Diskusi Topik : Terapi Oksigen Disusun oleh: Benedicta Mutiara

advertisement
Diskusi Topik : Terapi Oksigen
Disusun oleh:
Benedicta Mutiara Suwita 0906639713
Calvin Kurnia Mulyadi
0906639726
Christopher Rico Andrian 0906554251
Deriyan Sukma Widjaja
0906554270
Dwi Wicaksono
0906487764
Rombongan E
Modul Praktik Klinik Pulmonologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2012
1
PENDAHULUAN
Terapi oksigen merupakan suatu terminologi untuk penggunaan oksigen
sebagai bahan farmakologis utama yang diberikan pada individu tertentu berkaitan
dengan penyakitnya, baik akut maupun kronik, dalam jumlah, cara, dan durasi
tertentu demi meringankan gejala penyakit dasar, meningkatkan kualitas hidup, atau
berkaitan dengan prognosis yang lebih baik bilamana terapi tersebut diberikan. Terapi
oksigen telah lama dikenal (kurang lebih 1 abad yang lalu), khususnya bagi pasienpasien dengan gangguan kardiopulmoner akut. Namun, beberapa penelitian masih
menunjukkan hasil kontroversial, terutama berkaitan dengan perbaikan prognosis
yang diperoleh antara pasien-pasien yang mendapat terapi oksigen dan yang tidak.
Terlepas dari pemahaman ini, terapi oksigen sebagian besar bermanfaat untuk
meringankan gejala dan beban kardiorespirasi dalam keadaan akut tertentu sehingga
pasien merasa lebih nyaman dan stabil, serta siap untuk menerima penatalaksanaan
berikutnya. Akan tetapi, masih banyak tenaga kesehatan yang kurang mengetahui
penerapan dari terapi oksigen ini, sehingga timbullah kontroversi di atas. Pada
dasarnya, sebelum memberikan terapi oksigen, perlu dipahami terlebih dahulu
kandidat terapi, cara/teknik pemberian, serta bagaimana evaluasi dan pemantauan
yang benar.1
2
ISI
Indikasi Terapi Oksigen
Indikasi utama terapi oksigen adalah hipoksemia, yaitu suatu keadaan di mana
tekanan parsial oksigen (PaO2) di dalam darah arteri kurang dari 60 mmHg atau
saturasi oksigen (SaO2) kurang dari 90%, yang keduanya terbukti melalui hasil
analisis gas darah. Kondisi lain yang memungkinkan pemberian terapi oksigen
bermanfaat antara lain trauma berat, infark miokard akut, renjatan, sesak napas,
keracunan gas karbonmonoksida, pascaanaestesi, dan kondisi lain yang dicurigai
terdapat beban kardiorespirasi yang berat, rendahnya perfusi oksigen ke jaringan, dan
hipoksemia. Namun, pada beberapa kondisi kronis tertentu, seperti anemia atau
penyakit jantung bawaan tanpa komplikasi, pemberian oksigen tidak akan terlalu
bermanfaat mengingat telah terjadi keadaan hipoksemia yang kronik tanpa disertai
gejala klinis.1
Tujuan Pemberian Terapi Oksigen
Tujuan utama pemberian terapi oksigen adalah untuk mempertahankan PaO2> 60
mmHg atau SaO2> 90%. Dengan demikian, hipoksia jaringan dan beban kerja
kardiorespirasi yang berlebih dapat dicegah.1
Terapi oksigen dapat diberikan sebagai bentuk suplemen atau sebagai terapi.
Suplemen oksigen diberikan pada suatu keadaan akut yang memerlukan oksigen
kurang dari 30 hari, seperti pada pneumonia atau eksaserbasi/serangan asma. Berbeda
dengan itu, pemberian oksigen sebagai bentuk terapi digunakan bilamana pasien
memerlukan terapi oksigen 30 hingga 90 hari (short term oxygen therapy) atau lebih
dari 90 hari (long term oxygen therapy).1
Evaluasi dan Pemantauan Terapi Oksigen
Evaluasi dan pemantauan terapi oksigen dilakukan dengan cara:
-
Pemeriksaan fisik dan Gejala/tanda Klinis
Pada pemeriksaan fisik, akan ditemukan perbaikan/resolusi dari gejala dan tanda
hipoksemia, seperti takipneu, sianosis, dan sesak napas. Selain itu, ditemukan pula
perbaikan-perbaikan pada beban kerja kardiopulmoner yang sebelumnya berat,
seperti penurunan denyut nadi, perbaikan pada tekanan darah, serta berkurangnya
aritmia.
3
-
Pemeriksaan penunjang
Dari hasil analisis gas darah arteri (AGDA) yang rutin dilakukan 15-20 menit
setelah terapi oksigen dilakukan, akan ditemukan perubahan klinis berupa
peningkatan tekanan parsial oksigen. Evaluasi yang dilakukan berikutnya antara
lain:

