang sangat besar dengan menggunakan sistem komputerisasi analisis teks. Melalui eksplorasi ini, kami berharap dapat memberikan beberapa resolusi empiris terhadap pertanyaan, apakah, bagaimana, dan mengapa pria dan wanita menggunakan bahasa yang berbeda. Essay tersebut juga memuat mengenai penelitian sebelumnya mengenai perbedaan gender dalam penggunaan bahasa. Di situ dijelaskan bahwa pustaka empiris telah melalui peninjauan di suatu tempat. Apa yang mengikutinya adalah sebuah berkas penelitian sebelumnya mengenai penggunaan bahasa pria dan wanita. Sebagai tambahan untuk sasaran semua pesan yang disebutkan di awal, pria dan wanita juga memiliki perbedaan semantik dalam pikiran mereka ketika mereka mengonstruksi kalimat. Beberapa peneliti menemukan bahwa pertanyaan lebih sering digunakan wanita dalam interaksi diadik mereka (“Does anyone want to get some food?”), di mana mengarah pada mengatakan kepada khalayak untuk melakukan sesuatu (“Let’s go get some food”) lebih sering digunakan pria dalam perbincangan mereka. Dalam studi terhadap 96 anak SD yang dilakukan pada kelas 4, 8, dan 12, Mulac, Studley, and Blau (1990) menemukan bahwa anak laki-laki di ketiga grup lebih menyukai memberi opini dibandingkan anak perempuan (“This idea is Puritanical.”). Ketika 31 makna kalimat panjang dikalkulasi, wanita keluar sebagai gender yang lebih banyak berkata baik dalam menulis maupun berbicara. Namun, pria menggunakan lebih banyak kata secara keseluruhan dan mengambil alih pembicaraan. Beberapa studi yang baru gagal mereplikasi penemuan ini. Thomson and Murachver’s (2001) dalam studi komunikasi melalui e-mail menemukan pria dan wanita seimbang dalam memberikan pertanyaan; pujian, meminta maaf, dan beropini; dan saling menghina sesama “teman internet”. Studi yang lain memperlihatkan perbedaan yang signifikan di arah yang berlawanan. Sebagai perbandingan, 36 manajer wanita dan 50 manajer pria memberikan kritik professional dalam peran mereka, prialah yang menggunakan negosiasi secara signifikan dan bertanya lebih sedangkan wanita menggunakan lebih banyak perintah (Mulac, Seibold, & Farris, 2000). Walaupun begitu, studi tersebut tidak mengonfirmasi bahwa pria menggunakan lebih banyak kata secara keseluruhan sedangkan wanita menggunakan kalimat-kalimat yang lebih panjang. Satu penjelasan yang mungkin untuk kontradiksi ini adalah perbedaan konteks dalam sampel bahasa yang digeneralisasi memengaruhi ukuran dan petunjuk terhadap perbedaan gender. Selanjutnya, Matthew L. Newman, Carla J. Groom, Lori D. Handelman, dan James W. Pennebaker mengemukakan mengenai penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti lainnya lagi: Beginning with Robin Lakoff’s (1975) pioneering work, gender differences have also been investigated at the level of specific phrases. Lakoff identified in women’s language two specific types of phrases—hedges (e.g., “it seems like,”) and tag questions (e.g., 32 “…aren’t you?”)—that can be inserted into a wide variety of sentences. A number of studies have reported greater female use of tag questions (e.g., McMillan, Clifton, McGrath, & Gale, 1977; Mulac & Lundell, 1986), although others have found the opposite (e.g., Dubois & Crouch, 1975). Other researchers have found further evidence that women use phrases that may communicate relative uncertainty. Uncertainty verb phrases, especially those combining first-person singular pronouns with perceptual or cognitive verbs (e.g., “I wonder if”), have been found more often in women’s writing (Mulac&Lundell, 1994) and speech (Hartman, 1976; Poole, 1979). A related interpretation of women’s use of hedge phrases is that women are more reluctant to force their views on another person. Consistent with this idea, Lakoff claimed that women were more likely than men in the same situation to use extra-polite forms (e.g., “Would you mind…”), a claim that was supported by subsequent empirical work (Holmes, 1995; McMillan et al., 1977). Dari hasil penelitian inilah Prof. Dedy Mulyana mengemukakan mengenai bahasa pria dan bahasa wanita pada bab Komunikasi Verbal dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasinya. Tidak hanya sampai di situ, dalam essay ini pun dibahas mengenai pembatasan penelitian sebelumnya. Di mana, terdapat kegagalan dalam mengkaji bahasa alami yang manusia gunakan dalam bermacam variasi cara yang mengubah fungsi teks. Untuk menggambarkan besar kesimpulan mengenai bagaimana pria dan wanita berbeda dalam menggunakan latar bahasa mereka, metode yang tidak tradisional dengan sampel yang besar sering dipakai. Studi sebelumnya menguji umur dan perbedaan individu, makna efek ukuran untuk gender yang khas, mulai dari .08 dan .20. sebagai contoh, Pennebeker dan Stone (2003) melaporkan sebuah efek ukuran yang signifikan pada 12 di antara gender dan panjang kalimat dengan sebuah sampel lebih dari 2.000 orang. Namun, makna setiap kata per kalimat hanya 23.4 untuk pria dan 19.1 untuk wanita, dengan standar deviasi 35.1, melalui 33 teks tertulis maupun bicara.perbedaan 4 kata dibandingkan dengan standar deviasi pada 35 kata yang tidak ditampilkan dalam sampel kecil dengan kekuatan statistik rendah. Melalui sampel yang besar, bisa dipakai untuk mendeteksi perbedaan yang lebih kecil di antara bahasa pria dan bahasa wanita. Sayangnya, banyak penelitian sebelumnya hanya berkisar lebih kecil dengan jumlah partisipan sebanyak 50 orang. Sampel yang lebih besar sering menyulitkan dalam mengumpulkan setiap sampel yang harus diberi kode. Kebutuhan untuk menghemat pengoder waktu juga mereduksi sejumlah fitur yang dapat dikode dalam studi tunggal. Kenyataan ini berfokus pada perhatian kepada fitur bahasa yang dapat dengan mudah direlasikan pada stereotip gender, secara potensial jelas menghilangkan perbedaan dalam kategori bahasa. Kemudian, sebuah strategi yang membolehkan menganalisa dengan efisien sampel yang besar pada teks dapat menolong untuk menciptakan lebih lengkap gambaran akan perbedaan gender dalam penggunaan bahasa. Simpulannya, dalam essay yang ditulis oleh empat orang peneliti tersebut bahwa selama ini dalam mengkaji yakni mencari perbedaan bahasa antara pria dan wanita dalam berkomunikasi verbal, dilakukan dengan studi empiris dengan melibatkan sampel yang melalui uji teks tertulis maupun bicara. Studi tersebut boleh disebut sebagai studi analisis bahasa. Hal ini memang bertujuan untuk mencari signifikansi antara perbedaan gender 34 dengan bahasa yang digunakan antara pria dan wanita. Penelusuran akan kaitan di antara keduanya. C. BAHASA DAN GENDER Telah dipaparkan secara ilmiah melalui berbagai penelitian mengenai penggunaan bahasa antara pria dan wanita dari buku maupun essay yang ditulis oleh peneliti asing. Penelitian tersebut mengenai komunikasi verbal yang merujuk pada gender yakni, pria dan wanita di mana ini merupakan studi mendalam untuk mengetahui apa dan mengapa terjadi perbedaan dalam cara mereka menyampaikan pesan. Jika sebelumnya dikemukakan mengenai perihal munculnya bahasa pria dan bahasa wanita, maka selanjutnya, pada bagian ini akan dipaparkan mengenai bahasa dan gender. Keterkaitan keduanya merupakan sebab utama mengapa tercipta bahasa pria dan bahasa wanita. Penelope Eckert dan Sally Mc-Connel Ginet (West and Zimmerman 1987) mengemukakan bahwa gender bukanlah sesuatu yang ada pada diri kita sejak kita lahir dan atau bukan sesuatu yang kita miliki melainkan sesuatu yang kita yakini. Adapun pengertian lain gender yakni, sesuatu yang kita tunjukkan (Butler 1990). Gender selalu berkaitan dengan jenis kelamin. Jika seorang anak lakilaki mendeksripsikan dirinya sebagai sosok yang tangguh maka, ia merefleksikan itu berdasarkan pada siapa yang menjadi panutannya, dan kesan tangguh terdapat pada sosok berjenis kelamin laki-laki juga. Gender bisa jadi memiliki pengertian yakni, sesuatu yang menjadi arah dalam 35 bertindak. Di mana, ketika kita menyadari bahwa kita terlahir sebagai perempuan, maka pada saat itu pula, secara otomatis kita pun akan bertindak layaknya perempuan. Dalam essay yang berjudul Gender-Linked Miscommunication in “Hills Like White Elephants” oleh Pamela Smiley dari University of Winconsin, Amerika, dikemukakan bahwa dugaan bahwa pria dan wanita mengalami kesulitan dalam berkomunikasi bukanlah hal baru. Sebuah penelitian yang baru yang kebanyakan dilakukan pada sekitar tahun 1970-an mengindikasikan bahwa terjadi miskomunikasi antara pria dan wanita dikarenakan mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda (Key 124). Apakah sebenarnya dimaksud dengan penanda gender bahasa? Robin Lakoff telah menggambarkan sebuah uraian singkat tentang ciri khas pembicara pria dan pembicara wanita. Ciri bahasa pria adalah di mana kontribusi merupakan hal yang saksama dan tepat pada sasaran---sangat berterus terang---dan memberitahukan kepada kita sedikit mungkin mengenai pikirannya perilaku yang ditunjukkannya. …nada yang rendah, intonasi datar, struktur kalimat menyatakan, tidak ada pembatasan atau ketepatan, tidak berharga, dan murni kognitif bukan menampilkan warna atas emosi mereka. (Stilystic 66). Ciri bahasa wanita adalah tidak jelas. Sepertinya terkesan bahwa pendengarnya tidak mengerti apa yang sebenarnya yang ia bicarakan (bahkan ia sendiri), akan tetapi, wanita sangat peduli pada siapa ia berbicara, peduli bahwa apakah