tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Makanan Bayi
Air Susu Ibu (ASI)
Air Susu Ibu (ASI) merupakan gizi terbaik bagi bayi karena komposisi zat
gizi di dalamnya secara optimal mampu menjamin pertumbuhan tubuh bayi,
selain itu juga mudah diserap dan dicerna oleh usus bayi. Kandungan protein
ASI yang lebih rendah dari susu sapi memiliki kualitas yang sangat tinggi karena
kandungan asam-asam amino essensial yang dibutuhkan oleh bayi dan sesuai
dengan daya cerna usus bayi (Widjaya 2002).
Tahun pertama khususnya enam bulan pertama, adalah masa yang
sangat kritis dalam kehidupan bayi. Bukan hanya pertumbuhan fisik yang
berlangsung sangat cepat, tetapi juga pembentukan psikomotorik dan juga
akulturasi terjadi dengan cepat sehingga ASI harus merupakan makanan utama
pada usia dini (Muchtadi 2002).
ASI dihasilkan oleh setiap ibu setiap ibu setelah melahirkan. Kemampuan
produksi ASI sangat dipengaruhi oleh refleks isapan bayi. Refleks isapan bayi
akan mencapai puncaknya pada 20 – 30 menit pertama setelah bayi lahir.
Volume ASI mencapai 100 ml pada hari kedua setelah melahirkan dan jumlah
tersebut akan meningkat sampai kira – kira 500 ml pada minggu kedua (Roesli
2001).
Konsep ASI eksklusif, yakni memberikan ASI saja sampai anak berusia 6
bulan kini semakin sulit dipraktikkan oleh ibu – ibu. Kesibukan karir menjadi
hambatan utama seorang ibu untuk menyusui anaknya dengan sempurna. Di
samping itu ada pula ibu – ibu yang tidak bisa menyusui anaknya karena putting
tidak keluar, produksi ASI kurang, dan lain-lain (Khomsan 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Anak Universitas
Limpopo di Afrika Selatan (2005) menunjukkan hanya terdapat 4.6 % dari subjek
penelitiannya yang benar – benar menerapkan konsep ASI eksklusif sedangkan
sisanya adalah sebanyak 88 % bayi diberikan tambahan berupa air putih, 43 %
diberikan susu formula dan sebanyak 37 % sudah diberikan makanan tambahan.
Definisi yang diberikan oleh WHO pemberian ASI secara predominan memiliki
arti pemberian ASI yang didampingi dengan pemberian cairan semacam air
putih, jus, teh, suplemen seperti vitamin dan mineral serta obat. Hellen Keller
(2002) dalam penelitian yang berbeda menyatakan bahwa lama pemberian ASI
tidak hanya dipengaruhi dari produksi ASI yang dihasilkan tetapi juga faktor luar
yang dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam memberikan ASI seperti
dukungan yang diberikan keluarga, kondisi sosial lingkungan tempat tinggal,
serta persepsi ibu terhadap makanan pendamping ASI. Eckhardt et al. (2001)
menyebutkan bahwa perbedaan pola serta lama pemberian ASI akan
mempengaruhi
perkembangan
dan
pertumbuhan
anak.
Penelitian
yang
dilakukan Griffiths et al. (2008) menunjukkan bahwa anak yang tidak diberikan
ASI mengalami pertambahan yang sangat cepat dan cenderung kelebihan berat
badan.
Makanan Tambahan
Makanan tambahan (MP ASI) adalah makanan yang diberikan kepada
bayi atau anak disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP ASI
diberikan mulai umur 6 – 24 bulan dan merupakan makanan peralihan dari ASI
ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP ASI harus dilakukan
secara bertahap baik bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk
menyesuaikan kemampuan alat cerna bayi dalam menerima MP ASI (Depkes RI
2004).
Makanan tambahan adalah makanan untuk bayi selain ASI atau susu
botol sebagai penambah kekurangan ASI atau susu pengganti (PASI) (Husaini
2001). Pemberian makanan tambahan adalah memberi makanan selain ASI
untuk megisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi dengan jumlah yang didapat
dari ASI (Rosidah 2004).
Makanan tambahan berarti memberi makanan lain selain ASI dimana
selama periode pemberian makanan tambahan seorang bayi terbiasa memakan
makanan keluarga. MP ASI merupakan proses transisi dari asupan yang semata
berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Proses ini membutuhkan
ketrampilan motorik oral. Ketrampilan motorik oral berkembang dari reflex
menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan
memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang.
