BAB II PRODUKSI BIOETANOL DARI SAMPAH ORGANIK MELALUI PRETREATMENT BIOLOGIS DAN FERMENTASI OLEH Saccharomyces cerevisiae A. Sampah Organik Menurut Rahman (2008), sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Berdasarkan sifatnya, sampah dibedakan menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik merupakan sampah yang terdiri dari bahan-bahan yang dapat terurai (degradable) seperti sisa makanan, daun-daun kering, sayuran dan sebagainya. Sedangkan sampah anorganik merupakan sampah yang terdiri dari bahan-bahan yang tidak mudah membusuk atau terurai (undegradable), seperti plastik wadah pembungkus makanan, kertas, plastik mainan, botol dan gelas minuman, kaleng, kayu, dan sebagainya. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan beberapa masalah lingkungan dan kesehatan. Adanya timbunan sampah dapat menimbulkan bau tidak sedap dan menurunkan estetika lingkungan. Selain itu timbunan sampah juga dapat menjadi tempat berkembang biaknya lalat dan mikroorganisme lain yang berperan sebagai vektor penyakit sehingga dapat menimbulkan masalah kesehatan. Oleh karena itu pengelolaan sampah dapat dilakukan secara preventive, antara lain dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Sampah organik terutama sampah sayuran dan buah-buahan umumnya 8 9 mengandung selulosa, karbohidrat, nutrien, lemak, air dan debu sehingga berpotensi untuk berkembang biaknya mikroorganisme dalam pembuatan bioetanol (Sutriyono, 2009). Penelitian mengenai sampah padat di Indonesia menunjukkan bahwa 70% merupakan sampah organik, dan diperkirakan hampir seluruh dari sampah tersebut dapat digunakan kembali (Pramono, 2004). B. Bioetanol Etanol atau etil alkohol yang di pasaran lebih dikenal sebagai alkohol merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH. Dalam kondisi kamar, etanol berwujud cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, mudah terbakar, mudah larut dalam air dan tembus cahaya. Etanol adalah senyawa organik golongan alkohol primer. Sifat fisik dan kimia etanol bergantung pada gugus hidroksil. Reaksi yang dapat terjadi pada etanol antara lain dehidrasi, dehidrogenasi, oksidasi, dan esterifikasi (Rizani, 2000). Etanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia yang berasal dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme, karena pembuatannya melibatkan proses biologis, produk etanol yang dihasilkan diberi nama bioetanol (Yudiarto, 2008). Etanol dapat diproduksi melalui fermentasi glukosa. Umumnya biokonversi glukosa menjadi etanol dilakukan dengan memanfaatkan ragi. Bioetanol merupakan sumber energi alternatif yang mempunyai prospek yang baik sebagai pengganti bahan bakar cair dan gasohol dengan bahan baku yang dapat diperbaharui. Pemanfaatan bioetanol sebagai bahan bakar bersifat 10 multi-guna karena pencampurannya dengan bensin dalam konsentrasi berapa pun dapat memberikan dampak yang positif. Pencampuran bioetanol absolute sebanyak 10% dengan bensin (90%), sering disebut gasohol E-10 yang merupakan singkatan dari gasoline (bensin) dan alkohol (Yudiarto, 2008). Beberapa substrat yang dapat difermentasikan menjadi bioetanol diantaranya adalah bahan bergula (sugary materials) seperti tebu dan sisa produknya (molase, bagase), gula bit, tapioka, kentang manis, sorghum manis. Molasses tebu digunakan besar-besaran di beberapa negara untuk memproduksi alkohol (Harahap, 2010). Selain itu, bahan-bahan berpati (starchy materials) juga dapat dimanfaatkan, diantaranya ubi kayu, jagung, sorgum biji, sagu, tapioka, maizena, barley, gandum, padi, dan kentang (Yudiarto & Djuma’ali, 2009). Substrat lain yang saat ini banyak diteliti adalah bahan-bahan lignoselulosa (lignosellulosic