pertanggungjawaban perdata terhadap kerugian immateriil korban

advertisement
RESUME
PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA TERHADAP
KERUGIAN IMMATERIIL KORBAN PERKOSAAN
DISERTAI KEHAMILAN
BIMA RESTUADI
NIM: 12113020
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NAROTAMA
SURABAYA
2016
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Wanita adalah sebutan yang digunakan untuk homo sapiens berjenis
kelamin dan mempunyai alat reproduksi berupa vagina. Lawan jenis dari wanita
adalah pria atau laki-laki. Wanita adalah kata yang umum digunakan untuk
menggambarkan perempuan dewasa. Perempuan yang sudah menikah juga biasa
dipanggil dengan sebutan ibu. Untuk perempuan yang belum menikah atau berada
antara umur 16 (enam belas) hingga 21 (dua puluh satu) tahun disebut juga
dengan anak gadis.
Wanita berdasarkan asal bahasanya tidak mengacu pada wanita yang ditata
atau diatur oleh laki-laki atau suami pada umumnya terjadi pada kaum patriarki.
Arti kata wanita sama dengan perempuan, perempuan atau wanita memiliki
wewenang untuk bekerja dan menghidupi keluarga bersama dengan sang suami.
Tidak ada pembagian peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga, pria
dan wanita sama-sama berkewajiban mengasuh anak hingga usia dewasa. Jika ada
wacana perempuan harus di rumah menjaga anak dan memasak untuk suami maka
itu adalah konstruksi peran perempuan karena laki-laki juga bisa melakukan hal
itu, contoh lain misalnya laki-laki yang lebih kuat, tegas dan perempuan lemah
lembut ini yang kemudian disebut dengan gender.
Perempuan yang memiliki organ reproduksi yang baik akan memiliki
kemampuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui. Kemampuan yang
tidak
bisa
dilakukan
perempuan/wanita/ibu.
oleh
pria
ini
yang
disebut
dengan
tugas
Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan masing-masing dengan
kelebihannya masing-masing. laki-laki diciptakan dengan kekuatan fisik yang
hebat, dan wanita diciptakan dengan kekuatan hati yang penuh ketabahan. Baik
laki-laki maupun perempuan semuanya adalah mahluk yang diciptakan dengan
kehebatannya masing-masing. Penampakan fisik wanita yang lemah hanyalah
menandakan kalau ia memiliki kekuatan di bidang yang lain.
Perempuan sering menjadi korban kriminalitas karena dianggap makhluk
yang lemah, dan mudah diperdaya oleh kaum laki-laki. Perempuan masih
dianggap sebagai kaum yang lemah dan kerap kali diremehkan, sehingga mereka
menjadi sasaran bagi para pelaku aksi kekerasan dan kejahatan. Banyak dari
perempuan yang tidak mengerti cara melakukan perlawanan pada saat peristiwa
yang tidak diinginkan menimpa mereka.
Salah satu kejahatan yang sering dialami perempuan adalah tindak pidana
pemerkosaan. Perempuan sering kali menjadi obyek kekerasan ataupun pelecehan
seksual yang dilakukan oleh pria. Namun pada dasarnya pelaku tindak
pemerkosaan seringkali mendapatkan hukuman yang tidak sesuai dengan apa
yang telah mereka perbuat, dan akhirnya melakukan hal yang sama terhadap
korban lainnya.
Pemerkosaan wanita di Indonesia dihadapkan pada batasan undangundang tentang pemerkosaan yang mencerminkan budaya dominasi pria terhadap
wanita. Undang-undang dinilai lebih melindungi kepentingan pria dibandingkan
korban. Pendapat seperti ini muncul karena di dalam undang-undang
mensyaratkan terjadinya perkosaan dengan adanya penetrasi vaginal dari pelaku.
Sementara itu perbuatan memaksakan hubungan anal dan oral serta memasukkan
benda-benda lain seperti jari atau botol ke dalam vagina tidak dapat dikategorikan
sebagai tindakan pemerkosaan. Sebagai tindak lanjut keprihatinan terhadap
undang-undang perkosaan, sejak tahun 1991 telah dirancang rumusan baru
mengenai peraturan untuk tindak perkosaan1.
Menurut Saskia E. Wieringa, Ahli Kajian Gender dan Seksualitas dari
Universitas Amsterdam, pemerkosaan di Indonesia sudah masuk dalam situasi
sulit. Selain itu, perempuan yang sering menjadi korban juga jarang mendapat
keadilan karena kejadian pemerkosaan dianggap kesalahan perempuan. Sudah
menjadi wacana umum bahwa pihak laki-laki kebanyakan berpikir bisa memiliki
perempuan, sehingga ketika mereka sedang naik hasrat seksualnya dan sulit
dihentikan, mereka bisa melakukan pemerkosaan. Korban harus membuktikan
bahwa tindak kekerasan seksual memang benar-benar terjadi, sementara pelaku
tidak perlu membuktikan apapun untuk menunjukkan ia tidak bersalah. Tidak
jarang korban harus berkali-kali memaparkan ulang kejadian traumatis yang
dialaminya2.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "perkosa, memerkosa" memiliki
arti menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi,
melanggar, menyerang dan sebagainya. Pemerkosa adalah orang yang
memerkosa. Pemerkosaan adalah proses, perbuatan, cara memerkosa dengan
pelanggaran menggunakan kekerasan.
1
Taslim, A., Bila Perkosaan Terjadi, Kalyanamitra : Komunikasi dan Informasi
Perempuan, Jakarta, 1995.