12 jam setelah pemberian dengan metode terapi FiO2< 40%

8 jam setelah pemberian dengan metode terapi FiO2> 40%

72 jam pada infark miokard akut

2 jam pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

1 jam pada neonatus.1
Hipoksemia
1. Definisi Hipoksemia
Hipoksemia merupakan keadaan di mana terdapat penurunan dari PaO 2atau SaO2
dalam darah menjadi < 60 mmHg atau < 90% pada orang dewasa, anak, dan bayi,
atau < 50 mmHg atau < 88% pada neonatus. Terjadinya hipoksemia dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor, di mana kelainan kardiopulmoner merupakan penyebab
utama dari kondisi ini.
2. Mekanisme Terjadinya Hipoksemia
Terdapat beberapa mekanisme yang menyebabkan terjadinya hipoksemia, antara lain:
-
Ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi pada paru
Kondisi ini merupakan penyebab tersering dari hipoksemia. Gambar berikut
menyajikan hubungan antara kesesuaian rasio ventilasi-perfusi (V/Q ratio)
terhadap kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen serta karbondioksida
(CO2) dalam darah.
Gambar 2.1 Hubungan antara V/Q ratio dan Kandungan Oksigen serta
Tekanan Parsial Gas dalam Darah Arteri2
4
Hipoksemia yang terjadi oleh mekanisme ini akan berespon dengan baik pada
pemberian oksigen dosis kecil. Beberapa penyakit paru obstruktif, seperti PPOK,
asma, dan emfisema, retensi sputum, atau penyakit jantung, dapat mendasari
terjadinya hipoksemia akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi.
-
Hipoventilasi alveolar
Ventilasi alveolar adalah volume udara yang benar-benar terinspirasi sampai
kepada alveolus dan bukan pada ventilasi ruang rugi (dead space). Hipoventilasi
alveolar dapat terjadi pada overdosis obat (seperti morfin atau barbiturat),
penyakit susunan saraf pusat (seperti ensefalitis, kelainan konduksi medula
spinalis), atau kelumpuhan saraf perifer (seperti pada sindrom Guillain-Barre),
gangguan taut saraf-otot pada myastenia gravis, atau kelainan paru, seperti
eksaserbasi akut PPOK dan sleep apneu. Akibat hipoventilasi ini, tekanan parsial
oksigen mungkin hanya berkurang 100 menjadi 50 atau 60 mmHg (dengan
konsekuensi penurunan saturasi oksigen yang tidak terlalu bermakna), namun
terdapat kenaikan tekanan parsial karbondioksida hingga dua kali lipatnya
(misalnya dari 40 menjadi 80 mmHg). Gambar berikut menyajikan penjelasan
tersebut.
Gambar 2.2 Pertukaran Gas selama Hipoventilasi. Dapat diamati peningkatan
yang bermakna dari tekanan parsial karbondioksida dan penurunan derajat