material). Sumber selulosa dan lignoselulosa berasal dari limbah hasil industri kehutanan dan pertanian (Riyanti, 2008). Menurut Hidayat (1995), lignoselulosa mengandung tiga komponen penyusun utama, yaitu selulosa (3050%-berat), hemiselulosa (15-35%-berat), dan lignin (13-30%-berat). Proses pembuatan bioetanol dari bahan lignoselulosa dalam persamaan kimia sederhana adalah sebagai berikut (Scheper, 2007) : Lignoselulosa ------Enzim sellulase--> Selobiosa dan Glukosa (C6H12O6) Selobiosa + H2O(aq) -----Enzim Sellobiase --> C6H12O6 (aq) + C6H12O6 (aq) C6H12O6 (aq) ---fermentasi-------> 2C2H5OH(aq) + 2 CO2 (g) 11 Adapun tahap-tahap dalam pembuatan bioetanol ini adalah sebagai berikut: 1. Fermentasi: Merupakan proses terjadinya dekomposisi gula menjadi alkohol dan karbondioksida. Proses fermentasi ini dimanfaatkan oleh para pembuat bir, roti, anggur, para ibu rumah tangga dan lain-lain. Alkohol dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbohidrat yang dapat difermentasi oleh khamir. 2. Destilasi: Merupakan proses pemurnian dengan cara memisahkan senyawa berdasarkan perbedaan titik didihnya. Destilasi juga merupakan metode operasi yang digunakan pada proses pemisahan suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan panas sebagai tenaga pemisah berdasarkan titik didih masing-masing komponen (Brown, 1987). 3. Dehidrasi: Yakni proses pemurnian dengan cara mengurangi kadar air bioetanol. C. Fermentasi Alkohol Fermentasi merupakan pengolahan substrat menggunakan peranan mikroba sehingga dihasilkan produk yang dikehendaki (alkohol). Fermentasi alkohol atau alkoholisasi adalah proses perubahan gula menjadi etanol dan CO2 oleh mikroba, terutama oleh khamir Saccharomyces cerevisiae. Karbohidrat akan dipecah dahulu menjadi gula sederhana yaitu dengan hidrolisa pati menjadi unitunit glukosa (Fardiaz, 1988: 46). Sumber karbon bagi S. cerevisiae biasanya sukrosa, glukosa, fruktosa, galaktosa, manosa dan maltosa (Judoamidjojo, 1992). 12 Dalam tahap pertama fermentasi terbentuk asam piruvat melalui jalur Embden Meyerhof Parnas (EMP) atau glikolisis dan setelah itu terjadi perubahan asam piruvat melalui dua tahap menjadi alkohol. Perubahan glukosa menjadi asam piruvat dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini: Gambar 2.1 Jalur Embden Meyerhof Parnas (EMP) (Sumber: http://classes.midlandstech.edu/carterp/courses/bio225/chap05/lecture4.htm) Menurut Schlegel (1994: 307), piruvat diubah menjadi etanol melalui dua tahap yaitu pertama, piruvat didekarboksilasi menjadi asetaldehid oleh piruvat dekarboksilase dengan melibatkan tiamin pirofosfat dan tahap kedua asetaldehid oleh alkohol dehidrogenase direduksi dengan NADH2 menjadi alkohol. Dalam buku Fessenden (1997) dijelaskan bahwa dari satu molekul glukosa akan terbentuk dua molekul alkohol dan karbondioksida, sehingga makin banyak 13 glukosa yang terdapat dalam substrat akan menghasilkan alkohol yang lebih banyak, jika disertai dengan kadar inokulum yang sesuai. Perubahan glukosa menjadi alkohol dapat dilihat pada. Gambar 2.2 di bawah ini: Gambar 2.2 Skema perubahan glukosa menjadi alkohol (Sumber: http://classes.midlandstech.edu/carterp/courses/bio225/chap05/lecture4.htm) Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses fermentasi etanol baik faktor dari dalam seperti mikroorganisme yang digunakan dalam proses fermentasi maupun faktor luar seperti kondisi lingkungan yang disesuaikan agar berjalan optimum. Proses fermentasi akan berjalan dengan baik jika didukung oleh keadaan lingkungan yang optimum serta inokulum yang baik pula. Judoamidjojo (1992: 110) mengemukakan bahwa kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh dan mensintesis produk pada suatu lingkungan 14 ditentukan oleh susunan genetik organisme tersebut. Selain itu, adanya penciptaan efek parameter lingkungan terhadap pertumbuhan sel dan pembentukan produk yang optimum, antara lain:. 