2
Angga Yudha Pratomo, Peristiwa di Indonesia, Kasus Perkosaan Malah Dianggap
Kesalahan Perempuan, Merdeka, 23 Januari 2014.
Dalam beberapa kasus tindak pidana pemerkosaan menyebabkan wanita
(korban) hamil. Hal inilah yang menjadi sulit untuk dibuktikan. Apabila
pemerkosanya berjumlah lebih dari satu orang maka korban akan sulit untuk
mengetahui ayah biologis janin dalam kandungannya. Rasa malu, frustasi dan
menyesal dalam hal ini dianggap Peneliti merupakan bentuk kerugian immateriil
korban sebagai korban. Hal inilah yang menjadi dasar Peneliti untuk menulis tesis
yang
berjudul
TERHADAP
“KONSEP
KERUGIAN
PERTANGGUNGJAWABAN
IMMATERIIL
KORBAN
PERDATA
PERKOSAAN
DISERTAI KEHAMILAN”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimana
konsep
pertanggungjawaban
pidana
pelaku
kejahatan
pemerkosaan?
1.2.2. Bagaimana pertanggungjawaban perdata terhadap kerugian immateriil
korban perkosaan disertai kehamilan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain.
1.3.1. Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan
pemerkosaan;
1.3.2. Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban perdata terhadap kerugian
immateriil korban perkosaan disertai kehamilan.
ANALISIS
2.1. PEMBAHASAN
2.1.1. Pertanggungjawaban
Pidana
Pelaku
Terhadap
Tindak
Pidana
Pemerkosaan
Untuk mengetahui pertanggungjawaban terhadap pelaku kejahatan
pemerkosaan, menurut ketentuan Pasal 285 diatas terdapat unsur-unsur untuk
membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana perkosaan, unsur-unsur yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
2.1.1.1. Barang Siapa
Unsur ini merupakan dari tindak pidana perkosaan ialah barang siapa.
Istilah barang siapa menunjuk kepada siapa saja yang dapat dikenakan ketentuan
ini, yang jika dihubungkan dengan kalimat lanjutan dari Pasal 285 KUHP maka
yang dimaksud dengan barang siapa dalam Pasal ini adalah lelaki atau pria, yang
apabila terbukti dalam Pasal 285 KUHP ini maka ia dapat disebut sebagai pelaku
tindak pidana tersebut dan dijatuhi pidana. Dengan demikian bahwa yang dapat
menjadi pelaku tindak pidana perkosaan hanyalah lelaki atau pria padahal bukan
tidak mungkin seorang perempuan memaksa seorang laki-laki, baik laki-laki itu
suaminya atau tidak, untuk bersetubuh dengan dia.
Pembentuk undang-undang tidak menentukan hukuman bagi perempuan
yang memaksa laki-laki untuk bersetubuh, karena paksaan seorang perempuan
terhadap laki-laki untuk bersetubuh tidak menimbulkan sesuatu yang buruk dan
merugikan karena laki-laki tidak ada bahaya untuk hamil dan melahirkan karena
paksaan tersebut.
Jika paksaan dari perempuan tersebut untuk bersetubuh telah merusak
moral dari laki-laki yang menjadi korban, maka dapat saja perbuatan yang pernah
dia alami itu kemudian dia lakukan terhadap seorang perempuan sehingga
terjadilah delik perkosaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.
Dalam pembentukan undang-undang hukum pidana nasional yang akan datang
menurut penyusun, maka laki-laki juga harus dilindungi dari delik perkosaan,
sehingga yang dapat dipidana karena melakukan delik perkosaa bukan hanya lakilaki tetapi juga seorang perempuan yang memaksa laki-laki untuk bersetubuh
dengan dia.
2.1.1.2. Adanya Kekerasan atau Ancaman Kekerasan
Artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara
tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala senjata,
menyepak, menendang, dan sebagainya sampai orang itu pingsan atau tidak
berdaya. Dengan demikian maka seseorang perempuan dapat dikatakan diperkosa
apabila terhadap tubuh perempuan itu ada bekas-bekas kekerasan misalnya memar
ataupun pakaian dari perempuan tersebut robek atau kancingnya terlepas dan lain
sebagainya. Namun, yang sangat disesalkan adalah apabila perbuatan tersebut
tidak langsung dilaporkan kepada pihak yang berwajib karena korban takut akan
dengan ancaman dari pelaku sehingga tanda-tanda atau bekas-bekas kekerasan ini
sudah hilang pada pemeriksaan sedangkan korban juga tidak pernah memintah
bantuan pengobatan dari seseorang dari dokter, padahal kalau saja perbuatan
perkosaan itu segera di laporkan kepada pihak yang berwajib maka tanda-tanda
kekerasan ini dapat dimintakan Visum et Repertum atau kalau saja perempuan
yang menjadi korban tersebut menyadari bahwa bekas-bekas kekerasan tersebut
sangat penting dalam pembuktian maka korban dan keluarganya mungkin tidak
akan melalaikan hal ini.
Tidak jarang tindak pidana perkosaan tidak dilaporkan kepada yang
berwajib atau nanti dilaporkan kepada yang berwajib setelah bukti-bukti bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana perkosaan sudah hilang sama sekali atau nanti
dilaporkan kepada yang berwajib setelah korban menjadi hamil, padahal delik
perkosaan tersebut telah dilakkukan oleh pelaku berulang-ulang kali tetapi karena
ancaman dari pelaku sehingga korban tidak melaporkan apa yang telah dialami
terhadap keluarganya apalagi terhadap pihak yang berwajib.
