analisis daerah penangkapan ikan lemuru di

advertisement
ANALISIS DAERAH PENANGKAPAN IKAN LEMURU
DI INDONESIA
Oleh :
ANDAN HAMDANI
(C452080051)
Tugas Mata Kuliah Analisis Daerah Penangkapan Ikan
Dosen : Dr. Domu Simbolon, M.Si
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ANALISIS DAERAH PENANGKAPAN IKAN LEMURU DI INDONESIA
Oleh : Andan Hamdani (C452080051)
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi sumberdaya perikanan yang
besar. Dua per tiga wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan. Jumlah keanekaragaman
sumberdaya hayati yang dimiliki Indonesia sangat beragam, bahkan Indonesia sering disebut
sebagai mega biodiversity. Menurut Dahuri (2004), potensi lestari sumberdaya ikan laut
Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah
Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Dari seluruh potensi
sumberdaya ikan, jumlah ikan tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton per
tahun, atau sekitar 80 persen dari potensi lestari. Sementara itu, tingkat pemanfaatannya
baru sekitar 4 juta ton atau sekitar 78,13 persen dari JTB.
Ikan Lemuru merupakan salah satu komoditi perikanan cukup penting. Berdasarkan
data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi Ikan Lemuru
pada tahun 2007 sebesar 176.665 ton atau sebesar 3,73 persen dari total tangkapan Ikan
Indonesia yang mencapai sebesar 4.734.280 ton pada tahun yang sama. Volume produksi Ikan
Lemuru selama selang periode tahun 2002 hingga 2007 tercatat secara rata-rata terus
mengalami peningkatan, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2005.
Selama selang
periode tersebut volume produksi Ikan Lemuru mengalami peningkatan rata-rata sebesar 9,86
persen, sedangkan peningkatan nilai produksi lebih tinggi yaitu sebesar 13,87 persen. Hal ini
berarti bahwa harga jual Ikan Lemuru secara rata-rata terus mengalami peningkatan. Secara
lebih lengkap mengenai volume dan nilai produksi Ikan Lemuru di Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Volume dan Nilai Produksi Ikan Lemuru Indonesia, Tahun 2002-2007
Volume Produksi
Nilai Produksi
Tahun
(ton)
(Rp 000)
2002
132.170
338.983.266
2003
136.436
303.483.374
2004
103.361
302.724.577
2005
96.994
318.348.011
2006
163.129
504.140.337
2007
176.665
587.537.684
Kenaikan Rata-rata selang
13,87
9,86
periode 2002-2007 (%)
Sumber : Statistik Perikanan Indonesia Tahun 2007 (DKP)
Ikan Lemuru hidup di Perairan Indo-Pacifik, dari Teluk Aden sampai dengan Perairan
Filipina. Di Indonesia ikan ini telah dieksploitasi secara intensif di Perairan Selat Bali.
Sumberdaya perikanan pelagis terutama ikan lemuru merupakan tulang punggung kegiatan
usaha perikanan di perairan tersebut.
Perikanan lemuru di Perairan Selat Bali mempunyai peranan penting pada ekonomi
lokal Propinsi Bali dan Jawa Timur baik sebagai basis penangkapan dan pendaratan maupun
usaha pengolahan tradisional dan modern. Hasil tangkap ikan lemuru di Perairan Selat Bali ini
memberikan kontibusi sebesar 40% dari total ikan lemuru yang ada di Indonesia. Terdapat
beberapa alasan mengapa sumberdaya perikanan ini mempunyai dampak yang besar terhadap
ekonomi lokal.
Usaha perikanan tangkap meruapakan salah satu kegiatan yang memiliki tingkat resiko
yang tinggi. Tinggi tingkat resiko tersebut karena besarnya ketergantungan pada kondisi alam
dan musim penangkapan. Selain itu, minimnya data dan informasi mengenai keragaan daerah
penangkapan ikan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya tingkat resiko usaha
perikanan tangkap.
Berdasarkan hal tersebut di atas, salah satu upaya untuk menurunkan tingkat resiko
pada usaha perikanan tangkap perlunya dilakukan upaya penyediaan data dan informasi
mengenai potensi dan penyebaran ikan berdasarkan spesies target hasil tangkapan. Oleh
karena makalah ini dibuat untuk mengidentifikasi mengenai keragaan daerah penyebaran
salah satu spesies ikan yaitu Ikan Lemuru.
2. DESKRIPSI IKAN LEMURU
Taksonomi Lemuru menurut Bleeker (1853) sebagai berikut:
Phylum
Subphylum
Superclass
Class
Subclass
Infraclass
Superorder
Order
Suborder
Family
Subfamily
Genus
Species
: Chordata
: Vertebrata
: Osteichthyes
: Actinopterygii
: Neopterygii
: Teleostei
: Clupeomorpha
: Clupeiformes
: Clupeoidei
: Clupeidae
: Clupeinae
: Sardinella
: Sardinella lemuru
Ikan lemuru yang terkenal di Indonesia yang nama ilmiah Sardinella lemuru atau sering
dikenal dengan nama internasional Bali Sardinella terkonsentrasi di Perairan Selat Bali dan
sekitarnya. Ciri-ciri umum ikan lemuru yang ada di Perairan Selat Bali menurut Dwiponggo
(1982) adalah:

Bentuk badan bulat memanjang, perut agak menipis dengan sisik-sisik duri yang
menonjol dan tajam.

