1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan alam merupakan agen penting dalam mengurangi perubahan iklim global. Perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, CFC) ke lapisan atmosfir merupakan salah satu isu penting yang mendapat sorotan dunia saat ini. Diantara beberapa gas rumah kaca tersebut, CO2 memiliki jumlah yang paling berlimpah. Ekosistem hutan memainkan peranan penting dalam mengurangi perubahan iklim. Peran sektor kehutanan, khususnya hutan tropis dalam menekan efek kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (CO2) adalah melalui penyerapan karbon dalam bentuk biomassa. Biomassa vegetasi hutan berisi cadangan karbon yang sangat besar yang dapat menjaga dan memberikan keseimbangan siklus karbon di muka bumi (Elias 2002). Selain berfungsi sebagai penyerap karbon, hutan juga sebagai sumber emisi karbon melalui proses respirasi. Indonesia merupakan Negara yang memiliki hutan yang sangat luas sehingga Indonesia dapat berperan penting dalam usaha menurunkan emisi CO2 melalui penyerapan dan penyimpanan karbon di dalam hutan (carbon sinks). Hal ini dapat terjadi jika pengelolaan hutan dilakukan secara lestari, reboisasi serta pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu tipe hutan yang memiliki potensi dalam penyerapan dan penyimpanan karbon ialah hutan rawa gambut. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP 2008). Lahan gambut merupakan lahan yang memiliki tanah yang kaya akan bahan organik yang terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh dan miskin hara, sehingga pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Lahan gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena simpanan karbon dan daya simpan airnya yang sangat tinggi. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas 2 rumah kaca di atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun setara dengan penambatan 0-5.4 tCO2/ha/tahun (Agus 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2. Peningkatan gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, CFC) di atmosfer sudah menimbulkan dampak lingkungan yang diakibatkan naiknya panas bumi sehingga kadar CO2 dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang disebabkan dari sebagian besar aktivitas manusia. Kesepakatan internasional dalam Kyoto Protokol tahun 1997 yang menghasilkan Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih dan perdagangan karbon yang membantu negara industri untuk memenuhi target penurunan emisi GRK secara kolektif sebesar 5.2% selama periode 2008-2012 dari tingkat emisi tahun 1990 dengan pengukuran kandungan karbon yang diserap, reforestasi, dan penghijauan lahan kritis dalam upaya untuk mencegah peningkatan suhu bumi (Global Warming) yang dapat mengakibatkan perubahan iklim global, serta membantu negara-negara berkembang dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sesuai hasil penelitian IPCC bahwa konsentrasi GRK di atmosfer sebelum era industri sekitar 275 ppm, dan pada tahun 1990 konsentrasi tersebut sudah mencapai 350 ppm (Kementerian Lingkungan Hidup 2001) Karbon yang terdapat di hutan tersimpan di atas dan bawah permukaan tanah. Karbon di atas permukaan tanah disimpan dalam tegakan berdiri, tumbuhan bawah, serasah, dan tegakan yang telah mati. Sedangkan karbon di bawah permukaan tanah tersimpan dalam akar, tanah dan biota tanah. Sumber karbon lain yang cukup besar di hutan produksi adalah bahan organik mati (dead organic matter) termasuk di dalamnya serasah dan nekromasa yang memiliki tingkat dekomposisi yang berbeda-beda. Walaupun dengan penerapan pembalakan berdampak rendah (RIL), nekromasa di hutan bekas tebangan di kawasan IUPHH tetap lebih besar 50% dari pada di hutan primer (Palace et al 2007). Dekomposisi dari nekromasa yang cukup besar tersebut juga menghasilkan emisi karbon. Karena itu nekromasa di hutan produksi merupakan salah satu sumber karbon yang penting untuk diukur. Terlebih jika areal tersebut 3 juga memiliki tingkat kerawanan terhadap bahaya kebakaran, yang menjadikan nekromasa menjadi sumber bahan bakar dan berpotensi sebagai sumber emisi. Perbedaan sifat fisik dan lingkungan tempat tumbuh menyebabkan kadar karbon yang terkandung di setiap lokasi dan jenis vegetasi berbeda. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang potensi karbon tersimpan di hutan gambut pada beberapa kondisi hutan untuk mengetahui potensi cadangan karbon bahan organik mati berdasarkan tingkat dekomposisinya. 1.2 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menduga besarnya biomassa dan potensi karbon bahan organik mati (nekromasa pohon dan serasah) di berbagai kondisi hutan gambut yaitu primary forest, logged over area/LOA, secondary forest, dan degraded forest berdasarkan tingkat dekomposisi tidak lapuk, setengah lapuk, dan lapuk untuk nekromasa serta serasah kasar dan halus untuk serasah. 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi bagi peneliti dan instansi terkait mengenai cadangan karbon tersimpan pada bahan organik mati yaitu nekromasa pohon dan serasah berdasarkan tingkat dekomposisi pada berbagai kondisi hutan yang berbeda yaitu primary forest, logged over area/LOA, secondary forest, dan degraded forest.