RESUME PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA TERHADAP KERUGIAN IMMATERIIL KORBAN PERKOSAAN DISERTAI KEHAMILAN BIMA RESTUADI NIM: 12113020 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2016 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Wanita adalah sebutan yang digunakan untuk homo sapiens berjenis kelamin dan mempunyai alat reproduksi berupa vagina. Lawan jenis dari wanita adalah pria atau laki-laki. Wanita adalah kata yang umum digunakan untuk menggambarkan perempuan dewasa. Perempuan yang sudah menikah juga biasa dipanggil dengan sebutan ibu. Untuk perempuan yang belum menikah atau berada antara umur 16 (enam belas) hingga 21 (dua puluh satu) tahun disebut juga dengan anak gadis. Wanita berdasarkan asal bahasanya tidak mengacu pada wanita yang ditata atau diatur oleh laki-laki atau suami pada umumnya terjadi pada kaum patriarki. Arti kata wanita sama dengan perempuan, perempuan atau wanita memiliki wewenang untuk bekerja dan menghidupi keluarga bersama dengan sang suami. Tidak ada pembagian peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga, pria dan wanita sama-sama berkewajiban mengasuh anak hingga usia dewasa. Jika ada wacana perempuan harus di rumah menjaga anak dan memasak untuk suami maka itu adalah konstruksi peran perempuan karena laki-laki juga bisa melakukan hal itu, contoh lain misalnya laki-laki yang lebih kuat, tegas dan perempuan lemah lembut ini yang kemudian disebut dengan gender. Perempuan yang memiliki organ reproduksi yang baik akan memiliki kemampuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui. Kemampuan yang tidak bisa dilakukan perempuan/wanita/ibu. oleh pria ini yang disebut dengan tugas Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan masing-masing dengan kelebihannya masing-masing. laki-laki diciptakan dengan kekuatan fisik yang hebat, dan wanita diciptakan dengan kekuatan hati yang penuh ketabahan. Baik laki-laki maupun perempuan semuanya adalah mahluk yang diciptakan dengan kehebatannya masing-masing. Penampakan fisik wanita yang lemah hanyalah menandakan kalau ia memiliki kekuatan di bidang yang lain. Perempuan sering menjadi korban kriminalitas karena dianggap makhluk yang lemah, dan mudah diperdaya oleh kaum laki-laki. Perempuan masih dianggap sebagai kaum yang lemah dan kerap kali diremehkan, sehingga mereka menjadi sasaran bagi para pelaku aksi kekerasan dan kejahatan. Banyak dari perempuan yang tidak mengerti cara melakukan perlawanan pada saat peristiwa yang tidak diinginkan menimpa mereka. Salah satu kejahatan yang sering dialami perempuan adalah tindak pidana pemerkosaan. Perempuan sering kali menjadi obyek kekerasan ataupun pelecehan seksual yang dilakukan oleh pria. Namun pada dasarnya pelaku tindak pemerkosaan seringkali mendapatkan hukuman yang tidak sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat, dan akhirnya melakukan hal yang sama terhadap korban lainnya. Pemerkosaan wanita di Indonesia dihadapkan pada batasan undangundang tentang pemerkosaan yang mencerminkan budaya dominasi pria terhadap wanita. Undang-undang dinilai lebih melindungi kepentingan pria dibandingkan korban. Pendapat seperti ini muncul karena di dalam undang-undang mensyaratkan terjadinya perkosaan dengan adanya penetrasi vaginal dari pelaku. Sementara itu perbuatan memaksakan hubungan anal dan oral serta memasukkan benda-benda lain seperti jari atau botol ke dalam vagina tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan pemerkosaan. Sebagai tindak lanjut keprihatinan terhadap undang-undang perkosaan, sejak tahun 1991 telah dirancang rumusan baru mengenai peraturan untuk tindak perkosaan1. Menurut Saskia E. Wieringa, Ahli Kajian Gender dan Seksualitas dari Universitas Amsterdam, pemerkosaan di Indonesia sudah masuk dalam situasi sulit. Selain itu, perempuan yang sering menjadi korban juga jarang mendapat keadilan karena kejadian pemerkosaan dianggap kesalahan perempuan. Sudah menjadi wacana umum bahwa pihak laki-laki kebanyakan berpikir bisa memiliki perempuan, sehingga ketika mereka sedang naik hasrat seksualnya dan sulit dihentikan, mereka bisa melakukan pemerkosaan. Korban harus membuktikan bahwa tindak kekerasan seksual memang benar-benar terjadi, sementara pelaku tidak perlu membuktikan apapun untuk menunjukkan ia tidak bersalah. Tidak jarang korban harus berkali-kali memaparkan ulang kejadian traumatis yang dialaminya2. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "perkosa, memerkosa" memiliki arti menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, melanggar, menyerang dan sebagainya. Pemerkosa adalah orang yang memerkosa. Pemerkosaan adalah proses, perbuatan, cara memerkosa dengan pelanggaran menggunakan kekerasan. 1 Taslim, A., Bila Perkosaan Terjadi, Kalyanamitra : Komunikasi dan Informasi Perempuan, Jakarta, 1995. 