tanggung jawab sosial perusahaan berdimensi ham

advertisement
Dengan demikian HAM sebagai komitmen universal sesungguhnya
tidaklah harus selalu dipertentangkan dengan dunia usaha atau bisnis. Bisnis
yang berdimensi HAM menjadi suatu keniscayaan dalam perspektif bisnis
berkelanjutan. Tanggung jawab sosial perusahaan bukan berhenti dalam
suatu proyek atau program, tetapi harus kita dorong untuk menjadi sebuah
gerakan sosial, yakni suatu gerakan yang memadukan komitmen dari dunia
usaha, masyarakat dan pemerintah dalam rangka membangun kehidupan
bersama yang lebih baik, membangun Indonesia yang sekarang ini sedang
kita cita-citakan, sebagaimana bunyi Pasal 1 Deklarasi Universal HAM: “Semua
manusia dilahirkan merdeka serta mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama. Mereka dikarunia akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul
satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan”.
Abdul Hakim Garuda Nusantara
Ketua Komnas HAM 2002-2007
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
JL. Latuharhary No. 4B, Menteng, Jakarta Pusat 10310
Telp: 62-21-3925230, Fax: 62-21-3925227, 3912026
Website: www.komnasham.go.id
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN BERDIMENSI HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal Dan Implementasinya di Indonesia
Komnas HAM menyambut gembira kian maraknya kepedulian dan
komitmen dunia usaha di Indonesia untuk menerapkan parameter-parameter
HAM dalam kegiatan bisnis mereka, baik inisiatif-inisiatif dalam menerapkan
Accountability 1000 (AA1000), SA 8000 ataupun keterlibatan dalam agenda
global, seperti pencapaian Millienium Development Goals ataupun Global
Compact Principles.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN BERDIMENSI HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal
Dan Implementasinya di Indonesia
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
2013
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
TANGGUNG JAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN BERDIMENSI HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal
Dan Implementasinya di Indonesia
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
2013
1
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan
Tanggungjawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM: Tinjauan Teori
dan Prinsip-prinsip Universal Dan Implementasinya di Indonesia
Jakarta: Komnas HAM, 2013, 110 hal., 15 cm x 21 cm
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit.
Kutipan Pasal 72 Ayat 1 dan 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 2002 tentang hak cipta.
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan/denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN BERDIMENSI HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Kontributor :
Abdon Nababan, Abdul Hakim G. Nusantara, Agung Nugroho, A. Sony Keraf,
Fransiscus Welirang, Bambang Wirahyoso, Benny K Harman, George Martin Sirait,
Hadi Purnomo, Ign. Wahyu Indrio, Mardiasmo, Sujoko Efferin, Tony A. Prasetyantono,
Wahyudi Atmoko
Reka Bentuk: Agung Budi
Tim Penerbit Cetakan Kedua: 2013
Penanggungjawab : M. Nurkhoiron, Hafid Abbas
Koordinator
: Banu Abdillah
Anggota
: Didong Deni Anugrah, Arief Suryadi,
Fauzan Faradli, Mira Harti, Kurniasari Novita Dewi, Hari Reswanto
Editor
: Rusman Widodo
Desain Cover Cetakan Kedua: Galih
Diterbitkan oleh Komnas HAM
Hak Cipta (Copyright @ 2006) Komnas HAM
Dilarang memperbanyak atau mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa seizin dari Komnas HAM
Cetakan pertama 2006
Cetakan kedua 2013
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Jl. Latuharhary 4B Jakarta 10310
Telp. (62 21) 392 5230, Fax. (62 21) 391 2026
www.komnasham.go.id
ISBN: 978-979-26-1445-9
3
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
4
DAFTAR ISI
Daftar isi
Kata Pengantar
Ketua Komnas HAM 7
Bab I
CSR Berdimensi HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan
Teoritis, Etis dan Hukum 11
CSR Berdimensi HAM :
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
HAM dalam Dunia Bisnis 13
Diskursus Pembangunan dan HAM di Indonesia 19
Situasi Yang Terus Berubah 29
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berbasis HAM 39
HAM dalam Dunia Bisnis
43
Corporate Social Responsibility:
Mempertanggungjawabkan Mandat Perusahaan dari Masyarakat
dan Lingkungan Hidup 49
BAB II
Implementasi HAM Dalam Bisnis 57
Implementasi HAM Dalam Bisnis : Studi Kasus di Lima Perusahaan 59
Implementasi HAM Dalam Praktik Bisnis Dari Perspektif Pelaku
Usaha 80
5
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Implementasi HAM Dalam Praktik Bisnis –Pandangan Pemangku
Kepentingan- 87
BAB III
Masa Depan CSR Berdimensi HAM Berbagai Catatan Rekomendasi 97
Agenda Yang Diperlukan Untuk Memperkuat Gerakan Ini 99
Aspek Hukum Perlu Disentuh Secara Aktif oleh Pemerintah 102
Mempromosikan CSR Berperspektif HAM Melalui Instrumen Fiskal 104
Lampiran-lampiran 109
6
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
B
KATA PENGANTAR
Ketua Komnas HAM
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Berdimensi Hak Asasi Manusia
Berbicara mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, tak bisa
dilepaskan dari peran strategis dunia usaha sebagai salah satu poros
perubahaan. Dunia usaha telah memberikan kontribusi yang besar dalam
kemajuan-kemajuan sosial, ekonomi dan budaya. Namun di sisi lain, dalam
aras yang sama kita juga dihadapkan berbagai proses marjinalisasi terhadap
sebagian masyarakat akibat pembangunan dan industri aliansi, yang
menghadirkan dampak-dampak tidak menguntungkan bagi masyarakat,
berupa terabaikannya hak-hak masyarakat, hilangnya sumber-sumber
kehidupan masyarakat, atau pada tingkat yang lebih serius terjadinya
berbagai pelanggaran HAM di sektor kegiataan korporasi, seperti: kasus
hubungan industrial dan hak-hak pekerja, kerusakan lingkungan dan hakhak masyarakat adat, privatisasi sektor publik, dan perlindungan hak-hak
ulayat masyarakat adat.
Melonjaknya kelompok-kelompok masyarakat rentan tersebut menyebabkan
masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi terus menjadi momok.
Berbagai formulasi dilakukan untuk memerangi kemiskinan namun juga
7
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
tidak menyelesaikannya. Kita tak perlu berdebat panjang untuk menentukan
kriteria kemiskinan mestilah beranjak dari pendekatan berbasis hak.
Amartya Sen, seorang ekonom Bank Dunia, yang pantas kita juluki seorang
pejuang HAM, menemukan, bahwa persoalan kemiskinan dan kelaparan
itu bukan ketidaktersediaan pangan. Persoalan kemiskinan dan kelaparan
adalah persoalan keberhakan. Jadi bukan soal kita harus impor beras
atau tidak, tetapi yang lebih mendasar adalah bagaimana pembangunan
dan kegiatan ekonomi itu diarahkan untuk bisa menjamin hak-hak
kodrati manusia, hak untuk mendapatkan pangan, sandang, hak untuk
mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak, dan lain-lain yang
kesemuanya tertuang dan dijamin dalam Konstitusi Negara UUD 1945.
Hal ini memanglah membutuhkan kesediaan kita semua untuk berdialog.
Langkah-langkah ratifikasi berbagai kovenan HAM, serta bagaimana kita
menyikapi secara arif pro kontra revisi UU ketenagakerjaan (13/2003) adalah
modal sosial kita untuk melanjutkan proses dialog itu.
Komnas HAM menyambut gembira kian maraknya kepedulian dan
komitmen dunia usaha di Indonesia untuk menerapkan parameterparameter HAM dalam kegiatan bisnis mereka, baik inisiatif-inisiatif dalam
menerapkan Accountability 1000 (AA1000), SA 8000 ataupun keterlibatan
dalam agenda global, seperti pencapaian Millienium Development Goals
ataupun Global Compact Principles.
Dengan demikian HAM sebagai komitmen universal sesungguhnya
tidaklah harus selalu dipertentangkan dengan dunia usaha atau bisnis.
Bisnis yang berdimensi HAM menjadi suatu keniscayaan dalam perspektif
bisnis berkelanjutan. Tanggung jawab sosial perusahaan bukan berhenti
dalam suatu proyek atau program, tetapi harus kita dorong untuk menjadi
sebuah gerakan sosial, yakni suatu gerakan yang memadukan komitmen
dari dunia usaha, masyarakat dan pemerintah dalam rangka membangun
kehidupan bersama yang lebih baik, membangun Indonesia yang sekarang
8
KATA PENGANTAR
ini sedang kita cita-citakan, sebagaimana bunyi Pasal 1 Deklarasi Universal
HAM : “Semua manusia dilahirkan merdeka serta mempunyai martabat
dan hak-hak yang sama. Mereka dikarunia akal budi dan hati nurani dan
hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan”.
Komnas HAM menaruh komitmen untuk adanya dialog yang intens di
antara stakeholders. Semoga buku ini dapat memperkaya khazanah kita
dalam melihat implementasi HAM dalam praktik bisnis di Indonesia dan
membantu upaya-upaya yang lebih memadai dalam membangun bisnis
yang berperspektif HAM.
Abdul Hakim Garuda Nusantara
Ketua Komnas HAM
9
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
10
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
BAB I
CSR Berdimensi HAM:
Berbagai LATAR
BELAKANG & ALASAN
TINJAUAN TEORITIS, eTIS
DAN HUKUM
11
12
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
D
CSR Berdimensi HAM :
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
HAM dalam Dunia Bisnis
Oleh : Abdul Hakim G Nusantara
Dalam konteks nasional dan internasional dunia bisnis tidak bisa
mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM), karena HAM merupakan dasar
fundamental dari hukum nasional dan internasional. Dalam konteks
Indonesia, HAM tidak saja tertuang dalam UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999)
dan UUD 1945, tetapi juga dalam berbagai kovenan internasional yang
telah diratifikasi oleh Indonesia, antara lain Konvensi Hak Anak, Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi
Penghapusan Diskriminasi Rasial , Konvensi ILO, Kovenan Hak-Hak Sipil dan
Politik, Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan lain sebagainya.
Dalam hubungan internasional mitra-mitra dagang utama Indonesia,
seperti AS, Canada, Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, merupakan negaranegara yang menjadi negara pihak dalam berbagai kovenan internasional
HAM.
Baik hukum nasional maupun hukum internasional yang menyangkut
HAM meletakkan tanggungjawab utama pemenuhan HAM itu pada
negara (pemerintah). Itu berarti mewajibkan negara untuk mengeluarkan
kebijakan-kebijakan publik, dalam bentuk UU, PP, PM, dan lain sebagainya
yang menjamin pemenuhan HAM. Kebijakan-kebijakan publik ini secara
yuridis mengikat para warga termasuk tentunya korporasi. Berbagai
13
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
perundang-undangan tentang HAM pada dasarnya merupakan public
policies yang dikeluarkan oleh negara yang mewajibkan setiap orang atau
sekelompok orang termasuk aparat negara atau mereka yang bergabung
dalam korporasi untuk menaatinya.
Berkenaan dengan kewajiban dunia bisnis untuk menaati HAM, The UN
Norms on The Responsibilities of TNCs And Other Business Enterprises with
Regard to Human Rights menyatakan ada 4 (empet) wilayah HAM yang
wajib dihormati oleh dunia bisnis, yaitu sebagai berikut :
“First, Business entities shal ensure equality of opportunity and treatment with
a view to eliminating discrimination based on sex, race, religion and other
recognized categories of individuals.”
“Second, business entities shall not engage in or benefit from war crimes,
crimes againts humanity, genocide, torture, force disappearances, forced or
compulsory labour and a range of other abuses og the right of the security of
the person.”
“Third, business shall recognize the right to collective bargaining.”
And Fourth, “Obligations with regard to consumer protection and environmental
protection.
Empat wilayah HAM tersebut substansinya sudah termuat dalam berbagai
perundang-undangan UU HAM, UU Pengadilan HAM, UU Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan UU Perlindungan Konsumen, dan lain sebagainya.
Walaupun produk UU HAM dan UU Pengadilan HAM tidak menyebut secara
eksplisit tanggungjawab korporasi dalam kaitannya dengan pelanggaran
HAM. Namun ketentuan yang termuat dalam produk UU itu secara
tidak langsung mengikat korporasi. Bukanlah Korporasi itu hakikatnya
penjelmaan idea dan kepentingan orang-orang yang mendirikannya.
Bukankah policy dan tindakan korporasi itu hasil keputusan orang-orang
yang mengkehendakinya? Karena itu pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh korporasi tidak bisa dilepaskan dari orang-orang yang mengendalikan
dan korporasi itu sendiri. Ini tentunya hanya dapat dinilai kasus per kasus.
14
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Agar dunia usaha dapat menjawab masalah-masalah HAM secara memadai,
kini mulai dikembangkan konsep Corporate Accountability (CA) yang
substansinya adalah kewajiban-kewajiban korporasi untuk menghormati
dan melindungi HAM, yang bila diabaikan dapat membawa konsekuensi
merugikan korporasi yang bersangkutan. Konsekuensi itu bisa bersifat
ekonomi, sosial dan atau legal.
Konsep CA dalam perspektif HAM yang termuat dalam Global Compact
2000 PBB menyatakan :
“Perusahaan-perusahaan yang mempunyai komitmen HAM akan (would)
memastikan :
Di Tempat Kerja :
i. safe and healthy working conditions;
ii. Freedom of association;
iii. Non-discrimination in personal practices;
iv. No forced or child labour; Rights to basic health, education and housing
(bila operasi korporasidi daerah yang tidak tersedia housing).
Di luar Tempat Kerja :
i. prevert the forcible displacement of individuals, groups or communities;
ii. Protect the economic livelihood of local communities; and
iii.Contribute to the public debate. Companies have the right and the
responsibility to express views on matters
Yang mempengaruhi operasi mereka, para pegawai mereka, para customer
dan communities di mana mereka menjadi bagiannya.
UN Global Compact mengintrodusir konsep Complicity (keterlibatan)
korporasi dalam pelanggaran HAM, sebagai berikut :
15
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
1. Direct Complicity (Keterlibatan langsung) terjadi bila sebuah perusahaan
secara sadar (Knowingly) membantu suatu negara dalam pelanggaran
HAM. Contoh : kasus di mana suatu perusahaan membantu relokasi
paksa rakyat dalam keadaan berhubungan dengan kegiatan perusahaan;
2. Beneficial Complicity, sebuah perusahaan mengambil manfaat langsung
dari pelanggaran HAM dilakukan orang lain. Contoh, pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh aparat keamanan, seperti penindasan terhadap
protes damai terhadap kegiatan perusahaan atau penggunaan langkah
respresif dalam menjaga fasilitas perusahaan;
3. Silent complicity yaitu, kegagalan perusahaan untuk menghentikan
atau bahkan tidak berbuat apa-apa ketika ada UU atau hukum yang
mendiskriminasi terhadap suatu kelompok dalam masyarakat. Secara
umum perusahaan diam bahkan membiarkan adanya pelanggaran
HAM yang bersifat sistematis.
Di Indonesia pengaturan hukum yang lebih tegas berkenaan dengan CA
masih dalam perkembangan. UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999) dalam
Ketentuan Umum menyebutkan pelanggaran HAM dapat terjadi karena :
a. Perbuatan orang; ataupun b. Kelompok orang, termasuk aparat negara.
Dalam kelompok orang ini mestinya termasuk pula korporasi.
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat
Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang berbuat merusak dan
atau mencemarkan lingkungan hidup (Pasal 41 s/d pasal 46). Sebagaimana
kita ketahui perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup itu biasanya
menimbulkan pula pelanggaran HAM.
Di masa Orde Baru sampai hari ini, bila kita berbicara tentang HAM dalam
dunia bisnis, kita menyaksikan potret-potret yang penuh dengan kontradiksi.
Pada satu sisi kita menyaksikan dunia bisnis membuka lapangan kerja bagi
puluhan, ratusan, ribuan, dan bahkan puluhan ribu orang. Yang berarti
sebuah kebijakan dan tindakan untuk memenuhi hak atas pekerjaan. Dunia
bisnis melalui program CSR-nya juga memberikan bea siswa, membangun
16
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
fasilitas kesehatan, jaminan sosial dan lain sebagainya. Namun pada sisi yang
lain kita menyaksikan berbagai praktik bisnis yang melanggar HAM, seperti,
pemaksaan dan penggunaan aparat koersif untuk memaksa penduduk
dalam rangka memperoleh sumber daya alam, diskriminasi, sampai bentuk
pengupahan dan praktik ketenagakerjaan yang melanggar konvensi ILO.
Potret dunia bisnis yang kontrakdiktif tersebut di atas, antara lain disebabkan :
a. Kebijakan CSR lebih merupakan kebijakan yang diputuskan secara
unilateral oleh manajemen perusahaan, dan bukan merupakan hasil
dialog dari semua stakeholders perusahaan itu. Kelaupun ada dialog itu
didominasi pemangku kepentingan yang dominan;
b. Kebijakan dan tindakan CSR belum sepenuhnya didasarkan pada
parameter HAM;
c. Dinamika persaingan pasar di tingkat internasional dan nasional
tidak diimbangi dengan good governance, mengkondisikan negara
(pemerintah) untuk menjalankan kebijakan ekonomi yang tidak
berorientasi pada HAM;
d. Lemah dan rapuhnya kedaulatan hukum (rules of law);
e. Negara dan dunia bisnis masih terbelenggu oleh sistem KKN;
f. Tidak adanya supervisi dan mekanisme enforcement CSR yang
berperspektif HAM, baik pada tatanan nasional dan internasional.
Di tengah ketiadaan konsep dan policy CSR berperspektif HAM, UN
Global Compact memawajibkan perusahaan untuk mempromosikan
HAM pada ranah di mana perusahaan tersebut mempunyai pengaruh,
seperti pemerintah, komunitas lokal, pemasok dan sebagainya. Namun
demikian efektifitas Global Compact masih dipertanyakan. Tiadanya peran
UN sebagai regulator dan supervisi berarti menyerahkan efektifitasnya
pada enforcement dan efektifitasnya pada pemerintah nasional yang acap
17
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
mengalah pada tekanan pasar internasional dan kekuatan global lainnya.
Di tengtah situasi yang rumit selalu ada upaya dari berbagai pihak untuk
membangun CSR berperspektif HAM, misalnya UN Global Compact,
Ratifikasi dan Sosialisasi Kovenan Internasional HAM seperti, ICCPR, ICESCR,
dan lain sebagainya.
Komnas HAM sebagai institusi HAM nasional dapat berperan serta dalam
mendorong perkembangan dan pelaksanaan CSR yang berperspektif HAM,
melalui program pendidikan dan penyuluhan. Oleh karena perumusan,
pengembangan dan pelaksanaan CSR yang berperspektif HAM itu
memerlukan partisipasi dan dialog semua stakeholders suatu korporasi,
Komnas HAM bersama NGO dan kalangan profesional, dan lain-lain dapat
mendorong bagi terwujudnya dialog yang genuine yang diperlukan
bagi lahirnya CSR berperspektif HAM itu. Ini tentunya mensyaratkan
pengetahuan, skill dan profesionalitas semua pihak, dan lebih dari itu trust
dan confidence.
18
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
K
Diskursus
Pembangunan dan HAM di Indonesia
Oleh Ign. Wahyu Indriyo
Kata “pengembangan” (development”) sejak diintroduksi oleh Presiden AS
Harry S. Trauman pada 20 Januari 1949, selalu memiliki dua wajah. Wajah
pertama, berbicara tentang masa depan yang cerah dari negara-negara
yang masuk kategori developed (negara maju) dan wajah berikutnya adalah
gambaran buram dari negara-negara yang dikategorikan terbelakng, bekas
jajahan (undeveloped atau underdeveloped country).
Untuk memerangi kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara
yang baru merdeka dan mengalami kehancuran akibat perang, konsep
pembangunan memunculkan berbagai macam model pembangunan,
dengan karakteristiknya ialah: menekankan akumulasi kapital, yang sifatnya
trickle down effect (menetas ke bawah), serta adanya trade off, artinya setiap
sasaran ekonomi yang satu cenderung mengabaikan sasaran ekonomi
lainnya. Jadi, jangan bicara pemerataan ketika prioritas sasarannya adalah
pertumbuhan. Demikian sebaliknya.
Doktrin umum yang berlaku, bahwa pembangunan ekonomi hanya dapat
berhasil jika didukung oleh instrumen-instrumen ekonomi makro yang
baik. Oleh karena itu pengendalian inflasi, anggaran belanja pemerintah
serta nilai tukar valuta asing, melalui instrumen moneter dan fiskal selalu
19
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
menjadi isu penting. Sasaran berikutnya dari langkah-langkah itu ialah
laju pertumbuhan ekonomi dan GNP per kapita yang tinggi, pemenuhan
kebutuhan pokok serta perluasan kesempatan kerja. Itulah indikatorindikator penting pembangunan.
Hal ini menyebabkan kurang diperhatikannya aspek-aspek lain dalam proses
pembangunan, antara lain masalah hak (rights) dalam proses pembangunan
itu. Bahkan muncul kesan, bahwa hak asasi manusia itu bertolak belakang
dengan pembangunan ekonomi. Satu-satunya deteminan penting bagi
pembangunan adalah investasi dan akumulasi modal.
Proses pembangunan dan industrialisasi di Indonesia yang diawali rezim
orde baru (Pelita I, 1969), menekankan strategi industrialisasi yang dihela
oleh upah murah (cheap labor) dan sumberdaya alam (resource based
industry) dalam rangka menarik investasi. Strategi ini memang secara
bertahap telah meningkatkan perekonomian Indonesia melalui indikasi
peningkatan angka GNP yang menembus angka USD 1.000 per kapita
dan memasukkan Indonesia pada peringkat negara berpenghasilan
menengah (1995). para ekonom menjuluki Indonesia telah mengalami
fase transformasi struktural ekonomi, di mana terjadi pergeseran peran dari
sektor agraris digantikan oleh sektor industri.
Namun proses tersebut telah menyebabkan munculnya kelompok yang
rentan (vulnerable groups) terhadap pembangunan, antara lain posisi
kaum buruh dan masyarakat adat (indigenous people) akibat kebijakan
pembangunan yang cenderung tidak berpihak dan meminggirkan posisi
mereka.
Strategi unskilled labor dan cheap labor, menyebabkan maraknya pelanggaran
terhadap hak-hak buruh. Politik perburuhan yang dibangun pemerintah
melalui Hubungan Industrial Pancasila (1974) hanya menghadirkan
harmoni semu, dan justru kian memberi peluang terjadinya eksploitasi dan
kesewenang-wenangan penguasa terhadap kaum buruh. Kasus dahsyat
yang bisa disebut di sini adalah tragedi Marsinah, seorang buruh PT Catur
Putera Surya, Sidoarjo, Jawa Timur (Mei 1993) yang menyisakan kegelapan
penyingkapannya hingga kini. Setelah Marsinah masih banyak lagi yang