Pengenalan dan pemberian MP ASI harus dilakukan secara bertahap baik
bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi atau
anak. Pemberian MP ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting
untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasaan anak yang bertambah
pesat pada periode ini (Ariani 2008).
Menurut Murniningsih et al. (2007) manfaat pemberian makanan
tambahan pada bayi sebagai berikut :
a. Melengkapi zat-zat gizi yang kurang, karena kebutuhan bayi yang semakin
meningkat.
b. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam-macam
makanan dengan beragam rasa dan bentuk.
c. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan.
d. Melakukan penyesuaian terhadap makanan yang mengandung kadar energi
yang tinggi. Membantu menanamkan kebiasaan makan yang baik.
Penyapihan
Penyapihan digunakan untuk menyebut proses dimana seorang bayi
perlahan – lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa
tersebut makanan anak berubah secara perlahan dari hanya diberi ASI menjadi
campuran antara ASI dan makanan yang berbentuk padat. Penyapihan adalah
masa berbahaya bagi bayi dan anak kecil. Telah diketahui bahwa terdapat resiko
infeksi yang lebih tinggi, terutama penyakit diare, selam proses ini dibandingkan
dengan masa sebelumnya dalam kehidupan bayi (Muchtadi 2002).
Menurut Lewis (2004) menyapih merupakan proses peralihan pemberian
makan bayi dari susu ke bubur yang sangat halus, kemudian ke bubur yang lebih
kasar, sampai bayi berumur sekitar 12 bulan dan sudah sepenuhnya mampu
menyantap makanan keluarga. Penyapihan dimulai pada umur yang berbeda
dalam masyarakat yang berbeda. Pada segolongan masyarakat, hal ini tidak
dilakukan sebelum bayi menginjak usia enam bulan, dan dapat berlangsung
sampai anak berumur lebih dari dua tahun, atau kadang – kadang sampai empat
tahun. Pada golongan masyarakat lain, hal ini seringkali dilakukan lebih awal.
Penelitian yang dilakukan oleh Mushaphi et al. (2008) menunjukkan hasil hanya
sebesar 7.6 % ibu balita yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya,
sedangkan sebanyak 43.2 % telah diberikan makanan padat pada usia tiga bulan
dan 15 % sebelum usia dua bulan.
Makanan tambahan diberikan sewaktu bayi masih berumur beberapa
minggu. Bila makanan tersebut bernilai gizi rendah dan disiapkan dengan cara
yang tidak higienis, seringkali membawa akibat terjadinya infeksi, kurang gizi
atau marasmus pada bayi. Pada masyarakat pedesaan umumnya penyapihan
jarang dilakukan terhadap bayi sebelum umur satu tahun, bahkan berlangsung
sampai umur lebih dari dua tahun, sedangkan pada masyarakat perkotaan
terdapat kecenderungan yang jelas bahwa penyapihan anak dilakukan pada
umur yang lebih dini, bahkan adapula yang menyapihkan anaknya pada umur
minggu (Muchtadi 2002). Penelitan yang dilakukan Mushaphi et al. (2008) juga
menyebutkan sebanyak 45 % ibu bayi mengatakan bahwa mereka memberikan
makanan padat kepada bayinya karena mendapat saran dari kerabat atau
teman, 35 % karena merasa bayinya lapar dan 3.5 % lainnya karena bayinya
susah tidur.
Pemberian MP – ASI
Pemberian MP ASI pertama kali diberikan kepada bayi merupakan suatu
proses dimana bayi mulai secara perlahan – lahan dibiasakan dengan makanan
orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah secara perlahan
dari hanya ASI menjadi campuran antara ASI dengan makanan lain yang
berbentuk padat (Muchtadi 2002).
Waktu yang baik dalam memulai pemberian makanan tambahan pada
bayi adalah saat umur 6 bulan. Pemberian makanan tambahan pada bayi
sebelum umur tersebut akan menimbulkan resiko seperti produksi ASI yang
berkurang sehingga akan sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak, kejadian
infeksi meningkat, dan ibu mempunyai resiko lebih tinggi untuk hamil kembali
(Ariani 2008).
Hanya sedikit ibu yang sadar dan memberikan anaknya makanan
pendamping ASI setelah usia anaknya diatas 6 bulan. Hal ni terbukti dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2006) di Malaysia menunjukkan bahwa
sebanyak 117 anak (21.3%) dari 551 anak di sana telah diberikan makanan
pendamping sebelum berusia 4 bulan dan hanya 12.8% yang diberikan makanan
pendamping setelah berusia 6 bulan.
