BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiasi Ultraviolet Sejak ditemukan sinar X oleh Rontgent dan sinar ultraviolet orang mulai menyelidiki pengaruhnya terhadap bakteri atau mikroba yang lain. Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang 210-310 nm, sinar X, sinar γ (gamma), sinar β (beta), sinar α dan sinar netron dapat dihasilkan oleh radiasi gelombang elektromagnetik. Penyerapan energi dari radiasi dengan sinar ultraviolet dapat menimbulkan dua hal penting dalam bakteri yaitu kematian sel atau terjadi mutasi (Wanto & Arief, 1981). Ultraviolet digunakan untuk penelitian genetika, keperluan medis, juga untuk sterilisasi karena dapat membunuh bakteri. Ultraviolet banyak ditemukan pada sinar matahari, tapi ultraviolet ini dipancarkan keluar oleh ozon di atmosfer (Snustad & Gardner, 1984). Radiasi ultraviolet tidak memiliki cukup energi untuk menginduksi ionisasi seperti sinar X. Namun ultraviolet mempunyai kemampuan sebagai mutagen dan pada dosis yang tinggi dapat membunuh sel (Lewis, 1997). Interaksi ultraviolet dengan materi genetik tergantung pada panjang gelombang. Penyerapan energi radiasi pada materi genetik melalui reaksi fotokimia. Pengaruh biologi dari radiasi ultraviolet tergantung panjang gelombang. Radiasi ini dapat menyebabkan kerusakan biologi yang dapat diperbaiki jika panjang gelombang rendah. Walaupun demikian, jika kerusakan yang ditimbulkan besar maka dapat terjadi mutasi permanen. Jika kerusakan terjadi pada gen regulator, kemungkinan menyebabkan karsinogenesis (Mertens & Hammersmith, 1995). Cahaya tampak dan sinar UV mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kelangsungan dan keefektifan transformasi DNA dari suatu spesies (Moat dan Foster, Universitas Sumatera Utara 1988). Sinar UV yang berlebihan justru akan mengganggu aktivitas DNA suatu spesies. Untuk dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai, suatu spesies dapat melakukan perubahan materi genetik atau melakukan proses mutasi sehingga fenotif yang muncul tidak lagi sama persis dengan fenotif semula (Tamarin, 1995). Sinar UV sangat berpengaruh terhadap perkembangan sel. Sel merupakan satuan hidup terkecil yang dapat menderita akibat radiasi. Tanggapan sel atau jaringan terhadap radiasi berbeda-beda, baik yang menyangkut perubahan derajat ketahanan hidup, mutasi ataupun karsinogen (Soedjono, 2003). 2.2 Mutasi Mutasi ada dua macam yaitu mutasi kromosom dan mutasi gen. Mutasi kromosom terjadi pada proses meiosis, akibat mutasi gamet mempunyai kromosom tidak lengkap atau kromosomnya berlebih. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam sifat-sifatnya. Pada mutasi gen terjadi perubahan gen dari kromosom. Hal ini terjadi juga di alam, di mana alam semesta menerima radiasi dari sinar matahari selama bertahun-tahun dan bahkan berabad-abad, maka terjadi jugalah mutasi alamiah. Seperti telah diketahui DNA adalah penyusun kromosom dan kromosom adalah penentu dari sifat-sifat sesuatu makhluk hidup (Wanto & Arief, 1981). Kelainan DNA disebabkan oleh radiasi dapat menyebabkan kelainan somatik maupun genetik, tergantung pada jenis sel yang bersangkutan. Perubahan kromosom terjadi pada siklus sel terutama pada fase metafase meiosis. Oleh karena itu sel-sel yang relatif lebih sering membelah diri berpeluang lebih besar menjadi rusak oleh penyinaran. Kelainan kromosom dan kepekaan sel melibatkan inti, merupakan kerusakan utama oleh radiasi. Pada dosis rendah, tidak teramati terjadinya perubahan materi genetik bila sinar hanya melalui sitoplasma, dan jika hanya melalui inti maka akan kerap kali berubah dengan dosis yang tinggi. Jadi penyinaran UV ini merupakan rangsangan yang penting yang dapat merusak sel (Ackerman, 1988). Universitas Sumatera Utara Mikroba menanggapi keadaan lingkungan dan caranya tergantung pada keadaan lingkungan. Bila keadaan lingkungan baik ia akan tumbuh, kalau keadaan tidak baik dia akan merespon dengan cara bertahan (survive) dengan tidak berubah, bertahan dengan perubahan