MEA Alternatif, Sebuah Keniscayaan? Awan Santosa, S.E, M.Sc1 Pembicaraan soal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) hari ini digiring sekedar pada pertanyaan siap atau tidak siap menghadapinya. Tentu saja selalu berujung pada pernyataan bahwa bagaimanapun kita harus siap. Tidak ada lagi tempat bagi setiap bentuk keraguan. MEA dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Berbagai legalisasi kesepakatan yang sudah dibuat menjadi landasan pembenar. Tidak tersedia lagi ruang untuk menyoal pasar bebas yang diadopsi MEA sebagai jalan tunggal bagi masa depan ekonomi ASEAN. Tidak ada kesempatan untuk mempertanyakan liberalisasi ekonomi ASEAN. Apakah ia merupakan pilihan sadar para pemimpin negara ASEAN untuk mewujudkan kemakmuran dan kemerataan? Padahal kita tahu kenyataannya seringkali berkebalikan. Seperti kita tahu pula, liberalisasi ekonomi dan keuangan yang berlebihan telah memicu krisis moneter pada tahun 1997/98 di negara-negara ASEAN. Anehnya, bencana krisis tersebut diberi jalan keluar ekonomi yang lebih liberal. Sesuai dengan arahan IMF dalam Letter of Intens (LoI) maka Indonesia harus meliberalisasi lebih banyak lagi sektor-sektor strategis dalam perekonomian. Krisis moneter menjadi kesempatan bagi perusahaan multinasional untuk mengambil alih lebih banyak sumber keuntungan. LoI ditandatangani pada tanggal 15 Januari 1998, sementara sebulan sebelumnya, tepatnya 15 Desember 1997 dalam KTT ASEAN telah disusun Visi ASEAN 2020, yang mengarah ke pasar bebas dan liberalisasi ekonomi ASEAN. Apakah ini semata-mata kebetulan? Bahkan jika ditarik ke belakang, maka benih liberalisasi sudah ditanam melalui kesepakatan Common Effective Preferential Tarrif-ASEAN Free Trade Area (CEPT_AFTA) dalam ASEAN Summit IV 1992 di Singapura. Lebih jauh lagi maka di Indonesia ia sejalan dengan agenda liberalisasi keuangan dan perbankan pada tahun 1983/1987. Liberalisasi ini pula-lah yang menjadi penanda lahirnya rejim Orde Baru pada tahun 1967, yang menggelar karpet merah kembalinya perusahaan multinasional, yang sudah menguasai perekonomian Indonesia sejak era kolonial. Dalam riwayatnya, liberalisme adalah agenda perusahaan kolonial untuk menguasai bahan mentah, perdagangan, dan buruh di Indonesia. Bagaimana dengan MEA? Agenda Neolib Dibalik MEA? Apakah MEA semata-mata agenda ASEAN? Menarik apabila mencermati dokumen studi Asian Development Bank (ADB) tahun 2013 berjudul The Road to ASEAN Financial Integration. Disain integrasi keuangan ASEAN dalam studi tersebut adalah melalui liberalisasi keuangan domestik yang digerakkan oleh pasar. Bahkan dalam studinya tahun 2014 ADB sudah merancang ASEAN 2030: Toward a Borderless Economic Community. Pertanyaannya adalah mengapa ADB dan apa hubungan ADB 1 Direktur Eksekutif Mubyarto Institute dan Staf Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, email: [email protected], ph: 08161691650 1 dengan MEA? Pasca Perang Dunia ke II ekspansi kapitalisme global digerakkan oleh lembaga-lembaga multilateral yang memberi banyak utang luar negeri sebagai pintu masuk bagi neokolonialisme bertopeng liberalisasi dan privatisasi. Utang tersebut diantaranya dalam bentuk dukungan penyusunan Undang-Undang yang bercorak neoliberal. Salah satu lembaga multilateral tersebut adalah ADB. Studi Serikat Petani Indonesia menyatakan bahwa sejak tahun 1980-an ADB telah menjadikan liberalisasi dan privatisasi sektor publik sebagai prasyarat pemberian utang. Begitupun sebaliknya, proyek liberalisasi investasi dan pasar menjadi instrumen pemasaran utang baru yang akan melanggengkan ketergantungan. Bukan saja kepada ADB, tetapi juga kepada perusahaan multinasional. Proyek liberalisasi World Trade Organization (WTO) yang sempat stagnan akan dibangkitkan melalui MEA. Sepertihalnya WTO, MEA akan menjadikan ASEAN sebagai rule-based organization yang mengikat anggotanya. Mau tidak mau negara ASEAN wajib menjalankan