2 Angga Yudha Pratomo, Peristiwa di Indonesia, Kasus Perkosaan Malah Dianggap Kesalahan Perempuan, Merdeka, 23 Januari 2014. Dalam beberapa kasus tindak pidana pemerkosaan menyebabkan wanita (korban) hamil. Hal inilah yang menjadi sulit untuk dibuktikan. Apabila pemerkosanya berjumlah lebih dari satu orang maka korban akan sulit untuk mengetahui ayah biologis janin dalam kandungannya. Rasa malu, frustasi dan menyesal dalam hal ini dianggap Peneliti merupakan bentuk kerugian immateriil korban sebagai korban. Hal inilah yang menjadi dasar Peneliti untuk menulis tesis yang berjudul TERHADAP “KONSEP KERUGIAN PERTANGGUNGJAWABAN IMMATERIIL KORBAN PERDATA PERKOSAAN DISERTAI KEHAMILAN”. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.2.1. Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan pemerkosaan? 1.2.2. Bagaimana pertanggungjawaban perdata terhadap kerugian immateriil korban perkosaan disertai kehamilan? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain. 1.3.1. Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan pemerkosaan; 1.3.2. Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban perdata terhadap kerugian immateriil korban perkosaan disertai kehamilan. ANALISIS 2.1. PEMBAHASAN 2.1.1. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Untuk mengetahui pertanggungjawaban terhadap pelaku kejahatan pemerkosaan, menurut ketentuan Pasal 285 diatas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana perkosaan, unsur-unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut. 2.1.1.1. Barang Siapa Unsur ini merupakan dari tindak pidana perkosaan ialah barang siapa. Istilah barang siapa menunjuk kepada siapa saja yang dapat dikenakan ketentuan ini, yang jika dihubungkan dengan kalimat lanjutan dari Pasal 285 KUHP maka yang dimaksud dengan barang siapa dalam Pasal ini adalah lelaki atau pria, yang apabila terbukti dalam Pasal 285 KUHP ini maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana tersebut dan dijatuhi pidana. Dengan demikian bahwa yang dapat menjadi pelaku tindak pidana perkosaan hanyalah lelaki atau pria padahal bukan tidak mungkin seorang perempuan memaksa seorang laki-laki, baik laki-laki itu suaminya atau tidak, untuk bersetubuh dengan dia. Pembentuk undang-undang tidak menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa laki-laki untuk bersetubuh, karena paksaan seorang perempuan terhadap laki-laki untuk bersetubuh tidak menimbulkan sesuatu yang buruk dan merugikan karena laki-laki tidak ada bahaya untuk hamil dan melahirkan karena paksaan tersebut. Jika paksaan dari perempuan tersebut untuk bersetubuh telah merusak moral dari laki-laki yang menjadi korban, maka dapat saja perbuatan yang pernah dia alami itu kemudian dia lakukan terhadap seorang perempuan sehingga terjadilah delik perkosaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP. Dalam pembentukan undang-undang hukum pidana nasional yang akan datang menurut penyusun, maka laki-laki juga harus dilindungi dari delik perkosaan, sehingga yang dapat dipidana karena melakukan delik perkosaa bukan hanya lakilaki tetapi juga seorang perempuan yang memaksa laki-laki untuk bersetubuh dengan dia. 2.1.1.2. Adanya Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya sampai orang itu pingsan atau tidak berdaya. Dengan demikian maka seseorang perempuan dapat dikatakan diperkosa apabila terhadap tubuh perempuan itu ada bekas-bekas kekerasan misalnya memar ataupun pakaian dari perempuan tersebut robek atau kancingnya terlepas dan lain sebagainya. Namun, yang sangat disesalkan adalah apabila perbuatan tersebut tidak langsung dilaporkan kepada pihak yang berwajib karena korban takut akan dengan ancaman dari pelaku sehingga tanda-tanda atau bekas-bekas kekerasan ini sudah hilang pada pemeriksaan sedangkan korban juga tidak pernah memintah bantuan pengobatan dari seseorang dari dokter, padahal kalau saja perbuatan perkosaan itu segera di laporkan kepada pihak yang berwajib maka tanda-tanda kekerasan ini dapat dimintakan Visum et Repertum atau kalau saja perempuan yang menjadi korban tersebut menyadari bahwa bekas-bekas kekerasan tersebut sangat penting dalam pembuktian maka korban dan keluarganya mungkin tidak akan melalaikan hal ini. Tidak jarang tindak pidana perkosaan tidak dilaporkan kepada yang berwajib atau nanti dilaporkan kepada yang berwajib setelah bukti-bukti bahwa telah terjadi suatu tindak pidana perkosaan sudah hilang sama sekali atau nanti dilaporkan kepada yang berwajib setelah korban menjadi hamil, padahal delik perkosaan tersebut telah dilakkukan oleh pelaku berulang-ulang kali tetapi karena ancaman dari pelaku sehingga korban tidak melaporkan apa yang telah dialami terhadap keluarganya apalagi terhadap pihak yang berwajib. 