Warna badan biru kehijauan pada bagian atas (punggung), putih keperakan pada
bagian bawah.

Pada bagian atas penutup insang sampai pangkal ekor terdapat sebaris bulatanbulatan hitam sebanyak 10 – 20 buah.

Siripnya berwarna abu-abu kekuning-kuningan

Warna sirip ekor kehitaman demikian juga pada ujung moncongnya

Termasuk pemakan plankton.

Ukuran : Panjang badan dapat mencapai 23 cm dan umumnya antara 17 – 18 cm
Untuk lebih jelas, gambar bentuk spesies Ikan Lemuru dapat dilihat pada Gambar 1
berikut :
Gambar 1. Spesies Ikan Lemuru
ikan lemuru oleh nelayan setempat diberi nama berbeda sesuai dengan ukuran
panjangnya. Secara umum terdapat enam nama lokal ikan lemuru yang diberikan oleh nelayan
di sekitar Perairan Selat Bali, yaitu :

Sempenit ( < 11 cm)

Protolan ( 11 - 15 cm)

Lemuru ( 15 - 18 cm)

Lemuru kucing ( >18 cm)
Beberapa istilah nama lokal untuk Ikan Lemuru menuru pelabuhan di Indonesia
sebagai berikut :

Lemuru
: PPN Palabuhan Ratu, PPN Pekalongan, PPP Sorong, PPN Prigi, PPN
Ambon, PPN Ternate, PPS Jakarta, PPN Brondong, PPS Belawan, PPN
Sibolga, PPN Pengambengan, PPP Karangantu, PPP BAJOMULYO, PPP
Banjarmasin, PPS Cilacap