20
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
lain. Ketika mereka bersuara meminta upah yang layak, mempertanyakan
uang lembur, atau meminta hak cuti, mereka ditangkap, dianiaya, beberapa
harus kehilangan nyawa dan banyak yang akhirnya kehilangan pekerjaan.
Selama lebih 30 tahun pemerintahan otoritarian orde baru, buruh dirampas
hak-haknya. Namun berbagai macam bentuk represi harus dihadapi buruh
ketika hendak memperjuangkan hak-haknya itu.
Berhembusnya gerakan reformasi (1998) memaksa pemerintah untuk
memperbaiki kondisi perburuhan. Pada 5 Juni 1998 pemerintahan Habibie
meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat
dan Perlindungan Hak-hak untuk Berorganisasi. Kemudian pemerintahan
Abdurahman Wahid mengeluarkan perundang-undangan baru yang
memberikan kebebasan buruh berserikat melalui UU No. 21 Tahun 2000
tentang Serikat Buruh. Hal ini menjadi iklim yang kondusif untuk lahirnya
berbagai serikat buruh. Sistem pengupahan pun mengalami perbaikan,
yang semua didasarkan Kebutuhan Fisik Minimum kemudian diganti
dengan pendekatan Kebutuhan Hidup Minimum yang cakupannya lebih
luas. Dengan demikian terjadi peningkatan kesejahteraan bagi buruh yang
cukup signifikan. Meski masih menyisakan persoalan, putusan Mahkamah
Konstitusi atas hak uji UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan yang
membatalkan beberapa Pasal UU tersebut, patut diakui memberikan angin
segar dalam hukum perburuhan.
Sektor perburuhan masih terus mengalami pasang surut. Perjuangan
terhadap hak-hak buruh dihadapkan pada tegangan menyempitnya
lapangan kerja akibat terjadinya fase sunset industry pada sebagian besar
industri manufaktur di Indonesia. Industri-industri tersebut telah merelokasi
pabrik mereka dari Indonesia akibat iklim investasi yang tidak kondusif lagi.
Gelombang PHK pun meningkat tajam di sektor garmen / tekstil, pabrik
sepatu, industri elektronik, serta tak ketinggalan juga di sektor industri
perkayuan yang merupakan andalan, menyusul kenaikan harga BBM akhir
September 2005 lalu.
Ironisnya, sektor perburuhan masih dianggap momok bagi investasi.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menarik investasi dengan
menciptakan pasar tenaga kerja yang fleksibel (labor market flexibility)
21
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
yang membuka peluang terjadinya praktik outsourcing (buruh kontrak)1.
Akibat dimungkinkannya sistem buruh kontrak ialah hilangnya keamaan
kerja dan masa depan buruh (job insecurity)2. Di sisi lain aksi-aksi protes dan
mogok buruh sering digiring menjadi kasus kriminalisasi, perbuatan tidak
menyenangkan.
Persoalan lain muncul di industri ekstraktif. Sejak awal 1970-an sektor
kehutanan dan pertambangan telah menjadi sektor primadona sumber
penerimaan devisa terbesar. Indonesia menduduki peringkat pertama
sebagai pengekspor kayu tropis terbesar di dunia (mencapai 79% pangsa
pasar dunia). Maraknya eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan
1 Berbagai rujukan dapat menjelaskan hal ini, antara lain : Laporan Lokakarya : Kebijakan
Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk Memperluas Kesempatan Kerja”,
BAPPENAS, Parthership Electronic Growth, Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta 2004, serta
Dr. Ir. Bambang Widianto, MA, (Deputi Bidang Industri dan Ketenagakerjaan Bappenas),
“Fleksibilitas Kebijakan Pasar Kerja untuk Memperluas Kesempatan Kerja”, Pusat Kajian Asia
Timur, Lembaga Penelitian Atma Jaya, Jakarta 2004.
2 Penelitian yang dilakukan Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) di Jawa Timur dan
Jabodetabek (2004) menemukan :
nKecenderungan meninglatnya jumlah buruh kontrak daripada buruh tetap (dari
survey terhadap 34.432 buruh, 32% berstatus buruh tetap, 48% buruh kontrak, dan
20% pekerja lepas)
nKecenderungan buruh kontrak menerima upah dan jaminan sosial lebih kecil
dibandingkan buruh tetap.
nKecenderungan buruh kontrak tidak mendapatkan fasilitas dan hak-hak normatif
dibandingkan dengan buruh tetap.
ISU – ISU MUTAKHIR SEKTOR PERBURUHAN INDONESIA :
n
n
n
n
n
n
n
n
22
Hak normatif : Upah minimum.
Posisi tawar menawar buruh yang lemah menghadapi PHK.
Labor market flexibility – buruh kontrak.
UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI)
Trafficking (perdagangan manusia) dan masalah buruh migran.
Diskriminasi terhadap pekerja perempuan.
Kriminalisasi kasus perburuhan : “Perbuatan tidak menyenangkan”, Pasal 335 KUHAP.
Revisi UU Ketenagakerjaan (No. 13 Tahun 2003).
Sumber : Elect & Control – Permasalahan Buruh di Empat Kota (Bandar Lampung,
Jakarta, Bandung, Surabaya, PPKM Atma Jaya, 2005 dan berbagai sumber lain.
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
industri ekstraktif telah memunculkan permasalahan-permasalahan,
berupa kerusakan lingkungan hidup dan terpinggirkannya masyarakat adat
yang secara turun temurun hidup dari hasil alam dan konservasi kekayaan
alam. Kerusakan lingkungan telah berakibat hilangnya mata pencaharian
mereka. Proses deforestasi yang sangat dahsyat selama 30 tahun
diperkirakan telah menyebabkan hilangnya 75% hutan asli Indonesia, atau
kira-kira 2 juta ha. (seluas negara swiss) per tahun3. Hal ini tentu berdampak
signifikan terhadap peri kehidupan masyarakat di sekitar hutan maupun
terhadap kondisi lingkungan hidup secara global. Kasus pabrik pulp PT
Inti Indorayon di Sumatera Utara yang membuang limbah klorin (pemutih
kertas) menyebabkan pencemaran air sungai yang merupakan sumber
penghidupan masyarakat setempat.
Di sisi lain hak konsesi yang dimiliki perusahaan berbenturan dengan hak
ulayat dan memunculkan konflik penguasaan lahan. Pendekatan keamanan
digunakan untuk meredam gejolak sosial di kawasan industri pertambangan
dan kehutanan yang kerap berujung dengan diberlakukannya DOM (Daerah
Operasi Militer). Contoh cukup mutahir ialah pemberlakuan DOM di Papua
untuk melindungi kegiatan PT Freeport (1978-1998). Laporan-laporan
menyebutkan terjadinya berbagai pelanggaran HAM selama operasi
militer tersebut4. Meski DOM telah dicabut, praktik-praktik represif dan
pelanggaran HAM masih terus terjadi di Tanah Papua. Kasus terbunuhnya
Theys Hiyo Eluay (2001) hingga kerusuhan Abepura menyusul pengusiran
oleh aparat terhadap masyarakat asli yang melakukan penambangan
tradisonal di kawasan PT Freeport (Maret 2006).
Kebanyakan proyek-proyek industri ekstraktif itu dibiayai oleh Bank Dunia.
Akibat menghebatnya kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM di
3 Laporan FAO/GOI Forestry Project.
4 Sumber-sumber yang dapat dirujuk antara lain :
Laporan Komnas HAM; Industri Ekstraktif Bukan Jawaban bagi Penghidupan yang
Bermartabat dan
Berkelanjutan: Pernyataan Ornop Indonesia : WALHI, JATAM dan Seksi Asia Pasifik ACF
bagi Review Industri Ekstraktif Bank Dunia (EIR), di Nusa Dua, Bali, 2003; Position Paper
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM),
23
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
industri ekstraktif itu, para stakholder Bank Dunia kemudian merumuskan
pedoman yang harus dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan industri
ekstraktif. Salah satunya ialah : Prinsip Persetujuan Dini (free, prior and
informed concern) : Prinsip ini dirumuskan oleh stakeholders Bank Dunia
akibat menghebatnya dampak negatif dari proyek pembangunan. Prinsip
persetujuan dini mengacu pada Konvensi ILO No. 169 tentang perlindungan
hak-hak masyarakat adat (indigenous people) dari dampak-dampak negatif
pembangunan atau suatu proyek5
Prinsip Persetujuan Dini (free, Prior and Informed concern) :
“Jika ada rencana kegiatan (contoh pertambangan, bendungan, jalan, dan
penetapan kawasan konservasi) yang akan dilakukan oleh pihak tertentu
di sebuah wilayah, maka harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada
masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar wilayah yang akan terkena
dampak. Jika masyarakat menyetujui, maka pihak pelaksana kegiatan harus
melibatkan masyarakat dalam semua tahapan kegiatan (perencanaan,
pelaksanaan, monitoring serta evaluasi). Sedangkan jika masyarakat
menolak, maka kegiatan tersebut harus dihentikan”.
Kalangan NGO dan pejuang lingkungan hidup meminta diadopsinya
pula prinsip-prinsip Deklarasi Rio de Janiero 1992, seperti Prinsip Kehatihatian (precautionary principle), Prinsip pencemar membayar (Polluters Pay
Principle) dan Prinsip pendekatan yang holistik (Holistic Principle) merupakan
prinsip keterpaduan siklus-hidup dalam mengambil keputusan yang terkait
dengan lingkungan6.
5 Legal Commentary on the Concept of free, Prior and Informed Consent, UNPO, 2004 dan
Shannon Lawrence, Retreat from The Safeguard Policies – Recent Trends Undermining
Social and Environment Accountability at the World Bank, January 2005.
6 Rio Declaration on Environment and Development, The United Nations Conference on
Environment and Development, 1992.
24
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Prinsip ke-15 Deklarasi Rio Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle) :
“Dalam upaya melindungi lingkungan, pendekatan kehati-hatian dini harus
diterapkan secara luas oleh negara sesuai dengan kemampuannya. Bila
ditemukan ancaman yang serius atau kerusakan yang tidak bisa dihindari
(dipulihkan), maka ketiadaan kepastian data ilmiah yang memadai
tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya efektif untuk
mencegah kerusakan lingkungan”.
Dalam era ekonomi global keberadaan perusahaan-perusahaan
multinasional/transnasional (MNCs/TNCs) tak dapat dipungkiri telah
memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan sosial ekonomi
masyarakat maupun keputusan-keputusan politik di tingkat nasional dan
global.
‘Transnational corporations (TNCs) have increase in size, reach and power
largely as a result of the processes of deregulation and privatization associated
with economic globalization (Scholte 2000). Approximately 60,000 TNCs and
500,000 foreign affiliates invest more than USS600 abroad annually, and
control two thirds of international trade making them central organizers of the
emerging global economy (Hansen 2002)’
Negara dan Pasar Sama-sama Gagal :
Kian membesarnya peran sektor korporasi tidak memberikan jaminan
terciptanya pasar yang efisien serta mencapai keseimbangan dinamis
seperti yang dibayangkan para ekonom klasik. Kadang pasar juga
menghadapi kegagalan (market failure), akibat terjadinya malpraktik
bisnis seperti kasus penggelapan pajak, penyalahgunaan posisi dominan
dan persaingan tidak sehat, dampak eksternalitas kegiatan usaha yang
merugikan masyarakat, pencemaran, dan lain-lain yang menyebabkan
pasar menjadi tidak efisien.
25
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Karena kagagalan pasar, pemerintah melakukan campur tangan. Tetapi
di lain pihak terjadi juga kegagalan pemerintah (goverment failure). Dalam
banyak hal pemerintah kian tidak mampu memenuhi kebutuhan publik,
sementara kebijakan pemerintah kehilangan keefektifannya akibat salah
sasaran ataupun praktik korupsi, serta adanya free raiders (para penunggang
bebas) yang diuntungkan dengan sektor publik pemerintahan.
Atretnya peran negara dalam sektor-sektor publik, mengakibatkan
menghebatnya proses privatisasi, yakni masuknya korporasi di sektor
publik (common goods & public goods) dan hal ini dilakukan tak lepas dari
dukungan kebijakan negara untuk membuka pintu lebar bagi kegiatan
investasi, seperti kasus Perpres No. 36 Tahun 2005 serta UU Sumber Daya
Air (Privatisasi air) yang mengundang kontroversi.
Sifat ekspansif dari akumulasi modal yang mendominasi proses
pembangunan telah banyak menimbulkan distorsi-distorsi yang
mengakibatkan lahirnya berbagai pendekatan baru dalam proses
pembangunan, seperti people centered development, people driven
development, serta rights based development.
Instrumen-instrument HAM :
Problem-problem di atas semakin menuntut perlunya suatu acuan dan
komitmen bersama di antara tiga poros yang saling mempengaruhi, yakni:
negara (pemerintah), dunia usaha (korporasi) dan masyarakat. Deklarasi
Universal HAM 1949 (DUHAM) beserta kovenan-kovenan turunannya
merupakan acuan paling memadai dan telah banyak diadopsi. Indonesia
telah memasukkan DUHAM dalam hukum nasional melalu UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM. Pemberlakuan UU ini membawa konsekuensi terhadap
tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk: menghormati, melindungi,
menegakkan dan memajukan hak asasi manusia dalam berbagai bidang:
hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan
sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain (Pasal 71
dan 72 UU No.39/1999). Pada akhir September 2005, DPR telah menyetujui
26
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
ratifikasi dua kovenan penting yang merupakan turunan DUHAM 1948,
yakni Kovenan Internasional Hak Ekosob (Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan)
dan Kovenan Internasional Hak Sipol (Sipil dan Politik) untuk menjadi UU.
Di sektor dunia usaha sendiri telah diintroduksi berbagai standar seperti AA
1000, SA 8000, global Compact Principles, selain prinsip-prinsip yang telah
dibahas di atas, di mana banyak mengadopsi aspek-aspek HAM di dalamnya.
Namun demikian sifat dari instrumen-instrumen ini bukan merupakan alat
yang memaksa dunia usaha untuk melaksanakannya dan masih bersifat
himbauan moral (moral Persuasion) ataupun inisiatif secara sukarela oleh
perusahaan yang diimplentasikan dalam tanggungjawab menunjukkan,
perusahaan mulai melakukan pembenahan dan mengimplementasikan
standar tersebut ketika ada desakan dan tekanan dari stakeholder
(masyarakat, pekerja, dan lain-lain).
Memadukan Aksi-aksi untuk Mempromosikan HAM :
Berbagai instrumen telah banyak dilahirkan untuk menciptakan wajah
pembangunan dan praktik korporasi yang lebih manusiawi dan selaras
dengan nilai-nilai universal (HAM), bahwa sesungguhnya pembangunan
ekonomi dan kegiatan dunia usaha bukanlah sesuatu yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip universal HAM. Untuk sampai pada pemahaman
dan komitmen tersebut, diperlukan inisiatif-inisiatif untuk memadukan
tugas dan tanggung jawab pemerintah, dunia usaha dan masyarakat
dalam memajukkan HAM. Komnas HAM sebagai lembaga yang didukung
keberadaannya untuk mempromosikan HAM memilik peran yang
strategis sesuai dengan tugas dan kewenangan Komnas HAM (Pasal 89 –
96 UU No. 39/1999).
27
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Rujukan :
1. Andrinof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan – Kajian Ekonomi Politik
terhadap Akar Krisis Indonesia, LP3ES, 2001.
2. Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia 2000.
3. CDHR, The Right to Development A Primer, SAGE Publication, New Delhi,
2004.
4. David C. Korten, Kehidupan Setelah Kapitalisme (terjemahan : The Post
Corporate World), Yayasan Obor Indonesia, 2002.
5. Dicky Hardianto (editor), Otonomi & Lingkungan Hidup – Prospek
Pengelolahan Lingkungan Hidup di Jawa, papua, Kalimantan, Sumatra,
Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku Pada Era Otonomi Daerah,
KONPHALINDO, 2001.
6. Herb Thompson, Prof. & James Duggie, Non-Sustainable Develpment :
The Economics of Logging for Plywood in Indonesia, The Australiasian
Journal of Regional Studies, Volume 2, No. 2, 1996.
7. Sritua Arief, IMF/Bank Dunia & Indonesia, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2001.
8. Vandhana Shiva, Water Wars – Privatisasi, Profit dan Polusi, InsistPress &
Walhi, 2002.
9. -------- Industri Ekstraktif Bukan Jawaban bagi Penghidupan yang
Bermartabat dan Berkelanjutan : Pernyataan Ornop Indonesia : WALHI,
JATAM dan AMAN serta Ornop Australia : MPI, FOE Australia, dan Seksi
Asia Pasifik ACF bagi Review Industri Ekstraktif Bank Dunia (EIR), di Nusa
Dua, Bali, 2003.
10.The East Asian Miracle : Economic Growth and Public Policy – A World
Bank Policy Research Report, World Bank 1993.
11. ------, World Bank paper : Bureaucrats in Business – What Works, What
Doesn’t, and Why, World Bank, 1997.
28
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
T
Situasi yang Terus Berubah
Oleh : Agung Nugroho & Wahyudi Atmoko
Pendahuluan :
Tanggung jawab perusahaan menurut Milton Friedman adalah
membuat laba. Masalah sosial adalah urusan negara, karena perusahaan
sudah membayar pajak (Milton Friedman, Capitalism and freedom, 1962 :
133).
Perkembangan bisnis modern ditandai dengan bangkitnya kesadaran
di kalangan dunia usaha, bahwa tugas dan peran perusahaan bukanlah
semata-mata menciptakan laba (profit) saja, tetapi bagaimana keberadaan
perusahaan itu dapat memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat
sehingga masyarakat mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik
(social benefit). Orientasi perusahaan tidak hanya untuk kepentingan para
pemegang saham (share holders), tetapi juga untuk kepentingan para
pemegang andil (stakeholders), antara lain masyarakat konsumen, para
buruh, kelompok masyarakat setempat yang terkena langsung aktivitas
perusahaan, media massa dan pemerintah yang mesti diperhatikan oleh
para pengelola perusahaan.
Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada kemampuannya untuk
melayani kepentingan-kepentingan para stakeholder tersebut. Strategi
29
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
perusahaan adalah membangun bisnis yang berkelanjutan (sustainable
business). Perusahaan menjadi sistem yang terbuka terhadap dunia luar
(outward looking).
Di sisi lain, kegiatan dunia usaha yang terus merambah secara luas
menjadikannya kekuatan tersendiri dalam tiga poros besar yang saling
mempengaruhi, yakni negara – masyarakat – korporasi. Kekuatan sektor
korporasi sebagai sebuah entitas memainkan peranan yang cukup
penting. Namun di sisi lain kerap pula menimbulkan dampak-dampak
yang tidak menguntungkan bagi masyarakat, berupa terabaikannya hakhak masyarakat, hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat, atau
pada tingkat yang lebih serius terjadinya berbagai pelanggaran HAM di
sektor korporasi seperti : kasus hubungan industrial dan hak-hak pekerja,
kerusakan lingkungan dan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat,
privatisasi sektor publik, dan perlindungan hak-hak ulayat masyarakat adat.
Menghadapi hal ini berbagai pemikiran muncul yang menawarkan
berbagai alternatif pemecahan : Alternatif pertama, meminta negara
untuk membuat peraturan yang harus ditaati dunia usaha dalam rangka
melindungi dan mempromosikan hak-hak asasi manusia. Alternatif
kedua, berbagai prakarsa yang dilakukan oleh badan-badan internasional
(seperti Bank Dunia, dan lain-lain) untuk menerapkan beberapa prinsip
dalam rangka menghindari dampak negatif dari praktik korupsi, terutama
yang berkaitan dengan eksplorasi sumber daya alam. Seperti misalnya
mengadopsi Prinsip kehati-hatian Dini (precautionary principle) dan Prinsip
Persetujuan Dini (prior informed concern) bagi proyek-proyek yang dibiayai
Bank Dunia.
Alternatif lainnya, karena dalam kenyataannya cukup sulit meminta
perusahaan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan HAM, tawarannya
adalah meminta perusahaan secara sukarela memberlakukan suatu standar
dalam kegiatan usahanya yang melindungi HAM.
Pemberlakuan aturan main dalam mengontrol dan mengendalikan
korporasi, dirasakan masih lemah. Sementara pelaksanaan CSR (corporate
30
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
social accountability) di Indonesia saat ini masih terkesan sebagai suatu
program perusahaan yang tidak berkaitan langsung atau dalam rangka
penegakan prinsip universal HAM ataupun nilai-nilai hukum yang
mengikat operasi perusahaan sehingga ia harus tunduk. CSR cenderung
lebih nampak sebagai program kedermawanan perusahaan (philanthropy)
ataupun bentuk kepedulian sosial perusahaan dalam rangka membangun
citra perusahaan tersebut.
Terjadinya globalisasi yang mengakibatkan meningkatnya ekspansi usaha
dari perusahaan-perusahaan multinasional/transnasional (MNC/TNC)
ke berbagai belahan dunia menuntut perlunya perangkat hukum yang
memadai untuk menghindari kemungkinan dampak negatif ataupun
potensi terjadinya pelanggaran HAM dari aktivitas usaha mereka. Lahirnya
social accountability serta Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Kultural
(EKOSOK) maupun kovenan internasional lain yang telah diratifikasi
Indonesia sesungguhnya adalah angin segar untuk mempromosikan hakhak asasi manusia dalam dunia usaha.
Mengingat berbagai pelanggaran hak asasi manusia banyak menyeret
sektor korporasi dan dapat menjadi citra negatif korporasi di masyarakat,
agaknya mulai penting dipikirkan aturan main ataupun produk hukum
yang lebih jelas dan memungkinkan perusahaan sebagai pihak yang dapat
dimintai pertanggungjawaban hukum dalam menjamin dan melindungi
hak asasi manusia. Hal ini agaknya penting agar perusahaan tidak menjadi
bulan-bulanan dan agar ada suatu acuan yang jelas. Namun hal ini kembali
kepada komitmen dan kesungguhan pemerintah untuk menindaklanjuti
berbagai ratifikasi tersebut sejalan dengan tugas dan tanggung jawab
pemerintahan untuk menghormati (respect), melindungi (protect) dan
memenuhi (fulfill) pelaksanaan HAM.
Komitmen tersebut perlu pula didorong oleh kalangan dunia usaha
maupun masyarakat karena diharapkan ada jaminan akan iklim usaha
yang lebih sehat dan kepastian dalam regulasi yang dapat menjadi rujukan
semua pihak dalam menilai pelaksanaan HAM, baik di sektor korporasi
maupun agenda pembangunan secara luas.
31
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Konsep CSR dan Landasan Teoritiknya :
Di Indonesia konsep mengenai CSR masih dapat dikatakan baru. Hal ini juga
dikarenakan konsep CSR secara tertulis baru ada pada awal tahun 1930-an.
Pada saat ini konsep ini menjadi tema besar untuk beberapa perusahaan
besar di Indonesia. Hal ini terlihat dari makin banyaknya perusahaan yang
berusaha atau mencoba mengerti mengenai konsep CSR itu sendiri.
Banyak perusahaan setelah kerusuhan tahun 1998 mencari konsep-konsep
bisnis yang dapat membuat mereka tetap hidup dalam perubahan besar
pada waktu itu, baik secara politik, hukum, sosial maupun ekonomi-bisnis.
Beberapa perusahaan besar dilanda demo besar-besaran oleh masyarakat
ataupun oleh karyawan sendiri.