2.1.1.3. Memaksa Seorang Wanita
Artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan
yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, unsur tersebut yang diatur dalam
Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum pidana adalah memaksa, perbuatan
memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat pula dilakukan dengan
ucapan. Dalam tindak pidana perkosaan ini seorang perempuan dipaksa
sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak dapat melawan lagi dan terpaksa mau
melakukan persetubuhan itu, perbuatan tersebut membuat seseorang wanita
menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan
kedalam pengertian memaksa seseorang wanita mengadakan hubungan kelamin,
walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita
tersebut adalah wanita itu sendiri.
2.1.1.4. Perempuan yang Bukan Istrinya
Peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan
untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk ke anggota
kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan
istrinya. Unsur ini dari tindak pidana perkosaan ialah yang bukan istrinya, dengan
demikian jika terhadap istrinya sendiri tidak dikenakan Pasal ini, perlu diketahui
bahwa tindak pidana susila dalam KUHP telah menyebutkan adanya berbagai
perempuan, masing-masing perempuan yang belum mencapai 12 tahun dalam
Pasal 287 ayat 1 dan Pasal 290 ayat 2 KUHP, perempuan yang belum dapat
dinikahi dalam Pasal 288 ayat 1 KUHP dan perempuan pada umumnya,
sedangkan perempuan yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP adalah
perempuan pada umumnya yang bukan istrinya.
2.1.1.5. Bersetubuh Diluar Perkawinan dengan Dia (Pelaku)
Unsur ini merupakan tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285
KUHP adalah persetubuhan, “baru dapat dikatakan persetubuhan, apabila anggota
kelamin pria telah masuk kedalam anggota kelamin wanita demikian rupa,
sehingga akhirnya mengeluarkan mani, tetapi bagaimana kalau laki-laki itu belum
sampai mengeluarkan air mani,3 karena sebelum laki-laki tersebut mengeluarkan
mani, perempuan yang menjadi korban dapat melakukan perlawanan, dalam hal
ini laki-laki tersebut dapat dikatakan telah melakukan perkosaan.4
3
Op. Cit.
Maulana Rahadi Manopol, Jurnal : Perlindungan Korban Pemerkosaan dan
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan, Fakultas Hukum
Universitas Mataram, Mataram, 2013.
4
2.1.2. Konsep Pertanggungjawaban Tindak Pidana Pemerkosaan
Konsep pertanggungjawaban tindak pidana pemerkosaan adalah suatu
bentuk pertanggungjawaban materiil dari Pelaku terhadap perbuatan yang telah
dilakukannya terhadap korban perkosaan. Tindakan ini merupakan tindak pidana
yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan
diancam
dengan
pertanggungjawaban
hukuman
yang
tindak
pidana
diatur
dalam
pemerkosaan
undang-undang.
adalah
bentuk
pertanggungjawaban terhadap hukum materiil sebagaimana diatur dalam Pasal
285 sampai dengan 287 KUHP.
Hukum materiil adalah hukum yang hidup dalam suatu masyarakat, yang
belum tentu telah dibakukan dalam bentuk terrtulis (the living law). Pada
dasarnya, mengacu pada perumusan undang-undang, suatu tindakan dikatakan
bersifat malawan hukum apabila melanggar ketentuan dalam undang-undang.
Dalam arti, baik dengan pencantuman sifat melawan secara tegas maupun tidak
dalam perumusannya pada undang-undang, tindakan tersebut telah melanggar
ketentuan yang ada dan bertentangan dengan kepentingan yang dilindungi hukum
sehingga bersifat melawan hukum.diartikan sebagai suatu tindakan yang
bertentangan dengan kepatutan ataupun norma-norma dalam suatu masyarakat.35
Pertanggungjawaban tindak pidana pemerkosaan dapat ditentukan setelah
perkara pidana tersebut mendapatkan kebenaran materiil. Kebenaran materiil
dalam tindak pidana perkosaan dapat diperoleh dengan.
2.1.2.1. Keterangan Saksi
Yaitu apa yang saksi lihat, dengar, dan alami sendiri. Dalam kasus ini
terdapat kesulitan di mana dalam kasus pemerkosaan tidak terdapat saksi lain
selain saksi korban.
2.1.2.2. Keterangan Ahli
Yaitu apa yang diberikan oleh seorang ahli, dalam kasus pemerkosaan
yang disebut saksi ahli dalam hal ini adalah seorang dokter yang ditunjuk oleh
pengadilan, yang diminta pengetahuannya untuk membuktikan telah terjadi tindak
pidana pemerkosaan.
2.1.2.3. Surat
Surat dalam tidak pidana pemerkosaan yaitu berupa hasil pemeriksaan dari
seorang dokter yang berupa visum yang dituliskan dalam selembar kertas.
2.1.2.4. Petunjuk
Yaitu yang diperoleh dari keterangan saksi, keterangan terdakwa yang
dikumpulkan dan akhirnya menimbulkan sebuah petunjuk yang dapat menguatkan
keyakinan hakim.
2.1.2.5. Keterangan Terdakwa
Yaitu apa yang terdakwa nyatakan di persidangan menyangkut hal tindak
pidana pemerkosaan. Keterangan terdakwa bisa juga di gunakan untuk mencari
fakta-fakta baru yang belum didapat dari alat bukti yang lain.