Sardin
: PPS Bitung,

Gaben
: PPP Teluk Batang

Tembang
: PPS Kendari

Dencis
: PPN Sungailiat
Umur Lemuru bisa mencapai 4 tahun dengan rata-rata panjang 115 mm pada umur 1
tahun, 155 mm pada umur 2 tahun, 186 mm pada umur 3 tahun dan 203 mm pada umur 4
tahun. Menurut Dwipongo (1972) dalam Merta (1995) ikan lemuru berkembang biak pada
bulan Juni-Juli. Biasanya lemuru menuju ke arah perairan pantai untuk melakukan
perkembangbiakan karena salinitasnya lebih rendah. Sedangkan Whitehead (1985)
mengatakan bahwa lemuru melakukan perkembangbiakan pada akhir musim hujan setiap
tahun. Merta (1995) mengemukakan bahwa lemuru melakukan perkembangbiakan pada
perairan yang dalam yang tidak bisa terganggu oleh mesin kapal. Lemuru siap melakukan
reproduksi biasanya setelah mencapai panjang 17,79-18,3 cm.
Makanan utama lemuru adalah zooplankton (90,5-95,5%) dan phytoplankton (4,59,5%). Zooplankton yang paling banyak dikonsumsi lemuru adalah copepoda (53,8-55%) dan
decapoda (6,5-9,4%) (Burhanudin dan Praseno, 1982 dalam Merta 1995).
3. ALAT PENANGKAPAN
Jenis alat tangkap yang dapat dipergunakan untuk menangkap sumberdaya Ikan
Lemuru meliputi beberapa jenis alat tangkap, antara lain :Payang (termasuk Lampara); Dogol
(termasuk Lampara dasar, cantrang); Pukat Pantai (Jaring arad); Pukat Cincin (Purse seine);
Jaring insang tetap; Bagan perahu/rakit (Boat/raft lift net); Jaring Angkat Lainnya (Other lift
nets); Pancing ulur (Hand lines).
Namun demikian sebagian besar nelayan di wilayah perairan Selat Bali menggunakan
alat tangkap purse seine untuk menangkap Ikan Lemuru. Hal ini dilakukan karena alat tangkap
purse seine sangat efektif untuk menangkap ikan lemuru. Sejak tahun 1976 sampai dengan
1997 menunjukan bahwa alat tangkap purse seine berkembang pesat, pada tahun 1976
sebanyak 54 unit dan sampai tahun 1983 menjadi 200 unit sedangkan pada tahun 1984 turun
menjadi 190 unit. Dengan dikeluarkannya SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali
pada tahun 1985 hingga tahun 1998 tidak berubah, yaitu sebanyak 190 unit.
4. FAKTOR-FAKTOR OSEANOGRAFIS
4.1. Suhu Air Laut
Reddy (1993) menyatakan bahwa ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu
tubuhnya selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa
ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih range suhu tertentu yang
memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya
mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh
suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan
makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf.
Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu
air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis
ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling penting
yang menentukan “kekuatan keturunan” dan daya tahan larva pada spesies-spesies ikan yang
paling penting secara komersil. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning ground)
selama musim pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di daerah lain daripada di
daerah tersebut. Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat
pemijahan (spawning ground) dan fishing ground secara periodik (Reddy, 1993).
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi
matahari pada siang hari. Karena pengaruh angin, maka di lapisan teratas sampai kedalaman
kira-kira 50-70 m terjadi pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar
28°C) yang homogen. Oleh sebab itu lapisan teratas ini sering pula disebut lapisan homogen.
Karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa menjadi lebih tebal lagi. Di
perairan dangkal lapisan homogen ini sampai ke dasar.
Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh
lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat yang disebut termoklin atau lapisan
diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam karena percampuran oleh
angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer).
Mixed layer mendukung kehidupan ikan-ikan pelagis, secara pasif mengapungkan plankton,
telur ikan, dan larva, sementara lapisan air dingin di bawah termoklin mendukung kehidupan
hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam (Reddy, 1993).
Nontji (1993) menyatakan bahwa pada saat terjadi penaikan massa air (upwelling),
lapisan termoklin ini bergerak ke atas dan gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga
massa air yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas. Fluktuasi jangka pendek
dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh pergerakan permukaan, pasang surut, dan arus. Di
bawah lapisan termoklin suhu menurun secara perlahan-lahan dengan bertambahnya
kedalaman. Wyrtki (1961), mengatakan bahwa kedalaman termoklin di dalam lautan Hindia
mencapai 120 meter. Menuju ke selatan di daerah arus equatorial selatan, kedalaman
