STUDI KASUS Adam Smith dan Pelajaran Berharga.

advertisement
STUDI KASUS
Adam Smith dan Pelajaran Berharga
dari Skandal Keuangan di AS
Bukannya orang menjadi lebih serakah dalam generasi ini. Tetapi, peluang untuk
mengekspresikan keserakahan telah berkembang menjadi sangat besar.
Federal Reserve Chairman, Alan Greenspan
SEMUA mahasiswa ekonomi tentu mengenal Adam Smith yang sohor dengan teori
”tangan tak kelihatan” yang menjadi dasar teori pasar bebas kapitalisme. Teori ini
mengatakan individu yang bertindak untuk kepentingan pribadi justru makin
meningkatkan kesejahteraan publik yang jauh lebih baik dibandingkan dengan segala
usaha yang diarahkan negara. Di dalam buku terkenal, The Wealth of Nations, Smith
menulis: ”Dengan mengejar kepentingan pribadi, seseorang meningkatkan kesejahteraan
masyarakat jauh lebih efektif daripada apabila secara sadar ia mencoba memperbaiki
kesejahteraan masyarakat.”
Menurut teori Smith, para pelaku bisnis atau pemilik modal yang mencoba mengejar
kepentingan pribadinya akan mencari keuntungan sebesar-besarnya, pegawai berusaha
mencari gaji setinggi-tingginya, sementara konsumen berusaha membeli barang
semurah-murahnya. Dari interaksi inilah sumber daya dapat dialokasikan secara efisien
di dalam ekonomi pasar.
Perusahaan seperti Enron, Worldcom, Xerox, Merck, Tyco, dan Global Crossing juga
menganut prinsip ini. Mereka berusaha mendapatkan untung paling besar. Hal ini juga
berlaku pada Arthur Andersen yang menjadi auditor Enron dan para investment
banker, analis yang merekomendasikan saham-saham tersebut. Semua profesional dari
berbagai kelompok ini tentu saja mencoba bertindak demi kepentingan masing-masing.
Sayangnya, prinsip bertindak untuk kepentingan masing-masing ini kebablasan dan
berubah menjadi keserakahan yang mewabah. Alan Greenspan mengatakan
keserakahan yang mewabah telah melanda dunia bisnis. Keserakahan yang mewabah ini
tidak sejalan dengan teori Adam Smith sebab justru mengakibatkan nilai portfolio dari
investor hancur, kredibilitas akuntan dan analis keuangan turun, perusahaanperusahaan bangkrut, dan dikhawatirkan hal ini justru akan memperburuk krisis
ekonomi yang mengancam dunia. Skandal keuangan yang terjadi di Amerika Serikat
yang dimulai dengan skandal Enron, Worldcom makin terus menekan kinerja Bursa
Saham di Amerika.
Skandal keuangan ini membuat masyarakat perlu mengamati lebih lanjut peran eksekutif
perusahaan (CEO dan CFO), perusahaan akuntan, investment banker, investor, dan
regulator dalam kontribusinya terhadap krisis keuangan. Masalah tentang corporate
governance, transparansi laporan keuangan, kredibilitas dari akuntan, independensi dari
analis keuangan terus menjadi topik yang menjadi perhatian investor.
***
KESERAKAHAN yang mewabah sebenarnya bisa terlihat dari pergerakan Dow Jones
Industrial Average dan NASDAQ dalam delapan tahun terakhir ini. Indeks DJIA
meningkat dari level 2.000 menjadi sekitar 4.000 dalam kurun tahun 1987-1994. Indeks
DJIA meningkat tajam dari level 4.000 dan mencapai puncaknya di level 11.722 di
Januari 2000, sebelum mulai turun tajam dan pada saat sekarang di sekitar level 8.500an. Pola kenaikan dan penurunan yang luar biasa juga terlihat pada indeks NASDAQ.
Dari suatu hasil survei independen yang dilakukan di AS, hampir 70 orang menganggap
dirinya investor. Hal ini mengakibatkan naiknya jumlah pool of money ke dalam bursa
saham dan menyebabkan kenaikan sangat tajam dari indeks saham industrial average
Dow Jones sampai tahun 2000 sebelum akhirnya market-bubble ini pecah dalam dua
tahun belakangan.
