PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 08 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN DI BIDANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan perizinan di bidang kesehatan serta memberikan jaminan perlindungan pada masyarakat perlu dilakukan pembinaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Kabupaten Lampung Utara; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perizinan Di Bidang Kesehatan. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956 tentang Pembentukan Kabupaten-kabupaten Provinsi Sumatera Daerah Otonom dalam Lingkungan Daerah Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1091) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1821); 1 2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5063); 5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Noor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); 6. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Indonesia Kesehatan Tahun (Lembaran 1996 Nomor Negara 49, Republik Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637); 9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi 2 dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 5044) ; 12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 867 / MENKES / PER / VIII / 2004 tentang Registrasi dan Praktik Terapis Wicara; 13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 548 / Menkes / Per / V / 2007 tentang Registrasi dan Izin Praktik Okupasi Terapis; 14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147 / Menkes / per / I / 2010 tentang Perijinan Rumah Sakit; 15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02 / Menkes / 148 / I /2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat; 16. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340 / Menkes / / Per / III / 2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit; 17. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 411 / Menkes / Per / III / 2010 tentang Laboratorium Klinik; 18. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191 / Menkes / Per / VIII / 2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan; 19. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 1464 / Menkes / Per / X / 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan; 20. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028 / Menkes / P er / I / 2011 tentang Klinik; 3 21. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889 / Menkes / PER / V / 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian; 22. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1796 / Menkes / PER / VIII / 2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan; 23. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052 / Menkes / Per / X / 2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran; 24. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perawat Gigi; 25. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat; 26. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perawat Anastesi; 27. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1363 / Menkes / SK / XII / 2001 tentang Registrasi dan Izin Praktik Fisioterapi; 28. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 544 / Menkes / SK / VI / 2002 tentang Registrasi dan Izin Kerja Refraksionis dan Optisien; 29. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1331 / Menkes / SK / X / 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 167 / Menkes / KAB / B.VII / 1972 tentang Pedagang Eceran Obat; 30. 31. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332 / Menkes / SK / X / 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek; Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1424 /Menkes / SK / XI / 2002 tentang Penyelenggaraan Optikal; 32. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364 / Menkes / SK / III / 2003 tentang Laboratorium Kesehatan; 33. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 640 / Menkes / SK / V / 2003 tentang Teknisi Kardiovaskuler; 4 34. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1277 / Menkes / SK / VII / 2003 tentang Tenaga Akupuntur; 35. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1076 / Menkes / SK / VII / 2003 tentang Penyelanggaraan Pengobatan Tradisional; 36. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1267 / Menkes / SK / XII / 2004 tentang Standar Pelayanan Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota; 37. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 357 / Menkes / SK / V / 2006 tentang Registrasi dan Izin Kerja Radiografer; 38. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 370 / Menkes / SK / II I/ 2007 tentang Standar Profesi Teknologi Laboratorium Kesehatan; 39. Keputusan Menteri kesehatan Nomor 922 / Menkes / SK / X / 2008 tentang Pedoman Teknis Pembagian Urusan Pemerintah Pemerintah, Bidang Pemerintah Kesehatan Daerah Antara Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA dan BUPATI LAMPUNG UTARA MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN DI BIDANG KESEHATAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Lampung Utara. 2. Bupati adalah Bupati Lampung Utara. 5 3. Pemerintah Daerah adalah Bupati Lampung Utara beserta Perangkat Daerah, sebagai Unsur Penyelenggara Pemerintahan Daerah. 4. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang terdiri dari Sekretaris Daerah, Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah dan Kecamatan. 5. Dinas adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Utara. 6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Utara. 7. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau ogranisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 8. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. 9. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah. 10. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah. 11. Fasilitas pelayanan kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi, rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktik bersama. 12. Fasilitas produksi adalah sarana yang digunakan untuk memproduksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetik. 13. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis. 14. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 15. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. 16. Izin mendirikan rumah sakit adalah izin yang diberikan untuk mendirikan rumah sakit setelah memenuhi persyaratan untuk mendirikan. 17. Izin operasional rumah sakit adalah izin yang diberikan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan setelah memenuhi persyaratan dan standar. 18. Fasilitas penunjang medik adalah tempat yang digunakan membantu penyelenggaraan upaya kesehatan. 19. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. 20. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. 21. Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. 6 22. Pedagang Eceran Obat adalah orang dan atau badan hukum Indonesia yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat bebas dan obat-obat bebas terbatas (Daftar W) untuk dijual secara eceran di tempat tertentu sebagaimana tercantum dalam surat ijin, selanjutnya disebut dengan Toko Obat. 23. Alat kesehatan adalah instrumen, apparatus, mesin, implan, yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. 24. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (generik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. 25. Pengobatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara obat, dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman dan keterampilan turun temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. 26. Pengobat tradisional adalah orang yang melakukan pengobatan tradisional (alternatif). 27. Laboratorium kesehatan adalah sarana kesehatan yang melakanakan pengukuran, penetapan dan pengujian terhadap badan yang berasal dari manusia atau bahn bukan berasal dari amnusia untuk penentuan jenis penyakit, penyebab penyakit, kondisi kesehatan atau faktor yang dapat berpengaruh pada kesehatan perorangan dan masyarakat. 28. Laboratorium klinik adalah laboratorium kesehatan yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan spesimen klinik untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan perorangan terutama untuk menunjang upaya diagnosis penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. 29. Laboratorium kesehatan masyarakat adalah laboratorium kesehatan yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan di bidang mikrobiologi, fisika, kimia dan atau bidang lain yang berkaitan dengan kepentingan kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan terutama untuk menunjang upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan masyarakat. 7 30. Optikal adalah fasilitas penunjang medik yang menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan mata dasar, pemeriksaan refraksi serta pelayanan kacamata koreksi dan/atau lensa kontak. 31. Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan pungsi, komunikasi. 32. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 33. Standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill, and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu utuk dapat melakukan kegiatan profesinalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi atau oleh Pemerintah. 34. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. 35. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah tanda bukti tertulis diberikan Pemerintah Daerah kepada dokter dan dokter gigi yang telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik kedokteran. 36. Surat Izin Kerja yang selanjutnya disingkat SIK adalah tanda bukti tertulis diberikan Pemerintah Daerah kepada tenaga kesehatan yang telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik profesinya di fasilitas pelayanan kesehatan. 37. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah tanda bukti tertulis diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi. 38. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan yang diberikan terhadap kompetensi seseorang tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. 39. Dokter dan dokter gigi adalah dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 8 40. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik didalam maupun diluar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 41. Surat Izin Praktik Perawat yang selanjutnya disingkat SIPP adalah bukti tertulis diberikan menjalankan oleh praktik Pemerintah Daerah keperawatan secara kepada perawat perorangan untuk dan/atau berkelompok. 42. Surat Izin Kerja Perawat yang selanjutnya disingkat SIKP adalah bukti tertulis diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada perawat yang memenuhi persyaratan untuk bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. 43. Perawat gigi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan perawat ggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 44. Surat Izin Perawat Gigi yang selanjutnya disingkat dengan SIPG adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan gigi di seluruh wilayah Indonesia. 45. Perawat Anastesi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan Perawat Anastesi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. 46. Surat Izin Kerja Perawat Anastesi yang selanjutnya disingkat SIKPA adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan anastesi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 47. Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari penddikan bidan yang telah teregistrasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 48. Surat Izin Praktik Bidan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik bidan mandiri. 49. Surat Izin Kerja Bidan yang selanjutnya disingkat SIKB adalah bukti tertulis diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada bidan yang memenuhi persyaratan untuk bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. 50. Terapis wicara adalah seseorang yang telah lulus pendidikan terapis wicara baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 51. Surat Izin Terapis Wicara selanjutnya disebut SITW adalah bukti tertulis atas kewenangan untuk menjalankan pekerjaan terapis wicara di seluruh wilayah Indonesia. 52. Surat Izin Praktik Terapis Wicara selanjutnya disebut SIPTW adalah bukti tertulis yang diberikan kepada terapis wicara untuk menjalankan praktik terapis wicara. 9 53. Surat Izin Fisioterapis selanjutnya disingkat SIF dalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan fisioterapi di seluruh wilayah Indonesia. 54. Surat izin Praktik Fisioterapis yang selanjutnya disingkat SIPF adalah bukti tertulis diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada fisioterapis untuk menjalankan praktik fisioterapi. 55. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. 56. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. 57. Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. 58. Surat Izin Praktik Apoteker yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian paa fasilitas pelayanan kefarmasian. 59. Surat Izin Kerja Apoteker yang selanjutnya disingkat SIKA adalah surat izin praktik diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau penyaluran. 60. Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian yang selanjutnya disingkat SIKTTK adalah surat izin praktik diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian. 61. Refraksionis Optisien adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan refraksionis optisien minimal program pendidikan diploma, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 62. Surat Izin Refraksionis Optisien yang selanjutnya disingkat SIRO adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan refraksionis optisien di seluruh wilayah Indonesia. 63. Surat Izin Kerja Refraksionis Optisien yang selanjutnya disingkat SIKRO adalah bukti tertulis yang diberikan kepada refraksionis optisien untuk melakukan pekerjaan di sarana pelayanan kesehatan. 64. Radiografer adalah tenaga kesehatan lulusan Akademi Penata Rontgen, Diploma III Radiologi, Pendidikan Ahli Madya/Akademi/Diploma III Teknik 10 Radiodiagostik dan Radioterapi yang telah memiliki ijazah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 65. Surat Izin Radiografer yang selanjutnya disingkat SIR adalah bukti tertulis pemberian kewenangan kepada radiografer untuk menjalankan pekerjaan radiografer di seluruh wilayah Indonesia. 66. Surat Izin Kerja Radiografer yang selanjutnya disingkat SIKR adalah bukti tertulis diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada radiografer untuk menjalankan pekerjaan radiografi di fasilitas pelayanan kesehatan. 67. Pemilik izin adalah orang pribadi atau badan hukum yang telah memiliki izin di bidang kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 68. Masa Bakti adalah masa pengabdian profesi tenaga kesehatan daam rangka menjalankan tugas yang diberikan oleh pemerintah pada suatu sarana kesehatan. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk mengoptimalkan aktivitas dibidang kesehatan, memberikan perlindungan bagi masyarakat dan memberikan kepastian hukum (2) Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan kesehatan yang baik kepada masyarakat. BAB III RUANG LINGKUP Pasal 3 Ruang lingkup peraturan daerah ini meliputi : a. Penentuan atau penetapan kriteria dan klasifikasi setiap jenis usaha dan sarana pelayanan kesehatan b. Pembinaan, pengaturan, pengendaliaan, dan pengawasan terhadap usaha – usaha sarana pelayanan kesehatan c. Pemberian, penangguhan, penolakan dan pencabutan perizinan d. Evaluasi dan perbaikan pelayanan kesehatan e. Pemberian sanksi atas pelanggaran yang terjadi 11 BAB IV SUBJEK DAN OBJEK Pasal 4 (1) Subjek Peraturan Daerah ini adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan jasa pelayanan perizinan dibidang kesehatan (2) Objek Peraturan Daerah ini adalah setiap tempat usaha yang menyelenggarakan jasa pelayanan kesehatan di Kabupaten Lampung Utara. BAB V PERIZINAN DI BIDANG KESEHATAN Pasal 5 (1) Setiap orang atau badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. izin penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan; b. izin penyelenggaraan fasilitas penunjang medik; dan c. izin tenaga kesehatan. Pasal 6 Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tidak dapat dipindahtangankan. BAB VI IZIN PENYELENGGARAAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN Bagian Kesatu Jenis Izin Pasal 7 (1) Setiap orang atau badan hukum yang menyelenggarakan fasilitas pelayanan kesehatan di daerah wajib memiliki izin penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan. (2) Izin penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. klinik; b. rumah sakit. 12 Bagian Kedua Izin Penyelenggaraan Klinik Pasal 8 (1) Berdasarkan jenis pelayanannya, klinik dibagi menjadi Klinik Pratama dan Klinik Utama. (2) Klinik Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar. (3) Klinik Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik. (4) Klinik Paratama atau Klinik Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat mengkhususkan pelayanan pada satu bidang tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit tertentu. Pasal 9 (1) Pimpinan Klinik Pratama adalah seorang dokter atau dokter gigi. (2) Pimpinan Klinik Utama adalah dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang memiliki kompetensi sesuai dengan jenis kliniknya. (3) Pimpinan klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan penanggung jawab klinik dan merangkap sebagai pelaksana pelayanan. Pasal 10 (1) Setiap tenaga medis yang berpraktik di klinik harus mempunyai Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap tenaga lain yang bekerja di klinik harus mempunyai Surat Izin sebagai tanda registrasi/STR dan SIK atau SIPA sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 (1) Untuk mendirikan klinik harus mendapat izin dari pemerintah daerah setelah mendapatkan rekomendasi dari Dinas. (2) Untuk menyelenggarakan klinik harus mendapat izin dari Pemerintah Daerah setelah mendapat rekomendasi dari Dinas. (3) Permohonan izin klinik diajukan dengan melampirkan: 13 a. surat rekomendasi dari dinas; b. salinan/fotokopi pendirian badan usaha kecuali untuk kepemilikan perorangan; c. identitas lengkap pemohon; d. surat keterangan persetujuan lokasi dari pemerintah daerah; e. bukti hak kepemilikan atau penggunaan tanah atau izin penggunaan bangunan untuk penyelenggaraan kegiatan bagi milik pribadi atau surat kontrak minimal selama 5 (lima) tahun bagi yang menyewa bangunan untuk penyelenggaraan kegiatan; f. dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL); g. profil klinik yang akan didirikan meliputi struktur organisasi kepengurusan, tenaga kesehatan, sarana dan prasarana dan peralatan serta pelayanan yang diberikan; dan h. persyaratan administrasi lan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Izin klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjangan 6 (enam) bulan sebelum habis masa berlaku izinnya. (5) Izin klinik berlaku hanya untuk 1 (satu) tempat klinik. (6) Pemerintah daerah kabupaten/kota dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima harus menetapkan menerima atau menolak permohonan izin atau permohonan perpanjangan izin. (7) Permohonan yang tidak memenuhi syarat ditolak oleh pemerintah daerah dengan memberikan alasan penolakannya secara tertulis. Pasal 12 (1) Klinik yang menyelenggarakan pelayanan rawat inap harus menyediakan: a. ruang rawat inap yang memenuhi persyaratan; b. tempat tidur pasien minimal 5 (lima) dan maksimal 10 (sepuluh); c. tenaga medis dan keperawatan yang sesuai jumlah dan kualifikasinya; d. tenaga gizi, tenaga analis kesehatan, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan dan/atau tenaga non kesehatan lain sesuai kebutuhan; e. dapur gizi; dan f. pelayanan laboratorium Klinik Pratama. (2) Pelayanan rawat inap hanya dapat dilakukan maksimal selama 5 (lima) hari. 14 Bagian Ketiga Izin Penyelenggaraan Rumah Sakit Pasal 13 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta yang mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit wajib memiliki izin. (2) Rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari ; a. Rumah sakit umum kelas C dan D; b. Rumah sakit khusus kelas C. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a. Izin mendirikan rumah sakit; dan b. Izin operasional rumah sakit. (4) Izin Operasional rumah sakit dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri dari: a. Izin operasional sementara; dan b. Izin operasional tetap. Pasal 14 (1) Rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) harus berbentuk unit pelaksana teknis dari instansi yang bertugas di bidang kesehatan dan instansi tertentu dengan pengelolaan badan layanan umum. (2) Rumah sakit yang didirikan oleh Pemerintah Daerah harus berbentuk lembaga teknis daerah dengan pengelolaan badan layanan umum daerah. (3) Rumah sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumah sakitan. Pasal 15 (1) Jangka waktu izin mendirikan rumah sakit berlaku selama 2 (dua) tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum atau tidak dilaksanakannya pembangunan rumah sakit, maka mengajukan izin baru. (3) Jangka waktu operasional sementara berlaku selama 1 (satu) tahun dan diperbaharui paling banyak 3 (tiga) kali. (4) Jangka waktu izin operasional tetap berlaku selama 5 (lima) tahun, dan dapat diperbaharui selama memenuhi persyaratan operasional rumah sakit. 15 Bagian Keempat Hak, Kewajiban, dan Larangan Paragraf 1 Hak dan Kewajiban Pasal 16 (1) Setiap pemilik izin berhak : a. menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan izin; b. mendapatkan pembinaan dari Pemerintah Daerah; c. mendapatkan jaminan penyelenggaraan terhadap kegiatan sesuai dengan izin yang dimiliki. (2) Setiap pemilik izin diwajibkan: a. melakukan pelayanan kesehatan sesuai izin yang dimiliki dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul dari pelaksanaan izin yang telah diberikan; c. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; d. menciptakan rasa nyaman, aman, dan membina hubungan harmonis dengan lingkungan tempat melakukan kegiatannya. Paragraf 2 Larangan Pasal 17 Setiap pemilik izin dilarang: a. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi; b. menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin; c. memperkerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki SIP/SIK; d. memperkerjakan tenaga kesehaan warga negara asing. 16 BAB VII IZIN PENYELENGGARAAN FASILITAS PENUNJANG MEDIK Bagian Kesatu Jenis Izin Pasal 18 (1) Setiap orang atau badan hukum yang menyelenggarakan fasilitas penunjang medik di daerah wajib memiliki izin penyelenggaraan fasilitas penunjang medik. (2) Izin penyelenggaraan fasilitas penunjang medik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. izin apotek; b. izin toko obat; c. izin toko alat kesehatan; d. izin klinik kecantikan; e. izin pengobat tradisional; f. izin optikal; g. izin laboratorium optikal; h. izin laboratorium kesehatan; i. izin fasilitas pelayanan radiologi; dan j. izin fasilitas pelayanan fisioterapi; Bagian Kedua Izin Apotek Pasal 19 (1) Setiap orang atau badan usaha yang menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian dalam hal pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, penyampuran, penyimpanan dan penyerahan perbekalan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat wajib memiliki Izin Apotek. (2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. memiliki Apoteker, atau Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana; b. apabila sewaktu-waktu tenaga Apoteker Pengelola Apotek tidak ada di tempat, maka dapat digantikan oleh Apoteker pendamping / Asisten Apoteker ; 17 c. tersedia tempat yang memenuhi persyaratan; d. tersedia alat pengolahan dan peracikan; e. tersedia perlengkapan dan alat perbekalan farmasi; f. tersedia wadah pengemas dan pembungkus etiket; dan g. tersedia literatur standar yang diwajibkan; (3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. (4) Izin apotek berlaku selama apotek berdiri dan dapat dicabut apabila : a. terjadi penggantian apoteker pengelola apotek; b. terjadi penggantian nama apotek; c. terjadi penggantian alamat apotek / pemindahan lokasi; d. terjadi pergantian pemilik sarana apotek; dan e. Pemilik sarana dan atau apoteker terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang obat. (5) Pengalihan tanggung jawab pengelolaan apotek: a. apoteker pengganti wajib dilakukan serah terima resep, narkotik, obat dan perbekalan farmasi lainnya serta kunci-kunci tempat penyimpanan narkotik dan psikotropik; b. serah terima sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib dibuat berita acara serah terima yang di tanda tangani oleh kedua belah pihak. Bagian Ketiga Izin Toko Obat Pasal 20 (1) Setiap orang atau badan usaha yang melakukan penjualan obat bebas dan obat bebas terbatas serta perbekalan kesehatan (bahan habis pakai untuk tindakan medis) secara eceran wajib memiliki Izin Toko Obat. (2) Untuk mendapatkan izin toko obat sebagamana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana berikut : a. wajib mempekerjakan seorang Asisten Apoteker sebagai penanggung jawab teknis farmasi; b. pedagang eceran obat (toko obat) harus menjaga agar obat-obat yang dijual bermutu baik dan berasal dari pabrik-pabrik farmasi atau pedagang besar farmasi yang mendapat izin dari Menteri Kesehatan; c. pedagang eceran obat (toko obat) harus memasang papan identitas yang jelas; dan 18 d. pedagang eceran obat dilarang menerima atau melayani resep dokter; (3) Izin Toko Obat berlaku selama toko obat aktif beroperasi dan dapat dicabut jika terjadi pelanggaran dan atau tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Bagian Keempat Izin Toko Alat Kesehatan Pasal 21 Alat kesehatan yang dijual merupakan alat kesehatan yang tidak dapat menimbulkan bahaya dalam penggunaan dan penggunaannya tidak memerlukan pengawasan tenaga kesehatan. Pasal 22 (1) Setiap orang atau badan usaha yang melakukan penjualan alat kesehatan dan sediaan farmasi yang berupa bahan habis pakai (bukan obat) wajib memiliki izin toko alat kesehatan. (2) Pendirian toko alat kesehatan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan berikut : a. perbekalan kesehatan berupa bahan habis pakai atau alat kesehatan harus memenuhi standar yang ditentukan; b. perbekalan kesehatan yang dimaksud pada huruf a, dan alat kesehatan yang dijual harus memiliki izin edar; c. penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan obyektiffitas dan kelengkapan, serta tidak menyesatkan; d. toko alat kesehatan harus memasang papan identitas yang jelas; e. pada iklan dan barang-barang cetakan toko alat kesehatan tidak boleh memasang nama yang sama atau menyamai nama apotek, pabrik obat atau pedagang besar farmasi, yang dapat menimbulkan kesan seakanakan toko alat kesehatan tersebut adalah sebuah apotek atau ada hubungannya dengan apotek, pabrik farmasi atau pedagang besar farmasi; f. pedagang alat kesehatan dilarang membuat obat, membungkus atau membungkus kembali obat; dan g. alat-alat kesehatan habis pakai yang pada penggunaannya dapat/untuk menembus kulit harus disimpan secara tersendiri dan tidak dipajang; dan 19 h. memiliki toko dengan status milik sendiri, kontrak atau sewa paling singkat 2 (dua) tahun. Pasal 23 (1) Izin toko alat kesehatan dapat dicabut apabila : a. mendistribusikan alat kesehatan yang tidak mempunyai izin edar; dan/atau b. mengadakan dan menyalurkan alat kesehatan yang bukan dari (PAK) atau Cabang (PAK). (2) Izin Toko Alat Kesehatan berlaku selama toko tersebut masih beroperasi. Bagian Kelima Izin Pengobat Tradisional Pasal 24 (1) Surat tanda daftar terdiri dari surat terdaftar pengobat tradisional (STPT) dan surat izin pengobat tradisional (SIPT). (2) STPT diberikan kepada pengobat tradisional yang menjalankan pekerjaan pengobatan tradisional. (3) SIPT diberikan kepada pengobat tradisional yang metodenya sudah memenuhi persyaratan penapisan, pengkajian, penelitian dan pengujian serta terbukti aman dan bermanfaat bagi kesehatan.. (4) Klasifikasi pengobatan tradisional yang mendapatkan surat tanda daftar meliputi : a. Jenis batra keterampilan meliputi : 1. akupunkturis ; 2. batra refleksi ; 3. batra pijat urat 4. batra patah tulang ; 5. batra tusuk jari (akupressuris) ; 6. pengobat tradisional lainnya yang sejenis. b. Jenis batra ramuan ; 1. Jamu ; 2. Gurah ; 3. Sinshe ; 4. Tabib ; 5. Homeopathy ; 6. Aromaterapi ; dan 20 7. Pengobat tradisional lainnya yang sejenis. c. Jenis batra pendekatan agama ; d. Jenis batra supranatural ; 1. Batra tenaga dalam (prana) ; 2. Batra paranormal ; 3. Batra reiky master ; 4. Pengobat lainnya yang sejenis. (5) Ketentuan pengobatan tradisional : a. Hanya dapat menggunakan peralatan yang aman bagi kesehatan dan sesuai dengan metode/keilmuannya ; b. Dilarang menggunakan peralatan kedokteran dan penunjang diagnostik kedokteran ; c. Dilarang memberikan dan/atau menggunakan obat modern, obat keras, narkotika dan psikotropika serta bahan berbahaya ; dan d. Dilarang menggunakan obat tradisional yang diproduksi oleh industri obat tradisional (pabrikan) yang tidak terdaftar dan obat tradisional racikan yang bahan bakunya tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Pasal 25 Persyaratan administrasi surat terdaftar pegobat tradisional (STPT) meliputi : a. Biodata pengobat tradisional; b. Fotocopy sertifikat/ijazah pengobatan tradisional yang dimiliki; c. Surat keterangan Kepala Desa/Lurah tempat melakukan pekerjaan sebagai pengobat tradisional ; d. Rekomendasi dari asosiasi (tingkat kabupaten) di bidang pengobatan tradisional yang bersangkutan ; e. Surat pengantar dari Puskesmas setempat ; f. Pas foto ukuran 4x6 sebanyak 2 lembar ; g. Rekomendasi dari Kejaksaan untuk jenis pengobatan supranatural dan dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten untuk jenis pengobatan dengan pendekatan agama ; dan h. Fotocopy KTP 21 Pasal 26 Persyaratan administrasi Surat Izin Pengobat Tradisional (SIPT) meliputi : a. Biodata pengobat tradisional ; b. Surat keterangan Kepala Desa/Lurah tempat melakukan pekerjaan sebagai pengobat tradisional ; c. Peta lokasi usaha dan denah ruangan ; d. Rekomendasi dari asosiasi/organisasi profesi di bidang pengobatan tradisional yang bersangkutan ; e. Fotocopy sertifikat/ijazah pengobatan tradisional ; f. Surat pengantar dari Puskesmas setempat ; g. Pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; dan h. Fotocopy KTP. Pasal 27 (1) Pengobat tradisional sebagaimana dimaksud pasal 21 berkewajiban menyediakan : a. ruang kerja dengan ukuran minimal 2 X 2,5 m2; b. ruang tunggu; c. papan nama pengobat tradisional dengan mencantumkan surat terdaftar / surat izin pengobat tradisional, serta luas papan maksimal 1 X 1,5 m2; d. WC yang terpisah dari ruang pengobatan; e. penerangan yang baik sehingga dapat membedakan warna dengan jelas; f. sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan hygine dan sanitasi; g. ramuan / obat tradisional yang memenuhi persyaratan; dan h. pencatatan sesuai dengan kebutuhan. (1) Pengobat tradisional dilarang menggunakan peralatan atau identitas kedokteran yang dapat menimbulkan persepsi seakan-akan ia adalah seorang dokter. Pasal 28 STPT/SIPT berlaku selama pengobat tradisional melakukan pekerjaan di daerah, dan melakukan penggantian bila terjadi perubahan atau pindah alamat. 