termoklin mencapai 140 meter.
4.2. Pengaruh Arus
Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh
arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus. Arus tampak jelas dalam organ
mechanoreceptor yang terletak garis mendatar pada tubuh ikan. Mechanoreceptor adalah
reseptor yang ada pada organisme yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis
dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu
mengarah menuju arus. (Reddy, 1993).
Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas antara dua arus
atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan divergensi) dan kondisi
oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai perbatasan
distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan ikan pada kondisi ini.
Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil biasanya berada pada tengah-tengah
arus eddies. Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-tengah antisiklon eddies.
Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam arus eddi (melalui
rantai makanan). (Reddy, 1993).
4.3. Pengaruh Cahaya
Ikan bersifat fototaktik (responsif terhadap cahaya) baik secara positif maupun negatif.
Banyak ikan yang tertarik pada cahaya buatan pada malam hari, satu fakta yang digunakan
dalam penangkapan ikan. Pengaruh cahaya buatan pada ikan juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan lain dan pada beberapa spesies bervariasi terhadap waktu dalam sehari. Secara
umum, sebagian besar ikan pelagis naik ke permukaan sebelum matahari terbenam. Setelah
matahari terbenam, ikan-ikan ini menyebar pada kolom air, dan tenggelam ke lapisan lebih
dalam setelah matahari terbit. Ikan demersal biasanya menghabiskan waktu siang hari di dasar
selanjutnya naik dan menyebar pada kolom air pada malam hari.
Cahaya mempengaruhi ikan pada waktu memijah dan pada larva. Jumlah cahaya yang
tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan ikan. Jumlah cahaya juga mempengaruhi
daya hidup larva ikan secara tidak langsung, hal ini diduga berkaitan dengan jumlah produksi
organik yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Cahaya juga mempengaruhi
tingkah laku larva. Penangkapan beberapa larva ikan pelagis ditemukan lebih banyak pada
malam hari dibandingkan pada siang hari. (Reddy, 1993).
4.4. Salinitas
Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut dalam 1 liter air,
biasanya dinyatakan dalam satuan 0/00 (per mil, gram perliter). Di perairan samudera, salinitas
berkisar antara 340/00 - 350/00. Tidak semua organisme laut dapat hidup di air dengan
konsentrasi garam yang berbeda. Secara mendasar, ada 2 kelompok organisme laut, yaitu
organisme euryhaline, yang toleran terhadap perubahan salinitas, dan organisme stenohaline,
yang memerlukan konsentrasi garam yang konstan dan tidak berubah. Kelompok pertama
misalnya adalah ikan yang bermigrasi seperti salmon, eel, lain-lain yang beradaptasi sekaligus
terhadap air laut dan air tawar. Sedangkan kelompok kedua, seperti udang laut yang tidak
dapat bertahan hidup pada perubahan salinitas yang ekstrim. (Reddy, 1993).
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air,
penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin
dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai
kedalaman 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Di lapisan dengan
salinitas homogen suhu juga biasanya homogen, baru di bawahnya terdapat lapisan pegat
dengan degradasi densitas yang besar yang menghambat pencampuran antara lapisan atas
dengan lapisan bawah (Nontji, 1993).
Volume air dan konsentrasi dalam fluida internal tubuh ikan dipengaruhi oleh
konsentrasi garam pada lingkungan lautnya. Untuk beradaptasi pada keadaan ini ikan
melakukan proses osmoregulasi, organ yang berperan dalam proses ini adalah insang dan
ginjal. Osmoregulasi memerlukan energi yang jumlahnya tergantung pada perbedaan
konsentrasi garam yang ada antara lingkungan eksternal dan fluida dalam tubuh ikan.
Toleransi dan preferensi salinitas dari organisme laut bervariasi tergantung tahap
kehidupannya, yaitu telur, larva, juvenil, dan dewasa. Salinitas merupakan faktor penting yang
mempengaruhi keberhasilan reproduksi pada beberapa ikan dan distribusi berbagai stadia
hidup. (Reddy, 1993)
4.5. Oksigen Terlarut
Oksigen sangat penting dalam proses respirasi, komponen ini tersedia dalam atmosfer
dalam jumlah besar dan dalam jumlah kecil dihasilkan oleh tumbuhan melalui fotosintesis.
Respirasi di perairan memerlukan oksigen dari dalam air dan menghilangkan limbah karbon
dioksida. Insang adalah tempat di mana pertukaran gas terjadi pada sebagian besar jenis ikan,
meskipun ada juga beberapa jenis ikan yang bernafas melalui kulit. Biasanya laju konsumsi
