PENDAHULUAN Penyakit kusta atau morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan parasit intraselular obligat, yaitu Mycobacterium leprae (M. leprae), yang membutuhkan pengobatan teratur dalam jangka waktu lama.1-3 Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis. Di daerah endemis puncak insidens kusta terjadi antara usia 20-35 tahun.1 Penyakit kusta hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Data Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa hingga tahun 2004 prevalensi kusta di Indonesia sudah mencapai 0,93 per 10.000 penduduk. 4 Kasus kusta baru di RS Dr. Cipto Mangunkusumo tercatat 366 kasus pada tahun 2005, terdiri atas 284 kasus kusta multibasilar dan 82 kasus kusta pausibasilar.5 Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan adanya salah satu tanda kardinal yang terdiri atas lesi kulit yang khas disertai gangguan sensibilitas dan ditemukan basil tahan asam (BTA) pada sediaan apus jaringan kulit.2,6 Menurut WHO (1995) diagnosis klinis kusta dibagi atas pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB).2 Semua pasien dengan BTA positif (+), apapun gambaran klinisnya, dimasukkan golongan multibasilar. 2 Reactive oxygen species adalah semua senyawa yang diperantarai oksigen dan bersifat reaktif, baik radikal atau nonradikal. Reactive oxygen species dapat terbentuk secara endogen dan fisiologis selama kehidupan manusia secara konstan terpajan oksidan sebagai produk metabolisme normal, misalnya: proses transpor elektron di mitokondria, ledakan pernapasan selama fagositosis yang merupakan mekanisme pertahanan sel terhadap mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh dan dibentuk oleh fagosit, autooksidasi hemoglobin, dan beberapa enzim yang menggunakan O2 secara langsung, yaitu oksidase, monooksigenase atau dioksigenase.7 Selain itu radikal superoksid secara langsung terbentuk dalam endotelium pembuluh darah dan berguna mengatur kontraksi otot pembuluh darah.8 Jumlah ROS yang berlebihan dalam tubuh yang melebihi kemampuan antioksidan untuk menetralisasi, akan menyebabkan ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, sehingga mengakibatkan terjadinya stres oksidatif.9 Stres oksidatif dapat menimbulkan kerusakan sel yang berat, jika stres oksidatif tersebut berlangsung dalam waktu lama. Untuk menanggulangi hal tersebut, organisme akan berusaha untuk melindungi dirinya terhadap bahaya radikal bebas, derivat oksigen, dan nitrogen aktif yang terbentuk. Proses perlindungan ini dilakukan oleh senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan.10,11 Salah satu antioksidan endogen adalah enzim superoksid dismutase (SOD). Enzim tersebut bekerja intraselular maupun ekstraselular, namun sebagian besar terdapat intraselular, yaitu di mitokondria dan sitoplasma sel. Superoksid dismutase merupakan enzim yang menguraikan anion superoksida (O2 ) yang sangat reaktif menjadi hidrogen peroksida (H2O2) yang kurang reaktif dan oksigen. Pada manusia terdapat tiga bentuk enzim Cu,ZnSOD, EC-SOD serta MnSOD. Sedangkan sel darah merah (eritrosit) manusia hanya mengandung Cu, ZnSOD yang berperan sebagai enzim pertahanan lini pertama terhadap serangan ROS.12 Terdapat beberapa penelitian mengenai SOD dengan hasil yang berbeda, hal ini disebabkan karena perbedaan teknik laboratorium dan perbedaan spesimen yang diperiksa (serum, eritrosit, melanosit, epidermis atau jaringan tubuh lain). 