Peranan mangrove dalam mitigasi perubahan iklim Author : Hery Purnobasuki, Drs., M.Si., Ph.D. Abstract : Hery Purnobasuki Dept. Biologi FST Universitas Airlangga Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa mangrove memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. Hutan mangrove mempunyai peranan kunci dalam strategi mitigasi perubahan iklim. Masalahnya, mangrove terus mengalami kerusakan dengan cepat di sepanjang garis pantai, sejalan dengan persoalan emisi gas rumah kaca. Para ahli dari Center for International Forestry Research (Cifor) dan USDA Forest Service menekankan perlunya hutan mangrove dilindungi sebagai bagian dari upaya global dalam melawan perubahan iklim. Menurut peneliti senior Cifor bahwa kerusakan mangrove saat ini sudah pada tingkat yang menghawatirkan. Hal ini harus segera ditangani secara serius dan harus dihentikan. Bisa kita lihat tingkat keparahan dari kerusakan hutan ini, pada 15 -20 tahun lalu, luas hutan mangrove Indonesia masih sekitar 8 juta hektar. Saat ini diperkirakan tinggal 2,5 juta hektar. Sungguh luar biasa kerusakan ini. Seakan kita tidak peduli lagi terhadap kenyataan ini, walaupun bahaya akibat hal ini terus mengancam. Untuk lebih mengenal dan menyadari peranan penting mangrove maka kita dapat melihat fungsi mereka sebagai individu tanaman dan lebih jauh lagi menjadi suatu ekosistem yang unik di daerah garis perbatasan darat dan lautan. Terkait dengan hal ini penulis mencoba untuk menghubungkan dengan fenomena saat ini yang terkait dengan perubahan-perubahan iklim yang tidak menentu di permukaan bumi ini. Apakah mangrove memang benar mempunyai peranan dalam mitigasi perubahan iklim? Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kebanyakan hutan tropis, ternyata hutan mangrove memiliki kemampuan menyimpan karbon lebih banyak. Karbon lebih banyak tersimpan di bawah hutan bakau daripada di atas permukaan tanah dan air. Hasil penelitian para ahli di Cifor menunjukkan bahwa penyimpanan karbon di mangrove di sepanjang kawasan pesisir wilayah Indo-Pacific. Meski hanya memiliki luas 0,7% dari luasan hutan, akan tetapi mangrove dapat menyimpan sekitar 10% dari semua emisi. Sebagian besar karbon disimpan di dalam tanah di bawah hutan mangrove. Di hutan mangrove yang dikategorikan sebagai ekosistem lahan basah, penyimpanan karbon mencapai 800-1.200 ton per hektar. Pelepasan emisi ke udara pada hutan mangrove lebih kecil daripada hutan di daratan, hal ini karena pembusukan serasah tanaman aquatic tidak melepaskan karbon ke udara. Adapun tanaman hutan tropis yang mati melepaskan sekitar 50 persen karbonnya ke udara. Pelepasan emisi yang berlebihan dari hasil aktivitas metabolisme organism atau hasil pembusukan ke udara bebas merupakan bentuk cemaran tersendiri bagi atmosfer yang pada dasarnya bersifat negative terhadap kondisi lingkungan yang pada akhirnya akan mempengaruhi cuaca atau iklim dalam skala besar. Dari akumulasi perubahan-perubahan kecil nantinya akan mengarah pada perubahan besar. Emisi karbon di alam dapat mempunyai bentuk yang beragam diantara dalam bentuk CO2 (karbon dioksida) dari hasil respirasi organisme dan CO (karbon monoksida) dari hasil pembakaran fosil atau minyak bumi. Aktivitas lainnya seperti pembakaran, merokok, keluarnya gas alam CH4 (metana), gas rumah kaca seperti HFC (hidrofluorokarbon) atau PFC (perfluorokarbon) dan yang lainnya juga menyumbang peningkatan gas karbon di alam. Lalu masalahnya dimana sehingga berpengaruh terhadap iklim global dan apa kaitannya dengan mangrove? Hutan mangrove memiliki kerapatan empat kali lebih besar dibandingkan hutan tropis pada umumnya. Potensi penyimpanan karbon pun berbanding jauh lebih besar. Perusakan terhadap tanaman mangrove terus terjadi dan menyebabkan kerusakan substrat di bawahnya. Mangrove atau biasa disebut bakau memiliki kesamaan sifat dengan