si pria tertarik padanya, dan ingin bertemu dengannya… ia 36 menggunakan kalimat seru, dan dialognya dibubuhi dengan kata ‘I guess’ and ‘kinda…’ (Stilystic 67). Ketika terjadi kerusakan dalam paradigma umum, penelitian mengindikasi bahwa ada tiga area utama dalam hubungan antara perbedaan gender dan bahasa yakni, how, about what, and why men and women talk. Ini mungkin sudah mencakup kesemuanya, dan berdasarkan catatan Tannen: male-female conversation is cross-cultural communication. Culture, after all, is simply a network of habits and patterns based on past experiences---and women and men have very different past experiences. (22) inti dari ulasan mengenai nyanyian berjudul “Hills Like White Elephants” adalah perbedaan pria dan wanita dalam berkomunikasi yang ditandai dengan perbedaan bahasa yang digunakan karena perbedaan gender keduanya. trouble develops when there is really no difference of opinion, when everyone is sincerely trying to get along… this is the type of miscommunication that drives people crazy. It is usually caused by differences in conversational styles. (Tannen 21). Adapun catatan oleh Tannen mengenai orang Amerika (dalam Hills Like White Elephants) dalam merespon kata ganti orang tunggal dan jamak di mana pria dan wanita menggunakannya secara berbeda. Kata ganti orang yang dimaksud adalah kata ‘we’. Yang mana, pria cenderung menggunakan kata ganti orang tunggal yakni, ‘I’ dan ‘You’ sedangkan wanita cenderung menggunakan kata ganti orang jamak ‘we’. Ternyata, wanita sering mengalami kekecewaan jika pria menggunakan kata ganti ‘I’ or ‘me’ dalam konteks hubungan yang dijalin. Dalam pola tradisional bahasa wanita, kata ganti orang jamak mengindikasi bahwa pembicara merasa ia adalah bagian 37 dari pasangannya. Kata ganti orang tunggal mengartikan seseorang yang berdiri sendiri. Hemingway (pencipta Hills Like White Elephants) menduplikasi miskomunikasi yang terjadi karena perbedaan gender yang memang terjadi di kehidupan nyata antara pria dan wanita. Kemudian dalam buku yang ditulis oleh Deborah Tannen dengan tajuk You Just Don’t Understand: Women and Men in conversation dikemukakan bahwa pria lebih nyaman berbicara banyak dalam pembicaraan umum sementara wanita lebih nyaman berbicara secara pribadi. Menurut Dale Spender (Deborah Tannen), stereotip tentang wanita bahwa mereka adalah mahluk yang banyak bicara muncul dikarenakan wanita seperti anak-anak, banyak melihat dan sedikit mendengar. Oleh karena itu, banyak perkataan dari mereka terkesan terlalu berlebihan. Banyak studi menggambarkan bahwa ketika pria dan wanita berbicara dalam grup, wanita yang paling banyak bicara. Adegan dalam film Divorce American Style dibuka dengan percakapan Debbie Reynolds yang mengklaim bahwa ia dan Dick Van Diyk tidak berkomunikasi, dan Dick mengatakan bahwa ia mengatakan semua yang ia pikirkan padanya. Namun, adegan pertengkaran mereka disela oleh bel pintu yang berbunyi, mereka kemudian bergerak untuk menjamu tamu yang datang dengan memasang senyum ceria. Adegan demikian sering terjadi. Banyak pasangan yang mengalami pertengkaran seperti itu. Seperti karakter yang diperankan oleh Debbie 38 Reynolds, ia merasa pria tidak berkomunikasi dengannya. Sedangkan tokoh yang diperankan oleg Dick Van Diyk sebagai suami Debbie, ia merasa disalahkan. Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa pria dan wanita memang jelas berbeda dalam berkomunikasi. Pria mengatakan apa yang ingin dikatakannya dan wanita menginginkan lebih dari sekedar apa yang didengarnya. Banyak studi di Amerika mengenai perbedaan gender dan bahasa antara pria dan wanita dirangkum dalam dokumentasi seperti video di samping buku, essay, jurnal, dan artikel. Dalam video yang dibuat oleh institusi pendidikan seperti yang dibuat oleh Barkeley Media LLC, ditampilkan bahwa pria dan wanita dalam berkomunikasi verbal tidak terhindar dari penggunaan bahasa tubuh dalam mendukung percakapan yang terjalin dan hubungan di antara keduanya. D. MUTED-GROUP THEORY Colte Haines memberikan pengantar mengenai Muted-Group Theory oleh Cheris Kramarae yang ditulisnya pada tahun 2003: Have you ever wondered why in Charles Shultz’s cartoon, Peanuts, you can never understand what Charley Brown’s teacher is saying? It is always the sound of someone trying to talk through a drive through speaker box, followed by a reply of “Yes ma’am” from Charley. Perhaps Mr. Shultz wanted to cutback on the budge and not pay an extra woman actor for such a minor role, or it could be determined that women in society have trouble communicating and are hard to understand. Women, having trouble to communicate, is a theory expanded by Cheris Kramarae called the “Muted Group Theory”? Isi dari pengantar summary di atas adalah wanita dalam masyarakat mengalami masalah berkomunikasi dan sulit untuk dimengerti. Para wanita, 39 memiliki masalah untuk berkomunikasi, ini merupakan teori yang diperluas oleh Cheris Kramarae yang disebut “Muted Group Theory”. Muted Group Theory pertama kali muncul atas hasil pemikiran dan studi oleh dua orang Antropolog bernama Edwin dan Shirley Ardener pada dekade 1970-an. Mereka menulis In Perceiving Women pada tahun 1985, sebuah observasi yang paling banyak dikaji dalam Etnografi oleh Antropolog yang lain dalam bidang yang hanya membicarakan tentang kultur kepemimpinan, yang digeneralisasikan oleh figur pria dewasa. Para peneliti kemudian menggunakan data tersebut untuk merepresentasi kultur secara keseluruhan, keluar dari perspektif wanita, anak-anak, dan grup lain yang tidak bersuara (tidak berkaitan) dalam kultur hirarki. Edwin Ardener menulis: “Those trained in ethnography evidently have a bias towards the kinds of model that men are ready to provide (or to concur in) rather than towards any that women might provide. If the men appear ‘articulate’ compared with the women, it is a case of like speaking to like”. Edwin Ardener dalam tulisannya tersebut mengatakan bahwa hal mengenai studi yang terkaji dalam Etnografi secara jelas memiliki bias dalam memelajari pria dan wanita. Jika artikulasi pria dibandingkan dengan wanita maka, hal tersebut merupakan kasus dalam hal bicara (speaking). Colte Haines menuliskan asal mula Muted Group Theory yang sebelumnya merupakan studi oleh Edwin Ardener bahwa dalam studi tersebut bahasa dalam sistem hirarki dikendalikan oleh pria. Hal tersebut merupakan suatu ketidaknyamanan oleh kaum wanita. Stephen Lilttlejohn menganggap 40 bahwa dominasi pria tersebut dengan mereka sebagai pemegang kendali bahasa menjadikan wanita bisu. Haines mengutip isi buku Stephen Littlejohn yang mengemukakan bahwa: “Ardener concluded that our language favors men. Since men created the meanings of the words, women are said to be muted” (1999). That is how we get the term “muted group”. Since the original creation of the Muted Group Theory, a lot of scholars have expanded on it, but the person who has done the most is Cheris Kramarae. “Cheris Kramarae is one of the most prolific scholars in the communication field” Dengan kata lain, berdasarkan kutipan perkataan Stephen Littlejohn dalam bukunya, Muted Group Theory adalah ciptaan Cheris Kramarae sebagai perluasan studi oleh Edwin Ardener di mana Muted Group Theory berada dalam kajian Ilmu Komunikasi. Dalam artikel yang ditulis oleh Scott Chadwick, Muted Group Theory dimulai dengan alasan bahwa bahasa merupakan lompatan kultur, dan karena pria memiliki kekuasaan dibandingkan wanita, pria memiliki lebih banyak pengaruh dalam bahasa, sebagai hasil dari bias bahasa pria. Pria menciptakan kata dan makna dalam kultur, bentuk ekspresi atas ide-ide mereka. Wanita, di sisi lain, keluar dari penciptaan makna tersebut dan keluar tanpa berminat berekspresi yang mana merupakan keunikan mereka. Inilah mengapa wanita dikategorikan dalam muted group. Dalam summary-nya Haines mengemukakan bahwa karena wanita merupakan muted group, maka mereka harus mencari cara agar dapat berkomunikasi. Mereka berkomunikasi menggunakan diari, jurnal, surat, cerita rakyat, gosip, seni, grafiti, puisi, lagu, dan bermacam cara yang lain. 41 Efek lain yang ditimbulkan sebagai muted group adalah mengharuskan mereka mengatakan apa yang akan mereka katakan dan mengubahnya ke dalam istilah pria. Ketika pria dan wanita berada dalam konflik dalam proses memaknai kata, maskulinitas pria, pemanaknaan oleh mereka, merekalah yang menang. Ini dikarenakan dominasi mereka dalam masyarakat, dan lagi, wanita ‘bisu’. Muted Group Theory juga membahas mengenai beberapa masalah antara suami-suami dan istri-istri yang mencoba berbicara satu sama lain. Wanita biasa mengumpan balik ketika berkomunikasi, tapi pria, karena mereka mengembangkan bahasa dalam bahasa di masyarakat, mereka lebih berterus terang atas apa yang mereka katakan dan membutuhkan waktu memahami apa yang hendak dikatakan sang istri. Teori ini juga mengemukakan bahwa masalah komunikasi tersebut merupakan masalah kultur dasar, bukan secara biologis, dan hal tersebut dapat diperbaiki jika pria mau mengurangi dominasinya dalam bahasa di masyarakat. Dalam bukunya berjudul Women and Men Speaking; Frameworks for Analysis (1981), Kramarae membuat tiga asumsi dalam teorinya, Muted Group Theory yakni, pertama: pria dan wanita berada dalam dunia yang berbeda oleh karena itu mereka memandang sesuatu dengan cara yang berbeda, kedua: dominasi pria membuat wanita kehilangan kesempatan mengeluarkan ide di masyarakat, dan terakhir: wanita harus dapat menerjemahkan keinginan mereka, perasaan, dan pikiran ke dalam istilah pria agar dapat berkomunikasi. 