Jenis dan Pola Pemberian MP – ASI
Bentuk dan frekuensi makanan bayi (0-12 bulan) disesuaikan dengan
bertambahnya umur, perkembangan dan kemampuan menerima makanan. Cara
memberikan makanan tambahan bagi bayi adalah dari makanan itu berbentuk
cairan dan kental lalu menjadi keras, seiring dengan proses dan umur juga
perkembangan bayi, sehingga usus bayi pun terlatih dengan sendirinya terhadap
makanan yang diterimanya. Pola pemberian makanan bayi merupakan cara
pemberian makanan pada bayi dimana jenis, frekuensi dan jadwal pemberiannya
telah ditetapkan. ASI yang merupakan makanan terbaik bagi bayi usia 0-6 bulan
setelah 6 bulan ASI tidak mampu mencukupi kebutuhan energi dan zat gizi bagi
bayi sehingga diperlukan MP-ASI.
Adapun jenis – jenis makanan tambahan atau makanan pendamping ASI
(MP-ASI) terbagi atas (Chintia 2008) :
a. Makanan lunak yaitu semua makanan termasuk yang disajikan dalam bentuk
halus dan diberikan pada bayi pertama kali, misalnya bubur susu dan sari
buah.
b. Makanan lembik yaitu makanan peralihan dari makanan lunak menuju
makanan biasa seperti nasi tim.
c. Makanan biasa yaitu makanan seperti yang disajikan untuk orang dewasa
seperti nasi.
Makanan pertama yang baik untuk bayi adalah biji-bijian, sereal bayi yang
diperkaya zat besi, biasanya sereal beras (nasi bubur). Makanan tambahan
harus mudah dicerna oleh bayi dan mengandung zat-zat gizi dalam
keseimbangan yang baik. Karena lambung bayi masih kecil makanan yang
diberikan harus cepat meninggalkan lambung. Makanan baru berupa nasi yang
bersama-sama ditim dengan sayuran (misalnya bayam, wortel, tomat) dan ati
ayam seyogyanya tidak diberikan sebelum umur 6 atau 7 bulan (Pudjiadi 2001).
Tabel 1 Pola pemberian makanan anak balita
Umur
Jumlah
Pemberian Dalam Sehari
(kali)
0 – 6 bulan
ASI
Sekehendak
6 – 8 bulan
ASI
Bubur Susu
Nasi Tim Saring
Sekehendak
1
1
8 – 10 bulan
ASI
Buah
Bubur Susu
Nasi Tim dihaluskan
Sekehendak
1
1
2
ASI
Buah
Nasi Tim
ASI
Nasi Tim atau Makanan
Makanan Kecil
Sekehendak
1
3
Sekehendak
3
1
10 – 12 bulan
12 – 24 tahun
Sumber : Depkes 2000
Menurut Depkes (2000) pola pemberian makanan kepada anak dibawah
umur dua tahun dibagi dalam lima tahap sedangkan untuk anak di atas dua
tahun pola makannya sudah menyerupai makanan orang dewasa. Frekuensi
pemberian makan pada anak umur lebih dari 6 bulan adalah 4 – 6 kali sebagai
tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2 – 3 tahun dapat dikurangi
menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan frekuensi yang
sering tetapi dengan porsi kecil. Hal ini dikarenakan anak umur 1 – 3 tahun
hanya bisa mengkonsumsi 200 – 300 ml makanan (Muchtadi 2002). Berikut
merupakan tabel pola pemberian makanan pada anak balita
Karakteristik Keluarga
Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang dapat meningkatan
mutu modal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa semakin tinggi
pendidikan
seseorang,
maka
akan
semakin
banyak
pengetahuan
dan
kemampuan yang dimiliki. Orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi
umumnya akan memberikan stimulasi lingkungan baik dari segi fisik, sosial,
emosional dan psikologis bagi anak – anaknya dibanding dengan orangtua yang
tingkat pendidikannya rendah (Hartoyo & Hastuti 2004). Penelitian yang
dilakukan oleh Khan et al. (2007) menyatakan bahwa sebanyak 62 % ibu dalam
kategori pendidikan rendah memiliki pengetahuan dalam pola penyapihan yang
rendah juga. Penelitian yang dilakukan Kumar et al. (2006) menyatakan bahwa
ibu yang berasal dalam kategori pendidikan rendah cenderung memiliki anak
yang bergizi kurang bahkan bergizi buruk.
