BAB I PENGANTAR 1. Fonologi Fonologi atau fonemik (phonology, phonemics) adalah cabang linguistik yang menyelidiki bunyi bahasa dengan melihat fungsi bunyi itu sebagai pembeda arti dalam suatu bahasa. Fonologi menyelidiki bunyi bahasa dan sudut bahasa tertentu atau langue. Misalnya, perbedaan bunyi [b] dengan [k] dalam bahasa Indonesia dan Jawa, karena kedua bunyi itu berfungsi membedakan arti, maka bunyi [b] bilabial dengan [k] dorsovelar itu diselidiki dalam fonologi. Kedua bunyi itu ditulis dalam /b/ dengan /k/. Contoh-contoh untuk memperjelas hal ini lihat “Sistem Fonem Bahasa Jawa dan Bahasa Angkola” (Marsono, 1993) dan “Sistem Konsonan dalam Bahasa Jawa Kuna” (Marsono, 1993-1994). 2. Fonem Fonem (phoneme) ialah bagian bunyi suatu kata yang terkecil yang berfungsi membedakan arti dengan kata yang lain dalam suatu bahasa. Fonem tidak mempunyai arti. Yang mempunyai arti adalah kata yang memiliki unsur-unsur fonem. Fonem ditulis dalam tanda /.../, sedangkan bunyi bahasa dalam tanda [...]. 3. Perbedaan Fonologi dan Fonetik Baik fonologi maupun fonetik, keduanya menyelidiki bunyi bahasa. Perbedaannya, dalam fonetik fungsi bunyi sebagai pembeda arti tidak diperhatikan. Ia hanya melihat bagaimana bunyi bahasa dihasilkan oleh alat ucap (fonetik organis), diterima oleh telinga (fonetik auditoris), dan berapa getarannya (fonetik akustis). Untuk memperjelas hal ini lihat Fonetik (Marsono, 1993). Fonologi menyelidiki bunyi bahasa pada tataran langue „bahasa tertentu‟, sedangkan fonetik menyelidiki bunyi bahasa pada tataran parole „ujaran‟. Karena objek sasarannya yang demikian maka fonetik bersifat umum, sedangkan fonologi bersifat khusus dalam suatu bahasa. Unsur-unsur dalam fonologi disebut fonem (/. . ./), sedangkan unsur dalam fonetik disebut bunyi atau fona 4. Cara Mendapatkan Fonem Salah satu cara yang paling banyak dipakai untuk mendapatkan fonem adalah melalui pasangan minimal kata. Jika bagian bunyi yang terkecil dalam suatu pasangan minimal kata itu; entah berupa bunyi konsonan, vokal, bunyi panjang pendek, intonasi, persendian, nada, ataupun tekanan; berfungsi membedakan arti maka bagian bunyi itu adalah fonem. Contoh bagaimana cara mendapatkan fonem melalui pasangan minimal Universitas Gadjah Mada 1 antaranya dapat dilihat dalam “Sistem Fonem Bahasa Jawa dan Bahasa Angkola” (Marsono, 1993) dan “Sistem Konsonan dalam Bahasa Jawa Kuna” (Marsono, 1993/1994). Suatu fonem yang banyak terjadi adalah dapat beroposisi dalam distribusi yang sama dengan fonem yang lain dalam suatu pasangan minimal. Dapat juga suatu fonem itu tidak dapat beroposisi secara langsung. Oposisinya sebagai fonem melalui fonem yang lain. Fonem yang demikian disebut beroposisi tidak langsung. Contoh pasangan minimal dalam bahasa Nusantara (Jawa, Jawa Kuna, dan Batak Angkola) dan bahasa Indonesia, yang membedakan bahwa /p/ dengan /m/ adalah fonem sebagai berikut: Bahasa Jawa: /pala/ „buah pala‟ /kupat/ „ketupat‟ /alap/ „ambil‟ /mala/ „penyakit‟ /kumat/ „kambuh‟ /alam/ „alam‟ /panah/ „panah‟ /capah/ „nama bunga‟ /krap/ „pacuan‟ /manah/ „jiwa‟ /camah/ „kotor‟ /kram/ „sinar‟ /paha/ „paha‟ /papan/ „papan‟, tempat‟ /alap/ „ambil‟ /maha/ „maha, amat‟ /paman/ „paman, pakcik‟ /alam/ „dunia, alam Bahasa Jawa Kuna: Bahasa Batak Angkola: /para/ „para-para‟ /mara/ „bahaya‟ Bahasa Indonesia: 5. Jenis Fonem : Fonem Segmental dan Fonem Suprasegmental Menurut jenisnya, fonem dapat dibagi menjadi dua, yaitu fonem segmental dan fonem suprasegmental. Fonem segmental adalah fonem yang dapat disegmen-segmen atau dipisah-pisahkan. Misalnya, kata pasar dan kacang di dalam bahasa Indonesia atau Jawa. Kedua kata itu terdiri atas lima segmen fonem, yaitu /p/a/s/a/r/ dan /k/a/c/a/n/g/. Berlawanan dengan fonem segmental, fonem suprasegmental merupakan fonem yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Kehadirannya