2.1.1.3. Memaksa Seorang Wanita Artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, unsur tersebut yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum pidana adalah memaksa, perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat pula dilakukan dengan ucapan. Dalam tindak pidana perkosaan ini seorang perempuan dipaksa sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan itu, perbuatan tersebut membuat seseorang wanita menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan kedalam pengertian memaksa seseorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita tersebut adalah wanita itu sendiri. 2.1.1.4. Perempuan yang Bukan Istrinya Peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk ke anggota kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan istrinya. Unsur ini dari tindak pidana perkosaan ialah yang bukan istrinya, dengan demikian jika terhadap istrinya sendiri tidak dikenakan Pasal ini, perlu diketahui bahwa tindak pidana susila dalam KUHP telah menyebutkan adanya berbagai perempuan, masing-masing perempuan yang belum mencapai 12 tahun dalam Pasal 287 ayat 1 dan Pasal 290 ayat 2 KUHP, perempuan yang belum dapat dinikahi dalam Pasal 288 ayat 1 KUHP dan perempuan pada umumnya, sedangkan perempuan yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP adalah perempuan pada umumnya yang bukan istrinya. 2.1.1.5. Bersetubuh Diluar Perkawinan dengan Dia (Pelaku) Unsur ini merupakan tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP adalah persetubuhan, “baru dapat dikatakan persetubuhan, apabila anggota kelamin pria telah masuk kedalam anggota kelamin wanita demikian rupa, sehingga akhirnya mengeluarkan mani, tetapi bagaimana kalau laki-laki itu belum sampai mengeluarkan air mani,3 karena sebelum laki-laki tersebut mengeluarkan mani, perempuan yang menjadi korban dapat melakukan perlawanan, dalam hal ini laki-laki tersebut dapat dikatakan telah melakukan perkosaan.4 3 Op. Cit. Maulana Rahadi Manopol, Jurnal : Perlindungan Korban Pemerkosaan dan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram, 2013. 4 2.1.2. Konsep Pertanggungjawaban Tindak Pidana Pemerkosaan Konsep pertanggungjawaban tindak pidana pemerkosaan adalah suatu bentuk pertanggungjawaban materiil dari Pelaku terhadap perbuatan yang telah dilakukannya terhadap korban perkosaan. Tindakan ini merupakan tindak pidana yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan pertanggungjawaban hukuman yang tindak pidana diatur dalam pemerkosaan undang-undang. adalah bentuk pertanggungjawaban terhadap hukum materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 285 sampai dengan 287 KUHP. Hukum materiil adalah hukum yang hidup dalam suatu masyarakat, yang belum tentu telah dibakukan dalam bentuk terrtulis (the living law). Pada dasarnya, mengacu pada perumusan undang-undang, suatu tindakan dikatakan bersifat malawan hukum apabila melanggar ketentuan dalam undang-undang. Dalam arti, baik dengan pencantuman sifat melawan secara tegas maupun tidak dalam perumusannya pada undang-undang, tindakan tersebut telah melanggar ketentuan yang ada dan bertentangan dengan kepentingan yang dilindungi hukum sehingga bersifat melawan hukum.diartikan sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan kepatutan ataupun norma-norma dalam suatu masyarakat.35 Pertanggungjawaban tindak pidana pemerkosaan dapat ditentukan setelah perkara pidana tersebut mendapatkan kebenaran materiil. Kebenaran materiil dalam tindak pidana perkosaan dapat diperoleh dengan. 2.1.2.1. Keterangan Saksi Yaitu apa yang saksi lihat, dengar, dan alami sendiri. Dalam kasus ini terdapat kesulitan di mana dalam kasus pemerkosaan tidak terdapat saksi lain selain saksi korban. 2.1.2.2. Keterangan Ahli Yaitu apa yang diberikan oleh seorang ahli, dalam kasus pemerkosaan yang disebut saksi ahli dalam hal ini adalah seorang dokter yang ditunjuk oleh pengadilan, yang diminta pengetahuannya untuk membuktikan telah terjadi tindak pidana pemerkosaan. 2.1.2.3. Surat Surat dalam tidak pidana pemerkosaan yaitu berupa hasil pemeriksaan dari seorang dokter yang berupa visum yang dituliskan dalam selembar kertas. 2.1.2.4. Petunjuk Yaitu yang diperoleh dari keterangan saksi, keterangan terdakwa yang dikumpulkan dan akhirnya menimbulkan sebuah petunjuk yang dapat menguatkan keyakinan hakim. 2.1.2.5. Keterangan Terdakwa Yaitu apa yang terdakwa nyatakan di persidangan menyangkut hal tindak pidana pemerkosaan. Keterangan terdakwa bisa juga di gunakan untuk mencari fakta-fakta baru yang belum didapat dari alat bukti yang lain. 2.1.3. Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Kerugian Immateriil Korban Perkosaan Disertai Kehamilan Secara leksikal, kata “pertanggungjawaban” berasal dari bentuk dasar kata majemuk “tanggung jawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain.5 Selain itu, kata “tanggung jawab” merupakan kata benda abstrak yang bisa dipahami melalui sikap, tindakan dan perilaku. Setelah bentuk dasar, kata “tanggung jawab” mendapat imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi “pertanggungjawaban” yang berarti perbuatan bertanggung jawab atau sesuatu yang dipertanggungjawabkan.6 Menelaah pengertian “tanggung jawab” sebagaimana rumusan di atas merujuk kepada makna tanggung jawab dalam proses hukum, dimana seseorang dapat dituntut, diperkarakan dan dipersalahkan dan kesiapan menerima beban sebagai akibat dari sikap sendiri atau tindakan orang lain. Jika dikaitkan dengan kata pertanggungjawaban berarti kesiapan untuk menanggung segala bentuk beban berupa dituntut, diperkarakan dan dipersalahkan akibat dari sikap dan tindakan sendiri atau pihak lain yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Setelah melakukan elaborasi teori pertanggungjawaban, menyimpulkan pengertian pertanggungjawaban sebagai suatu Atmadja kebebasan bertindak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan, tetapi pada akhirnya tidak dapat melepaskan diri dari resultante kebebasan bertindak, berupa penuntutan untuk melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya. Pandangan 5 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2014, hal. 1139. 6 Op. Cit. tersebut bersesuaian dengan batasan Ensiklopedia Administrasi yang mendefinisikan responsibility sebagai keharusan seseorang untuk melaksanakan secara layak apa yang telah diwajibkan kepadanya.7 Mulyosudarmo membagi pengertian pertanggungjawaban dalam dua aspek sebagai berikut. 1. Aspek internal yakni pertanggungjawaban yang diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan oleh pimpinan dalam suatu instansi; 2. Aspek eksternal yakni pertanggungjawaban kepada pihak ketiga, jika suatu tindakan menimbulkan kerugian kepada pihak lain atau dengan perkataan lain berupa tanggung gugat atas kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain atas tindakan jabatan yang diperbuat.8 Secara sepintas, dari berbagai pengertian pertanggungjawaban di atas menunjukkan keluasan wilayah pemikiran yang menyebabkan timbulnya kesulitan untuk memberi satu definisi yang disepakati mengenai pertanggungjawaban. Bagaimana pertanggungjawaban diartikan, dimaknai, dipahami, serta batasanbatasannya tergantung kepada konteks dan sudut pandang yang digunakan untuk menelaahnya. Terlepas dari uraian di atas, secara sederhana dapat dipahami bahwa eksistensi pertanggungjawaban sebagai suatu objek multidisiplin inheren di dalam hak dan kewajiban ke konteks mana pun pertanggungjawaban hendak dipahami dan diwujudkan. 7 Sutarto, Encyclopedia Administrasi, MCMLXXVII, Jakarta, 2014, hal. 291. Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Newaksara, Gramedia, Jakarta, 1997, hal. 42. 8 Roscoe Pound termasuk salah satu pakar yang banyak menyumbangkan gagasannya tentang timbulnya pertanggungjawaban. Melalui pendekatan analisis kritisnya, Pound meyakini bahwa timbulnya pertanggungjawaban karena suatu kewajiban atas kerugian yang ditimbulkan terhadap pihak lain. Pada sisi lain Pound melihat lahirnya pertanggungjawaban tidak saja karena kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindakan, tetapi juga karena suatu kesalahan.9 Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu.10 Hal tersebut diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut. 1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan; 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian); 9 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan oleh Mohammad Radjab, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1982, hal. 90. 10 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua, Diapit Media, Jakarta, 2002, hal. 77. 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.11 Model tanggung jawab hukum perdata adalah sebagai berikut. 1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata. 2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata. 3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam pasal 1367 KUHPerdata. Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat. 12 Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan antara lain bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau 11 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 3. 12 Op. Cit. kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan baik, pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian”.13 Berdasarkan perumusan luas dari onrechmatige daad, maka yang termasuk perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan. 1. Bertentangan dengan hak orang lain, atau 2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau 3. Bertentangan dengan kesusilaan baik, atau 4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda. Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata, bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum ini merupakan tanggung jawab perbuatan melawan hukum secara langsung. 