lahan gambut. Hutan mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun menghilangkan karbon dari atmosfer serta menguncinya di dalam tanah selama ratusan hingga ribuan tahun. Tidak seperti hutan daratan umumnya, ekosistem laut secara terus-menerus membangun kantong-kantong karbon dalam jumlah besar di dalam sedimen laut. Page 1 Peranan mangrove dalam mitigasi perubahan iklim Carbon Sinks Dengan kemampuan mangrove dalam menyimpan karbon, maka peningkatan emisi karbon di alam tentu dapat lebih dikurangi. Jadi dalam hal ini habitat mangrove merupakan tempat pembenaman karbon (carbon sinks) yang besar. Menurut beberapa literatur, carbon sinks, atau carbon dioxide sinks, adalah reservoir atau tempat ntuk menyimpan atau menyerap gas karbon dioksida yang terdapat di atmosfer bumi. Hutan dan laut adalah tempat alamiah di bumi ini yang berfungsi untuk menjadi tempat menyerap gas karbon dioksida (CO2). Gas karbon dioksida diserap oleh tumbuhan yang sedang tumbuh dan disimpan di dalam batang kayunya. Proses berpindahnya gas karbon dioksida dari atmosfer (ke dalam vegetasi dan lautan) biasa disebut sebagai carbon sequestration. Beberapa ahli di negara-negara maju saat ini banyak yang aktif meneliti tentang proses ini dan berharap menemukan sebuah cara efektif untuk membuat sebuah proses buatan dalam rangka mengurangi laju perubahan iklim global (mitigasi pemanasan global) yang menurut para ahli berada dalam level yang “cukup mencemaskan― abad ini. Di Hutan, dalam proses fotosintesis, tanaman menyerap karbon dioksida dari atmosfer, menyimpan karbonnya dan melepaskan gas oksigennya kembali ke atmosfer. Hutan yang sedang tumbuh (hutan yang masih muda) akan berfungsi sangat baik sebagai carbon sinks, karena vegetasi di sana secara cepat akan menyerap banyak gas karbon dioksida pada proses fotosintesa dalam rangka tumbuh dan berkembangnya vegetasi. Vegetasi akan kembali melepaskan karbon dioksida ke atmosfer ketika mereka mati. Secara alamiah, dengan mengabaikan aktivitas manusia, proses terserap dan terlepasnya karbon dioksida ke atmosfer akan berjalan secara berimbang atau netral. Artinya, jumlah gas karbon dioksida di atmosfer relatif tetap terhadap waktu. Aktivitas manusia, seperti penebangan dan pembakaran hutan terutama hutan mangrove, akan menjadikan karbon dioksida yang terlepas ke atmosfer lebih besar daripada yang mampu diserap dan disimpan hutan, apalagi jika memperhitungkan jumlah pemakaian bahan bakar fosil yang semakin hari semakin meningkat. Konversi hutan menjadi daerah pertanian juga berperan sangat besar dalam proses kembalinya gas karbon dioksida ke atmosfer. Lahan basah yang dikeringkan untuk pertanian berpotensi juga melepaskan gas nitroksida akibat persenyawaan dengan pupuk. Pada satu hektar lahan menghasilkan 4-5 kilogram gas nitroksida. ―Jumlah nitroksida 4-5 kilogram itu setara dengan 1 ton karbon dioksida. Dalam Protokol Kyoto, negara-negara yang memiliki hutan yang luas dapat mengambil keuntungan, dari sumberdaya hutannya tersebut, melalui skema perdagangan emisi. Dalam skema ini, akan ada negara yang berperan sebagai penjual emisi dan juga negara sebagai pembeli emisi. Penulis sendiri kurang tahu sudah sejauh mana para negara penjual dan pembeli emisi ini membuat aturan main perdagangan emisi mereka. Jika ditinjau dari sumberdaya hutannya, Indonesia sebenarnya bisa berperan dan berpeluang cukup besar dalam perdagangan emisi ini, apalagi kalau kita bisa menjaga sumberdaya hutan kita dengan baik. Potensi daya serap karbon hutan di Indonesia berbeda-beda, misalnya saja, telah diteliti bahwa satu hektare hutan mangrove menyerap 110 kilogram karbon dan sepertiganya dilepaskan berupa endapan organik di lumpur. Penebangan hutan mangrove menyebabkan pembebasan karbon, endapan ini akan tetap terisolasi selama ribuan tahun. Karena itu, perubahan mangrove menjadi tambak