42 Adapun hipotesis yang dibuat oleh Cheris Kramarae mengenai komunikasi wanita. Di mana wanita memiliki waktu yang lama untuk dapat mengekspresikan diri mereka dalam membandingkan diri mereka dengan pria, wanita bisa memahami pria lebih baik dibandingkan pria dalam memahami wanita karena wanita harus memelajari sistem komunikasi pria, wanita menggunakan media lain yang tidak diterima oleh pria dalam berkomunikasi, dan wanita bukan bagian dari komunikasi. Wanita tidak mengumpulkan kata-kata baru, meskipun mereka menciptakan kata hanya agar mereka dapat mengekspresikan perasaan mereka dan situasi spesial kepada pria. Dan juga, wanita harus menggunakan lebih banyak ekspresi nonverbal dibandingkan pria untuk mendukung apa ekspresi tentang yang dirasakan mereka yang tidak ada dalam bahasa pria. Dan lagi, wanita memiliki selera humor yang berbeda dibandingkan pria. Muted Group Theory penting dalam masyarakat karena teori ini membawa fokus ke dalam isu wanita dalam masyarakat di mana wanita merupakan kaum yang ditindas dalam usaha mereka berkomunikasi. Teori ini juga mengatakan bahwa kita butuh untuk memepelajari perbedaan cara pria dan wanita dalam menggunakan bahasa nonverbal ketika mereka berbicara dalam rangka memahami perbedaan di antara keduanya. Teori ini mengemukakan bahwa wanita harus dapat menyatu dengan sistem bahasa yang diciptakan oleh pria agar mereka dapat lebih mudah memahami sudut pandang pria. Dan teori menjelaskan mengapa pria membutuhkan waktu yang lama agar dapat memahami wanita daripada wanita memahami pria. 43 Tujuan utama mengapa Kramarae menciptakan Muted Group Theory sebagai perluasan dari studi oleh Antropolog Edwin Ardener dikemukakan oleh Haines dalam summary-nya yakni bahwa Kramarae ingin membangun jembatan yang memisahkan komunikasi pria dan komunikasi wanita. Kramarae ingin melihat dunia yang tercipta dari sebuah hubungan bukan dari sebuah perpisahan. Sebuah dunia yang menerima perbedaan bukan menolaknya. Terdapat beberapa kelemahan dalam teori yang diciptakan Kramarae. Kramarae sendiri merasa bahwa tidak selamanya muted group adalah kaum wanita melainkan pria bahkan terkadang digolongkan sebagai muted group. Walau, penelitiannya mengatakan sebaliknya. Dalam bukunya berjudul Women and Men Speaking ia mengatakan: “Men are less likely to talk about their feelings, troubles, and pain. This makes them the muted group. Also, as children, males are likely to meet aggression with violence, while women will more often talk it out” Pria cenderung kurang berminat membicarakan mengenai perasaan mereka, masalah dan sakit yang dialami. Itu sebabnya mereka termasuk ke dalam muted group. Dan juga sebagai anak-anak, pria rentan membicarakan kekerasan sementara wanita lebih sering tidak ingin membicarakannya. 44 BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. HE’S JUST NOT THAT INTO YOU Gambar 3.1 Sampul Buku He’s Just Not That Into You Buku bergenre self-improvement ini ditulis oleh dua orang konsultan drama seri Sex And The City. Buku ini diterbitkan pada tahun 2004 dan pernah diangkat menjadi pulp-fiction pada salah satu episode di drama seri Gilmore Girls. Buku ini dinobatkan sebagai best selling-novel oleh New York Times dan pernah ditayangkan di The Oprah Winfrey Show. Kemudian pada tahun 2009, buku yang ditulis berkat inspirasi dari penggalan dialog dalam drama seri Sex And The City tersebut diangkat ke layar lebar berjudul sama He’s Just Not That Into You oleh rumah produksi New Line Cinema bekerja 45 sama dengan Flowers Film dengan aktris Drew Barrymore bertindak sebagai produser. Ken Kwapis menduduki jabatan sutradara dengan menampilkan jajaran bintang Hollywood, yakni Ben Affleck, Jennifer Aniston, Drew Barrymore, Jennifer Connelly, Kevin Connolly, Bradley Cooper, Ginnifer Goodwin, Scarlett Johansson, dan Justin Long. Film yang dirilis pada 6 Februari 2009 ini berhasil meraup keuntungan sebesar 180 juta dollar pada pemutarannya di seluruh dunia. Gambar 3.2 Poster Film He’s Just Not That Into You 46 Deretan pemain Film He’s Just Not That Into You: 1. Ben Affleck sebagai Neil 2. Jennifer Aniston sebagai Beth 3. Bradley Cooper sebagai Ben 4. Jennifer Connelly sebagai Janine 5. Kevin Connolly sebagai Conor 6. Drew Barrymore sebagai Mary 7. Scarlett Johansson sebagai Anna 8. Justin Long sebagai Alex 9. Ginnifer Goodwin sebagai Gigi B. GREG BEHRENDT AND LIZ TUCCILLO Gambar 3.3 Greg Behrendt 47 Greg Behrendt terlahir dengan nama lengkap Gregory Paul Behrendt pada 21 Juli 1963 di Irvine, Negara bagian California. Dia berprofesi sebagai penulis dan pelawak panggung. Ia bekerja sebagai konsultan di stasiun televisi HBO untuk situasi komedi (sitkom) Sex And The City yang dibintangi oleh Sarah Jessica Parker yang kemudian mengantarkannya menulis buku laris He’s Just Not That Into You pada tahun 2004. Kemudian di tahun 2009, buku bergenre self-improvement tersebut diangkat ke layar lebar oleh rumah produksi New Line Cinema bekerja sama dengan Flowers Film dengan Drew Barrymore sebagai produser. Selain itu Greg juga memandu talkshow berjudul The Greg Behrendt Show pada tahun 2006 dan Greg Behrendt’s Wake Up Call pada tahun 2009. Greg Behrendt menyelesaikan S1-nya di University of Oregon pada tahun 1991 jurusan drama di mana sebelumnya ia mengambil jurusan bisnis dan bermain rugby. Setelah lulus, Greg pindah ke San Fransisco di mana ia bergabung sebagai komedian dan bertemu dengan komedian Margaret Cho. Greg juga menulis buku bersama istrinya, Amiira Ruotola-Behrendt berjudul It’s Called Break Up Because It’s Broken. Dengan istrinya tersebut, ia memiliki dua anak bernama Mighty dan True. Ia pernah kecanduan alkohol selama 12 tahun. 48 Gambar 3.4 Liz Tuccillo Liz Tuccillo adalah seorang penulis dan aktris berkebangsaan Amerika yang terkenal lewat situasi komedi (sitkom) Sex And The City dan buku He’s Just Not That Into yang ditulisnya bersama Greg Behrendt. Novel pertamanya berjudul How to Be Single diterbitkan pada Juni 2008. Dan sebagai aktris, ia pernah terlibat dalam film berjudul Welcome to New York. 49 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas mengenai penemuan-penemuan dalam penelitian yang mana mengangkat masalah komunikasi verbal antara pria dan wanita dalam film He’s Just Not That Into You. Metode analisis data yang dilakukan adalah metode deskriptif kualitatif yakni, memaparkan analisis secara mendalam dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dengan psikolog dan coder. Teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah Muted Group Theory oleh Cheris Kramarae seorang pakar komunikasi yang berfokus pada studi language and gender. Objek penelitian ini adalah film namun, masalah yang diangkat bukan terletak pada semiotika film tersebut melainkan mengenai komunikasi verbal yang merupakan pokok cerita dalam film. Film telah merupakan produk budaya manusia sejak abad 18. Film menjadi media manusia menuangkan ide dan kreatifitas dengan memadukan unsur science yang artinya sebuah film dapat dibuat jika si pembuat memiliki ilmu dan pengetahuan tentang film, bagaimana cara membuatnya, dan hal-hal apa saja yang ada di dalamnya. Demikian film menjadi media menyampaikan hasil pikiran melalui visualisasi gambar bergerak, ini memungkinkan film sebagai cerminan masyarakat yang sebenarnya atau direkayasa. Film He’s Just Not That Into yang diangkat dari sebuah buku berjudul sama mengusung tema cinta yang diikuti dengan pokok masalah dalam 50 berkomunikasi antar lawan jenis. Terdapat sembilan tokoh sentral yang mana kisah di antara mereka saling terkait satu dan lainnya. Terlibat dalam lima kisah berbeda, berikut adalah penemuan hasil penelitian terhadap tiap dialog yang mengandung permasalahan yang diangkat yakni, komunikasi verbal. Pertama dimulai dengan dialog yang diucapkan anak lelaki di taman bermain. Gambar 4.1 Anak tersebut dalam dialognya mengucapkan kalimat kasar yang kemudian menyakitkan hati seorang gadis kecil bernama Gigi. Anak tersebut mengatakan bahwa Gigi kecil bodoh seperti kotoran anjing. Kemudian Gigi kecil yang menangis mengadu pada ibunya tentang makian anak laki-laki tersebut. 51 Gambar 4.2 Sang ibu memberikan penjelasan mengapa anak laki-laki tersebut mengatakan hal yang demikian kepada Gigi kecil. Dan jawaban sang ibu, “Because he likes you…” menurut sang ibu, mengapa anak laki-laki mengatakan hal menyakitkan seperti itu karena dia menyukai Gigi kecil. Anak laki-laki tersebut melakukan hal yang menyakitkan karena ia naksir pada Gigi kecil. Sang ibu yang menjadi pemberi jawaban, membuat Gigi kecil lantas berpikir bahwa jika seorang pria melakukan hal yang buruk pada seorang wanita berarti pria tersebut menyukai si wanita. Sejak mendengar perkataan ibunya tersebut, Gigi berkesimpulan bahwa jika seorang pria bersikap buruk padamu, berarti ia menyukaimu. Karena ia hanya tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Maka ia bersikap kasar. Dan cerita lain yang mendukung perkataan sang ibu dari Gigi kecil ditampilkan. 