BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penulis menguraikan pembahasan mengenai Misa Satu Sura di Jawa dari kebudayaan agama Katolik, meliputi sejarah, tradisi, dan akulturasi berdasarkan Agama dengan Kebudayaan Jawa. Jika mempelajari agama dan kebudayaaan kita pasti akan menemukan berbagai macam hal mengenai keanekaragaman akulturasi dari Misa Satu Sura. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan menjelaskan hal tersebut berdasarkan buku yang telah penulis baca dan ditambah dengan referensireferensi lainnya yang didapat dari berbagai macam sumber. 1.2 Tujuan Tujuan dibuatnya makalah ini adalah agar kita dapat lebih mengetahui dan mengenal tentang akulturasi agama dan kebudayaan di Indonesia sehingga tidak ada kesalahpahaman antara pemikiran kita dengan keanekaragaman yang ada di Indonesia. 1.3 Batasan Masalah Dalam makalah ini, penulis hanya akan membahas mengenai sejarah, tradisi, dan akulturasi keagamaan katolik dengan kebudayaan jawa di Indonesia. 1 1.4 Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah masuk agama katolik di Indonesia? 2. Apa itu Misa Satu Sura ? 3. Bagaimana tradisi dan yang dijalankan pada Satu Sura? 4. Apa saja tradisi tradisinya? 5. Proses seperti apa saja yang dilakukan dalam akulturasi jawa dengan agama katolik? 1.5 Metode Penulisan Metode penulisan dari makalah ini adalah kepustakaan karena terambil dari berbagai macam sumber dari internet dan buku. 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan makalah ini adalah BAB I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalah, tujuan masalah, batasan masalah, rumusan masalah, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II Landasan Teori. BAB III Pembahasan yang mengenai Misa Satu Sura, Akulturasinya, dan Proses peresmian dari akulturasi Misa Satu Sura. BAB IV Penutup makalah yang terdiri dari kesimpulan, saran, dan lampiran. 2 BAB 2 Landasan Teori 2.1 Sejarah Agama Katolik Agama Katolik awalnya disebarluaskan oleh bangsa Portugis sekitar abad ke16. Akan tetapi, usaha penyebaran agama tersebut belum cukup berhasil sehingga kemudian dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Belanda mulai awal abad ke-19. Riwayat kristenisasi (baik Protestan maupun Katolik) di Indonesia sering dikaitkan dengan usaha pembaratan rakyat Indonesia dan awalnya mengalami penolakan dan perlawanan dari rakyat setempat. Awalnya, orang Belanda pengikut Katolik tidak diperbolehkan menyebarkan ajarannya di Indonesia (Hindia Belanda) karena pada waktu itu agama Protestan lebih dominan dalam pemerintahan Kerajaan Belanda. Perkembangan pesat pada penyebarluasan agama Katolik baru terjadi pada abad ke19, ketika agama Protestan tidak lagi dominan pengaruhnya sehingga berbagai gerakan misionaris Katolik mulai bermunculan di Pulau Jawa. Agama ini dengan latar belakang budaya barat melakukan pendekatan diantaranya melalui kegiatan sosial dan kesehatan dengan mendirikan rumah sakit, melalui kegiatan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah gratis, dan melalui kegiatan ekonomi dengan mendirikan bank perkreditan rakyat. Dengan cara-cara tersebut diharapkan misi penyebaran agama dapat diterima oleh rakyat Indonesia, Walaupun bertolak dari satu keyakinan yang memiliki tradisi dan ritual ibadah yang sama, cara penghayatan umat 3 dalam beribadah di tiap daerah berbeda sesuai dengan kondisi lingkungan dan budaya daerah setempat. Oleh karena itu, baik pelaksanaan ritual liturgi maupun aspek fisik dan non fisik bangunan gereja sebagai sarana peribadatan umat juga mengalami perubahan dan penyesuaian, yang disebabkan oleh persinggungan-persinggungan yang terjadi antara aturan-aturan dalam gereja Katolik dengan kebutuhan umat lokal yang memiliki latar belakang budaya sendiri. Seperti pada makalah kali ini yang akan membahas tentang akulturasi kebudayaan jawa yaitu Satu Suro dengan agama Katholik yaitu