13 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hal. 25-26. Berdasarkan hukum perdata pengenaan ganti rugi merupakan masalah yang biasa, baik dalam hukum tidak tertulis maupun dalam hukum yang tertulis, yaitu dalam Pasal 1365 BW dan seterusnya. Sudah sewajarnya apabila seseorang yang melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut, diwajibkan untuk mengganti kerugian. Perbuatan yang melawan hukum tersebut masih dikhususkan lagi, misalnya dalam hal rumah (gedung) ambruk, dan dalam hal penghinaan. Masalah ganti rugi dalam hukum perdata tidak merupakan persoalan, hal ini karena prosedur untuk menuntut ganti rugi sudah umum diketahui. Perlindungan korban kejahatan dalam proses penyelesaian tindak pidana perkosaan disertai kehamilan tidak saja penting bagi korban dan keluarganya semata tetapi juga untuk kepentingan yang lebih luas yaitu untuk kepentingan penanggulangan kejahatan di satu sisi dan di sisi yang lain untuk kepentingan pelaku kejahatan itu sendiri. Pelaku kejahatan yang telah berbuat baik kepada korbannya akan lebih mudah dalam hal pembinaan, karena dengan demikian pelaku telah merasa berbuat secara konkret untuk menghilangkan noda yang diakibatkan oleh kejahatannya. Penjatuhan pidana berupa kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada korban akan mengembangkan tanggung-jawab pelaku karena dalam pelaksanaannya dibutuhkan peranan aktif dari si pelaku. Penjatuhan sanksi pidana yang berupa kewajiban memberikan ganti rugi kepada korban, menurut pandangan masyarakat juga akan menanamkan kesan bahwa pelaku tidak saja telah dijatuhi sanksi pidana tetapi juga telah membayar “keuntungannya” dalam bentuk kepeduliannya memberikan ganti rugi kepada korban dari perbuatannya tersebut. Kesan tersebut akan memudahkan masyarakat untuk menerima kembali kehadiran pelaku tersebut ditengah-tengah masyarakat kelak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Sikap masyarakat yang mau menerima kembali pelaku perkosaan tersebut pada akhirnya akan memupuk dan mengembalikan kepercayaan diri si pelaku tindak pidana atau kejahatan perkosaan dalam menempuh jalan hidup yang lebih baik di kemudian hari. Penjatuhan sanksi pidana yang berorientasi pada kepentingan korban tidak akan menghalangi usaha memperbaiki pelaku kejahatan, tetapi sebaliknya akan mempercepat proses rehabilitasi pada pelaku kejahatan. Dalam penjatuhan sanksi pidana yang berupa kewajiban membayar ganti rugi kepada korban, juga perlu mempertimbangkan kemampuan pelaku tindak pidana khususnya dalam hal ini tindak pidana atau kejahatan perkosaan. Hal ini karena apabila pembayaran ganti rugi tersebut dipaksakan kepada si pelaku maka tujuan pemidanaan akan terhambat bahkan tidak akan tercapai, khususnya tujuan untuk mempengaruhi terhukum agar tidak melakukan tindak pidana lagi. Pemberian beban yang melampaui batas kemampuannya akan membuat si terhukum menjadi lebih jahat lagi, sehingga dapat dikatakan bahwa pemidanaan itu sendiri bersifat kriminogen, artinya justru menjadi sumber terjadinya kejahatan. Keadaan inilah yang hendak dihindarkan oleh beberapa negara. Dimana penggantian kerugian tidak dibebankan kepada terhukum, melainkan negaralah yang memberi ganti kerugian kepada korban. Hal ini tentu saja dengan mempertimbangkan kemampuan negara untuk memberi ganti kerugian. Korban tindak pidana perkosaan yang mengalami kerugian yang bersifat immaterial atau penderitaan non fisik sudah sepantasnya mendapat perhatian dan perlindungan hukum dalam sistem peradilan pidana. Keterlibatan negara dan masyarakat umum dalam menanggulangi beban penderitaan korban perkosaan bukan hanya karena negaralah yang memiliki fasilitas-fasilitas pelayanan umum, tetapi juga disertai dasar pemikiran bahwa negara berkewajiban untuk memelihara keselamatan dan meningkatkan kesejahteraan warga negaranya. Terjadinya korban perkosaan dapat dianggap sebagai gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik kepada warga negaranya. Lidya Suryani W. dan Sri Wurdani menegaskan KUHAP kurang memberikan perhatian terhadap korban kejahatan khususnya korban kejahatan perkosaan sebagai pihak yang paling dirugikan yang juga membutuhkan perlindungan terhadap hak-haknya yang telah dilanggar.14 Seringkali terjadi, keterlibatan korban dalam sistem peradilan pidana hanya menambah rasa takut yang berkepanjangan, tidak berdaya dan kecewa karena tidak diberikan perlindungan yang cukup. Perjalanan penderitaan yang panjang dalam proses peradilan pidana, lebih banyak berakhir dengan kepedihan. Hukuman yang dijatuhkan hakim atas pelaku perkosaan terlampau ringan jika dibandingkan dengan trauma yang diakibatkan oleh perkosaan itu dalam hidup korban sepanjang hayat. Ancaman hukuman maksimal 12 (dua belas) tahun hanya menjadi sederetan kata-kata didalam KUHP, karena rata-rata hakim menjatuhkan pidana kepada pemerkosa berkisar 5 (lima) 14 Lidya Suryani W. dan Sri Wurdani, “Perkosaan dan Perlindungan Hukum bagi Korban”, dalam Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki (ed.), Perempuan dalam Wacana Perkosaan. PKBI, Yogyakarta, 1997. bulan hingga 2 (dua) tahun penjara. Penjatuhan pidana yang relatif ringan, sebagaimana yang sering kita dengar pada praktik peradilan selama ini dikhawatirkan akan membuat pelaku tak takut atau tak jera melakukan