52 Gambar 4.3 Seperti cerita di atas yang mana wanita tersebut mengalami patah hati dan teman-teman wanitanya menghibur hati si wanita bahwa pria yang disukainya mengecewakannya karena pria tersebut terlalu menyukainya karena wanita tersbut sangat cantik dan luar biasa. Salah seorang teman wanitanya mengatakan bahwa ia dibuat patah hati karena sang pria hanya tidak bisa menghadapi wanita yang luar biasa. Gambar 4.4 53 Terlihat dua orang wanita yang menunggu telepon dari pria yang ditaksirnya oleh salah seorang dari mereka. Setelah lama menunggu, salah satu dari mereka berkata, “Dia jelas menyukaimu. Aku yakin dia hanya kehilangan nomor teleponmu”. Dan sang teman pun terhibur oleh perkataannya. Gambar 4.5 Gambar 4.6 54 Gambar 4.7 Gambar 4.8 55 Gambar 4.9 Kelima cerita lain pun sama. Para wanita dalam cerita di awal film menampilkan bahwa jika seorang pria menyukai wanita, mungkin pria tersebut tidak langsung menghubungi sang wanita dengan berbagai alasan seperti yang mereka katakan yakni, mungkin saja si pria belum siap memiliki hubungan serius…, si pria takut pada kedewasaan dan kesuksesan sang wanita…, atau bahkan si pria lupa alamatmu. Dalam kasus ini, para wanita dari kelima cerita di atas mengalami kesalahan fatal. Ketika para teman-teman wanita memberikan sebuah tanggapan atas apa yang dialami teman wanitanya yang sedang sibuk mengartikan perkataan dan sikap pria yang disukainya, mereka memberikan terjemahan yang bukan sebenarnya. Mereka seolah-olah mengetahui dengan pasti pria yang teman mereka sukai dengan sangat baik karena memberikan jawaban demikian. Padahal, mereka bersikap demikian karena perempuan yang cenderung mengandalkan perasaan, adalah mahluk peka yang lemah 56 dalam menerima suatu kenyataan. Mereka yang menerjemahkan salah tersebut menggunakan bahasa permisif yang mana bahasa tersebut bertujuan untuk melindungi secara emosional. Dan pada kenyataannya, mereka hanya tidak ingin mengatakan ‘penolakan’ sebagai arti sebenarnya. Seperti book statement He’s Just Not That Into You yaitu, There Is No-Excuses Truth to Understanding Guys, film yang kisahnya diilhami dari buku self-improvement tersebut mengangkat masalah komunikasi antara pria dan wanita yang selama ini menjadi penyebab gagalnya hubungan (percintaan) di antara kedua manusia berlawan jenis tersebut. Gambar 4.10 Dialog antara Gigi dan Conor menggambarkan di mana wanita memang menggunakan frase seperti if… yang sifatnya lemah. Ini menunjukkan bahwa wanita memiliki kekurangpercayaan diri dan terkesan tidak tegas. Ini dikarenakan wanita berada dalam dominasi pria di mana bahasa wanita cenderung ‘diredam’ atau muted group yang artinya, dominasi 57 pria dalam berbagai aspek kehidupan membuat pria menjadi yang ‘terlihat’ dibandingkan wanita. Karena secara ilmiah pun, pria cenderung to-the-point sehingga bahasanya bersifat ‘menguasai’. Wanita oleh karenanya kemudian memiliki bahasa sendiri yang mereka terjemahkan ke dalam istilah pria. Gambar 4.11 Setelah Gigi dan Conor berkencan, sebagai salam perpisahan, mereka saling mengucapkan, “It’s nice to see you…” yang artinya menyenangkan bisa bertemu denganmu. 58 Gambar 4.12 Tidak lama setelah keduanya berpisah dan kembali ke rumah masingmasing, Gigi maupun Conor langsung mengambil telepon genggam mereka masing-masing dan segera menelepon teman masing-masing. Gigi menelepon Janine, wanita rekan sekantornya yang mengenalkannya pada Conor yang tak lain seorang real estate yang menjual rumah pada Janine dan sang suami, Ben. Gigi berkata di telepon bahwa ia mendapatkan sinyal positif akan kencan yang dijalaninya bersama Conor dan ia menyimpulkan bahwa sementara Gigi berbicara pada Janine melalui kotak pesan, Conor sedang meneleponnya di telepon rumah. Artinya, Gigi menganggap bahwa Conor menyukainya dan akan menelepon sebagai kelanjutan hubungan. Di sini terlihat jelas bahwa Gigi (wanita) menerjemahkan perkataan Conor (pria) “it’s nice to see you…” sebagai pertanda bahwa ada kemungkinan Conor memang tertarik padanya yang memang di lain pihak 59 kencan mereka terbilang lancar. Gigi menunjukkan bahwa ia sebagai wanita menerjemahkan perkataan Conor sebagai pria ke dalam istilah pria akan tetapi sepertinya ia mengalami kesalahan di mana ketika ia menerjemahkannya, ia justru membuat karangan atas terjemahan tersebut. Dan karangan tersebut berlebihan. Gambar 4.13 Beberapa hari kemudian, Gigi masih sibuk menunggu telepon dari Conor yang tak kunjung menelepon. Janine mengatakan padanya bahwa mungkin Conor sedang dalam bisnis sehingga ia tidak ada waktu untuk menelepon Gigi. Di sini jelas bahwa pokok permasalahan dalam kisah Gigi adalah ia menganggap bahwa jika pria tersebut tertarik padanya maka pria tersebut akan meneleponnya. Janine yang mengatakan bahwa ia tidak perlu menunggu telepon Conor karena mungkin pria tersebut sedang berada di luar kota bermaksud membuat Gigi tidak berobsesi terlalu berlebihan dan berharap 60 terlalu jauh. Hanya karena wanita tidak ingin menyakiti perasaan sesama wanita maka wanita menggunakan bahasa yang diperhalus (permisif) sebagai ganti arti sebenarnya yang cenderung sarkasme. Dan menurut psikologi, wanita memang cenderung ingin mendengar apa yang ingin didengarnya bukan apa yang sebenarnya. Gambar 4.14 Janine terlihat memberikan pendapat tentang kencan Gigi dengan Conor. Janine menganalisa kronologi kencan Gigi. Janine dan Gigi terlibat dalam proses menerjemahkan perkataan Conor. 61 Gambar 4.15 Gambar 4.16 Beth menanggapi pembicaraan Gigi dan Janine kemudian memberikan peryataan bahwa kini wanita tidak perlu menunggu pria yang disukainya karena peraturan seperti itu sudah kolot. Munculnya paham feminis yang mana wanita sudah bukan mahluk golongan kedua yang suaranya kurang didengar dan meruapakan mahluk lemah, feminisme 62 menimbulkan efek bahwa wanita pun dapat berdiri sejajar dengan pria dan apa yang dulu dianggap tabu bagi wanita karena bertolak belakang dengan kodrat dan status sosial, sekarang tidak lagi demikian. Dan salah satunya adalah seperti yang dilakukan Gigi. Beth, rekan kerjanya mengatakan, jika wanita menyukai pria, wanita tidak perlu menunggu telepon si pria agar hubungan mereka berlanjut. Dan inilah yang kemudian membuat Gigi terdorong untuk keluar dari konteks kuno bahwa wanita ditakdirkan untuk menunggu. Artinya, wanita hanya diam dan pria yang melakukan tindakan. Gambar 4.17 63 Gambar 4.18 Tidak lama kemudian, Gigi menelepon Conor setelah ia mendapat ‘pencerahan’ dari temannya, Beth. Ia meninggalkan pesan di kotak suara Conor. Dalam perkataannya, Gigi beralasan mengapa ia yang menelepon Conor bukan sebaliknya karena wanita zaman sekarang memiliki hak yang sama dengan pria terbukti dengan lebih banyaknya wanita yang diterima di sekolah hukum daripada pria. Gambar 4.19 64 Ben, suami Janine bertemu dengan Anna. Setelah mengobrol, Ben mengatakan ia mengenal seseorang yang bekerja di industri musik yang mungkin bisa membantu Anna mewujudkan mimpinya sebagai penyanyi professional. Anna lalu memberikan nomor teleponnya, Ben lantas berkata bahwa ia sudah menikah. Dalam kasus ini, Ben yang baru berkenalan dengan Anna di sebuah mini market merasa ada kans bahwa hubungan mereka akan berlanjut di mana didukung oleh sikap Anna yang bersahabat dengannya. Ben sebagai pria secara to-the-point mengatakan pada Anna bahwa dia sudah menikah. Alasannya, bahwa ia tidak ingin Anna menganggap Ben bermaksud lain dengan mengenalkannya pada seorang produser musik dan ia tidak ingin terjadi salah paham. Gambar 4.20 65 Gambar 4.21 Gambar 4.22 Dari rentetan gambar di atas, terlihat Neil sedang meyakinkan Beth mengapa mereka lebih baik dibandingkan mereka yang menikah dengan hidup bersama tanpa sebuah ikatan resmi. Beth mulai goyah karena ia mendapati dirinya menjalani hubungan tanpa status yang jelas bersama Neil selama tujuh tahun di mana sang adik mendahuluinya menikah. 66 Neil terlihat meyakinkan Beth dengan memberikan alasan mengapa mereka tidak harus menikah. Neil menunjukkan dominasinya terhadap Beth dan tidak memberi Beth ruang untuk bernegosiasi. Di sini, Beth adalah muted group. Gambar 4.23 Gambar 4.24 67 Cerita berkembang di mana Gigi mendatangi sebuah klub yang sering dikunjungi Conor dengan beranggapan mungkin Conor ada di sana. Sesampainya di sana, ternyata Conor sedang berada di luar kota, kata Alex yang ternyata teman baik Conor dan manajer klub tersebut. Alex lantas mengatakan pada Gigi bahwa Conor tidak akan pernah meneleponmu. Gigi bertanya mengapa Alex berkata seperti itu dan Alex menjawab bahwa karena ia seorang pria dan begitulah kami (pria) melakukannya. Gambar 4.25 68 Gambar 4.26 Gambar 4.27 Gigi yang tidak percaya pada perkataan Alex, mengemukakan pilihan jawaban mengapa Conor belum meneleponnya apalagi Gigi yakin Conor tertarik padanya dengan bermodal ucapan “It’s nice to see you.” 69 Gambar 4.28 Gambar 4.29 Alex membantah kemungkinan yang dipaparkan Gigi dengan mengatakan bahwa jika pria tidak meneleponmu maka dia memang tidak ingin meneleponmu. Alex merupakan contoh pria yang mengilhami dengan baik dominasi pria dengan memiliki kepercayaan diri tinggi. Ia yakin pada gender yang dianutnya. Oleh karena itu, ia menjawab pertanyaan Gigi dengan tegas. 