MARKET PERSPECTIVE Wealth Management Newsletter | Januari - Februari 2017 POLICY SHIFTING EFFECT Perubahan kebijakan dari monetary ke fiscal policy, menjadikan ekonomi AS terus tumbuh GREETINGS Nasabah yang terhormat, Terima kasih atas kepercayaan Anda menjadi Nasabah setia Commonwealth Bank. Pada edisi e-Market Perspective kali ini, Kami mengulas mengenai pergerakan pasar saham dan pasar obligasi selama bulan Januari 2017 yang tidak mengalami banyak pergerakan dikarenakan investor masih bersikap wait and see menunggu dilantiknya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45. Dengan Donald Trump resmi menjabat sebagai presiden, maka arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat akan bergeser ke arah kebijakan fiskal dari kebijakan moneter seperti yang selalu digemborkan pada setiap kampanyenya. Pertanyaan terbesarnya adalah, apakah kebijakan fiskal yang akan diterapkan akan membawa dampak yang signifikan bagi perekonomian Amerika Serikat? Kami mencoba mengulas dan membandingkan dengan negara maju yang pernah menggunakan kebijakan fiskal untuk mendorong perlambatan ekonomi negaranya. Selain itu Kami juga mengulas potensi pasar saham Indonesia di tengah momentum program percepatan infrastruktur serta perbaikan kondisi makroekonomi yang telah dilakukan sepanjang tahun 2016. Jika Anda membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai strategi dan rekomendasi produk-produk investasi, Anda dapat menghubungi Relationship Manager Kami di cabang terdekat. Dewi Rustini Director of Retail Banking Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Januari - Februari 2017 | 1 EQUITY MARKET REVIEW JANUARI 2017 Seperti lazimnya yang terjadi pada bulan Desember dimana umumnya ditutup positif, maka di 2016 kemarin IHSG juga kembali ditutup positif di 5.297. Hingga pertengahan bulan Desember IHSG masih berada dalam teritori negatif, namun menjelang akhir bulan IHSG mengalami kenaikan yang signifikan dari 5.027 ke 5.302 hanya dalam 3 hari bursa. Namun dari awal hingga pertengahan Januari IHSG masih berjalan di tempat, investor asing melakukan netsell hingga pertengahan bulan. Dengan fokus menunggu inagurasi Donald Trump sebagai Presiden pada 20 Januari, para investor cenderung untuk menurunkan risiko dan melihat kepastian kebijakan yang akan dilakukan Donald Trump sebelum kembali berinvestasi di emerging market. Bila pada awalnya kekhawatiran pasar diakibatkan rencana Presiden terpilih AS melakukan fiskal stimulus yang dapat memicu kenaikan suku bunga acuan lebih cepat, maka saat ini dengan baiknya rilis data wage growth dan ditambah core inflation yang telah mencapai 2,2% menunjukkan ekonomi AS siap menghadapi kenaikan suku bunga. Janet Yellen, Gubernur The Fed dalam pidatonya menyatakan bahwa tidak ada risiko jangka pendek pada ekonomi AS. Data ekonomi seperti inflasi yang memenuhi target dan pengangguran yang rendah menunjukkan waktu yang tepat untuk kembali menaikan suku bunga. Namun Yellen juga menekankan tidak diperlukannya menaikkan suku bunga secara agresif, dan tetap berpegang pada data ekonomi sebagai indikatornya. Beberapa pejabat The Fed lainnya juga telah menekankan pentingnya untuk menaikkan suku bunga agar dapat mencegah ekonomi AS menjadi overheating, terlihat dari rasio hutang korporasi sendiri terus meningkat sejak krisis 2008. Per akhir Januari IHSG turun tipis -0,05% YTD, MSCI World Index naik +2,35% YTD, dan MSCI Emerging Market Index naik +5,45% YTD. Sementara investor asing telah keluar dari pasar saham sebesar Rp -966 miliar. Angka Pengangguran AS Turun dan Inflasi Mencapai Target The Fed Sumber: Bloomberg Mengawali 2017 dengan menghadapi risiko kenaikan suku bunga dan ketidakpastian kebijakan presiden baru AS Donald Trump membuat pasar khawatir untuk investasi di emerging market. Fokus Donald Trump yang mengedepankan America First, akan menekan para produsen bila ingin menjual produknya di AS, di mana mereka juga harus memproduksinya di wilayah AS. Ini mewakili suara dari masyarakat AS yang menginginkan untuk mengambil kembali lapangan kerja yang hilang dan memberikan added value pada perekonomiannya. Namun di sisi lain jika dilihat dari sudut pandang global dan harga, kebijakan ini nampak tidak efisien mengingat mahalnya biaya tenaga kerja di negara maju. Mayoritas lembaga riset memandang saat ini cukup berisiko untuk berinvestasi di emerging market, terutama yang memiliki high exposure terhadap AS. Namun terdapat beberapa negara emerging market yang tetap dipandang menarik karena lebih mengandalkan konsumsi domestik daripada ekspor pada perekonomiannya, seperti Indonesia. Di akhir Januari IHSG ditutup di level 5.294,1 belum banyak bergerak dari penutupan 2016 di 5.296,71 dibandingkan bursa regional lainnya yang rata-rata telah mengalami kenaikan sekitar 2% YTD. Beberapa pelaku pasar menilai risiko Pilkada