genetika yang disebut mutasi dan mati. Mutasi yang bertahan dengan tidak berubah ini dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya: membentuk spora, mendiamkan diri, menghemat makanan, merusakkan zat yang racun dan membentuk membran, di mana racun tidak dapat masuk ke dalam sel (Wanto & Arief, 1981). DNA menyerap sinar ultraviolet dengan kuat, penyerapan maksimal DNA terletak pada panjang gelombang 260 nm. Sel dengan cepat terbunuh akibat penyerapan sinar ultraviolet, dan angka laju mutasi yang tinggi terjadi antara sel-sel yang bertahan hidup. Apabila cairan DNA yang diiradiasi dengan sinar ultraviolet, akan terjadi dua jenis perubahan kimia. Pertama-tama ada pembentukan ikatan kovalen antara residu-residu pirimidin yang berdekatan satu sama lain pada untaian yang sama dan membentuk dimmer pirimidin. Kegiatan mutagenik sinar ultraviolet dapat dihubungkan dengan pembentukan dimmer primidin. Pentingnya dimmer pirmidin sebagai sebab mutasi yang diinduksi sinar ultraviolet dibuktikan dengan perlakuan yang mengarah kepada pengeluaran atau pemotongan dimmer mengembalikan sebagian terbesar pengaruh mutagenik sinar ultraviolet. Jika sel-sel bakteri yang diperlakukan dengan sinar ultraviolet segera diiradiasi, misalnya dengan sinar yang tampak dengan kisaran panjang gelombang 300 – 400 nm, maka frekuensi mutasi dan kematian sel kedua-duanya akan sangat menurun, kejadian yang disebut fotoreaktivasi. Proses ini ternyata disebabkan oleh aktifasi oleh sinar dengan panjang gelombang tertentu, yang mengaktifasi enzim yang menghidrolisis dimmer pirimidin (Stanier et al., 1984). Dalam genetika, bentuk normal dari suatu organism disebut strain liar. Perubahan dari strain liar ke benbtuk lain disebut mutasi awal, sebaliknya perubahan kebentuk awal disebut mutasi balik. Mutasi merupakan fenomena penting. Tanpa mutasi semua gen muncul hanya satu bentuk, tidak ada alel sehingga analisis genetika tidak memungkinkan untuk diteliti (Harahap, 1994). Universitas Sumatera Utara DNA dapat dirusak oleh ultraviolet pada panjang gelombang 254-260 nm, sehingga ultraviolet dapat menginduksi secara langsung akibat penyerapan oleh purin dan pirimidin. Pirimidin umumnya sangat kuat menyerap pada 254 nm dan menjadi sangat reaktif. Beberapa indikasi lain adalah pembentukan timin dimmer (Lewis, 1997). 2.3 Saccharomyces sp. Istilah khamir umumnya digunakan untuk menyebut bentuk-bentuk yang menyerupai jamur dari kelompok Ascomycetes yang tidak berfilamen tetapi uniseluler dengan bentuk ovoid atau spheroid. Khamir ada yang bermanfaat dan ada pula yang membahayakan manusia. Fermentasi khamir banyak digunakan dalam pembuatan roti, bir, wine, vinegar, dan sebagainya. Khamir yang tidak diinginkan adalah yang ada pada makanan dan menyebabkan kerusakan pada saurkraut, juice buah, sirup, molase, madu, jelly, daging, dan sebagainya (Hidayat et al., 2006). Yeast adalah salah satu mikroorganisme yang termasuk dalam golongan fungi yang dibedakan bentuknya dari mould (kapang) karena berbentuk uniseluler. Reproduksi vegetatif pada khamir terutama dengan cara pertunasan. Sebagai sel tunggal, yeast tumbuh dan berkembang biak lebih cepat dibanding dengan mould yang tumbuh dengan pembentukan filamen. Yeast sangat mudah dibedakan dengan mikroorganisme yang lain misalnya dengan bakteri, yeast mempunyai ukuran sel yang lebih besar dan morfologi yang berbeda. Sedangkan dengan protozoa, yeast mempunyai dinding sel yang lebih kuat serta tidak melakukan photosintesis bila dibandingkan dengan ganggang atau algae. Dibandingkan dengan kapang dalam pemecahan bahan komponen kimia yeast lebih efektif memecahnya dan lebih luas permukaan serta volume hasilnya lebih banyak. Yeast dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat metabolismenya yaitu bersifat fermentatif dan oksidatif. Jenis fermentatif dapat melakukan fermentasi alkohol yaitu memecah gula (glukosa) menjadi alkohol dan gas contohnya pada produk roti. Sedangkan oksidatif (respirasi) maka akan menghasilkan karbon