70 Gambar 4.30 Kemudian cerita Beth berlanjut di mana ia mulai angkat bicara atas hubungannya dengan Neil yang tak berujung pada pernikahan setelah terlibat obrolan dengan Gigi dan Janine. Beth mulai mengeluhkan hubungan tanpa statusnya bersama Neil. Beth selama tujuh tahun tidak pernah menuntut untuk dinikahi. Dalam scene di atas, Beth dan Neil terlibat perbincangan di mana Beth mengatakan bahwa sudah lima tahun belakangan ia menyembunyikan keinginannya untuk menikah dengan Neil apalagi hal tersebut mulai dipikirkannya kembali setelah saudara perempuannya mengumumkan akan melangsungkan pernikahan. Namun, ia tidak pernah mengatakan keinginannya tersebut karena ia ingin inisiatif akan pernikahan dimulai oleh Neil. Kebungkaman Beth menandakan ia sedang bernegosiasi dengan Neil. Di mana walau tidak mengatakannya, Neil akan memahaminya. 71 Gambar 4.31 Potongan scene di atas memperlihatkan tidak ada dialog. Beth bertanya pada Neil apakah ia akan menikahinya. Beberapa saat Neil hanya diam terpaku. Beth menunggu jawaban yang mana Neil tidak memberikannya. Untuk kasus ini, prialah yang merupakan muted group. Berdasarkan teori Cheris Kramarae, pria menjadi muted group ketika pembicaraan menyangkut masalah pribadi. Ini dikarenakan pria kurang mampu mengekspresikan perasaannya. 72 Gambar 4.32 Cerita berlanjut di mana Gigi mendapatkan teman kencan yang baru. Tidak ingin mengulangi kesalahan seperti kencannya dengan Conor di mana ia menunggu Conor meneleponnya sebagai kelanjutan dari hubungan mereka, Gigi ingin menegaskan kepada teman kencannya bahwa siapakah yang akan menelepon duluan, Gigi atau si pria. Gigi ingin mendapat kepastian secara verbal atau lisan dari sang pria perihal siapa yang akan menelepon. Maksud Gigi, ia hanya ingin mendengar pria mengucapkan, “aku yang akan meneleponmu.” Sebagai wujud kelanjutan hubungan mereka namun, sang pria tidak mengatakannya. Pria di atas merasa terintimidasi dengan pertanyaan Gigi. Di sini berlaku ucapan Alex bahwa jika pria tersebut ingin menghubungimu, ia yang akan menghubungimu. Menurut psikolog, pria memang cenderung langsung melakukan tindakan daripada harus mengatakan akan melakukan tindakan tersebut sebelumnya jika memang benar-benar ingin melakukan hal tersebut. 73 Gambar 4.33 Kemudian ada Mary, teman Anna yang menjalin komunikasi dengan teman kencannya melalui teknologi komunikasi yakni, telepon dan internet. Mary merasa cukup dengan bermodalkan komunikasi melalui teknologi, ia dapat memiliki hubungan yang baik dengan pria yang disukainya. Padahal, berhubungan secara virtual jelas tidak sama dengan bertatap muka langsung. Gambar 4.34 74 Conor, teman kencan Gigi bingung akan sikap Anna, wanita yang ditaksirnya. Ia merasa aneh di mana Anna memberinya perhatian, sering mampir ke apartemennya untuk sekedar curhat, bahkan pernah tidur dengannya namun hubungan mereka tidak berkesan. Tidak ada status yang jelas. Dalam kasus Conor, ia clueless. Ia tidak dapat membaca Anna dari sikap. Di sini, pria mengalami kesulitan memahami wanita. Gambar 4.35 Setelah melalui drama dalam hubungan asmaranya dengan beberapa pria, suatu malam Gigi menonton film favoritnya, ia lantas mengambil kesimpulan bahwa Alex, teman yang selama ini dijadikannya ‘penasihat’ hubungannya dengan pria, menyukainya. Film adalah hasil budaya manusia. Walau bahasa manusia di muka bumi tidak ada yang sama. Pengalaman yang ditampilkan dalam film tersebut bersifat universal. Artinya, siapa saja bisa memiliki pengalaman yang 75 diceritakan dalam sebuah film. Karena cerita di dalam film merupakan perwakilan dari fenomena yang ada di masyarakat. Dikarenakan wanita suka mengkhayal secara berlebihan atau mengarang-ngarang, Gigi menganggap bahwa Alex layaknya tokoh di dalam film favoritnya. Ia berkesimpulan demikian hanya dengan berangkat melalui film. Gambar 4.36 Mary sedang memamerkan pacar virtualnya kepada ketiga teman gaynya. Ia dan pria tersebut berhubungan melalui situs MySpace. Hanya dengan bermodalkan komunikasi verbal virtual, Mary yakin pria tersebut menyukainya dan hubungan mereka dapat berjalan dengan baik. Mary menyimpulkan dari segala tingkah manis pria tersebut seperti menciptakan dan menyanyikan lagu untuknya. 76 Gambar 4.37 Gambar 4.38 Selanjutnya ada Janine dan suaminya Ben. Keduanya sedang berbelanja bahan bangunan. Janine yang idealis tidak menyukai kayu tiruan yang diperlihatkan Ben karena ia tidak menyukai kepura-puraan. Setelah mendengarkan Janine berkata demikian, Ben lantas mengaku bahwa ia selingkuh dengan seseorang. 77 Janine mendengar pengakuan Ben. Tapi bukannya marah besar, ia justru menanyakan hal lain yakni, apakah Ben yang meninggalkan ampas rokok di halaman belakang rumah mereka. Janine hanya berfokus pada masalah rokok. Gambar 4.39 Gambar 4.40 Alex mengadakan pesta kecil di rumahnya dan mengundang Gigi turut serta. Ketika dua hadirin pesta Alex bertanya pada Gigi mengapa wanita 78 tersebut mengenal Alex, Gigi justru menjawab, “Aku yakin sesuatu terjadi di antara kami. Dia memberiku tanda-tandanya.” Gigi begitu percaya diri di depan publik bahwa Alex menyukainya. Gambar 4.41 Gambar 4.42 79 Gambar 4.43 Gambar 4.44 Saat pesta usai, Gigi mengatakan bahwa Alex selama ini bersikap seolah-olah ia adalah tokoh lain seperti dalam film yang ternyata diam-diam menyukainya. Gigi mengatakan pada Alex atas apa yang ia tangkap dari sikap Alex. 80 Alex marah dan tidak habis pikir mengapa Gigi menjadi begitu salah paham pada apa yang dilakukannya untuk Gigi. Alex merasa Gigi sudah sangat berlebihan. Dalam potongan scene paling bawah, Alex mengatakan mengapa Gigi memutar hal yang didapatnya dari perlakuan Alex ke tafsiran yang lain sehingga membuatnya salah paham. Gambar 4.45 Janine mendatangi kantor Ben, suaminya untuk menyelamatkan pernikahannya. Janine yang masih marah karena Ben selingkuh memilih berdamai dan ingin rujuk dengan Ben. Masalah Janine yang sebenarnya adalah ia tidak pernah berkomunikasi dengan suaminya perihal hubungan pribadi mereka. Selama ini Janine menganggap pernikahannya baik-baik saja sampai ia mendengar sendiri pengakuan suaminya berselingkuh. 81 Gambar 4.46 Terlihat Neil sedang mencuci piring di rumah orang tua Beth. Ia membantu Beth mengerjakan pekerjaan rumah karena Beth sibuk merawat sang ayah yang sedang sakit. Adegan ini memperlihatkan sikap gentleman Neil dengan mendatangi Beth ke rumah orang tuanya dan membantu Beth mengerjakan pekerjaan rumah. Pria lebih menyukai beraksi daripada mengumbar kata-kata. Inilah yang dilakukan Neil. Ia memang tidak bisa memberi Beth pernikahan tapi walau begitu ia menunjukkan bahwa ia sungguh ingin serius dengan Beth. Neil hanya tidak bisa melakukan seperti orang lain dengan memberitahukan bahwa ia ingin menikah dengan Beth. 82 Gambar 4.47 Mendekati akhir cerita, Alex sibuk melihat telepon genggamnya, menerka siapa tahu Gigi meneleponnya atau sekedar meninggalkan pesan suara untuknya. Gambar 4.48 83 Gambar 4.49 Alex menjadi tidak fokus dalam pekerjaannya. Ia berubah seperti Gigi yang terobsesi pada pria dengan menanti telepon agar hubungan mereka berlanjut. Berikut ini, sebuah review buku That’s Not What I Meant! oleh Dr. Deborah Tannen yang ditulis oleh Emma Chamberlin pada Mei 2007. Dalam buku berjudul That’s Not What I Meant! seperti yang dikatakan Emma dalam reviewnya, buku tersebut mengandung penjelasan mengapa terjadi misunderstanding. Dr. Tannen menjelaskan mengapa orangorang mengalami kesalahan dalam berkomunikasi terutama antara pria dan wanita. Emma mengutip kalimat dalam buku Tannen yakni: “What is communicated about relationships- attitudes toward each other, the occasion, and what we are saying- is the metamessage” (Pg. 16, Tannen). Ketika kita bertanya pada seorang teman, “Apakah kau baik-baik saja?” dan dia menjawab, “Iya”. Namun jelas kita melihat dia bersedih. Apa 84 yang dikatakannya jelas bukan yang dimaksudkannya. Itu yang dinamakan Metamessage. We are constantly trying to take into account the effect of what we say, and how we will make other people feel. Tannen lists three rules devised by Robin Lakoff: 1. Don’t impose; keep your distance, 2. Give options; let the other person have a say, 3. Be friendly; maintain camaraderie. Naturally, each of these rules can have a negative side. If we take approach number one for example, and decline an offer for a drink, we may come off as rude and unappreciative when we are just trying to be polite. We balance all three of these rules and try to find a comfort level within ourselves. Furthermore, our attempts of politeness can often backfire and end up being offensive. Selanjutnya, Emma menuliskan bahwa kita selalu berusaha menyamarkan apa yang kita katakan dan bagaimana cara kita membuat perasaan yang tenang bagi orang lain dengan mempertimbangkan efeknya. Tannen memaparkan tiga aturan yang didefinisikan oleh Robin Lakoff: 1. Jangan menjatuhkan; jaga jarak Anda, 2. Berikan pilihan; biarkan orang lain mengatakan sesuatu, 3. Bersikap ramahlah; pelihara hubungan persahabatan. Naturally, each of these rules can have a negative side. If we take approach number one for example, and decline an offer for a drink, we may come off as rude and unappreciative when we are just trying to be polite. We balance all three of these rules and try to find a comfort level within ourselves. Furthermore, our attempts of politeness can often backfire and end up being offensive. Secara alamiah, masing-masing dari aturan tersebut memiliki sisi negatif. Jika kita mempraktikkan aturan nomor satu misalnya, kita menolak