1. Lama Fermentasi Lama fermentasi yang dibutuhkan dalam proses fermentasi adalah 2-3 hari (Astawan, 1991), waktu yang sesuai akan menghasilkan etanol yang optimum. Menurut Effendi (2002), semakin lama fermentasi kadar alkohol yang dihasilkan akan optimum dan akhirnya akan menurun. 2. Konsentrasi Inokulum Konsentrasi inokulum yang terlibat dalam fermantasi sangat mempengaruhi efektifitas penghasil produk. Jika konsentrasi inokulum yang digunakan terlalu sedikit maka proses fermentasi berjalan dengan lambat (Astawan dan Mita, 1991), sedangkan konsentrasi inokulum yang terlalu banyak akan mempengaruhi persaingan pengambilan nutrisi oleh khamir, sehingga sangat berpengaruh pada pertumbuhan khamir dan kadar alkohol yang dihasilkan. Semakin tinggi penambahan konsentrasi inokulum belum tentu menghasilkan kadar alkohol yang tinggi (Fardiaz, 1988). 3. Keasaman (pH) Sebagian besar organisme dapat berfungsi dengan baik dalam selang pH antara 3-4 unit pH. Karena sangat pentingnya pH, maka sebagian besar proses fermentasi dikendalikan dengan cara buffer atau suatu sistem pengendali pH. Khamir biasanya lebih senang dalam pH 3-6, kapang 3-7, dan sel-sel kariotik yang lebih tinggi 6,5-7,5 (Judoamidjojo, 1992:114). 15 2. Mikroba Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah etanol yang dihasilkan dari fermentasi adalah mikroorganisme dan media yang digunakan. Selain itu hal-hal yang perlu diperhatikan selama fermentasi adalah pemilihan khamir, konsentrasi nutrisi, keasaman, ada tidaknya oksigen dan suhu dari perasan substrat. Keberhasilan pengembangan proses fermentasi tergantung pada perolehan strain yang baik melalui seleksi dan mutasi. 3. Temperatur Pembentukan produk oleh mikroorganisme juga tergantung pada temperatur yang sama dengan pertumbuhannya. Tetapi temperatur optimum untuk pertumbuhan dan pembentukan produk tidak harus sama dan harus diamati secara terpisah (Judoamidjojo, 1992:113). Temperatur fermentasi sangat menentukan macam mikroba yang dominan. Pada suhu 10-30oC terbentuk etanol lebih banyak karena ragi bekerja optimal pada suhu itu. (Winarno,1984). 5. Makanan (nutrisi) Semua mikroorganisme memerlukan nutrien yang menyediakan energi biasanya diperoleh dari subtansi yang mengandung karbon. Dalam banyak keadaan bila konsentrasi nutrien semakin meningkat, maka suatu daerah penghambatan substrat akan terjadi. Dalam industri fermentasi dibutuhkan substrat yang murah, mudah tersedia dan efisien penggunaanya (Thontowi, 2007). Selulosa mulai banyak digunakan sebagai substrat 16 fermentasi karena mudah didapat dan harganya murah. Sumber selulosa pada umumnya dalam bentuk limbah, misalnya jerami, bonggol jagung, libah kayu dan sampah organik. Biasanya penggunaan selulosa sebagai sumber karbon tidak dapat langsung, tetapi harus mengalami hidrolisa terlebih dahulu secara kimia ataupun enzimatik. Glukosa yang dihasilkan dari hidrolisis selulosa dapat digunakan untuk memproduksi etanol (Fardiaz, 1988). D. Saccharomyces cerevisiae Saccharomyces cerevisiae merupakan organisme uniseluler yang bersifat mikroskopis dan disebut sebagai jasad sakarolitik, yaitu menggunakan gula sebagai sumber karbon untuk metabolisme (Alexopoulus dan Mims, 1979). Saccharomyces cerevisiae memiliki sel berbentuk ellipsoid atau silindris (Hidayat et al., 2006:21). Ukuran sel antara 5-20 mikron, biasanya 5-10 kali lebih besar dari ukuran bakteri dan merupakan mikroorganisme bersel tunggal, tidak bergerak sehingga tidak memiliki struktur tambahan