USU Law Journal, Vol.4.No.2(Maret 2016) 230-238 PUTUSAN HAKIM TENTANG REHABILITASI TERHADAP PECANDU NARKOTIKA (Studi Putusan Nomor : 35/PID/2012/PT.TK) Dewi Maya Benadicta Barus Mahmud Mulyadi, Suhaidi, Syafruddin S. Hasibuan [email protected] ABSTRACT Narcotic addict when viewed from the aspect of health, they were of the sick or in other words people who suffer pain. Therefore, the corresponding incarcerate isn't the right solution. Supreme Court circulars (SEMA) number 4 of 2010 can be used as a basis for reasoning or reference the judge in meting out sanctions and rehabilitation. As for the problems formulated in this thesis writing is why rehabilitation of narcotic addicts are deemed necessary as the basis for an alternative to criminal action, and then discussed again what was the background to the legal considerations the judge in meting out the rehabilitation decision in connection with any criminal action. Research methods used by the author in writing this is the juridical normative research method, which is based on secondary data and put emphasis on measures of speculative theoreticalnormative analysis-qualitative and. As for the data used in compiling the writing was obtained from the research libraries (library research). As a technique of collecting data by utilizing a wide range of literature in the form of legislation, books, scientific papers, lecture materials, court rulings, as well as secondary data sources discussed by other authors. Considered necessary for the rehabilitation of addicts of narcotic drugs as an alternative to criminal action because of it's own rehabilitation aims to improve the health of the addicts of narcotic drugs with care and rehabilitation on an existing rehabilitation centres. This is compared to the upside if the addict of narcotics is punished by criminal sanctions. As for the background of the legal considerations of the overthrow of the ruling of the judge in connection with any rehabilitation criminal action is by observing the values of certainty, justice and benefit based on a notion that the narcotic addicts as victims of crime so more suitable rehabilitation sanctions meted out verdict that will provide care and guidance that is educating and improving physically and mentally from the addict. Key words : rehabilitation, narcotics addicts, the verdict of the judge. I. A. PENDAHULUAN Latar Belakang Narkotika awalnya ditemukan berdasarkan penelitian adalah untuk pengobatan, seperti di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain sebagainya. Pemakaian narkotika yang tidak diawasi secara medis juga akan berdampak pada kecanduan karena narkotika memiliki daya pecanduan yang kuat. Hal ini semakin ditegaskan dalam dasar menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bahwa narkotika1 di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan disisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, maka peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Narkotika bertujuan: 1Lihat, Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. 230 USU Law Journal, Vol.4.No.2(Maret 2016) 230-238 a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekusor narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.2 Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.3 Dari pengertian pecandu narkotika ini dapat kita lihat bahwa pecandu narkotika sebenarnya adalah korban dari penggunaan atau penyalahgunaan narkotika itu sendiri. Dan bila ditinjau dari sudut Victimologi posisi hukum dari pecandu narkotika ini adalah Self Victimization Victims yaitu korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri. 4 Pecandu narkotika ini juga bila kita lihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya adalah pesakitan atau dengan kata lain orang-orang yang menderita sakit, oleh sebab itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah solusi yang tepat, maka Mahkamah Agung dengan tolak ukur ketentuan pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 20095 tentang Narkotika telah mengambil langkah maju di dalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap pencandu narkotika dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang penetapan penyalahguna, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.6 Dimana SEMA Nomor 4 Tahun 2010 ini dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan atau acuan hakim dalam menjatuhkan sanksi rehabilitasi. Adapun yang menjadi pokok pertimbangan adalah ruh atau semangat dari Undang-Undang Narkotika yakni mengakui pecandu narkoba sebagai pesakitan dan melindungi pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkoba tersebut dengan menempatkannya di lembaga medis dan sosial. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam tesis ini sebagai berikut: 1. Mengapa rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika perlu sebagai dasar alternatif dari pemidanaan? 2. Apa latar belakang pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan rehabilitasi terkait dengan tujuan pemidanaan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi tujuan dalam penulisan tesis ini adalah: 2Undang-Undang ayat 13. 3Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 4. Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 4Ediwarman, Victimologi (Monograf), (Medan: 2009), hlm 12. Nomor 35 Tahun 2009 pasal 103 berbunyi: (1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. 5Undang-Undang 6Lihat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pasal 1 ayat 16 berbunyi Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Pasal 1 ayat 17 berbunyi Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. 231 USU Law Journal, Vol.4.No.2(Maret 2016) 1. 2. 230-238 Untuk mengetahui dan menganalisis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika sebagai dasar alternatif dari pemidanaan. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan rehabilitasi terkait dengan tujuan pemidanaan. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian memiliki dua manfaat penelitian. Adapun kedua manfaat penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan disiplin ilmu hukum umumnya dan khususnya perkembangan ilmu hukum pidana serta permasalahan yang dihadapkan pada kasus penyalahgunaan narkotika, serta diharapkan juga dapat memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai permasalahan penyalahgunaan narkotika yang terjadi di masyarakat kita. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan untuk dapat menerapkan pemidanaan berupa rehabilitasi itu secara tepat langsung kepada objeknya terutama bagi pecandu narkotika dalam kasus penyalahgunaan narkotika ini, diharapkan dapat memberi masukan kepada para pelaksana hukum untuk menangani pecandu narkotika yang merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika itu sendiri, dan juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi, civitas, akedemika dan pihak pemerintahan sendiri dalam upaya penerapan rehabilitasi sebagai pengganti pemidanaan terhadap pecandu narkotika. II. KERANGKA TEORI A. Teori integratif Teori integratif atau juga dapat dikatakan teori paduan yang pernah dikenalkan oleh R.A. Duff.7 Teori ini bercorak ganda, pemidanaan mengandung karakter retributis sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Teori integratif ini memiliki tujuan pidana dan pemidanaannya yang tidaklah tunggal, misalnya untuk pembalasan semata atau untuk pencegahan saja. Dengan kata lain, terdapat sistem dua jalur (double track system) yang memuat sanksi pidana dan sanksi tindakan yang penerapannya harus sejajar atau setara dalam kebijakan legislasi. B. Teori Treatment (Rehabilitasi) Teori treatment (rehabilitasi) yang merupakan bagian dari teori pemidanaan. Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk member tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagi pengganti dari penghukuman. Argumen aliaran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).8 III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Rehabilitasi Pemidanaan Bagi Pecandu Narkotika Sebagai Alternatif 7 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 50. Lihat dalam Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997). 8Mahmud Mulyadi, Op.cit, hlm 79. 232 USU Law Journal, Vol.4.No.2(Maret 2016) 230-238 1. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika Saat ini Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67). Pembuktian penyalahguna narkotika merupakan korban narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, merupakan hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktian bahwa pengguna narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam implementasinya Mahkamah Agung mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 yang menjadi pegangan pertimbangan hakim dalam memutus narkotika. Oleh karena itu, maka pecandu narkotika yang juga sebagai korban patut untuk mendapat perlindungan. Namun, karena pecandu narkotika juga sebagai pelaku tindak pidana/kejahatan maka ia juga harus tetap dihukum, oleh karena hal inilah maka dikatakan bahwa double track system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling tepat. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pecandu narkotika sebagai self victimizing victims adalah dalam bentuk menjalani masa hukuman dalam penjara, sedangkan sanksi tindakan yang diberikan kepada pecandu narkotika sebagai korban adalah berupa pengobatan dan/atau perawatan yang diselenggarakan dalam bentuk fasilitas rehabilitasi. Sistem pelaksanaannya adalah masa pengobatan dan/atau perawatan dihitung sebagai masa menjalani hukuman. Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana narkotika tidaklah berbeda dengan pertanggungjawaban pidana pada umumnya. Mengenai pertanggungjawaban pidana tersebut masih juga dikaitkan dengan beberapa unsur pertanggungjawaban pidana seperti unsur kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dan alasan pengahapusan pidana. Mengingat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, setiap pelaku tindak pidana narkotika yang telah memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana, maka terhadap pelaku tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban pidana dan dijatuhkan sanksi pidana. Melihat ketentuan pasal 127 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maka seorang pecandu narkotika dapat dijatuhkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan sanksi tindakan berupa rehabilitasi. Hal ini bila dikaitkan dengan sistem pertanggungjawaban pidana. Sanksi pidana penjara dapat dijatuhkan kepada pecandu narkotika apabila pecandu narkotika tersebut telah memenuhi unsur kesalahan, unsur dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak terpenuhinya unsur alasan penghapusan pidana. Mengenai sanksi tindakan berupa rehabilitasi yang dijatuhkan kepada pecandu narkotika, bila dikaitkan dengan sistem pertanggungjawaban pidana maka pecandu narkotika sebenamya telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, tetapi dalam kenyataannya beberapa kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika sering divonis oleh hakim dengan penjatuhan sanksi berupa pemberian rehabilitasi. Mengenai alasan mengapa sanksi berupa pemberian rehabilitasi tersebut dijatuhkan oleh Hakim, hal ini berdasarkan atas keyakinan hakim terhadap bukti atau fakta-fakta dipersidangan dan dapat diperkuat lagi dengan adanya surat keterangan dokter berupa uji laboratorium yang menerangkan sebagai pecandu narkotika. 2. Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika Pemidanaan9 agar dapat dipahami lebih mendalam maka harus diketahui dasar dari pemidanaan yang dimulai dari aliran klasik. Aliran klasik pada prinsipnya hanya 9 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2005), hlm. 73-75. Menurut J.D. Mabbott, pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni kukum (purely legal matter). J.D. Mabbott memandang seorang “penjahat” sebagai seorang yang telah melanggar hukum, bukan orang jahat. Sebagai seorang retributivis, Mabbott memandang pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan bukan dari hukum tetapi dari pelanggaran hukum.artinya jahat atai tidak jahat, bila seseoarng telah bersalah melanggar hukum maka orang itu harus dipidana. Menurut Ted Honderich, berpendapat pemidanaan memuat 3 (tiga) unsur, yaitu: 1. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. 233 USU Law Journal, Vol.4.No.2(Maret 2016) 230-238 menganut sistem single track system, yakni sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Karenanya, sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan pemidanaan terhadap perbuatan, bukan pada pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (the definite sentence). Artinya penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukan terdahulu maupun keadaankeadaan khusus dari perbuatan/kejahatan yang dilakukan.10 Bertolak belakang dengan paham aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan kehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah pidana, menurut aliran modern ini harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Karenanya aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme dan menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.11 Di Indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis.Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. 3. Kondisi Pecandu Narkotika Sehingga Diperlukan Upaya Rehabilitasi Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan seseorang itu mengalami kecanduan karena narkoba mengandung efek pecandu yang sangat kuat. Kondisi badan pecandu narkoba sangat lemah dan kehilangan kemampuan untuk menangkal penyakit. Penyakit yang ditimbulkan adalah kerusakan sel-sel, hepatitis, sipilis, dan AIDS. Dengan melihat kondisi dari pecandu narkotika inilah maka dianggap perlu dilaksanakannya rehabilitasi. Adapun alasan mengapa seorang pecandu perlu segera datang ke Pusat Rehabilitasi Penyalahguna Narkoba adalah sebagai berikut:12 a. Datang ke rehabilitasi secara nyata dapat menyelamatkan hidup. b. Datang ke rehabilitasi berarti masuk ke dalam jaringan baru dan bertemu dengan orang-orang yang lebih positif. c. Datang ke rehabilitasi membuka jendela kesempatan untuk tetap bersih dan sadar (clean and sober). d. Datang ke rehabilitasi dapat mengatur pemulihan yang sukses untuk jangka panjang. e. Datang ke rehabilitasi dapat membuat kesehatan secara holistik lebih baik. f. Datang ke rehabilitasi dapat menghemat banyak uang untuk jangka panjang. g. Pergi ke rehabilitasi memberi kesempatan untuk membangun kembali relasi dalam kehidupan. h. Datang ke rehabilitasi dapat membantu mengembalikan kehidupan rohani. i. Datang ke rehabilitasi dapat membawa kembali kehidupan yang sejati. 4. Pengaturan Hukum Tentang Rehabilitasi Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Peraturan yang berkaitan dengan narkotika sebenarnya sudah mengandung double track system. Hal ini terlihat dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengatur mengenai perawatan (treatment) dan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika, yang disebut dengan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Tentang rehabilitasi bagi pengguna atau pecandu, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yakni terdapat dalam Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 dan Pasal 103. 