oksigen dapat digunakan untuk mengukur intensitas metabolismenya. Laju ini dipengaruhi
oleh ukuran ikan dan karakteristik air seperti suhu dan kandungan CO2. (Reddy, 1993).
Kandungan oksigen dalam air laut bervariasi terhadap suhu dan kedalaman. Pada
sebagian besar lapisan permukaan laut, kandungan oksigen dalam air bervariasi dalam batas
yang relatif sempit. Tetapi, di bawah lapisan termoklin, dekat dasar dan di beberapa daerah
tropis kandungan oksigen bisa sangat rendah dan sangat mempengaruhi ikan maupun
komunitas bentik yang lain. Migrasi ikan ke arah pantai pada beberapa jenis ikan dikontrol oleh
kandungan oksigen dalam air. Perairan pantai kaya akan oksigen tetapi miskin makanan.
Perairan yang lebih dalam di lepas pantai mengandung banyak makanan tetapi hanya sedikit
oksigen sehingga ikan tidak dapat tetap berada dalam lapisan ini dalam waktu yang lama.
4.6. Nutrien
Di antara beberapa nutrien yang ada di air laut, yang paling penting untuk kebutuhan
biologis ikan adalah fosfat, nitrat, dan silikat karena komponen ini merupakan nutrien penting
yang diperlukan untuk pertumbuhan plankton di laut. Nutrien diperlukan oleh tumbuhan
untuk pembentukan molekul protein. Pada umumnya hewan mendapatkan protein secara
langsung atau tidak langsung dari tumbuhan. Permukaan laut mendapat pasokan nutriennutrien tersebut terutama dari air pedalaman yang dibawa oleh air sungai, dan dari dasar
perairan yang dalam. Air dari perairan yang sangat dalam menuju ke permukaan laut selama
terjadi arus naik (upwelling) yang disebabkan oleh arus sepanjang pantai, atau sebagai hasil
dari perubahan suhu yang menghasilkan konveksi arus (sirkulasi vertikal air), atau yang lainnya
sebagai konsekuensi dari pertemuan arus horizontal, suhu hangat dan dingin. Hal ini
menyediakan zona photik di lautan yang kaya nutrien, dengan demikian menimbulkan
pertumbuhan phytoplankton yang melimpah, diikuti zooplankton dan ikan yang melimpah
pula di daerah tersebut. (Reddy, 1993).
Pada beberapa daerah tropis, pengaruh perbedaan musim terhadap konsentrasi
phospat pada peraian pantai lebih sedikit daripada pada daerah beriklim sedang. Selama
periode monsoon, phospat akan melimpah sepanjang pantai. Jumlah silikat di perairan pantai
secara umum tinggi jika dibandingkan sebelumnya sebagai akibat run off dari daratan.
4.7. Upwelling
Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan
permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi,
dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji, 1993). Menurut Barnes (1988), proses
upwelling ini dapat terjadi dalam tiga bentuk. Pertama, pada waktu arus dalam (deep current)
bertemu dengan rintangan seperti mid-ocean ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan)
di mana arus tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke permukaan.
Kedua, ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang di utara di
bawah pengaruh gaya coriolis dan massa air di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah
pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan
di bawahnya. Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada jumlah massa air
permukaan yang bergerak ke sisi ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal ini
terjadi karena adanya divergensi pada perairan laut tersebut. Ketiga, upwelling dapat pula
disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin darat yang terus-menerus
selama beberapa waktu. Arus ini membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas yang
mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai yang kemudian diisi dengan massa air di
bawahnya.
Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan dapat disebabkan karena
terjadinya proses air naik (upwelling). Karena gerakan air naik ini membawa serta air yang
suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya
seperti fosfat dan nitrat naik ke permukaan (Nontji, 1993). Selain itu proses air naik tersebut
disertai dengan produksi plankton yang tinggi. Di perairan Selat Makasar bagian selatan
diketahui terjadi upwelling. Proses terjadinya upwelling tersebut disebabkan karena
pertemuan arus dari Selat Makasar dan Laut Flores bergabung kuat menjadi satu dan mengalir
kuat ke barat menuju Laut Jawa. Dengan kondisi demikian dimungkinkan massa air di
permukaan di dekat pantai Ujung Pandang secara cepat terseret oleh aliran tersebut dan
untuk menggantikannya massa air dari lapisan bawah naik ke atas. Menurut (Nontji, 1993),
proses air naik di Selat Makasar bagian selatan ini terjadi sekitar Juni sampai September dan
berkaitan erat dengan sistem arus.
Air laut di lapisan permukaan umumnya mempunyai suhu tinggi, salinitas, dan
kandungan zat hara yang rendah. Sebaliknya pada lapisan yang lebih dalam air laut
mempunyai suhu yang rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang lebih tinggi. Pada waktu