ibadat ekaristi atau misa. 2.2 Pengertian Satu Sura Bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah, karena kalender Jawa yang di terbitkan oleh Sultan Agung mengacu pada penanggalan Hijriyah. Satu suro biasanya di peringati pada hari setelah magrib pada hari sebelum tanggal 1 biasanya di sebut malam satu suro, hal ini dikarenakan pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam. Diperingati setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.Banyak pandangan dalam masyarakat Jawa yang menganggap kramat, terlebih bila jatuh pada jumat legi, karena malam 1 suro dikaitkan dengan hal-hal mistis dan berfilosofis. Namun sesunguhnya ada banyak latarbelakang historis peristiwa penting yang terjadi di 4 bulan Suro, khususnya penganut agama Islam, yang tentu saja berafiliasi dengan kebudayaan Mataram Jawa-Hindu. Untuk sebagian masyarakat Jawa pada malam satu suro dilarang untuk kemana mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain. 5 BAB 3 Pembahasan 3.1 Tradisi Adapun Tradisi / ritual yang dijalankan di malam 1 suro : 1. Tapa bisu Tapa Bisu atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Seperti tradisi Tapa Bisu yang di lakukan di kota Jogja , mereka melakukan untuk memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah SWT dengan harapan diberikan yang terbaik untuk Kota Jogja. 2. Ngumbah Keris Ngumbah Keris adalah tradisi mencuci/membersihkan keris pusaka bagi orang yang memilikinya. Dalam tradisi masyarakat Jawa, ngumbah keris menjadi sesuatu kegiatan spiritual yang cukup sakral dan dilakukan hanya waktu tertentu. Lazimnya ngumbah pusaka dilakukan hanya sekali dalam satu tahun yakni pada bulan Suro. Oleh karena ngumbah keris mempunyai makna dan tujuan luhur, kegiatan ini termasuk dalam kegiatan ritual budaya yang dinilai sakral. 6 3. Tradisi “upacara/ritual Ruwatan” Tradisi yang hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita “wayang“ dengan lakon Murwakalapada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala. 4. Kirab Kebo Bule Kirab Kebo Bule adalah tradisi yang dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta. Dimana ada sekawanan kerbau (kebo) yang dipercaya keramat, yaitu Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II. Kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung “kemauan” dari kebo Kyai Slamet. Dan yang menarik dan tidak masuk akal dari tradisi ini adalah ketika orang orang berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup 7 menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet. 5. Kumkum Kungkum adalah berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, Yang paling mudah ditemui di Jawa khususnya di seputaran Yogyakarta adalah Tirakatan (tidak tidur semalam suntuk) dengan tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit. 6. Lek-lek an ( tidaktidursemalaman) Lek – lekan adalah tradisi yang biasanya dilakukan oleh warga warga di kampung. Biasanya para warga dikampung tersebut sudah menyiapkan acara masing-masing. Ada yang sekadar berkumpul dan lek-lekan di pos ronda, mengobrol di depan rumah atau makan-makan di gang 7. Ritual tirakatan Ritual Tirakatan berasal dari kata Thoriqot atau Jalan, maknanya adalah kita berusaha mencari jalan agar dekat dengan Allah. Dengan kita melakukan ritual ini tanpa disadari ternyata kegiatan tirakatan ini juga telah meningkatkan kemampuan 8 ketingkat yang lebih tinggi lagi, berupa keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, maupun kemampuan fisik dan pengolahan bathin kita untuk menghadapi berbagai cobaan dan tantangan yang kita hadapi. 