bersifat menyertai fonem segmental. Contoh fonem suprasegmental ialah intonasi, nada, jeda, atau persendian, dan tekanan atau aksen yang membedakan arti. Contoh intonasi yang membedakan arti terdapat di dalam intonasi kalimat berita yang berbeda dengan kalimat tanya dan perintah. Universitas Gadjah Mada 2 6. Alofon atau Varian Alofon atau varian ialah realisasi fonem yang berbeda-beda menurut lingkungan distribusinya. Wujud realisasi fonem itu berupa bunyi. Jadi fonem itu abstrak. Yang konkrit adalah bunyi alofon dan variannya. Orang tidak mungkin mendengar fonem, yang terdengar hanyalah salah satu alofon dan fonem yang bersangkutan. Misal, fonem /i/ dan /u/ dalam bahasa Indonesia dan Jawa yang realisasi alofonnya sering terdapat berbeda-beda menurut lingkungan distribusinya dalam kata. Alofon itu dapat berwujud [i], [I], atau [e] untuk /i/ dan dapat /u/, [U], atau [o] untuk /u/. 7. Grafem Grafem adalah lambang huruf. Perbedaan fonem, alofon, dan grafem ialah sebagai berikut. Fonem merujuk pada bunyi sebagai pembeda arti, alofon merujuk pada bunyi sebagai realisasi sebuah fonem yang wujudnya berbeda-beda tergantung pada lingkungan distribusinya, sedangkan grafem merujuk ke huruf atau gabungan huruf sebagai satuan pelambang fonem di dalam sistem ejaan. Grafem ditulis di dalam tanda <…>. Di dalam banyak hal fonem dan grafem sering memperlihatkan kesamaan walaupun tidak selalu demikian. Misalnya, di dalam bahasa Indonesia dan Jawa kata buku terdiri atas empat huruf, yaitu b-u-k-u. Tiap-tiap huruf itu merupakan grafem <b>, <u>, <k>, dan <u> sekaligus melambangkan fonem yang berbeda, yaitu /b/, /u/, /k/, dan /u/. Contoh untuk fonem dan grafem yang tidak sama dapat dilihat pada kata tanggal di dalam bahasa Indonesia dan Jawaa. Kata itu terdiri atas tujuh huruf, yaitu t-a-n-g-g-a-l: tetapi hanya terdiri atas enam fonem, yaitu /t/ , /a/, /n/, /g/ , /a/ , /l/; sedangkan grafemnya ialah <t>,<a>,<n>,<g>,<a>,<l>. 8. Fonotaktik Fonotaktik adalah kaidah urutan struktur fonem yang mungkin dan yang tidak mungkin di dalam bahasa. Misalnya, di dalam bahasa Indonesia urutan struktur 1-nt-/ (untuk), /-rs-/ (bersih), dan /-st-/ (pasti) adalah mungkin, tetapi urutan struktur /-pk-/ dan /-pd-/ adalah tidak mungkin. Di dalam bahasa Jawa urutan struktur /-bl-/ (blinger ‘bingung’), /-cr-/ (crita ‘cerita’), /-dl-/ (diuwang „kertas‟), I-pr-I (priya „laki-laki‟), I-mr/(mrana ‘ke sana’), /-tr-/ (trima „terima‟) adalah mungkin. Sebaiknya, /-lb-/ (balbalan (bermain) sepak bola‟), /-re-/ (mercon „petasan‟), /Id-/ (kuldi „buah kuidi‟), /-rp-/ (kerpus „jenis genting‟), /-rm-/ (kurma „buah kurma‟), /-ft-/ (arti „arti, makna‟) adalah tidak mungkin. Universitas Gadjah Mada 3 9. Suku Kata Suku kata adalah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan napas. Biasanya sebuah suku kata terdiri dari dua atau tiga fonem. Misalnya, kata buku dan pasar di dalam bahasa Indonesia atau Jawa yang diucapkan dengan dua hembusan yaitu bu- dan -ku serta pa- dan -sar. Karena itu, kedua kata itu terdiri dari dua kata, yaitu bu- dan -ku serta pa- dan -sar. Kecuali yang terakhir (-sar), masing-masing terdiri atau dua fonem. Di dalam kebanyakan bahasa, termasuk bahasa Indonesia dan Nusantara, suku selalu memiliki vokal sebagai inti dan puncak kenyaringan. Inti atau vokal yang terjadi puncak kenyaringan. Inti atau vokal yang menjadi puncak kenyaringan itu dapat didahului atau diikuti oleh konsonan atau tanpa diikuti oleh bunyi apa pun sehingga secara mandiri menjadi suku kata. Suku kata yang dengan vokal disebut suku kata terbuka, sedangkan yang diakhiri dengan konsonan disebut suku kata tertutup. Berikut ialah contoh suku kata baik dalam bahasa ia atau Jawa yang besifat terbuka (lajur kiri) atau tertutup (lajur kanan). meja me-ja pangkat pang-kat negara ne-ga-ra bengkel beng-kel Universitas Gadjah Mada 4