13 Beberapa laporan penelitian menunjukkan penurunan SOD pada pasien kusta. Sethi dkk (1996) mendapatkan penurunan kadar SOD serum pada semua tipe kusta yang belum diterapi. Setelah pengobatan dan terjadi perbaikan klinis, SOD meningkat menjadi normal secara bertahap, pada tipe LL bahkan sampai melebihi normal. Ini adalah suatu mekanisme protektif untuk scavenging radikal bebas yang dihasilkan oleh sel radang sehingga mencegah kerusakan jaringan. Tidak diketahui mengapa hal tersebut hanya terjadi pada tipe LL.14 Reddy dkk. (2003) mendapatkan radikal bebas dan penurunan status antioksidan endogen pada kusta tipe multibasilar.Terdapat penurunan SOD, katalase, dan glutation yang berbeda bermakna bila dibandingkan dengan orang normal. Setelah pemberian MDT 1 kadarnya meningkat bertahap sesuai perbaikan klinis. Ditemukannya kadar aktivitas radikal bebas yang tinggi dan antioksidan yang rendah pada pasien MB yang belum diterapi, yang sudah diterapi dan RFT menunjukkan bahwa ada stres oksidatif pada pasien MB apapun kondisi pengobatan pasien tersebut. Oleh sebab itu pemberian antioksidan dapat disarankan sebagai pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kerusakan jaringan. Pada pasien PB tidak ditemukan perbedaan bermakna bila dibandingkan dengan orang normal. 15 Penurunan SOD dikarenakan adanya proses fagositosis oleh granulosit yang menghasilkan radikal bebas superoksid sehingga meningkatkan pemakaian SOD yang menyebabkan penurunan SOD.14 Aktivitas SOD dapat dinilai berdasarkan kemampuannya menghambat reaksi yang dikatalisis oleh radikal superoksid, misalnya menghambat reduksi sitokrom C atau nitro blue tetrazolium (NBT), atau menghambat oksidasi adrenalin membentuk adrenokrom.16 Aktivitas suatu enzim (SOD) berbanding lurus / setara dengan konsentrasi / kadar enzim tersebut. 17 Walaupun demikian belum ada data mengenai status antioksidan pada pasien kusta di Indonesia. SUBYEK DAN CARA PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang dengan perbandingan antar kelompok (comparative cross sectional). Penelitian dilakukan pada akhir bulan September tahun 2005 sampai dengan Februari 2006. Tujuan utama penelitian adalah mengukur aktivitas SOD dalam eritrosit pasien kusta baru yang belum pernah mendapatkan pengobatan dengan MDT-WHO. Disamping itu didapatkan perbandingan aktivitas SOD dalam eritrosit antara pasien kusta dengan individu sehat, dan perbandingan aktivitas SOD dalam eritrosit antara pasien kusta tipe multibasilar dengan tipe pausibasilar. Tujuan tambahan adalah mendapatkan hubungan antara lama sakit kusta dengan aktivitas superoksid dismutase (SOD) dalam eritrosit. Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan kriteria WHO tahun 1995. Pemeriksaan BTA dengan pewarnaan Ziehl Neelsen, kadar gula darah sewaktu menggunakan glucostick smart Johnson & Johnson, kadar hemoglobin menggunakan spektrofotometer 540 nm, aktivitas SOD dalam eritrosit menggunakan kit RANSOD buatan Perancis. Kriteria penerimaan populasi studi: secara klinis atau bakteriologis didiagnosis sebagai kusta baru MB atau PB, berusia antara 14-59 tahun, belum pernah mendapatkan pengobatan MDT-WHO. Kriteria penerimaan populasi kontrol: berusia antara 14-59 tahun, secara klinis tidak menderita kusta. Kedua populasi bersedia menjadi subyek penelitian dengan menandatangani surat persetujuan penelitian setelah diberi penjelasan (informed consent). Kriteria penolakan: menderita penyakit sistemik (diabetes melitus, artritis reumatoid, aterosklerosis, asma bronkial, Parkinson, alzheimer, infeksi bakteri, infeksi virus, infeksi parasit) dan penyakit kulit (vitiligo, psoriasis, akne berat, rosasea, dermatitis luas, karsinoma sel basal, karsinoma sel skuamosa, luka bakar), mendapat pengobatan adriamisin, bleomisin, kuinolon, sulfa/dapson, talidomid, antimalaria, kolkisin, metronidazol, tetrasiklin,d-penisilamin, rifampisin, penisilin, sefalosporin, vitamin A, C, E, anti inflamasi nonsteroid, kortikosteroid dalam dua minggu terakhir sebelum penelitian. Kriteria pengeluaran: subyek pada proses atau akan dilakukan pemeriksaan aktivitas SOD dalam eritrosit didapatkan darah lisis, kelompok kontrol yang pada pemeriksaan Hb terdapat anemia, dan pada pemeriksaan gula darah didapatkan diabetes melitus pada kedua kelompok. HASIL PENELITIAN Telah dilakukan penelitian terhadap 75 subyek. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yakni kelompok studi yang terdiri atas 25 pasien MH tipe MB dan 25 pasien MH tipe PB serta kelompok kontrol yang terdiri atas 25 individu sehat yang sesuai dengan kriteria 2 penerimaan dan penolakan. Pada awalnya direkrut sebanyak 85 subyek penelitian, tetapi dikeluarkan 10 orang, yaitu 4 orang pada kelompok studi karena pada pemeriksaan didapatkan diabetes melitus dan lisis eritrosit; 6 orang pada kelompok kontrol karena pada pemeriksaan hemoglobin didapatkan anemia. Karakteristik subyek penelitian Tabel 1. Sebaran karakteristik subyek penelitian Kelompok studi Kelompok kontrol (n=25) Uji kemaknaan 31,4 + 12,2 7 (28%) 10(40%) 8 (32%) 31,8 + 10,5 6 (24%) 11(44%) 8 (32%) p = 0,963* 18 (72%) 7 (28%) 20 (80%) 5 (20%) 19 (76%) 6 (24%) p = 0,803 10 (40%) 15 (60%) 8 (32%) 17 (68%) 12 (48%) 13 (52%) p = 0,513 Kerja 19 (76%) 13 (52%) 23 (92%) Tidak kerja (Siswa/ibu RT) 6 (24%) 12 (48%) 2 (8%) 662,0 + 4975 784,0 + 1025,0 692,0 + 553,2 p = 0,903# No. 1. 2. 3. 4. Karakteristik Pasien MB (n=25) Pasien PB (n=25) Usia (tahun) (rerata + SD) 14-24 25-35 36-59 31,0 + 11,4 8 (32%) 9 (36%) 8 (32%) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tdk tamat SD/SLP SLA/Akademi/Univ. Pekerjaan p = 0,006 5. Penghasilan /rb/bln (rerata + SD) 6. Lama sakit /bln (rerata + SD) 8,5 + 8,6 15,0 + 23,2 - p = 0,192* 7. Kadar Hb g/dl (rerata + SD) Anemia Normal 13,5 + 1,5 7 (28%) 18 (72%) 13,8 + 1,8 8 (32%) 17 (68%) 14,0 + 0,9 25 (100) p = 0,527* Ket : MB: multibasilar, PB: pausibasilar n: besar sampel ) Chi sqare *) Uji Anova #) Uji Kruskal Wallis Rank Usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, lama sakit dan kadar Hb antara kedua kelompok sebanding. Usia termuda 15 tahun dan tertua 58 tahun. Subyek penelitian terbanyak berusia 25-35 tahun, yaitu 36%(MB), 40%(PB), 44% (kontrol). Pada kelompok pasien kusta, laki-laki 3 kali lebih banyak daripada perempuan. Sebagian besar subyek berpendidikan sekolah menengah atas sampai universitas, yaitu 60% (MB), 68% (PB), 52% (kontrol) dan berpenghasilan tetap, yaitu 76% (MB), 52% (PB), 92% (kontrol). Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam lama sakit, rerata lama sakit pada kusta tipe MB 8,5 8,6 bulan dan tipe PB 15 23,2 bulan. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar Hb antara kelompok studi dan kontrol, rerata kadar Hb 13,51,5 g/dl (MB), 13,81,8 g/dl (PB), dan14,00,9 g/dl (kontrol). Didapatkan anemia pada kusta tipe MB (28%) dan PB (32%). 3 Perbandingan aktivitas superoksid dismutase (SOD) dalam eritrosit antara pasien kusta dengan individu sehat Aktivitas SOD dalam eritrosit pada kelompok kusta tipe MB berkisar antara 337,44 – 1482 u/gHb dengan rerata 1101,2 + 230,2 u/gHb dan pada kelompok kusta tipe PB antara 570,06 – 1670 u/gHb dengan rerata 1178,1 + 216,1 u/gHb. Aktivitas SOD pada kelompok kontrol antara 1041,00 – 1715,90 u/gHb dengan rerata 1420,8 + 142,9 u/gHb. Didapatkan perbedaan bermakna (p 0,000) berdasarkan uji ANOVA antara kelompok studi dengan kelompok kontrol, baik antara kelompok tipe MB dengan