3.2 Misa Satu Sura Perayaaan ekaristi misa satu sura adalah akulturasi budaya, dari budaya asli Jawa dengan gereja katholik secara khusus, dan misa ini sudah mendapat izin dari uskup setempat dan juga sudah mendapat ijin dari Vatikan dan bersamaan dengan TPE yang di tetapkan olehVatikan. Menurut kepercayaan tradisional Jawa ada orang-orang yang ditakdirkan akan menghadapi nasib buruk karena kelahirannya dalam keluarga, dan ruwatan diperlukan untuk membebaskan mereka dari nasib buruk itu. Yang masuk dalam kategori sukerta (orang bernasib buruk), antara lain ontang-anting (anak tunggal lakilaki), anting-anting (anak tunggal perempuan), uger-uger (dua anak semuanya lakilaki), kembang sepasang (dua anak semuanya perempuan), gedhana-gedhini (dua anak laki-laki dan perempuan, yang tua laki-laki), gedhini-gedhana (dua anak lakilaki dan perempuan, yang tua perempuan), pendhawa (lima anak semuanya laki-laki), pendhawa ngayomi (lima anak semuanya perempuan), pendhawa madungake (lima anak: empat laki-laki, satu perempuan), pendhawa apil-apil (lima anak: empat perempuan satu laki-laki), nggotong mayit (enam anak: tiga laki-laki, tiga 9 perempuan), sendhang apit pancuran (tiga anak: pria-wanita-pria), pancuran apit sendhang (tiga anak: wanita-pria-wanita). Pastor Mardiwidayat mengatakan kepada sekitar 300 umat Katolik yang menghadiri Misa itu, "Sebenarnya sejak dipermandikan kita sudah diruwat secara rohani. Kita sudah disucikan dan dibersihkan dari dosa-dosa kita. Kita sudah dipersatukan dengan Kristus. Namun hari ini kita akan melangsungkan ruwatan secara Katolik supaya kita bisa memformulasikan dan menghayati iman kita sesuai budaya di mana kita berada.” Sukerta sebanyak 89 orang, yang kebanyakan etnis Jawa, namun sejumlah di antaranya keturunan Cina, datang dari Yogyakarta, Semarang, Solo dan Magelang. Meskipun beragama Katolik, orang yang termasuk sukerta di Pulau Jawa belum merasa mantap atau sreg sebelum mengikuti ruwatan atau di-ruwat, tegas Pastor Mardiwidayat, seraya meminta peserta Misa agar tidak perlu bingung seandainya ada yang bertanya, mengapa orang Katolik masih juga menyelenggarakan ruwatan, padahal sudah dipermandikan. Sambil menekankan perlunya umat Katolik menemui Tuhan dengan atau lewat budaya yang hidup di sekitar mereka, imam itu mengatakan dalam homilinya, “Kita melaksanakan ruwatan agar kita tidak merasa atau tidak dianggap orang asing.” 10 Upacara ruwatan dilakukan setelah homili. Pertama para sukerta melakukan sungkem (bersujud di hadapan kedua orangtua mereka masing-masing guna memohon restu). Para sukerta, yang orangtuanya tidak hadir, melakukan sungkem kepada Pastor Mardiwidayat. Kemudian imam itu memotong ujung rambut mereka, sebagai lambang membuang kekotoran atau ketidakharmonisan dengan alam. Dasar ritual tradisional itu adalah sebuah “mantra,” namun sebagai penggantinya imam itu membaca Injil Yoh.3,1-12, di mana Yesus berbicara tentang “kelahiran kembali” dari Roh. Interior gereja dihiasi dengan gaya tradisional. Janur kuning digantung melengkung dekat pintu masuk. Kain putih digantung di belakang altar dengan hiasan gunungan (wayang kulit berbentuk gunung). Di depan altar, dihidangkan sesajian berupa tumpeng lengkap dengan ayam masak utuh, air kembang talon (tiga macam bunga: mawar, melati dan kanthil dalam semangkok air), sesisir pisang dan aneka makanan kecil tradisional Jawa. Pada penutupan upacara itu, Pastor Mardiwidayat memberkati air kembang talon serta merecikannya kepada para sukerta dan segenap umat yang hadir dalam Ekaristi sebagai berkat penutup. Ia kemudian mengajak umat untuk melakukan halhal yang baik. “Apakah ada yang jelek dari ruwatan ini?” tanyanya. “Tidak!” jawab peserta yang hadir secara serentak. 11 Setelah Misa, pro-diakon dan sekelompok Katolik pergi ke Laut Kidul (laut bagian selatan) untuk menghanyutkan guntingan rambut dan selempang kain putih yang dipakai sukerta dalam ruwatan. Ini bukan untuk persembahan bagi Ratu Kidul tetapi dikembalikan kepada Allah dengan perantaraan Stella Maris (Maria, Sang Bintang Laut). 3.3 Peresmian Akulturasi Masalah inkulturasi memang tidak mudah, karena menyangkut proses yang lama dan memerlukan kebijaksanaan dalam penerapannya. Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa “proses integrasi Gereja ke dalam budaya tertentu adalah suatu proses yang panjang. Hal ini bukan hanya masalah adaptasi eksternal, karena inkulturasi adalah suatu transformasi yang dalam dari nilai-nilai budaya yang otentik melalui integrasi nilai-nilai tersebut ke dalam kristianitas, dan juga mengintegrasikan kristianitas ke dalam berbagai macam budaya manusia.” (Redemptoris Missio, Ch. V). Namun lebih lanjut, Paus Yohanes Paulus menegaskan kembali bahwa di dalam proses inkulturasi, integritas dari iman Katolik tidak boleh dikorbankan . Kerena Gereja Katolik senantiasa bersentuhan dengan kehidupan banyak orang dan budaya, maka Gereja perlu merenungkan dan mengadaptasi diri tanpa mengorbankan nilai-nilai iman Katolik, seperti yang telah ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II. Gereja harus mampu untuk memberikan nilai-nilai kekristenan, dan pada saat yang 12 bersamaan mengambil nilai-nilai yang baik dari budaya yang ada dan memperbaharuinya dari dalam. Berikut adalah perincian dari proses akulturasi katolik dengan adat jawa yang di resmikan oleh pihak yang bersangkutan : 1. Paus Yohanes Paulus II Paus Yohanes Paulus II dalam “Redemptoris Missio: Chapter V: The Paths of Mission, paragraf 52″, mengatakan: “As she carries out missionary activity among the nations, the Church encounters different cultures and becomes involved in the process of inculturation. The need for such involvement has marked the Church’s pilgrimage throughout her history, but today it is particularly urgent. The process of the Church’s insertion into peoples’ cultures is a lengthy one. It is not a matter of purely external adaptation, for inculturation “means the intimate transformation of authentic cultural values through their integration in Christianity and the insertion of Christianity in the various human cultures.” The process is thus a profound and allembracing one, which involves the Christian message and also the Church’s reflection and practice. But at the same time it is a difficult process, for it must in no way compromise the distinctiveness and integrity of the Christian faith. Through inculturation the Church makes the Gospel incarnate in different cultures and at the same time introduces peoples, together with their cultures, into her own community. She transmits to them her own values, at the same time taking the good elements that already exist in them and renewing them from within. Through inculturation the Church, for her part, becomes a more intelligible sign of what she is, and a more 13 effective instrument of mission. Thanks to this action within the local churches, the universal Church herself is enriched with forms of expression and values in the various sectors of Christian life, such as evangelization, worship, theology and charitable works. She comes to know and to express better the mystery of Christ, all the while being motivated to continual renewal. During my pastoral visits to the young churches I have repeatedly dealt with these themes, which are present in the Council and the subsequent Magisterium. Inculturation is a slow journey which accompanies the whole of missionary life. It involves those working in the Church’s mission Ad Gentes, the Christian communities as they develop, and the bishops, who have the task of providing discernment and encouragement for its implementation. 