22 Bagian Keenam Izin Klinik Kecantikan dan Perawatan Kulit Pasal 29 (1) Setiap orang atau badan hukum yang menyelenggarakan perawatan kulit baik wajah maupun tubuh atau klinik kecantikan yang menggunakan sediaan farmasi yaitu obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika wajib memiliki izin sarana pelayanan. (2) Penyelenggaraan pelayanan kecantikan dan perawatan kulit harus mengikuti ketentuan sebagai berikut : a. mendapatkan rekomendasi dari dokter Puskesmas setempat; b. bahan yang digunakan atau diedarkan harus memiliki izin edar dari Balai POM; c. tersedia tenaga terlatih; d. memenuhi syarat hygiene baik tempat maupun alat yang digunakan. Pasal 30 (1) Surat izin klinik kecantikan dan atau perawatan kulit wajah maupun tubuh berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan. Bagian Ketujuh Izin Laboratorium Kesehatan Paragraf Kesatu Jeniz Laboratorium Kesehatan Pasal 31 Jenis laboratorium kesehatan berdasarkan pelayanan terdiri dari: a. laboratorium klinik; dan b. laboratorium kesehatan masyarakat. Paragraf Kedua Izin Laboratorium Klinik Pasal 32 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta yang mendirikan dan menyelenggarakan laboratorium klinik wajib memiliki izin (2) Izin penyelenggaraan laboratorium klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: 23 a. laboratorium klinik umum pratama; b. laboratorium klinik umum madya. (3) Laboratorium klinik umum pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan laboratorium yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan spesimen klinik dengan kemampuan pemeriksaan terbatas dengan teknik sederhana. (4) Laboratorium klinik umum madya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yaitu laboratorium yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan spesimen klinik dengan kemampuan pemeriksaan tingkat laboratorium klinik umum pratama dan pemeriksaan imunologi dengan teknik sederhana. Pasal 33 (1) Sarana Laboratorium Klinik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. gedung permanen; b. tersedia ruang tunggu, ruang ganti, ruang pengambilan spesimen, ruang administrasi, ruang pemeriksaan, ruang sterilisasi, dan ruang makan/minum; c. tersedia WC yang terpisah antara petugas dengan pasien; d. penerangan lampu minimal 5 Watt/m2; e. ventilasi minimal 1/3 X luas lantai; f. tersedia air mengalir; g. tersedia tempat penampungan dan pengolahan sederhana limbah cair; h. tersedia tempat penampungan dan pengolahan sederhana limbah padat; i. ruangan mudah dibersihkan; j. permukaan meja pemeriksaan tidak tembus air, tahan asam, alkali dan larutan organik; k. tersedia perlalatan teknis meliputi peralatan dasar dan peralatan khusus; l. tersedia peralatan/perlengkapan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja); dan m. reagen yang digunakan harus memiliki kualitas baik, harus sudah terdaftar pada Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alkes Depkes RI, telah dievaluasi oleh WHO collaborating centre dan atau telah diijinkan di negara asal. (2) Izin Laboratorium Klinik berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang sepanjang memenuhi persyaratan. Pasal 34 24 (1) Laboratorium klinik terdiri dari laboratorium klinik umum pratama dan laboratorium klinik umum madya (2) Laboratorium klinik umum pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketenagaan meliputi : a. penanggung jawab teknis sekurang-kurangnya seorang dokter dengan sertifikat pelatihan teknis dan manajemen laboratorium kesehatan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan, yang dilaksanakan oleh organisasi profesi patologi klinik dan institusi pendidikan kesehatan bekerjasama dengan kementerian kesehatan; dan b. tenaga teknis dan administrasi, sekurang-kurangnya 2 (dua) orang analis kesehatan serta 1 (satu) orang tenaga administrasi. (3) Laboratorium klinik umum madya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketenagaan meliputi : a. penanggung jawab teknis sekurang-kurangnya seorang dokter spesialis patologi klinik; dan b. tenaga teknis dan administrasi, sekurang-kurangnya 4 (empat) orang analis kesehatan dan 1 (satu) orang perawat serta 2 (dua) orang tenaga administrasi. Pasal 35 (1) Dokter penanggung jawab teknis laboratorium klinik umum pratama hanya diperbolehkan menjadi penanggung jawab teknis pada 1 (satu) laboratorium klinik. (2) Dokter spesialis penanggung jawab teknis laboratorium klinik diperbolehkan menjadi penanggung jawab teknis paling banyak 3 (tiga) laboratorium klinik. (3) Penanggung jawab teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat merangkap sebagai tenaga teknis pada laboratorium yang dipimpinnnya. Pasal 36 Laboratorium klinik yang pindah lokasi, perubahan nama laboratorium, dan/atau perubahan kepemilikan harus mengajukan permohonan izin yang baru. Bagian Kedelapan Izin Optikal Pasal 37 (1) Setiap orang atau badan hukum yang menyelenggarakan pelayanan konsultasi, diagnostik, terapi dan rehabilitasi penglihatan, serta pelayanan 25 estetika di bidang refraksi, kacamata, atau lensakontak wajib memiliki Izin Optikal. (2) Izin penyelenggaraan optikal harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tersedia ruang kerja/pemeriksaan bagi refraksionis optisien yang memenuhi syarat kesehatan sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter x 3 (tiga) meter atau 9 (sembilan) meter persegi; b. tersedia ruang pemeriksaan/penyetelan kacamata dengan luas sekurang-kurangnya 1 (satu) meter x 3 (tiga) meter atau 3 (tiga) meter persegi; c. tersedia ruang pemasangan (fitting) lensakontak dengan luas sekurangkurangnya 1 (satu) x 2 (dua) meter atau 2 (dua) meter persegi; d. tersedia ruang tunggu pasien dan tempat peraga kacamata/lensa dengan luas sekurang-kurangnya 2 (dua) x 2 (dua) meter atau 4 (empat) meter persegi, serta harus tersedia peralatan mebel dan lemari untuk peraga aneka jenis kacamata dan lensa kacamata secukupnya; e. memiliki peralatan untuk pemeriksaan mata dasar; f. memiliki peralatan untuk pemeriksaan refraksi; g. memiliki peralatan untuk pemeriksaan binokuler; h. memiliki peralatan untuk pemasangan lensakontak; dan i. memiliki tenaga refraksionis (3) Izin Optikal berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui. Bagian Kesembilan Izin Laboratorium Optik Pasal 38 (1) (2) Setiap orang atau badan hukum yang menyelenggarakan pelayanan laboratorium optikal wajib memiliki Izin Laboratorium Optik. Izin penyelenggaraan laboratorium optik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. tersedia ruangan dengan luas sekurang-kurangnya 2 (dua) x 3 (tiga) meter atau 6 (enam) meter persegi; b. memiliki satu unit mesin gosok lensa sferis; c. memiliki satu unit mesin gosok lensa silindris; d. memiliki set mal pengukur tuls penggosok lensa (gauge meter); e. memiliki satu set tuls penggosok lensa; f. memiliki pasir abrasif secukupnya; g. memiliki satu buah tang pemotong lensa; 26 h. memiliki lembaran patron (pattern sheet) pembuat mal bingkai secukupnya; i. memiliki satu unit alat sentrasi penggenggam lensa (lens blocker); j. memiliki satu buah mesin faset lensa; k. memiliki satu set peralatan (obeng dan tang) untuk memasang lensa, menyetel dan mereparasi bingkai kacamata; l. memiliki satu buah alat pemanas bingkai kacamata; m. memiliki satu unit lensometer; dan n. Memiliki satu buah lemari penyimpanan peralat dan stok bahan lensa. (3) Izin Laboratorium Optik berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui. Bagian Kesepuluh Izin Fasilitas Pelayanan Fisioterapi Pasal 39 (1) Setiap orang atau badan hukum yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh wajib memiliki Surat Izin Praktik Fisioterapis (SIPF). (2) Pelayanan fisioterapi harus dilaksanakan oleh fisioterapis yang memiliki Surat Tanda Registrasi Fisioterapis (STRF) baik perorangan maupun kelompok. (3) Dalam melaksanakan pelayanan fisioterapi, sekurang-kurangnya harus memenuhi persyaratan : a. memiliki tempat praktik yang memenuhi syarat kesehatan; b. memiliki perlengkapan untuk tindakan fisioterapi; dan c. memiliki perlengkapan administrasi termasuk catatan tindakan fisioterapis dan formulir rujukan. (4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 sesuai dengan standar perlengkapan fisioterapis yang ditetapkan oleh organisasi profesi. (5) Fisioterapis dalam menjalankan praktik harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan kualitas derajat kesehatan sumber daya manusia dari segala umur. (6) Izin Sarana Pelayanan Fisioterapi berlaku selama sarana tersebut berdiri. Bagian Kesebelas Izin Fasilitas Pelayanan Radiologi Pasal 40 27 Setiap orang atau badan usaha yang menyelenggarakan pelayanan radiologi atau pekerjaan radiografi di daerah wajib memiliki surat Izin Sarana Pelayanan Radiologi yang dikeluarkan oleh Bupati. Pasal 41 (1) Izin Penyelenggaraan pelayanan radiologi harus memenuhi syarat dan ketentuan sebagai berikut : a. dipimpin oleh seorang dokter ahli radiologi; b. dilaksanakan oleh radiografer yang memiliki Surat Tanda Registrasi Radiografer (STRR) dan Surat Ijin Kerja Radiografer (SIKR); c. menyediakan tempat yang memenuhi persyaratan; d. memiliki peralatan radiologi dan atau imaging; e. memiliki peralatan Kesehatan Keselamatan Kerja; dan f. melaksanakan kegiatan proteksi radiasi. g. tersedianya gedung /sarana yang memenuhi standar. (2) Izin sarana radiologi dan atau imaging berlaku selama sarana radiologi tersebut beroperasi. Bagian Kedua belas Hak, Kewajiban, dan Larangan Paragraf 1 Hak dan Kewajiban Pasal 42 (1) Setiap pemilik izin radiologi berhak : a. menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan izin; b. mendapatkan pembinaan dari Pemerintah Daerah; c. mendapatkan jaminan penyelenggaraan terhadap kegiatan sesuai dengan izin yang dimiliki. (2) Setiap pemilik izin radiologi diwajibkan: a. melakukan pelayanan kesehatan sesuai izin yang dimiliki dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul dari pelaksanaan izin yang telah diberikan; c. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; dan 28 d. menciptakan rasa nyaman, aman, dan membina hubungan harmonis dengan lingkungan tempat melakukan kegiatannya. Paragraf 2 Larangan Pasal 43 Setiap pemilik izin radiologi dilarang: a. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi; b. menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin; c. memperkerjakan tenaga kesehatan (yang dipersyaratkan harus memiliki SIP/SIK) tidak memiliki SIP/SIK; dan d. memperkerjakan tenaga kesehaan warga negara asing. BAB VIII IZIN PRAKTIK TENAGA KESEHATAN Bagian Kesatu Jenis Izin Pasal 44 (1) (2) Setiap tenaga kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan wajib memiliki izin tenaga kesehatan. Izin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. dokter; b. perawat; c. perawat gigi; d. perawat anastesi; e. bidan; f. tenaga kefarmasian; g. tenaga keterapian fisik; dan h. tenaga keteknisian medis. Bagian Kedua Izin Praktik Dokter Pasal 45 (1) Setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran wajib memiliki SIP (2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. dokter umum; b. dokter gigi; 29 c. dokter spesialis; d. dokter gigi spesialis. (3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. SIP dokter umum; b. SIP dokter gigi; c. SIP dokter spesialis; d. SIP dokter gigi spesialis. Pasal 46 (1) SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) diberikan kepada dokter paling banyak untuk 3 (tiga) tempat praktik. (2) SIP sebagaimana dimaksud pada 44 ayat (1) berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik. (3) SIP sebagaimana dimaksud pada 44 ayat (1) wajib diperbaharui apabila: a. STR diregistrasi ulang; b. terjadi perubahan tempat praktik sebagaimana tercatum dalam SIP. Pasal 47 (1) Untuk memperoleh SIP dokter spesialis, dokter umum dan dokter gigi yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Kepala Dinas dengan melampirkan : a. Foto copy Ijazah dan Transkrip; b. foto copy surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang masih berlaku dan dilegalisir oleh pejabat berwenang; c. surat pernyataan mempunyai tempat praktik atau surat keterangan dari sarana pelayanan kesehatan sebagai tempat praktiknya; d. surat rekomendasi dari organisasi profesi IDI; e. surat rekomendasi Puskesmas setempat; f. foto copy surat keputusan penempatan dalam rangka masa bakti atau surat bukti telah selesai menjalankan masa bakti atau surat keterangan menunda masa bakti yang dilegalisir oleh pejabat berwenang; g. surat izin dari pimpinan instansi/sarana pelayanan kesehatan dimana dokter dan dokter gigi dimaksud bekerja (khusus bagi dokter dan dokter gigi yang bekera di sarana pelayanan kesehatan pemerintah atau sarana 30 pelayanan kesehatan yang ditunuk pemerintah selama tidak mengganggu tugas); h. surat keterangan sehat oleh dokter yang mempunyai SIP; i. foto copy KTP sesuai dengan Domisili dan; j. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 3 lembar dan 3 x 4 sebanyak 2 lembar; (2) SIP berlaku sepanjang STR belum habis masa berlakunya dan selanjutnya dapat diperbaharui kembali. (3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan. Pasal 48 (1) Dokter warga negara asing dapat diberikan SIP sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1). (2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus : a. memiliki surat izin kerja dan izin tinggal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan b. mempunyai kemampuan berbahasa Indonesia. Pasal 49 (1) Dokter yang telah memiliki SIP dan menyelenggarakan praktik perorangan wajib memasang papan nama praktik kedokteran, yang memuat nama dan nomor registrasi sesuai dengan SIP. (2) SIP harus dipajang pada ruang periksa dan nomor SIP harus dicantumkan pada setiap kertas resep. (3) Setiap tempat sarana pelayanan kesehatan yang digunakan dalam praktik kedokteran harus memperoleh izin dari Bupati. Pasal 50 (1) Pelaksanaan praktik kedokteran harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menjalankan etika profesi. (2) Seorang dokter dapat memberikan pendelegasian kepada perawat atau tenaga kesehatan tertentu secara tertulis dalam melaksanakan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Izin Praktik Perawat 31 Pasal 51 (1) Perawat dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan. (2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan diluar praktik mandiri dan/atau praktik mandiri. (3) Perawat yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III) Keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan memiliki kompetensi lebih tinggi. (4) Perawat yang melaksanakan praktik keperawatan secara perorangan dan/atau berkelompok wajib memiliki SIPP. (5) Perawat yang melaksanakan praktik keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIKP. Pasal 52 (1) SIKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Kepala Dinas. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud diajukan dengan melampirkan : a. foto copy ijazah pendidikan keperawatan; b. foto copy STRP yang masih berlaku; c. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP; d. pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar; e. surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang menyatakan tanggal mulai bekerja; f. rekomendasi dari organisasi profesi; (3) SIK berlaku hanya pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan; dan (4) permohonan SIK selambat-lambatnya diajukan dalam waktu 1(satu) bulan setelah diterima bekerja. Pasal 53 (1) SIPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (4) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Kepala Dinas. (2) SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi lebih tinggi. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan : 32 a. foto copy ijazah ahli madya keperawatan, atau ijazah pendidikan dengan kompetensi lebih tinggi yang diakui pemerintah; b. foto copy STR yang masih berlaku dan dilegalisir; c. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP; d. pas foto 4 x 6 cm sebanyak 3 lembar; e. rekomendasi dari organisasi profesi; dan f. surat pernyataan memiliki tempat praktik. (4) SIPP sebagaimana dimaksud hanya diberikan untuk satu tempat praktik. Pasal 54 SIK dan SIPP berlaku sepanjang Surat Tanda Registrasi Perawat (STRP) belum habis masa berlakunya dan selanjutnya dapat diperbaharui kembali. Pasal 55 (1) Perawat yang menjalankan praktik perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang praktiknya. (2) Perawat yang menjalankan praktik perorangan wajib memasang papan nama praktik keperawatan. Pasal 56 (1) Perawat berwenang untuk melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi. (2) Perawat hanya dapat melaksanakan tindakan medik berdasarkan permintaan tertulis dari dokter. (3) Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang / pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk tujuan penyelamatan jiwa pasien. Pasal 57 Perawat memiliki kewajiban : a. Melaksanakan praktik sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berkewajiban mematuhi standar profesi; b. Membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat; dan c. Mentaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Keempat Izin Perawat Gigi Pasal 58 33 (1) Setiap orang yang telah lulus pendidikan perawat gigi sesuai dengan peraturan yang berlaku harus memiliki STR Perawat Gigi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Propinsi tempat dilaksanakannya pendidikan perawat gigi. (2) STR Perawat Gigi berlaku 5 (lima) tahun dan merupakan dasar untuk memperoleh SIK perawat gigi. (3) Perawat gigi yang melaksanakan praktik keperawatan gigi pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK. Pasal 59 (1) SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Kepala Dinas. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan : a. foto copy ijazah pendidikan keperawatan; b. foto copy STR Perawat Gigi yang masih berlaku; c. surat keterangan sehat dari dokter; d. pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar; e. surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang menyatakan tanggal mulai bekerja; dan f. rekomendasi dari organisasi profesi (PPGI). (3) SIK berlaku hanya pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan. (4) Permohonan SIK selambat-lambatnya diajukan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterima bekerja. (5) SIK berlaku sepanjang STR Perawat Gigi belum habis masa berlakunya dan selanjutnya dapat diperbaharui. Pasal 60 (1) Perawat gigi sebagai salah satu jenis tenaga kesehatan dalam kelompok keperawatan dalam menjalankan tugas profesinya harus sesuai dengan pelayanan asuhan keperawatan gigi dan mulut, meliputi upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut, pencegahan penyakit gigi, tindakan penyembuhan penyakit gigi, dan pelayanan hygiene kesehatan gigi. (2) Pelayanan asuhan keperawatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berdasarkan standar profesi. 