serempak pada 15 Februari nanti menjadi pertimbangan untuk kembali masuk ke IHSG, dan cenderung melakukan wait & see. Namun sebaliknya di pasar obligasi, bila pada awalnya dikhawatirkan akan lebih tertekan karena sangat sensitif terhadap kenaikan yield UST, maka terhitung dari awal tahun yield SUN 10 tahun justru telah mengalami penurunan sebesar 32 basis. BOND MARKET REVIEW JANUARI 2017 Mengawali tahun 2017 pasar obligasi menguat ditandai dengan kenaikan Bloomberg Indonesia Local Sovereign Index (BINDO Index) ke level 198,95 dari 195,4 atau naik sebesar 1,82% dari akhir Desember tahun lalu. Ini tercermin dari penurunan yield SBN 10 tahun menjadi 7,65% dari 7,97% di akhir tahun lalu. Katalis positif dari dalam negeri, datang dari data inflasi Desember sebesar 0,42% MoM atau berada di level 3,02% YoY sepanjang 2016. Inflasi ini merupakan inflasi terendah dalam 7 tahun terakhir dan berada dalam range target Bank Indonesia. Selain itu, neraca perdagangan Desember yang mencatatkan surplus yang lebih tinggi dari bulan sebelumnya yakni $ 992 juta serta tidak dipertahankannya BI 7-days Reverse Repo Rate di level 4,75% oleh Bank Indonesia ikut mendorong kenaikan harga obligasi. Dari global sikap hawkish datang dari pejabat The Fed. Gubernur The Fed Janet Yellen berkomentar bahwa ekonomi AS telah mendekati target yang ditetapkan The Fed yakni tingkat inflasi dan tingkat pengangguran serta mengindikasikan bahwa FFR akan kembali pada tingkat yang normal dalam beberapa tahun ke depan. Hal yang 2 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Januari - Februari 2017 sama diutarakan oleh Presiden The Fed San Fransisco, John Williams bahwa ekonomi AS tumbuh solid dan mencapai target The Fed, jadi wajar jika The Fed akan menaikan FFR ke arah yang normal. Sementara pidato perdana dan pidato inagurasi Presiden Trump tidak merinci langkah kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh Trump terkait rencana ekspansi fiskal dan proteksi perdagangan. Namun di minggu pertamanya, Trump langsung menandatangani penghentian program kesehatan “Obamacare” dan pernyataan formal penarikan diri AS dari kesepakatan perdagangan bebas Trans-Pacific Partnership (TPP), meninjau ulang kesepakatan NAFTA serta perintah pembangunan tembok di perbatasan dengan Meksiko untuk menekan imigran gelap. Sumber: Media Pidato Trump ditanggapi positif oleh pelaku pasar ditandai dengan penurunan yield UST 10 tahun ke level 2,40% dari 2,44% meskipun pernyataan The Fed yang cenderung hawkish, ini sedikit menunjukkan bahwa pergerakan pasar obligasi tahun ini akan lebih didorong oleh pernyataan politik dari pemimpin Negara ketimbang penyataan kebijakan moneter dari Bank Sentral seperti yang terjadi pada tahun lalu. Setelah resmi menjadi Presiden AS, Donald Trump kembali menyatakan ekspektasinya terhadap AS. Trump menginginkan ekonomi AS dapat kembali tumbuh 4% YoY dengan ditopang oleh stimulus fiskal, dengan menciptakan 25 juta lapangan kerja baru dan mengembalikan lapangan kerja yang selama ini beralih ke emerging market. Ambisi Donald Trump untuk menaikan pertumbuhan ekonomi menjadi 4% YoY merupakan tantangan besar dalam jangka pendek ini. Seperti diketahui pertumbuhan pinjaman nasional (loan growth) merupakan indikator yang kerap digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan ekonomi atau PDB. Sementara pada 2017 ini The Fed berencana menaikkan suku bunga sebanyak 2 hingga 3 kali. Kenaikan suku bunga acuan ini tentu memberi dampak akan naiknya bunga pinjaman dan akan menurunkan permintaan untuk pinjaman. Dibutuhkan waktu untuk menyesuaikan dampak dari kenaikan suku bunga pinjaman, terlebih dengan melihat rasio hutang korporasi AS saat ini sudah cukup tinggi. GLOBAL MARKET OUTLOOK Shifting From Monetary to Fiscal Policy Mengawali 2017 pasar kembali dihadapkan pada ketidakpastian seperti yang terjadi pada awal tahun lalu. Pada awal 2016 pasar global terkoreksi cukup dalam akibat kekhawatiran potensi resesi global yang pada akhirnya hanya merupakan kekhawatiran berlebihan. Bila tahun lalu potensi resesi global menjadi fokus utama maka saat ini kekhawatiran pasar berpusat pada rencana kebijakan pemerintah AS dan potensi kenaikan suku bunga yang dapat mengganggu kestabilan pasar keuangan global. Rencana Trump lainnya yang menjadi perdebatan publik adalah rencananya melakukan stimulus fiskal dengan memangkas pajak korporasi, individu serta melebarkan defisit fiskal untuk meningkatkan belanja infrastruktur. Publik mempertanyakan efektivitas dari rencana Donald Trump meningkatkan belanja infrastruktur ketika angka pengangguran di AS saat ini hanya 4,70%. Kondisi ini berbeda jauh ketika Ronald Reagan menjadi Presiden dimana masa itu angka pengangguran mencapai 7,50% sehingga investasi yang dilakukan jauh lebih efektif dan memberikan multiplier effect yang besar. Bila dilihat