kejahatan perkosaan itu lagi dan juga tidak dapat dijadikan peredam makin maraknya kasus perkosaan. Korban dalam pemeriksaan penyidik misalnya lebih sering diposisikan tidak jauh berbeda dengan tersangka, yang harus diperiksa (dimintai keterangan) dalam waktu berjam-jam. Pihak korban yang sudah tersiksa secara psikologis masih harus diperhadapkan dengan suasana yang kurang mendukung secara fisik maupun psikologisnya.15 Berdasarkan bunyi pasal Pasal 98 KUHAP, terlihat bahwa orang yang menjadi korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perkosaan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang ia alami. Namun demikian dalam kenyataan di lapangan jarang sekali bahkan sulit untuk dijumpai seorang korban tindak pidana perkosaan memanfaatkan pasal tersebut untuk mengajukan tuntutan ganti rugi sebagaimana tertuang dalam Pasal 98 KUHAP. Tindak pidana perkosaan Korban perkosaan sebagai saksi korban harus mengingat dan menceritakan kasus yang dialaminya di depan persidangan. Bagaimana mungkin seorang yang menderita akibat perkosaan tersebut dapat dengan mudah mengungkap kejadian yang dialaminya, sedangkan melihat dan mengingat pelaku pun sudah mengulangi penderitaannya. Mengenai ketentuan ganti rugi, ini dapat dikaji dalam ketentuan Pasal 98-101 KUHAP. Pasal 98 KUHAP menyebutkan, bahwa. 15 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, 2001. hal. 77. Pasal 98 KUHAP (1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu; (2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Permintaan diajukan apabila penuntut umum tidak hadir, selambatlambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan akan menimbulkan berbagai akibat baik berupa fisik, mental (psikologis) sosial, ekonomi dan lain-lain, bahkan secara psikologis korban mengalami trauma seumur hidupnya akibat perbuatan tindak pidana itu, hal ini merupakan suatu kerugian yang ia alami. Seperti halnya korban harus melapor ke Polisi, menanggung biaya pengobatan sendiri, kemudian setelah persidangan ia harus menjadi saksi yang harus menceritakan aib itu berulang-ulang sehingga korban akan mengalami trauma dan penderitaan yang berkepanjangan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 98 ayat (1) di atas, pembentuk undang-undang telah membuka kemungkinan adanya penggabungan perkara tindak pidana dengan gugatan perdata tentang ganti kerugian menurut sistem KUHAP. Penggabungan perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian akan lebih memudahkan bagi orang lain termasuk si korban untuk berbuat sesuatu yang ia/mereka inginkan atas segala kerugian yang ia/mereka alami dan yang dideritanya. Perlindungan terhadap hak korban suatu tindak pidana ini diberikan dengan mempercepat proses untuk mendapat ganti rugi yang diderita, ialah dengan menggabungkan perkara pidananya dengan tuntutan untuk mendapat ganti rugi, yang pada hakekatnya adalah perkara perdata dan yang biasa diajukan melalui perkara perdata dan dengan demikian akan dihemat waktu dan biaya perkara. Seorang yang merasa dirugikan, mengajukan permintaan kepada ketua sidang yang sedang memeriksa perkara pidana yang dilakukan terdakwa yang mana mengakibatkan kerugian tersebut, untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan. Akan tetapi, ternyata penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut sifatnya terbatas hanya kerugian yang nyata-nyata diderita korban. Akhir kalimat Pasal 99 ayat (1) KUHAP yang berbunyi hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut, dapat ditafsirkan sebagai kerugian yang sifatnya riil atau nyata saja. Sedangkan terhadap kerugian bersifat immaterial yang diderita korban dengan mengacu akhir kalimat Pasal 99 ayat (1) KUHAP karena masih memerlukan pembuktian relatif sulit, lama dan berbelit-belit tidak dapat diajukan dalam penggabungan gugatan Aspek ini secara implisit ditentukan Pasal 99 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut. Pasal 99 KUHAP (1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebgaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang terlah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut; (2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan; (3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap. Salah satu segi negatif sistem peradilan perdata adalah antara lain dalam hal penyelesaian ganti kerugian. Oleh karena dapat memakan waktu lama dan tinggi ongkosnya. Sehingga kerap kali menimbulkan kesulitan bagi mereka yang tidak mampu material, finansial. Cara penuntutan ganti kerugian melalui peradilan perdata akhirnya tidak akan menguntungkan bagi korban yang tidak mampu finansial. Sedangkan mereka inilah yang paling memerlukan bantuan setelah mengalami musibah, menjadi korban (mental, fisik, dan sosial). Dengan kata lain gugatan ini hanya bisa diajukan melalui gugatan perkara perdata. 