34 (3) Pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut yang sebagaima dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan pada sarana pelayanan kesehatan gigi dalam upaya promotif dan preventif. (4) Perawat gigi dalam melakukan tindakan medis terbatas di bidang kedokteran gigi harus berdasarkan dan sesuai permintaan tertulis dari dokter gigi dan dilaksanakan sesuai standar profesi. (5) Perawat gigi dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) apabila bertentangan dengan standar profesinya. Pasal 61 Perawat gigi memiliki kewajiban : a. melaksanakan praktik sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berkewajiban mematuhi standar profesi; b. membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat; dan c. mentaati semua peraturan perundang-undangan. Bagian Kelima Izin Perawat Anastesi Pasal 62 (1) Tindakan Anastesi merupakan tindakan medis yang dapat dilakukan secara tim oleh tenaga kesehatan yang memenuhi keahlian dan kewenangan untuk itu. (2) Tindakan anastesi sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi : a. Tindakan Pra anastesi; b. Tindakan intra anastesi; c. Tindakan pasca anastesi. (3) Perawat anastesi untuk dapat melakukan pekerjaannya harus memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat Anastesi (STRPA) 35 (4) Untuk dapat memperoleh STRPA sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3), perawat anastesi harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (5) STRPA sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dengan masa berlaku 5 (lima) tahun (6) STRPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperoleh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (7) STRPA yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Pasal 63 (1) Perawat anastesi yang melakukan pekerjaan Perawat Anastesi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Wajib memiliki SIKPA (2) SIKPA diberikan kepada Perawat Anastesi yang telah memiliki STRPA (3) SIKPA sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk 1(satu) tempat (4) Untuk memperoleh permohonan kepada SIKPA, Perawat Pemerintah Anastesi daerah harus Kabupaten / mengajukan kota dengan melampirkan : a. Fotocopy ijazah yang dilegalisir; b. Fotocopy STRPA; c. Fotocopy surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki surat izin Praktik; d. Surat pernyataan memiliki tempat kerja di fasilitas Pelayanan Kesehatan; e. Pas foto terbaru ukuran 4x6 sebanyak 4 (empat) lembar (5) Perawat Anastesi warga Negara Asing dapat mengajukan permohonan memperoleh SIKPA setelah : a. Memenuhi persyaratan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) b. Melakukan evaluasi dan memiliki surat izin kerja dan izin tinggal serta persyaratan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. Memiliki kemampuan berbahasa Indonesia (6) SIKPA berlaku sepanjang STRPA masih berlaku, da dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan. (7) Perawat Anastesi hanya dapat melakukan pekerjaan paling banyak di 2 (dua) tempat kerja. 36 Pasal 64 (1) Perawat Anastesi dalam menjalankan pelayanan anastesi berada dibawah supervise dokter Spesialis anastesiologi yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. (2) Perawat Anastesi dalam menjalankan pelayanan anastesi berwenang untuk melakukan tindakan asuhan keperawatan anastesi pada : a. Pra anastesi b. Intra anastesi c. Pasca anastesi (3) Dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan nyawa seorang pasien dimana tidak ada dokter spesialis anastesiologi di tempat kejadian, Perawat anastesi dapat melakukan pelayanan anastesi di luar kewenangan (4) Perawat anastesi dapat menjalankan pelayanan anastesi senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya dengan mengkuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknlogi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun organisasi profesi (5) Perawat anastesi dalam menjalankan pelayanan anastesi harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Bagian Keenam Izin Bidan Pasal 65 (1) Bidan dapat menjalankan praktik mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan Kesehatan. (2) Bidan yang menjalankan praktik mandiri harus berpendidikan minimal Diploma III (D III) Kebidanan. Pasal 66 (1) Setiap bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKB. (2) Setiap bidan yang menjalankan praktik mandiri wajib memiliki SIPB. 37 (3) SIKB atau SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk 1 (satu) tempat. Pasal 67 Untuk memperoleh SIKB / SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), bidan harus mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah dengan melampirkan : a. fotocopy STR yang masih berlaku dan dilegalisasi; b. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik (SIP); c. surat pernyataan memiliki tempat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan atau tempat praktik; d. pas foto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; e. rekomendasi dari Kepala Dinas atau pejabat yang ditunjuk; f. rekomendasi dari organisasi profesi; dan g. Fotocopy KTP yang masih berlaku. Pasal 68 (1) SIKB/SIPB dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. (2) Dalam hal SIKB/SIPB dikeluarkan oleh Dinas maka persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf e tidak diperlukan. (3) Permohonan SIKB/SIPB yang disetujui atau ditolak harus disampaikan oleh Pemerintah Daerah atau Dinas Kesehatan kepada pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan diterima. Pasal 69 (1) SIKB/SIPB berlaku selama STR masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika habis masa berlakunya. (2) Pembaharuan SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala dinas Kesehatan dengan melampirkan : a. fotocopi SIKB/SIPB yang lama; b. fotocopi STR; c. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik (SIP); d. pas foto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; e. rekomendasi dari organisasi profesi. f. photocopy KTP yang masih berlaku. Pasal 70 SIKB/SIPB dinyatakan tidak berlaku karena; 38 a. tempat kerja/praktik tidak sesuai lagi dengan SIKB/SIPB. b. masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang c. dicabut oleh pejabat yang berwenang memberikan izin. Pasal 71 (1) Bidan dalam menjalankan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan berdasarkan pendidikan dan pengalaman, serta dalam memberikan pelayanan berdasarkan standar profesi. (2) Bidan dalam menjalankan praktek berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi : a. pelayanan kebidanan; b. pelayanan keluarga berencana; c. Pelayanan kesehatan masyarakat. (3) Dalam keadaan tidak ada dokter yang berwenang di wilayah tersebut bidan dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu dan anak sesuai kemampuannya. (4) Dalam keadaan darurat yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa, bidan berwenang melakukan pelayanan kebidanan selain kewenangan sebagaimanadimaksud pada ayat (2). Pasal 72 (1) Dalam menjalankan praktik perorangan, bidan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obatobatan dan kelengkapan administrasi. (2) Bidan dalam melaksanakan praktik sesuai dengan kewenangannya wajib : a. menghormati hak pasien; b. merujuk kasus yang tidak dapat ditangani kepada ahlinya; c. menyimpan rahasia pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. memberikan informasi tentang pelayanan yang akan dilakukan; e. meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan; dan f. melakukan catatan medik (medical record) dengan baik. (3) Membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana. (4) Mentaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku . Bagian Ketujuh Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian 39 Paragraf 1 Izin Praktik Apoteker Pasal 73 (1) Setiap Apoteker yang menjalankan pekerjaan kefarmasian pada sarana kefarmasian baik pemerintah maupun swasta di daerah wajib memiliki SIPA dan SIKA yang diterbitkan Kepala Dinas. (2) Permohonan SIPA dan SIKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bupati melalui Kepala Dinas dengan melampirkan : a. foto copy STR Apoteker yang dilegalisir oleh KFN (Komite Farmasi Nasional); b. foto copy ijazah Apoteker; c. surat keterangan sehat dan tidak buta warna dari dokter yang memiliki SIP; d. pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar; e. surat rekomendasi dari organisasi profesi. f. Surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran; g. foto copy KTP. (3) SIPA/SIKA berlaku hanya pada 1 (satu) sarana kefarmasian (4) Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus dinyatakan secara tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga. (5) SIPA/SIKA berlaku selama STR Apoteker masih berlaku dan selanjutnya dapat diperbaharui. Paragraf 2 Izin Tenaga Teknis Kefarmasian Pasal 74 (1) Asisten Apoteker wajib memiliki STR Tenaga Teknis Kefarmasian yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri Kesehatan. (2) STR Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui kembali serta merupakan dasar untuk memperoleh SIKTTK. 40 Pasal 75 (1) Setiap Asisten Apoteker yang menjalankan pekerjaan kefarmasian pada sarana kefarmasian baik pemerintah maupun swasta di daerah wajib memiliki SIKTTK yang diterbitkan oleh Kepala Dinas. (2) SIKTTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan pemohon kepada Bupati meliputi Kepala Dinas dengan melampirkan melampirkan : a. foto copy STRTTK yang masih berlaku; b. foto copy ijazah Asisten Apoteker yang disahkan oleh pimpinan penyelenggara pendidikan Asisten Apoteker; c. surat rekomedasi dari organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; d. surat keterangan sehat dan tidak buta warna dari dokter yang memiliki SIP; e. pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar; f. foto copy KTP; dan g. surat keterangan dari pimpinan sarana kefarmasian atau apoteker penanggung jawab yang menyatakan masih bekerja pada sarana yang bersangkutan. (3) SIKTTK berlaku hanya pada 1 (satu) sarana kefarmasian. (4) Permohonan SIKTTK selambat-lambatnya diajukan selama waktu 1 (satu) bulan setelah diterima bekerja. (5) SIKTTK berlaku sepanjang STRTTK belum habis masa berlakunya dan selanjutnya dapat diperbaharui. Pasal 76 (1) Pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh Asisten Apoteker dilakukan dibawah pengawasan Apoteker, tenaga kesehatan atau dilakukan secara mandiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedelapan Izin Analis Pasal 77 (1) Setiap analis yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIK Analis. (2) SIK Analis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk 1 (satu) tempat. 41 Pasal 78 (1) Untuk memperoleh SIK Analis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) harus mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah dengan melampirkan : a. fotocopy STR yang masih berlaku dan dilegalisasi; b. fotokopy ijazah yang telah dilegalisir; c. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik (SIP); d. surat pernyataan memiliki tempat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan; e. surat rekomendasi dari organisasi profesi; f. pas foto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; dan g. fotokopy KTP. (2) SIK Analis berlaku sepanjang STR Analis belum habis masa berlakunya dan selanjutnya dapat diperbaharui Bagian Kesembilan Izin Tenaga Keterapian Fisik Paragraf 1 Terapis Wicara Pasal 80 (1) Setiap orang yang menjalankan praktik keterapian fisik wicara harus memiliki STR Terapis Wicara yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi tempat dimana dilaksanakannya pendidikan keterapian fisik dimaksud. (2) STR Tuna Wicara berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui kembali serta merupakan dasar untuk memperoleh Terapis SIP Tuna Wicara ; Pasal 81 (1) Terapis wicara dapat melaksanakan praktik terapis wicara pada sarana pelayanan terapi wicara, praktik perorangan dan/atau berkelompok. (2) Terapis wicara yang melakukan praktik pada sarana pelayanan terapi wicara, praktik perorangan dan/atau berkelompok harus memiliki SIPTW. (3) SIP Tuna Wicara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas dengan tembusan kepada Ikatan Terapis Wicara terdekat dengan melampirkan : h. Foto copy ijazah yang disahkan oleh pimpinan penyelenggara pendidikan terapis wicara; 42 i. foto copy STR Tuna Wicara yang masih berlaku; j. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP; k. surat keterangan dari pimpinan sarana yang menyatakan tanggal mulai bekerja, untuk yang bekerja di sarana pelayanan terapi wicara; l. pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar; dan m. Foto copy KTP (4) SIP Tuna Wicara berlaku pada satu sarana pelayanan terapi wicara. (5) SIP Tuna Wicara berlaku sepanjang STR Tuna Wicara belum habis masa berlakunya dan selanjutnya dapat diperbaharui kembali. Pasal 82 (1) Terapis wicara dalam melaksanakan praktik terapis wicara berwenang untuk melakukan assessmen, diagnostik, prognostik, perencanaan, terapi, evaluasi, rujukan dan advis dalam permasalahan terapi wicara. (2) Terapis wicara dalam melakukan praktik terapis wicara dapat menerima pasien/klien dengan rujukan dan/atau tanpa rujukan. (3) Kewenangan untuk menerima pasien/klien tanpa rujukan hanya dilakukan bila pelayanan yang diberikan berupa : a. pelayanan yang bersifat promotif dan preventif; b. pelayanan pada pasien/klien dengan aktualisasi rendah dan bertujuan untuk pemeliharaan; dan c. pelayanan pada pasien/klien dengan gangguan komunikasi ringan. (4) Pemberian pelayanan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk yang berkaitan kesehatan hanya dengan dapat pengobatan, dilakukan penyembuhan oleh terapis dan wicara pemulihan berdasarkan permintaan tenaga medis. (5) Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/klien, terapis wicara berwenang untuk melakukan pelayanan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dengan tujuan penyelamatan jiwa. Pasal 83 (1) Terapis wicara dalam menjalankan praktik perorangan sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan : a. memiliki tempat praktik yang memenuhi syarat kesehatan; 43 b. memiliki kelengkapan untuk pelayanan terapis yang meliputi formulir penilaian bahasa-bicara, penilaian kemempuan menelan, alat tulis, alat permainan edukatif, cermin dan gambar-gambar; dan c. sarana dan prasarana meliputi tempat pelayanan yang memadai, peralatan diagnostik dan terapeutik, penyimpanan dokumen/administrasi yang memadai. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Ikatan Terapis Wicara. Pasal 84 Terapis wicara memiliki kewajiban : (1) memenuhi standar profesi terapis wicara dalam melakukan praktik terapi wicara sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pelatihan. (2) Membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pasal 85 (1) Terapis wicara yang menjalankan praktik perorangan dan/atau berkelompok harus mencantumkan SIPTW di ruang praktiknya. (2) Terapis wicara yang akan menjalankan pelayanan rumah (home care) diwajibkan melaporkan keberadaannya kepada Dinas dengan menyerahkan fotocopy SIPTW dan surat perjanjian kerja. Paragraf 2 Izin Praktik Fisioterapik Pasal 86 (1) Setiap orang yang melaksanakan praktik fisioterapis harus memiliki STRF sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (2) STRF berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui, serta merupakan dasar untuk memperoleh SIPF ; (3) Fisioterapis yang melaksanakan praktik fisioterapik di daerah harus memiliki SIPF. (4) SIPF diperoleh dengan cara mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Dinas dengan melampirkan : a. foto copy ijazah pendidikan fisioterapi; b. foto copy STRF yang masih berlaku; 44 c. d. e. (5) (6) surat keterangan sehat dari dokter; pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar; surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang menyatakan tanggal mulai bekerja; f. foto copy KTP; dan g. surat keterangan menyelesaikan adaptasi, bagi lulusan dari luar negeri. SIPF hanya berlaku pada satu tempat sarana pelayanan kesehatan. Fisioterapis yang telah memiliki SIPF dapat melakukan praktik bersama. Pasal 87 (1) Fisioterapis dalam melaksanakan praktik fisioterapi berwenang untuk melakukan : (2) a. assessmen fisioterapi yang meliputi pemeriksaan dan evaluasi; b. diagnosa fisioterapi; c. perencanaan fisioterapi; d. intervensi fisioterapi; dan e. evaluasi/re-evaluasi/re-asesmen. Terapis wicara dalam melakukan praktik terapis wicara dapat menerima pasien/klien dengan rujukan dan/atau tanpa rujukan. (3) Kewenangan untuk menerima pasien/klien tanpa rujukan hanya dilakukan bila pelayanan yang diberikan berupa : a. pelayanan yang bersifat promotif dan preventif; b. pelayanan untuk pemeliharaan kebugaran, memperbaiki postur, memelihara sikap tubuh dan melatih irama pernafasan normal; c. pelayanan dengan keadaan aktualisasi rendah dan bertujuan untuk pemeliharaan. (4) Pemberian pelayanan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pemulihan yang berkaitan kesehatan dengan hanya pengobatan, dapat penyembuhan dilakukan oleh dan fisioterapis berdasarkan permintaan tenaga medis. Pasal 88 Fisioterapis dalam menjalankan praktik perorangan harus sesuai standar perlengkapan yang ditetapkan oleh organisasi profesi, sekurang – kurangnya memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki tempat praktik yang memenuhi syarat kesehatan; b. memiliki perlengkapan untuk tindakan fisioterapi; dan 45 c. memiliki perlengkapan administrasi termasuk catatan tindakan fisioterapis dan formulir rujukan. Pasal 89 Fisioterapis memiliki kewajiban mematuhi standar profesi dan membantu program pemerintah dalam meningkatkan kualitas derajat kesehatan sumber daya manusia dari segala umur. Paragraf 3 Izin Okupasi Terapis Pasal 90 (1) Okupasi terapis dapat melaksanakan praktik okupasi terapi pada sarana pelayanan okupasi terapi, praktik perorangan dan/atau berkelompok. (2) Setiap okupasi terapis yang melkaukan praktik pada sarana pelayanan okupasi terapi milik pemerintah maupun swasta, praktik perorangan dan/atau berkelompok wajib memiliki SIP Okupasi Terapis Pasal 91 (1) Untuk memperoleh SIP Okupasi Terapis sebagaimana dimaksud dalm pasal 81 ayat (2) okupasi terapis yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Dinas dengan melampirkan: d. fotokopi Surat Ijin Okupasi Terapi (SIOT) yang masih berlaku; e. fotokopi ijazah pendidikan okupasi terapis yang disahkan oleh pimpinan penyelenggara pendidikan okupasi terapis; f. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP; g. pasfoto terbaru ukuran 4x6 cm sebanyak 4 (empat) lembar; h. surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan okupasi terapi yang menyatakan tanggal mulai bekerja, untuk yang bekerja di sarana pelayanan okupasi terapi; dan i. surat keterangan telah menyelesaikan adaptasi, bagi lulusan luar negeri. (2) SIP Okupasi Terapis hanya berlaku untuk 1 (satu) sarana pelayanan okupasi terapi. (3) Seorang okupasi terapis dapat memiliki maksimal 2 (dua) SIPOT. Pasal 92 (1) SIP Okupasi Terapis berlaku sepanjang SIOT masih berlaku dan tempat praktik masih sesuai dengan tercantum dalam SIPOT, serta selanjutnya dapat mengajukan permohonan pembaharuan SIPOT. (2) Pembaharuan SIPOT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan melampirkan: 46 f. fotokopi SIOT yang masih berlaku; g. fotokopi SIP Okupasi Terapis yang lama; h. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP; i. surat keterangan melaksanakan tugas dari pimpinan sarana pelayanan okupasi terapi, untuk yang bekerja di sarana pelayanan okupasi terapi; j. pas foto terbaru ukuran 4x6 cm sebanyak 4 (empat) lembar. Pasal 93 Okupasi terapis yang menjalankan praktik perorangan dan/atau praktik berkelompok harus mencantumkan SIP Okupasi Terapis di ruang praktiknya. Pasal 94 (1) Okupasi terapis dengan menjalankan praktik perorangan sekurang- kurangnya memenuhi persyaratan : a. memiliki tempat parktik yang memenuhi syarat kesehatan; b. memiliki perlengkapan untuk tindakan okupasi terapi; c. memiliki perlengkapan administrasi termasuk catatan tindakan okupasi terapi dan formulir rujukan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan standar perlengkapan okupasi terapi yang ditetapkan oleh organisasi profesi. (3) Okupasi terapis dalam menjalankan praktik kunjungan rumah sekurangkurangnya memiliki perlengkapan untuk tindakan okupasi terapi dan catatan tindakan okupasi terapi. (4) Okupasi terapis yang menjalankan pelayanan kunjungan rumah (home care) diwajibkan melaporkan keberadaannya kepada Kepala Dinas Kesehatn Kabupaten/Kota setempat dengan menyerahkan fotokopi SIP Okupasi Terapis Bagian Kesepuluh Izin Praktik Tenaga Keteknisian Medik Paragraf 1 Izin Praktik Refraksionis Optisien Pasal 95 (1) Setiap orang yang telah lulus pendidikan reraksionis optisien minimal program pendidikan diploma, baik didalam maupun dari luar negeri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus memiliki STRRO yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Propinsi tempat dimana dilaksanakannya pendidikan Refraksionis Optisien dimaksud. 