dari rencana ekspansi fiskal dan rencana menaikkan suku bunga sesungguhnya menunjukkan ekonomi AS telah pulih dan merupakan berita positif untuk ekonomi global. Namun sayangnya saat ini pasar keuangan global sangat bergantung pada “hot money” yang dapat ditarik sewaktu-waktu, termasuk pada emerging market. Dimulainya pemerintahan baru di AS juga menunjukkan perubahan kebijakan dari yang sebelumnya mengandalkan kebijakan moneter melalui The Fed, maka saat ini mulai melakukan shifting pada kebijakan fiskal. Idealnya kebijakan yang dilakukan AS saat ini menjadi seimbang, ketika kebijakan moneter mulai diperketat dengan kenaikan suku bunga, maka melalui pemerintah AS dilakukan fiskal stimulus dengan rencana memangkas pajak dan memperlebar fiskal defisit yang berarti meningkatkan porsi hutang. Namun Presiden Donald Trump yang baru resmi dilantik 20 januari lalu memiliki rencana agresif dalam melakukan fiskal stimulus dan memproteksi ekonominya, America First. US Unemployment rate on Reagan & Trump Period 8 7 6 5 4 7.5 3 4.7 2 1 0 Ronald Reagan 1981 Sumber : Bloomberg diolah oleh Commonwealth Donald Trump 2017 Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Januari - Februari 2017 | 3 daya manusia dan infrastruktur yang menunjang, untuk itu diperlukan investasi yang besar dan cost of fund yang rendah sehingga menjadi lebih kompetitif.” Increasing Japan Government Debt not Enough to Boost GDP Growth Japan GDP Annual Growth Rate Japan Government Debt T. 10 105 8 100 95 6 90 4 85 2 80 75 0 Tidak perlu menjadi presiden untuk mengetahui apa yang dibutuhkan Indonesia untuk keluar dari middle income trap. Tiongkok telah menjadi contoh bagaimana investasi besarbesaran di infrastuktur dan kualitas sumber daya manusia telah membawa negara tersebut menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia saat ini. 70 -2 1988 1990 1992 1994 1996 65 1998 Sumber : Trading Economic Berbeda dengan kasus Brexit dimana keluarnya anggota Uni Eropa merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah terjadi sehingga membuat para investor menerkanerka bagaimana dampak riil dari langkah politik ini. Sementara rencana Trump melebarkan defisit fiskal, dengan memangkas pajak untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi sudah pernah terjadi sebelumnya. Sejak tahun 1990 ekonomi Jepang mengalami perlambatan yang menandakan berakhirnya periode super growth mereka. Pemerintah Jepang sendiri saat itu telah berusaha keras mengembalikan growth dengan inflasi sebagai indikatornya, dengan cara melebarkan defisit hutang. Namun faktanya hingga 27 tahun berselang Jepang tidak pernah mampu kembali menikmati periode super growth seperti sebelum tahun 1990. Dampak riil yang signifikan terjadi justru terlihat dengan meroketnya hutang hingga sekarang mencapai level 234% dari PDB. Bila diperhatikan pola yang terjadi antara AS setelah krisis subprime mortgage mirip dengan yang terjadi di Jepang sejak tahun 90an. Mengetahui apa yang dibutuhkan Indonesia saat ini membuat pasar menyambut positif peningkatan anggaran infrastuktur yang dilakukan pemerintah setiap tahunnya. Pemerintahan Jokowi tetap konsisten memprioritaskan pertumbuhan kualitas infrastruktur dengan sasaran tahun ini antara lain pembangunan 836 km jalan, pembangunan serta pengembangan fasilitas pelabuhan di 61 lokasi, pembangunan baru atau lanjutan 13 bandara dan lainnya. Saat ini pemerintah kembali memecahkan rekor dengan menganggarkan dana Rp 380 triliun dan alokasi yang meningkat menjadi 2,8% dari APBN. Bahkan dengan peningkatan sebesar ini masih jauh dari cukup untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara lain. Peringkat Infrastruktur LPI LPI Customs Infrastructure Rank Score International Logistics Trading Timeless shipments competence & Tracing Country Year Germany 2016 1 4.23 4.12 4.44 3.86 4.28 4.27 4.45 Netherlands 2016 4 4.19 4.12 4.29 3.94 4.22 4.17 4.41 4.27 4.00 2016 3 4.20 3.92 4.25 4.38 4.45 Memang betul terdapat perbedaan mendasar antara AS dan Jepang. AS merupakan negara yang memiliki kekuatan konsumsi luar biasa besar sehingga tidak memiliki masalah dengan defisit perdagangan, setidaknya hingga Trump menjadi presiden. Dari faktor demografi pun juga terdapat perbedaan dimana usia median penduduk AS masih jauh lebih muda daripada Jepang walaupun tidak semuda ratarata penduduk ASEAN. Luxembourg 2016 2 4.22 3.90 4.24 4.24 4.01 4.12 4.80 United Kingdom 2016 8 4.07 3.98 4.21 3.77 4.05 4.13 4.33 Singapore 2016 5 4.14 4.18 4.20 3.96 4.09 4.05 4.40 Switzerland 2016 11 3.99 3.88 4.19 3.69 3.95 4.04 4.24 United States 2016 10 3.99 3.75 4.15 3.65 4.01 4.20 4.25 Canada 2016 14 Dengan melihat fakta yang terjadi di Jepang sejak tahun 1990, maka untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi AS stabil di level 4% akan sangat besar tantangannya. Hong Kong 2016 China Sweden 3.93 