Amalia_2205_SitokPemerkosa_V1

advertisement
Pertanyakan Kandang Bagi Buayawan
Tahun 2013 lalu, civitas academica Universitas Indonesia dikejutkan oleh berita
pemerkosaan yang dialami salah satu mahasiswinya. Belum habis rasa tak percaya,
terungkaplah jika pelaku (kebetulan) punya titel seniman.
Sitok Srengenge atau yang lahir dengan nama Sitok Sunaryo, resmi ditetapkan Polda Metro
Jaya sebagai tersangka. Penyair sekaligus seniman yang konon humanis ini, dijerat Pasal 335
KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan, Pasal 286 KUHP tentang Kejahatan
Kesusilaan, serta Pasal 294 KUHP tentang pencabulan. Srengenge layak diganjar hukuman 5
tahun penjara atas perbuatannya.
Namun apa daya, memasuki tahun ketiga, Polda Metro Jaya tak juga menahan Sitok
sebagaimana seharusnya. Ia masih bebas, tak merasa bersalah, dan percaya diri mentas dari
satu pergelaran ke pergelaran lain, baik dalam dan luar negeri, atas nama adiluhung seni dan
sastra. Ia bahkan sempat terpantau membacakan puisi kaya Gus Mus dalam acara solidaritas
Petani Kendheng bertajuk ‘Atas Nama Cinta’.
(TWITTER EMBED)
Tak hanya itu, tersangka yang juga ternyata bisa melukis ini, menggelar pameran tunggal
bertema ‘Srengenge’ atau matahari di Langit Art Space, Jalan Sonosewu, Ngestiharjo,
Yogyakarta pada Kamis (18/5). Pameran ini menampilkan karya-karya berupa lukisan abstrak
tentang lanskap kejiwaannya sebagai penyair. Rencananya, akan ada 40 karya yang akan
dipamerkan selama satu bulan.
Awalnya, pameran juga akan digelar di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Bantul.
Untungnya, setelah banyak penolakan yang muncul, pameran tersebut batal
diselenggarakan. Alhasil, Langit Artspace yang masih kokoh menggelar pameran Sitok, tak
luput dihadang.
Malam itu, tepat setelah Dian HP memamerkan kelihaiannya bermain piano, bentangan
spanduk bertuliskan ‘Tolak Buayawan Sitok Sregenge’ digelar. Selanjutnya lantunan katakata, “Sitok, kamu pemerkosa” dan sejenisnya membahana di dalam ruang pameran.
Suasana berubah ricuh seketika. Polisi dan sekelompok pihak yang mengenakan seragam
‘Laskar Merah Putih’ dan ‘Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI)
menggiring puluhan pendemo ke luar galeri. Sehingga protes dan penolakan terus
berlangsung.
Seperti yang dilansir Serunai.co, Muhammad Yasir, koordinator aksi penolakan berkata,
“terlepas dari rasa kemanusiaan kami terhadap korban, Sitok ini adalah produk kegagalan
hukum. Maka dari itu, kita sepakat bahwa, di undangan (aksi) itu ada. Sitok boleh bebas dari
hukum negara, cuma jangan kita kasih kesempatan. Harus diberi sanksi sosial.” ujarnya.
Ia menambahkan, aksi tersebut juga bentuk solidaritas bagi korban Sitok, RW, dan juga
korban-korban kekerasan seksual lainnya yang masih belum menemukan keadilan yang
seharusnya mereka dapatkan.
https://www.youtube.com/watch?v=rBgUaUrZX0g
Memahami dan Mendengarkan Korban
Menurut Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), Selama tiga tahun berturut-turut, kekerasan
seksual di Indoenesia adalah kasus tertinggi dibandingkan kekerasan lain di ranah komunitas.
Penanganan kasus kekerasan seksual juga terkendala lemahnya kekuatan pembuktian akibat
ketiadaan saksi dan alat bukti yang mendukung, karena rata-rata korban melaporkan
kasusnya dalam jeda waktu yang cukup lama dari kejadian perkara.
Ditambah lagi, ketimpangan relasi kuasa antara korban dan pelaku, di mana pelaku memiliki
posisi politik, sosial, dan ekonomi yang tinggi, dapat mempengaruhi proses hukum yang
berjalan. Sementara korban semakin tidak berdaya untuk menuntut. Inilah yang terjadi pada
RW, mahasiswi FIB UI yang menjadi korban Sitok Srengenge. Kasus kekerasan seksual ini
teramat penting karena korban hamil.