di bagian luarnya seperti flagella (Buckle et al., 2007:95). Khamir ini bersifat nonpatogenik dan nontoksik, sehingga sejak dahulu banyak digunakan dalam berbagai proses fermentasi seperti pada pembuatan roti, asam laktat, dan alkohol (Thontowi et al., 2007: 253). Saccharomyces cerevisiae memerlukan kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhannya, yaitu nutrisi sebagai sumber energi terutama gula, pH optimum 4-5, temperatur optimum 28ºC-30ºC serta kebutuhan akan oksigen terutama pada awal pertumbuhan (Hidayat et al., 2006: 181). Saccharomyces cerevisiae merupakan organisme fakultatif anaerob yang dapat menggunakan baik sistem aerob maupun anaerob untuk memperoleh energi dari pemecahan glukosa. 17 Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan alkohol dalam jumlah yang besar (Elevri & Putra, 2006: 105). Klasifikasi S. cerevisiae adalah sebagai berikut (Barnes, 2008: 122): Kingdom : Fungi Division : Ascomycota Class : Hemiascomycetes Order : Endomycetales Family : Saccharomycetaceae Genus : Saccharomyces Species : Saccharomyces cerevisiae Gambar 2.3 Bentuk sel Saccharomyces cerevisiae (Perbesaran 1000x) (Sumber: Dokumentasi pribadi) Saccharomyces cerevisiae akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-MeyerhofParnas atau glikolisis. Asam piruvat, selanjutnya mengalami reaksi dekarboksilasi menjadi asetaldehid dan mengalami reaksi dehidrogenasi menjadi etanol (Schlegel, 1994: 307). 18 E. Pretreatment Biologis dengan Trichoderma Dalam proses produksi bioetanol dari bahan lignoselulosa, diperlukan proses perlakuan awal (pretreatment), yaitu proses perlakuan sebelum substrat difermentasi. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan lignin dalam substrat, serta untuk mengubah polisakarida menjadi gula sederhana yang selanjutnya akan difermentasi oleh ragi menjadi etanol. Optimasi pada proses pretreatment ini penting dilakukan agar enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba dapat bekerja dengan optimal serta untuk menghasilkan glukosa yang lebih tinggi sehingga menghasilkan etanol lebih banyak. Secara umum, teknologi selulolitik etanol dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu biokimia dan termokimia. Teknologi biokimia untuk memproduksi etanol selulosa meliputi hidrolisis (pemecahan) sebagian besar fraksi selulosa dan hemiselulosa dari biomassa menjadi gula penyusunnya. Sedangkan teknologi termokimia dilakukan dengan suhu dan tekanan yang tinggi. Teknologi biokimia dapat dikelompokkan lagi menjadi tiga sub kelompok berdasarkan metode hidrolisis yang digunakan, yaitu: 1) hidrolisis asam encer (dilute acid hydrolysis), 2) hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydrolysis), dan 3) hidrolisis enzymatik (enzymatic hydrolylisis) (NREL, 2008). Setelah tahap hidrolisis tersebut dilakukan tahap fermentasi, tahapan fermentasi merupakan tahapan penting dari semua kelompok di atas, tetapi teknik fermentasi bervariasi tergantung pada organisme yang digunakan dan metode fermentasinya. 1. Teknologi hidrolisis asam encer (dilute acid hydrolysis) adalah teknologi tertua untuk memproduksi etanol selulolitik dari biomassa. Secara umum 19 hidrolisis asam encer terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama sebagian besar hemiselulosa akan terhidrolisis. Tahap kedua dioptimasi untuk menghidrolisis selulosa sehingga menghasilkan glukosa yang selanjutya akan difermentasikan. Jenis asam encer yang biasanya digunakan untuk hidrolisis ini adalah H2SO4 encer. 2. Teknologi biokimia yang ke dua yaitu hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydrolysis), yang meliputi proses dekristalisasi selulosa dengan asam pekat (Misalnya H2SO4) dan dilanjutkan dengan hidrolisis selulosa dengan asam encer. Tantangan utama dari teknologi ini adalah pemisahan gula dengan asam, recovery asam, dan rekonsentrasi asam (Scheper, 2007). 