PROBLEM SOSIAL DALAM PENYIARAN INDONESIA Drs. Redi Panuju, MSi (Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Dr. Soetomo) PENDAHULUAN UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran didorong oleh euphoria politik yang waktu itu mewarnai issu issu politik di tanah air. Semangat reformasi pasca jatuhnya regim Orde Baru pada Mei 1998 masih berlanjut dalam proses politik. Hampir semua Undang undang yang lahir pada kurun waktu 1999 sampai dengan 2002 dipenuhi nuansah keberpihakan pada demokrasi dan hak asasi manusia. Misalnya, UU no 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen; UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 40 tentang Pers; dan UU No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Nuansa Undang undang tersebut di atas sangat berpihak kepada kepentingan rakyat. Seperti, perlindungan hak asasi, kebebasan informasi (pers), persaingan usaha (melindungi usaha kecil dan menengah), serta memberi akses bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making). Termasuk juga UU No 32 tahun 2002 ini peran Negara dalam mengatur sistem penyiaran Indonesia dilaksanakan secara demokratis. Pertama, Negara memberi kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menata pemakaian frekwensi yang dipergunakan memancar luaskan siaran radio dan televisi. Kedua, KPI diberi kewenangan untuk mengontrol isi siaran (content) dan memberi sanksi tertentu kepada lembaga penyiaran yang melanggar PPP (Pedoman Program Penyiaran) dan SPS (Siaran Program Siaran). Melalui pemindahan kewenangan Negara kepada lembaga independen ini diharapkan system penyiaran akan terbentuk berdasarkan aspirasi masyarakat, karena itu anggota KPI/KPID (Daerah) dipilih oleh DPR/DPRD yang diasumsikan mewakili masyarakat. Selanjutnya melalui kontrol dari KPI/KPID, isi siaran dapat dikendalikan dari muatan muatan pornografi, kekerasan, pelecehan pada anak dan perempuan, serta diskriminasi pada kelompok minoritas. Namun kenyataannya, cita cita mulia dari undang undang tersebut tidak terwujud dengan baik. Dalam implementasi kebijakannya justru banyak yang menyimpang. Semula penulis sangat yakin bahwa penyimpangan penyimpangan tersebut terjadi pada Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 1 konteks fenomena kekuasaan, yakni upaya terik menarik kepentingan dalam pembentukan opini publik antara steakholder yang ada. Karena itu penulis menulis buku “Relasi Kuasa, Pertarungan Memperebutkan Opini Publik antara Negara-Media-dan Masyarakat” 1 Waktu itu penulis sangat dipengaruhi oleh teorinya Michel Faucollt tentang “Relasi Kuasa” di bidang informasi (pengetahuan), dan terorinya Jargen Habermas tentang ruang public (public sphere). Setelah penulis mengikuti perkuliahan Prof. Dr. I Made Weni, SH, MS, pikiran penulis terbuka bahwa gejala disfungsional dalam kebijakan di bidang penyiaran tersebut sangat lebih menarik bila didekati dengan menggunakan “teori dalam paradigm fakta sosial”, karena problem problem implementasi kebijakan penyiaran akan terkuak secara holistik. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam pandangan teori yang ada dalam paradigma “fakta sosial” terdapat 4 katagori teori sosial, yakni : 1. Teori Struktur fungsional, 2. Teori konflik, 3. Teori system, dan 4. Teori Makro.2 Gejala disfungsional dalam system penyiaran Indonesia (dalam arti tidak sesuai dengan yang dicita citakan) terdapat asumsi asumsi yang mencolok, sebagaimana yang disinyalir Talcott Parson, Merton, dan Semieser, bahwa integrasi sempurna tidak pernah tercapai (tidak pernah ada), dan perubahan berjalan secara gradual sebagai proses adaptasi. Dalam hal ini UU Penyiaran