Salah satu sebab utama dari kebangkrutan Enron adalah sikap serakah dari eksekutif
senior yang didukung oleh sistem insentif kompensasi yang keterlaluan. Insentif yang
dimaksud adalah sistem stock option yang mengizinkan eksekutif membeli saham dari
perusahan yang mereka kelola. Sering kali jauh di bawah harga pada waktu itu. Sistem
ini menyebabkan eksekutif perusahaan mencoba memaksmimalkan nilai saham dari
perusahaan. Meningkatkan nilai perusahaan memang telah menjadi kredo bagi para
ekseutif, tetapi sayangnya meningkatkan harga saham kadang-kadang dilaksanakan
dengan cara yang tidak etis dan sering kali melanggar aturan atau hukum. Perusahaan
menjadi cenderung memalsukan atau memberikan keadaan keuangan yang tidak akurat
dan dibesar-besarkan asalkan harga saham mereka terus naik.
Sebab lain dari kegagalan adalah kurangnya independensi akuntan dan analis keuangan.
Ketidakakuratan dari data-data keuangan sering kali juga tidak ”tertangkap” oleh tim
audit. Dalam hal ini, kredibilitas akuntan menjadi pertanyaan. Tidaklah mengejutkan bila
hal ini sampai terjadi. Soalnya, dalam banyak kasus, perusahaan akuntan yang melakukan
audit pada saat yang bersamaan juga memberikan jasa konsultasi kepada perusahaan
tersebut. Ketakutan akan kehilangan account yang penting sering kali membuat tim
audit tidak membeberkan indikasi terjadinya ketidakwajaran dalam pembukuan.
SEBAB lain dari skandal keuangan di AS adalah peran dari investment banker. Era tahun
1990-2002 merupakan era terjadinya pergeseran dari pola bisnis investment banker.
Independensi analis yang merekomendasikan saham-saham kepada investor menjadi
pertanyaan besar. Meskipun ada pemisahan antara fungsi riset (yang memberikan
rekomendasi) dan fungsi keuangan perusahaan (yang membantu perusahaan dalam
pengumpulan dana), sering kali kompensasi dari analis dikaitkan dari deal keuangan
perusahaan yang didapatkan oleh perusahaan.
Banyak analis yang tidak punya keberanian memperingati investor tentang risiko dari
perusahaan-perusahaan tertentu karena perusahaan di mana mereka bekerja mungkin
punya relasi keuangan perusahaan. Sudah bukan rahasia lagi bagaimana independensi
dari riset sering kali hanya isapan jempol belaka sebab rekomendasi dari analis
cenderung disesuaikan berdasarkan ”pesan sponsor”.
MANUSIA & KEBUDAYAAN | 9
Nilai pasar dari sebuah produk riset sangat bergantung pada kredibilitas. Selama
kompensasi dari seorang analis masih berdasarkan revenue yang didapatkan dari bisnis
keuangan perusahaan, maka mimpi untuk mendapatkan seorang analis bursa yang
independen akan sia-sia. Selama perusahaan tidak dapat menjual produk riset sebagai
produk komersial independen, maka hasil riset yang benar-benar independen akan sulit
tercapai.
Iming-iming yang besar merupakan alat yang biasanya dipakai oleh perusahaan untuk
memanipulasi investment banking. Sering kali investment banker tidak layak
mendapatkan iming-iming sedemikian besar. Iming-iming sering kali bukan lagi
merupakan pembayaran yang wajar untuk jasa yang diberikan, tetapi malah hampir
terlihat sebagai ”sogokan” untuk pengesahan dari investment banker. Banyak
investment banker yang melihat bahwa iming-iming yang besar merupakan ”upah” yang
layak karena perusahaan ”mengorbankan” reputasi mereka demi klien. Masih segar di
ingatan kita bagaimana Asia Pulp & Paper membayar hampir 50 juta dollar AS per
tahun untuk iming-iming investment banking. Ironisnya, posisi investor di dalam kasus
skandal keuangan ini bukan hanya sebagai korban, tetapi juga pihak yang turut bersalah.
Di dalam pengalaman penulis sebagai analis saham, sering kali investor besar justru
cenderung menutup-nutupi terjadinya skandal. Para investor malah cenderung marah
apabila analis menulis hal buruk yang terjadi pada perusahaan yang sahamnya mereka
pegang.