2. Katekismus Gereja Katolik Menurut Katekismus Gereja Katolik, 854 mengatakan “Dalam perutusannya, “Gereja menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia, dan bersama dengan dunia mengalami nasib keduniaan yang sama. Gereja hadir ibarat ragi dan bagaikan penjiwa masyarakat manusia, yang harus diperbaharui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga Allah” (GS 40,2). Dengan demikian misi menuntut kesabaran. Ia mulai dengan pewartaan Injil kepada bangsa-bangsa dan kelompokkelompok yang belum percaya kepada Kristus; ia maju terus dan membentuk kelompok-kelompok Kristen, yang harus menjadi “tanda kehadiran Allah di dunia” (AG 15), serta selanjutnya mendirikan Gereja-gereja lokal. Ia menuntut suatu proses 14 inkulturasi, yang olehnya Injil ditanamkan dalam kebudayaan bangsa-bangsa, dan ia sendiri pun tidak bebas dari mengalami kegagalan-kegagalan. “Adapun mengenai orang-orang, golongan-golongan dan bangsa-bangsa, Gereja hanya menyentuh dan merasuki mereka secara berangsur-angsur, dan begitulah Gereja menampung mereka dalam kepenuhan katolik” (AG 6).” 3. Pokok – Pokok yang Dapat Disimpulkan Dari dua dokumen tersebut, maka ada beberapa hal pokok yang dapat kita simpulkan, yaitu: Karena misi evangelisasi untuk mewartakan Kristus pasti akan bersentuhan dengan manusia yang mempunyai peradaban, budaya yang berbeda-beda, inkulturasi tidak dapat dihindarkan. Dimana Gereja memberikan nilai-nilai pengajaran Gereja, dan kemudian mengambil unsur-unsur yang baik yang ada dalam budaya lokal, dan kemudian memperbaharuinya dari dalam. Pertanyaannya adalah sampai seberapa jauh Gereja Katolik dapat mengambil unsur-unsur yang baik dari kebudayaan setempat dan kemudian mengangkatnya sehingga nilai-nilai kristiani dapat dimengerti dengan lebih baik? Dari dokumen Redemptoris Missio, kita dapat melihat bahwa kebudayaan lokal dapat diterapkan, sejauh tidak mengaburkan integritas dari nilai-nilai dan pengajaran kristiani. Yang menjadi masalah adalah memang definisi ini menjadi cukup luas cakupannya dan 15 oleh karena itu dapat terjadi kekaburan dan ketidakjelasan sampai seberapa jauh suatu budaya dapat diterapkan dalam proses inkulturasi. Namun pada saat yang bersamaan, kalau kita menelaah, maka kita akan dapat memahami bahwa setiap budaya adalah bersifat unik dan oleh karena itu akan menjadi masalah kalau dibuat dengan penerapan yang sangat khusus. 3.4 Budaya Kejawen Mari kita masuk dalam diskusi budaya kejawen. Saya terus terang tidak terlalu mengerti tentang tradisi kejawen, walaupun saya tinggal di Jawa, dan sekolah di Jogja selama tiga tahun. Namun kalau kebudayaan kejawen yang dimaksudkan di sini adalah dengan memberikan “isi” terhadap keris, dan benda-benda pusaka yang lain, serta mungkin melakukan meditasi, sehingga mempumyai ilmu tertentu maupun kekuatan tertentu, maka saya cenderung mengatakan bahwa dalam hal ini inkulturasi yang dimaksudkan telah melampaui batas-batas yang ada. Hal ini dikarenakan bahwa penerapan praktek-praktek kejawen tersebut mengaburkan nilai-nilai Kristiani. Pengisian benda-benda dengan “sesuatu“, memberikan suatu konotasi bahwa kita mencoba berkomunikasi dengan alam lain. Dan pertanyaan lebih lanjut adalah, mengapa kita mengisi suatu benda pusaka dengan suatu kekuatan? Kalau memang ternyata ada kekuatan di dalamnya, terus apa yang akan kita lakukan terhadap benda-benda tersebut? Kemudian, dalam pengisian, apa 16 yang perlu dilakukan oleh orang yang mengisi. Saya terus terang tidak tahu secara persis, persiapan apa yang dilakukan untuk melakukan hal ini. Namun kalau pengisian ini melibatkan kekuatan supernatural di luar Tuhan, maka saya berfikir semua proses tersebut akan membahayakan kehidupan spiritual kita. Pada dasarnya manusia adalah mahluk yang lemah, yang mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa, sehingga komunikasi dengan hal-hal gaib menjadi cukup membahayakan spiritualitas kita. Kita dapat melihat bahwa Yesus pada waktu mengusir kuasa-kuasa gelap tidak pernah berkomunikasi, berdiskusi dengan mereka, namun memerintahkan mereka (lih. Mt 8:16; 8:32; Mk 1:34). Untuk menghindari dosa ini, maka berhubungan dengan roh-roh dilarang. Kita dapat melihatnya di Imamat 20:6 “Orang yang berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal, yakni yang berzinah dengan bertanya kepada mereka, Aku sendiri