2.1.3. Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Kerugian Immateriil Korban
Perkosaan Disertai Kehamilan
Secara leksikal, kata “pertanggungjawaban” berasal dari bentuk dasar kata
majemuk “tanggung jawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala
sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap
sendiri atau pihak lain.5 Selain itu, kata “tanggung jawab” merupakan kata benda
abstrak yang bisa dipahami melalui sikap, tindakan dan perilaku. Setelah bentuk
dasar, kata “tanggung jawab” mendapat imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”
menjadi “pertanggungjawaban” yang berarti perbuatan bertanggung jawab atau
sesuatu yang dipertanggungjawabkan.6
Menelaah pengertian “tanggung jawab” sebagaimana rumusan di atas
merujuk kepada makna tanggung jawab dalam proses hukum, dimana seseorang
dapat dituntut, diperkarakan dan dipersalahkan dan kesiapan menerima beban
sebagai akibat dari sikap sendiri atau tindakan orang lain. Jika dikaitkan dengan
kata pertanggungjawaban berarti kesiapan untuk menanggung segala bentuk
beban berupa dituntut, diperkarakan dan dipersalahkan akibat dari sikap dan
tindakan sendiri atau pihak lain yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Setelah
melakukan
elaborasi
teori
pertanggungjawaban,
menyimpulkan
pengertian
pertanggungjawaban
sebagai
suatu
Atmadja
kebebasan
bertindak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan, tetapi pada akhirnya tidak
dapat melepaskan diri dari resultante kebebasan bertindak, berupa penuntutan
untuk melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya. Pandangan
5
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2014, hal.
1139.
6
Op. Cit.
tersebut
bersesuaian
dengan
batasan
Ensiklopedia
Administrasi
yang
mendefinisikan responsibility sebagai keharusan seseorang untuk melaksanakan
secara layak apa yang telah diwajibkan kepadanya.7 Mulyosudarmo membagi
pengertian pertanggungjawaban dalam dua aspek sebagai berikut.
1. Aspek internal yakni pertanggungjawaban yang diwujudkan dalam bentuk
laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan oleh pimpinan dalam suatu
instansi;
2. Aspek eksternal yakni pertanggungjawaban kepada pihak ketiga, jika suatu
tindakan menimbulkan kerugian kepada pihak lain atau dengan perkataan lain
berupa tanggung gugat atas kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain atas
tindakan jabatan yang diperbuat.8
Secara sepintas, dari berbagai pengertian pertanggungjawaban di atas
menunjukkan keluasan wilayah pemikiran yang menyebabkan timbulnya kesulitan
untuk memberi satu definisi yang disepakati mengenai pertanggungjawaban.
Bagaimana pertanggungjawaban diartikan, dimaknai, dipahami, serta batasanbatasannya tergantung kepada konteks dan sudut pandang yang digunakan untuk
menelaahnya. Terlepas dari uraian di atas, secara sederhana dapat dipahami
bahwa eksistensi pertanggungjawaban sebagai suatu objek multidisiplin inheren di
dalam hak dan kewajiban ke konteks mana pun pertanggungjawaban hendak
dipahami dan diwujudkan.
7
Sutarto, Encyclopedia Administrasi, MCMLXXVII, Jakarta, 2014, hal. 291.
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato
Newaksara, Gramedia, Jakarta, 1997, hal. 42.
8
Roscoe Pound termasuk salah satu pakar yang banyak menyumbangkan
gagasannya tentang timbulnya pertanggungjawaban. Melalui pendekatan analisis
kritisnya, Pound meyakini bahwa timbulnya pertanggungjawaban karena suatu
kewajiban atas kerugian yang ditimbulkan terhadap pihak lain. Pada sisi lain
Pound melihat lahirnya pertanggungjawaban tidak saja karena kerugian yang
ditimbulkan oleh suatu tindakan, tetapi juga karena suatu kesalahan.9
Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang
diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum
perjanjian), maka berdasarkan undang undang juga timbul atau terjadi hubungan
hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu.10 Hal tersebut diatur
dalam pasal 1365 KUHPerdata bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan
melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu
sebagai berikut.
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian);
9
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan oleh Mohammad Radjab,
Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1982, hal. 90.
10
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua, Diapit Media, Jakarta,
2002, hal. 77.
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.11
Model tanggung jawab hukum perdata adalah sebagai berikut.
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)
sebagaimana terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana
terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata.
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam pasal
1367 KUHPerdata.
Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelum tahun
1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang
bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap
perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul
karena undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat
dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan
hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang
sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan
oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat. 12
Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya
keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan
Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan antara lain bahwa dengan
perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau
11
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, hal. 3.
12
Op. Cit.
kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan
baik, pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena
salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada
orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian”.13 Berdasarkan perumusan
luas dari onrechmatige daad, maka yang termasuk perbuatan melawan hukum
adalah setiap tindakan.
1. Bertentangan dengan hak orang lain, atau
2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau
3. Bertentangan dengan kesusilaan baik, atau
4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak
disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata,
bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Tanggung jawab atas perbuatan
melawan hukum ini merupakan tanggung jawab perbuatan melawan hukum secara
langsung.
13
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1982, hal. 25-26.
Berdasarkan hukum perdata pengenaan ganti rugi merupakan masalah
yang biasa, baik dalam hukum tidak tertulis maupun dalam hukum yang tertulis,
yaitu dalam Pasal 1365 BW dan seterusnya. Sudah sewajarnya apabila seseorang
yang melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum dan menimbulkan
kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut, diwajibkan untuk
mengganti kerugian. Perbuatan yang melawan hukum tersebut masih dikhususkan
lagi, misalnya dalam hal rumah (gedung) ambruk, dan dalam hal penghinaan.