16 Lagipula bagaimana seorang korban perkosaan yang sangat menderita secara fisik dan psikologis masih dapat berfikir untuk melakukan tuntutan ganti kerugian kepada pelaku. Bahkan untuk mengingat pelaku dan perbuatannya sudah menambah penderitaannya. Putusan hakim hanya terbatas tentang pengabulan yang menetapkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Hal ini berarti besarnya ganti kerugian hanyalah sebesar jumlah kerugian nyata atau kerugian materiil saja. diluar kerugian nyata, seperti kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat diajukan dalam perkara. Seandainya ganti kerugian immaterial diajukan oleh pihak yang dirugikan hakim harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet onvankelijke). 16 R.Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 67. Ganti kerugian pada dasarnya meliputi kerugian material dan immaterial. Namun demikian dilihat dari ketentuan tersebut di atas yang dimaksud dengan ganti rugi adalah ganti rugi yang bersifat material. Apabila dikaitkan dengan pasal 99 ayat (2) KUHAP yakni hanya berupa biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan sehingga tuntutan yang lain harus dinyatakan tidak diterima, dan harus diajukan dengan gugatan perdata biasa. Gugatan perkara perdata tersebut tidak merupakan perkara “ne bis in idem”. Tujuan penggabungan gugatan ganti rugi ini adalah menyederhanakan proses perkara perdata yang timbul dari tindak pidana. Namun kerugian yang ditimbulkan hanya terbatas pada kerugian materiil saja, yaitu penggantian biaya yang telah dikeluarkan si korban, tidak mencakup pada penggantian kerugian immaterial. Bila korban ingin mengajukan ganti rugi atas kerugian immateriil yang dialaminya, maka korban harus mengajukan gugatan perdata biasa yang kita ketahui bahwa mempunyai prosedur yang panjang. Tidaklah mudah bagi korban perkosaan yang menderita dan mengalami trauma berfikir untuk mengajukan Hal ini sama sekali tidak memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana perkosaan, bahwa korban tindak pidana perkosaan sangat dirugikan baik secara materiil terutama secara immaterial, ini berarti bahwa korban tidak bisa memperoleh ganti rugi atas kerugian immaterial yang dialaminya.17 Menurut Soeparmono sistem dan lembaga penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tersebut dalam pasal-pasalnya dalam KUHAP belumlah 17 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan Praktik Peradilan Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2008, hal. 264. memuaskan. Adapun alasan-alasannya adalah seperti dibawah ini dan merupakan kelemahan dari KUHAP: 1. Sistem penggabungan tersebut dirasakan belum mendekati hakekat tujuan ganti kerugian itu sendiri; 2. Tuntutan ganti kerugian oleh orang lain yang menderita langsung kerugian atau pihak korban untuk memperoleh jumlah besarnya ganti kerugian “dibatasi” hanya pada kerugian meteriil yang nyata-nyata dikeluarkan olh orang yang dirugikan langsung tersebut. Jadi KUHAP dalam ketentuanketentuannya membatasi hak; 3. Untuk kerugian non-materiil, yaitu kerugian immateriil terpaksa harus mengajukan lagi dengan gugatan perkara biasa tersendiri, yang mungkin dapat memakan waktu lama; 4. Menurut M.Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, jilid II, Bab penggabungan perkara gugatan ganti kerugian” dikatakan: kondisi seperti ini berarti sedikit banyak mengaburkan kembali maksud semula dari penggabungan itu sendiri, yang bertujuan untuk menyederhanakan proses dan biaya ringan.18 5. Adanya kendala dalam pelaksanaan masalah pembayaran ganti kerugian tersebut; 6. Apabila pihak korban tetap menuntut ganti kerugian yang bersifat immateriil juga, hasilnya akan nihil, karena putusan selalu menyatakan: gugatan ganti kerugian immateriil tersebut dinayatakan tidak dapat diterima, kerena tidak berdasarkan hukum; 7. Karena gugatan ganti kerugian pada perkara pidana hanya bersifat assessor.19 Kepentingan korban dalam penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana juga mempunyai aspek negatif. Dikatakan demikian karena melalui optik KUHAP perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mendapat perhatian secara proporsional atau perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan tidak langsung. Aspek ini implisit melalui ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut. 18 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jilid II, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. 19 R.Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 67. Pasal 100 ayat (2) KUHAP “Apabila dalam suatu perkara pidana yang tidak diajukan permintaan banding, maka ganti rugi tidak diperkenankan”. Apabila dijabarkan, ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP telah membatasi korban dalam hal sebagai berikut. 