tawaran minum oleh seseorang, maka kita mungkin adalah seseorang yang kasar dan tidak menghargai seseorang tersebut walau sebenarnya kita berusaha untuk bersikap sopan. Kita kemudian menyeimbangkan ketiga aturan tersebut dan mencoba mencari tingkatan yang nyaman dengan diri kita 85 sendiri. Lebih jauh, kecenderungan kita dalam bersikap sopan justru sering menjadi serangan untuk diri kita sendiri. Dalam buku Tannen, ada contoh yang ditunjukkan mengapa terkadang kita tidak mengatakan apa yang sebenarnya kita maksud. Contohnya pada pasangan Greg dan Cynthia. Greg membuat kudapan untuk dirinya sendiri kemudian ia menawarkannya pada Cynthia. Cynthia malah menolak kudapan tersebut. Alasannya karena Greg hanya membuat kudapan untuk dirinya sendiri tapi tidak membuatkan khusus untuk Cynthia. Greg tidak bisa percaya hanya karena kudapan yang dibuatnya untuk diri sendiri dan hanya menawarkan pada Cynthia bukan membuatkan khusus untuknya, Cynthia lantas merasa Greg tidak peduli padanya. Dr. Tannen next moves on to directness and telling the truth. She describes how sometimes telling the complete truth can actually get you into trouble. If someone asks you a question and you give them a truthful answer with no explanation, he/she may think your answer is suspicious even though you are telling the truth. Tannen also states that a “reason we can’t solve the problems of indirectness by being direct is that there are always unstated assumptions” (Pg 66, Tannen). People speaking to each other often get confused because they are saying something assuming that the other person knows exactly what they are talking about. For the most part, we can’t know everything that’s going on in someone else’s head so it’s nearly impossible to be completely clear at all times. Emma mengutip lagi dalam buku Tannen bahwa alasan mengapa kita tidak dapat memecahkan masalah dalam komunikasi/indirectness karena kita terlalu banyak berasumsi. Asumsi yang tidak tepat. Orang-orang sering mengalami kebingungan ketika mereka berbicara itu karena mereka berasumsi sedangkan orang lain mengetahui jelas apa yang dimaksudkan. Yang paling penting dalam hal ini adalah kita tidak pernah mengerti jalan 86 pikiran masing-masing orang dan mustahil apa yang dibicarakan menjadi jelas. Dan hal lain mengapa kita justru tidak mengatakan hal yang sebenarnya karena kita takut melukai perasaan orang lain dengan berkata jujur. Adapun dalam buku Tannen, Emma menemukan mengenai framing dan reframing. “Framing is a way of showing how we mean what we say or do and figuring out how others mean what they say or do.” (pg. 75, Tannen). Cara kita membingkai sesuatu adalah penyebab utama terjadinya kesalahpahaman. Contoh, sepasang kekasih ingin makan malam di sebuah restoran. Sang pria mengatakan ia ingin makan di restoran A. Sesampainya di sana, ternyata makanan di restoran tersebut tidak enak. Di akhir makan malam, si wanita berkata bahwa ia pernah makan di restoran A sebelumnya dan telah mengetahui bahwa makanannya tidak enak. Sang pria bingung mengapa si wanita tidak mengatakan sebelum mereka mendatangi restoran tersebut. Ternyata, si wanita melakukan negosiasi. Ketika ia bertanya di mana mereka akan makan kemudian sang pria menjawab maka ia menganggap bahwa itu adalah hasil dari negosiasi. Contoh dari reframing yakni, seseorang baru saja bercerai. Namun, karena liburan, ia tidak ingin sendiri melewatkan hari liburnya jadi ia menerima ajakan temannya untuk berlibur bersama ke luar negeri. Akan tetapi, ia lantas berpikir bahwa orang-orang yang mengenalnya pasti mengira ia sedang lari dari kenyataan akan perceraiannya. Dan pergi ke luar negeri 87 untuk berlibur adalah caranya menghindar. Karena berpikir demikian akhirnya ia membatalkan liburannya bersama sang teman dan ia kecewa karena itu. Reframing is tricky because you are trying to say something to show you care, but it can come out as pity, which practically no one appreciates. Reframing juga tidak lebih baik dari framing. Reframing di mana kita berusaha agar sesuatu tersebut kedengaran normal tapi justru bagi orang lain itu bukan hal yang dimaksudkan. Kita takut orang akan peduli pada hal tersebut. Tapi pada kenyataannya tidak. Dr. Tannen mentions that people seem to feel that communication should come easy with love, and that just because we are in a romantic relationship we should be able to understand one another perfectly. Unfortunately this is not the case. Just because two people are growing closer together, does not mean that their conversational styles are changing and suddenly becoming in-sync. In fact, communication gets even more frustrating over time because couples feel like if anyone should understand them, it should be their significant other, which is not always the case. Dr. Tannen menyebutkan bahwa orang-orang merasa bahwa komunikasi akan mudah jika melibatkan cinta dan terlibat dalam romantisme sehingga kita dapat memahami satu sama lain dengan sempurna. Sayangnya, tidak. Hanya karena ada dua orang yang berhubungan dekat, bukan berarti gaya pembicaraan mereka berubah dan berkaitan. Komunikasi menjadi bagian penting dalam berhubungan karena salah satu di antara dua orang yang memiliki hubungan menginginkan agar pasangannya memahaminya yang mana tidak selamanya seperti itu. Wanita seringkali merasa bahwa parnernya harus bisa mengetahui yang wanita inginkan tanpa harus wanita katakan, dan pria merasa bahwa pria dan 88 wanita tidak seharusnya terlalu lama berkutat dengan isu dan mengatakan apa yang mereka inginkan. Secara alamiah, timbullah kesalahpahaman, sejak pria dan wanita memiliki pandangan yang berbeda tentang dunia, memecahkan masalah adalah hal yang sulit karena pria dan wanita memiliki perbedaan ide dalam membicarakan masalah. Dalam salah satu artikel di majalah GoGirl! Edisi Januari 2010 berjudul What Boys Can Learn From Girls, di dalamnya ditulis, “men think with their logic and women think with their heart”. Artinya, pria berpikir dengan logika sedang wanita berpikir dengan hati, menggunakan perasaan. Ini yang menyebabkan wanita lebih sering mengalami sakit hati. Selain itu, ditulis pula bahwa kemampuan pria dalam berkomunikasi membuat mereka tidak bisa berbasa-basi. Mereka to-the-point. Oleh karena itu, wanita diharapkan mengatakan apa yang memang ingin katakan. Dalam artikel yang sama, dipaparkan pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Lurentian University, Sudbury, Ontario, Canada, bahwa perempuan ternyata lebih detil dibandingkan laki-laki. Penelitian terhadap 20 orang perempuan dan 20 orang laki-laki di mana mereka diminta untuk meceritakan kembali apa yang mereka dengar selama 5 menit menghasilkan bahwa perempuan 50% lebih banyak dan bercerita lebih detil dan akurat daripada laki-laki. Ini dikarenakan perempuan memiliki pandangan peripheral yang lebih luas hampir mencapai 180 derajat. Sedangkan pada pria hanya berbentuk semacam tunnel vision yang hanya bisa melihat hal-hal jelas yang ada di depan mata. Contohnya, laki-laki dapat dengan mudah 89 menemukan pom bensin atau bengkel dari kejuhan akan tetapi, susah menemukan benda yang terletak di dalam rak atau kulkas. Ada pun ditulis bahwa “women have a wonderful instinct about things. They can discover everything except the obvious”. Artinya, saking sangat memperhatikan hal-hal kecil, wanita lupa akan pokok utama. Kemudian dalam hal kepekaan atau kesensitifan wanita lebih besar oleh karena itu, wanita lebih perasa dibandingkan pria. Wanita lebih mudah memahami perasaan orang lain dan menempatkan diri sesuai dengan keadaan orang lain. Menurut studi yang pernah dilakukan, pria memang memiliki ego yang lebih besar dibandingkan wanita. Dari zaman purba, pria sudah incharge untuk berburu dan melindungi wanitanya. Dikarenakan sifat superior dan powerfulnya maka pria menjadi lebih egois dan merasa paling hebat. Selanjutnya, ditulis bahwa wanita memiliki kemauan dan rasa ingin tahu yang besar dibandingkan pria. Terakhir, pada artikel Make Him Say Yes di mana artikel ini memuat mengenai usaha keempat wanita meyakinkan sang pacar agar mau menuruti kemauannya, tertulis bahwa salah satu dari mereka yang meminta agar sang pacar menjadi pagar bagus pada nikahan sang kakak sepupu berusaha agar si pria mengatakan ‘iya’. Faktanya adalah men are afraid of having further relationship, especially comes to a big family. Dalam edisi lain pada majalah GoGirl! Yang mengangkat isu tentang link, dibahas mengenai Lost In Translation. Di dalam artikel ini, pria dan 90 wanita dibagi ke dalam dua kategori berdasarkan dunia asal mereka. Pria dan wanita diistilahkan berasal dari Mars dan Venus. Yang mana kedua planet ini merupakan dua dari sembilan planet di tata surya yang memiliki perbedaan sangat jauh. Berdasarkan istilah ini pulalah, alasan mengapa terjadi sering miscommunication antara pria dan wanita adalah karena mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Dalam artikel ini, ditulis bahwa pria menunjukkan rasa sayang serta kepeduliannya terhadap sesuatu atau seseorang bukan dengan cara ‘mengatakan’ tapi ‘melakukan’ yang artinya, pria tidak perlu mengungkapkannya pada orang lain, cukup dengan melakukan tindakan. Karena seperti itulah mereka melakukannya. Terkhusus kepada orang yang dicintainya. Pria hanya mengatakan apa yang penting untuk