Masalah ganti rugi dalam hukum perdata tidak merupakan persoalan, hal ini
karena prosedur untuk menuntut ganti rugi sudah umum diketahui.
Perlindungan korban kejahatan dalam proses penyelesaian tindak pidana
perkosaan disertai kehamilan tidak saja penting bagi korban dan keluarganya
semata tetapi juga untuk kepentingan yang lebih luas yaitu untuk kepentingan
penanggulangan kejahatan di satu sisi dan di sisi yang lain untuk kepentingan
pelaku kejahatan itu sendiri. Pelaku kejahatan yang telah berbuat baik kepada
korbannya akan lebih mudah dalam hal pembinaan, karena dengan demikian
pelaku telah merasa berbuat secara konkret untuk menghilangkan noda yang
diakibatkan oleh kejahatannya.
Penjatuhan pidana berupa kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada
korban
akan
mengembangkan
tanggung-jawab
pelaku
karena
dalam
pelaksanaannya dibutuhkan peranan aktif dari si pelaku. Penjatuhan sanksi pidana
yang berupa kewajiban memberikan ganti rugi kepada korban, menurut
pandangan masyarakat juga akan menanamkan kesan bahwa pelaku tidak saja
telah dijatuhi sanksi pidana tetapi juga telah membayar “keuntungannya” dalam
bentuk kepeduliannya memberikan ganti rugi kepada korban dari perbuatannya
tersebut. Kesan tersebut akan memudahkan masyarakat untuk menerima kembali
kehadiran pelaku tersebut ditengah-tengah masyarakat kelak setelah keluar dari
Lembaga Pemasyarakatan. Sikap masyarakat yang mau menerima kembali pelaku
perkosaan tersebut pada akhirnya akan memupuk dan mengembalikan
kepercayaan diri si pelaku tindak pidana atau kejahatan perkosaan dalam
menempuh jalan hidup yang lebih baik di kemudian hari.
Penjatuhan sanksi pidana yang berorientasi pada kepentingan korban tidak
akan menghalangi usaha memperbaiki pelaku kejahatan, tetapi sebaliknya akan
mempercepat proses rehabilitasi pada pelaku kejahatan. Dalam penjatuhan sanksi
pidana yang berupa kewajiban membayar ganti rugi kepada korban, juga perlu
mempertimbangkan kemampuan pelaku tindak pidana khususnya dalam hal ini
tindak pidana atau kejahatan perkosaan. Hal ini karena apabila pembayaran ganti
rugi tersebut dipaksakan kepada si pelaku maka tujuan pemidanaan akan
terhambat bahkan tidak akan tercapai, khususnya tujuan untuk mempengaruhi
terhukum agar tidak melakukan tindak pidana lagi. Pemberian beban yang
melampaui batas kemampuannya akan membuat si terhukum menjadi lebih jahat
lagi, sehingga dapat dikatakan bahwa pemidanaan itu sendiri bersifat kriminogen,
artinya justru menjadi sumber terjadinya kejahatan.
Keadaan inilah yang hendak dihindarkan oleh beberapa negara. Dimana
penggantian kerugian tidak dibebankan kepada terhukum, melainkan negaralah
yang memberi ganti kerugian kepada korban. Hal ini tentu saja dengan
mempertimbangkan kemampuan negara untuk memberi ganti kerugian. Korban
tindak pidana perkosaan yang mengalami kerugian yang bersifat immaterial atau
penderitaan non fisik sudah sepantasnya mendapat perhatian dan perlindungan
hukum dalam sistem peradilan pidana. Keterlibatan negara dan masyarakat umum
dalam menanggulangi beban penderitaan korban perkosaan bukan hanya karena
negaralah yang memiliki fasilitas-fasilitas pelayanan umum, tetapi juga disertai
dasar pemikiran bahwa negara berkewajiban untuk memelihara keselamatan dan
meningkatkan kesejahteraan warga negaranya. Terjadinya korban perkosaan dapat
dianggap sebagai gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik
kepada warga negaranya.
Lidya Suryani W. dan Sri Wurdani menegaskan KUHAP kurang
memberikan perhatian terhadap korban kejahatan khususnya korban kejahatan
perkosaan sebagai pihak yang paling dirugikan yang juga membutuhkan
perlindungan terhadap hak-haknya yang telah dilanggar.14 Seringkali terjadi,
keterlibatan korban dalam sistem peradilan pidana hanya menambah rasa takut
yang berkepanjangan, tidak berdaya dan kecewa karena tidak diberikan
perlindungan yang cukup.