Pada saat itulah banyak perusahaan berusaha melihat kembali prinsipprinsip bisnis yang mereka jalankan atas terjadinya perubahan-perubahan
di Indonesia. Kalangan bisnis mulai sedikit demi sedikit menyadari
pentingnya arti sosial dalam menjalankan bisnis, bukan hanya untuk
mencari keuntungan semata. Hal ini terlihat dari perusahaan yang berusaha
merubah citra mereka dengan CSR ataupun dengan gimik-gimik pemasaran
dan promosi. Namun sayang, saat ini konsep CSR masih banyak disalah
artikan hanya sebagai aktifitas filantrofis atau donasi. Banyak perusahaan
menganggap bahwa kalau sudah banyak memberikan sumbangan kepada
masyarakat maka dianggap sudah melakukan CSR.
Mengacu dari beberapa literatur yang ada, definisi CSR sangat beragam dan
belum ada konsensus umum mengenai definisi CSR. Namun demikian, CSR
pada umumnya adalah proses pembuatan keputusan yang dihubungkan
kepada nilai-nilai etika, mematuhi peraturan yang ada, dan menghormati
orang, komunitas dan lingkungan.
Sangat menarik sekali jika ada suatu kajian mengenai definisi CSR yang
sesuai dengan budaya Indonesia, sehingga dapat menjadi panduan bagi
masyarakat bisnis di Indonesia.
Menurut Caroll (Evolution of a Definitional Construct, 1999) konsep mengenai
CSR telah ada dan lama dalam sejarah, namun demikian tulisan mengenai
32
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
CSR baru ada sekitar pada tahun 1930an. Konsep modern mengenai CSR
baru ditulis tahun 1953 oleh Howard R. Bowen dengan publikasinya Social
Responsibility of the Businessmen.
Pada awalnya konsep ini hanya dikenal dengan social responsibility saja. Kata
corporate atau korporasi masih belum digunakan, dikarenakan pada saat
itu sektor korporasi belum mempunyai pengaruh sosial dan politik sebesar
sekarang ini. Menurut Bowen, social responsibility dapat diartikan sebagai
berikut: “It refers to the obligations of bussinessmen to pursue those policies, to
make decision, or to follow those lines of action which are desirable in terms, of
the objectives and values of our society”
Kemudian pada pertengahan tahun 60-an, Keith Davis dan Robert
Blomstrom pada bukunya yang berjudul Business and its Environment
(1966) mendefinisikan social responsibility itu: “it refers to a person’s
obligation to consider the effects of his decision and actions on the whole social
system. Businenesses apply social responsibility when they consider the needs
and interest of others who may be affaected by business actions. In doing so,
they look beyond their firms’s narrow economic and technical interest”.
Selanjutnya, pada tahun 1971 untuk menjawab hasil sebuah survey yang
dilakukan oleh Opinion Reseacrh Corporation pada 1970, CED (Committee
for Economics Development) mencoba mendefinisikan social responsibility
ke dalam 3 lingkaran:
a. Lingkaran Dalam, jelas menyatakan tanggung jawab dasar dari
perusahaan adalah untuk membuat keputusan-keputusan yang efisien
untuk fungsi-fungsi ekonomi – produk, pekerjaan dan pertumbuhan.
b.Lingkaran Tengah menyatakan bahwa perusahaan dalam
menentukan keputusan-keputusan bisnisnya harus dengan sensitif
mempertimbangkan perubahan-perubahan nilai sosial dan prioritas
masyarakat. Contohnya adalah mengenai perlindungan lingkungan
hidup, kesehatan dan keselamatan kerja.
33
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
c. Lingkaran Luar, tanggung jawab perusahan juga meliputi aktivitasaktivitas untuk memperbaiki lingkungan sosial, seperti pengentasan
kemiskinan dan lain-lain.
Sedangkan Caroll pada tahun 1979 dalam artikelnya A Theree Dimensional
Conceptual Model of Corporate Social Performance, mengatakan bahwa
perusahaan mempunyai 4 tanggung jawab utama dalam menjalankan
bisnisnya: yakni 1) tanggung jawab ekonomi, 2) tanggung jawab hukum, 3)
tanggung jawab etika dan 4) tanggung jawab discreationary (philanthropy).
Sementara itu beberapa NGO juga berusaha mencari arti CSR, salah
satunya adalah dari Philippine Business for Social Progress. Lembaga ini
mengartikan CSR sebagai ....a business principles which propose that longterm interest of business is best served when its profitability and growth are
accomplished alongside the development of the communities, the protection
and sustainability of the environment, and the improvement of the people’s
quality of life.
World Economic Forum pada pertemuannya di Davos 1997 mendefinisikan
CSR sebagai .....contribution a company makes to society through its core
business activities, its social investment and philanthropy program, and its
engagement in public policy. The manner in which a company manager
its economic, social and environmental relationships, as well as those with
different stakeholders, in particular shareholders, employees, customers,
business partners, goverment and communities determine its impacts.
Danette Wineberg and Philip H. Rudolph (2004) memberi defenisi CSR
sebagai: “The contribution taht a company makes in society through its core
business activities, its social investment and philanthropy programs, and its
engagement in public policy”,
Masih menurut Wineberg, CSR itu lebih berdasarkan nilai-nilai (values-based)
dan fokusnya keluar (external) perusahaan. Karena itu CSR juga ditujukan
pada jajaran stakeholder yang lebih luas. Misalnya, stakeholder internal,
seperti: pegawai, pemegang saham; stakeholder eksternal: komuniti,
customer, LSM; dan stakeholder lainnya seperti: supplier, kelompok SRI
34
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
(social responsible investors) dan licensing partners. Dengan demikian dalam
SC, perhatian manajemen tidak saja harus ditunjukan pada standar dasar
ekonomi, tetapi juga pada dampak kegiatan perusahaan itu terhadap
lingkungan hidup, komuniti, sekitarnya dan masyarakat pada umumnya.
Sejak 2000, Sekjen PBB Kofi A. Annan secara aktif menyerukan Global
Compact Principle, di mana perusahaan dapat berpartisipasi dan bermitra
dengan PBB untuk mengatasi akibat-akibat dari globalisasi. Tujuan akhir
dari inisatif adalah untuk membuat ekonomi dunia yang berkelanjutan.
Ada tiga prinsip yang mendasari dari inisiatif ini: hak asasi manusia, standar
kerja dan lingkungan hidup. Inisiatif ini diusulkan untuk supaya dunia usaha
mempunyai kerangka dan acuan dalam menjalankan CSR yang secara
universal diterima oleh komunitas bisnis internasional.
Konsep social responsibility terus berkembang dan beberapa konsep
baru terus dikembangkan. Beberapa istilah atau penamaan lain dari
hasil pengembangan social responsibility adalah seperti: corporate social
responsiveneness, corporate social performance, public policy, business ethics,
stakeholder management, dan yang terakhir adalah corporate citizenship dan
corporate sustainability.
Trinidad and Tobacco Bureau Standard (TTBS) mendefinisikan CSR sebagai:
“komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal,
dan berkontribusi untuk meningkatkan ekonomi bersamaan dengan
peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas
lokal dan masyarakat secara luas”.
The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)
mendefinisikan CSR: “adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan
perusahaan, keluarga karyawan tersebut, komunitas lokal dan masyarakat
secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan”.
CSR pada umumnya dapat dipahami sebagai bagaimana perusahaan dapat
menyeimbangkan antara kebutuhan-kebutuhan atau sasaran-sasaran
35
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
ekonomi, lingkungan dan sosial di mana pada saat yang bersamaan juga
dapat memenuhi keinginan dari para shareholder dan juga stakeholder.
Dalam kata lainnya adalah bagaimana perusahaan dapat berinteraksi
dengan pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, pemerintah,
LSM dan para stakeholder lainnya (sebagai contoh: hak asasi manusia,
perlindungan konsumen, hubungan dengan pemasok).
Pada kesimpulannya CSR menurut Elisabeth Garriga dan Domence Mele
dalam artikelnya Corporate Social Responsibility Theory: Mapping the Theory,
CSR itu mempunyai fokus pada empat aspek utama: 1) mencapai tujuan
untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan, 2) menggunakan
kekuatan bisnis secara bertanggung jawab, 3) mengintegrasikan kebutuhankebutuhan sosial dan 4) berkontribusi ke dalam masyarakat dengan
melakukan hal-hal yang beretika.
Hal menarik untuk disimak lebih lanjut dari fenomena CSR adalah mengapa
CSR seolah menjadi mercu suar baru dalam bisnis korporat. Dalam
beberapa hal, ada banyak yang menyebabkan suatu perusahaan berubah
dan mencoba menerapkan praktik-praktik CSR. Salah satu motivasi kunci
adalah risiko reputasi dari perusahaan. Hal ini terlihat misalnya pada kasus
sebuah perusahaan tambang yang mencoba mengubah citra perusahaan
dengan pembentukan Program Kepedulian Masyarakat. Dengan program
ini perusahaan berusaha menjadi suatu perusahaan yang bertanggung
jawab pada masyarakat tempat dia beroperasi. Selain itu, motivasi lain
yang mendorong perusahaan berubah adalah risiko litigasi ke pengadilan.
Hal ini banyak terlihat dari perusahaan-perusahaan asing yang dituntut ke
pengadilan karena praktik-praktik lingkungan hidup, penggunaan anak di
bawah umur, masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
Aspek hak asasi manusia juga sangat diperhatikan dalam praktik-praktik CSR
dikarenakan perilaku buruk dari suatu perusahaan dapat menyebabkan
hilangnya kepercayaan dari investor atau shareholder dan juga dapat
menurunkan semangat para karyawan. Hal ini yang akan membuat
produktifitas perusahaan menurun, yang pada akhirnya akan berdampak
pada menurunnya keuntungan perusahaan.
36
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh business for Social Responsibility
di Amerika pada 2002 mengatakan bahwa 90% responden menyatakan
bahwa mereka ingin perusahaan tidak hanya terfokus pada keuntungan
saja. Bahkan 20% dari responden menyatakan bahwa mereka tidak
membeli atau memakai produk dari perusahaan yang secara sosial tidak
bertanggung jawab.
Pada 2002 Ernst & Young melakukan penelitian terhadap perusahaan dunia
mengenai alasan mengapa perusahaan mengimplementasikan CSR dalam
praktik-praktik bisnisnya, yang dirumuskan dalam 10 alasan utama:
1. Hal yang benar untuk dilakukan.
2. Reputasi atau citra.
3. Meningkatkan kinerja bisnis.
4. Membangun kepercayaan dari stakeholder.
5. Tekanan dari stakeholder.
6. Keunggulan kompetesi (competetive advantage).
7. Tekanan dari investor.
8. Hubungan masyarakat.
9. Meningkatkan hubungan dengan investor.
10. Tekanan dari peer.
Berbagai macam perubahan itu memunculkan tranformasi dalam filosofi
perusahaan. Mereka yang ingin mempertahankan keberadaannya
mengubah misinya dari economic company, yang orientasinya
memaksimalkan produksi dan profit, menjadi river company yang mampu
beradaptasi sesuai perubahan jaman. Dari perusahaan yang inward looking
37
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
(merasa dapat mendikte pasar dan konsumen) menjadi outward looking
(mengutamakan kepentingan stakeholders).
Maka, dunia bisnis dituntut untuk masuk dalam ideologi inti (core ideology)
entitasnya, seperti yang dikemukakan Paul Hawken, seorang pengusaha
yang berhasil, ‘being business is not about making money, it is a way to become
who you are’
38
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
D
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Berbasis HAM
Oleh : A. Sony Keraf
Dalam arti sempit, CSR adalah kepedulian perusahaan terhadap
kepentingan masyarakat. Jadi, ada semacam komitmen moral perusahaan
dalam memajukan kesejahteraan masyarakat, dalam arti tertentu
sesungguhnya murni demi kemajuan masyarakat, walaupun secara
diam-diam perusahaan pun punya niatan bahwa pada akhirnya hal itu
menguntungkan perusahaan dan memberikan citra positif bagi perusahaan
tersebut.
Pada dasarnya perusahaan melaksanakan CSR bukan hanya untuk
kepentingan masyarakat, tapi untuk kepentingan stakeholder secara luas.
Siapa itu stakeholder ? Dapat kita kategorikan :
Stakeholder Primer : Pemilik perusahaan, pemegang saham, kreditor,
karyawan, konsumen, pemasok, penyalur dan rekanaan.
Stakeholder Sekunder : pemerintah, masyarakat, pemerintah asing dan
media massa.
Adakah tanggung jawab sosial perusahaan ? Milton Friedman menolak
dengan tegas CSR. Menurutnya, tugas perusahaan adalah mencari untung.
39
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Perusahaan adalah institusi bisnis, bukan sosial. Masalah sosial adalah
tanggung jawab pemerintah. Tetapi dalam perkembangannya akhirnya
banyak perusahaan menerima konsep tanggung jawab sosial perusahaan.
Karena alasan-alasan :
1) Bisnis adalah bagian dari masyarakat
2) Perusahaan adalah institusi bisnis dan juga institusi sosial.
3) Selain ada resiko, bisnis mendapat untung dari masyarakat.
Lalu belakangan muncul gagasan bukan hanya CSR namun wacana good
Corporate Citizenship, dalam pengertian menjadi warga negara yang baik,
yang berperilaku baik terhadap sesama warga negara. Perusahaan juga bisa
berperan seperti warga negara yang baik dan bisa berperan aktif dalam
membangun kehidupan bernegara yang baik. Ini semua adalah rasionalisasi
untuk menerima konsep CSR. Di sinilah letak relevansi HAM dengan CSR.
Kalau begitu bagaimana realisasi CSR maupun Good Corporate Citizenship?
Terkait dengan stakeholder ada rumusan positif, dalam pengertian
perusahaan terlibat dalam aktifitas tertentu yang memang dimaksudkan
demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Ini adalah tuntutan
maksimal. Sedangkan rumusan negatif, tanggung jawab perusahaan
atau tuntutan minimal dari CSR, yaitu perusahaan minimal tidak boleh
melupakan pemangku kepentingannya. Perusahaan yang melanggar
adalah perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Aktifitas sosial dari dua
jenis kegiatan itu ada bermacam-macam, namun salah satunya perusahaan
sebagai good citizenship harus mematuhi peraturan apapun di negara itu,
menjaga ketertiban sosial. Kalau begitu ia tidak boleh melanggar hak dari
para pemangku kepentingan. Itu sedikit menambah diskusi soal CSR.
Lalu kita akan membahas apa itu HAM? Hak Asasi Manusia adalah hal
yang melekat pada diri manusia dengan hak pokok yaitu hak hidup dan
hak kebebasan. Lalu berkembanglah hak-hak terkait sampai kemudian
belakangan hak ekosob.
40
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Bagaimana HAM diimplementasikan dalam lingkup perusahaan? Dalam
pemenuhan hak pekerja, sebagai salah satu stakeholder, pekerja harus
dipenuhi haknya. Hak atas kesempatan yang sama misalnya, hak berserikat,
hak untuk membela diri, misalnya jika pekerja dituduh bersalah, dia harus
diberikan kesempatan membela diri.
Pemenuhan hak konsumen: hak atas kesehatan misalnya. Ada sebuah kasus
susu formula. Anak punya hak untuk mendapatkan ASI. Tetapi Nestle secara
gencar mempromosikan susu formula, lalu Nestle pun dipermasalahkan.
Selain itu, ada hak untuk mendapatkan harga yang wajar, konsumen berhak
mengetahui apakah suatu produk itu merupakan produk transgenik atau
bukan, dan seterusnya.
Contoh lain soal tanggung jawab sosial perusahaan adalah perusahaan
punya tanggung jawab memajukan kondisi sosial ekonomi di lingkungan/
negara di mana perusahaan berada, misalnya ketika Sony hengkang dari
Indonesia, pertanyaannya, apakah ia punya tanggung jawab sosial? Ketika
ekonomi bagus mereka datang, begitu ekonomi jelek mereka hengkang,
ini perlu dipertanyakan tanggung jawabnya.
Beberapa kasus dalam beberapa tahun terakhir menyadarkan perusahaan
bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial. Kasus yang menarik
adalah kasus Nike yang digugat oleh banyak LSM internasional karena ia
memproduksi di negara berkembang dengan harga yang sangat murah
dan menjual dengan harga yang sangat tinggi. Hak-hak pekerja tidak
dipenuhi di sini.
Ada sebuah pertanyaan yang muncul dalam wacana CSR ini, apakah
sebuah perusahaan multinasional harus keluar dari negara yang melanggar
HAM? Bagaimana dengan perusahaan yang menyewa tentara yang pada
akhirnya melanggar HAM? Saya punya dugaan kalau dia kapitalis akan
menjawab, yang penting kami diuntungkan.
Lalu soal peran pemerintah, serius tidak pemerintah? Jangan-jangan ia
sendiri melanggar HAM. Kalau ia serius ia harus punya tempat yang serius
untuk menjamin HAM. Sering ada kongkalikong antara pengusaha dan
41
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
penguasa. Pemerintah harus memberi contoh dengan tidak melanggar
HAM, termasuk tidak mau dibayar untuk melanggar HAM. Goodwill
Agreement yang dilakukan antara pemerintah dengan PT Newmont di
Teluk Buyat adalah bentuk halus dari penyuapan karena hak masyarakat
adat tidak terpenuhi. Bagaimana ia bisa mendorong perusahaan untuk
memenuhi HAM kalau ia sendiri melanggar HAM?
Tantangan pemerintah untuk membuktikan bahwa serius dalam
penegakan HAM :
1) Pemerintah harus menunjukkan, bahwa pemerintah serius menjamin
HAM setiap warga masyarakatnya.
2) Pemerintah melaksanakan secara serius, konsisten dan konsekuen,
konstitusi dan segala peraturan perundangan lainnya yang menyangkut
HAM.
3) Secara khusus memaksa perusahaan memenuhi hak dan kepentingan
stakeholder, konsekuensinya pemerintah tidak mau dibayar untuk
modus-modus pelanggaran HAM.
42
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
J
HAM dalam Dunia Bisnis
Oleh : Tony A. Prasetyantono
Jika sebelumnya banyak didiskusikan masalah sustainable development,
saya mempunyai spekulasi, bahwa sebagian besar pengusaha kita ini
modelnya hit and run yaitu tidak berpikir jangka panjang. Contohnya kasus
illegal logging.
Ada tiga isu pokok penerapan HAM dalam dunia bisnis di Indonesia :
1. Kebijakan Pengupahan
2. Kebijakan Non-Pengupahan (Fasilitas, Pengobatan, Hak Cuti, dan lain-lain)
3. Corporate Social Responsibility
masalah pengupahan adalah problem paling mendasar dunia bisnis
terkait dengan Hak Asasi Manusia. Ketika kita bicara soal hak normatif
buruh, banyak sekali perusahaan yang belum mampu memberikan upah
yang memadai, bahkan untuk memenuhi UMP (Upah Minimum Provinsi).
Temuan riset saya mengenai kemiskinan di Balikpapan, ternyata upah para
penjaga toko itu di bawah Rp 600.000, dan orang yang upahnya di bawah
angka itu masih banyak. Ada dilema pengupahan, yakni :
1. UMP (Upah Minimum Provinsi) Vs Produktivitas Karyawan
2. Relatively ‘unlimited suplly of labour’
43
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
3. Adakah insentif lain? Atau sebaliknya, pos pengeluaran apa yang
membebani pengusaha, sehingga tidak bisa memenuhi UMP? Birokrasi?
Rent-seeking behavior? Bribery? Transaction costs?
Soal pengupahan jika dikaitkan dengan produktivitas buruh memang
membuat kita masih sulit bersaing. Untuk mencapai UMP banyak
perusahaan meminta karyawannya meningkatkan produktivitasnya.
Celakanya, upah kita sudah di bawah UMP dan produktivitasnya pun tidak
seimbang. Masalah pengupahan itu sangat kompleks. Karena banyak hal
yang mempengaruhi. Misalkan Cina mengapa dia bisa mengupah rendah?
Mungkin banyak alasannya. Bisa jadi dikarenakan banyaknya jumlah tenaga
kerja, jumlah produksi, dan lain-lain. Kenapa upah bisa demikian murah?
Selain faktor supply of labour ada faktor lainnya adalah kursnya yang sengaja
dibuat murah. Belum lagi soal kemampuan pemerintah mengendalikan
inflasi. Masalah birokrasi pun sampai saat ini masih belum baik. Pemerintah
bisa menciptakan birokrasi yang lebih efisien yang dapat menurunkan
ongkos. Sehingga pengusaha mempunyai ruang gerak untuk menaikkan
upah.
Isu lain berkaitan laju pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Daya
serap tenaga kerja kecenderungannya makin menurun dari tahun ke
tahun, sementara angkatan kerja terus membengkak. Sebagai contoh,
pertumbuhan ekonomi kita dalam semester I 2006 adalah 4,97%. artinya,
jika 1% pertumbuhan ekonomi menyerap sekitar 60.000 tenaga kerja, itu
celaka, karena sebelum 2005, daya serap 1% pertumbuhan ekonomi bisa
mencapai 250-300.000 tenaga kerja. Jika pertumbuhan ekonomi tahun
2005 adalah 5,6%, artinya ada sekitar 1,5 juta lapangan kerja baru. Tetapi
angkatan kerja baru masuk sekitar 2,1 juta orang. Berarti ada sekitar 600.000
orang menganggur. Belum lagi pengangguran sebelumnya. Sehingga
akumulasinya adalah 11 juta orang pengangguran.
Memang kita masih jauh dari Jepang yang sudah mempunyai UU
Ketenagakerjaan yang bagus sekali. Orang Jepang mempunyai hak kerja
sebanyak 35 jam 1 minggu. Artinya dengan 1 hari 7 jam orang itu pasti
produktif. Dengan adanya UU seperti itu pun masih ada lapangan pekerjaan
yang tidak bisa dipasok oleh orang Jepang sendiri, seperti para pekerjapekerja kasar, dan mereka bukan asli orang Jepang tetapi dari negara lain.
44
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Jika melihat supply dan demand tenaga kerja memang terjadi kesenjangan
yang cukup jauh dan ini membuat daya tawar pekerja kita sangat mudah. Di
lain pihak pengusaha mempunyai daya tawar yang tinggi. Maka, solusinya
adalah menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Employment problem (in million population)
Year
Work
Force
New
employment
Emploted
New job
creation
Open
unemployment
1996
88.19
3.96
83.90
3.79
4.29
1999
94.85
2.11
88.82
1.14
6.03
2000
95.65
0.94
89.84
1.00
5.81
2001
98.81
3.16
90.81
0.97
8.00
2002
100.78
1.97
91.65
0.84
9.13
2003
102.88
2.10
92.75
1.10
10.13
2004
104.98
2.10
94.15
1.40
10.83
Economic growth Vs. New job creations
Year
New Job
Creation
(million)
Open
Unenmployment
(million)
Open
Unenmployment
(%)
1996
3.79
4.29
4.86
1999
1.14
6.03
6.36
2000
1.00
5.81
6.07
45
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
2001
0.97
8.00
8.10
2002
0.84
9.13
9.06
2003
1.10
10.13
9.85
2004
1.40
10.83
10.32
Isu lain implementasi HAM dalam bisnis terkait dengan kebijakan nonupah, di mana faktanya banyak sekali terjadi pelanggaran HAM, seperti
fasilitas, pengobatan, hak cuti, dan lain-lain. Kemudian yang terakhir adalah
mengenai Corporate Social Responsibility. Tiga aspek ini bagi saya menjadi
isu-isu penerapan HAM dalam konteks dunia bisnis di Indonesia.
Sekarang CSR sedang menjadi tren dan perusahaan-perusahaan
didorong untuk peduli kepada lingkungan, masyarakat, untuk sustainable
development.
Ruang lingkup Corporate Social Responsibility meliputi :