dirumuskan saat kekuatan reformasi sedang dominan dan kekuatan lama (Ode Baru) sedang melatenkan diri (bersembunyi). Sehingga satu sisi kekuatan dominan mencoba merumuskan nilai nilainya dalam undang undang tersebut yang pro demokrasi, sementara kekuatan laten mencoba diam tetapi kemudian mementahkannya kembali dalam proses implementasinya, sehingga tidak pernah tercapai integrasi yang sempurna. Maka, yang terjadi kemudian adalah perubahan perubahan struktur sosial penyiaran dan pranatanya secara gradual dan bersifat adaptif. Proses keduanya ini menyebabkan implementasi kebijakan di bidang penyiaran 1 Redi Panuju, Relasi Kuasa, Persaingan Memperebutkan Opini Publik antara Negara, Media dan masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogya, 2002 2 Kuliah Prof. Dr. I Made Weni, MH, MA, tgl 13 Oktober 2013 Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 2 memperlihatkan adanya konsensus atau kesekatan kesepakatan antara pelbagai pihak yang terkait, khususnya antara Negara (Pemerintah, Kominfo), lembaga penyiaran, dan masyarakat (diwakili KPI). Proposisi mayornya : pengaturan di bidang penyiaran merupakan hasil konsensus atau kompromi antar berbagai kepentingan. Dari segi pandangan teori konflik, sebagaimana disinyalir oleh Randal Collins, bahwa manusia memiliki sejumlah kepentingan dan berusaha mendapatkannya. Randal menambahkan bahwa kekuasaan yang tidak terbagi secara merata menjadi sumber konflik dan ideology kekuasaan acapkali dipergunakan sebagai instrument untuk mendapatkan kepentingan, bukan sebagai sarana mencapai integrasi. Dalam dunia penyiaran nampaknya juga demikian, Undang Undang penyiaran mengalami pergeseran keberpihakkannya tak lepas dari pengaruh kepentingan kepentingan. Kekuatan yang paling berpengaruh dalam membelokkan cita cita penyiaran yang demokratis adalah kekuasaan politik dan kekuasaan capital (proposisi minor). RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah praktek implementasi kebijakan di bidang penyiaran yang memperlihatkan hasil kompromi antar pelbagai kepentingan? 2. Bagaimanakah praktek kekuasaan politik dan kekuasaan kapital dalam mempengaruhi kebijakan penyiaran? INDIKATOR dan PEMBAHASAN Indikator “kompromistis” Kompromi antara Industri Media, KPI, dan Negara secara historis dapat diterangkan demikian: UU No.32 tahun 2002 diundangkan pada tanggal 28 Desember 2002. Dua tahun kemudian, industri penyiaran mulai merasakan bahwa undang undang tersebut membatasi ruang geraknya dalam mengembangkan usahanya. Misalnya, dalam hal perizinan, kepemilikan media TV dan radio dibatasi. Tujuannya dengan membatasi kepemilikan (limitation of ownership) akan berimplikasi pada keragaman siaran (diversity of content). Idealisasi undang undang ini ingin memanjakan pemirsa (audiences) dengan pilihan pilihan program acara. Sehingga dari perspektif tersedianya variasi isi siaran memenuhi asas demokrasi yang menguntungkan bagi publik. Undang undang ini berusaha menjamin memenuhi kebutuhan akan informasi bagi publik. Namun skema ini merugikan industri, sebab dengan dibatasinya kepemilikan berarti Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 3 membatasi konglomerasi konglomerasi media yang menjadi “ideologi” industri media. Kedua, undang undang ini membatasi ruang geografis pemancaran. Tidak dikenal lagi istilah “Televisi Nasional” sebab IPP (Ijin Penyelenggaraan Penyiaran) dibatasi per wilayah siaran (service area) dan diprioritaskan untuk wilayah lokal. Dari segi text (narasi) pasal ini sangat mendukung gerakan otonomi daerah. Pada pasal 31 ayat 6 disebutkan mayoritas pemilik modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal diutakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal tersebut berada. Esensi UU 32 tahun 2002 yang mengancam kepentingan industry (konglomerasi media) tersebut menyebabkan para praktisi media melakukan uji metari (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan bebarapa pasal yang merugikan tersebut. Mereka berasal dari IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara Indonesia (PERSUSI), Komnitas Televisi Indonesia (KOMTEVE), memberi kuasa kepada Dr. Todung Mulya Lubis, S.H, dan lainnya untuk mengajukan gugatan ke MK. Hasilnya pada tanggal 28 Juli 2004 Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, yakni….menyatakan bahwa pasal 44 ayat (1) untuk bagian anak kalimat “…atau terjadi sanggahan”. Pasal 62 ayat (1) dan (2) untuk sebagian anak kalimat”….KPI bersama….” Undang Undang No.32 tahun 2002 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Intinya, yang semula UU 32/2002 ini memberi mandat penyusunan Peraturan Pemerintah disusun bersama antara pemerintah dengan KPI, maka setelah periode ini Pemerintah secara sendirian berhak menyusun PP atas UU penyiaran. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) yang isinya didominasi oleh kepentingan pemerintah dan keberpihakkannya kepada Industri. Dari Judicial review ini, kontroversi semakin nyata. Pemerintah menyusun PP 11, PP12, PP13, 14, PP 49, 50,51, dan 52 tahun 2005 tanpa melibatkan KPI. PP 11,12,dan 13 tahun 2005 tahun 2005 mengatur Pedoman Penyelenggaraan Penyiaran Publik, RRI, dan TVRI. PP 49 tahun 2005 mengatur Pedoman Penyelenggaraan Penyiaran Asing, PP 50 tahun 2005 tentang Penyiaran Swasta, PP 51 tentang Penyiaran Komunitas, PP 52 Penyiaran berlangganan. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 4 Dalam disertasi Henry Subiakto (IIS UNAIR, 2010) gejala di atas disebut sebagai “kontestasi wacana” atau tarik menarik interpretasi mengenai bagaimana demokratisasi system penyiaran menurut aparatur Negara, masyarakat sipil, dan kalangan kapitalis pelaku bisnis media. Bimo Nugroho Sekundatmo dalam tesis masternya di Universitas Indonesia melakukan studi kontestasi ini dalam konteks ekonomi politik penyiaran (2006) menyimpulkan bahwa Pemerintah hanyalah kaki tangan pemilik modal yang sudah mapan dalam industry media. Bimo Nugroho membenarkan bahwa Negara adalah alat dari kelas pemilik modal untuk menghisap kelas proletar yang tertindas. Demikianlah fragmen konflik di tingkat normatif yang menempatkan representasi masyarakat dalam penyiaran tergerus dan menempatkan pemerintah tetap sebagai penentu dalam kebijakan penyiaran. Selanjutnya pada tataran implementatif, Menteri Komunikasi dan Informatika RI mengeluarkan peraturan Nomor 28 tahun 2008 tentang Tata Cara dan Persyaratan Penyelenggaraan Penyiaran. Permen ini sudah merubah konstruksi perizinan yang semula tersentral di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), kemudian dipecah pecah ke beberapa kewenangan. Sebagai Contoh untuk proses permohonan perisinan Lembaga Penyiaran swasta (LPS) kewenangannya dipecah menjadi tiga : Persyaratan administrasi kewenangan memeriksanya diberikan kepada pemerintah/pemerintah daerah, Teknik penyiaran termasuk frwekwensi diserahkan kepada pemerintah pusat dipanjangkan tangannya ke Pemerintah daerah melalui BALMON (Balai Monitoring). Sedangkan KPI/KPID diberi kewenangan untuk memeriksa kelayakan aspek program siarannya. Disinilah letak kontradiksinya, bahwa IPP hanya diberikan setelah mendapat rekomendasi kelayakan dari KPI/KPID (pasal 33 ayat 4 butir b) tetapi pertimbangan KPI/KPID hanya berdasarkan dimensi program. Itulah wujud dari kompromistis yang menimbulkan keanehan. Keikut