Perjalanan penderitaan yang panjang dalam proses peradilan pidana, lebih
banyak berakhir dengan kepedihan. Hukuman yang dijatuhkan hakim atas pelaku
perkosaan terlampau ringan jika dibandingkan dengan trauma yang diakibatkan
oleh perkosaan itu dalam hidup korban sepanjang hayat. Ancaman hukuman
maksimal 12 (dua belas) tahun hanya menjadi sederetan kata-kata didalam KUHP,
karena rata-rata hakim menjatuhkan pidana kepada pemerkosa berkisar 5 (lima)
14
Lidya Suryani W. dan Sri Wurdani, “Perkosaan dan Perlindungan Hukum bagi Korban”,
dalam Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki (ed.), Perempuan dalam Wacana Perkosaan. PKBI,
Yogyakarta, 1997.
bulan hingga 2 (dua) tahun penjara. Penjatuhan pidana yang relatif ringan,
sebagaimana yang sering kita dengar pada praktik peradilan selama ini
dikhawatirkan akan membuat pelaku tak takut atau tak jera melakukan kejahatan
perkosaan itu lagi dan juga tidak dapat dijadikan peredam makin maraknya kasus
perkosaan. Korban dalam pemeriksaan penyidik misalnya lebih sering diposisikan
tidak jauh berbeda dengan tersangka, yang harus diperiksa (dimintai keterangan)
dalam waktu berjam-jam. Pihak korban yang sudah tersiksa secara psikologis
masih harus diperhadapkan dengan suasana yang kurang mendukung secara fisik
maupun psikologisnya.15
Berdasarkan bunyi pasal Pasal 98 KUHAP, terlihat bahwa orang yang
menjadi korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perkosaan dapat
mengajukan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang ia alami. Namun demikian
dalam kenyataan di lapangan jarang sekali bahkan sulit untuk dijumpai seorang
korban tindak pidana perkosaan memanfaatkan pasal tersebut untuk mengajukan
tuntutan ganti rugi sebagaimana tertuang dalam Pasal 98 KUHAP. Tindak pidana
perkosaan Korban perkosaan sebagai saksi korban harus mengingat dan
menceritakan kasus yang dialaminya di depan persidangan. Bagaimana mungkin
seorang yang menderita akibat perkosaan tersebut dapat dengan mudah
mengungkap kejadian yang dialaminya, sedangkan melihat dan mengingat pelaku
pun sudah mengulangi penderitaannya. Mengenai ketentuan ganti rugi, ini dapat
dikaji dalam ketentuan Pasal 98-101 KUHAP. Pasal 98 KUHAP menyebutkan,
bahwa.
15
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
(Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, 2001. hal. 77.
Pasal 98 KUHAP
(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan
kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang
itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti
kerugian kepada perkara pidana itu;
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana.
Permintaan diajukan apabila penuntut umum tidak hadir, selambatlambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan akan menimbulkan berbagai
akibat baik berupa fisik, mental (psikologis) sosial, ekonomi dan lain-lain, bahkan
secara psikologis korban mengalami trauma seumur hidupnya akibat perbuatan
tindak pidana itu, hal ini merupakan suatu kerugian yang ia alami. Seperti halnya
korban harus melapor ke Polisi, menanggung biaya pengobatan sendiri, kemudian
setelah persidangan ia harus menjadi saksi yang harus menceritakan aib itu
berulang-ulang sehingga korban akan mengalami trauma dan penderitaan yang
berkepanjangan.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 98 ayat (1) di atas, pembentuk
undang-undang telah membuka kemungkinan adanya penggabungan perkara
tindak pidana dengan gugatan perdata tentang ganti kerugian menurut sistem
KUHAP. Penggabungan perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian akan lebih
memudahkan bagi orang lain termasuk si korban untuk berbuat sesuatu yang
ia/mereka inginkan atas segala kerugian yang ia/mereka alami dan yang
dideritanya. Perlindungan terhadap hak korban suatu tindak pidana ini diberikan
dengan mempercepat proses untuk mendapat ganti rugi yang diderita, ialah
dengan menggabungkan perkara pidananya dengan tuntutan untuk mendapat ganti
rugi, yang pada hakekatnya adalah perkara perdata dan yang biasa diajukan
melalui perkara perdata dan dengan demikian akan dihemat waktu dan biaya
perkara.
Seorang yang merasa dirugikan, mengajukan permintaan kepada ketua
sidang yang sedang memeriksa perkara pidana yang dilakukan terdakwa yang
mana mengakibatkan kerugian tersebut, untuk menggabungkan perkara gugatan
ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan. Akan tetapi, ternyata
penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut sifatnya terbatas hanya kerugian
yang nyata-nyata diderita korban. Akhir kalimat Pasal 99 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan tersebut, dapat ditafsirkan sebagai kerugian yang sifatnya riil atau nyata
saja. Sedangkan terhadap kerugian bersifat immaterial yang diderita korban
dengan mengacu akhir kalimat Pasal 99 ayat (1) KUHAP karena masih
memerlukan pembuktian relatif sulit, lama dan berbelit-belit tidak dapat diajukan
dalam penggabungan gugatan Aspek ini secara implisit ditentukan Pasal 99
KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 99 KUHAP
(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya
pada perkara pidana sebgaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka
pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili
gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman
penggantian biaya yang terlah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan
tersebut;
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang
mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang
penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak
yang dirugikan;
(3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan
hukum tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum
tetap.
Salah satu segi negatif sistem peradilan perdata adalah antara lain dalam
hal penyelesaian ganti kerugian. Oleh karena dapat memakan waktu lama dan
tinggi ongkosnya. Sehingga kerap kali menimbulkan kesulitan bagi mereka yang
tidak mampu material, finansial. Cara penuntutan ganti kerugian melalui peradilan
perdata akhirnya tidak akan menguntungkan bagi korban yang tidak mampu
finansial. Sedangkan mereka inilah yang paling memerlukan bantuan setelah
mengalami musibah, menjadi korban (mental, fisik, dan sosial). Dengan kata lain
gugatan ini hanya bisa diajukan melalui gugatan perkara perdata. 16 Lagipula
bagaimana seorang korban perkosaan yang sangat menderita secara fisik dan
psikologis masih dapat berfikir untuk melakukan tuntutan ganti kerugian kepada
pelaku. Bahkan untuk mengingat pelaku dan perbuatannya sudah menambah
penderitaannya.