terjadinya upwelling, akan terangkat massa air dari lapisan bawah dengan suhu rendah,
salinitas, dan kandungan zat hara yang tinggi (Sverdurp, 1942 vide Setiawan, 1991; Reddy
1993). Keadaan ini mengakibatkan air laut di lapisan permukaan memiliki suhu rendah,
salinitas, dan kandungan zat hara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan massa air laut
sebelum terjadinya proses upwelling ataupun massa air sekitarnya. Sebaran suhu, salinitas,
dan zat hara secara vertikal maupun horisontal sangat membantu dalam menduga
kemungkinan terjadinya upwelling di suatu perairan. Pola-pola sebaran oseanografi tersebut
digunakan untuk mengetahui jarak vertikal yang ditempuh oleh massa air yang terangkat.
Sebaran suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang dapat
dipergunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu perairan (Birowo dan
Arief, 1983). Dalam proses upwelling ini terjadi penurunan suhu permukaan laut dan tingginya
kandungan zat hara dibandingkan daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut
merangsang perkembangan fitoplankton di permukaan. Karena perkembangan fitoplankton
sangat erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka proses air naik selalu
dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan dan selalu diikuti
dengan meningkatnya populasi ikan di perairan tersebut (Pariwono et al, 1988).
Upwelling di perairan Indonesia dijumpai di Laut Banda, Laut Arafura, selatan Jawa
hingga selatan Sumbawa, Selat Makasar, Selat Bali, dan diduga terjadi di Laut Maluku, Laut
Halmahera, Barat Sumatra, serta di Laut Flores dan Teluk Bone (Nontji, 1993). Upwelling
berskala besar terjadi di selatan Jawa, sedangkan berskala kecil terjadi di Selat Bali dan Selat
Makasar (Birowo dan Arief, 1983). Menurut (Nontji 1993), upwelling di perairan Indonesia
bersifat musiman terjadi pada Musim Timur (Mei-September), hal ini menunjukan adanya
hubungan yang erat antara upwelling dan musim.
4.8. Plankton dan Bentos
Plankton adalah organisme kecil yang keberadaannya mengambang bebas di kolom
perairan, beberapa diantaranya tidak mempunyai alat pergerakan, pergerakannya mengikuti
arus gelombang. Plankton dibedakan menjadi phytoplankton (tumbuhan) dan zooplankton
(hewan). Phytoplankton terdiri dari tumbuhan mikroskopik, diatom, flagellata dan alga biruhijau sedangkan zooplankton terdiri dari bermacam-macam spesies yang dikelompokkan
dalam beberapa genera. Phytoplankton sangat penting untuk kehidupan di laut karena
kemampuannya mensistesis makanannya sendiri dari bahan inorganik. Pola makan-dimakan di
lautan menunjukkan sebuah jaring-jaring makanan. Zooplankton, karnivora kecil, merupakan
jaring pertama dalam rantai makanan; biasanya mereka memakan phytoplankton, zooplankton
dimakan ikan, dan selanjutnya ikan dimakan oleh predatornya. Plankton mempunyai peranan
yang penting dalam kehidupan ikan karena mereka berperan pada kelangsungan hidup larva
ikan dan rekruitmen. Biasanya daerah yang kaya phytoplankton juga kaya zooplankton dan
keberadaan ikan yang melimpah (Reddy, 1993).
Organisme laut yang menetap di dasar laut (benthos) ada yang bergerak dan ada yang
menetap. Organisme bentik merupakan komponen yang penting dalam jaring makanan di laut.
Ikan demersal secara langsung memakan fauna benthik. Tahapan larva ikan pelagis banyak
ditemukan di daerah demersal. Jadi keberadaan benthos juga berpengaruh dalam memasok
ikan pelagis. Intensitas biomas benthik berhubungan dengan kepadatan ikan dan udang di
suatu wilayah. Rata-rata jumlah dan berat organisme benthik mempunyai korelasi dengan
produksi ikan demersal dan faktor oseanografi. (Reddy, 1993).
4.9. Front
Front adalah daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda,
misal pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan massa air Samudera
Hindia yang lebih dingin (Bidang Matra Laut-LAPAN, 1997). Daerah front ditandai dengan
gradien suhu permukaan laut yang sangat jelas antara kedua sisi front (Setiawan, 1991).
Robinson (1991) menyatakan bahwa front penting dalam hal produktivitas perairan
laut karena cenderung membawa bersama-sama air yang dingin dan kaya akan nutrien
dibandingkan dengan perairan yang lebih hangat tetapi miskin zat hara. Kombinasi dari suhu
dan peningkatan kandungan hara yang timbul dari percampuran ini akan meningkatkan
produktivitas plankton. Hal ini akan ditunjukkan dengan meningkatnya stok ikan di daerah
tersebut. Selain itu front atau pertemuan dua massa air merupakan penghalang bagi migrasi
ikan, karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar.
5. DAERAH PENYEBARAN IKAN LEMURU
Lemuru ( Sardinella Lemuru) menghuni perairan tropis yang ada di daerah Indo-Pacific.
Menurut Whitehead ( 1985), ikan ini merupakan habitat yang menghuni suatu daerah dengan