dioksida dan air. Keduanya bagi khamir adalah dipergunakan untuk energi walaupun energi yang dihasilkan melalui respirasi lebih tinggi dari yang melalui fermentasi (Fardiaz, 1992). Universitas Sumatera Utara Pertumbuhan khamir pada media bahan pangan tersebut sangat tergantung pada sifat fisiologisnya yaitu pada umumnya khamir tumbuh pada kondisi dengan persediaan cukup air artinya tidak yang berlebihan. Dibandingkan dengan bakteri, khamir dapat tumbuh dalam larutan yang pekat misalnya larutan gula atau garam lebih juga menyukai suasana asam dan lebih bersifat menyukai adanya oksigen. Khamir juga tidak mati oleh adanya antibiotik dan beberapa khamir mempunyai sifat antimikroba sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan mould. Adanya sifat-sifat yang tahan pada lingkungan yang stress (garam, asam dan gula) maka dalam persaingannya dengan mikroba lain yeast lebih bisa hidup normal (Brown, 1990). Oleh karena itu pertumbuhan yeast yang liar sebagai kontaminan perlu diwaspadai dan dikontrol secara ketat sehingga produk-produk fermentasi yang dihasilkan tidak makin menjadi rusak. Di Indonesia dalam hal memproduksi makanan tradisional ataupun makanan fermentasi dengan menggunakan yeast masih belum begitu membudaya jika dibandingkan dengan penggunaan bakteri atau jamur seperti: Rhizopus spp., Aspergillus spp., Penicillium spp., Mucor spp. dan yang lainnya. Bahkan terlihat sangat tertinggal jauh dengan starter yang berasal dari kelompok bakteri asam laktat (BAL) “friendly bacteria” yang biasanya dipakai sebagai Probiotik. Probiotik adalah sekelompok mikroba hidup yang menguntungkan dan digunakan untuk mempengaruhi induk semang melalui perbaikan mikroorganisme dalam saluran pencernaan (Fuller, 1992). Khamir dapat memproduksi ataupun melakukan metabolisme pada asam-asam organik sehingga mengubah keasaman dan profil flavor dari suatu produk. Asam suksinat adalah termasuk asam karboksilat utama yang diproduksi oleh khamir selama proses fermentasi sampai menghasilkan hingga 2 g/L hal ini bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam produk fermentasi. Terdapat beberapa hasil yang sangat bervariasi di antara spesies khamir dalam produksi asam organik pada produk makanan ataupun minuman. Terlebih lagi kondisi lingkungan yang akan mempengaruhi konsentrasi asam asetat yang diproduksi oleh khamir. Sebagai contohnya adalah: bila bahan pangan pada temperatur yang rendah dan konsentrasi gula yang tinggi maka inokulasi dengan S. Universitas Sumatera Utara cerevisiae, D. hansenii akan meningkatkan produksi asam asetat, akan tetapi belum banyak diketahui pada jenis yeast yang lain (Berry & Watson, 1987; Fleet, 1992). 2.4 Fermentasi Alkohol Fermentasi dapat didefinisikan sebagai perubahan gradual oleh enzim beberapa bakteri, khamir dan jamur. Contoh perubahan kimia dari fermentasi meliputi pengasaman susu, dekomposisi pati dan gula menjadi alkohol dan karbon dioksida, serta oksidasi senyawa nitrogen organik. Industri fermentasi dalam pelaksanaan prosesnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu mikrobia, bahan dasar, sifat-sifat proses, pilot-plant, faktor sosial ekonomi (Hidayat et al., 2006). Alkohol dalam sehari-hari disebut dengan etanol. Alkohol industri atau spritus adalah alkohol untuk keperluan industri tidak dikenakan pajak tinggi dan biasa dicampur dengan methanol dan zat warna metilen biru. Sehingga berwarna untuk menandakan bahwa alkohol itu tidak boleh diminum. Alkohol yang dapat diminum dikenakan pajak tinggi. Sifat-sifat alkohol : berat molekul 46, kerapatan 0,791 gram/ ml pada 20°C, titik lebur -117,3°C, titik didih 78,3°C, titik nyala 372°C, batas keracunan 1000 btj, jenis mutu: kering (anhydrous), 95% dan denaturasi (Wanto & Arief, 1981). Jamur merupakan mikroba multiseluler yang banyak dimanfaatkan manusia dalam fermentasi. Dalam bidang fermentasi umumnya yang digunakan adalah jamur yang berbentuk hifa dan dikenal dengan sebutan jamur. Contohnya dalam pembuatan tempe, alkohol, angkak dan