Putusan hakim hanya terbatas tentang pengabulan yang menetapkan
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Hal ini
berarti besarnya ganti kerugian hanyalah sebesar jumlah kerugian nyata atau
kerugian materiil saja. diluar kerugian nyata, seperti kerugian yang bersifat
immaterial tidak dapat diajukan dalam perkara. Seandainya ganti kerugian
immaterial diajukan oleh pihak yang dirugikan hakim harus menyatakan gugatan
tersebut tidak dapat diterima (niet onvankelijke).
16
R.Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Dalam
KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 67.
Ganti kerugian pada dasarnya meliputi kerugian material dan immaterial.
Namun demikian dilihat dari ketentuan tersebut di atas yang dimaksud dengan
ganti rugi adalah ganti rugi yang bersifat material. Apabila dikaitkan dengan pasal
99 ayat (2) KUHAP yakni hanya berupa biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan sehingga tuntutan yang lain harus dinyatakan tidak diterima, dan harus
diajukan dengan gugatan perdata biasa. Gugatan perkara perdata tersebut tidak
merupakan perkara “ne bis in idem”.
Tujuan penggabungan gugatan ganti rugi ini adalah menyederhanakan
proses perkara perdata yang timbul dari tindak pidana. Namun kerugian yang
ditimbulkan hanya terbatas pada kerugian materiil saja, yaitu penggantian biaya
yang telah dikeluarkan si korban, tidak mencakup pada penggantian kerugian
immaterial. Bila korban ingin mengajukan ganti rugi atas kerugian immateriil
yang dialaminya, maka korban harus mengajukan gugatan perdata biasa yang kita
ketahui bahwa mempunyai prosedur yang panjang. Tidaklah mudah bagi korban
perkosaan yang menderita dan mengalami trauma berfikir untuk mengajukan Hal
ini sama sekali tidak memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana
perkosaan, bahwa korban tindak pidana perkosaan sangat dirugikan baik secara
materiil terutama secara immaterial, ini berarti bahwa korban tidak bisa
memperoleh ganti rugi atas kerugian immaterial yang dialaminya.17
Menurut Soeparmono sistem dan lembaga penggabungan perkara gugatan
ganti kerugian tersebut dalam pasal-pasalnya dalam KUHAP belumlah
17
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan Praktik Peradilan Indonesia,
Djambatan, Jakarta, 2008, hal. 264.
memuaskan. Adapun alasan-alasannya adalah seperti dibawah ini dan merupakan
kelemahan dari KUHAP:
1. Sistem penggabungan tersebut dirasakan belum mendekati hakekat tujuan
ganti kerugian itu sendiri;
2. Tuntutan ganti kerugian oleh orang lain yang menderita langsung kerugian
atau pihak korban untuk memperoleh jumlah besarnya ganti kerugian
“dibatasi” hanya pada kerugian meteriil yang nyata-nyata dikeluarkan olh
orang yang dirugikan langsung tersebut. Jadi KUHAP dalam ketentuanketentuannya membatasi hak;
3. Untuk kerugian non-materiil, yaitu kerugian immateriil terpaksa harus
mengajukan lagi dengan gugatan perkara biasa tersendiri, yang mungkin
dapat memakan waktu lama;
4. Menurut M.Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan penerapan
KUHAP, jilid II, Bab penggabungan perkara gugatan ganti kerugian”
dikatakan: kondisi seperti ini berarti sedikit banyak mengaburkan kembali
maksud semula dari penggabungan itu sendiri, yang bertujuan untuk
menyederhanakan proses dan biaya ringan.18
5. Adanya kendala dalam pelaksanaan masalah pembayaran ganti kerugian
tersebut;
6. Apabila pihak korban tetap menuntut ganti kerugian yang bersifat
immateriil juga, hasilnya akan nihil, karena putusan selalu menyatakan:
gugatan ganti kerugian immateriil tersebut dinayatakan tidak dapat
diterima, kerena tidak berdasarkan hukum;
7. Karena gugatan ganti kerugian pada perkara pidana hanya bersifat
assessor.19
Kepentingan korban dalam penyelesaian perkara pada sistem peradilan
pidana juga mempunyai aspek negatif. Dikatakan demikian karena melalui optik
KUHAP perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan
kurang memadai. Konkretnya, korban belum mendapat perhatian secara
proporsional atau perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan
tidak langsung. Aspek ini implisit melalui ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP
yang berbunyi sebagai berikut.
18
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemerikasaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jilid II, Sinar Grafika, Jakarta,
2008.
19
R.Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Dalam
KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 67.
Pasal 100 ayat (2) KUHAP
“Apabila dalam suatu perkara pidana yang tidak diajukan permintaan
banding, maka ganti rugi tidak diperkenankan”.
Apabila dijabarkan, ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP telah membatasi
korban dalam hal sebagai berikut.
2.1.3.1. Ditinjau dari Anasir Prosesnya
Tidak ada aturan atau pedoman yang harus dilakukan korban apabila
merasa tidak puas atas putusan hakim tentang besarnya ganti kerugian yang
dijatuhkan. Konkretnya, korban tidak mempunyai proses langsung untuk
melakukan upaya hukum banding. Karena itu berdasarkan Pasal 100 ayat (2)
KUHAP maka permintaan banding putusan ganti kerugian baru dapat diajukan
apabila perkara pidananya dilakukan upaya hukum banding.