area yang luas yaitu di sebelah timur samudra india, yaitu. Pukhet, Thailand, pantai selatan di
jawa timur dan Bali, Australia barat, dan samudera pasifik ( dari Pulau Jawa sebelah utara
sampai Pilipina, Hong Kong, Taiwan bagian selatan dan Pulau Jepang). Di sebelah tenggara
pulau Jawa dan Bali, konsentrasi ikan Lemuru sebagian besar berada di Selat Bali.
Di Indonesia, Lemuru biasanya dijumpai di Selat Bali, Sebelah selatan Ternate, Teluk
Jakarta dan kadang-kadang di Laut Jawa di luar Jawa Tengah (Soerjodinoto 1960 dalam Merta
1995). Distribusi daerah penyebaran Ikan Lemuru dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Daerah Penyebaran Ikan Lemuru
Selat Bali merupakan daerah perairan yang relatif sempit (sekitar 960 mil2). Mulut
bagian utara sekitar 1 mil dan merupakan perairan yang dangkal (kedalaman sekitar 50 meter)
sedangkan mulut bagian selatan sekitar 28 mil dan merupakan perairan yang dalam. Perairan
Selat Bali ini mempunyai kesuburan yang tinggi. Penyebaran ikan lemuru di Perairan Selat Bali
mempunyai batas wilayah tertentu. Daerah penyebaran waktu musim lemuru adalah ke arah
Barat sampai ke Teluk Grajagan, sedangkan di daerah Pulau Bali dan Candi Kesuma daerah
penyebarannya ke Tenggara hingga sampai ke Semenanjung Bukit.
Berdasarkan Penelitian Akustik yang dilakukan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut
(BPPL) dengan menggunakan alat fish finder, ternyata ikan-ikan Lemuru di perairan Selat Bali
hanya terpusat di paparan saja (paparan Jawa dan Bali) pada kedalaman kurang dari 200m,
sedangkan di luar paparan ikan ini tidak dapat ditemukan. Pada siang hari ikan Lemuru ini
mempunyai kebiasaan membentuk gerombolan dalam jumlah yang cukup padat di dasar
perairan, sedangkan pada malam hari naik ke permukaan dan agak menyebar.
Selama siang hari gerombolan ikan padat ditemukan dekat dengan dasar perairan,
sedang pada malam mereka bergerak ke lapisan dekat permukaan membentuk gerombolan
yang menyebar. Sekali – kali kadang gerombolan Lemuru ditemukan di atas permukaan selama
siang hari ketika cuaca berawan dan gerimis. Bagaimanapun, secara normal sulit untuk
menangkap ikan tersebut dengan cepat. Penangkapan secara normal dapat dilakukan selama
malam hari ketika ikan pindah/ bergerak dekat dengan permukaan air.
Juvenile Lemuru tinggal di perairan yang dangkal dan menjadi target dari alat tangkap
tradisional, seperti liftnet, gillnets, dan lain lain. Lemuru berada di teluk Pangpang, dekat
ujung Sembulungan dan semenanjung Senggrong di sisi pulau Jawa dan di Teluk Jimbaran Bali.
Ukuran ikan terkecil ini kurang dari 11cm (nama lokal disebut sempenit) secara umum mulai
bulan Mei sampai September dan kadang-kadang meluas ke Desember. ikan Yang lebih besar
menghuni perairan lebih dalam dan secara umum ukuran dari ikan bertambah panjang
semakin ke arah selatan.
Gambar 3. Daerah Penyebaran Ikan Lemuru di Selat Bali
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Hartoyo, et.al. (1998) dapat
diketahui bahwa besaran densitas ikan lemuru yang terdistribusi secara horizontal dapat
dilihat pada Gambar 4 sampai dengan Gambar 8. Densitas ikan pada strata kedalaman 5-10
meter sebesar 9216 ekor/1000m3 (Gambar 4). Pada strata kedalama 10-25 meter sebesar
46390 ekor/1000m3 (Gambar 5). Pada strata kedalaman 25-50 meter sebesar 83363
ekor/1000m3 (Gambar 6). Pada kedalaman 50-75 meter densitas ikan sebesar 71533
ekor/1000m3 (Gambar 7), sama halnya dengan strata kedalaman 25-50 meter densitas ikan
lemuru menyebar hampir secara merata sedangkan pada strata kedalaman 75-125 meter
densitas ikan sebesar 22528 ekor/1000m3 (Gambar 8). Pada strata kedalaman ini densitas ikan
lemuru tidak menyebar dibandingkan pada strata keadalaman 25-50 meter dan 25-75 meter.
Sedangkan secara keseluruhan densitas ikan pada semua lapisan pada musim timur yaitu
sebesar 233.030 ekor/1000m3 (Gambar 9).
Gambar 4. Densitas Ikan pada Kedalaman 5-10 meter
Gambar 5. Densitas Ikan pada Kedalaman 10-25 meter
Gambar 6. Densitas Ikan pada Kedalaman 25-50 meter
Gambar 7. Densitas Ikan pada Kedalaman 50-75 meter
Gambar 8. Densitas Ikan pada Kedalaman 75-120 meter
Gambar 9. Densitas Ikan pada Kedalaman 5-125 meter
6. MUSIM PENANGKAPAN
Musim ikan Lemuru adalah pada saat musim barat karena persentase ikan Lemuru
yang tertangkap lebih tinggi pada bulan musim barat, sehingga hasil tangkap pada bulan
musim timur hasil tangkapnya relative lebih sedikit dari pada bulan-bulan musim barat.
Produksi ikan Lemuru umumnya mulai naik pada bulan Oktober dan puncaknya adalah bulan
Desember dan Januari selanjutnya pada bulan Februari mengalami penurunan kembali.
Berdasarkan data dari Resort Muncar tahun 1999, musim ikan lemuru Selat Bali
menurut ukurannya adalah sebagai berikut :