kelompok kontrol maupun kelompok tipe PB dengan kelompok kontrol. Tabel 2. Perbandingan aktivitas enzim superoksid dismutase (SOD) dalam eritrosit antara pasien kusta dengan kontrol MB (n=25) Aktivitas SOD PB (n=25) Sehat (n=25) Mean u/gHb SD u/gHb Mean u/gHb SD u/gHb Mean u/gHb SD u/gHb 1101,2 230,2 1178,1 216,1 1420,8 142,9 p 0,000 Ket : MB: multibasilar, PB: pausibasilar n : besar sampel SD : standar deviasi Perbandingan aktivitas superoksid dismutase (SOD) dalam eritrosit antara kusta tipe MB dengan PB Aktivitas enzim SOD dalam eritrosit lebih tinggi pada kelompok kusta tipe PB dibandingkan dengan tipe MB, tetapi dengan perhitungan statistik uji t perbedaan tersebut tidak bermakna (p =0,230). Tabel 3. Perbandingan aktivitas superoksid dismutase (SOD) dalam eritrosit antara kusta tipe MB dengan PB MB (n=25) Aktivitas SOD PB (n=25) P Mean SD Mean SD U/gHb U/gHb u/gHb u/gHb 1101,2 230,2 1178,1 216,1 0,230 Ket : MB: multibasilar, PB: pausibasilar n : besar sampel SD : standar deviasi Hubungan antara lama sakit kusta dengan aktivitas enzim SOD dalam eritrosit Koefisien korelasi antara lama sakit kusta (x) dengan aktivitas enzim SOD eritrosit (y) berdasarkan hasil perhitungan dengan uji korelasi Pearson diperoleh r = 0,134. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara lama sakit kusta dengan aktivitas SOD dalam eritrosit. Gambar 1. Hubungan antara lama sakit kusta dengan aktivitas superoksid dismutase (SOD) dalam eritrosit . PEMBAHASAN Usia subyek penelitian ini antara 15-58 tahun pada kelompok studi dan kontrol, dengan usia termuda 15 tahun dan tertua 58 tahun pada kusta MB serta usia termuda 15 tahun dan tertua 56 tahun pada kusta PB dan kelompok kontrol. Rerata usia pada kelompok 4 studi 31,0 + 11,4 tahun pada kusta MB, dan 31,4 + 12,2 tahun pada kusta PB, sedangkan pada kelompok kontrol 31,8 + 10,5 tahun. Hasil ini sesuai teori bahwa kusta mengenai usia dewasa muda, terutama usia 20-35 tahun.1 Pada kelompok studi didapatkan pasien kusta laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, yakni masing-masing sebanyak 18 laki-laki (72%) pada tipe MB dan 20 laki-laki (80%) pada tipe PB dibandingkan 7 perempuan (28%) pada tipe MB dan 5 perempuan (20%) pada tipe PB. Perbandingan laki-laki : perempuan pada penelitian ini adalah 3:1, sesuai rasio yang dikemukakan Noorden. Hal tersebut berhubungan dengan mobilitas yang lebih tinggi, sehingga laki-laki memiliki risiko lebih tinggi untuk terpajan penyakit kusta.18 Sebagian besar subyek penelitian bekerja dengan penghasilan tetap, yaitu 76% (tipe MB) dan 52% (tipe PB) pada kelompok studi dan 92% pada kelompok kontrol. Subyek penelitian yang tidak bekerja terdiri atas ibu rumah tangga dan pelajar. Hingga saat ini belum ada data nasional yang membandingkan pekerjaan pasien kusta dengan individu sehat. Kadar Hb kelompok kusta tipe MB 13,5 + 1,5 g/dl, kelompok kusta tipe PB 13,8 + 1,8 g/dl dan kelompok kontrol 14,0 + 0,9 g/dl. Menurut WHO kadar hemoglobin normal laki-laki dewasa 13 g/dl dan perempuan dewasa 12 g/dl, dinyatakan anemia bila kadar hemoglobin lebih rendah dari normal.19 Pada kelompok kusta tipe MB didapatkan 28% anemia, kelompok kusta tipe PB 32% anemia. Anemia pada penyakit kusta disebabkan karena penyakit kronik, biasanya merupakan anemia defisiensi besi karena terjadi penghancuran zat besi dan iron binding protein oleh makrofag, gangguan metabolisme zat besi, serta pelepasan sitokin yang menekan produksi eritropoietin.20 Aktivitas SOD dalam eritrosit pada kelompok kusta tipe MB berkisar antara 337,44 – 1482 u/gHb dengan rerata 1101,2 + 230,2 u/gHb dan pada