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen berkelanjutan
yang dibangun oleh perusahaan untuk berperilaku etis dan memberikan
kontribusi pada pembangunan nasional, sekaligus meningkatkan
kualitas hidup komunitas lokal dan masyarakat keseluruhan.

Hal ini merupakan perwujudan goodwill perusahaan sebagai bentuk
apresiasi kepada masyarakat.

Mendorong kesejahteraan dan perbaikan lingkungan.

Mendorong pelaksanaan bisnis yang bersih dan bertanggung jawab.

Memberikan kontribusi positif bagi masyarakat luas pada umumnya
dan lingkungan sekitar di mana bisnis dilaksanakan pada khususnya.

Membangun simpati masyarakat kepada perusahaan yang dapat
menunjang terbentuknya citra positif perusahaan di mata publik.
46
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum

Meningkatkan nilai perusahaan melalui pembentukan reputasi
yang baik.

Meningkatkan pemahaman publik terhadap perusahaan melalui
informasi yang disalurkan dalam kegiatan sosial.
Kesimpulan :

Bagi perusahaan-perusahaan terkemuka dan perusahaan terbuka
(MNC, BUMN, maupun swasta), isu HAM dan CSR secara umum tidaklah
merisaukan, karena memang itu bagian dari aktivitas mereka.

Namun bagi perusahaan non-Tbk, isu HAM dan CSR belum menjadi
prioritas. Jadi mereka mau mengadakan dan tidak mengadakan tidak
ada persoalan, karena mereka tidak ada tekanan dari stakeholders dan
shareholders.

Bahkan bagi banyak perusahaan, isu HAM yang paling mendasar, yakni
skema pengupahan, masih belum memenuhi standar minimum (UMP).

Secara tipikal dapat dideteksi, perusahaan-perusahaan yang masih
mengabaikan skema minimal pengupahan, bisanya berargumentasi
“klasik”, bahwa perusahaan masih menghadapi struktur biaya yang
inefisien, di antaranya karena menghadapi unnecessary transaction costs,
alias “biaya siluman yang tidak perlu”

Banyak perusahaan seringkali merasa berada di atas angin, karena
tingginya angkatan kerja baru yang masuk pasar tenaga kerja, yang
tidak mampu diserap oleh pertumbuhan ekonomi. Ketidakseimbangan
ini menyebabkan kuatnya posisi tawar perusahaan dalam menentukan
skema pengupahan.
47
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Rekomendasi :

Dari sisi pemerintah, upaya memangkas inefisiensi (high cost economy)
– terutama yang terkait dengan transaction cost (keberadaan birokrasi
yang berlebihan yang menciptakan peluang terjadinya bribery) –
merupakan insentif yang bisa memberi ruang gerak kepada pengusaha
untuk meningkatkan kepeduliannya kepada karyawan sendiri (sebagai
top issue HAM dalam perusahaan), serta mendorong pelaksanaan CSR.

Pemerintah bisa menawarkan insentif pajak yang menarik bagi
perusahaan yang peduli HAM dan CSR.

Pemerintah bekerjasama dengan media massa dan LSM harus terus
mengkampanyekan perlunya kepedulian terhadap HAM dan CSR di
kalangan pengusaha, melalui berbagai liputan dan penghargaan.

Dari sisi perusahaan, peningkatan anggaran yang terkait isu HAM dan
CSR bisa diinternalisasikan ke dalam pos advertasi, serta bisa pula
‘dikompensasikan’ dengan insentif pajak oleh pemerintah.