2. Setiap pemidanaan harus dating dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai haasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. 3. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya pada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. 10Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung : Penerbit Alumni, 1998 ), hlm.25-26 dan 62. 11Ibid, hlm.64. 12http://sekarmawar1.wordpress.com/2012/02/02/sepuluh-alasan-mengapa-pecanduperlu-datang-ke-rehabilitasi/, diakses tanggal 26 Maret 2013. 234 230-238 USU Law Journal, Vol.4.No.2(Maret 2016) Dan berdasarkan pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 jelas ditegaskan bahwa undang-undang ini pada prinsipnya memang mengayomi dan memperhatikan kondisi pecandu narkotika karena dalam pasal ini “mewajibkan” pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kata “wajib” dalam pasal tersebut tentunya mengandung makna bahwa pecandu dipaksa oleh pemerintah untuk menjalankan rehabilitasi dengan biaya yang ditanggung pemerintah. 5. Bentuk-Bentuk Rehabilitasi Berbagai macam program terapi dan rehabilitasi yang tersedia adalah sebagai berikut:13 a. Rawat Inap b. Rawat jalan c. Panti Rehabilitasi d. Half way house (rumah pendampingan) Rehabilitasi bagi pecandu narkoba juga memiliki tahap-tahap. Adapun tahaptahap yang dimaksud adalah sebagai berikut:14 a. Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi), tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan mental oleh dokter terlatih. b. Tahap rehabilitasi nonmedis, tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. c. Tahap bina lanjut (after care), tahap ini pecandu diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada di bawah pengawasan. B. Latar Belakang Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan Putusan Rehabilitasi 1. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Rehabilitasi Terkait Dengan Tujuan Pemidanaan Berbicara tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bertolak ukur dari hakikat filsafat pemidanaan yang juga berprientasi pada “model keadilan”. yang ingin dicapai dalam suatu sistem peradilan pidana. Konsekuensi logis dengan diterapkannya filsafat pemidanaan yang bersifat integrative maka diharapkan pidana yang dijatuhkan hakim, pemidanaannya mengandung unsur-unsur yang bersifat : kemanusiaan, dalam artian bahwa pemidanaan yang dijatuhkan hakim tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat para pelakunya ; edukatif, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang tekah dilakukannya dan menyebabkan pelaku mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penganggulangan usaha kejahatan ; dan keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.15 Dengan bertitik tolak dari pemidanaan tersebut yang mengacu kepada filsafat pemidanaan yang bersifat integratif maka dikaji dari presfektif teori pemidanaan maka penjatuhan pidana oleh hakim berorientasi kepada adanya sifat pembalasan (retributif), pencegahan terhadap pelaku lainnya (deterrence) dan adanya pendidikan bagi pelaku untuk menjadi masyarakat yang berguna nantinya (rehabilitasi). 2. Analisa kasus terhadap 766/Pid.B/2012/PN-MDN 13http://www.bnn.go.id, Putusan Perkara Pidana nomor : diakses tanggal 17 Maret 2013. 14http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2012/08/24/514/tahap-tahap- pemulihan-pecandu-narkoba, diakses tanggal 17 Maret 2013. 15Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan), Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, 2002. 235 USU Law Journal, Vol.4.No.2(Maret 2016) 230-238 Kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam kasus ini adalah kejahatan dalam bidang narkotika yaitu perbuatan penyalahgunaan Narkotika Golongan I berupa sabusabu bagi diri sendiri yang diatur dalam pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pelaku yang dijadikan terdakwa dalam kasus ini adalah yang bernama Rusli Wijaya dan Indri Resyana. Pelaku tindak pidana dalam kasus ini merupakan manusia sebagai subjek hukum pidana yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam fakta persidangan, terdakwa terbukti telah melakukan perbuatan pidana menyalahgunakan Narkotika Golongan I berupa sabu-sabu bagi diri sendiri sehingga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Untuk dapat mengkaji putusan ini dapat dikategorikan sebagai putusan yang progresif atau tidak, maka batu ujinya adalah nilai kepatian, keadilan dan kemanfaatan hukum. kepastian hukum erat kaitanya dengan sinkronisasi putusan hakim dengan sumber hukum yang berlaku. Apabila mencermati aspek kepastian hukum dilihat dari prosedur hukum acara pidana dan asas yang digunakan oleh hakim maka pada dasarnya dalam putusan ini telah memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagimna ditetapkan dalam pasal 197 jo pasal 199 KUHAP, putusan ini juga telah telah didukung alat bukti yang sah sebagaimana ditetapkan dalam pasal 183 jo pasal 185 KUHAP. Penerapan hukum pembuktiannya telah sesuai dengan undang-undang dan terdakwa telah diberi hak untuk didampingi penasihat hukum sesuai dengan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP. Selain