Para investor ini sering kali malah cenderung menutup mata terhadap kebobrokankebobrokan dari perusahaan yang sahamnya mereka pegang asalkan harga saham tidak
turun. Semua ini disebabkan oleh keinginan para investor ini harga saham yang mereka
pegang tak turun lantaran kebobrokan muncul di permukaan. Sikap toleransi
perusahaan ini makin menambah suburnya perilaku yang tidak baik dari eksekutif
perusahaan. Hal yang harus diingat oleh para investor adalah mencoba mengamati sikap
mereka terhadap kinerja perusahaan dan harga saham.
Institusi keuangan di Amerika sering kali menguliahi negara-negara Asia semasa krisis
keuangan melanda Asia tentang corporate governance dan transparansi yang buruk.
Namun, kasus yang melanda Enron benar-benar menunjukkan lemahnya corporate
governance dari perusahaan di AS. Pada awal krisis Enron, banyak pihak yang
mengatakan bahwa Enron merupakan pengecualian. Namun, timbulnya skandal
akuntansi baru yang melibatkan Worldcom dan Global Crossing membuktikan bahwa
masalah ini cukup mewabah di perusahaan Amerika. Pemerintah AS telah mengambil
beberapa langkah untuk memperbaiki transparansi ini dengan, antara lain, meminta
sertifikasi dari CEO dan CFO tentang akurasi data keuangan.
Caranya, Pemerintah AS menetapkan tenggat 14 Agustus 2002 kepada 1.000
perusahaan publik teratas di Amerika untuk mendapatkan sertifikasi dari CEO dan
CFO tentang keakuratan dan reliabilitas dari laporan keuangan. Apabila perusahaan
tersebut terbukti melakukan praktik penyelewengan akuntansi sesudah 14 Agustus,
maka pejabat tinggi perusahaan tersebut dapat dituntut secara personal. Dengan
adanya tenggat ini tentu saja penulis memperkirakan akan lebih banyak 1.000
MANUSIA & KEBUDAYAAN | 10
perusahaan teratas di Amerika yang membuka borok-boroknya. Mungkin hal ini makin
memperburuk kinerja saham-saham di Wall Street. Tetapi, dengan tindakan ini,
sebenarnya Pemerintah AS akan mempersingkat masa krisis dan dapat dengan cepat
memulihkan kepercayaan investor.
***
PADA awal tahun ini, perusahan pengelola dana pensiun terkemuka Calpers, yang
berbasis di California dan mengelola uang hampir 150 milyar dollar AS, memutuskan
untuk mencabut investasi mereka di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina karena
alasan corporate governance dan transparansi. Saya masih ingat chairman dari Calpers,
Michael Flaherman, awal tahun 2002 mengatakan, ”Negara-negara berkembang lainnya
yang tidak berada di dalam daftar investasi kami seharusnya melihat tindakan
pencabutan investasi ini sebagai insentif untuk memperbaiki sistem keuangan mereka.”
Yang menjadi ironi sesudah Calpers mencabut investasi mereka di kedua negara ini,
Indonesia dan Thailand menjadi dua dari tiga pasar saham dengan return terbaik
(+43,89 persen dan +41.93 persen) di dunia. Sementara Calpers mungkin harus
kehilangan hampir 565 juta dollar AS investasi mereka di Worldcom.
Apa yang harus menjadi pelajaran dari kasus ini?
Pertama, corporate governance bukan hanya masalah di negara berkembang, tapi juga
di negara maju. Kedua, cara negara memperbaiki kesalahan tersebut sangat penting
untuk memulihkan kepercayaan publik. Ketiga, meskipun sikap serakah merupakan hal
baik di dunia kapitalis, bila banyak orang yang terlalu serakah dengan mengabaikan
aturan dan melanggar hukum, menjadi tidak baik untuk masyarakat secara keseluruhan.
Saya tidak sependapat dengan judul artikel yang dipakai oleh Dr Sjahrir di suatu harian
Skandal Akuntasi: Akhir Kapitalisme AS. Bagi saya, sistem kapitalis masih berjalan dan
merupakan salah satu cara yang paling efisien di dalam mengalokasikan sumber daya.
Cuma mesti dicatat, semua pihak termasuk eksekutif, investment banker, akuntan,
investor, dan regulator harus dapat lebih merenung dan mencoba mengubah perilaku
mereka untuk mendapatkan tatanan pasar yang lebih baik bagi semua pihak.
21 Juli 2002
MANUSIA & KEBUDAYAAN | 11
Download