sertaan pemerintah dalam perizinan penyiaran yang semakin dominan dikukuhkan melalui Permen Kominfo RI Nomor 18/Per/M.Kominfo/03/2009 tanggal 17 Maret 2009. Bila semula Rekomendasi Kelayakan (RK) hanya dari Komisi Penyiaran, melaui permenkominfo tersebut ditambah RK dari pemerintah. Pada pasal 9 ayat (1) disebutkan, pemerintah daerah Provinsi menerbitkan rekomendasi kelayakan data administrasi dan data teknis bagi pemohon IPP jasa Penyiaran televisi yang telah Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 5 memenuhi persyaratan. Pasal 9 ayat (2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan rekomendasi kelayanakan data administrasi dan data teknis bagi permohonan IPP jasa penyiaran radio yang telah memenuhi persyaratan. Pemeriksaan atas persyaratan persyaratan tersebut dilakukan dalam momen EDP (Evaluasi Dengar Pendapat) antara KPI/KPID dengan pemohon dalam satu forum yang dihadiri perwakilan masyarakat. Forum ini dibuat atas acuan UU 32 tahun 2002 pasal 33 ayat 4 butir a: bahwa Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara setelah memperoleh masukan dan evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI. Mekanisme perizinan yang demikian ini semakin memperumit birokrasi dan memperbesar ongkos proses. Forum ini dibiayayi oleh APBD/APBN yang cukup besar. Satu pemohon bisa membutuhkan anggaran untuk sewa tempat, konsumsi, dan honorarium penguji serta panitia sebesar Rp.3 jt per pemohon. Setelah KPI/KPID mengeluarkan Izin Rekomendasi kelayakan (RK) kepada pemohon, kemudian birokrasi selanjutnya dibawa ke pemerintah pusat. Pemerintah (Kominfo) menggelar Forum Rapat Bersama (FRB ) yang dihadiri oleh wakil pemerintah, KPI/KPID. Dalam Forum ini ditentukan kelengkapan persyaratan dan ketersiadaan kanal. Izin penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang semula dalam pasal 33 ayat 6 disebutkan wajib diberikan (diterbitkan) paling lambat 30 (tiga puluh hari) kerja setelah ada kesepakatan dari forum rapat bersama, dalam realitasnya bisa bertahun tahun. Pengalaman pengurusan IPP untuk wilayah jawa Timur bisa mencapai 5 tahun baru turun. Itulah salah satu implikasi kompromistis yang juga mesti ditanggung oleh kalangan industry, karena proses perizinan menjadi berliku liku dan melalui banyak loket. Nampaknya, konstalasi tarik menarik kekuatan tidak lagi antara Industri media dengan KPI, tetapi industry media juga tertarik ke dalam permainan pemerintah sehingga biaya operasi perizinan menjadi berlipat dan waktu yang panjang. KPI memperlihatkan komprominya dengan menerima semua akibat dari konstalasi tersebut hanya berkutat pada pengawasan isi siaran. Lagi lagi sifat kompromis KPI di bidang pengawasan isi siaran pun tidak memiliki implikasi apa pun tergadap industry penyiaran. Dalam buku “ Kekerasan di Layar Kaca” yang ditulis oleh mantan Ketua KPI Pusat Mochamad Riyanto Rasyid (Penerbit Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 6 Buku Kompas, Jakarta, 2013, h. xii- xiii) tercatat banyak sekali pelanggaran yang dilakukan oleh media penyiaran TV, antara lain tentang kekerasan, pornografi, dan jam tayang. KPI juga sudah melayangkan surat teguran. Namun kenyataannya, media penyiaran tidak memperhatikan teguran KPI karena tidak memiliki implikasi hukum apa pun, kecuali sanksi pemberhentian program siaran. Riyanto menyebutkan pada tahun 2010-2012, materi kekerasan cenderung meningkat. Malah ada stasiun TV yang melecehkan pengawasan KPI, yakni Trans 7 yang ditegur KPI karena acara “Empat Mata” Tukul Arwana kerapkali menuguhkan banyolan banyolan yang menjurus pada pornografi. Trans7 memang menghentikan acara tersebut, tetapi seminggu