dasar melaksanakan hukum acara pidana tersebut terdapat pula asas-asas persidangan yang diakomodir dalam putusan ini meliputi asas persidangan terbuka untuk umum, pemeriksaan langsung, asas pembelaan dan asas objekvitas. Dari fakta-fakta yang muncul dipersidangan, hakim berdasarkan teori pemidanaan yang dijalankan dan atas dasar pertimbangan ketentuan hukum yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010, terhadap terdakwa yang terbukti sebagai pecandu memerintahkan kepada terdakwa untuk menjalani perawatan/rehabilitasi. Tampak jelas dalam putusan hakim dalam perkara Nomor: 766/Pid.B/2012/PNMDN menganut sistem dua jalur (double track system), yakni didapatinya sanksi pidana dan saksi tindakan. Disinilah letak ketidakpastian hukumnya dimana tidak jelas tentang pelaksanaan kedua sanksi tersebut. Sanksi pidana dan sanksi tindakan memiliki tujuan yang berbeda, sanksi pidana bertujuan member penderitaan kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya sedangkan sanksi tindakan tujuannya bersifat mendidik. Selain tujuan yang membedakan sanksi pidana dan sanksi tindakan adalah ide dasarnya, sanksi pidana tertuju pada pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan jera sedangkan sanksi tindakan terarah kepada upaya memberi pertolongan agar dia berubah. Perbedaan kedua sanksi inilah yang mendasari perlu adanya pengaturan yang jelas dan tegas mengenai pelaksanaannya. Hakim kiranya dalam putusannya dapat menguraikan tahap-tahap yang akan dilakukan terhadap kedua sanksi tersebut. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Rehabilitasi dianggap perlu bagi pecandu narkotika sebagai alternatif pemidanaan karena rehabilitasi itu sendiri bertujuan untuk memperbaiki kesehatan dari si pecandu narkotika dengan menjalani perawatan dan rehabilitasi pada panti-panti rehabilitasi yang ada. Hal ini berbanding terbalik jika si pecandu narkotika dihukum dengan sanksi pidana penjara yang akan menjadikan si pecandu narkotika dapat belajar lebih banyak lagi mengenai tindak-tindak pidana yang lain di dalam sel pada para narapidana yang berasal dari golongan kejahatan selain narkotika, dimana hal itu sering disebut sebagai “sekolah kriminalitas”. b. Latar belakang pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan putusan rehabilitasi terkait dengan tujuan pemidanaan adalah dengan memperhatikan nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan yang didasari pada suatu pemikiran bahwa pecandu narkotika itu sebagai korban kejahatan penyalahgunaan narkotika dan menganggap seorang pecandu lebih cocok dijatuhkan vonis sanksi rehabilitasi yang akan 236 USU Law Journal, Vol.4.No.2(Maret 2016) 230-238 memberikan perawatan dan pembinaan yang bersifat mendidik dan memperbaiki fisik dan mental dari para pecandu sehingga mereka dapat kembali hidup normal di dalam masyarakat dan hakim juga mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Pemakai Narkotika ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. B. Saran Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengemukakan beberapa saran untuk proses rehabilitasi sebagai berikut : a. Mengingat pengaturan tentang rehabilitasi saat ini telah didukung oleh beberapa peraturan yang baru, maka diharapkan kepada majelis hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pecandu narkotika akan semakin tegas. b. Sesuai dengan putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim, maka diharapkan kepada pusat rehabilitasi yang telah ditentukan dapat bekerjasama dengan pecandu narkotika dalam proses pemulihannya sehingga proses rehabilitasi ini dapat berjalan dengan efektif dan pecandu narkotika dapat pulih kembali dan berguna dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Grafitti Press, 2006. Ediwarman, Victimologi (Monograf), Medan, Tahun 2009. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Citra Aditya Bhakti, Bandung, Tahun 2007 Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, Tahun 1997. Mahmud, Peter. Penelitian Hukum, Jakarta : Prenada Media Group, 2005. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, Tahun 1998. Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan), Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, Tahun 2002. Ohoitimur, Yong. Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997. Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Sholehuddin, M., Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Azas-Azas, Penyunting: M. Hisyam, Jakarta: FE UI, 1996. B. Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika C. Putusan Hakim Putusan Pengadilan Negeri Medan dengan perkara pidana nomor : 766/Pid.B/2012/PNMDN D. Website http://www.bnn.go.id, diakses tanggal 12 Pebruari 2013. 237 USU Law Journal, Vol.4.No.2(Maret 2016) 230-238 http://sekarmawar1.wordpress.com/2012/02/02/sepuluh-alasan-mengapa-pecanduperlu-datang-ke-rehabilitasi/, diakses tanggal 26 Maret 2013. http://www.bnn.go.id, diakses tanggal 17 Maret 2013. http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2012/08/24/514/tahap-tahappemulihan-pecandu-narkoba, diakses tanggal 17 Maret 2013. 238