Berkenaan terjadinya market failure dan goverment failure, artinya harus
ada tanggung jawab bersama. Posisi pemerintah sebaiknya lebih banyak
sebagai fasilitator dan regulator.
48
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
K
Corporate Social Responsibility
Mempertanggungjawabkan Mandat Perusahaan dari Masyarakat
dan Lingkungan Hidup
Oleh : Sujoko Effiesien, PhD
Pendahuluan
Keterkaitan bisnis dan lingkungan eksternalnya menjadi salah satu
pusat perhatian utama kalangan akademisi, praktisi, dan regulator, semenjak
beberapa dasawarsa terakhir. Perkembangan ini dipicu oleh dinamika
sosial globalisasi, menurunnya peran pemerintah dan semakin vitalnya
peranan sektor swasta dalam pembangunan ekonomi, dan meningkatnya
kesadaran dan tuntutan masyarakat tentang hak asasi manusia, keadilan,
kesejahteraan sosial, lingkungan hidup dan pemberdayaan. Hal-hal di
atas berdampak pada munculnya berbagai diskursus tentang bagaimana
seharusnya bisnis dikelola dan sejauh mana tanggungjawab yang diemban.
Salah satu wacana yang sering disebut adalah Tanggungjawab Sosial
Perusahaan (Corporate Social Responsibility). Pengertian CSR sendiri memiliki
beragam makna dan interprestasi sehingga kerap muncul perdebatan
yang tidak berdasarkan landasan berpikir yang sama (coelho et al, 2003,
Post 2003, Driver 2006, Lawrence et al, 2005).
49
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Shareholder Theory :
Ada beberapa kontroversi landasan berpikir tentang pentingnya CSR.
Paradigma klasik bersumber dari shareholder theory. Teori ini mengatakan
bahwa manajemen mendapatkan mandat dari pemilik/pemegang saham
sehingga tujuan perusahaan adalah untuk memaksimalkan keuntungan
bagi pemilik tersebut (Freidman 1962, Coelho et al,2003). Implikasinya, segala
tindakan manajemen dapat dijustifikasi hanya jika dapat menghasilkan
keuntungan bagi pemilik. Manager yang beretika adalah mereka yang
mampu memilih alternatif tindakan bisnis yang paling ekonomis, tidak
melanggar hukum dan transparan. Tindakan perusahaan yang terkait
dengan community development dianggap perlu manakala hal tersebut
dianggap vital bagi kelangsungan hidup perusahan dalam jangka panjang
(misalkan kepentingan membangun citra positif, meningkatan daya saing/
kesejahteraan masyarakat, memperluas pasar, atau menghindari boikot
produk perusahaan).
Dengan demikian, kepentingan pemilik menjadi pusat dari segala
pertimbangan sebelum mengambil sebuah putusan. Kepentingan
masyarakat luas hanya dapat dipenuhi jika sejalan dengan kepentingan
pemilik.
Stakeholder Theory :
Sebaliknya, Stakeholder theory mengatakan, bahwa manajemen perusahaan
harus menyeimbangkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda
dari mereka yang hidupnya dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan
(disebut stakeholder) sehingga kepentingan pemilik bukan satu-satunya
pertimbangan (Lawrence et al, 2005; Post 2003). Lawrence et al (2004,46)
mendefinisikan CSR sebagai “bentuk tanggung jawab perusahaan
terhadap segala tindakan yang mempengaruhi orang lain, masyarakat
dan lingkungannya”. Manajemen dianggap perlu untuk mengidentifikasi
siapa saja yang dianggap sebagai stakeholder utama dan apa kepentingan
masing-masing dalam rangka mengambil putusan /tindakan bisnis yang
tepat/beretika. Community development dianggap sebagai perwujudan
dari penyeimbang berbagai kepentingan yang berbeda-beda tersbut
50
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
(enlightened self-interest). Teori ini sudah memasukkan hal-hal yang lebih
luas dari sekadar hukum formal yang berlaku, misalnya hak asasi manusia,
keadilan, pelestarian lingkungan dan sebagainya.
Pendukung dari teori yang pertama (shareholder theory) mengkritik, bahwa
adalah tidak mudah untuk menentukan siapa saja stakeholder yang harus
diperhatikan sehingga ini justru membuka peluang bagi manajemen
untuk melakukan penipuan dan korupsi yang merugikan pemiik dengan
mengatasnamakan kepentingan masyarakat (Coelho et.2003). Bagi mereka,
shareholder theory lebih memberikan pegangan pasti dan jelas tentang
kepada siapa manajemen bertanggung jawab. Dengan demikian ukuran
etika juga lebih mudah ditetapkan dan diacu. Sebaliknya, pendukung
stakeholder theory mengatakan bahwa shareholder theory terlalu
menyederhanakan masalah dengan menganggap produk hukum formal
selalu mampu menutupi lubang-lubang etika yang muncul (Post2003).
Ketidaksempurnaan pasar dan hukum memerlukan pertimbangan yang
jauh lebih luas, sehingga alasan kepastian ukuran etika dianggap tidak
relevan. Di samping itu, kesulitan untuk mengidentifikasi siapa stakeholder
utama dapat dipecahkan dengan membuat batasan bahwa stakeholder
adalah mereka “memiliki peran jelas, kuat maupun lemah dan memiliki
klaim yang berlegitimasi untuk menyatakan bahwa kepentingan turut
dilayani oleh bisnis tersebut” (Kaler 2002). Pada umumnya ada enam pihak
yang dianggap sebagai stakeholder utama, yakni:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Karyawan
Manajemen
Pemilik/pemegang saham
Supplier
Konsumen
Masyarakat lokal
51
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Paradigma Alternatif :
Selain dua teori di atas, ada beberapa paradigma alternatif yang muncul
belakangan dalam memandang hubungan antara bisnis dan lingkungannya
terkait CSR.
Pandangan yang selaras juga dikembangkan Stomer (2003). Menurutnya,
bisnis menerima mandat dari masyarakat luas, termasuk di dalamnya
para pekerja (karyawan), konsumen, pemegang saham, dan masyarakat
sekitar untuk menciptakan kesejahteraan sehingga perusahaan harus
mempertanggungjawabkan mandat itu. Di era globalisasi ini peran dunia
usaha dianggap telah mereduksi peran pemerintah dalam pembangunan
ekonomi, sehingga kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab
bersama, bukan pemerintah semata.
Konsekuensi berkembangnya paham kapitalisme selama ratusan tahun
telah menjadi sebuah kenyataan, yaitu makin besarnya peran pemilik
modal dalam segala aspek kehidupan. Logikanya adalah semakin besar
kemampuan yang dimiliki, semakin besar pula tanggung jawab yang
diminta. Namun bentuk pertanggungjawaban tersebut tetap dalam
koridor keberlanjutan.
Keberlanjutan peningkatan kesejahteraan masyarakat inilah (dan bukannya
kepentingan pemegang saham belaka) yang menjadi sumber legitimasi
bagi pertimbangan ekonomis, legal dan etis dalam mengambil putusan
bisnis.
CSR dan Sistem Manajemen
Hubungan antara sistem manajemen dan CSR dapat digambarkan melalui
tiga prinsip yang saling terkait satu dengan yang lainnya :
1) doing things right the first time (melakukan dengan benar sejak awal),
2) doing the right things (melakukan hal yang benar), dan
3) continous improvement-innovation (perbaikan terus menerus dan
inovasi) (Zwetsoloot 2003).
52
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Sistem manajemen memiliki penekanan terhadap prinsip yang pertama
sebagaimana banyak dibahas dalam literatur manajemen. Prinsip ini
menjadi dasar bagaimana manajemen harus melakukan perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut dalam rangka mencapai tujuan
dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya akan membawa dampak
positif/negatif bagi masyarakat karena hal tersebut di luar konteks prinsip
pertama. CSR, sebaliknya lebih menekankan pada prinsip yang kedua, yaitu :
doing the right things. Artinya, fokus CSR adalah mengkaji apakah hal yang
mau dilakukan dapat dibenarkan dari segi kepentingan masyarakat luas.
CSR diharapkan dapat menjadi filter awal untuk mengidentifikasi alternatif
tindakan yang dapat dijustifikasi secara legal dan etis. Prinsip ketiga,
continous inprovement and innovation, menjadi landasan kedua prinsip
sebelumnya, yaitu agar manajemen senantiasa berusaha memperbaiki
kinerjanya secara terus menerus melalui proses belajar tanpa henti.
Berbagai standarisasi sistem manajemen yang ada, seperti ISO 140001
(untuk pengolalaan lingkungan hidup), OHSAS 18001 (akuntabilitas sosial
khususnya untuk perusahaan multinasional yang beroperasi di negara
berkembang), adalah dasar berpikir pelaksanaan prinsip pertama : doing
things right the first time. Standarisasi tersebut berujung pada sertifikasi
yang dapat digunakan untuk menjadi sumber legitimasi pelaksanaan CSR.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah standarisasi tersebut
berujung pada sertifikasi yang dapat digunakan untuk menjadi sumber
legitimasi pelaksanaan CSR. Namun yang menjadi pertanyaan adalah
apakah standarisasi tersebut sungguh-sungguh mencerminkan aspek
manusiawi dari bisnis, yaitu pengakuan, harga diri, arti seorang manusia dan
hak asasi manusia ? Sistem manajemen dapat terjebak ke aspek prosedural
semata yang belum tentu menyentuh aspek manusiawi secara mendalam
atau bahkan lebih celaka lagi adalah menggunakan sertifikasi tersebut
sebagai legitimasi belaka.
Integrasi CSR dan sistem manajemen dapat dilakukan dengan
mengkombinasikan ketiga prinsip di atas secara sitematis dan konsisten.
Manajemen, pertama-tama, perlu menentukan tujuan perusahaan,
sasaran dan tindakan apa yang dianggap benar dalam arti dapat
53
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat pemberi mandat. Ini berarti
prinsip kedua (doing the right things) yang digunakan sebagai titik awal.
Setelahnya barulah prinsip pertama (doing things right the time) digunakan
dalam siklus perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut dari
alternatif yang dipilih sebelumnya. Sistem manajemen melalui siklus di
atas hanyalah untuk memastikan bahwa prioritas tindakan etis yang dipilh
dapat dijalankan secara efektif dan efisien. Dari akumulasi pengetahuan dan
pengalaman selama beroperasi, manajemen perusahaan, dengan tetap
memelihara komunikasi yang efektif dengan para stakeholders, kemudian
senantiasa melakukan perbaikan dan inovasi secara terus menerus agar
apa yang dilakukan hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari
hari ini.
Standarisasi sistem sebagaimana disebut dalam berbagai contoh di
atas, paling banyak hanya dapat dianggap sebagai salah satu dari sekian
alternatif yang tersedia yang masih perlu diuji relevansinya dan validitasnya
melalui komunikasi dengan stakeholder, bahkan dalam kasus justru perlu
dihindari karena sesungguhnya standarisasi itu sendiri telah berangkat
dari asumsi bahwa ada kebenaran tunggal yang bersifat universal tentang
apa yang baik bagi setiap orang di muka bumi. Mengingat standar adalah
sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya, maka standarisasi tersebut
justru dapat mendorong manajemen perusahaan untuk mengabaikan/
menutupi komunikasi yang tulus dengan komunitas karena menganggap
komunikasi tersebut hanyalah buang-buang waktu dan bahwa sertifikat
sistem manajemen “peduli manusia dan lingkungan” yang diperoleh dapat
dijadikan senjata sumber legitimasi jika timbul masalah di kemudian hari.
Alih-alih mendorong CSR yang sesungguhnya, standarisasi dan sertifikasi
berpotensi menjadi sumber legitimasi yang menempatkan prosedur di
atas substansi. Dialog antar stakeholder adalah lebih berguna daripada
sertifikasi.
Agenda Masa Depan :
Agenda ke depan yang bisa ditawarkan adalah reedukasi masyarakat,
membentuk forum diskusi stakeholder, pembakuan dan penyempurnaan
54
BAB I CSR BERDIMENSI HAM:
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
standar secara berkala untuk pelaksanaan CSR berbasis HAM dan
pembentukan dewan penegak etika tingkat regional, perlu usaha
kolektif dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan jaminan
perlindungan atau rehabilitasi bagi masyarakat yang secara sah terbukti
dirugikan karena malapraktik korporasi, merancang perlindungan bagi
korporasi dari segala bentuk pemerasan atas nama CSR dan skema insentif
bagi korporasi yang melaksanakan CSR secara sungguh-sungguh. Faktanya
peranan pemerintah di negara mana pun sangat turun. Kapitalisme global
adalah keniscayaan bukan lagi opsi di mana pemerintah bisa melindungi
rakyatnya. Indonesia tidak punya lagi pengusaha yang memproduksi
barang-barang produk sehari-hari. Ini juga kesalahan masyarakat Indonesia
sendiri yang tidak mencintai produk dalam negeri. Peranan pemerintah
hanya sebagai fasilitator untuk menuntut harga dirinya kembali. Globalisasi
bisa diminimalisir dengan kode etik. Karena hukum tidak mungkin mengatur
semuanya karena terlalu mahal. Maka kode etik bisa merupakan alternatif
untuk CSR terutama untuk area abu-abu. Perangkat hukum diperlukan
untuk mengatur pelaksanaannya. Bagaimana proses pengambilan
keputusan dan evaluasi ini juga perlu diatur dalam hukum. Mungkin nanti
bukan lagi rapat umum pemegang saham tetapi rapat umum stakeholder.
Ini sudah merupakan urgensi bukan untuk memusuhi modal asing tapi
untuk membumikan, untuk meningkatkan harkat martabat pada nilai-nilai
lokal sebagai modal sosial. Untuk pembentukan forum mungkin Komnas
HAM bisa menjadi membuka jalan tapi selanjutnya bisa dilakukan sendiri.
Sampai konsep itu terbentuk dan menjadi badan mandiri itu lebih
baik. Forum stakeholder itu sebaiknya individual bukan kolektif untuk
menghindari kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Forum ini bisa
untuk merancang CSR
CSR adalah ajakan hati nurani yang berasal dari dialog dan kebersamaan.
55
56
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
BAB II
IMPLEMENTASI HAM
DALAM BISNIS
57
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
58
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
D
Implementasi HAM Dalam Bisnis
STUDI KASUS DI LIMA PERUSAHAAN
Oleh : Tim Peneliti Komnas HAM7
Pendahuluan
Dewasa ini Corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial
perusahaan sudah menjadi wacana yang kian popular dalam dunia bisnis.
Sebagai salah satu acuan penting dalam CSR adalah Social Accountability
(SA 8000). Acuan ini merujuk pada kaidah universal hak asasi manusia,
seperti Konvensi ILO, Konvensi Hak Anak, serta Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) 1948. Karena berlaku secara universal, prinsip-prinsip
Ham dengan demikian juga memadai untuk mejadi parameter bagi praktik
korporasi dan kegiatan dunia usaha secara luas. Di sisi lain sebuah prakarsa
yang dilakukan Sekjen PBB Kofi A. Annan untuk meminta komitmen dunia
bisnis terhadap pelaksanaan The Global Compact Principles merupakan
angin segar bagi pelaksana CSR yang memiliki dimensi HAM.
Di tataran praktis sebagian dunia usaha di Indonesia dewasa ini masih
melihat CSR sebagai suatu program perusahaan yang tidak berkaitan
7 Tim Peneliti Komnas HAM :
- Dr. Agung Nugroho
- George Martin Sirait
- Wahyudi Atmoko
59
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
langsung dengan upaya-upaya penegakan HAM. CSR cenderung
diperlukan sekedar sebagai program kedermawanan (philanthropy)
perusahaan dalam rangka membangun citra perusahaan tersebut. Atau
acapkali CSR diimplementasikan sebagai sesuatu aktivitas “proyek” semata
yang dilakukan sekali dan selesai (dengan batas waktu pelaksanaan),
bukan sebagai open-ended process yang terus menerus peduli pada
penghormatan, perlindungan, dan penegakan HAM di tempat kerja
maupun lingkungan sosial-ekologis di mana korporasi mengoperasikan
aktivitas bisnisnya.
Sementara itu, dari waktu ke waktu pelaksanaan dan pemahaman
mendasar serta komprehensif tentang CSR di beberapa perusahaan
menunjukkan peningkatan dan kemajuan. Pendekatan-pendekatan baru
dalam CSR, termasuk upaya mengintegrasikan beberapa dimensi HAM,
mulai dikembangkan. Walaupun belum berkembang secara optimal
namun kepekaan dalam hal ini mulai terintegrasi dalam nilai, budaya, dan
praktik bisnis beberapa perusahaan.
Guna mendorong penghormatan prinsip-prinsip HAM dalam dunia usaha
di Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan
pendekatan dengan berbagai cara. Sekedar untuk menyebut beberapa
contoh, fungsi-fungsi mediasi, antara lain sebagaimana dalam konflik
hubungan industrial antara manajemen PT. Dirgantara Indonesia dengan
pekerjanya (Pikiran Rakyat, 23/12/2005) pernah dilakukan oleh Komnas.
Lembaga – yang keberadaanya diamanatkan dalam UU nomor 39 tahun
1999 – ini juga pernah meminta agar perusahaan pertambangan P. Freeport
Indonesia yang beroperasi di kabubaten Mimika, Papua untuk meninjau
ulang kontrak karyanya yang berlaku sampai dengan tahun 2041 demi
menghormati hak-hak masyarakat adat setempat (Kompas, 14/04/2006).
Lebih jauh Komnas HAM – sebagai salah satu agen yang secara proaktif
mempromosikan HAM – sesungguhnya melihat korporasi bukan semata
part of the problem atas pelanggaran-pelanggaran HAM tetapi juga bisa
menjadi part of the solution. Salah satu instrumen yang tersedia dalam upaya
mengimplementasikan nilai-nilai HAM dalam aktivitas bisnis adalah CSR.
60
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
Penelitian ini dirancang untuk memotret praktik CSR di lima perusahaan
dan mengidentifikasi sejauh mana prinsip-prinsip HAM sudah termuat,
dipahami dan diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan perusahaan.
Kajian ini bersifat deskriptif dan berupaya untuk memetakan pemahaman
dan dalam taraf tertentu – praktik implementasi prinsip-prinsip HAM dalam
perusahaan melalui serentetan indikator. Selanjutnya, faktor-faktor kunci
keberhasilan penerapan HAM dalam CSR juga dikaji.
Pada gilirannya, penelitian ini bermaksud menampilkan beberapa best
practices, tentu dengan segala kebelum-sempurnaannya, untuk mendorong
kesadaran bahwa implementasi HAM dalam CSR merupakan keniscayaan
dan peran korporasi sebagai part ot the solution dari penghormatan,
perlindungan, dan penegakan HAM di dalam maupun di luar lingkungan
operasi bisnisnya bukanlah suatu kemustahilan.
Parameter Manifestasi HAM dalam Praktik CSR
Dalam Bab I telah banyak diuraikan, bahwa praktik CSR terkait dengan
isu-isu HAM. Studi kasus ini melihat paling tidak ada empat aspek dalam
praktik CSR yang dapat dikaitkan sebagai manifestasi HAM, yaitu: Aspek
Internal, Aspek Eksternal, Akuntabilitas, dan Citizenship. Keempat aspek
ini merujuk pada model hubungan CSR-HAM yang dikembangkan oleh
Welford (2004, 2005), yang pernah juga digunakan untuk survey 240 MNC
di 12 negara dari perwakilan Eropa, Amerika Utara dan Asia. Aspek-aspek
ini tidak berbeda maksudnya dari model yang dikembangkan dari riset
CED (committee for Economics Development), yang mendefinisikan social
responsibility ke dalam 3 lingkaran, yaitu: Lingkaran Dalam, Lingkaran
Tengah, dan Lingkaran Luar.
Setiap aspek CSR tersebut mengandung nilai-nilai pokok HAM yang dapat
diukur dalam pelaksanaannya. Aspek Internal, misalnya, diukur dengan
enam parameter yang berkaitan dengan berbagai isu hak asasi manusia
dalam perusahaan yang dirujuk dari Deklarasi Hak Asasi Manusia, Global
Compact, Konvensi ILO, dan sebagainya. Sedangkan Aspek Eksternal
terdiri dari sembilan parameter, yang berisi prinsip hak asasi yang
berkaitan pihak-pihak berkepentingan di luar perusahaan. Aspek Eksternal
61
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
ini dirumuskan utamanya berdasarkan prinsip yang dianut dalam Global
Compact yang menuntut perusahaan untuk mempromosikan hak asasi
manusia pada ranah di mana perusahaan tersebut mempunyai pengaruh,
seperti: pemerintah, komunitas lokal, pemasok dan sebagainya. Aspek
akuntabilitas terdiri dari dua parameter menyangkut transparansi dan
akuntabilitas yang dipandang penting dalam manajemen lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan. Aspek Citizenship terdiri dari tiga parameter
yang dirujuk dari best practices perusahaan-perusahaan yang melaksanakan
CSR dan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Setiap parameter dari empat aspek tersebut dapat dijelaskan secara
konseptual dalam uraian pada tabel di bawah ini.
Tabel 1: Parameter Implementasi CSR
No
Parameter
Aspek Internal
1.
Non-diskriminatif
Kebijakan tertulis mengenai nondiskriminatif di tempat kerja
2.
Persamaan
Kesempatan
Pernyataan persamaan kesempatan dan
rencana implementasi
3.
Upah Adil
Pernyataan atas jam kerja, maksimum
lembur & struktur upah yang sesuai
4.
Pelatihan
Pengembangan karyawan, pelatihan
internal & pelatihan kekhususan
5.
Organisasi
Hak bebas untuk berorganisasi,
perundingan bersama & prosedur keluhan
6.
Hak Asasi 1
Perlindungan hak asasi di dalam kegiatan
operasi perusahaan
62
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
No
Aspek Eksternal
7.
Standar
Ketenagakerjaan
Kebijakan standar ketenagakerjaan yang
diadopsi oleh pemasok
8.
Tenaga-kerja Anak
9.
Hak Asasi 2
10.
Pemasok
11.
Perlindungan Lokal
kebijakan penggunaan tenaga kerja anak
oleh pemasok