3.95 4.14 3.56 3.90 4.10 4.01 9 4.07 3.94 4.10 4.05 4.00 4.03 4.29 Japan 2016 12 3.97 3.85 3.85 3.69 3.99 4.03 4.21 Indonesia 2016 63 2.98 2.69 2.69 2.90 3.00 3.19 3.19 Sumber: World Bank EQUITY MARKET OUTLOOK Keluar Dari Middle Income Trap Seandainya pakar ekonomi dunia ditanyakan apakah yang dibutuhkan negara berkembang seperti Indonesia untuk naik kelas menjadi negara maju? Maka jawabannya kurang lebih sama “diperlukan peningkatan kualitas barang dan jasa, untuk itu diperlukan peningkatan kualitas sumber Momentum Untuk Program Percepatan Infrastruktur Walaupun tidak pernah hingga menyentuh batas defisit fiskal sebesar 3%, namun rasio hutang Indonesia perlahanlahan meningkat, terutama sejak periode pemerintahan Jokowi. Peningkatan hutang ini merupakan langkah positif yang dilakukan pemerintah karena digunakan untuk meningkatkan produktivitas yakni belanja infrastruktur. 4 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Januari - Februari 2017 Momentum untuk meningkatkan belanja infrastruktur saat ini juga sangat tepat karena didukung beberapa faktor. Pertama, jelas dengan kondisi infrastruktur Indonesia yang memprihatinkan maka peningkatan kualitas wajib dikejar. Bila di pulau Jawa saja masih sangat kurang, apalagi yang di luar pulau Jawa. Kedua, walaupun perlahan-lahan kembali normal namun tren suku bunga rendah akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi global yang melambat harus dapat dimanfaatkan semaksimalkan mungkin oleh pemerintah untuk melakukan program percepatan infrastruktur. Umumnya proyek infrastruktur 60-70% pendanaannya menggunakan hutang, maka tren bunga rendah global saat ini seperti bless in disguise. sudah di peringkat 7 di dunia berdasarkan World Bank, maka investasi besar yang akan digelontorkan tidaklah akan memberikan multiplier effect sebesar yang dilakukan Indonesia. Rasio Hutang Jangka Pendek Terhadap Devisa Asia external debt and savings rate External debt (US$bn) Short-term debt % of FX reserves 2014 2015 3Q16 3Q16 1997 2015 147 1,780 1,416 1,432 (20) 21 28 40 49 Ketiga, rasio hutang Indonesia masih sangat rendah. Dengan disiplin maksimal defisit fiskal 3% rasio hutang Indonesia saat ini sangat rendah di bawah 30% dan merupakan yang terendah di Asia. India 94 458 479 484 6 18 22 26 32 Indonesia 136 293 310 325 11 188 38 30 33 Korea 162 424 395 400 (6) 285 30 32 35 Malaysia 47 214 194 209 (2) 70 83 39 29 Keempat, consumer confidence Indonesia saat ini telah pulih. Dengan pulihnya consumer confidence maka masyarakat memiliki willingness yang lebih tinggi untuk melakukan konsumsi. Dengan semakin besarnya dana yang yang dicemplungkan pemerintah ke ekonomi dan perputaran uang yang lebih cepat karena meningkatnya consumer confidence maka akan memberikan added value meningkatnya ekonomi Indonesia. Philippines 51 78 77 77 (1) 135 16 20 35 Taiwan 37 178 159 172 (3) 30 36 28 35 Thailand 110 142 131 139 (2) 141 31 34 34 Asia XJ 784 3,567 3,163 3,238 (9) 72 30 31 35 % Rptn Government infra spending % of GDP (RHS) 2.8 350 3 2.8 2.6 2.5 2.4 300 2.2 250 200 1.8 150 1.6 1.6 100 1.5 1.6 1.4 50 2 1.9 1.8 1.8 1.6 1.5 1.4 1.3 1.2 1 0 6 0 20 7 0 20 8 0 20 9 0 20 0 1 20 1 1 20 2 1 20 3 1 20 4 1 20 5 1 20 F 16 Sumber: Pemerintah, CLSA Kekhawatiran Investor Global Pada Indonesia Terus meningkatnya Belanja Infrastruktur 400 1997 Gross savings % of GNI China 450 1997 % chg 4Q143Q16 F 17 Sumber: Pemerintah, CLSA Dengan rasio return on investment yang rendah maka investasi infrastruktur memberikan waktu break even point yang lebih lama. Periode suku bunga rendah seperti saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan program peningkatan kualitas infrastruktur. Langkah yang serupa saat ini juga dilakukan oleh AS. Donald Trump menjadikan program peningkatan infrastruktur melalui ekspansi fiskal sebagai salah satu program andalannya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah dengan ekspansi fiskal berarti meningkatkan hutang pemerintah AS, sementara rasio hutang saat ini sudah jauh lebih tinggi daripada ketika periode subprime mortgage di 2008. Sementara dengan kualitas infrastruktur AS saat ini Kekhawatiran investor global pada Indonesia selama ini pada current account deficit diakibatkan tingginya impor. Current account deficit ini juga yang membuat Indonesia masuk dalam fragile five pada 2013 walaupun saat ini telah keluar. Dengan positifnya harga batubara dan CPO yang sangat tinggi saat ini membuat kebutuhan USD dapat ditutupi penerimaan USD melalui ekspor dua komoditi tersebut. Dilihat dari rasio hutang jangka pendek dibandingkan cadangan devisa, Indonesia saat ini juga telah berada pada kondisi yang jauh lebih sehat dibandingkan pada tahun 1998. Bila dulu rasio hutang jangka pendek terhadap cadangan devisa mencapai 188% maka saat ini telah turun drastis menjadi 36%. Data Ekonomi Menunjukkan 2017 