kecap. Sedang yang dibudidayakan untuk diambil badan buahnya dikenal sebagai cendawan, misalnya jamur tiram, jamur merang, jamur kuping dan sebagainya (Hidayat et al., 2006). Di antara mikroorganisme, etanol merupakan produk peragian gula yang paling tersebar luas. Bahkan pada tumbuh-tumbuhan dan banyak fungi pada kondisi anaerob terjadi penimbunan alkohol (etanol). Produsen utama alkohol ialah ragi terutama dari spesies Saccharomyces cereviceae. Ragi seperti juga kebanyakan fungi merupakan organisme anaerob, dalam lingkungan terisolasi dari semua yang udara, Universitas Sumatera Utara organisme ini meragikan karbohidrat menjadi etanol dan karbon dioksida. Juga pada beberapa bakteri anaerob dan anaerob fakultatif, pada peragian heksosa dan pentosa terjadi alkohol sebagai produk utama atau produk samping. Peragian glukosa menjadi etanol dan karbon dioksida menjadi etanol dan karbon dioksida oleh ragi Saccharomyces cereviceae terjadi melalui alur fruktosa difosfat. Transformasi piruvat didekarbosilasi menjadi asetaldehida oleh piruvat dekarboksilase dengan diikutsertakan tiamin pirofosfat, asetaldehida oleh alkohol dehidrogenase direduksi dengan NADH2 menjadi etanol (Schlegel, 1994). Alkohol merupakan bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu biasanya disebut dengan bioethanol. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bioethanol atau gasohol. Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi ethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku proses produksi bio-ethanol juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pertimbangan keekonomian pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan baku untuk memproduksi setiap liter ethanol/bio-ethanol (Kartika, 2000). Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung gas-gas antara lain CO2 (yang ditimbulkan dari pengubahan glucose menjadi ethanol/bio-ethanol) dan aldehid yang perlu dibersihkan. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35 persen volume, sehingga untuk memperoleh ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik, ethanol/bio-ethanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan (washing) CO2 dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih dari gas CO2). Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja, sehingga untuk memperoleh ethanol yang proses distilasi. Proses distilasi Universitas Sumatera Utara dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan rectifying column. Definisi kadar alkohol atau ethanol/bioethanol dalam % (persen) volume adalah “volume ethanol pada temperatur 15°C yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol pada temperatur tertentu (Wasito, 1981). Asam-asam organik dari produk fermentasi merupakan hasil hidrolisis asam lemak dan juga sebagai hasil aktivitas pertumbuhan bakteri. Penentuan kuantitatif asam organik pada produk fermentasi adalah penting untuk mempelajari kontribusi bagi aroma sebagian besar produk fermentasi, alasan gizi, dan sebagai indikator aktivitas bakteri (Bevilacqua & Califano, 1989). Asam-asam organik juga sering digunakan sebagai acidulants (bahan pengasam) yang dapat menurunkan pH. Sehingga pertumbuhan mikroba berbahaya pada produk fermentasi akan terhambat (Winarno, 1997). Pada prinsipnya reaksi dalam proses pembuatan alkohol dengan fermentasi adalah sebagai berikut: C6H12O6 2 C2H2O5 + CO2 jika digunakan disakarida seperti sakarosa, reaksinya adalah sebagai berikut, reaksi hidrólisis reaksi fermentasi sama seperti penggunaan monosakarida. C12H22O11 + H2O 2 C6H12O6 Khamir tidak dapat langsung menfermentasikan pati. Oleh karena itu tahap yang penting adalah proses sakarifikasi, yaitu perubahan pati menjadi maltosa dan glukosa dengan menggunakan enzim atau asam. Hasil alkohol ditentukan secara langsung dari banyaknya pati yang ada di dalam bahan atau asal isolat (Hidayat et al., 2006). Teknologi fermentasi merupakan salah satu cara pengolahan dan pengawetan makanan, baik secara konvensional maupun modern, dengan