Komitmen pada perlindungan hak asasi di
lingkungan pengaruh perusahaan
Inspeksi fasilitas pemasok dalam aspek
kesehatan, keamanan & lingkungan
Komitmen pada perlindungan &
keterlibatan masyarakat lokal
12.
pihak Terkait 1
Kebijakan menanggapi pihak-pihak terkait
termasuk prosedur untuk penyelesaian
keluhan
13.
Bisnis Bersih
Kebijakan atas bisnis yang bersih & wajar
14.
Indigenous People
15.
Etika
Kebijakan perlindungan masyarakat
pribumi dan hak-haknya
Nilai-nilai etika (termasuk penyuapan &
korupsi)
Akuntabilitas
16.
Pelapor
17.
Pihak Terkait 2
Komitmen pada pelapor atas CSR dan
atau pembangunan berkelanjutan
Kebijakan & prosedur untuk melibatkan
pihak-pihak terkait lebih luas lagi dan
dalamkerangka dialog dua arah
63
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
No
Citizenship
18.
Pihak Ketiga
Dukungan langsung pada program-program
yang terkait dengan pembangunan sosial
pihak ketiga & Pembangunan berkelanjutan
19.
Pendidikan
Program-program pendidikan untuk
meningkatkan corporate citizenship
Parameter di atas jika dikaitkan dengan pokok-pokok nilai HAM mempunyai
banyak kesamaan. Artinya, bahwa secara langsung maupun tidak langsung
implementasi CSR yang diukur dalam parameter seperti diuraikan pada
tabel tersebut mencerminkan pula pokok-pokok nilai HAM.
Rujukan bagi kedua puluh parameter di atas dapat ditelusuri dari salah satu
atau beberapa sumber referensi sebagai berikut :
1. UN Universal Declaration of Human rights.
2. UN Global Compact.
3. UNESCO Project on Technical and Vocational Education (UNEVOC).
4. UNESCO World Heritage Initiative.
5. International Programme on the Eliminitation of Child Labour (IPEC).
6. ILO Convention.
7. ILO International Labor Standards Convention.
8. ILO Working Environment convention.
9. ILO Indigenous and Tribal Populations Convention.
10.Ethical Trading Initiative.
64
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
11.Transparency International.
12.Global Reporting Initiative.
13.Industry Best Practice.
14.AA1000 Standard.
15.Activities of’Leading-Edge’Companies.
Secara garis besar referensi sumber di atas dikaitkan dengan parameter
HAM pada penelitian ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2: Referensi Parameter HAM
No
Parameter
Referensi
Poin Pokok
1.
Non-diskriminatif
UN Universal
Declaration of
Human Rights
1948 & ILO
Convention 100b)
Non-diskrimination
2.
Persamaan
Kesempatan
ILO Convention
100,110 & 111b)
Equal Opportunities
3.
Upah Adil
ILO Convention
100 1, 30 & 47b)
Fair Wage
4.
Pelatihan
UNESCO Project
on Technical
and Vocation
Education
(UNEVOC)c)
Vocation Education
5.
Organisasi
ILO Convention
98b)
Association
65
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
6.
Hak Asasi 1
UN Global
Compactd)
Human Right
7.
Standar
Ketenagakerjaan
ILO International
Labour Standards
Convention 144b)
Labour Standards
8.
Tenaga-kerja Anak
International
Programme on the
Eliminitation of
Child Labour (IPEC)
c)
& ILO Convention
182b)
Child Labour
9.
Hak Asasi 2
UN Global
Compactd)
Human Right
10.
Pemasok
ILO Working
Environment
Convention 148b)
Suppliers
11.
Perlindungan Lokal
UNESCO World
Heritage Initiativef )
Local Protection
12.
Pihak Terkait 1
Industry Best
Practice
Stakeholder
13.
Bisnis Bersih
Ethical Trading
Initiativeg)
Fair Trade
14.
Indigenous People
ILO Indigenous
and Tribal
Population
convention 169b)
Indigenous
15.
Etika
Transparency
Internationalh)
Ethics
16.
pelaporan
Global Reporting
Initiativei)
Reporting
66
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
17.
Pihak Terkait 2
Industry Best
Practice, AA1000
Standardj)
Stakeholder
18.
Pihak Ketiga
Third Parties
19.
Pendidikan
20.
Kampanye
Industry Best
Practice
Industry Best
Practice
Activities of
‘leading-Edge’
Companies
Education
Local Protection
Sumber:
a.www.un.org/Overview/rights.html
b. www.ilo.org/standards
c. www.unesco.org/education
d. www.unglobalcompact.org
e. www.ilo.org/ipec
f. www.unesco.org/culture
g. www.ethicaltrade.org
h. www.transparencey.org
i. www.globalreporting.org
j. www.accountability.org.uk
Permasalahan Potensial Pelaksanaan CSR Berdimensi HAM :
Upaya-upaya dalam menerapkan CSR berdimensi HAM dihadapkan pada
persoalan-persoalan potensial (potential problem) yang akan menjadi
kendalanya, seperti :
1) Paradoks antara ukuran pembangunan ekonomi dan bisnis
dengan upaya pemenuhan parameter HAM :
Tuntuan ekonomi kerap digunakan sebagai alasan untuk mendesain suatu
kebijakan yang pragmatis dan mengabaikan aspek HAM. Sebagai contoh
tingginya angka pengangguran atau ketimpangan antara angkatan kerja
67
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
dan kesempatan kerja menjadi alasan untuk dimungkinkannya praktik
buruh kontrak (outsourcing).8 Sementara bagi buruh, fenomena buruh
kontrak adalah hilangnya keamanan kerja dan masa depan mereka (job
insecurity).9 Sebagai contohnya berkaitan dengan maraknya pro kontra
revisi UU Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003), di mana kalangan pengusaha
menganggap UU tersebut mengekang kegiatan bisnis atau tidak kondusif
bagi iklim investasi yang menginginkan sistem pengaturan tenaga kerja
yang lebih fleksibel (labor market flexibility). Sementara bagi buruh upaya
revisi UU No. 13/2003 berarti akan merampas hak-hak buruh.10
2) Persoalan buruh anak :
Merujuk pada UU RI nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
maupun konvensi tentang hak anak (Convention of the Rights of Child), tidak
diperkenankan mempekerjakan buruh anak (mereka yang berusia di bawah
18 tahun). Namun kenyataannya banyak anak putus sekolah dan bekerja
di sektor formal maupun informal. Keterhimpitan ekonomi yang dihadapi
masyarakat memaksa anak-anak mereka harus bekerja menanggung beban
rumah tangga. Anak-anak harus turut mencari penghasilan, sementara
negara tidak bisa menjamin pendidikan dan kesejahteraan mereka. (UU
8 Data Ketenagakerjaan “Pengangguran”, APINDO 2006 dan Paparan APINDO Mengenai
Revisi UU No. 13/2003 dan Harapan Dunia Usaha, Dialog DPN APINDO dengan UGM,
2006.
9 Merujuk survei yang dilakukan FPBN : Kecenderungan buruh kontrak menerima upah
dan jaminan sosial lebih kecil dibandingkan buruh tetap; Kecenderungan buruh kontrak
tidak mendapatkan fasilitas dan hak-hak normatif dibandingkan dengan buruh tetap
(FPBN, 2005).
10 Dunia usaha merujuk pada rekomendasi Tripartite Summit, Januari 2005 yang
berbunyi: ”Mengkaji kembali berbagai peraturan perundangan khususnya di bidang
ketenagakerjaan yang dirasakan dapat menghalangi penciptaan situasi yang kondusif
bagi pemulihan ekonomi”. Dari sudut pandang pengusaha ada 5 masalah UU No.
13/2003 tentang Ketenagakerjaan: Proses PHK dan penghitungan pesangon, penetapan
upah dan upah minimum, mogok kerja, hubungan kerja & outsourcing dan penggunaan
tenaga kerja asing (Paparan APINDO Mengenai Revisi UU No. 33/2003 dan Harapan
Dunia Usaha, Dialog DPN APINDO dengan UGM, 2006).
68
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
No. 23/2003 Pasal 8 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan
dan jaminan sosial dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial; dan
Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakatnya).
3) Otonomi daerah yang memicu maraknya industri ekstraktif :
Euforia reformasi dan munculnya tuntutan daerah untuk dapat mengelola
sumber daya ekonominya sendiri berdampak pada meningkatnya aktifitas
industri ekstraktif (eksploitasi sumber daya alam) yang menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup sehingga merugikan kehidupan masyarakat
asli (adat).
4) CSR masih banyak dilihat dari perspektif perusahaan :
CSR masih dilihat sebagai aktifitas community development dari
perusahaan semata. Belum masuk dalam perspektif kelompok rentan
(vulnerable groups) akibat dampak yang merugikan dari praktik korporasi.
Kondisi demikian menyebabkan perusahaan cenderung akan memilih
aspek-aspek yang bagi mereka menguntungkan tetapi belum tentu
dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya kelompok rentan. CSR mestinya
harus lebih bottom up.
5) Tanpa adanya dukungan negara CSR akan berjalan sekedar niat
baik perusahaan :
Ketika negara tidak menyiapkan instrumen dan perangkat yang memadai,
serta tidak memberikan insentif apa pun bagi perusahaan-perusahaan yang
berprestasi dalam CSR maupun dalam penerapan aspek HAM, pelaksanaan
CSR hanya mengandalkan niat baik dan aspek kepemimpinan perusahaan.
Padahal pelaksanaan HAM memerlukan suatu pendekatan yang sistematik.
Sehingga hanya perusahaan-perusahaan yang memiliki corporate culture
yang kuat yang dapat melakukannya.
69
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
6) Ketidaksinkronan regulasi dan hukum yang berlaku dengan
nilai-nilai HAM :
Upaya perusahaan untuk memenuhi aspek-aspek HAM dalam kegiatan
bisnisnya sangat dipengaruhi hukum yang berlaku. Ketika ada regulasi atau
hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, akan berdampak
pada kualitas CSR. Sebagai contoh kasus Perda Pelacuran di Kota Tangerang
yang berdampak pada buruh perempuan yang sering menjadi korban
sweeping aparat.
METODE PENELITIAN
Penerapan CSR pada dasarnya bersifat unik untuk setiap perusahaan. Untuk
melihat gambaran detail dari keunikan tersebut mengenai penerapan CSR,
maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi
kasus.
Jumlah kasus pada penelitian ini adalah lima perusahaan yang dianggap
telah sukses menjalankan CSR dan merupakan perusahaan besar dari
perwakilan berbagai industri. Kelima perusahaan tersebut dipilih dari
19 perusahaan yang bersedia menjadi kasus penelitian. Ketersediaan
dokumen dan keterbukaan perusahaan untuk memberikan informasi
dan data mereka menjadi salah satu kriteria dalam penentuan pemilihan
perusahaan.
70
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
Kelima perusahaan tersebut, yakni :
BIDANG
USAHA
NO
NAMA PERUSAHAAN
KEPEMILIKAN
1.
PT ISM Bogasari Flour Mills,
Tbk.
Perusahaan nasional
Manufaktur
tepung terigu
dan bahan
makanan
2.
PT Unilever Industri, Tbk
MNC
Manufaktur
bahan
makanan &
kebutuhan
harian
3.
PT Riau Andalan Pulp and
Paper
Perusahaan nasional
Industri pulp
dan Kertas
4.
PT Kelian Equator Mining –
Rio Tinto
MNC (90% saham
asing)
Eksplorasi
tambang
5.
Gap, Inc
MNC
Sandang/
pakaian
MNC = Multi National Corporation.
Berdasarkan bidang usaha yang berbeda-beda, masing-masing perusahaan
memiliki latar belakang dan corak pelaksanaan CSR yang berbeda pula satu
sama lain. Dengan demikian diharapkan hasil kajian di lima perusahaan ini
dapat memberikan perspektif yang memadai tentang CSR dan aspek HAM
dalam dunia usaha di Indonesia.
1. Teknik Pengumpulan Data & Analisis
Sebagai sebuah kajian awal, kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif,
dengan menggunakan teknik pengumpulan data :
1. Melalui wawancara mendalam (indepth interview) kepada pimpinan
perusahaan atau pihak yang bertanggungjawab/kompeten dalam
pelaksanaan CSR di perusahaan yang dikaji.
71
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
2. Pengumpulan dokumen dan data sekunder
Guna mengidentifikasi faktor sukses kunci implementasi HAM dalam
CSR akan digunakan beberapa panduan pertanyaan, panduan ini
menjadi pegangan peneliti saat melakukan wawancara mendalam.
Pertanyaan atau informasi penting yang perlu digali terbagi menjadi
dua, yaitu : aspek historis kegiatan dan aspek faktor sukses kunci.
A. Aspek Historis Kegiatan
Pada aspek ini, peneliti melihat perkembangan historis praktik CSR sejak
awal dirintis hingga saat ini. Informasi yang dibutuhkan secara historis
adalah :
i. Jenis-jenis kegiatan CSR, baik permanen (berkelanjutan) maupun yang
insidentil;
ii. Sasaran kegiatan;
iii. Besaran dan sumber anggaran;
iv. Sifat kegiatan CSR (swakelola, kerja sama, atau outsourcing – dengan
pihak mana?).
B. Aspek Faktor Sukses Kunci
Keberhasialan pelaksanaan CSR terkait dengan berbagai faktor. Ada lima
faktor kunci yang diduga berpengaruh, yaitu: Kepemimpinan, Rumusan
Kebijakan, Pengembangan Program, Sistem Pelaksanaan, dan Pengukuran
dan Pelaporan. Peneliti perlu melihat bagaimana faktor tersebut menjadi
kunci keberhasilan pelaksanaan CSR. Adakah faktor lain yang juga
berpengaruh?
72
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
Berikut uraian masing-masing faktor kunci tersebut:
i. Kepemimpinan :
• Apakah pemimpin bisnis mamainkan peran penting dalam
menggalakkan CSR dengan menjunjung prinsip-prinsip perusahaan,
nilai-nilai dan tujuan, dan tanggap terhadap harapan berbagai pihak
yang terkait.
• Apakah pemimpin bisnis ikut menggerakkan cara pandang kelompok
internal mereka bahwa jalan hidup ekonomi perusahaan berada dalam
saling ketergantungan dengan keuntungan sosial dan lingkungan
masyarakat di mana mereka beroperasi.
• Dalam bentuk apa peran pemimpin mewujudkan aspek kepemimpinan
CSR ini?
ii. Kebijakan :
• Adakah rumusan pernyataan kebijakan yang melandasi perilaku
perusahaan dan petunjuk untuk proses pembuatan keputusan para
pihak terkait dalam melaksanakan CSR.
• Apakah kebijakan yang dipahami dengan jelas dan disebarluaskan
dapat menghasilkan dukungan besar dan dianggap sebagai bagian tak
terpisahkan dari bisnis.
iii.Pengembangan program :
• Apakah kegiatan/program CSR dirancang dengan mempertimbangkan
harapan-harapan pihak-pihak terkait;
73
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
• Apakah kegiatan tersebut dirancang dengan menggali sendiri atau
mendapatkan masukan langsung dari pihak-pihak terkait (utamanya
masyarakat lokal);
• Bagaimana tingkat CSR dari kegiatan tersebut (filantropi atau lebih
dari itu).
iv.Sistem pelaksanaan :
• Apakah operasi CSR menjadi bagian yang terintegrasi dengan operasi
bisnis;
• Apakah sistem dan prosedur menajemen (SDM, sarana-prasarana,
budgeting, struktur organisasi CSR dalam perusahaan) yang tepat sudah
dipersiapkan untuk melengkapi organisasi sebagai infrastruktur yang
mendukung dan menjalankan agenda CSR perusahaan.
v. Pengukuran & Pelaporan :
• Apakah perusahaan secara terus menerus melakukan sistem
pengukuran atas kinerja CSR;
• Bagaimana sistem pengukurannya (apa saja yang menjadi indikator
kinerja);
• Apakah perusahaan menyampaikan pada pihak-pihak terkait secara
tepat apa yang sedang perusahaan lakukan dan untuk mendukung
bukti sukses dengan ukuran-ukuran yang jelas dan dapat diverivikasi.
Teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis adalah content analysis.
Untuk data sekunder utamanya akan dikumpulkan dari berbagai sumber,
seperti :
a. Program-program kerja – termasuk jenis aktivitas, pendanaan,
sasaran program, dan hasil evaluasi;
74
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
b. Struktur organisasi CSR & perusahaan;
c. Photo atau video; dan
d. Dokumen promosi atau seremoni – seperti newsletter, pamflet,
brosur, sertifikat, dan lain-lain;
e. Profil perusahaan.
Selanjutnya melengkapi informasi eksplorasi penelitian ini mencoba untuk
melakukan kuantifikasi penerapan CSR dengan dua puluh indikator HAM
seperti telah diuraikan di atas. Kuantifikasi dilakukan oleh informan yang
dianggap memahami situasi dan kondisi pelaksanaan CSR di perusahaan.
Skala yang digunakan adalah sebagai berikut dengan nilai 1 sampai dengan 5 :
5 - Ada & Efektif – indikator tersebut telah ditetapkan dan secara efektif
digunakan atau diterapkan.
4 - Ada Tapi Perlu Peningkatan – indikator tersebut telah ditetapkan dan
diterapkan tetapi masih membutuhkan peningkatan lebih lanjut.
3 - Dalam Pengembangan – indikator tersebut sedang diuji-coba dan
diterapkan di area atau bagian operasi tertentu.
2 - Tertarik – indikator tersebut tidak ada tetapi dipertimbangkan sebagai
prioritas.
1 - Tidak Dapat Diterapkan – indikator tersebut tidak signifikan dalam
pelaksanaan program CSR.
1. Penerapan HAM dalam praktik CSR
Salah satu temuan penting dalam penelitian ini adalah adanya indikasi
bahwa perusahaan-perusahaan yang diteliti telah menghormati dan
menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam kegiatan usaha mereka, dengan
75
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
tingkat dan bobot yang bervariasi. Memang,tidak semua perusahaan
menyebut secara eksplisit unsur-unsur HAM tersebut namun dalam
kebijakan dan praktiknya, hal ini terjadi. Sebagian lagi dengan jelas dan
tegas mencantumkan prinsip-prinsip HAM dalam code of business principlenya atau dalam bentuk panduan khusus (Human Rights Guidance).
2. Faktor Pemicu
Dari lima perusahaan yang dikaji, ditemukan bahwa faktor pemicu (trigger)
yang mendorong perusahaan melakukan pembenahan dalam pelaksanaan
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) berawal dari tekanan eksternal,
berupa persaingan bisnis yang makin ketat hingga kritik dan protes dari
pihak luar terhadap praktik bisnis perusahaan tersebut. Setelah dipelajari
lebih mendalam dan direfleksikan, reaksi-reaksi tersebut kemudian menjadi
kesadaran baru untuk membenahi praktik bisnisnya dan meningkatkan
prinsip-prinsip HAM dalam CSR-nya. Untuk beberapa, kesadaran itu bahkan
bertransformasi menjadi nilai dan budaya korporasi (corporate culture).
76
PERUSAHAN
FAKTOR PEMICU PEMBENAHAN CSR
PT ISM Bogasari, Tbk
Euforia reformasi g Kritik dan protes terhadap
keberadaan perusahaan yang dianggap bagian
dari kroni orde baru.
PT Unilever, Tbk
Persaingan pasar yang makin tajam di bisnis
consumer goods.
PT Riau Andalan Pulp and
Paper
Euforia reformasi
PT Kelian Equatorial Mining
Euforia reformasi
Gap, Inc
Kasus sweatshop yang dilakukan para vendor
di berbagai Negara (El Salvador, saipan,
Kamboja, dan lain-lain).
g Kritik dan protes dari
masyarakat adat yang merasa dirugikan
karena hak ulayat tak dihormati
g Kritik dan protes dari
masyarakat adat yang merasa dirugikan
karena kerusakan lingkungan dan hilangnnya
mata pencaharian
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
Sebagai bagian langkah perusahaan untuk membenahi CSR atas respon
terhadap gugatan dan kritikan tajam dari masyarakat atau pressure groups,
ada fenomena perusahaan kemudian membuka diri, mengundang
dan berkolaborasi (bekerjasama) dengan pihak atau lembaga yang
sebelumnya bersuara keras (banyak mengkritik) dirinya untuk “memonitor”
atau melakukan audit sosial terhadap kinerja perusahaan. Ambil contoh,
PT Kelian bekerjasama dengan WALHI, Gap Inc dengan National Labor
Committee, Unilever dengan Oxfam GB-NOVIB Belanda.
3. Implementasi HAM
Dari lima perusahaan yang dikaji ditemukan ada dua kategori isu utama dari
kelompok masyarakat berbeda yang posisinya cukup rentan berhadapan
dengan praktik korporasi, yakni :
Pertama, sektor buruh : kasus sweatshop di industri garmen (buruh anak,
praktik diskriminasi, kelebihan jam kerja yang tak dibayar, upah murah, dll).
Kedua, masyarakat adat (indigenenous people) : Di kegiatan eksplorasi
tambang dan industri pulp dan kertas (pengambil alihan tanah, hak ulayat,
kerusakan lingkungan, dan lain-lain).
Terhadap kasus-kasus tersebut, nampak adanya komitmen perusahaan
di tingkat kebijakan dan program untuk lebih meningkatkan CSR mereka
yang mengikuti prinsip-prinsip universal HAM. Hal tersebut dapat dilihat
dari aspek-aspek sebagai berikut :
• Aspek Internal :
Secara umum kelima perusahaan sudah memasukkan aspek-aspek HAM
dalam mekanisme hubungan kerja atau kebijakan perusahaan, seperti KKB,
peraturan perusahaan, code of business conduct, dan lain-lain.
77
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
• Aspek Eksternal :
Dimensi HAM juga nampak dalam hubungan antara perusahaan dengan
pihak eksternal terkait, baik mitra bisnis (vendor, supplier, distributor)
maupun dengan masyarakat sekitar. GAP memberlakukan Code of
Vendor Conduct yang harus dipatuhi tanpa kecuali oleh para vendornya.
Unilever memberlakukan Business Partner Code dan AQMP (supplier Quality
Management program) sebagai suatu standar CSR bagi para supplier-nya.
PT Kelian mengembangkan mekanisme dialog dan mendukung forumforum warga, seperti LKMTL (Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang
dan Lingkungan).
• Aspek Eksternal – Bisnis yang bersih :
Komitmen terhadap bisnis akan memberikan dampak kualitas CSR yang
semakin baik. GAP memberlakukan zero tolerance terhadap praktik-praktik
pemberian hadiah dan uang. Unilever dalam Code of Business Principlesnya ada pernyataan tentang integritas bisnis yang melarang segala bentuk
penyuapan. PT Kelian mengikuti kebijakan di tingkat holding companynya, yakni adanya whistle blowing program, yakni menjaga semua orang
yang berbicara dijamin kerahasiannya oleh perusahaan sebagai upaya
perusahaan menumbuhkan transparansi dan membongkar praktik-praktik