Akan Menjadi Tahun Yang Lebih Baik Indonesia di 2017 ini menunjukkan situasi ekonomi yang sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu. Data consumer confidence meningkat, konsumsi semen meningkat tipis, penjualan ritel juga meningkat baik untuk kalangan bawah ataupun menengah. Pertumbuhan pinjaman (loan growth) yang lazim digunakan sebagai indikator pertumbuhan PDB juga telah meningkat selama tiga kuartal terakhir. Membaiknya rasio-rasio Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Januari - Februari 2017 | 5 tersebut merupakan katalis kuat pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2017 akan lebih baik dibandingkan di 2016. Bila memperkirakan berapa idealnya level IHSG di 2017, maka valuasi yang dapat digunakan adalah dengan membandingkan laba bersih dari IHSG (P/E) atau nilai buku IHSG (P/BV). Pada umumnya investor menggunakan rasio laba bersih sebagai perbandingan, namun pada situasi ekonomi yang melambat laba bersih dapat jatuh di bawah nilai rata-ratanya dan tidak dapat merefleksikan nilai IHSG yang sesungguhnya. Menggunakan rasio nilai buku IHSG dapat lebih stabil, karena perubahan nilai aset tidak sefluktuatif laba bersih. Berdasarkan rasio nilai buku 5 tahun terakhir maka IHSG saat ini diperdagangkan di bawah rata-rata dan berada di standar deviasi -1. Semakin pulihnya laba bersih IHSG dapat dipastikan akan membawa IHSG setidaknya diperdagangkan di nilai buku rata-ratanya yaitu 2,61x. Dengan nilai buku saat ini 2.238 maka IHSG berpotensi menyentuh 5.841. pasar selalu menunggu pernyataan tentang rencana kebijakan ekonomi yang digembor-gemborkan selama kampanyenya. Di tengah masih adanya ketidakpastian ekonomi global, yield obligasi Indonesia ternyata berhasil turun sepanjang bulan Januari. Salah satu hal yang mempengaruhi penurunan yield adalah terus menurunnya risiko Indonesia di mata investor asing yang ditandai dengan penurunan angka Credit Default Swap (CDS). Secara historikal dari beberapa goncangan eksternal atau internal ekonomi yang pernah terjadi memperlihatkan bahwa volatilitas yang terjadi di pasar obligasi Indonesia hanya berlangsung sesaat. Tren penurunan CDS ini menunjukkan bahwa perbaikan makroekonomi menurunkan risiko untuk Indonesia dimana saat ini CDS berada di level yang relatif rendah. Credit Default Swap 10 Tahun Indonesia IHSG Menarik Dilihat Dari Nilai Buku Sumber : Bloomberg diolah oleh Commonwealth Sumber: Bloomberg BOND MARKET OUTLOOK Uncertainty Attract Short Tenure Bond Pergeseran sentimen kemungkinan besar akan terjadi pada tahun ini, dari sebelumnya pasar obligasi lebih digerakan oleh pernyataan bank sentral dari berbagai Negara terkait kebijakan moneternya, bergeser menjadi digerakan oleh pernyataan dari pemimpin-pemimpin Negara developed market terutama terkait kebijakan ekonomi AS. Ini tercermin ketika Donald Trump menyatakan tidak ingin dolar terlalu kuat berbarengan dengan peryataan pandangan hawkish Yellen, direspon dengan penurunan yield UST. Semenjak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada November dan resmi dilantik pada 20 Januari Pasar obligasi masih diminati oleh para investor meskipun bayang-bayang kenaikan FFR sudah di depan mata. Namun para investor institusi yang tetap harus menempatkan dananya di instrumen obilgasi, seperti dana pensiun dan asuransi jiwa meskipun pasar kurang mendukung, melakukan pengaturan ulang portofolionya dengan menurunkan durasi portofolio untuk mereduksi volatilitas. Ini tercermin dari penurunan yield tenor pendek yang jauh lebih besar dibanding tenor panjang. Investor domestik mendominasi permintaan di pasar obligasi pada bulan Januari dengan bank menjadi pembeli terbesar obligasi yang diterbitkan pemerintah. Tercermin dari penambahan kepemilikan bank sebesar Rp 103 triliun hingga 27 Januari. Selain itu, investor asing juga terlihat kembali minati obligasi Indonesia di awal tahun ini dengan membukukan pembelian bersih sebesar Rp 20,27 triliun. Walaupun tercatat lebih rendah dibanding dengan dari bulan Januari pada tahun sebelumnya yakni Rp 19.8 triliun, namun minat asing tampak sudah kembali setelah melakukan sell-off pada November tahun lalu. 6 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Januari - Februari 2017 Minat investor yang tinggi juga tampak terlihat dari permintaan yang masuk pada lelang sepanjang bulan Januari. Meskipun demikian peminat peserta lelang lebih banyak tertuju pada seri SPN 3 bulan dan SPN 12 bulan. Ini sejalan dengan langkah pemerintah yang merencanakan untuk memperbanyak penerbitan SPN 3 bulan yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan manajemen kas pemerintah dan memperdalam pasar obligasi untuk menjadikan SPN 3 bulan lebih ditekankan sebagai acuan. Yield Curve SBN Sementara risiko dari domestik, pilkada serentak yang akan diselenggarakan pada pertengahan Februari mendatang