memanfaatkan mikroba baik langsung maupun tidak langsung. Dalam proses fermentasi, mikroba maupun enzim yang dihasilkan dapat menstimulir flavor yang spesifik, meningkatkan nilai cerna bahan pangan, menurunkan kandungan antigizi atau bahan lain yang tidak Universitas Sumatera Utara dikehendaki, dan dapat menghasilkan produk atau senyawa turunan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia). Dengan kata lain teknologi fermentasi dapat meningkatkan nilai guna dan nilai sosial ekonomi bahan pangan (Neech et al., 1985). Mikroba tersebar luas di alam, sehingga proses fermentasi dapat terjadi secara alami. Namun, fermentasi alami mempunyai beberapa kelemahan antara lain prosesnya tidak terkendali sehingga mutu produk yang dihasilkan tidak konstan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan ragi atau starter yang sesuai dengan bahan dan produk akhir yang diinginkan. Tempe merupakan salah satu produk fermentasi asli Indonesia yang banyak dikembangkan baik oleh peneliti dalam maupun luar negeri, sehingga dari proses fermentasi alami telah dikembangkan sampai proses modern untuk menghasilkan produk generasi lanjutan (Fardiaz, 1986). Sosis dikenal sebagai produk fermentasi dari Eropa, padahal produk sejenis sosis, yaitu urutan merupakan produk fermentasi daging tradisional asal Bali. Perbaikan mutu dengan pengendalian proses pengembangan starter serta modifikasi bahan baku untuk memperluas jangkauan konsumen dan pasar telah diteliti antara lain oleh Hermanianto dan Widowati. Fermentasi yang terjadi pada gula seperti contohnya: glukosa, fruktosa, sukrosa dan maltosa adalah sebagai reaksi metabolisme kunci dari sebagian besar yeast apabila dikulturkan dalam media yang kondisinya fakultatif anaerob. Hal ini juga disebabkan karena pada umumnya gula terdapat dalam makanan dan minuman sehingga pada kondisi yang seperti itu mudah terjadi proses fermentasi oleh yeast (Berry & Brown, 1987). 2.5 Fermentasi Durian Indonesia memiliki berbagai jenis varietas durian yang sangat beragam penampilannya, yang tersebar luas mulai dari Sumatera hingga Papua. Namun, dari sekian banyak daerah, durian ternyata hanya terpusat di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Durian lokal pada umumnya mempunyai tingkat adaptasi yang luas terhadap iklim, mulai dari daerah beriklim basah, sedang hingga kering. Kelebihan ini Universitas Sumatera Utara merupakan keunggulan karena masa berbuah durian menjadi panjang, sehingga durian dapat dipanen hampir sepanjang tahun. Jenis/varietas yang beragam juga akan mengurangi kemungkinan tanaman mati secara serentak akibat serangan hama dan penyakit (Balitbu, 2001). Pada fermentasi tempoyak dalam penelitian Ekowati (1998) terbentuk asamasam organik meliputi asam butirat 7,3% untuk substrat daging buah kuning dan 6,2% untuk substrat daging buah putih, asam laktat 1,6% (daging buah putih) dan 1,7% (daging buah kuning). Kadar asam asetat 0,34% untuk daging buah putih dan 0,27% untuk daging buah kuning, serta kadar asam malat dan sitrat kurang dari 0,01%. Substrat yang dapat digunakan untuk fermentasi dengan menggunakan khamir adalah gula, kandungan gula pada sari buah untuk pembuatan anggur umumnya bervariasi antara 12-25 %. Kadar gula yang baik untuk fermentasi adalah 16 %, hal ini bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan khamir pada awal fermentasi (Sai’d, 1987). Selama fermentasi alkohol, lemak dari sari buah akan dipecah oleh enzim lipase menjedi asam lemak yang dapat bereaksi dengan alkohol membentuk ester dan protein dari sari buah akan dipecah oleh enzim protease menjadi peptida dan juga asam amino (Muljohardjo, 1988). Durian (Durio zibethinus) Nilai khasiat per 100 g adalah karbohidrat 27.09 g, serat pangan 3.8 g, lemak 5.33 g, protein 1.47 g, air 65g, vitamin C 19.7 mg 33%, kalium 436 mg 9 %. Durian juga banyak mengandung vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin C, kalsium dan fosfor (USDA National Nutrient Database, 2008). Universitas Sumatera Utara