keasaman (pH) serta sedikit penurunan dari saturasi oksigen arteri.
-
Pirau (shunt)
Pembuluh kapiler paru yang melewati alveoli yang tidak terventilasi akan tetap
berada dalam keadaan deoksigenasi, sehingga darah dalam kapiler tersebut akan
bercampur dengan darah yang telah teroksigenasi di vena pulmonalis dan
5
menurunkan tekanan parsial oksigen secara total dan berkontribusi pada
hipoksemia. Penurunan PaO2 ini bergantung pada besarnya pirau yang terjadi.
Keadaan ini dapat dijumpai pada pneumonia, sindrom distres pernapasan akut,
atelektasis, edema paru akut, dan emboli paru. Hipoksemia akibat pirau
memerlukan oksigen dosis tinggi serta terapi intervensi untuk mengatasi alveoli
yang kolaps, misalnya dengan CPAP, mengatasi atelektasis dengan IPPB, atau
dengan memperbaiki kerja jantung pada edema paru akut dengan pemberian obatobat inotropik atau diuretik.
-
Gangguan difusi
Gangguan difusi dapat terjadi akibat penebalan daerah antara alveoli dan kapiler,
seperti yang dijumpai pada edema atau fibrosis interstitial.
-
Penurunan tekanan oksigen insipirasi
Sering terjadi pada orang-orang yang tinggal di tempat ketinggian atau gangguan
hemoglobin, seperti anemia, atau perdarahan.1,2
3. Gejala Hipoksemia
Gejala klinik dari hipoksemia antara lain sianosis (yang terlihat jika SaO2< 85% dan
tidak terlihat pada penderita anemia), kelelahan, disorientasi, penurunan kesadaran
menjadi
letargi,
takipneu,
dispneu,
takikardia/bradikardia,
aritmia,
hipertensi/hipotensi, polisitemia vera, dan jari tabuh. Pada pemeriksaan analisis gas
darah, dapat ditemukan penurunan tekanan parsial oksigen. Pada pulse oxymetry,
dapat diamati penurunan saturasi oksigen, sedangkan pada pemeriksaan lebih invasif
dengan transcutaneous partial pressure of oxygen (PtcO2) dapat ditemukan tekanan
oksigen yang menurun. Jika hasil analisis gas darah menunjukkan penurunan yang
serius, maka perlu diulangi pemeriksaan analisis gas darah, serta perlu dibandingkan
penurunan PaO2dengan keadaan klinik. Untuk mencari penyebab hipoksemia, perlu
dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
-
Melakukan pemeriksaan fisik untuk mencari faktor penyebab
-
Melihat hasil PaCO2, jika tekanan diatas 45 mmHg, mungkin terdapat
hipoventilasi alveolar
-
Melakukan pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan laboratorium
-
Melakukan penghitungan alveolar-arterial oxygen gradient (A-a DO2) dengan
cara berikut ini:1
6