akan menentang orang itu dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya.” Mungkin seseorang dapat mengatakan bahwa yang penting adalah tidak menyembah barang tersebut atau roh tersebut. Seperti yang dikatakan di dalam kitab Imamat, maka kontak dengan roh-roh yang lain adalah menduakan Tuhan. Semakin kita menjauhi hal tersebut, maka akan semakin baik. 17 3.5 Pelaksanaan Misa Satu Sura Pada saat pelaksanaan misa satu sura ini para romo, prodiakon misdinar dan petuga lainnya yang ikut dalam pelaksanaan misa satu sura ini biasanya menggunakan pakaian ada jawa, lengkap dengan memakai blangkon bai yan kaum pria dan kain kebaya untuk yang kaum wanita. Dan pada saat misa berlangsung para pengiring koor menyanyikan lagu jawa dan biasa nya juga ada gamelan yang mengiringinya. Dan pada saat misa, ada tradisi Jawa sebelum meyambut datangnya satu sura dengan sara sehan (pertukaran pendapat, dimana tidak ada perdebatan, tetapi bila ada sesuatu yang kurang jelas dapat ditanyakan sampai sejelas mungkin) dan misa. Rangkaian acara dimulai dengan senandung selawatan katholik dan dilanjutkan dengan sara sehan sikap orang katholik terhadap tradisi Suran dan memuncak pada perayaan ekaristi dan adorasi. Inti sara sehan adalah orang katholik tidak perlu lagi kungkum atau rebutan air jamasan pusaka, bagi orang Katolik, menyambut malam 1 Sura dengan merayakan Ekaristi dan menimba berkat dari Yesus dalam Adorasi sudah cukup.Itulah sebabnya, setelah sarasehan seluruh umat yang hadir langsung ikut dalam Misa inkulturasi dan Adorasi Ekaristi. Inkulturasi diungkapkan melalui Perayaan Ekaristi dalam bahasa Jawa dengan iringan gamelan. Dan biasanya baja aninil di lantunkan dalam bentuk tembang macapat. 18 Kirab berkat Sakramen Mahakudus diiringi dengan gending Monggang, tampak anggun dan syahdu. Dan jugabiasanya di akhir misa ada Kepyuran Sekar Melati untuk ngalap berkah sesuai dengan tradisi Jawa. 19 BAB 4 Penutup 4.1 Kesimpulan Jadi Misa Satu Sura adalah akulturasi budaya asli jawa dengan gereja katholik secara khusus, tetapi tidak melenceng dari keputusan gereja local dan dari TPE yang di keluarkan Vatikan. Kita para umat katholik dapat mencampurkan budaya local dengan tradisi gereja tetapi kita tidak meninggalkan tradisi gereja dan nili2 nya. Kita tetap beriman pada Tuhan Yesus dan hanya mencampurkan tidak mengikuti semua kebudayaaan yang ada karena kita harus tetap mempertahankan tradisi gereja katholik. 4.2 Saran Saran penulis masyarakat bisa lebih menghargai setiap pemeluk agama yang lain dan lebih menghargai kebudayaan. Seperti yang kita tahu bahwa di Indonesia masih banyak ditemukan adanya konflik antar umat beragama yang sebenarnya tidak diperlukan, karena hal itu hanya akan memecah kebersatuan negara Indonesia, padahal banyak sekali perpaduan dari akulturasi percampuran agama dengan kebudayaan. Seharusnya kita bisa lebih menghargai antar umat beragama karena sebenarnya hal itulah yang menyatukan kita. Selain itu saran penulis adalah haruslah kita umat beragama lebih menngenal tentang agama dan budaya kita sendiri karena 20 sangat banyak keanekaragaman kebudayaan yang masih jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia sendiri. 4.3 Lampiran / Dokumentasi Gambar penyambutan misa satu sura dengan sara sehan lalu di lanjutkan dengan misa. 21 Tapa bisu 22 DAFTAR PUSTAKA XVI Benedictus(2012), YOUCAT INDONESIA – Katekismus Populer, Oktober, YOUCAT. From : http://ignatius-magelang.info/mainmessage.php?entry=entry121119105946, 23 September 2014. Hidup Katolik(2012). Misa Satu Suro. From: http://www.hidupkatolik.com/2012/10/25/misa-satu-suro, 20 September 2014 Paroki Sragen(2011). Misa Inkulturasi tahun baru jawa. From: http://parokisragen.or.id/2011/12/20/misa-inkulturasi-tahun-baru-jawa-1-suro/, 20 September 2014 From : http://katolisitas.org/1391/inkulturasi-apakah-ruwatan-diperbolehkan, 22 September 2014. 23