kelompok kusta tipe PB antara 570,06 – 1670 u/gHb dengan rerata 1178,1 + 216,1 u/gHb. Aktivitas SOD pada kelompok kontrol antara 1041,00 – 1715,90 u/gHb dengan rerata 1420,8 + 142,9 u/gHb. Didapatkan perbedaan bermakna (p 0,000) berdasarkan uji ANOVA antara kelompok studi dengan kelompok kontrol, baik antara kelompok tipe MB dengan kelompok kontrol maupun kelompok tipe PB dengan kelompok kontrol. Terdapat kisaran aktivitas SOD terendah dan tertinggi yang jauh berbeda, baik pada kelompok studi maupun kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain radiasi ultraviolet alami, polutan udara, serta pola makan/asupan makanan yang mengandung bahan yang diperlukan untuk struktur komponen enzim, misalnya logam tembaga (Cu) dan seng (Zn) yang dibutuhkan enzim Cu, Zn, SOD.16 Penelitian mengenai pengaruh konsumsi suplemen vitamin atau senyawa antioksidan terhadap aktivitas enzim antioksidan endogen dilaporkan antara lain oleh Sulochana dkk. (2001). Didapati bahwa konsumsi Zn, baik pada bukan perokok (kontrol) maupun pada perokok, dapat meningkatkan aktivitas SOD eritrosit.21 Penelitian mengenai pengaruh lingkungan terhadap status antioksidan endogen dilaporkan oleh Ozguner dkk. (1999), didapati bahwa daerah industri dapat mempengaruhi keseimbangan antioksidan sel darah merah pada pekerja di daerah industri.22 Reddy dkk. (1997) melaporkan penduduk yang tinggal di daerah perkotaan mengalami peningkatan kadar radikal bebas dan terganggunya antioksidan endogen.23 Temel dkk. (2002) juga melaporkan tentang pengaruh pola hidup tidak sehat, misalnya konsumsi alkohol, terhadap aktivitas antioksidan enzimatik, didapati bahwa konsumsi alkohol dapat mengganggu aktivitas enzim. 24 Penelitian ini sesuai dengan yang didapat pada penelitian Sethi dkk. (1996) yang melaporkan rerata kadar enzim SOD serum pasien kusta tipe TT 3,44 u/ml, BT 3,55 u/ml, BL 3,54 u/ml, dan LL 3,53 u/ml yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol 3,92 u/ml. 14 Nilai yang didapat berbeda dengan penelitian ini karena metode yang digunakan berbeda dan yang diukur adalah kadar SOD dalam serum. Walaupun demikian hasil tersebut tetap dapat dibandingkan dengan penelitian ini karena aktivitas suatu enzim berbanding lurus/setara dengan konsentrasi/ kadar enzim tersebut.17 Reddy dkk. (2003) meneliti stres oksidatif dan status antioksidan pada pasien kusta. Didapatkan pada pasien kusta tipe MB peningkatan radikal bebas dan penurunan status antioksidan (enzim SOD, katalase, glutation) yang berbeda bermakna (p < 0,001) 5 dibandingkan dengan individu sehat. Sedikit berbeda dengan penelitian ini, yaitu pada pasien kusta tipe PB didapatkan penurunan status antioksidan, tetapi tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan individu sehat.15 Hasil yang didapat pada penelitian ini juga hampir sama dengan penelitian oleh Bhadwat dkk. (2000) yang melaporkan aktivitas enzim SOD eritrosit lebih tinggi pada kontrol (antara 32,00 – 37,00 u/gHb dengan rerata 34,49 + 1,58 u/gHb), dibandingkan dengan pasien kusta (tipe LL, BL, BB, BT, TT) antara 17,25 – 38,2 u/gHb. Penelitian tersebut mendapatkan perbedaan yang sangat bermakna antara aktivitas SOD eritrosit pasien kusta tipe LL dan BL dibandingkan dengan kontrol (p < 0,001). Nilai yang berbeda dengan penelitian ini karena cara pemeriksaan yang berbeda, yaitu dengan cara Winterbourn. 