2.1.3.1. Ditinjau dari Anasir Prosesnya Tidak ada aturan atau pedoman yang harus dilakukan korban apabila merasa tidak puas atas putusan hakim tentang besarnya ganti kerugian yang dijatuhkan. Konkretnya, korban tidak mempunyai proses langsung untuk melakukan upaya hukum banding. Karena itu berdasarkan Pasal 100 ayat (2) KUHAP maka permintaan banding putusan ganti kerugian baru dapat diajukan apabila perkara pidananya dilakukan upaya hukum banding. Konkretnya, jika korban berkeinginan untuk mengajukan banding, jalurnya hanya melalui penuntut umum yang belum tentu menyetujui kehendak korban dimaksud karena jalur tesebut bukan merupakan ketentuan undangundang, melainkan berdasarkan pendekatan persuasif antara korban dengan penuntut umum sehingga dapat dikatakan bahwa perlindungan korban yang diberikan melalui ketentuan dimaksud belum sepenuhnya dapat menjamin kepentingan korban dalam upaya untuk mencari keadilan. 3.6.2. Perlindungan Korban Dengan Melalui Upaya Hukum Banding Bergantung Kepada Penuntut Umum Tegasnya, besar kemungkinan terjadi perbedaan pandangan kepentingan antara korban dengan penuntut umum. Jika korban berkeinginan mengajukan banding, tetapi penuntut umum menerima putusan sehingga keinginan korban untuk melakukan upaya hukum banding terhadap putusan ganti kerugian telah tertutup.20 Aspek ini merupakan konsekuensi logis dari sistem Peradilan Pidana Indonesia yang menempatkan eksistensi lembaga kejaksaan sebagai wakil kepentingan korban kejahatan. Di satu sisi, sebagai lembaga yang mewakili korban, idealnya kejaksaan lebih mementingkan korban. Akan tetapi, penuntut umum masih mengacu kepada pelaku tindak pidana. Untuk itu, pada masa mendatang (ius constituendum) sebagai reorieantasi, reevaluasi KUHAP guna menghilangkan aspek negative ini perlu diatur eksistensi lembaga kejaksaan yang mewakili korban atau masyarakat secara tegas.21 Adanya pembatasan sebagaimana ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP perlindungan kepada korban melalui ketentuan Pasal 99 ayat (1) KUHAP ternyata relatif kurang sempurna dan memadai. Berdasarkan ketentuan itu apabila terjadi penggabungan gugatan ganti kerugian, untuk memeriksanya harus bermuara pada hukum acara perdata terlebih lagi khususnya kewenangan bersifat absolut yang harus diajukan kepada pengadilan negeri dimana tergugat bertempat tinggal. Jika terdakwa yang diadili perkaranya disidangkan di wilayah tempat tinggal atau tempat kediamannya, tentu pengadilan negeri tersebut tidak memeriksa dan mengadilinya karena salah satu asas dalam hukum pidana menyatakan bahwa terdakwa akan diadili ditempat perbuatan tersebut dilakukan. Oleh karena itu, jika hukum acara benar-benar hendak memperhatikan kepentingan korban, diperlukan adanya penyempurnaan dalam KUHAP itu sendiri dengan memberikan peran 20 21 Lilik Mulyadi, Op.Cit, hal. 266. Ibid, hal. 267. lebih besar kepada korban dalam mengajukan upaya hukum banding jika korban tidak merasa puas atas putusan hakim, baik menyangkut pemidanaan ataupunn menyangkut ganti kerugian. demikian pula halnya mengenai kewenangan mengadili sepanjang hal yang menyangkut kerugian materiil tidaklah diperlukan pemisahan antara kompetensi peradilan pidana dengan perkara perdata terkait dengan gugatan ganti kerugian.22 22 Susanti Nababan, Skripsi : Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana (Kajian Mengenai Aspek Perlindungan Korban), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013. PENUTUP 3.1. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah. 3.1.1. Pertanggungjawaban pidana pelaku perkosaan yaitu berdasarkam Pasal 285 KUHP diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Namun pertanggungungjawaban ini hanya merupakan pertanggungjawaban materiil terhadap korban perkosaan. Tindakan ini merupakan tindak pidana yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman yang diatur dalam undang-undang. pertanggungjawaban tindak pidana pemerkosaan adalah bentuk pertanggungjawaban terhadap hukum materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 285 sampai dengan 287 KUHP. 3.1.2. Pertanggungjawaban perdata terhadap kerugian immateriil korban perkosaan disertai kehamilan dengan penggabungan gugatan ganti rugi menyederhanakan proses perkara perdata yang timbul dari tindak pidana. Perkara pidana yang hanya terdapat kerugian materiil didalamnya dapat digabungkan dengan perkara perdata berupa kerugian immateriil bagi korban perkosaan yang disertai dengan kehamilan. 3.2. Saran Saran dalam penelitian ini yaitu. 3.2.1. Diperlukan bentuk pertanggungjawaban terhadap hukum materiil dengan mengubah Pasal 285 sampai dengan 287 KUHP yang lebih beroientasi terhadap kerugian materiil korban tindak pidana pemerkosaan; 3.2.2. Perlindungan kepada korban melalui ketentuan Pasal 99 ayat (1) KUHAP ternyata relatif kurang sempurna dan memadai. Diperlukan adanya penyempurnaan dalam KUHAP itu sendiri dengan memberikan peran lebih besar kepada korban perkosaan disertai kehamilan mengenai kewenangan mengadili sepanjang hal yang menyangkut kerugian materiil tidaklah diperlukan pemisahan antara kompetensi peradilan pidana dengan perkara perdata terkait dengan gugatan ganti kerugian.