menjadi ujian bagi Indonesia memastikan pemilihan dapat berjalan dengan aman. Terlebih dengan demo besarbesaran yang terjadi belum lama ini. Rendahnya penerimaan pajak di tengah kebutuhan dana yang besar untuk belanja pemerintah akan memperlebar defisit anggaran, yang memicu meningkatnya supply obligasi di pasar. Risiko capital outflow akan menghantui pasar keuangan di tahun ini. Harus diakui bahwa porsi kepemilikan investor asing di pasar saham maupun obligasi relatif besar. Dengan membaiknya kondisi ekonomi AS maka memperbesar tekanan outflow untuk keluar dari emerging market yang dapat memberikan tekanan baik di pasar saham maupun obligasi. REKOMENDASI INVESTASI Sumber: Bloomberg RISKS TO WATCH Resminya Donald Trump menjadi presiden pada 20 Januari kemarin bukan berarti uncertainty telah selesai. Hal yang paling dinantikan adalah akan seperti apa gaya kepresidenan Trump, kebijakan apa yang akan dilakukan. Hanya dalam beberapa hari bekerja sebagai presiden Trump telah membuktikan ucapannya membatalkan perjanjian TPP dan mengecewakan negara-negara yang menjadi anggotanya. Dari global, pemilihan presiden dan perdana menteri yang akan diselenggarakan Perancis dan Jerman pada tahun ini dapat menjadi risiko politik terbesar akan kesatuan Uni Eropa dan dapat memberikan risiko sistemik mengingat besarnya ekonomi Uni Eropa. Semakin banyaknya simpatisan pendukung partai yang menginginkan untuk keluar dari Uni Eropa membuat risiko semakin meningkat. Dengan ekonomi AS telah menunjukkan pemulihan dan rencana stimulus fiskal Donald Trump membuat The Fed berpotensi menaikkan suku bunga secara lebih agresif di 2017 untuk menyesuaikan dengan angka inflasi yang saat ini berada dikisaran 1,5%. Kenaikan suku bunga yang terlalu agresif dapat menganggu kestabilan pasar finansial seperti yang terjadi di 2015. Pada pasar Saham, hingga akhir Januari IHSG masih flat, belum banyak bergerak ketika yield obligasi justru telah turun 32 basis terhitung dari awal tahun. Terdapat beberapa alasan seperti risiko politik dari pilkada atau valuasi IHSG yang sudah premium membuat investor asing lebih memfokuskan investasi di negara lain saat ini. Kami memandang ini merupakan kesempatan bagi para investor domestik untuk meningkatkan investasinya di reksa dana saham. Telah dipangkasnya suku bunga sebesar 150 basis dan beberapa data ekonomi yang membaik memberikan indikasi IHSG bahwa akan tumbuh lebih baik dari 2016. Ditambah bila di pertengahan tahun ini Indonesia mendapatkan status investment grade dari S&P. Secara jangka panjang Kami masih tetap bullish pada equity dan menaikan rekomendasi aset alokasi menjadi 70% dari total portofolio. Pada pasar obligasi, tantangan yang dihadapi tahun ini adalah potensi lebih agresifnya The Fed untuk menaikan FFR guna menyeimbangkan naiknya inflasi AS. Ini akan memicu kenaikan yield obligasi Indonesia terutama yang berdenominasi dolar AS. Meskipun diproyeksi Bank Indonesia tidak akan melakukan pemotongan suku bunga sepanjang tahun ini namun permintaan terhadap obligasi domestik masih akan tinggi ditopang oleh kebutuhan investor domestik, khususnya dari Institusi Keuangan Non Bank (IKNB) untuk memenuhi kewajibannya terkait minimum investasi di SBN. Dengan mempertimbangkan masih adanya ketidakpastian ekonomi global, Kami merekomendasikan untuk menurunkan durasi portofolio untuk mereduksi risiko volatilitas. Diproyeksi pasar obligasi masih dapat memberikan return positif tahun ini, meskipun akan lebih kecil dari tahun lalu. Dengan demikian Kami merekomendasikan penurunan alokasi menjadi 30% dari total portofolio. Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Januari - Februari 2017 | 7 ANALISA VALAS Di awal tahun 2017 ini pergerakan USD banyak diwarnai dengan kebijakan-kebijakan Trump yang cukup mengundang banyak kritik antara lain penarikan diri dari perjanjian dagang Trans pasifik sampai ke masalah peraturan imigrasi yang melarang imigran masuk dari 7 negara mayoritas muslim. Kebijakan-kebijakan ini yang berpotensi membuat investor kembali memburu aset aman dan menghindari aset beresiko. Pada bulan januari ini pergerakan USD kembali tertekan setelah Presiden AS Donald Trump dan para penasihatnya menyinggung masalah kebijakan mata uang dari beberapa rekan dagang utama AS. Kondisi seperti ini meningkatkan asumsi dan kecemasan di market bahwa Pemerintah US sedang bersiap untuk melakukan devaluasi mata uang USD. USD/IDR Pergerakan USD/IDR hingga akhir Januari 2016 tergolong cukup stabil dengan range antara 13230 – 13495 dengan kecenderungan USD melemah ditengah ketidakpastian mengenai kebijakan Trump terutama yang saat ini sedang dibahas yaitu mengenai masalah imigran. keluarnya kebijakan imigrasi Trump yang membatasi masuknya imigrasi dari tujuh negara mayoritas muslim memicu protes luas di AS dan dapat menghasilkan risiko bagi perdagangan