Pekerjaan
Faktor yang memiliki peranan penting dalam kehidupan keluarga adalah
keadaan sosial ekonomi. Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap
kehidupan mental dan fisik individu yang berada dalam keluarga tersebut. Ibu
yang bekerja cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk bersama anaknya.
Hal ini menyebabkan mereka cenderung memberikan makanan tambahan bagi
anaknya terlalu dini. Penelitian yang dilakukan oleh Senorita dan Laukau (2005)
menyatakan bahwa balita yang orangtuanya khususnya ibu bekerja sebanyak
67 % memberikan makanan tambahan pada anaknya pada umur tiga bulan.
Pengetahuan
Kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam memberikan
makanan kepada bayi diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan para orang tua
Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta adanya
kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung
menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya
pada umur dibawah 5 tahun (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
RI 2000).
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui cara pemilihan
bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih
makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu daripada orang yang
berpendidikan lebih rendah. Namun, tingkat pendidikan umum ibu yang lebih
tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi ternyata tidak
berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga (Riyadi et al. 2003).
Selanjutnya,
Sediaoetama
(2006)
menyatakan
bahwa
semakin
tinggi
pengetahuan gizi ibu akan semakin baik pula susunan menu keluarga. Hal ini
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
anggota
keluarga,
sehingga
dapat
mengurangi atau mencegah gangguan gizi pada keluarga. Menurut Khomsan et
al. (2007) tingkat pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh terhadap sikap
dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh
pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Tingginya tingkat pengetahuan
gizi seseorang maka diharapkan lebih baik juga keadaan gizinya
Besar Keluarga
Besar keluarga mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga.
Semakin besar jumlah keluarga yang tidak ditunjang oleh tingkat pendapatan
yang baik maka pangan bagi setiap anak akan berkurang. Anak yang tumbuh
dalam keluarga yang kurang mampu sangat rawan terhadap masalah gizi
kurang. Anak paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan
(Suhardjo 1989).
Pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah
anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan
perhatian anak, juga kebutuhan makanan, sandang dan perumahanpun tidak
terpenuhi oleh karena itu keluarga berencana tetap diperlukan (Soetjiningsih
1999).
Pendapatan Keluarga
Pola makanan keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga.
Semakin kecil pendapatan, maka semakin besar persentase pengeluaran untuk
makanan. Sebaliknya semakin besar pendapatan maka persentase pengeluaran
untuk makanan atau pangan semakin kecil (Berg 1986). Faktor kemiskinan
keluarga diakui memiliki dampak terhadap penurunan ketahanan pangan dan
status gizi anak (Soekirman 2000). Hal ini disebabkan daya beli keluarga yang
rendah untuk memperoleh makanan dengan harga terjangkau, sehingga porsi
yang dibelanjakan untuk pangan semakin tidak memadai untuk memenuhi
kecukupan gizi seluruh anggota keluarga. Padahal anak – anak yang sedang
dalam masa pertumbuhan cepat, terutama anak balita, memerlukan protein dan
gizi mikro yang sangat penting untuk pertumbuhan otak dan perkembangan
kecerdasan individu di kemudian hari (Djalal 2009).
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat interaksi antara asupan
energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan kesehatan
tubuh. Status gizi adalah kondisi tubuh sebagai akibat penyerapan zat-zat gizi
esensial. Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan zat gizi dengan
kebutuhan
tubuh,
yang
diwujudkan
dalam
bentuk
variabel
tertentu.
Ketidakseimbangan (kelebihan atau kekurangan) antara zat gizi dengan
kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia.
Keadaan demikian disebut malnutrition (gizi salah atau kelainan gizi). Secara
umum, bentuk kelainan gizi digolongkan menjadi 2 yaitu overnutrition (kelebihan
gizi) dan under nutrition (kekurangan gizi). Overnutrition adalah suatu keadaan
tubuh akibat mengkonsumsi zat-zat gizi tertentu melebihi kebutuhan tubuh dalam
waktu yang relative lama. Undernutrition adalah keadaan tubuh yang disebabkan
oleh asupan zat gizi sehari-hari yang kurang sehingga tidak dapat memenuhi
kebutuhan tubuh (Gibson 2005).
Menurut Supariasa (2002), penentuan status gizi dapat dikelompokkan
dalam metode langsung dan metode tidak langsung. Metode penilaian status gizi
secara langsung meliputi metode biokimia, antropometri, klinik dan biofisik.