Konkretnya, jika korban berkeinginan untuk mengajukan banding,
jalurnya hanya melalui penuntut umum yang belum tentu menyetujui kehendak
korban dimaksud karena jalur tesebut bukan merupakan ketentuan undangundang, melainkan berdasarkan pendekatan persuasif antara korban dengan
penuntut umum sehingga dapat dikatakan bahwa perlindungan korban yang
diberikan melalui ketentuan dimaksud belum sepenuhnya dapat menjamin
kepentingan korban dalam upaya untuk mencari keadilan.
3.6.2. Perlindungan Korban Dengan Melalui Upaya Hukum Banding
Bergantung Kepada Penuntut Umum
Tegasnya, besar kemungkinan terjadi perbedaan pandangan kepentingan
antara korban dengan penuntut umum. Jika korban berkeinginan mengajukan
banding, tetapi penuntut umum menerima putusan sehingga keinginan korban
untuk melakukan upaya hukum banding terhadap putusan ganti kerugian telah
tertutup.20
Aspek ini merupakan konsekuensi logis dari sistem Peradilan Pidana
Indonesia yang menempatkan eksistensi lembaga kejaksaan sebagai wakil
kepentingan korban kejahatan. Di satu sisi, sebagai lembaga yang mewakili
korban, idealnya kejaksaan lebih mementingkan korban. Akan tetapi, penuntut
umum masih mengacu kepada pelaku tindak pidana. Untuk itu, pada masa
mendatang (ius constituendum) sebagai reorieantasi, reevaluasi KUHAP guna
menghilangkan aspek negative ini perlu diatur eksistensi lembaga kejaksaan yang
mewakili korban atau masyarakat secara tegas.21
Adanya pembatasan sebagaimana ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP
perlindungan kepada korban melalui ketentuan Pasal 99 ayat (1) KUHAP ternyata
relatif kurang sempurna dan memadai. Berdasarkan ketentuan itu apabila terjadi
penggabungan gugatan ganti kerugian, untuk memeriksanya harus bermuara pada
hukum acara perdata terlebih lagi khususnya kewenangan bersifat absolut yang
harus diajukan kepada pengadilan negeri dimana tergugat bertempat tinggal. Jika
terdakwa yang diadili perkaranya disidangkan di wilayah tempat tinggal atau
tempat kediamannya, tentu pengadilan negeri tersebut tidak memeriksa dan
mengadilinya karena salah satu asas dalam hukum pidana menyatakan bahwa
terdakwa akan diadili ditempat perbuatan tersebut dilakukan. Oleh karena itu, jika
hukum acara benar-benar hendak memperhatikan kepentingan korban, diperlukan
adanya penyempurnaan dalam KUHAP itu sendiri dengan memberikan peran
20
21
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hal. 266.
Ibid, hal. 267.
lebih besar kepada korban dalam mengajukan upaya hukum banding jika korban
tidak merasa puas atas putusan hakim, baik menyangkut pemidanaan ataupunn
menyangkut ganti kerugian. demikian pula halnya mengenai kewenangan
mengadili sepanjang hal yang menyangkut kerugian materiil tidaklah diperlukan
pemisahan antara kompetensi peradilan pidana dengan perkara perdata terkait
dengan gugatan ganti kerugian.22
22
Susanti Nababan, Skripsi : Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif Pembaharuan Hukum
Pidana (Kajian Mengenai Aspek Perlindungan Korban), Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan, 2013.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah.
3.1.1.
Pertanggungjawaban pidana pelaku perkosaan yaitu berdasarkam Pasal
285 KUHP diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun. Namun pertanggungungjawaban ini hanya
merupakan pertanggungjawaban materiil terhadap korban perkosaan.
Tindakan ini merupakan tindak pidana yang dianggap telah selesai
dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan
hukuman yang diatur dalam undang-undang. pertanggungjawaban tindak
pidana pemerkosaan adalah bentuk pertanggungjawaban terhadap hukum
materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 285 sampai dengan 287 KUHP.
3.1.2.
Pertanggungjawaban perdata terhadap kerugian immateriil korban
perkosaan disertai kehamilan dengan penggabungan gugatan ganti rugi
menyederhanakan proses perkara perdata yang timbul dari tindak pidana.
Perkara pidana yang hanya terdapat kerugian materiil didalamnya dapat
digabungkan dengan perkara perdata berupa kerugian immateriil bagi
korban perkosaan yang disertai dengan kehamilan.
3.2. Saran
Saran dalam penelitian ini yaitu.
3.2.1.
Diperlukan bentuk pertanggungjawaban terhadap hukum materiil dengan
mengubah Pasal 285 sampai dengan 287 KUHP yang lebih beroientasi
terhadap kerugian materiil korban tindak pidana pemerkosaan;
3.2.2.
Perlindungan kepada korban melalui ketentuan Pasal 99 ayat (1) KUHAP
ternyata relatif kurang sempurna dan memadai. Diperlukan adanya
penyempurnaan dalam KUHAP itu sendiri dengan memberikan peran
lebih besar kepada korban perkosaan disertai kehamilan mengenai
kewenangan mengadili sepanjang hal yang menyangkut kerugian materiil
tidaklah diperlukan pemisahan antara kompetensi peradilan pidana
dengan perkara perdata terkait dengan gugatan ganti kerugian.
Download