PAO2 = PIO2– PaCO2/R
= PIO2 = (PB-PH2O) x FiO2
= (760-47) x FiO2
= 713 x FiO2
PAO2 = (713 x FiO2) – PaCO2/0.8
dengan PaO2 dan PaCO2 diperoleh dari hasil analisis gas darah
A-a DO2 = PAO2 – PaO2

Jika dari hasil perhitungan di atas diperoleh nilai A-a DO2 :
< 20 mmHg
normal
20 – 40 mmHg
V/Q mismatch
40 – 60 mmHg
pirau
> 60 mmHg
gangguan difusi
Efek Samping Terapi Oksigen
Sampai saat ini, belum diketahui ambang konsentrasi dan waktu paparan untuk
menimbulkan toksisitas FiO2. Toksisitas ini muncul tergantung dari banyak faktor,
seperti dosis dan lama pemberian oksigen, maupun faktor toleransi masing-masing
pasien.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan terapi oksigen:
a.
Pemberian oksigen dengan FiO2 < 50% jarang menimbulkan kerusakan paru akut
meski diberikan dalam jangka waktu lama
b.
Pemberian oksigen 100% dalam waktu 24 jam atau kurang tidak pernah
menimbulkan toksisitas pada paru, meskipun dapat terjadi absorption atelectasis
(lebih mudah terjadi pada pasien yang sudah mempunyai kelainan paru).3
Klasifikasi dan manifestasi klinik pada toksisitas oksigen:
a.
Toksisitas sistem saraf pusat – “Bert effect”
Dapat bermanifestasi mulai dari twitching otot-otot perioral dan otot-otot kecil
pada tangan. Vasokonstriksi perifer yang berat akibat hiperoksia dan twitching
diafragma dapat menyebabkan wajah menjadi pucat dan pernapasan ”cogwheel”.
Selain itu, dapat pula terjadi vertigo, mual, perilaku yang terganggu, clumsiness,
dan kejang (biasanya tonik-klonik). Faktor yang memengaruhi munculnya
7
toksisitas sistem saraf pusat adalah peningkatan pCO2, stress, kelelahan, dingin,
defisiensi selenium, zink, dan magnesium.3
b.
Toksisitas sistem respirasi
Konsentrasi dan/atau lamanya pemberian oksigen dapat merusak epitel pulmoner,
dan menginaktivasi surfactant sehingga dapat timbul edema intra alveolar dan
penebalan interstisial, dan pada akhirnya muncul fibrosis, yang berakibat pada
atelektasis pulmoner. Toksisitas pada sistem respirasi dapat dibagi menjadi:
1. Trakeobronkitis: batuk, nyeri tenggorokan, rasa terbakar di daerah substernal.
Disebabkan oleh inflamasi di daerah trakeobronkial.
2. Absoprtion atelectasis: pemberian oksigen dosis tinggi menyebabkan nitrogen
keluar dari alveoli sehingga alveoli menjadi mudah kolaps. Gejala yang
muncul adalah penurunan PaO2, demam, dan dapat muncul infiltrat pada foto
thorax.
3. Kerusakan jaringan paru akut: prosesnya dibagi menjadi 2 fase, yakni fase
eksudatif dan proliferatif. Toksisitas ini muncul ditandai dengan adanya gejala
demam, hipoksemia progresif, dan infiltrat di paru. Kerusakan paru akut ini
akan menghilang bila konsentrasi oksigen diturunkan.
4. Kerusakan jaringan paru kronik: sifatnya ireversibel, dan dibagi menjadi 2
jenis, yaitu displasia bronkopulmoner dan kerusakan jaringan kronik.1
c.
Toksisitas pada sistem mata
Terjadi konstriksi reversibel pada area perifer dari penglihatan, miopi yang
progresif tetapi reversibel, dan pembentukan katarak yang lambat dapat muncul.
Efek terhadap mata dapat lebih kuat jika mata itu sendiri terpajan dengan oksigen
dengan konsentrasi dan tekanan yang tinggi.3
d.
Toksisitas pada sistem ginjal: kerusakan pada sel tubular1
e.
Toksisitas pada sistem hematologi: morfologi sel darah merah yang abnormal dan
hemolisis3
f.
Kardiovaskular: kerusakan miosit1
Efek samping lain yang dapat muncul akibat terapi oksigen:
a.
Hiperkarbia pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
b.
Retinopathy of prematurity
c.
Risiko terjadi kebakaran
8
d.
Pada penggunaan kanul hidung: iritasi mukosa hidung, kongesti nasal, epistaksis,
dan alergi.1
Pada pasien dengan PPOK, asma, kelemahan otot respirasi, dan depresi pusat
pernapasan, ventilasi alveolar tidak cukup untuk mencegah kenaikan tekanan karbon