47 (2) STRRO berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui kembali serta merupakan dasar untuk memperoleh SIK. Pasal 96 (1) Setiap Refraksionis Optisien untuk melakukan pekerjaan pada sarana kesehatan wajib memiliki SIK. (2) SIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Dinas dengan melampirkan : a. foto copy STRRO yang masih berlaku; b. surat keterangan sehat dari dokter; c. surat keterangan dari pimpinan sarana kesehatan yang menyatakan tanggal mulai bekerja; d. pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar; e. foto copy KTP; dan f. rekomendasi dari organisasi profesi. (3) Permohonan SIK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selambat-lambatnya diajukan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterima bekerja. (4) SIK belaku hanya pada 1 (satu) sarana kesehatan. (5) SIK berlaku sepanjang STRRO belum habis masa berlakunya dan dapat diperbaharui. (6) Tata cara permohonan perizinan lebih lanjut diatur dengan keputusan Bupati. Pasal 97 (1) Refraksionis Optisien dalam melaksanakan pekerjaan berwenang untuk : a. melakukan pemeriksaan mata dasar; b. melakukan pemeriksaan mata refraksi; c. menetapkan, menyiapkan dan membuat kaca mata berdasarkan ukuran lensa kacamata/lensa kontak sesuai kebutuhan; d. menerima dan melayani resep kacamata dari dokter spesialis mata; dan e. mengepas (fitting) kacamata/lensa konak pada pemakaian /pasien untuk kenyamanan dan keserasian. (2) Dalam hal tidak ada dokter spesialis mata di daerah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Refraksionis Optisien dapat melayani resep kaca mata dari dokter umum yang berwenang. 48 (3) Refraksionis Optisien yang bekerja sebagai penanggung jawab teknis pada sebuah optikal wajib bekerja penuh dan dilarang bekerja di sarana kesehatan lainnya. (4) Refraksionis Optisien yang bekerja sebagai pelaksana hanya diperbolehkan bekerja hanya pada 2 (dua) sarana kesehatan. Pasal 98 (1) Refraksionis Optisien dalam melaksanakan pekerjaannya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi. (2) Refraksionis Optisiesn dalam melaksanakan pekerjaan wajib mentaati semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku . Pasal 99 Setiap Refraksionis Optisien dalam menjalankan profesinya berkewajiban mengikuti pendidikan berkelanjutan untuk meningkatkan kemampuan keilmuan dan ketrampilan dalam bidang refraksi dan optisi / optomitri. Paragraf 2 Izin Praktik Radiografer Pasal 100 (1) Setiap orang yang telah lulus Akademi Penata Rontgent, Diploma III Radiologi, Pendidikan Ahli Madya/Akademi/Diploma III Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi yang telah memiliki ijazah sesuai ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku wajib memiliki STRR yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi tempat dimana dilaksanakannya pendidikan Radiografer dimaksud. (2) STRR berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui kembali serta merupakan dasar untuk memperoleh SIKR. Pasal 101 (1) Setiap Radiografer untuk melakukan pekerjaan pada sarana pelayanan kesehatan pemerintah ataupun swasta di daerah wajib memiliki SIKR. (2) SIKR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Dinas dengan melampirkan : a. foto copy STRR yang masih berlaku; 49 b. foto copy ijazah radiografer yang disahkan oleh pimpinan penyelenggara pendidikan radiografer; c. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP; d. surat keterangan telah melaksanakan tugas dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan; e. foto copy KTP; dan f. (3) pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar. Permohonan SIKR sebagaimana dimaksud ayat (2) selambat-lambatnya diajukan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterima bekerja. (4) SIKR belaku hanya pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan. (5) Seorang radiografer dapat memiliki maksimal 2 (dua) SIKR. (6) SIKR berlaku sepanjang STRR belum habis masa berlakunya dan dapat diperbaharui. Pasal 102 (1) Radiografer dalam memberikan pelayanan radiologi dan imejing dengan menggunakan energi radiasi pengion dan non pengion baik diagnostik, maupun terapi harus sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan radiologi dan Standar Prosedur Operasional. Dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan dokter spesialis radiologi, radiografer berwenang : a. melakukan tindakan teknik pemeriksaan rutin radiologi non kontras; (2) b. melakukan tindakan teknik pemeriksaan rutin radiologi dengan bahan kontras; c. melakukan pemeriksaan radiologi dengan alat canggih ; d. melakukan tratment planning system pada teknik penyinaran radioterapi; (3) e. melakukan tindakan penyinaran pada terapi radiasi; f. melakukan pekerjaan di Mould Room; dan g. melakukan teknik pemeriksaan kedokteran nuklir. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tanpa pengawasan dokter spesialis radiologi, radiografer berwenang : a. melakukan pemeriksaan rutin; b. melakukan tindakan prosessing film; c. melakukan tindakan proteksi radiasi; dan d. merencanakan penyelenggaraan pelayanan radiologi dan imejing. Pasal 103 50 (1) Radiografer dalam menjalankan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 93 ayat (2) dan (3) berkewajiban untuk : a. menghormati hak pasien; b. menyimpan rahasia sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku; (2) c. melindungi pasien dan masyarakat sekitar dari bahaya radiasi; d. memberikan informasi tentang tindakan terhadap pasien; dan e. melakukan penilaian pelayanan radiologi dengan baik. Radiografer dalam menjalankan pekerjaan radiografi wajib mematuhi semua ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Bagian Kesebelas Hak, Kewajiban, dan Larangan Paragraf 1 Hak dan Kewajiban Pasal 104 (1) Setiap pemilik izin berhak: a. melakukan kegiatan sesuai dengan izin yang dimiliki; b. mendapatkan pembinaan dari Pemerintah Daerah; dan c. mendapatkan jaminan penyelenggaraan terhadap kegiatan sesuai dengan izin yang dimiliki. 51 (2) Setiap pemilik izin wajib: a. menghormati hak pasien; b. melakukan kegiatan pelayanan kesehatan sesuai izin yang dimiliki dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul dari pelaksanaan isin yang telah diberikan; d. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; e. memberikan informasi dengan jelas kepada pasien; f. menyimpan rahasia; g. meminta persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan kepada pasien; h. menciptakan rasa nyaman, aman, dan membina hubungan harmonis dengan lingkungan tempat melakukan kegiatannya; dan i. membuat pencatatan dan pelaporan. Paragraf 2 Larangan Pasal 105 Setiap pemilik izin dilarang: a. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi; b. menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin; c. menjalankan praktik dalam keadaan fisik dan mental terganggu bagi tenaga kesehatan. BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 106 (1) Setiap orang atau badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan di bidang pelayanan kesehatan yang tidak memiliki izin, di ancam pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah merupakan pelanggaran. 52 BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 107 Pada saat peraturan ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Praktik Tenaga Kesehatan, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Retribusi Izin Penyelenggaraan Sarana Penunjang Medik, Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Retribusi Izin Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 108 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 109 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lampung Utara. Ditetapkan di Kotabumi pada tanggal 2013 BUPATI LAMPUNG UTARA , TTD ZAINAL ABIDIN Diundangkan di Kotabumi pada tanggal 2013 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA, TTD RIFKI WIRAWAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA TAHUN 2013 NOMOR 8 53 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN DI BIDANG KESEHATAN I. UMUM Peraturan Daerah mempunyai peranan yang sangat strategis dibidang pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah. Sebagai salah satu peraturan Perundang-undangan tertulis, yang mengatur seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan serta penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Karena itu Peraturan Daerah diharapkan menjadi Peraturan yang dapat menunjang Pembangunan Daerah ke arah yang lebih maju guna mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Kesehatan merupakan penyusunan kembali terhadap 3 (tiga) Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Utara yaitu Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Pratik Tenaga Kesehatan, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Retribusi Izin Penyelenggaraan Sarana Penunjang Medik dan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Retribusi Izin Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Kesehatan di Bidang Medik. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang mana Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Kesehatan ini tidak mencantumkan retribusi. II. PASAL-PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas 54 Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Yang dimaksud dengan tidak dapat dipindahtangankan adalah Izin pelayanan kesehatan tidak dapat dipergunakan oleh orang lain selain yang namanya tercantum dalam surat izin yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan berbentuk badan hukum adalah Rumah Sakit Swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau Yayasan yang akta Pendiriannya disahkan oleh Pejabat yang berwenang. 55 Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 56 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 57 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 58 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup jelas Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77 Cukup jelas Pasal 78 Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas Pasal 80 Cukup jelas Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82 Cukup jelas Pasal 83 Cukup jelas Pasal 84 Cukup jelas Pasal 85 Cukup jelas Pasal 86 59 Cukup jelas Pasal 87 Cukup jelas Pasal 88 Cukup jelas Pasal 89 Cukup jelas Pasal 90 Cukup jelas Pasal 91 Cukup jelas Pasal 92 Cukup jelas Pasal 93 Cukup jelas Pasal 94 Cukup jelas Pasal 95 Cukup jelas Pasal 96 Cukup jelas Pasal 97 Cukup jelas Pasal 98 Cukup jelas Pasal 99 Cukup jelas Pasal 100 Cukup jelas Pasal 101 Cukup jelas Pasal 102 Cukup jelas 60 Pasal 103 Cukup jelas Pasal 104 Cukup jelas Pasal 105 Cukup jelas Pasal 106 Cukup jelas Pasal 107 Cukup jelas Pasal 108 Cukup jelas Pasal 109 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 77 61