RW sendiri mengalami trauma teramat berat. Ia pernah dikabarkan beberapa kali melakukan
upaya bunuh diri, mulai dari melompat ke danau, hingga mengkonsumsi obat-obatan. Dirinya
juga telah melahirkan anak atas perbuatan asusila Sitok kepadanya pada 31 Januari 2014 lalu.
Kasus yang berjalan alot nan lamban antara dirinya dan Sitok, adalah buah bukti bagaimana
Sitok, sebagai penyair yang memiliki lingkaran seniman nan powerful dapat menginterupsi
proses hukum yang berjalan dengan dalih ketiadaan barang bukti, selain perangkat hukum
yang tak memadai.
Pada Oktober 2015, RW bersuara meminta keadilan bagi dirinya dan putri kecilnya yang tahu
menahu. Surat tersebut ditunjukan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan Republik Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan. Tak ada yang diinginkannya selain
menindak seniman tersebut secara tegas dan memutus belitan kasus yang menderanya.
http://www.rappler.com/indonesia/109429-surat-terbuka-korban-pemerkosaan-padamenteri-luhut.
Setelah RW bersuara, korban Sitok lainnya turut muncul dan bersaksi. Adalah mahasiswi asal
Bandung, yang mengaku dilecehkan secara seksual oleh Sitok. Ia berhasil menghindar setelah
sebelumnya dirayu oleh Sitok. Sebelumnya, mahasiswi tersebut datang ke kos Sitok yang
berlokasi di Pasar Minggu untuk membicarakan proyek sastra.
Namun sesampainya di sana, ia memperdayanya dengan minuman keras. Melihat elagat tak
beres, perempuan itu memutuskan pulang, “Dia dihalang untuk pulang, tapi dengan cara
manipulatif. Pelaku pandai memanipulasi.” Ujar Sarasdewi, dosen FIB UI sekaligus
pendamping RW. Menurut feminis asal Bali ini, bahkan Sitok juga telah melakukan kekerasan
seksual terhadapnya. “Bukan konsep kekerasan fisik seperti dipukul, tetapi kekerasan verbal
yang membuat calon korban terpaksa tinggal, ya bisa dikatakan rayuan.” ungkapnya.
Pada saat menceritakan kisahnya, Sarasdewi mengatakan jika secara psikis mahasiswi
tersebut belum sepenuhnya pulih dari rasa trauma. Namun begitu, mahasiswi tersebut
bersedia menjadi saksi RW di pengadilan. “Mungkin tidak secara lansgung (di pengadilan)
tetapi tertulis seperti dalam wawancara. Karena dia masih angat trauma.” ujar Sarasdewi
kemudian.
Perkosaan Halus (Soft Rape) Tak Terengkuh Pasal Negeri
Dalam The Truth About Rape, Elizabeth Boskey menyatakan, kita bisa tanyakan apa yang ingin
korban mau lakukan dan apa yang ingin pendampingnya lakukan. Para korban perkosaan,
bagaimana pun keadaannya, adalah manusia berdaya yang tak berkurang sedikitpun
kediriannya karena perkosaan.
Suaranya sangat penting untuk berbunyi secara mandiri. Memahami dan mendengarkan
mereka adalah langkah paling awal untuk menghadapi kasus yang sudah kepalang sulit
diputus mata rantainya ini. Maka dari itu, mendengarkan suara RW dan korban Sitok lainnya,
amat penting dalam upaya memerangi kasus asusila, terutama di dunia kesenian. Dunia yang
kerap dipandang agung dan sarat nilai kemanusiaan.
Kita juga tak bisa melepaskan mata begitu saja atas pasal dan Undang-Undang yang
seharusnya menjerat Sitok. Di Indonesia, kasus perkosaan ternyata tak mengakomodir semua
elemen penyebab dan jenis perkosaan. Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berbicara tentang perkosaan berbunyi sebagai berikut,
“Barang siapa dengan kekerasan ata ancaman kekerasan memaksa
perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena
memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Dari bunyi pasal tersebut, dapat kita lihat bahwa di Indonesia, elemen dari perkosaan adalah
adanya force atau paksaan, serta fear atau rasa takut yang diberikan pelaku kepada korban.
Sedangkan, pada kasus Sitok terhadap RW, jenis perkosaan yang terjadi adalah Perkosaan Tak
Langsung atau soft rape.
Dalam The Truth about Rape, Boskey menjelaskan tiga jenis perkosaan, yaitu Perkosaan
Langsung (hard rape), Perkosaan Tak Langsung (soft rape), dan Perkosaan di Bawah Umur
(statutory rape). Perkosaan Langsung (hard rape), melakukan perkosaan dengan paksaan,
ancaman, dan kekerasan yang menyebabkan tak hanya ketakutan tetapi juga luka-luka fisik.