global. Sementara itu dari kondisi lokal pemerintah dan BI sedang memikirkan langkah-langkah untuk menekan inflasi, ini menunjukkan sinyal-sinyal semakin tingginya kekhawatiran terhadap kenaikannya di 2017 – BI memperkirakan outlook inflasi bisa akan cenderung naik diatas 4% YoY di 2017. Inflasi yang naik terlalu cepat juga berpotensi menyebabkan tekanan depresiasi rupiah di masa depan dan ini juga bisa membuat bank sentral untuk menyesuaikan suku bunga ke level yang lebih tinggi. Diperkirakan nilai tukar Rupiah akan berada di rentang 13,250 – 13,500 pada kisaran bulan Februari ini. AUD/USD Pada bulan Januari ini AUD bergerak cenderung menguat signifikan dengan range 0.7165 – 0.7610, RBA masih diprediksi akan mempertahankan suku bunga di level terendah di 1,50%. Dalam pernyataannya, RBA akan fokus dengan sektor tenaga kerja domestik yang menjadi indikator umum dari pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) Australia. Pertumbuhan tenaga kerja hanya bertumbuh sebesar 13.5K dan level pengganguran dirilis naik di 5,8% dari sebelumnya di 5,7%, di lain sisi neraca perdagangan dirilis cukup positif dengan surplus AUD 1.2 miliar. Hal ini memberikan indikasi ke market bahwa suku bunga masih bisa bertahan di level sekarang paling tidak sampai pertengahan tahun 2017. Untuk jangka waktu pendek AUD masih cenderung berpotensi kembali melemah terhadap mata uang lainnya dikarenakan kebijakan ekonomi Trump dan prospek kenaikan suku bunga US untuk tahun ini masih cukup menyita perhatian market. Diperkirakan AUD/USD akan cenderung bergerak dengan rentang 0.7350 – 0.7620 pada kurun waktu bulan Februari 2017. EUR/USD Nilai tukar Euro terhadap USD bergerak signifikan dengan range 1.0340 – 1.0810 di bulan Januari, dipicu oleh prediksi hutang Yunani yang dikeluarkan oleh IMF berpotensi melonjak signifikan di tahun 2030, bahkan hingga beberapa kali lipat dari PDB yang dihasilkan. Lonjakan hutang tersebut sangat mungkin sekali terjadi apabila yunani tidak melakukan reformasi yang berarti dalam program hutangnya. Disamping itu isu kemungkinan Yunani meninggalkan Uni Eropa seperti yang dilakukan Inggris mulai diangkat kembali, akibat deadlock pembicaraan antara PM Yunani dengan European Stability Mechanism (ESM) untuk mengucurkan dana bantuan. Sementara itu dari kondisi ekonomi Zona Euro sendiri indeks harga konsumen Zona Euro tumbuh pada kecepatan tahunan 1,8% di bulan Januari, melampaui estimasi kenaikan 1,6% dalam jajak pendapat Reuters. Sementara pertumbuhan ekonomi Zona Euro dilaporkan berakselerasi di kuartal terakhir tahun lalu. Data awal memperlihatkan GDP Zona Euro tumbuh 0,5% di kuartal ke-4 setelah berekspansi 0,4% di kuartal sebelumnya. Untuk jangka pendek diperkirakan EUR/USD akan cenderung bergerak dalam rentang 1.0500 – 1.0850 pada kurun waktu bulan Februari 2017. 8 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Januari - Februari 2017 GBP/USD Poundsterling kembali bergerak signifikan di bulan Desember ini dengan range 1.1985 – 1.2660 disebabkan oleh fokus market terhadap hasil sidang Mahkamah agung inggris yang menghasilkan kesepakatan bahwa pemerintah harus mendapatkan persetujuan parlemen dalam pengajuan resmi Brexit. Sidang mahkamah juga menghasilkan kesepakatan bahwa proses keluar Inggris dari Uni Eropa (UE) tidak membutuhkan izin dari Irlandia, Skotlandia, dan Wales menyebabkan GBP kembali tertekan. Ditambah lagi prediksi beberapa analis yang menilai bahwa keikutsertaan parlemen dalam pengajuan Pasal 50 tidak akan mengubah rencana Perdana Menteri (PM) Theresa May. Hal ini tentu ada dasarnya mengingat mayoritas anggota parlemen berasal dari partai Konservatif pimpinan PM May. Diperkirakan GBP/USD akan cenderung bergerak dalam rentang 1.2260 – 1.2670 pada kurun waktu bulan Februari 2017. USD/JPY USD/JPY masih bergerak sangat fluktuatif pada bulan Januari, JPY kembali menguat terbatas dengan range 112.30 – 118.60 di bulan Januari ini disebabkan oleh beberapa kebijakan Trump antara lain masalah imigrasi dan penarikan diri dari perdagangan trans pasifik membuat investor kembali memburu aset safe haven menyebabkan JPY kembali menguat. BoJ juga memberikan indikasi akan tetap berkomitmen menggunakan suku bunga dan pembelian aset sebagai alat kebijakan utama untuk menghidupkan kembali perekonomian. Diperkirakan USD/JPY akan cenderung bergerak dengan rentang 111.80 - 115.30 pada bulan Februari 2017. RECOMMENDATION EUR/USD GBP/USD AUD/USD Expected buying level 13.250 - 13.300 USD/IDR 1.0550 - 1.0660 1.2300 - 1.2350 0.7350 - 0.7400 112.00 - 112.50 Expected selling level 13.500 - 13.550 1.0800 - 1.0850 1.2600 - 1.2650 0.7600 - 0.7650 115.00 - 115.50 Long profit taking 13.500 and above 1.0800 and above 1.2600 and above 0.7600 and above 115.00 and above Short profit taking 13.300 and below 1.0660 and below 1.2350 and below 0.7400 and below 112.50 