dikatakan. Tidak seperti wanita yang penuh dengan ‘ornamen’. Pria cenderung meniadakan hal-hal yang sifatnya pribadi. Berikut ini hasil wawancara dengan coder berjumlah tiga orang yang semuanya berjenis kelamin perempuan. Nama : Indri Pekerjaan : Mahasiswa “Saya dekat dengan seorang cowok yang menurut teman-teman perempuan saya, cowok itu juga ada rasa ke saya. Dia begitu perhatian. Menurut saya, ini cukup berlebihan berhubung status kami hanya teman. Ku pikir dia menyukai seorang gadis, tapi ketika digoda oleh teman-teman, sikapnya cuek dan saya menyimpulkan dia tidak benar-benar menyukai gadis 91 tersebut. Seiring waktu berjalan, tidak ada yang istimewa. Sikapnya justru jauh dari yang saya harapkan, dan saya berkompromi dengan diri sendiri bahwa dia wajar bersikap demikian. Saya anggap ini selesai. Karakter saya kurang lebih seperti Gigi dalam film He’s Just Not That Into You.” Nama : Meike Pekerjaan : Mahasiswa “Saya mirip tokoh Gigi. Saya termasuk orang yang mungkin sedikit berlebihan jika menyangkut masalah pria dan asmara. Setelah menonton He’s Just Not That Into You, saya setuju jika film ini mengangkat tentang masalah komunikasi antara pria dan wanita. Saya tidak berpikir walau ini film bule, bukan berarti ceritanya tidak mewakili penonton Asia bahkan Indonesia karena sebuah film adalah hasil budaya manusia yang bersifat universal. Intinya, wanita-wanita dalam film He’s Just Not That Into You mengharapkan sesuatu yang pada kenyataannya tidak sejalan.” Nama : Christin Pekerjaan : Mahasiswa “Saya menyimpulkan pria menyukai saya sesuai dengan apa yang saya baca dan saya lihat seperti di buku-buku, majalah, dan film-film.” Dari hasil wawancara dengan para coder, sebagai pendukung teori dan hasil penelitian, berikut merupakan hasil wawancara dengan psikolog. Nama : Widyastuti, S.Psi,. M.Si, Psikolog Tempat tanggal lahir : Yogyakarta, 29 Mei 1968 Riwayat Pendidikan : -S1 Psikologi UGM 92 -S2 Psikologi UGM Pekerjaan : Dosen Fakultas Psikologi UNM Pertanyaan: 1. Pria dan wanita memiliki bahasa yang berbeda. Seperti yang ditunjukkan dalam film He’s Just Not That Into You, bagaimana menurut ibu? Jawaban: Memang iya, ya. Pria itu cenderung lebih langsung mengatakan segala sesuatu dibanding wanita. Wanita sendiri lebih cenderung menggunakan bahasa-bahasa permisif atau bahasa yang diperhalus. Pria to the point jika yang dibicarakan rasional. Kapan pria menggunakan bahasa yang berputar, yakni jika ia melibatkan emosi. 2. Dalam film He’s Just Not That Into You, wanita sangat mementingkan arti sebuah relationship. Apakah seperti itu psikologinya? Jawaban: sebetulnya memang, kadang-kadang wanita itu butuh kepastian. Sementara pria cenderung lebih mengarah kepada tindakan. Wanita butuh pengakuan secara verbal sedangkan pria lebih mengutamakan tindakan real. 3. Dalam ilmu psikologi apakah perbedaan pria dan wanita dipelajari? Jawaban: sebenarnya tidak dipelajari secara spesifik, tapi kami mengenal dengan istilah neurolanguage programming yang mana 93 komunikasi verbal pasti disertai dengan komunikasi nonverbal. Ini terjadi secara sadar maupun tidak. 4. Berdasarkan film He’s Just Not That Into You, menurut ibu, wanita dalam film tersebutlah yang memiliki masalah dalam komunikasi? Jawaban: kadang-kadang emosi cenderung tidak stabil sehingga membuat kita mengeluarkan bahasa yang sifatnya tidak kuat. Terkadang jika ingin melakukan sesuatu, bukanlah apa yang kita katakan. Pada satu kasus, ada seorang wanita membunuh suaminya. sang istri mengusir suaminya. mereka bertengkar. Sang suami langsung menuruti perkataan sang istri. Ternyata, sang istri mengatakan demikian dengan maksud ingin suaminya tetap tinggal. Karena sang suami mengartikan sesuai dengan apa yang dikatakan sang istri, ia pun pergi. Sang istri emosi dan langsung membunuh sang suami. 5. Ada istilah pria menggunakan logika, sedangkan wanita menggunakan perasaan. Benarkah? Jawaban: dalam sistem neurologis, memang demikian. Pria memang cenderung menggunakan pikiran/akal sehat sedangkan wanita memang cenderung peka sehingga melibatkan perasaan. 6. Menurut ibu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi wanita menciptakan sendiri pemaknaannya terhadap perkataan pria? Jawaban: hal tersebut dilakukan untuk melindungi. Maksudnya, mereka memberikan jawaban yang diperhalus agar tidak 94 menyakiti perasaan. Wanita cenderung lebih ingin mendegar apa yang ingin didengarnya bukan kenyataan yang sebenarnya. Inilah yang menjurumuskan wanita dalam masalahnya sendiri dengan membuat ‘karangan’ akan hasil tafsiran terhadap perkataan pria. 7. Apakah relevan film He’s Just Not That Into You dengan penonton di Indonesia? Jawaban: khusus untuk kasus ini, hamper semua orang di seluruh dunia seragam. Ini bersifat universal. 8. Dari semua tokoh wanita dalam film He’s Just Not That Into You, siapa tokoh yang paling sukses mengalami kegagalan dalam komunikasi? Jawaban: tokoh Gigi. Sejak kecil ia didoktrin dengan pemahaman yang salah. Ini dipengaruhi oleh didikan orang tua sejak kecil. 9. Menurut ibu, sudah benarkah bahwa masalah antara pria dan wanita dalam film He’s Just Not That Into You adalah komunikasi? Jawaban: iya, benar. Di situ, ditampilkan bahwa para tokoh ingin mengatakan A tapi bukan A yang akhirnya dikatakan. Tidak ada kesensitifitasan terhadap nonverbal communication. Terjadi coding yang salah. 10. Bahasa pria dan bahasa wanita merupakan bahasa yang dipengaruhi oleh gender? 95 Jawaban: pria yang to the point dan wanita yang permisif. Jelas ini karena gender. Jika bertanya pada pria, maka jawabannya adalah jawaban khas pria. Jika bertanya pada wanita maka jawabannya adalah jawaban khas wanita. 11. Bagaimana seharusnya para tokoh wanita dalam film He’s Just Not That Into You agar keluar dari miscommunication? Jawaban: segala sesuatu harus dikomunikasikan dengan jelas dan mengatakan apa yang memang ingin dikatakan. Dan satu hal, jika wanita meneruskan tafsiran ‘karangan’nya akan perkataan pria, ini akan menjadi fatal terhadap dirinya sendiri, makin menyakiti diri sendiri dan memperburuk hubungan yang terjalin. 12. Terakhir, kesimpulan terhadap bahasa wanita dalam film He’s Just Not That Into You Jawaban: bahasa mereka tidak realistis. Pembohongan terhadap diri sendiri! Wanita melebih-lebihkan hal yang sederhana. B. PEMBAHASAN Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan berdasarkan data primer yakni film He’s Just Not That Into You yang merupakan objek penelitian dan data sekunder yakni, essay, summary, review, artikel majalah dan wawancara dengan coder serta psikolog. Berikut adalah jawaban atas rumusan masalah penelitian. 96 DAFTAR GAMBAR PRIA WANITA Gambar 4.1 Anak lelaki kecil menggunakan bahasa verbal yang kasar. Perkataannya mengartikan bahwa ia benarbenar tidak menyukai anak perempuan. Gigi kecil menggunakan bahasa verbal yang halus. Ia menggambarkan tipikal anak perempuan yang sebagaimana mestinya bertindak dan bertutur kata yang halus. Ibu Gigi kecil menggunakan bahasa permisif (diperhalus) guna menenangkan hati Gigi. Sang ibu melakukan pembohongan terhadap kenyataan bahwa anak lelaki tersebut memang tidak menyukai Gigi. Para teman wanita sang tokoh menggunakan bahasa yang permisif. Teman wanita sang tokoh menggunakan bahasa yang permisif. Teman wanita sang tokoh menggunakan bahasa yang permisif. Teman wanita sang tokoh menggunakan bahasa yang Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 97 permisif. Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Conor menggunakan bahasa yang lugas dengan mengatakan secara jelas setiap jawaban atas pertanyaan Gigi. Gambar 4.11 Conor menggunakan bahasa formal dengan mengucapkan ‘it was really nice meeting you’. Gambar 4.12 Teman wanita sang tokoh menggunakan bahasa yang permisif. Teman wanita sang tokoh menggunakan bahasa yang permisif. Para teman wanita sang tokoh menggunakan bahasa yang permisif. Gigi menggunakan bahasa yang sifatnya lemah seperti menggunakan kata ‘if’ dalam pembicaraannya. ‘if’ merupakan penunjuk oleh kelemahan bahasa yang digunakan wanita karena ‘if’ mengandung kekurangpercayaan diri yang ditunjukkan oleh wanita. Gigi juga menggunakan bahasa formal seperti yang diucapkan Conor. Gigi menyatakan kepercayaan diri dengan 98 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar 4.15 dan 4.16 mangatakan pada Janine bahwa kencannya berhasil dan yakin bahwa Conor akan melanjutkan hubungan mereka. Di sini Gigi melakukan karangan berdasarkan hasil interpretasinya. Janine menggunakan bahasa permisif untuk menghentikan obsesi Gigi pada telepon genggamnya. Janine mengatakan jawaban yang terdengar wajar agar Gigi mengerti. Janine menganalisa dialog antara Conor dan Gigi ketika mereka berkencan sebagai wujud kepedulian Janine agar Gigi jangan sampai mengalami salah interpretasi. Janine melakukan analisa bukan berdasarkan karangan yang dibuatnya melainkan bersifat logis. Beth, teman Gigi dan Janine memperlihatkan sisi feminis dengan mengatakan bahwa 99 Gambar 4.17 dan 4.18 Ben menggunakan bahasa to the point. Ben ingin menunjukkan kepada Anna bahwa ia pria baik-baik yang tidak ingin memanfaatkan perkenalannya dengan Anna. Gambar 4.20, 4.21, dan 4.22 Neil mendominasi komunikasi yang terjalin antara dia dan Beth. Ben menunjukkan sisi arogansi pria dan membuat Beth lemah atas aspirasinya sendiri. Alex Gambar 