dioksida (PaCO2). Seiring dengan meningkatnya kondisi hiperkarbia, pusat
pernapasan menjadi lebih toleran terhadap CO2 dan aktivitasnya menjadi diatur oleh
stimulus hipoksemia (secara refleks melalui carotid dan aortic body). Penghilangan
stimulus ini dengan pemberian oksigen menurunkan ventilasi sehingga akibatnya
terjadi peningkatan PaCO2. Akibatnya dapat terjadi sindrom narkosis CO2, yang
merupakan kondisi yang berbahaya, yaitu berkeringat, twitching, drowsiness, kejang,
edema papil, dan koma.3
Pencegahan agar efek toksik oksigen tidak muncul adalah dengan pemakaian
konsentrasi oksigen serendah mungkin yang dapat mempertahankan PaO2 > 60
mmHg. Selain itu diperlukan juga monitoring dengan pemeriksaan analisis gas darah.1
Terapi Oksigen Jangka Panjang
Terapi oksigen jangka panjang (long term oxygen therapy/LTOT) merupakan
terapi oksigen yang diberikan selama lebih dari 90 hari.1 LTOT merupakan terapi
standar untuk pasien dengan hipoksemia kronik yang stabil. LTOT saat ini banyak
digunakan untuk terapi pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).4
1.
Tujuan
Tujuan dari LTOT adalah sama dengan terapi oksigen jangka pendek, yaitu mencegah
hipoksia dengan mempertahankan PaO2 > 60 mmHg dan SaO2 > 90%.1 LTOT juga
terbukti meningkatkan kesintasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK.
LTOT juga dapat memperbaiki morbititas kardiovaskular, depresi, fungsi kognitif,
kapasitas latihan, dan mengurangi frekuensi perawatan di rumah sakit.5
2.
Indikasi
Komponen dari analisis gas darah yang menjadi sasaran terapi oksigen adalah PaO2
dan SaO2. Indikasi dari LTOT adalah jika:
1. PaO2 ≤ 55 mmHg atau SpO2 ≤ 88%
9
2. PaO2 55-59 mmHg atau SpO2 89% jika ada tanda-tanda hipoksia seperti hipertensi
pulmoner, cor pulmonale, eritrositosis, atau edema akibat gagal jantung kanan
3. Jika pada saat latihan/olahraga PaO2 < 55 mmHg atau SpO2 < 88%
4. Desaturasi oksigen malam hari ≤ 88%.5,6
3.
Kelebihan
Pada pasien dengan hipoksemia, oksigen meningkatkan kesintasan, hemodinamik
paru, kapasitas latihan, dan kemampuan neuropsikologis.
Terapi oksigen juga
menurunkan jumlah oksigen yang digunakan untuk upaya bernapas dan meningkatkan
kualitas tidur.7
-
Meningkatkan Kesintasan
LTOT meningkatkan kesintasan pada pasien. Studi Nocturnal Oxygen Therapy Trial
(NOTT) menunjukkan bahwa terjadi penurunan mortalitas pada pasien dengan variasi
waktu pemberian oksigen.
Didapatkan bahwa kesintasan terbaik terbukti pada
pemberian oksigen selama lebih dari 19 jam.8
Gambar 2.3 Hubungan antara Terapi Oksigen Jangka Panjang dengan Kesintasan8
Pasien yang menerima LTOT harus dievaluasi selama 2 bulan untuk melihat apakah
masih terjadi hipoksemia atau tidak.
Hampir 40% dari pasien menunjukkan
peningkatan yang signifikan setelah satu bulan sehingga LTOT bisa dihentikan.7
-
Hemodinamik Paru
Suplemen oksigen dapat meningkatkan hemodinamik paru dan mengurangi beban
kerja jantung. Oksigen juga menurunkan kebutuhan oksigen untuk bernapas.7
10
-
Kapasitas Latihan
Oksigen dapat meningkatkan jarak yang ditempuh oleh pasien dan kemampuan
dalam uji treadmill.4,7
Gambar 2.4 Efek LTOT pada Latihan4
-
Efek Neuropsikologis
Hipoksemia menurukan kemampuan pada pasien PPOK. Oksigen terbukti dapat
meningkatkan kewaspadaan, motorik, dan genggaman.7
4.
Kekurangan
Kepatuhan pasien akan berkurang karena jangka panjang, sehingga pasien merasa
bosan. Pasien juga menghindari terapi karena takut akan menjadi adiksi.1
Oksigen juga menyebabkan bahaya terbakar. Pasien harus berhenti merokok,
dengan tujuan untuk membantu penyembuhan dan mencegah kebakaran.
Studi
mencatat bahwa penggunaan LTOT selama beberapa tahun menunjukkan 23 pasien
PPOK dengan usia rata-rata 70 tahun dirawat karena penggunaan oksigen jangka
panjang selama 12 tahun. Namun, luka bakar yang dialami cukup minimal, yaitu