Sempenit : Bulan Agustus sampai Desember

Protolan : Bulan Januari sampai Desember

Lemuru : Bulan Mei sampai Desember

Lemuru kucing : Bulan Oktober sampai Desember
Produksi ikan Lemuru mulai meningkat sejak bulan Agustus. Peningkatan produksi
tersebut dapat dilihat dari munculnya ikan Lemuru sempenit. Antara bulan Desember sampai
Maret, ikan sempenit diganti oleh ikan Lemuru protolan. Penurunan ikan Lemuru protolan
selanjutnya diikuti oleh peningkatan produksi ikan Lemuru kucing. Informasi tersebut
memberikan indikasi bahwa kegiatan penangkapan ikan Lemuru antara bulan Juli sampai
dengan april cukup berbahanya bagi kelestarian sumberdaya ikan Lemuru. Ikan Lemuru
Sempenit dan Protolan masih berukuran muda dan sebagian besar diduga masih belum
mengalami matang gonad. Jika penangkapan ikan berlebihan cenderung mengurangi
kemampuan sumberdaya dalam melakukan pemulihan (recovery) secara alami
Tabel 2. Daerah Penangkapan Ikan Lemuru Menurut Ukuran ikan Lemuru
Periode
Musim Barat
(Desember-Februari
Musim Peralihan I
(Maret-Mei)
Musim TImur
(Juni-Agustus)
Musim Peralihan II
(September-November)
Daerah Penangkapan
A
B
C
D
A
B
C
D
A
B
C
D
A
B
C
D
Selang Ukuran FL (cm)
11-12
12-14
13-14
12-13
12-13
13-16
19-20
19-20
8-101)
13-16
9-122)
12-13
12-13
Wilayah :
A = Dekat Karang Ente
B = Dekat Tanjung Belambangan (Sembulungan)
C = Mulut Selat Bali
D = Wilayah Timur Selat Bali
Keterangan :
1) Sempenit
2) Sempenit dan protolan ikan lemuru ukuran kecil
7. WAKTU PENANGKAPAN
Pengoperasian alat tangkap purse seine di Perairan Selat Bali dilakukan dengan
menggunakan lampu dan tidak menggunakan lampu. Pengoperasian purse seine menggunakan
lampu (ngoncor) dipengaruhi oleh umur bulan, dilakukan pada saat musim barat, sedangkan
pada musim timur pengoperasian purse seine tidak menggunakan lampu (gadangan) Pencarian
gerombolan ikan pada saat Musim Timur dilihat dengan mata telanjang (tanpa bantuan alat
lain).
Jika dilihat ada gerombolan ikan yang cukup besar, baru dilakukan operasi
penangkapan dengan penurunan jaring. Pada musim Barat, operasi penangkapan dilakukan
dengan memakai lampu (ngoncor), yaitu perahu behenti disuatu daerah penangkapan
tertentu, lalu memasang lampu tekan (petromax) sebanyak 4-6 buah dalam satu bangkrak.
Lampu ini dimaksudkan untuk menarik pehatian ikan-ikan Lemuru untuk berkumpul di dekat
lampu. Jika sudah tedihat banyak ikan yang bergerornbol dekat lampu, operasi penangkapan
dengan penurunan jaring baru dilakukan. Pada Musim Barat ini tidak selalu memakai lampu,
karena sering terjadi saat menuju daerah penangkapan ikan terlihat gerombolan ikan yang
cukup besar, yang selanjutnya dilakukan penurunan jaring.
Waktu operasi mengikuti peredaran bulan (Tanggal Jawa). Operasi penangkapan hanya
dilakukan pada saat bulan gelap saja dan dilakukan pada malam hari. Pada setiap kali operasi
penangkapan, nelayan akan segera kembali kepangkalan begitu bulan mulai muncul. Pada
waktu bulan pumama yaitu sekitar 2-3 hari sebelum dan sesudah pumama penuh, kegiatan
operasi penangkapan terhenti. Waktu-waktu istirahat ini dipergunakan untuk memperbaiki
jaring atau perahu. Jumlah hari operasi penangkapan (hari akttf) untuk satu unit pukat anan
setiap bulan selama pendian berlangsung antara 21-23 hari
DAFTAR PUSTAKA
Bleeker. 1853. http://www.calacademy.org/ research/ichthyology/catalog/
Barnes, H., (1988). Oceanography and Marine Biology. An Annual Review Volume 22.
Aberdeen University Press. Aberdeen
Birowo dan Arief, 1983. “Upwelling atau Penaikan Massa Air”. Pewarta Oceana. Vol 2 (3). LONLIPI. Jakarta.
Dahuri, R. Sambutan Pemerintah pada Sidang Paripurna DPR-RI dalam Pengesahan UndangUndang tentang Perikanan. Tanggal 14 September 2004.
http://dkp.go.id/content.php?c=1491.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 2007.
http://www.dkp.go.id/
Dinas Perikanan Resort Mancar. 1999. Laboran Tahunan Resort Mancar, Kabupaten
Banyuwangi. Dinas Perikanan Resort Mancar. Mancar.
Dwiponggo A 1982. Beberapa Aspek Biologi Ikan Lemuru, Sardinella spp. Prosiding Seminar
Perikanan Lemuru, Banyuwangi 18-21 Januari 1982. Pros. O., 2/SPL/82:75-88.
Fishbase. 2009. www.fishbase.org
Hartoyo, D. 1998. Sebaran Densitas Ikan Pelagik di Selat Bali pada Musim Timur September
1998. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional.
Merta,I.G.S. 1995. Review of The Lemuru Fishery in The Bali Strait. Pelfish, Jakarta. Reports on
the “Biodynex” Seminar, Biology, Dynamic and Exploitation of the Small Pelagic Fishes in
the Java Sea.
Nontji, A. 1993. “Pengolahan Sumberdaya Kelautan Indonesia Dengan Tekanan Utama Pada
Perairan Pesisir”. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Hang Tuah. Surabaya.
Pariwono, J. I., M. Eidman, S. Raharjo, M. Purba, R. Widodo, U. Juariah, dan J.H. Hutapea.,
1988. Upwelling di Perairan Selatan Jawa. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Ilmu
Kelautan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Reddy, M.P.M. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the Abundance of
Fish Catch. Proceeding of International workshop on Apllication of Satellite Remote
Sensing for Identifying and Forecasting Potential Fishing Zones in Developing Countries,
India, 7-11 December 1993.
Robinson, 1991. Satellite Oceanography, An Introduction for Oceanographer and Remote
Sensing Scientist. Ellis Horwood Limited. John Wiley and Sons. New York.
Setiawan, R., (1991). Pemanfaatan Data SPL dari Satelit NOAA-9 sebagai Salah Satu Parameter
Indikator Up Welling di Perairan Selat Bali. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Program Studi
Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Whitehead, P.J.P., 1985). FAO Species Catalogue. Vol. 7. Clupeid Fishes of the World.
Annotated and Illustrated Catalogue of the Herrings, Sardines, Pilchards, Sprats,
Anchovies, and Wolf Herrings. Part 1. Chirocentridae, Clupeidae and Pristigasteridae.
FAO Fish. Synop., 7(25).
Download