Perkosaan Tak Langsung (soft rape) adalah perkosaan yang dilakukan tanpa cara kekerasan
atau paksaan, tetapi secara halus, yaitu bujuk rayu, tekanan dan intimidasi secara psikologis.
Sedangkan Perkosaan di Bawah Umur (statutory rape) merupakan perkosaan yang dilakukan
terhadap anak berumur di bawah 17 tahun.
Sayangnya, pasal Perkosaan Tak Langsung (soft rape) di Indonesia, belum terakomodir sama
sekali. Hal ini juga disampaikan Dekan Fakultas Hukum UI, Topo Santoso. “Rape tak harus
dengan sexual intercourse atau ada unsur kekerasan. Atau ancaman kekerasan, memarmemar, karena itu, pasal 285 KUHP itu sudah tidak cocok lagi di era modern ini, harus
direvisi.” tegasnya.
Dengan begitu, pantas saja aparat hukum negara terkesan sangat lamban, sulit diproses, dan
berbelit ketika menyelesaikan kasus asusila Sitok. Ketiadaan barang bukti, yang menjadi tolok
ukuran kejahatan sesuai pasal 285 KUHP, menjadi penyebab kasus berjalan di tempat.
Bahkan, kasus ini bisa saja terancam mendapat status SP3, atau pembekuan atas alasan
demikian.
Jika sudah begitu, tak menutup kemungkinan jika pelaku-pelaku perkosaan atau kekerasan
berbasis gender lainnya akan mudah dilewati begitu saja, seolah bukan perkara besar.
Sekalipun dapat diselesaikan, penyelesaiannya tak pernah merugikan pelaku kejahatan,
Sedangkan korban, harus menderita dan menanggung trauma seumur hidup.
Di negeri Paman Sam sendiri, Perkosaan Tak Langsung (soft rape) sudah cukup dikenal.
Walaupun tidak memasukan istilah tersebut, hukum dan pasal Amerika Serikat sudah
memasukkan unsurnya.
Ini bisa terlihat dari pembagian kasus pemerkosaan menjadi tiga jenis, yakni Male Crime, Extra
Marital Crime, dan Sexual Offence. Jenis Sexual Offence memiliki beberapa elemen
pembentuk seperti, adanya force (paksaan), fear (rasa takut), dan fraud (tipu daya). Nah,
elemen-elemen inilah yang mengandung unsur perkosaan tidak langsung dalam hukumnya.
Memahami Perkosaan dan Berpihak pada Korban
“Rape is not about sex, it is about power”
Kesalahpahaman yang sering kita temui dalam kasus perkosaan adalah, ketiadaan atau
ketimpangan pembicaraan tentang kuasa. Perkosaan terjadi sebagai dampak dari timpangnya
relasi kuasa. Pada banyak kasus, pemerkosaan terjadi bukan karena pemerkosa tidak dapat
mengontrol nafsu seksualnya, melainkan karena terdapat dorongan untuk melukai dan
mendominasi orang lain secara seksual.
Apa yang terjadi pada RW dan Sitok bukan disebabkan oleh pakaian RW yang mengundang,
atau penampilan fisiknya yang ‘aduhai’. RW menjadi korban Sitok karena penyair kebanggaan
Salihara tersebut memiliki relasi kuasa lebih tinggi, yakni posisi dirinya sebagai seniman
terkenal dari institusi Salihara, otomatis memberikan deraJat sosial lebih tinggi dibandingkan
RW, seorang mahasiswi FIB UI.
Kita juga harus berhenti berpura-pura bahwa pekerjaan yang berkenaan dengan kesenian
adalah sesuatu yang adiluhung dan memiliki nilai lebih bagi kemanusiaan. Sehingga seseorang
yang dinilai telah berkontribusi banyak, tak dilihat atau pura-pura tak dilihat kejahatannya.
Sitok, sebagaimana tersangka penjahat kelamin lainnya, harus dilihat sebagai seseorang yang
juga memiliki hasrat untuk menguasai, menjadi mikrofasis, dan berbuat kejahatan lainnya.
Kita juga tak bisa begitu saja merevektimisasi korban, dengan menganggap ia tak berdaya.
RW masih utuh dan mampu berbicara, dan tak boleh dilupakan. Dengan terus mengingat
mereka, kita bisa melawan ancaman SP3 atau dipetieskannya kasus ini karena ‘ketiadaan
bukti’. Permasalahan personal dan privat yang dialami RW, serta korban kasus kekerasan
seksual lainnya, adalah permasalahan strukturan dan sosial yang butuh penyelesaian politi.
Dengan demikian, penyelesaian tersebut juga membutuhkan kita. (Berbagai Sumber/A27)
Download