Sedangkan metode tidak langsung adalah metode konsumsi makanan, statistik
vital dan faktor-faktor ekologi. Indikator status gizi yang didasarkan pada ukuran
Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB) biasanya disajikan dalam bentuk
indeks yang terkait dengan umur (U) atau kombinasi antara keduanya. Indeks
antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U),
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Tinggi Badan
(BB/TB) . Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi yang
memiliki karakteristik masing-masing.
Dengan batasan (cut-off point) tertentu, nilai-nilai indeks antropometri
dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan status gizi (Jahari 2002).
Kegiatan pemantauan status gizi, jarak waktu yang cukup panjang (dua tahun
atau lebih) pilihan utama adalah indeks TB/U. Indeks ini cukup sensitif untuk
mengukur perubahan status gizi dalam jangka panjang, stabil, tidak terpengaruh
oleh fluktuasi perubahan status gizi yang sifatnya musiman. Perubahanperubahan yang disebabkan oleh keadaan secara musiman yang dapat
mempengaruhi status gizi dapat ditunjukkan oleh indeks BB/U. Kalau tujuan
penilaian status gizi adalah untuk assessment seperti dalam evaluasi suatu
kegiatan program gizi, gabungan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB dapat
memberikan informasi yang rinci tentang status gizi, baik gambaran masa lalu
maupun masa kini atau keduanya (kronis dan akut).
Penelitian yang dilakukan oleh Medhi (2004) menunjukkan hasil bahwa
anak usia 0-6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja memiliki status gizi yang
lebih baik dibandingkan anak yang telah diberikan susu formula dan makanan
pendamping.
Tabel 2 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U,PB/U, BB/TB
No Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan
Sebutan Status Gizi
1
BB/U
< -3 SD
Gizi buruk
- 3 s/d <-2 SD
Gizi kurang
- 2 s/d +2 SD
Gizi baik
> +2 SD
Gizi lebih
2
TB/U
< -3 SD
Sangat Pendek
- 3 s/d <-2 SD
Pendek
> +2 SD
Normal
3
BB/PB
< -3 SD
Sangat Kurus
- 3 s/d <-2 SD
Kurus
- 2 s/d +2 SD
Normal
> +2 SD
Gemuk
Sumber : Depkes 2007
Infeksi
Infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur, tetapi
lebih nyata pada kelompok anak-anak. Infeksi juga mempunyai kontribusi
terhadap defisiensi energi, protein, dan gizi lain karena menurunnya nafsu
makan sehingga asupan makanan berkurang. Kebutuhan energi pada saat
infeksi bisa mencapai dua kali kebutuhan normal karena meningkatnya
metabolisme basal. Hal ini menyebabkan deplesi otot dan glikogen hati (Thaha
2005).
Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi
buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi dapat
menyebabkan turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi berkurang
padahal anak justru memerlukan zat gizi yang lebih banyak. Penyakit infeksi
sering disertai oleh diare dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan
cairan dan sejumlah zat gizi seperti mineral, dan sebagainya (Moehji 2003).
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu panyakit
infeksi yang erat kaitannya dengan masalah gizi. Tanda dan gejala penyakit
ISPA ini bermacam-macam antara lain batuk, kesulitan bernafas, tenggorakan
kering, pilek demam dan sakit telinga. ISPA disebabkan lebih dari 300 jenis
bakteri, virus dan ricketsia Dua penelitian menunjukkan adanya korelasi yang
signifikan antara berat badan dan infeksi saluran pernafasan. Pada anak umur
12 bulan dan batuk sebagai salah satu gejala infeksi saluran pernafasan hanya
memiliki asosiasi yang signifikan dengan perubahan berat badan, tidak dengan
perubahan tinggi badan (Depkes 2004).
Berbagai hasil studi menujukkan terjadinya penurunan berat badan anak
setiap hari selama ISPA berlangsung (Noor 2006). Diperkirakan panas yang
menyertai ISPA memegang peranan penting dalam penurunan asupan nutrien
karena menurunnya nafsu makan anak (Thaha 2005). Hasil penelitian Thamrin
(2002) di Kabupaten Maros menyimpulkan bahwa penyakit infeksi merupakan
faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian KEP pada anak balita.
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara
berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi
pada dua tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare
adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya.
Diare menjadi penyebab penting bagi kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh
adanya anoreksia pada penderita diare, sehingga anak makan lebih sedikit
daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang.
Padahal kebutuhan tubuh akan makanan meningkat akibat dari adanya infeksi.
Setiap episode diare dapat menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila
episodenya berkepanjangan maka dampaknya terhadap pertumbuhan anak akan
meningkat (Depkes 2006).
Download