basis produksi dan pasar tunggal, persaingan terbuka, serta integrasi dengan perekonomian global. Tidak boleh lagi ada pembedaan antara produk asing dengan produk dalam negeri ASEAN. Paradoks MEA MEA telah dibangun oleh argumentasi tidak masuk akal. Arahnya adalah integrasi ekonomi melalui persaingan terbuka yang digerakkan pasar. Padahal bagaimana mungkin persatuan dibangun di atas kalah-menang? Pasar bebas memungkinkan pemenang mengambil semua bagian, dan tentu saja yang kuatlah yang bisa bertahan. Integrasi ini kiranya lebih masuk akal bagi kepentingan perusahaan transnasional yang beroperasi dalam rantai pasok skala global. Bukan itu saja. MEA telah “menyimpang” dari tujuan semula dibentuknya ASEAN. Deklarasi Bangkok tahun 1967 menyebut tujuan ASEAN dicapai melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan. Bahkan 5 dari 7 tujuannya eksplisit berkaitan dengan kerjasama di berbagai bidang. Jelas kiranya integrasi ASEAN akan ditempuh dengan jalan cooperation dan democratic planning, bukan free-fight liberalism seperti MEA sekarang. Telah nyata akibat penyimpangan tujuan ASEAN. Sejak diberlakukannya CEPT-AFTA pada tahun 1993-2004 nilai ekspor intra ASEAN hanyalah sebesar 20%, sedangkan ekspor-impor eksternal ASEAN mencapai 80% dari total. Akselerasinya sampai dengan tahun 2013 pun tidak signifikan. Indonesia misalnya hanya memanfaatkan fasiitas perdagangan ASEAN masing-masing 34% ekspor dan 15% impor (Burmansyah, 2014). Jadi, liberalisasi ekonomi untuk siapa? Sementara 44,2% pangsa ekspor ASEAN pada tahun 2011 dikuasai Singapura. 50,9% investasi asing yang masuk ke ASEAN pada tahun 2012 juga dikuasai oleh Singapura (ibid). Proporsi besar penguasaan investasi dan perdagangan tersebut dapat saja terkonsetrasi ke segelintir perusahaan besar yang beroperasi lintas negara ASEAN. Ekonomi neoliberal adalah penyebab stagnasi kemakmuran dan melebarnya ketimpangan. Bagaimana bisa diharapkan sebagai jalan keluar? Pendiri bangsa sudah menempatkan usaha bersama berdasar asas kekeluargaan sebagai jalan ekonomi yang konstitusional. Apakah karena rezim pemerintahan sebelumnya yang tersandera oleh 2 agenda neoliberal sehingga mendukung berbagai kesepakatan ASEAN? MEA Alternatif Adalah Keniscayaan MEA alternatif adalah sebuah keniscayaan. Agenda neoliberal dalam MEA harus diganti dengan kerjasama ekonomi berbasis solidaritas dan kebersamaan. Lebih sesuai kiranya bila kita sebut sebagai Masyarakat Ekonomi Kerakyatan ASEAN (MEKA). MEKA lebih diarahkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan kerakyatan yang terjadi di negara-negara ASEAN. Hal ini didasarkan pada perencanaan demokratis (democratic planning), yang melibatkan elemen-elemen kerakyatan, kooperasi, dan wirausaha sosial di ASEAN. Negara surplus akan berbagi ke negara yang masih kekurangan. Baik berupa tenaga medis, pendidik, manajer, teknisi, perencana, penyuluh, akuntan, dan berbagai tenaga profesional lain yang diharapkan membawa perubahan negara tujuan. Demikian halnya dengan surplus kapital, teknologi, dan produksi barang/jasa disirkulasikan dari negara cukup ke negara yang masih kurang. Alih-alih MEA, MEKA akan bertumpu pula pada penguatan solidaritas gerakan koperasi rakyat dalam menghadapi serbuan kapitalisme global yang memiskinkan dan mengukuhkan ketergantungan. Masyarakat ASEAN harus bersatu padu untuk menghentikan okupasi dan penguasaan bahan mentah, tenaga kerja, kapital, dan pasar oleh segelintir elit pemodal domestik, regional, maupun imternasional. Solidaritas sejati tersebut akan menjadi pondasi bagi bangun kemandirian regional ASEAN. Kawasan tanpa jerat utang akan memutus mata rantai agenda neoliberal. Tentu ini perlu komitmen ekonomi politik pemerintah negara-negara anggota ASEAN. Demi sebuah tujuan konstitusional maka memutar MEA ke arah yang lain dari sekarang sangatlah memungkinkan. Disinilah MEKA menjadi sangat relevan. Yogyakarta, 12 Juni 2015 3