25 Aktivitas enzim SOD dalam eritrosit lebih tinggi pada kelompok kusta tipe PB dibandingkan dengan tipe MB, tetapi dengan perhitungan statistik uji t perbedaan tersebut tidak bermakna (p =0,230). Penelitian ini sesuai dengan yang didapat pada penelitian Sethi dkk. (1996) yang melaporkan kadar SOD serum pada pasien kusta tipe TT, BT, BL, dan LL, didapat perbedaan yang tidak bermakna antar tipe kusta. Perbedaan dengan penelitian ini, pada penelitian tersebut terdapat kadar SOD tipe tuberkuloid yang lebih rendah.14 Penelitian ini juga hampir sama dengan dengan penelitian oleh Bahdwat dkk.(2000) yaitu aktivitas SOD terendah didapatkan pada pasien kusta tipe LL (25,84 5,67 u/gHb) dan tertinggi pada tipe TT (34,05 2,46 u/gHb).25 Mekanisme utama pertahanan tubuh pada pasien kusta adalah sistem makrofag, sedangkan mekanisme matinya organisme selama proses fagositosis disebabkan karena dihasilkannya radikal superoksid. Pasien kusta pada kutub tuberkuloid mempunyai respons imun selular yang baik, sedangkan pada kutub lepromatosa respons imun selularnya buruk. Kegagalan imunitas selular menyebabkan defek fungsi makrofag walaupun kemampuan fagositosis normal namun tidak dapat membunuh M. leprae karena produksi radikal superoksid oleh fagosit tidak adekuat. Makrofag pada pasien lepromatosa tidak mempunyai kontribusi yang besar terhadap pembentukan ROS, hal ini sangat berbeda dengan pasien tuberkuloid. Terdapatnya penurunan aktivitas SOD eritrosit pada tipe lepromatosa terjadi karena adanya hambatan enzim atau konsentrasi protein enzim yang rendah, disebabkan penekanan gen SOD pada tingkat DNA. Kemungkinan tersebut mulai dipikirkan sejak adanya laporan bahwa regulasi aktivitas SOD terjadi pada tingkat genetik. Terdapat hipotesis bahwa beberapa komponen M. leprae dapat menyebabkan gangguan regulasi gen SOD. Hipotesis ini perlu diteliti lebih lanjut. Phenolic glycolipid I (PGL-I) berperan sebagai antioksidan terhadap ROS yang dihasilkan pada proses fagositosis. Penelitian lain melaporkan M. leprae mempunyai enzim SOD.25 Hasil penelitian ini memperlihatkan stres oksidatif pada pasien kusta, terutama tipe lepromatosa, meningkat karena pertahanan antioksidan rendah. KESIMPULAN Aktivitas enzim SOD dalam eritrosit pada kelompok studi baik kusta tipe MB maupun PB, lebih rendah secara bermakna (p = 0,000) dibandingkan kelompok kontrol . Hal ini sesuai hipotesis pertama. Aktivitas enzim superoksid dismutase dalam eritrosit pada kusta MB lebih rendah dibandingkan kusta tipe PB, namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik (p 0,230). SARAN Berdasarkan penelitian ini diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai: status antioksidan dan petanda stres oksidatif pada pasien kusta dibandingkan dengan individu sehat, status antioksidan pada pasien kusta sebelum dan sesudah pengobatan MDT WHO, 6 status antioksidan pada pasien kusta sebelum dan sesudah pemberian antioksidan (vit A, C, E, zinc). Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas dapat dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian antioksidan pada pasien kusta untuk mencegah terjadinya stres oksidatif yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. Kosasih A, Wisnu IM, Daili ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999: 71-86. WHO. A guide to eliminating leprosy as a public health problem, edisi ke-2. Geneva, 1997. Bryceson ADM, Pfaltzgraff RE. Leprosy, edisi ke-3. Edinburg: Churchill Livingstone, 1990: 1-4. Subdirektorat Kusta Direktorat P2ML. Direktorat Jenderal PP dan PL. Situasi kusta tahun 2004. Jakarta, 2004. Divisi MH Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Data morbiditas Divisi MH, Jakarta, 2005. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical leprosy. Dalam: Hastings RC, Opromolla DVA, penyunting. Leprosy, edisi ke2. Edinburgh: Churchill Livingstone, 1994; 237-313. Halliwel B, Gutteridge JMC. Oxygen is a toxic as an introduction to oxygen toxicity and reactive oxygen species. Dalam: Halliwel B, Gutteridge JMC, penyunting. Free radicals in biology and medicine, edisi ke-3. Oxford: Clarendon Press, 1999: 1-35. Halliwel B, Gutteridge JMC. Reactive species as useful biomolecules. Dalam: Halliwel B, Gutteridge JMC, penyunting. Free radicals in biology and medicine, edisi ke-3. Oxford: Clarendon Press, 1999: 430-84. Halliwel B, Gutteridge JMC. Free radicals, others reactive species, and disease. Dalam: Halliwel B, Gutteridge JMC, penyunting. Free radicals in biology and medicine, edisi ke-3. Oxford: Clarendon Press, 1999: 617-706. Asikin N. Antioksidan endogen dan penilaian status antioksidan. Radikal bebas dan antioksidan dalam kesehatan dasar aplikasi dan pemanfaatan bahan alam. Dibacakan pada Kursus Penyegar 2001. Bagian Biokimia FKUI, Jakarta, 2001. Langseth L. Oxidants and antioxidants, some basic concepts. Dalam: Langseth L, penyunting. Oxidants, antioxidants, and disease prevention. International Life Science Institute Belgium, 1995: 1-24. Mates JM, Jimenez FS. Antioxidant enzymes and their implications in pathophysiologic processes. Frontiers in Bioscience, 1999; 4: 339-45. Yildirim M, Baysal V, Inaloz HS, Kesia D, Delibas N. The role of oxidants and antioxidants in generalized vitiligo. J Dermatol 2003, 30:104-8. Sethi NC, Madadi AJ, Bhandari S. Serum zinc, copper, magnesium, proteins, and superoxide dismutase in leprosy patients OD: Multidrug therapy a follow up study. Indian J Lepr 1996; 68: 325-33. Reddy YN, Murthy SV, Krishna DR, Prabhakar MC. Oxidative stress and anti-oxidant status in leprosy patients. Ind J Lepr, 2003; 75: 307-16. Halliwel B, Gutteridge JMC. Antioxidant defences. Dalam: Halliwel B, Gutteridge JMC, penyunting. Free radicals in biology and medicine, edisi ke-3. Oxford: Clarendon Press, 1999: 105-245. Rodwell VW. Enzymes: kinetics. Dalam: Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW, penyunting. Harper’s Biochemistry, edisi ke-25. London: Prentice Hall, 2001: 68-81. Noorden SK. The epidemiology of leprosy. Dalam: Hastings RC, Opromolla DVA, penyunting. Leprosy, edisi ke-2, Edinburgh: Churchill Livingstone, 1994; 29-45. Cooper BA. Hematologic diseases red cells approach to diagnosis and management of anemia. Dalam: Brain M, Carbone P, penyunting. Current therapy in hematology oncology, edisi ke-5. St Louis Missouri: Mosby, 1995: 53-104. Erslev AJ. Anemia of chronic disease. Dalam: William JW, Beutler E, Erslev AJ, Lichtman MA, penyunting. Hematology, edisi ke-4. New York: McGraw Hill, 1991: 518-22. Sulochana KN, Punithan R, Ramakrishnans. Oral supplementation of zinc promotes erythrocyte superoxide dismutase activity in chronic cigarette smokers: report on a pilot clinical trial. Indian J Pharmacol 2001; 33: 224. Ozguner ME, Delibas N, Tahan U, Koyu A, Koylu H. Effects of industrial noise on the blood levels of superoxide dismutase, glutathione peroxidase, and malondialdehyde. Eastern J Med 1999; 4: 13-5. Reddy KK, Ramamurthy R, Somasekaraiah BV, Reddy TPK, Rao P. Free radical and antioxidant status in urban and rural tirupati men: interaction with nutrient intake, substance abuse, obesity and body fat distribution. Asia Pacific J Clin Nutr 1997; 6: 296-311. Temel I, Ozerol E, Bay A, Gigli A, Akyolo. Erythrocyte catalase activities in alcohol consumption, medications and some disease. Inonu University tip Fakultesi Durgisi 2002; 9: 11-4. Bhahdwat VR, Borade VB. Increased lipid peroxidation in lepromatous leprosy. J Dermatol Venereol Leprol 2000; 66: 121-5. 7