4.23 dan 4.24 menggunakan bahasa yang lugas dan langsung pada Gambar 4.19 jika wanita menginginkan sebuah hubungan maka tidak perlu bagi mereka untuk menunggu melainkan langsung bertindak. Gigi menelepon Conor sebagai perwujudan perkataan Beth. Gigi menggunakan bahasa yang tegas dan percaya diri. 100 sasaran. Terlihat dominasi maskulinitas dalam bahasa yang digunakannya. Gigi mengutarakan poin-poin yang diyakininya bahwa Conor memiliki ketertarikan padanya. Gigi memperlihatkan bahwa wanita takut akan penolakan dan mencoba membuat kemungkinan dan kebalikan dari apa yang dikatakan Alex. Gigi menafsirkan perkataan dan sikap Alex sesuai dengan karangannya yang mana ia dapat dari hasil perbincangan dengan teman wanitanya, menonton film, dan pengalamannya di masa lalu. Gambar 4.25, 4.26, dan 4.27 Gambar 4.28 dan 4.29 Alex memberikan jawaban mutlak mengapa Conor tidak akan menghubungi Gigi karena di satu sisi ia adalah sahabat baik Conor dan sisi lain ia adalah pria yang 101 taat pada gendernya di mana pria melakukan segala sesuatu dengan cara pria yakni to the point. Beth menggunakan bahasa yang tegas, langsung, dan berterus terang ketika meminta Neil untuk menikahinya Gambar 4.30 Gambar 4.31 Gambar 4.32 Gambar 4.33 Neil adalah muted group yang mana ia tidak mampu menampik perkataan Beth. Neil adalah pria, dan pria sulit mengungkapkan aspirasinya jika menyangkut hubungan pribadi (asmara). Tokoh pria mengatakan apa yang memang ingin dikatakannya. Gigi ingin mendengar apa yang ingin didengarnya. Mary berkomunikasi secara virtual dengan teman kencannya dengan melalui bermacam jenis teknologi komunikasi. Mary dapat dengan mudah memercayai 102 perkataan teman kencannya tanpa pernah bertemu dengannya sebelumnya. Mary mengalami krisis percaya diri. Gambar 4.34 Gambar 4.35 Gambar 4.36 Conor tidak dapat membaca tanda-tanda yang ditunjukkan Anna atas sikapnya. Wanita dapat dengan mudah memahami pria karena wanita terkesan terlalu terobsesi akan sebuah hubungan sedangkan pria tidak dapat mengerti perkataan dan sikap wanita yang cenderung berubah-ubah. Gigi menunjukkan kepercayaan dirinya sekali lagi bahwa kali ini dia benar-benar yakin bahwa Alex menyukainya. Mary menunjukkan teman kencan virtualnya dan yakin pada perkataan pria tersebut di dunia maya 103 Gambar 4.37 dan 4.38 Ben langsung mengatakan bahwa ia pernah tidur dengan wanita lain. Gambar 4.39 dan 4.40 Gambar 4.41 dan 4.42 Gambar 4.43 dan 4.44 Gambar 4.45 Janine menunjukkan sikap perfeksionisnya dengan mengatakan bahwa ia tidak menyukai kepura-puraan. Gigi mengatakan pada kedua tamu pesta bahwa ia meyakini sinyal yang diberikan Alex adalah tanda bahwa Alex menyukainya. Gigi langsung mengatakan pada Alex bahwa ia yakin Alex menyukainya dan karena itu Alex mau menjadi teman curahan hatinya. Alex tidak percaya mengapa Gigi bisa mengarang khayalannya atas sikap dan perkataan Alex padanya. Janine mendatangi suaminya Ben untuk rujuk. Janine sepanjang film yakin bahwa ia dan suminya baik-baik saja dengan berkomunikasi seadanya sampai ia mendengar langsung bahwa suaminya berselingkuh. 104 Gambar 4.46 Gambar 4.47 dan 4.48 Neil mendatangi rumah orang tua Beth dan langsung bertindak layaknya pengurus rumah tangga. Neil menunjukkan sisi maskulinitas yang mana bahwa pria tidak perlu mengatakan I Love You melainkan dengan melakukan aksi yang menunjukkan ia mencintai pasangannya. Alex berubah seperti Gigi yang terobsesi pada telepon genggamnya. Alex menunjukkan sisi pria yang menggunakan emosinya di mana pria cenderung berperilaku layaknya wanita untuk kasuskasus tertentu terutama mengenai hubungan asmara. 105 Dan berdasarkan teori-teori serta hasil wawancara dengan psikolog maka dapat disimpulkan bahwa pria dan wanita berkomunikasi verbal dengan cara yang berbeda. PRIA 1. Menggunakan bahasa verbal yang bersifat tegas dan to the point. 2. Karena budaya patriarki sejak zaman nenek moyang, pria tetap pada dominasinya sebagai mahluk paling berkuasa dan berpengaruh dalam segala aspek berkehidupan. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perkataan mereka yang meredam aspirasi wanita. 3. Pria lebih cenderung melakukan tindakan daripada mengatakan apa yang diinginkan atau dilakukannya. WANITA 1. Menggunakan bahasa verbal yang berbelit-belit, terlalu berlebihan, dan yang sifatnya permisif (diperhalus) sebagai wujud penolakan atas kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. 2. Wanita cenderung tidak percaya diri oleh karena itu mereka menciptakan bahasa mereka sendiri atas hasil dari menerjemahkan dominasi bahasa pria. 3. Wanita cenderung aktif berbicara akan apa yang diinginkannya dan dilakukannya. Seperti yang ditunjukkan pada bagian hasil penelitian untuk data primer yakni objek film berjudul He’s Just Not That Into You, berikut penjelasannya. a. Tokoh Alex diceritakan sebagai tokoh yang percaya diri di mana segala apa yang dikatakannya dan dilakukannya adalah hasil dari gender. Alex adalah perwujudan pria yang menganut budaya patriarki. 106 b. Tokoh Ben adalah tokoh yang berusaha menjadi pria baik-baik dengan menjaga sikap dan perkataannya kepada sang istri. c. Tokoh Neil merupakan sosok pria egois yang hanya ingin menang sendiri. Ia berbagi hidup dengan Beth tanpa mau berbagi status yang jelas dengan wanita yang sudah tinggal seatap dengannya selama tujuh tahun. Neil memperlihatkan dominasinya terhadap Beth. d. Tokoh Conor justru sedikit berbeda. Ia terkesan lembek dan kurang percaya diri. Hal ini ditunjukkan dengan sikapnya yang kurang tegas dalam menunjukkan perasaannya pada Anna. e. Tokoh Gigi merupakan sosok wanita over confident, berlebihan dalam segala hal, dan tidak konsisten. Ia digambarkan sebagai tokoh yang bermasalah dalam menjalani hubungan percintaan karena kurang dapat memahami sinyal dan perkataan verbal pria yang disukainya. f. Tokoh Janine adalah sosok wanita berwatak keras dan perfeksionis, ini ditunjukkan atas dominasinya terhadap sang suami Ben. g. Tokoh Beth digambarkan sabar dan tenang. Beth bukan tipe yang memaksakan kehendak sampai ia menyadari ia pun menginginkan pernikahan layaknya pasangan yang lain yang ketika mereka jatuh cinta, mereka pun menikah. h. Tokoh Anna adalah sosok wanita biasa yang jatuh cinta pada pria beristri di mana di satu sisi ia sangat disukai oleh Conor. Anna 107 berusaha merebut Ben dari Janine setelah mendengar perkataan sahabatnya, Mary bahwa terkadang jodoh yang ditakdirkan datang tidak tepat waktu termasuk ketika Anna bertemu dengan pria yang telah menikah, Ben. i. Tokoh Mary adalah wanita yang selama ini hanya menjalani hubungan dan berkomunikasi verbal dengan pria yang disukainya melalui teknologi komunikasi. Ia tidak pernah bercakap secara langsung (tatap muka) dengan semua pria yang dikencaninya. Mary dan para pria virtualnya layaknya menjalani kencan buta. 108 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari hasil analisis film He’s Just Not That Into You, dapat disimpulkan bahwa: 1. Para pria dalam film He’s Just Not That Into You berkomunikasi verbal dengan menggunakan bahasa yang to-thepoint, tegas, dan logis. Sedangkan para wanita dalam film He’s Just Not That Into You adalah muted group yang berkomunikasi verbal dengan menggunakan bahasa permisif (diperhalus), terlalu berbelit-belit, berlebihan, dan tidak jelas. 2. Terjadi kesalahan penafsiran oleh para wanita dalam film He’s Just Not That Into You karena pengalaman di masa lalu yang salah dan cenderung membuat ‘karangan’ atas pesan verbal pria. Bahasa yang permisif dan kesensitivan yang tinggi membuat wanita susah untuk berterus terang terhadap apa yang ingin dikatakannya. B. SARAN 1. Segala sesuatu harus dikomunikasikan dengan jelas. Jangan cepat mengambil kesimpulan. Dan berdamai dengan kenyataan. Artinya bahwa baik dalam berkehidupan sosial dan masyarakat, komunikasi harus dijalin dengan baik bukan hanya dari segi kuantitas melainkan kulitas. Menjaga tutur kata dan memahami isi komunikasi adalah faktor berhasilnya hubungan yang baik. Jika 109 ingin mengatakan ‘ya’ katakan ‘ya’ dan jika ingin mengatakan ‘tidak’ katakana ‘tidak’. Ketegasan bagian dari kejujuran. Dalam kasus para wanita dalam film He’s Just Not That Into You, mereka hanya sebenarnya ingin mengatakan bahwa ‘he’s just not that into you’ dengan cara yang diperhalus. Wanita yang terlalu sensitif cenderung mengatakan sesuatu dengan tidak wajar dan berlebihan. Hindari hal yang bukan pada intinya dan berfokus pada masalah yang menjadi inti utama. 2. Komunikasi dilakukan secara verbal oleh pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari menyangkut segala macam aspek sosial. Terkhusus kepada hubungan pribadi, wanita tidak perlu berlebihan dan memaksakan kehendaknya sesuai alur yang dilakukan gendernya melainkan berusaha menyeimbangi cara pria melakukannya. Terlebih dalam berkomunikasi verbal, bahasa yang digunakan pria jangan diterjemahkan ke dalam bahasa pria setelah diterjemahkan dalam bahasa wanita dengan cara mengarang atau membuat kemungkinan yang bisa membuat kesalahan dan menjadikan komunikasi gagal. Pria jangan diukur dari apa yang dikatakannya tetapi dari apa yang diperlihatkannya lewat sikap. Dan berilah kesempatan pada diri sendiri untuk dapat menafsirkan perkataan pria dengan baik. Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Dan berpikirlah dengan logis.