udang, seperti yang dilakukan sementara orang sekarang ini, akan mempercepat pelepasan karbon ke atmosfer pula. Maka, dengan mencegah penggundulan hutan, negara-negara berkembang dapat secara efektif mereduksi emisi dan menurunkan pemanasan global. Pemanfaatan Karbon di Alam Walaupun demikian sesungguhnya, gas karbon dioksida bukanlah suatu masalah. Gas karbon dioksida adalah salah satu yang menunjang kehidupan di atas bumi. Tanpa gas karbon dioksida didalam atmospir, bumi tidak bisa mendukung kehidupan sebab temperatur bumi akan terlalu dingin dan semua air akan membeku. Gas karbon dioksida adalah suatu peredam kuat sinar inframerah, gas karbon dioksida akan menyerap panas yang dipancarkan bumi dan dipantulkan kembali. Ini adalah sebagai efek rumah kaca. Proses tersebut merupakan suatu proses alami yang sangat penting bagi terbentuknya kehidupan di bumi. Bagaimanapun, ketika ada terlalu banyak gas karbon dioksida didalam atmospir, efek rumah kaca diintensifkan, hal tersebut akan menyebabkan suatu masalah bagi lingkungan. Sebelum masa revolusi industri, konsentrasi gas karbon dioksida didalam atmospir adalah 280 ppm. Sejak tahun 1880, akibat dari peningkatan pembakaran bahan Page 2 Peranan mangrove dalam mitigasi perubahan iklim bakar fosil sebagai suatu sumber energi, konsentrasi CO2 telah dengan mantap bangkit sebanyak kira-kira 1,5 ppm/tahun sehingga kandungan gas karbon dioksida dalam atmosfir pada saat ini mencapai 365 ppm. Selain itu keberadaan gas karbon dioksida juga sangat dibutuhkan tumbuhan untuk proses fotosintesis yang nantinya menghasilkan oksigen bagi kehidupan di permukaan bumi. Menurut ilmu biologi kenapa hutan bisa menyerap karbon karena hutan adalah tempat sekumpulan pohon yang memiliki aktifitas biologisnya seperti fotosintesis dan respirasi. Dalam fotosintesis pohon (tanaman) menyerap CO2 dan H2O dibantu dengan sinar matahari diubah menjadi glukosa yang merupakan sumber energi (sebelumnya diubah dulu melalui proses respirasi) tanaman tersebut dan juga menghasilkan H2O dan O2 yang merupakan suatu unsure yang dibutuhkan oleh oranisme untuk melangsungkan kehidupan (bernapas). Sehingga, hanya dengan mengetahui dan memahami hal tersebut kita harus sadar bahwa hutan sangat dibutuhkan manusia untuk menyerap carbon yang berlebih dalam atmosfer. Mekanisme tanaman dalam menyerap karbon melalui fotosintesis. Fotosintesis adalah proses penyusunan energi menggunakan cahaya pada organisme yang memiliki kloroplas. Fotosintesis adalah prose kimia yang paling penting di bumi ini. Kebanyakan tanaman melakukan fotosintesis pada daunnya. Proses fotosintesis diawali dengan reaksi terang pada reaksi terang eneri matahari di convert ke chemical energi dan diproduksi oksigen. Lalu tahap yang kedua adalah siklus calvin yang membuat molekul gula dari karbon yang membutuhkan energi ATP yang didapat dari proses respirasi. Siklus ini juga membawa hasil produksi dari reaksi terang. Tumbuhan yang memiliki banyak daun lebih berpotensi menyerap carbon lebih banyak dari tumbuhan lain. Tetapi, penyerapan karbon juga bergantung dari kondisi tumbuhan tersebut apakah tumbuhan tersebut tumbuh optimal pada tempat yang sesuai dan tanahnya mengan dung nutrien yang cukup untuk menghidupi pohon tersebut. Sekecil apapun yang namanya kerusakan pasti memberikan kontribusi terhadap kerusakan besar, karena besar itu berasal dari yang kecil. Untuk itu jagalah perilaku kita untuk tidak terbiasa melakukan kerusakan walaupun kecil. Mangrove merupakan ekosistem unik yang harus tetap dilestarikan. Melihat peranannya yang begitu penting dalam mitigasi perubahan iklim, maka tidak ada alas an lagi untuk tidak menjaga kelestarian mangrove. Oleh karena itu, lestarikan hutan sebagi penyerap karbon terbesar dan sebagai makhluk yang memberikan unsur pembentuk kehidupan makhluk lainnya. Salam mangrove. (end) Page 3