korupsi dan penyalahgunaan.
• Aspek Akuntabilitas :
Kelima perusahaan telah menunjukan akuntabilitas dalam kegiatan bisnis
mereka, melalui laporan secara periodik tentang kinerja perusahaan,
termasuk CSR-nya kepada publik. Untuk perusahaan MNC ada yang masih
disatukan dengan kegiatan perusahaannya secara global (GAP), ada pula
dalam bentuk laporan tingkat regional – Indonesia (Unilever).
78
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
• Aspek Citizenship :
Kelima perusahaan yang dikaji menunjukan adanya komitmen dan
program-program sosial mereka maupun pembangunan berkelanjutan
secara langsung kepada masyarakat. Hal ini berhubungan langsung dengan
program kedermawanan (philantrophy) yang ada pada setiap perusahaan,
seperti : Program Bogasari Nugraha (Bogasari), Program pendampingan
SMEs dan recycling (Unilever), Program sistem pertanian terpadu, UKM
dan pelatihan kejuruan (RAPP), budi daya ikan dan tanaman, serta program
kesehatan masyarakat (PT Kelian), serta Program perlindungan anak (GAP).
Dari beberapa lessons learned di atas tampak bahwa melalui kebijakan CSR
dan model kepemimpinan tertentu, perusahaan – sebagai entitas dunia
bisnis – bisa mengambil bagian dalam tanggung jawab penerapan HAM
dengan demikian, ia bukan saja sebagai part of the problem, tapi juga bisa
menjadi part of the solution dalam rangka penghormatan, perlindungan
dan penegakan prinsip-prinsip HAM.
79
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
D
Implementasi HAM dalam Praktik Bisnis
Dari Perspektif Pelaku Usaha
Oleh : Franciscus Welirang
Dewasa ini terjadi kesenjangan pertumbuhan penduduk antara negara
maju dan berkembang. Di negara maju tidak terjadipertumbuhan,
sementara di negara berkembang makin pesat. Implikasinya, pada ‘demand’.
Kalau kita mengekspor ke negara maju, persaingannya akan sangat besar
dan banyak retriksi. Sedangkan bagi produk mereka masuk ke Indonesia
begitu mudah. Sehingga di era global ini kita dihadapkan dua isu penting,
yakni : masalah HAM dan lingkungan hidup.
Di Indonesia isu hak kerap bersifat double standard. Contohnya menyangkut
hak berusaha, orang harus mempunyai izin usaha. Artinya untuk
mendapatkan penghasilan saja, hak seseorang diatur. Ketika kita berbicara
mengenai HAM pasti akan berbicara mengenai manusia. Manusia adalah
aset yang paling penting dalam perusahaan.
Hal ini sebetulnya sejak dulu sudah diatur, kalau kita ikuti dari era
1970an, semua peraturan Depnaker terkait dengan isu HAM. Bagaimana
pelaksanaannya oleh perusahaan itu hal lain. Mungkin pelaksanaannya
kurang efektif atau ada banyak hambatan. Tetapi hari ini sudah banyak
yang bergeser. Salah satunya yang sudah berubah dari masa lampau
dalam peraturan perusahaan, misalnya jika ada seorang karyawan menikah
80
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
dengan karyawan lain, maka peraturan perusahaan mengatakan, salah
satunya harus keluar. Nah, ini menyangkut isu HAM, hak atas pekerjaan.
Sekarang kami tidak lagi memberlakukan hal itu.
Ada satu hal lagi yang sampai sekarang menjadi masalah yaitu mengenai
upah minimum. Mengenai hal ini pun kita double standard. Dulu kami,
perusahaan diancam akan masuk penjara, jika tidak memenuhi upah
minimum. Kalau kita mau melaksanakan sesuatu kita harus sama-sama
konsisten. Tapi bagaimana dengan PMDN dan PMA lainnya. Memang
banyak perusahaan PMA yang menaruh komitmen terhadap CSR dan SA
8000. Tetapi banyak mau memenuhi karena alasan ekspor dan tuntutan
dari importir untuk memenuhi SA 8000. Hal seperti ini harus terus banyak
yang menyosialisasikan, terutama dari tingkat atasan perusahaan itu sendiri
yang harus mulai melakukan.
PRINSIP PELAKSANAAN HAM DALAM BISNIS
Agar pelaksanaan HAM itu efektif di perusahaan, ada beberapa hal yang
perlu menjadi pedoman atau prinsip untuk dipenuhi, yakni :
1. Adanya komitmen bersama (manajemen dan serikat pekerja).
2. Ada bagian khusus di HRD tentang HAM (industrial relation).
3. KKB harus terus dievaluasi sesuai tuntutan keadaan.
4. Proses evaluasi dan penyempurnaan transparan dan dialogis.
5. Terbuka terhadap proses audit dari luar.
6. Dialog dengan para stakeholder harus juga dilakukan, termasuk kerja
sama lintas sektoral dan beragam advokasi yang terkait.
Prinsip-prinsip pelaksanaanya adalah harus ada resolusi dan kesepakatan
yang sangat jelas di perusahaan. Jika tak ada, pelaksanaannya tidak akan
jalan. Salah satu masalah yang timbul mengenai kebebasan berorganisasi.
81
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Saat ini dalam perusahaan biasa ada 3 – 4 serikat pekerja. Anda bayangkan
jika ada serikat pekerja sebanyak itu? Akhirnya tidak membicarakan masalah
substansi dan efektifitas kerja, yang ada hanyalah keributan antara serikat
pekerja itu. Jawaban terhadap masalah itu adalah tergantung bagaimana
manajemen perusahaan menanganinya secara arif.
Berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap karyawan,
perusahaan dapat merumuskan skema insentif bagi mereka. Ada skema
insentif perusahaan yang harus dikeluarkan kepada karyawan yang bersifat
cash dan non-cash.
CONTOH KOMPOSISI SKEMA INSENTIF CASH :
NO FIX
82
VARIABLE
INCIDENTAL
SUBSIDI
1
Annual
Base
Salery
10
Overtime
12
Tunjangan
cuti besar
20
Pinjaman
Pendidikan
2
THR
11
Shift
Allowance
13
Sumbangan
kelahiran
21
Pinjaman
mendesak
3
Bonus
14
Sumbangan
pernikahan
22
Pinjaman
Kelahiran
4
Motor
Running
Cost
15
Sumbangan
pemakaman
23
Uang muka
pembelian
rumah
5
Bantuan
Uang
Transport
16
Uang
duka
24
Renovasi
rumah
6
JHT
Jamsostek
17
Sumbangan
bencana
alam
25
Uang muka motor
loan
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
7
Pension
Company
Control
18
Beasiswa
26
Car loan/car
owning
8
Biaya
Operasional
Comp. Car
19
Transport
hari raya
9
PPH 21
CONTOH KOMPOSISI SKEMA INSENTIF NON CASH :
FIX
VARIABLE
INCIDENTAL
27
Rontgen
39
Penghargaan
masa kerja
40
Medical
28
Akses Keluarga
41
Hospitalization
29
Makan di kantin
42
Haji
30
Seragam
43
Kaca mata
31
Hari keluarga
44
Medical check
up
32
Perayaan hari nasional
45
Relokasi
33
HUT perusahaan
46
Training
expense
34
Perayaan keagamaan
35
Lomba olah raga
36
JKK & JKM Jamsostek
37
Bumida
38
Amortisasi car owning/ car
loan
83
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
ISU-ISU HAM DI BISNIS :
Ada berbagai tingkat aktivitas bisnis yang terkait dengan HAM, yakni :
A. DI OPERASI BISNIS :
HAK PEKERJA MENURUT ILO ADA 7 KONVENSI INTI :
1. No. 29 (1930) PEKERJA YANG DIPAKSA.
2. No. 87 (1948) KEBEBASAN UNTUK BERKUMPUL DAN PERLINDUNGAN
HAK UNTUK ORGANISASI.
3. No. 98 (1949) HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERNEGOSIASI SECARA
BERKELOMPOK.
4. No. 100 (1951) KESETARAAN REMUNERASI.
5. No. 105 (1957) PENIADAAN PEMAKSAAN TENAGA KERJA.
6. No. 111 (1958) DISKRIMINASI (TERHADAP PEKERJAAN DAN JABATAN).
7. No. 138 (1973) UMUR MINIMUM.
KONTRAK PEKERJA : HARUS DISOSIALISASI AGAR PEKERJA TAHU AKAN
HAK-HAKNYA.
PENGUNAAN SATPAM : PROSEDUR PENGAMAN HARUS SESUAI HUKUM
TIDAK MAIN HAKIM.
MONITOR, VERIFIKASI DAN PELAPORAN YANG INDEPENDEN.
B. MITRA BISNIS: KEBIJAKAN PERUSAHAAN TENTANG HAM DAN
OPERASIONAL MENCERMINKAN KOMITMEN PERUSAHAAN
AKAN HAM
C. KOMUNITAS SEKITAR: STAKEHOLDER DILIBATKAN, AMDAL
HARUS BAIK
84
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
Manfaat Penerapan Hak Asasi Manusia dalam Praktik Bisnis dan
Masyarakat :
Bagi pengusaha ada 2 manfaat pokok dengan mengadopsi dan
menerapkan HAM dalam praktik bisnis mereka, yakni :
Manfaat Komersial :
• REPUTASI DAN BRAND IMAGE YANG MENINGKAT.
• IZIN OPERASI MENJADI LEBIH TERPERCAYA.
• PERBAIKAN KUALITAS PEREKRUTAN PEGAWAI.
• LOYALITAS PEGAWAI, MOTIVASI UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIFITAS.
• HUBUNGAN ANTARA PEMEGANG KEPENTINGAN DALAM PERUSAHAAN
YANG MEMBAIK.
• RESIKO KEAMANAN DAN
DENGANNYA BERKURANG.
BIAYA-BIAYA
YANG
BERHUBUNGAN
• HUBUNGAN YANG MAKIN BAIK DENGAN MITRA-MITRA BISNIS – SUBKONTRAKTOR DAN PEMASOK.
• MANAJEMEN PENILAIAN RESIKO MEMBAIK.
• KEPERCAYAAN PARA PEMEGANG SAHAM MENGUAT.
• DAYA SAING YANG LEBIH BAIK DIBANDING PERUSAHAAN LAIN YANG
TIDAK MENERAPKAN KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA.
Manfaat Sosial :
• MEMPERKUAT PERATURAN YANG BERLAKU.
• MEMPERKUAT KAPASITAS ORGANISASI KEMASYARAKATAN MELALUI
DIALOG DAN KEMITRAAN.
• MENDORONG PERUSAHAAN-PERUSAHAAN DOMESTIK ATAU TRANSNASIONAL LAIN DALAM SEKTOR ATAU WILAYAH YANG SAMA UNTUK
MENCONTOH.
85
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
• MENINGKATKAN KEPERCAYAAN ANTARA KELOMPOK MASYARAKAT DAN
PERUSAHAAN.
• KESEMPATAN BAGI BERBAGAI KELOMPOK MASYARAKAT UNTUK
MEMPUNYAI PERWAKILAN SECARA ADIL DALAM MENGEMUKAKAN
PANDANGANNYA.
• MEMPERKUAT PERSATUAN SOSIAL.
• MENGURANGI KERESAHAN DAN KONFLIK SOSIAL.
• MEMPERBAIKI KESTABILAN KESEMPATAN KERJA.
• MEMPERBESAR POTENSI BAGI PERBAIKAN SOSIAL DAN EKONOMI.
Kesimpulan :
Dengan Ham yang baik maka:
• Produktifitas akan naik?
• Reputasi perusahaan meningkat?
• Social acceptance meningkat?
• Sustainibility meningkat
Sustainibility dan acceptance dua hal yang berbeda. Sustainibility akan bisa
berlanjaut, tetapi jika anda tidak accepted/diterima oleh lingkungan, maka
anda akan out. Namun dalam pelaksanaannya ini akan menjadi abuse?
86
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
S
Implementasi HAM Dalam Praktik
Bisnis Pandangan Pemangku
Kepentingan
Oleh : Bambang Wirahyoso, Hadi Purnomo, Abdon Nababan
Sektor Pekerja – dari Isu Subversi ke Kriminalisasi :
Sepanjang sejarah hubungan industrial, masyarakat pekerja merupakan
kelompok yang termarjinalisasi dan yang tidak diuntungkan, walaupun
sebenarnya pekerja telah mendapatkan pengakuan dan perlindungan
terhadap prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja. Namun
berdasar fakta di lapangan posisi pekerja tidak diuntungkan secara politik,
sosial dan ekonomi. Bahkan masyarakat pekerja berada dalam kondisi
terancam, tidak menikmati hak-hak dan kebebasan fundamental. Dalam
konflik hubungan industrial kita banyak menemukan pelanggaranpelanggaran normatif yang pada akhirnya memperlihatkan bahwa law
enforcement tidak berjalan. Oleh karena itu posisi pekerja adalah tidak
beruntung, rentan dan termarjinalisasi.
Di Indonesia konflik hubungan industrial banyak terjadi dalam bentuk
aksi unjuk rasa akibat masih adanya pelanggaran hak normatif yang
merupakan hak dasar pekerja, karena lemahnya penegakan hukum. Di satu
sisi perusahaan terus menigkatkan produktivitas dan keuntungan, di sisi
87
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
lain, buruh kesulitan menyekolahkan anaknya, sulit makan dan tidak punya
rumah yang layak.
Persoalan lain, sebagian besar buruh tidak terlindungi hak-haknya karena
tidak termasuk (tidak memiliki serikat buruh). Sebagai contoh buruh di
Surabaya berjumlah sekitar 1,3 juta orang, bekerja pada tiga ribu perusahaan.
Dari jumlah itu hanya 7 persen yang menjadi anggota serikat buruh, yang
hak normatifnya telindungi. Bagaimana dengan sisanya?
Kebebasan berorganisasi sudah diundangkan, tapi buruh kontrak tidak
pernah punya hak berorganisasi. Jika mereka ikut bergabung dengan serikat
buruh maka bisa dipastikan kontraknya akan habis, tidak diperpanjang oleh
perusahaan.
Pengertian HAM dari sudut pekerja adalah hak dasar yang melakat pada diri
manusia secara kodrati, universal dan abadi, meliputi hak hidup, berkeluarga,
mengembangkan diri, keadilan dan kemerdekaan, berkomunikasi, keamanan,
kesejahteraan yang tidak boleh dirampas oleh siapapun. Definisi ini
sebenarnya sudah sangat lengkap. Sehingga pemenuhan salah satu hak
saja tidak menyelesaikan masalah.
Deklarasi ILO yang memberikan ketentuan-ketentuan mengenai
perusahaan multinasional dan kebijakan sosial (1977) telah menetapkan
prinsip-prinsip utama dalam lapangan kerja dan hubungan kerja, pelatihan,
kondisi kehidupan pekerja serta hubungan industrial yang merupakan
perwujudan hak-hak dasar di tempat kerja, termasuk di dalamnya hak
berserikat, perundingan bersama, penghapusan kerja paksa, penghapusan
pekerja anak dan penghapusan diskriminasi di tempat kerja. Pemerintah,
pengusaha dan organisasi pekerja diminta komitmennya untuk mematuhi
prinsip-prinsip dalam deklarasi tersebut secara sukarela.
Bagaimana situasi CSR di Indonesia ? Sebagai pelaksana dari tanggung
jawab sosial perusahaan, perusahaan-perusahaan multinasional semakin
marak membuat code of conduct. Kebanyakan code of conduct dibuat
secara sepihak yang lebih bersifat sebagai alat untuk mempengaruhi
pendapat masyarakat terhadap kinerja perusahaan. Jadi ada atau tidaknya
serikat buruh, perusahaan bisa membuat code of conduct sendiri tidak
88
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
melibatkan serikat pekerja. Sehingga maraknya CSR melalui pembuatan
code of conduct ini menimbulkan kekhawatiran yang nantinya menjadi
sebuah peraturan yang menutup peran pemerintah dalam pengawasan
ketenagakerjaan, karena sudah cukup menyerahkan pelaksanaan code of
conduct kepada perusahaan.
Lalu juga muncul kekhawatiran terhadap lembaga-lembaga yang
menyusun peraturan ini. Perlu ada upaya mengurangi kesenjangan dalam
sebuah perusahaan.
Di Indonesia perusahaan multinasional semakin banyak membuat code
of conduct, sebagai respon mereka untuk mempengaruhi pendapat
masyarakat terhadap kinerja perusahaan.
Pertimbangan lain adalah, meski perusahaan memiliki program CSR
dan code of conduct, pelanggaran terhadap hak normatif buruh masih
terjadi seperti diungkapkan di muka, terutama buruh kontrak, yang tidak
mendapat cuti hamil, dan lain-lain. Apa artinya CSR jika hak normatif saja
tidak dilindungi negara ? Sebagai contoh ada sebuah perusahaan sepatu
multinasional yang giat memberikan penghargaan terhadap pegiat dan
pejuang HAM di seluruh dunia, tetapi membayar buruhnya sangat murah.
Jadi ada standar ganda. Maka CSR tidak lebih dari sebuah kedok korporasi
dalam mengambil keuntungan dengan cara yang lain.
Code of conduct hendaknya dilakukan secara luas, sehingga banyak
lembaga independen yang melakukan monitoring bermunculan.
Sayangnya lembaga monitoring itu tidak melakukan kerja sama yang baik
dengan serikat buruh, sehingga terkesan pelaksanaan code of conduct itu
sebagai lips service dan jawaban terhadap publikasi yang diterbitkan yang
mengkritik kinerja perusahaan.
Kesimpulan :
• Ketika peran negara melemah, adalah tanda tanya besar jika diimbangi
dengan peran korporasi yang semakin kuat, karena wataknya tidak lebih
dari mencari keuntungan.
89
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
• Pelaksanaan HAM dalam praktik bisnis masih bersifat keterpaksaan.
Koreksi yang dilakukan oleh korporasi masih sebatas jawaban atas koreksi
yang muncul, jadi belum menjawab masalah-masalah perburuhan yang
substantif.
• COC sebagai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan masih
sekedar alat propaganda perusahaan saja untuk membangun citra di
masyarakat. Ketika ada monitoring seolah-olah kondisi kerja diperbaiki
padahal selanjutnya kita tidak tahu.
• Sebenarnya jika law enforcement berjalan secara efektif, maka
peraturan standar perburuhan dapat diimplementasikan dengan baik.
Kelemahannya adalah pengawasan tidak efektif sehingga implementasi
kebijakan pemerintah soal perburuhan tidak berjalan. Padahal CSR
sebenarnya adalah pelaksanaan dari standarisasi hak-hak di tempat
kerja.
Hak-hak Masyarakat Adat Versus Bisnis Industri Ekstraktif atau
negara ?
Uraian di bawah ini lebih kepada pengalaman dalam mendampingi
masyarakat adat selama hampir 10 tahun terakhir melalui Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Euforia reformasi dan turunnya
Soeharto memunculkan tensi konflik dan kekerasan terhadap masyarakat
adat kian marak, di mana perangkat represi negara ikut turun. Ini membuat
perusahaan di daerah-daerah panik, sehingga responnya macam-macam,
misalnya memanggil tentara masuk [menjaga usaha mereka] atau
memelihara preman. Bahkan dalam beberapa kasus biaya untuk preman
ini terkadang disebut sebagai community development. Ini terjadi karena
memang konsepnya tidak jelas.
Konflik-konflik tersebut sebenarnya bukan antara masyarakat adat dengan
perusahaan, tapi dengan pemerintah yang memberikan konsensi tanpa
konsultasi. Negara membiarkan situasi ini berkembang, akhirnya masyarakat
adat lalu berhadapan dengan korporasi. Frustasinya masyarakat adat ini
bisa kita lihat dari pernyataan masyarakat yang tercermin dalam Kongres
90
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara I :”Kalau negara tidak mengakui kami,
kami tidak mengakui negara”.
Secara historis pelanggaran hak-hakmasyarakat adat terjadi seiring proses
pembentukan negara, yakni sejak era kerajaan/kesultanan, di mana terjadi
persekongkolan antara kepentingan ekonomi politik pihak asing (pemilik
modal dan para pedagang dari luar) dengan para elit lokal di nusantara. Para
elit kekuasaan kemudian mulai mengembangkan berbagai perlengkapan
politik untuk mengendalikan aspirasi masyarakat adat.
Proses ini terus berlanjut pada era orde baru hingga era otonomi daerah
sekarang ini. Ciri utama pemerintahan rezim Orde Baru sebagai perpaduan
kapitalisme, militerisme dan budaya politik kerajaan yang kemudian
dibungkus dalam politik pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi.
Masyarakat adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini, baik
dari jumlah populasi, yang saat ini diperkirakan antara 50-70 juta orang,
maupun nilai kerugian material dan spiritual atas penerapan politik
pembangunan selama Rezim Orde Baru berkuasa.
Kondisi ini menjadi ironis karena di satu sisi masyarakat adat merupakan
elemen terbesar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia,
namun hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas
adat secara sistematis disingkirkan dari agenda politik nasional. Perlakuan
tidak adil ini bisa dilihat gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian
sepihak terhadap masyarakat adat sebagai “masyarakat terasing”,
“masyarakat primitif” dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan
penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik,
hukum maupun secara sosial dan kultural.
Banyak kebijakan dan produk hukum secara sepihak menetapkan alokasi
dan pengelolaan sumber daya alam, yang merupakan wilayah-wilayah adat,
berada di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Berbagai peraturan
perundang-undangan sektoral, sepertu UU Kehutanan, UU Pertambangan,
UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang, telah menjadi
instrumen untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai
masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif
91
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
dan nepotis kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki segelintir
elit politik dan kroni-kroninya. Sungguh menakjubkan, bahwa kenyataannya
sama UU ini tidak sesuai, atau bahkan bisa juga dikategorikan melanggar
amanat pasal 18 UUD 1945.
Politik sumber daya alam yang sentralistik, represif dan sangat tidak adil
ini, telah menimbulkan konflik kekerasan atas sumber daya alam antara
masyarakat adat dengan penyelenggara negara dan pemilik modal
yang melibatkan aparat keamanan. Konflik vertikal ini akhirnya banyak
menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh penggiat
dan pejuang hak-hak masyarakat adat. Setiap aksi protes dari yang paling
damai sekalipun seperti mengirim surat protes ke pemerintah sampai aksi
pendudukan lahan, pengambilalihan ‘base camp’, penyanderaan alat-alat
berat perusahaan selalu berujung pada tuduhan anti pembangunan dan
kriminalisasi.
Kebijakan ekonomi khususnya dalam alokasi dan pengelolaan sumber daya
alam, yang hanya memihak kepentingan modal ini nyata-nyata telah
berdampak sangat luas terhadap kerusakan alam dan kehancuran ekologis.
Korban pertama dan yang utama dari kehancuran ini adalah masyarakat
adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, di atas berbagai jenis mineral
bahan tambang, mendiami pesisir dan mencari penghidupan di laut.
Kebijakan sektoral yang ekstraktif (kuras cepat sumber daya alam sebanyakbanyaknya, jual murah secepat-cepatnya) tidak memberi kesempatan bagi
kearifan adat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alam sudah tidak
mendapat tempat yang layak dalam usaha produksi, atau bahkan dalam
kurikulum pendidikan formal.
Selain mengambil alih secara langsung sumber daya ekonomi primer,
pemerintah melalui berbagai kebijakan perdagangan hasil bumi secara
sistematis mengendalikan kegiatan ekonomi masyarakat adat. Pemberian
monopoli kepada asosiasi atau perusahaan tertentu dalam perdagangan