3,9%.9
Pasien dengan oksigen aliran rendah bebas dari efek samping, tetapi ada pula
yang mengalami iritasi lokal di hidung dan mata. Pasien dengan oksigen aliran tinggi
akan menginduksi retensi CO2.
Akan tetapi bahaya ini dapat dihindari dengan
mempertahankan PaO2 antara 60-65 mmHg.1
5.
Manfaat pada PPOK
LTOT dapat memperpanjang harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup
pada pasien dengan PPOK. Penggunaan suplementasi oksigen dalam PPOK berat
merupakan hal yang logis. Fungsi utama dari paru adalah pertukaran udara. PPOK
memengaruhi paru dan mengganggu pertukaran udara.
11
Pada PPOK terjadi
hipoksemia kronik progresif yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. LTOT
dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan oksigen tubuh dan mencegah kerusakan
sel.6,10
LTOT dapat diberikan di rumah pada keadaan stabil, setidaknya 15 jam per hari,
dengan nasal kanul 1-2 L/menit. LTOT juga diberikan saat tidur untuk mencegah
hipoksemia saat tidur. Saat latihan/aktivitas, LTOT dapat mengurangi sesak napas
dan meningkatkan kemampuan beraktivitas.
Pemberian oksigen harus mencapai
saturasi oksigen di atas 90%.10
Pemberian oksigen dapat dibantu melalui alat-alat seperti nasal kanul, sungkup
venturi, sungkup rebreathing, dan sungkup nonrebreathing. Pemberian oksigen yang
terlalu tinggi dapat meningkatkan kadar CO2 sehingga dapat dipilih sungkup
nonrebreathing.10
Metode Pemberian Oksigen
Pada prinsipnya, oksigen harus diberikan dengan cara sesederhana mungkin dan
fraksi insipirasi oksigen (FiO2) yang serendah mungkin, namun tetap dapat
mempertahankan nilai PaO2 dan SaO2 lebih dari 60 mmHg dan 90%, berturut-turut.
Hal ini perlu diperhatikan mengingat pemberian terapi oksigen tidak sepenuhnya
aman, melainkan oksigen yang diberikan dengan konsentrasi tinggi (100%)
berhubungan dengan berbagai efek samping dan toksisitas yang justru memperburuk
kondisi pasien. Pilihan metode terapi bergantung pada berapa besar FiO2 yang
dibutuhkan, faktor kenyamanan pasien, tingkat kelembaban yang dibutuhkan, serta
kebutuhan terapi nebulisasi. Terdapat dua macam klasifikasi alat berdasarkan
perbedaan konsentrasi oksigen yang disuplai oleh alat dan yang masuk ke dalam
paru.1
-
Low-flow (variable performance) devices
Alat-alat yang berdasarkan metode ini memberikan konsentrasi oksigen yang
lebih sedikit daripada yang dihirup oleh pasien, serta bervariasi menurut gas yang
keluar dari alat dan pola pernapasan pasien. Alat-alat yang tergolong low-flow
devices, antara lain kanula hidung dan sungkup oksigen.
-
High-flow (fixed perfomance) devices
Konsentrasi oksigen yang masuk bersifat stabil dan sesuai dengan yang dihirup
oleh pasien. Termasuk dalam golongan ini antara lain sungkup venturi dan
continuous positive airway pressure (CPAP).
12
Cara pemberian oksigen arus rendah (low flow):
a.
Kanula hidung
Pada pasien di rumah sakit, kanula hidung adalah suatu pipa plastik lunak dengan
dua ujung buntu yang dimasukan kurang lebih 1 cm, masuk kedalam tiap naris.
Penggunaan alat ini nyaman dan dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien. Kanula
hidung ditujukan untuk pasien tanpa hiperkapnia yang memerlukan oksigen
suplementasi hingga 40%.11 Kanula dihubungkan dengan pipa yang dihubungkan ke
humidifier dengan kecepatan antara 2-6 l/menit, dengan FiO2 0,28-0,4. Pengunan
pelembab pada kanula hidung ini diperlukan pada kecepatan diatas 2 l/menit
dikarenakan cepatnya aliran oksigen hingga dapat mengiritasi permukaan kulit dan
mukosa saluran pernapasan.1
Gambar 2.5. Kanula Nasal12
b.
Masker
Pada pemberian oksigen dengan kecepatan lebih tinggi dari 6l/menit
dipergunakan masker. Masker adalah perangkat dari plastic tingan
yang
pemakaiannya menutupi mulut dan hidung.
Terdapat beberapa macam masker yaitu:

Masker sederhana (simple mask)
Masker digunakan pada wajah dengan mengikatkan pita kepala plastik, biasanya
dengan pengikat logam yang lunak sesuai dengan bentuk hidung. Pemakaian
masker harus diperhatikan kenyamanannya agar tidak terlalu kuat memberikan
tekanan kepada tulang pipi.1 Masker tipe simple ini memberikan FiO2 sebesar 0,40,5% dengan kecepatan 5-12 l/menit. Dalam penggunaannnya, kecepatan oksigen
harus berada diatas 5l/menit untuk memastikan CO2 dapat dikeluarkan dari dalam
13
masker. Penggunaan masker tipe simple ini juga berguna untuk pasien dengan
obstruksi pada saluran napas hidung dan bernapas lewat mulut walaupun sulit
digunakan untuk makan.12
Gambar 2.6. Masker Oksigen tipe Simple3

Masker rebreathing dan masker nonrebreathing
Kedua masker tersebut memiliki berat ringan dan reservoir dibawah dagu.
Perbedaan kedua masker ini adalah pemakaian katup pada masker nonrebreathing.
Resevoir umumnya menampung sampai 600 ml. Pemakaian katup pada masker
nonrebreathing ini digunakan untuk memastikan udara yang masuk pada saat
inspirasi adalah udara oksigen, sementara udara ekspirasi dapat keluar melalui
lubang samping antaras katup dan reservoir.1 Pada masker nonrebreathing,
memiliki FiO2 50-70%. Aliran udara dapat diatur untuk dapat sesuai dengan
kebutuhan inspirasi maksimum pasien sehingga kantung reservoir tidak akan
mengempis sempurna saat inspirasi. Sedangkan pada masker rebreathing, udara
inspirasi dan ekspirasi tercampur karena tidak adanya katub, sehingga FiO2 untuk
masker rebreathing lebih rendah yaitu 40-60%. masker nonrebreathing dapat
dijadikan masker rebreathing dengan melepas katup antara masker dan reservoir.12
Gambar 2.7. Masker Rebreathing (kiri) dan Masker Nonrebreathing (kanan)12
14
Cara pemberian oksigen arus tinggi (high flow)
a.
Masker venturi
Maker venturi memiliki berat yang ringan dan sesuai dengan bentuk mulut dan
hidung. Oksigen pada masker ini mengalir pada kecepatan yang tinggi melalui lubang
kecil di basis masker sehingga membentuk tekanan negatif yang dapat mendesak
keluar udara atmosfir sehingga oksigen yang diberikan dengan angka pasti. Dengan
menggunakan kecepatan oksigen 1,2,3 l/menit, masker venturi dapat memberikan
persentasi pasti yaitu 0,24; 0,28; dan 0,35. FiO2 dapat dihitung dengan rumus 20 + 4
x kecepatan O2(l/menit)11
Gambar 2.8. Masker Venturi12
b.
Tekanan saluran pernapasan positif terus menerus (Continous Positive Airway
Pressure/CPAP)
Continous Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan pemberian tekanan
positif untuk seluruh siklus respirasi (inspirasi dan ekspirasi) pada saat bernapas
secara spontan.13 Sistem CPAP dengan regulator digunakan melalui sebuah flow
meter menuju masker dan diakhiri dengan sebuah alat yang dapat mengukur tekanan
antara 2,5 -20 cmH2O. Masker dipasang pada wajah dengan menggunakan pengikat
kepala.1 CPAP merupakan terapi tambahan untuk terapi oksigen konvensional dan
ventilasi terkontrol. Penggunaannya dapat mengurangi kerja untuk bernapas,
mengeliminasi atau mengurangi hipoksia dan mencegah atelektasis. Pada edema
pulmoner, CPAP dapat meningkatkan kardiak output, walaupun pada orang normal
pemberian CPAP dapat mengurangi performa kardiak.13
15
Gambar 2.9. Continous Positive Airway Pressure14
Alat penghasil oksigen1
a.
Silinder
Memiliki bentuk yang besar dengan ukuran 240-622 liter, dengan lama
pemberian 2-5,5 jam bila digunakan dengan kecepatan 2 l/menit. Pengunaannya
sering pada pasien yang berbaring, tidak banyak bergerak. Harganya relatif murah,
hanya saja diperlukan pergantian silinder.
Gambar 2.10. Silinder Oksigen15
b.
Sistem oksigen cair (portable)
Pada sistem oksigen cari ini, lebih ringan daripada silinder sehingga dapat dibawa
dengan mudah. Dapat digunakan selama 7 hari dengan kecepatan 2 l/menit walaupun
dengan harga yang mahal tetapi dapat diisi ulang.
16
Gambar 2.11. Sistem Oksigen Portable15
c.
Konsentrator
Alat ini bekerja dengan mengambil udara dari ruangan dan memiliki sistem
filtrasi partikel besar, bakteri, dan gas non O2. Pengunaannya menggunakan listrik
sehingga tidak dapat dibawa dan tidak perlu adanya pengisian ulang.
Gambar 2.12. Konsentrator15
Pada pemberian oksigen di rumah, harus diperhatikan indikasi, alat yang akan
digunakan, cara pemberian, dan edukasi tehnik pemberian. Harus dipastikan pasien
mengetahui berapa dosis yang dibutuhkan, dimana oksigen akan digunakan dan kapan
oksigen digunakan.1
17
CONTOH KASUS
Wanita 41 tahun dengan serangan asma berat datang ke unit gawat darurat,
mendapatkan oksigen 6 L/menit melalui nasal kanul. Hasil analisa gas darah:

pH : 7,530

PCO2 : 41,1

PO2 : 68,8

HCO3 : 33,6

TCO2 : 34,3

Base excess : 9,5

std HCO3 : 33,7

Sat O2 : 95,4
Menentukan kebutuhan konsentrasi oksigen:
PAO2 = {(PB – PH2O) x FiO2} – (1,25 x PaCO2 astrup)
= (713 x x FiO2) – (1,25 x PaCO2 astrup)
Karena pasien mendapatkan oksigen 6L/menit dengan nasal kanul, maka FiO2= 0,44
Alat yang digunakan
O2 (L/menit)
FiO2
Kanula hidung
1-2
0,21-0,24
2
0,23-0,28
3
0,27-0,34
4
0,31-0,38
5-6
0,32-0,44
4-6
0,24-0,28
8-10
0,35-0,40
8-12
0,50
5-6
0,30-0,45
7-8
0,40-0,60
7
0,35-0,75
10
0,65-1,00
Venturi
Simpel
Rebreathing
18
Non rebreathing
4-10
0,40-1,00
PAO2 = 713 x 0,44 – 1,25 x 41,1
= 313,72 - 51,375
= 262,345
Nilai PAO2 tersebut digunakan untuk mencari PAO2 baru:
PaO2 astrup / PAO2 = PaO2 yang diinginkan / PAO2 baru
PAO2 baru = PaO2 yang diinginkan x PAO2 / PaO2 astrup
= 262,345 x 95 / 68,8
= 362,25
Nilai PAO2 dikembalikan ke rumus pertama untuk menentukan FiO2 yang dibutuhkan:
PAO2 = (713 x FiO2) – (1,25 x PaCO2 astrup)
362,25= 713 x FiO2 – 51,275
FiO2 = (362,25 + 51,275) / 713 = 0,58
FiO2 sebesar 0,58 sesuai dengan kebutuhan oksigen 8 L/menit melalui simple mask.
19
Daftar Pustaka
1. Rasmin M. Terapi Oksigen: Mengenal terapi oksigen. 2006. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. Hal.1-9.
2. Wagner PD, West JB. Respiratory physiology. Murray and Nadel’s Textbook of
Respiratory Medicine. 4th ed. 2005. Philadelphia: Saunders, An Imprint of Elsevier.
3. Patel DN, Goel A, Agarwal SB, Garg P, Lakhkani KK. Oxygen toxicity. JIACM.
2003; 4(3) : 234-7.
4. Doherty DE, Petty TL, Bailey W, Carlin B, Cassaburi R, Christopher K, et.al.
Recommendations of the 6th long-term oxygen therapy consensus conference.
USA: Respiratory Care. 2006;51(5):519-25.
5. American College of Chest Physician. Basics of Long-term Oxygen Therapy
(LTOT).
2012.
Available
on:
http://www.chestnet.org/downloads/patients/guides/LTOT-full-2012.pdf
6. Croxton TL, Bailey WC. Long-term Oxygen Treatment in Chronic Obstructive
Pulmonary Disease: Recommendations for Future Research. American Journal of
Respiratory and Critical Care Medicine. 2006;174:373-8.
7. Tarpy SP, Celli BR. Long-Term Oxygen Therapy. N Engl J Med. 1995;333:710-4.
8. Rous MRG. Long-term oxygen therapy: Are we prescribing appropriately? Int J
Chron Obstruct Pulmon Dis. 2008;3(2):231–7.
9. Chang TT, Lipinski CA, Sherman HF. A hazard of home oxygen therapy. J Burn
Care Rehabil. 2001;22:71-74.
10. Antariksa B, Djajalaksana S, Pradjnaparamita, Riyadi J, Yunus F, Suradi, et.al.
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik): Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011;47-8.
11. Singh CP, Singh N, Singh J, Brar GK, Singh G. Emergency Medicine: Oxygen
Therapy. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine. 2001; 2(3): 178-84.
12. Anonim.
Oxygen
Delivery
Devices.
Available
on:
http://www.virtual.
yosemite.cc.ca.us/lylet/220/220/lectures/Oxygen.
13. Hunt J. Guidelines for the Use of Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) in
Adults. Royal United Hospital Bath NHS Trust. 2007
14. National Heart Lung and Blood Institute. What is CPAP? Available on:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/cpap/.
15. Jones Medical Supply. Oxygen Therapy. Available on: http://jonesmed.
com/Oxygen.html.
20
21
Download