and below Long cut loss 13.150 - 13.200 1.0450 - 1.0500 1.2200 - 1.2250 0.7250 - 0.7300 111.00 - 111.50 Short cut loss 13.600 - 13.650 1.0900 - 1.0950 1.2700 - 1.2750 0.7700 - 0.7750 116.00 - 116.50 Entry Point Profit Taking Cut Loss *Data di atas hanya bersifat indikatif dan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung kondisi pasar. USD/JPY DISCLAIMERS Kecuali dinyatakan lain, semua data bersumber dari berita media massa, dan tidak diterbitkan oleh PT Bank Commonwealth (PTBC). PTBC harus dijamin untuk dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk tetapi tidak terbatas pada penuntutan hukum oleh pihak ketiga. PTBC beserta direkturnya, karyawannya dan perwakilannya dalam Lampiran ini selanjutnya bersama-sama disebut sebagai “Grup”. Laporan ini diterbitkan semata-mata untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai suatu ajakan atau penawaran untuk membeli efek atau instrumen keuangan. Laporan ini telah disusun tanpa mempertimbangkan tujuan, situasi keuangan dan kapasitas untuk menanggung kerugian, pengetahuan, pengalaman atau kebutuhan orang-orang tertentu yang mungkin menerima laporan ini. Tidak ada anggota dari Grup yang melakukan atau harus melakukan penilaian kelayakan atau penyesuaian laporan untuk penerima laporan ini yang karenanya tidak mendapat manfaat dari perlindungan peraturan dalam hal ini. Laporan ini bukan nasihat atau petunjuk. Semua penerima laporan ini harus, sebelum bertindak atas dasar informasi dalam laporan ini, mempertimbangkan kewajaran/kelayakan dan kesesuaian informasi, dengan memperhatikan tujuan-tujuan mereka sendiri, situasi keuangan dan kebutuhan, dan jika perlu mencari profesional yang tepat, memperhatikan kondisi valuta asing atau nasihat keuangan tentang isi laporan ini sebelum membuat keputusan investasi. Kami percaya bahwa informasi dalam laporan ini adalah benar dan setiap pendapat, kesimpulan atau rekomendasi yang cukup telah diadakan atau dibuat, berdasarkan informasi yang tersedia pada saat kompilasi, tetapi tidak ada pernyataan atau jaminan, baik tersurat atau tersirat, yang dibuat atau disediakan untuk akurasi, kehandalan atau kelengkapan setiap pernyataan yang dibuat dalam laporan ini. Setiap pendapat, kesimpulan atau rekomendasi yang ditetapkan dalam laporan ini dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan dan mungkin berbeda atau bertentangan dengan, kesimpulan, pendapat atau rekomendasi yang diungkapkan oleh Grup di tempat lain. Kami tidak berkewajiban untuk, dan tidak, memberitahukan perkembangan terkini atau harus terus mengikuti informasi terkini yang terdapat dalam laporan ini. Grup tidak menerima tanggung jawab untuk setiap kerugian atau kerusakan yang timbul akibat dari penggunaan seluruh atau setiap bagian dari laporan ini. Setiap penilaian, proyeksidan prakiraan yang terkandung dalam laporan ini didasarkan pada sejumlah asumsi dan perkiraan dan tunduk pada kontinjensi dan ketidakpastian. Asumsi dan perkiraan yang berbeda dapat mengakibatkan hasil material yang berbeda pula. Grup tidak mewakili atau menjamin bahwa salah satu proyeksi penilaian atau prakiraan, atau salah satu dasar asumsi atau perkiraan, akan dipenuhi. Kinerja masa lalu bukan merupakan indikator yang dapat diandalkan untuk kinerja masa depan. Grup tidak menjamin kinerja dari produk investasi atau pembayaran kembali modal dengan produk yang didistribusikan oleh PTBC. Investasi dalam produk ini bukan merupakan simpanan atau kewajiban lainnya dari Grup atau anak perusahaannya dan setiap jenis produk investasi memiliki risiko investasi termasuk hilangnya pendapatan dan modal yang diinvestasikan. Contoh yang digunakan dalam komunikasi ini hanya untuk ilustrasi. Semua materi yang disajikan dalam laporan ini, kecuali bila ditentukan lain, berada di bawah hak cipta Grup. Tak satu pun dari materi, maupun isinya, maupun salinannya, dapat diubah dengan cara apapun, ditransmisikan ke, disalin atau didistribusikan kepada pihak lain, tanpa izin tertulis dari perusahaan terkait yang menjadi bagian dalam Grup. Grup, berikut agennya, asosiasinya dan kliennya memiliki atau telah memiliki posisi panjang atau pendek pada efek atau instrumen keuangan lainnya yang disebut di sini, dan dapat setiap saat melakukan pembelian dan/atau penjualan terhadap kepentingan atau surat berharga dalam kapasitasnya sebagai prinsipal atau agen, termasuk menjual atau membeli dari klien atas dasar pokok dan dapat terlibat dalam transaksi yang tidak konsisten dengan laporan ini. Silakan melihat website kami di www.commbank.co.id untuk informasi lebih lanjut. Jika Anda ingin berbicara dengan seseorang mengenai instrumen keuangan yang dijelaskan dalam laporan ini, silakan hubungi Call Centre kami di 15000 30 atau email kami di [email protected]. 10 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Januari - Februari 2017