komoditas yang diproduksi masyarakat adat, seperti rotan dan sarang
burung walet, pemerintah bertindak sebagai “pelayan” bagi para pemilik
92
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
modal untuk merampas pendapatan yang sudah semestinya diperoleh
masyarakat adat.
Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ini juga
ditopang oleh tatanan politik yang otoriter. Pada masa ini hampir tidak ada
ruang publik di tingkat lokal. Kondisi ini bermuara pada politik penghancuran
sistem pemerintahan adat yang dilakukan secara sistematis dan terus
menerus sepanjang masa pemerintahan rezim ini. Upaya penghancuran ini
secara gambling bisa dilihat dari pemaksaan konsep desa yang seragam di
seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. Sistem desa, dengan segala peringkatnya seperti
LKMD dan RK/RT, secara “konstitusional” menusuk “jantung” masyarakat
adat, yaitu berupa penghancuran atas sistem pemerintahan adat. Akibatnya
kemampuan (energi dan modal sosial) masyarakat adat untuk mengurus
dan mengatur dirinya sendiri secara mandiri menjadi punah.
Negara telah melakukan pelanggaran hak-hak sipil dan politik masyarakat
adat selama lebih dari 20 tahun, termasuk hak asal-usul dan hak-hak
tradisional yang dilindungi oleh UUD 1945. Angin “reformasi” tidak serta
merta diikuti dengan perubahan kebijakan dan hukum yang berarti dalam
pengelolaan sumber daya alam.
Otonomi Daerah merupakan tantangan paling nyata dan sangat kritis bagi
masyarakat adat dalam mewujudkan kedaulatannya atas tanah dan sumber
daya alam lainnya. Otonomi daerah baru mengatur sistem pemerintahan
(governance system), belum cukup mengatur sistem pengurusan (governance
system), sehingga belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang
hubungan rakyat dengan pemerintah. Pemerintah daerah berlombalomba mengeluarkan Perda untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD) sebanyak-banyaknya.
Respon dan konflik-konflik tersebut di atas kemudian melahirkan program
community development (CD) atau perumusan code of conduct perusahaan.
Biasanya bentuknya adalah bantuan uang ke organisasi-organisasi pemuda
untuk menyelenggarakan acara masyarakat atau membangun tempat
93
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
ibadah. Kadang mereka memberikan dana ke organisasi preman sebagai
dana CD sebagai bagian dari CSR. Padahal kalau masyarakat adat berunjuk
rasa yang dihadap-hadapkan mereka-mereka ini.
Praktik community development yang lain misalnya di Riau Andalan Pulp
and Paper, mereka ini sebenarnya punya program CD yang bagus, mulai
dari pelatihan sampai program Hutan Tanaman Rakyat. Namun program
mereka ini tidak memiliki relevansi dengan konflik-konflik tenurial yang
sebenarnya jadi inti permasalahan. Jadi CD yang dibangun hanya untuk
meredam sementara konflik-konflik yang muncul. Lalu muncul konflik
yang lain lagi karena dipendam. Ada masalah dilematis, perusahaan
menghadapi ketidakpastian aksi-aksi lokal itu, sementara mereka tidak
bisa mengandalkan pemerintah untuk adanya kepastian usaha. Sehingga
pada gilirannya perusahaan harus mengeluarkan uang yang banyak
untuk meredam konflik itu.
Dengan fenomena itu CSR (corporate social responsibility) hanya bersifat
sementara, bukan upaya yang berlangsung lama. Kalau CSR berlangsung
lama maka korporasi malah mengambilalih kewajiban negara dalam
perlindungan hak. Untuk sementara CSR bisa diterima karena ada
ketidakpastian hukum ketidakpastian politik dan macam-macam.
Jadi tidak bisa disebut bahwa CSR-lah yang bisa melindungi hak
masyarakat adat. Ini tidak mungkin, karena pendekatan masyarakat adat
adalah rights based development, padahal CSR hanya memenuhi hak-hak
kesejahteraan, cukup makan, cukup minum dan lain-lain. Sementara hak
masyarakat adat adalah juga meliputi hak asal-usul, hak yang melekat
sebelum negara ada.
Masyarakat adat dalam konteks itu memang menerima CD namun bukan
karena pilihan tapi karena terpaksa, sebab kalau tidak menerima mau apa?
Skema-skema yang ada juga tidak tersedia. Mau membentuk community
logging atau hutan berbasis adat, izin Departemen Kehutanan tidak ada,
karena kayu diperuntukkan bagi korporasi. Masyarakat adat itu cukup
untuk hasil hutan non-kayu. Community Mining tidak ada aturannya.
94
BAB II IMPLEMENTASI HAM
Dalam Bisnis
Hukum kita itu melayani korporasi, khususnya strategic resources yaitu
kayu, ikan, dan tambang itu untuk korporasi, bukan untuk rakyat.
Jadi CSR hanyalah pemadam kebakaran. Kalau pemerintah tidak
mengambil alih tanggung jawab, maka CSR hanya jadi sementara. Boleh
saja negara menggunakan CSR sebagai salah satu alat untuk memenuhi
hak, namun jangan satu-satunya.
95
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
96
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
BAB III
Masa Depan CSR
Berdimensi HAM
Berbagai Catatan
Rekomendasi
97
98
BAB III MASA DEPAN CSR BERDEMINSI HAM
Berbagai Catatan Rekomendasi
Agenda yang Diperlukan Untuk
Memperkuat Gerakan Ini
Ada berbagai faktor yang dianggap sangat menentukan masa depan
praktik CSR yang berdimensi HAM, yakni meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
Kepastian hukum.
Peran Komnas HAM.
Implementasi HAM dalam Rantai Nilai (Value Chain).
Global Compact Principles untuk UKM.
Forum HAM-Bisnis.
1. Kepastian hukum
Kerancuan dan ketidakkonsistenan hukum bukan hal yang baru dirasakan
bagi kalangan dunia usaha.
Pada dasarnya perusahaan tidak keberatan terhadap pelaksanaan prinsipprinsip HAM dalam bisnis. Banyak perusahaan mulai mengadopsi HAM
atau mengimplementasikan SA 8000 dalam panduan kebijakan bisnis
mereka. Perusahaan juga mendukung pelaksanaan kovenan-kovenan
internasional, seperti kovenan Ekosob dan Sipol yang baru diratifikasi
Indonesia tahun 2005 lalu. Akan tetapi perlu suatu kepastian hukum.
Kepastian hukum akan berkorelasi positif dengan perbaikan kualitas praktik
CSR dan HAM di perusahaan. Masih adanya tumpang tindih regulasi yang
dibuat pemerintah berdampak negatif terhadap pelaksanaan CSR. Sebuah
perusahaan memberlakukan code of conduct anti diskriminasi terhadap
buruh perempuan, tetapi di tangerang diberlakukan Perda Anti Pelacuran
yang implementasinya adalah sweeping (penangkapan) terhadap pekerja
perempuan yang pulang malam hari. Akibatnya pekerja perempuan tidak
berani kerja lembur.
99
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Tumpang tindih dan ketidakpastian hukum dapat dilihat dalam kasus-kasus
di sektor pertambangan. Kegiatan eksplorasi itu sendiri berkaitan dengan
perundang-undangan pertambangan dan sumber daya alam. Di sisi lain ada
UU lingkungan hidup, UU HAM, UU pokok agraria dan hak ulayat. Di sektor
industri manufaktur ketidakpastian hukum menyebabkan penyelesaian
sengketa (dispute settlement) antara perusahaan dengan masyarakat sulit
mengacu kepada proses hukum. Oleh karena itu ada sebuah agenda besar
untuk me-review dan mengkaji semua produk perundang-undangan,
seberapa jauh mengacu atau bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM,
termasuk kovenan-kovenan yang telah diratifikasi dan menjadi bagian
kekuatan hukum nasional.
2. Peran Komnas HAM
Berkaitan dengan kebutuhan adanya sosialisasi tentang HAM kepada pihak
eksternal perusahaan (stakeholder), diharapkan prakarsa Komnas HAM
untuk melakukan edukasi tentang HAM secara luas. Diharapkan inisiatif
yang lebih gencar lagi dari Komnas HAM dalam memediasi masalahmasalah HAM, seperti persoalan perburuhan.
Selain itu Komnas HAM dapat membantu penerapan lebih jauh melalui
kajian secara lebih mendalam dan kegiatan pelatihan yang dibutuhkan
untuk membantu perusahaan menyempurnakan barbagai kebijakan dan
strategi bisnis mereka dalam memenuhi aspek-aspek HAM.
Komnas HAM dapat memfasilitasi adanya suatu kajian dan analisis yang
lebih mendalam dalam mengukur dampak sosial dari kinerja perusahaan
dan kegiatan CSR bagi stakeholder-nya (social performance indicators)
seberapa jauh mencerminkan komitmen terhadap HAM. Berbagai instansi
dan departemen telah memiliki pedoman berkaitan dengan perlindungan
HAM, misalnya peraturan Depnaker berkenaan dengan perlindungan hakhak pekerja, atau hak terhadap lingkungan di KLH. Diperlukan penegakan
dalam pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut. Untuk kebutuhan yang
menyeluruh dan untuk Komnas HAM dapat memfasilitasi human rights
guideline yang spesifik untuk Indonesia.
100
BAB III MASA DEPAN CSR BERDEMINSI HAM
Berbagai Catatan Rekomendasi
3. Implementasi HAM dalam Rantai Nilai (Value Chain)
Untuk memahami secara utuh bagaimana nilai-nilai HAM tersebut telah
berfungsi dengan baik, perlu dilakukan kajian untuk merancang rantai nilai
HAM (Human Rights Value Chain) dalam perspektif CSR. Kajian ini dilakukan
dengan kegiatan sebagai berikut :
• Mengidentifikasi parameter HAM dalam mata rantai pasokan perusahaan
(supply chain).
• Melihat bagaimana rantai nilai HAM tersebut berhasil diterapkan.
• Mengembangkan teknik assessment rantai nilai HAM.
4. Global Compct Principles untuk UKM
Global compct principles yang dikampenyakan oleh Sesjen PBB Kofi A.
Annan telah banyak diadopsi oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
Pertanyaannya adalah, jika prinsip-prinsip tersebut bisa diadopsi oleh
korporasi-korporasi besar, apakah hal yang sama berlaku juga bagi
perusahaan-perusahaan skala kecil dan menengah (UKM)? Guna
memfungsikan instrumen ini sebagai pintu masuk dalam mengintroduksi
HAM dan UKM perlu dilakukan kajian tersendiri yang berfokus pada mana
yang mungkin diadopsi, mana yang tidak. Jika masih tidak bisa, apa saja
kendalanya serta supporting system apa yang diperlukan untuk dapat
mengefektifkan instrumen global ini.
5. Forum HAM-Bisnis
Pada tingkat yang lebih strategis, untuk menjamin kesinambungan
prakarsa-prakarsa penerapan HAM dalam dunia bisnis perlu adanya
sebuah forum atau komite yang terdiri dari unsur-unsur Komnas HAM,
pemerhati/pembela HAM, para pelaku usaha, akademisi, dan stakeholder
lainnya untuk mengawal dan mendorong praktis bisnis yang berdimensi
HAM.
101
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
K
Aspek Hukum Perlu Disentuh Secara
Aktif oleh Pemerintah
Catatan untuk Departemen Hukum & HAM
Oleh : Benny K. Harman
Kejahatan korporasi dan mal praktik bisnis kian menjadi momok,
sementara hukum yang berlaku agaknya tidak menyentuh persoalan ini
secara jelas.
Kasus Lumpur Lapindo adalah sebuah kasus yang sangat telanjang
bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan dalam merespon masalah itu.
Persoalan kompensasi dan ganti rugi masih dianggap mengurangi untung
korporasi. Bahkan persoalan bergeser dengan mengkambinghitamkan
adanya kevakuman UU yang tidak memasukkan CSR.
UU memang menjadi titik penting untuk memasukan isu CSR dan
bagaimana mengaturnya, terutama untuk memasukkan tanggung jawab
korporasi dalam melaksanakan prinsip HAM. Sekarang ini hanya ada regulasi
yang bersifat sektoral. Belum ada UU yang bersifat menyeluruh, terutama
yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip CSR oleh korporasi. Tidak hanya
regulasi tapi juga prosedural dan kepatuhan substantif korporasi terhadap
pelaksanaan prinsip-prinsip CSR.
102
BAB III MASA DEPAN CSR BERDEMINSI HAM
Berbagai Catatan Rekomendasi
Juga menakutkan jika instrumen CSR dianggap untuk mengatur money
laundry. Pengunaannya makin tidak jelas. Charity juga tidak jelas,
bagaimana pengaturannya?
Negara sebenarnya dalam kaitan dengan mewujudkan tanggung
jawabnya selalu ada kaitan dengan HAM. Oleh karena itu tugas pemerintah
khususnya Depkum dan HAM tidak cukup hanya RAN HAM, tetapi juga
komitmen penegakan HAM berkaitan dengan CSR.
Apa yang dilakukan pemerintah dalam menegakkan HAM termasuk
kaitannya dengan perusahaan? Apakah pemerintah melihat kasus
Lapindo sebagai pelanggaran HAM ? Bagaimana dengan rehabilitasi, dan
kompensasi?
Yang berkaitan dengan aspek fungsi yang menunjang penegakan HAM
yang berkaitan dengan budget sudah jelas di Komisi III DPR tapi menjadi
tidak jelas ketika masuk di Dirjen HAM karena tidak mampu meyelesaikan
persoalan HAM di lapangan.
Seringkali korporasi TNC/MNC tidak tertangani. Begitu juga dengan
korporasi di provinsi miskin. Korporasi pembuat jalan provinsi yang
membuat jalan tidak sesuai bestijk bisa dianggap sebagai pelanggaran
HAM. Bagaimana memfasilitasi kelompok-kelompok dalam masyarakat
yang bisa menjadi mesin penggerak untuk mendorong tanggung jawab
korporasi dalam pelaksanaan penegakkan HAM. Pada gilirannya CSR bisa
menjadi gerakan sosial yang sistemik dan publik, tidak sekedar karikatif agar
tidak mudah disalahgunakan. CSR harus dimanfaatkan untuk kepentingan
publik.
103
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
K
Mempromosikan CSR
Berperspektif HAM Melalui
Instrumen Fiskal
Oleh : Prof. Mardiasmo (Depkeu RI)
Komitmen pemerintah untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi
tidak harus menjadi kontradiksi dengan upaya-upaya penegakan HAM.
Artinya proses pembangunan dan perkembangan dunia sudah mestinya
merepresentasikan situasi HAM yang lebih baik, bukan sebaliknya. Insentif
perlu diberikan terhadap upaya-upaya stakeholder dalam mempromosikan
HAM.
Pemerintah memberikan komitmen terhadap HAM, utamanya
menyangkut langkah-langkah dalam menanggulangi kemiskinan. Pada
2007 pemerintah memiliki rencana untuk : ”Meningkatkan kesempatan
kerja dan menanggulangi kemiskinan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat”. Ini menyangkut hak-hak dasar masyarakat, hak asasi
manusia, sehingga prioritas kabinet Indonesia Bersatu adalah :
1. Penanggulangan kemiskinan.
2. Peningkatan kesempatan kerja, investasi, dan ekspor.
104
BAB III MASA DEPAN CSR BERDEMINSI HAM
Berbagai Catatan Rekomendasi
3. Revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan, dan perdesaan.
4. Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan.
5. Penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM), pemberantasan
korupsi, dan reformasi birokrasi.
6. Penguatan kemampuan pertahanan, pemantapan keamanan dan
ketertiban, serta penyelesaian konflik.
7. Rehabilitasi dan rekonstruksi NAD, Nias (Sumut), DIY, Jateng, serta
mitigasi dan penanggulangan bencana.
8. Percepatan pembangunan infrastruktur.
9. Pembangunan daerah perbatasann dan terisolir.
Sementara itu kebijakan fiskal tahun 2007 akan tetap dilaksanakan dalam 2
koridor utama yaitu:
• Konsolidasi fiskal melalui pengendalian defisit anggaran pada tingkat
yang tepat untuk menjaga keseimbangan antara penciptaan ruang
bagi kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan
kerja, namun masih dalam batas sumber pendanaan yang aman dan
berkelanjutan.
• Merumuskan strategi pembiayaan anggaran agar terjadi penurunan
beban dan resiko utang pemerintah.
Ada beberapa perubahan dalam kebijakan pemerintah yang diharapkan
dapat membantu peningkatan kesejahteraan sosial dan pemenuhan HAM.
Dalam hal pajak, beberapa kebijakan telah diambil seperti perubahan RUU
KUP dan RUU PPh.
Indikator Kinerja Sosial
Sisi lain dari CSR dapat ditafsirkan sebagai upaya pembaharuan bisnis,
ketika kinerja bisnis terfokus hanya kepada kepentingan para pemegang
saham, serta semakin “tercabut” dari kepedulian terhadap kesejahteraan
masyarakat. Adanya kebutuhan untuk membangun kohesi sosial dengan
105
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
masyarakat, penerapan CSR bukan sebagai program khusus tersendiri,
tetapi merupakan suatu konsep kebijakan dan strategi perusahaan secara
utuh dalam bisnis perusahaan.
Belajar dari kegagalan-kegagalan pembangunan dalam memperbaiki
kualitas hidup masyarakat, CSR menjadi media bagaimana korporasi
berkontribusi dalam pembangunan, bagaimana praktik korporasi ikut
mempengaruhi kualitas hasil-hasil pembangunan.
Lebih jauh lagi, sejalan dengan spirit membangun kohesi sosial, agenda
CSR mesti diarahkan untuk memperkuat aspek-aspek demokrasi ekonomi,
sosial dan politik. Menciptakan dan memperluas kesempatan partisipasi
masyarakat atau stakeholders dalam pengambilan keputusan yang penting
bagi nasib mereka yang bersifat inklusif dan lintas seksi (cross sectional
interest). Dengan CSR korporasi menegaskan diri sebagai sistem yang
terbuka dan mau melakukan cross cutting dengan berbagai kepentingan
elemen-elemen masyarakat.
Kepastian hukum menjadi persyaratan utama. Adanya produk-produk
hukum formal maupun institusi pendukung HAM tidak dapat memberikan
jaminan terpenuhinya HAM, karena baik negara maupun pasar bisa samasama gagal.
Berkenaan dengan maraknya berbagai bentuk standarisasi dalam bisnis
yang memiliki perspektif HAM seperti AA1000, SA8000, dll dapat menjadi
acuan bagi korporasi dalam memenuhi aspek-aspek HAM. Namun
dengan memenuhi standar-standar tersebut bukan berarti persoalan
sudah selesai. Perusahaan bisa terjebak hanya melihat agenda tesebut
sebagai aspek prosedural semata.
Meski saat ini kian banyak perusahaan yang mengadopsi HAM dalam Code
of Conduct (COC) mereka, kalangan stakeholders masih sangsi terhadap
keseriusan perusahaan. Stakeholders merasa COC hanyalah sekedar siasat
korporasi untuk mempengaruhi opini publik. Hal ini lantaran COC hanya
dirumuskan secara sepihak oleh perusahaan.
106
BAB III MASA DEPAN CSR BERDEMINSI HAM
Berbagai Catatan Rekomendasi
Landasan utama CSR mesti diletakkan pada dialog dan kebersamaan
antara stakeholders. Oleh karena itu partisipasi masyarakat merupakan
prasyarat penting dalam membangun kualitas CSR yang baik. Yakni
partisipasi publik yang dapat menciptakan sharing sumber daya ekonomi
yang lebih adil. Hal ini memang bukan soal mudah. Diperlukan dialog yang
terus menerus.
Indikator kinerja sosial agaknya menjadi penting dirumuskan oleh
perusahaan untuk memanifestasikan komitmen dan tanggung jawab
mereka terhadap lingkungan masyarakat. Indikator kinerja sosial secara
umum memasukkan aspek-aspek pertanyaan: Seberapa jauh kegiatan
bisnis memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya orang miskin dan
menempatkan posisi stakeholders sebagai aktor penting kegiatan bisnis
karena mereka dimungkinkan ikut serta.
Kinerja sosial dapat dijelaskan dalam empat dimensi pokok :
1.
2.
3.
4.
Menjangkau kelompok miskin dan mereka yang tersisih.
Penyesuain produk dan layanan kepada pelanggan target.
Pembenahan terhadap pelanggan sosial dan modal politik.
Tanggung jawab sosial perusahaan.
Enam Pertanyaan Kunci :
1) Apakah tujuan dan sasaran kinerja sosial perusahaan dan bagaimana
rencana perusahaan untuk mencapainya
2) Siapakah klien dan yang menggunakan produk dan layanan perusahaan?
Siapakah yang dikecualikan?
3) Mengapa dan kapan customer/klien meninggalkan produk dan layanan
perusahaan?
4) Apakah dampak program perusahaan bagi customer dan klien?
107
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM
Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
5) Bagaimana perusahaan mengunakan informasi tentang kinerja sosial
untuk membenahi produk dan layanan perusahaan?
6) Bagaimana perusahaan menjaga dan membenahi kualitas dari sistem
yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut?
Community development (CD) menjadi media yang menjembatani
perusahaan dengan stakeholders. Oleh karena itu CD harus tetap
dipertahankan sebagai media belajar bersama antara korporasi dan
masyarakat, serta menjadi bagian dari proses transformasi. Jangan sampai
atas nama “bendera CSR”, peran CD direduksi hanya sekedar program
“sedekah” dari perusahaan kepada masyarakat atau menjadi katup
penyelamat ketika aksi protes masyarakat marak.
108
LAMPIRAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN :
THE PRINCIPLES OF THE GLOBAL COMPACT
Human Rights
Principle1 : Business should support and respect the protection of internationally proclaimed human rights;and
Principle 2 : Make sure that they are not complicit in human rights abuses.
Labour
Principle 3 : Businesses should uphold the freedom of association and the effective recognition of the right to collective bargaining;
Principle 4 : The elimination of all forms of forced and compulsory labour;
Principle 5 : The effective abolition od child labour;and
Principle 6 : The elimination of discrimination in respect of employment and occupation.
Environment
Principle 7 : Businesses should support a precautionary approach to environmental challenges;
Principle 8 : Undertake initiative to promote greater environmental responsibility;and
Principle 9: Encourage the development and diffusion of environmentally friendly technologies.
Anti-Corruption
Principle 10 : Business should work against all froms of corruption, including extortion and bribery
109
Download