3. Metode hidrolisis ke tiga adalah hidrolisis enzimatik mirip dengan prosesproses di atas yaitu dengan menganti asam dengan enzim. Teknik ini dikenal dengan teknik Hidrolisis dan Fermentasi Terpisah (SHF, Separated Hydrolysis and Fermentation). Hidrolisis dengan enzim tidak membuat atau menghasilkan kondisi lingkungan yang kurang mendukung proses biologi/fermentasi seperti pada hidrolisis dengan asam, kondisi ini memungkinkan untuk dilakukan tahapan hidrolisis dan fermentasi secara bersamaan yang dikenal dengan Simultaneuos Saccharification and Fermentation (SSF) (Scheper, 2007). Salah satu mikroba yang telah dikenal luas menghasilkan enzim-enzim pemecah material selulosik adalah Trichoderma viride. Trichoderma tersebar secara luas pada tanah dan tanaman yang rusak. Trichoderma mampu menghasilkan fraksi-fraksi enzim selulase sehingga dapat tumbuh secara langsung 20 pada kayu yang terutama terdiri dari selulosa, polimer glukosa (Volk, 2004) dan jamur ini sering disebut sebagai selulotik sejati. Koloni dari kapang Trichoderma berwarna putih, kuning, hijau muda, dan hijau tua (Alexopoulus and Mims, 1979). Sedangkan penampakannya dalam kultur pada skala laboratorium berwarna hijau, hal ini disebabkan oleh adanya kumpulan konidia pada ujung hifa kapang tersebut (Gambar 2.4). Beberapa contoh spesies dari genus Trichoderma antara lain Trichoderma konigii, T. longibrachiatum, T. pseudokoningii, T. harizanum, T. reesii, T. piluferum, T. poysporum, dan T. viride (Pelczar dan Reid, 1974). Klasifikasi kapang Trichoderma viride menurut Alexopoulus dan Mims (1979) adalah sebagai berikut: Kingdom : Fungi Divisi : Amastigomycota Kelas : Deuteromycetes Ordo : Moniliales Famili : Moniliaceae Genus : Trichoderma Spesies : Trichoderma viride 21 Gambar 2.4 Trichoderma viride Sumber: http://www.fungionline.org.uk/6asexual/9conidioph.html Trichoderma viride adalah kapang berfilamen yang sangat dikenal sebagai organisme selulolitik dan menghasilkan enzim-enzim selulolitik, yang bekeja sesuai kespesifikasian substratnya masing-masing yaitu komponen C1 (β-1,4 glukan selobiohidrolase), komponen Cx (endo β-1,4 glukanase dan ekso β-1,4 glukanase atau ekso β-1,4 glukan glukohidrolase), dan β-1,4 glukosidase. Ketiga komponen enzim ini dapat bekerja secara sinergis baik secara berurutan maupun simultan dalam mendegradasi selulosa. Enzim C1 (β-1,4 glukan selobiohidrolase) mula-mula menyerang bagian selulosa kristalin menjadi selulosa amorfik. Sementara itu enzim endo β-1,4 glukanase menyerang secara acak bagian amorfik pada serat selulosa dan juga membuka permukaan struktur kristal selulosa (Gambar 2.5A). Terbukanya ujung terminal selulosa memungkinkan enzim ekso β-1,4 glukanase (Cx) untuk menghidrolisis oligosakarida dari ujung terminal non pereduksi menghasilkan selobiosa dan glukosa. Skema hidrolisis selulosa menjadi glukosa dapat dilihat pada Gambar 2.5. Tahapan selanjutnya adalah hidrolisis 22 selobiosa menjadi glukosa oleh β-1,4 glukosidase seperti yang digambarkan pada Gambar 2.5B (Murni, 2008:73). Dalam degradasi selulosa, keberadaan xylan menjadi salah satu masalah dalam efisiensi hidrolisis. Kelebihan dari T. viride selain menghasilkan enzim selulolitik yang lengkap, kapang ini pun menghasilkan enzim xyloglukanolitik. Keberadaan enzim ini akan semakin mempermudah enzim selulolitik dalam memecah material selulosa. Gambar 2.5 Skema hidrolisis selulosa menjadi glukosa (Lynd et al., 2002) Sumber: http://jajo66.files.wordpress.com/2008/10/degradasi-lignoselulosa.pdf