kemudian acara tersebut muncul lagi dengan format yang sama namun dengan judul yang berbeda. Semula judul acaranya “EMPAT MATA”, diganti dengan “(BUKAN) EMPAT MATA”. Mengapa teguran KPI/KPID terhadap lembaga penyiaran tidak efektif? Karena yang berwewenang memberikan dan mencabut IPP hanya pemerintah cq menteri Kominfo. Sikap kompromistis seperti itu mirip dengan istilah yang diberikan oleh Clifford Geerzt sebagai sikap fatalistic, nrima ing pandum. Dari pada tidak sama sekali, tidak rotan akar pun jadilah….. Kompromi antara Pemerintah, Industri dan KPI/KPID itu membawa korban pada diskriminasi terhadap lembaga penyiaran Komunitas. Pada UU Nomor 32 tahun 2002, Lembaga penyiaran Komunitas (LPK) diatur pada pasal 21 -24. Disebutkan bahwa LPK didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya. Mestinya LPK ini lebih dipermudah dalam proses perizinannya mengingat tidak boleh menerima iklan komersial, frekwensinya dibatasi (hanya di 97.7 FM, 97.8 FM dan 97.9 FM), jangakaiannya hanya radius lingkaran 5 Km, dan tidak ada bantuan dari Negara. Namun, dalam KemenKominfo nomor 28 tahun 2008 tersebut prosedur perizinannya disamapakan dengan KPS yang punya banyak capital. LPK juga harus membuat proposal, syarat administrasi, dan syarat teknis yang tidak kalah ketat karena dicurigai bisa disusupi kepentingan asing, mengganggu penerbangan (khususnyanya frekwensi 97.9 sangat dekat dengan frekwensi yang dipergunakan oleh kalangan penerbangan). KPI/KPID dalam banyak forum sudah meminta kepada pemerintah untuk Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 7 menambah frekwensi bagi LPK, tetapi yang diperbanyak justru frekwensi untuk LPS. Itulah bukti lain diskriminasi penyiaran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap LPK. Bentuk kompromi yang dilakukan oleh KPI/KPID adalah tutup mata terhadap pelanggaran atas frekwensi, sifat isi siaran, dan iklan iklan terselubung, sebab kalau hal tersebut dilarang, sulit bagi LPK untuk memperoleh sumber logistiknya. Dalam UU 32/2002 hanya membolehkan LPK mendapatkan sumber dana dari iuran anggota, hibah, dan sponsor (pasal 22 ayat 5). Sedangkan bagi LPK bentuk kompromi yang dilakukan adalah memperbanyak acara acara “off air” seperti jalan sehat, pameran, dan lomba lomba yang tidak disiarkan. Dengan cara inilah mereka memperoleh masukan dari sponsor. Indikator Pengaruh Kekuatan Politik dan Kapital dalam Implimentasi Kebijakan Indikasi bahwa kekuatan politik dan kapital mempengaruh kebijkan penyiaran sudah dimulai pada tingkat formulasi kebijakan. Menurut Disertasinya Henri Subiakto “Kontestasi Wacana Tentang Sistem Penyiaran Yang Demokratis pasca Orde baru” (UNAIR, 2010), para pemilik media besar (konglomerat media) sering meloby koninfo ketika sedang menyusun PP tentang penyiaran, antara lain meloby pasal pasal yang menyangkut pembatasan kepemilikan, siaran berjaringan, dan proses perizinan. Henri Subiakto menulis, “industry dengan kekuatannya dan segala upaya mencoba untuk menyiasati aturan perundangan tersebut. Walhasil, terjadilah diskrepansi atau gap antara wacana yang ideal dan disuarakan civil society dengan implementasi di lapangan . Sedangkan dalam aras normative, Negara nampak lebih akomodatif dengan keadaan industry, karena mereka menganggap bahwa tugas negara salah satunya adalah memajukan iklim industry di dalam negeri, termasuk industry media penyiaran.” Intervensi kalangan industri ini menghasilkan kebijakan diskresi Menkominfo merekayasa pembagian canal perwilayah layanan sehingga bisa dipergunakan secara parallel. Desakan industry media TV yang berkeinginan mendapat kanal untuk bersiaran di wilayah layanan Surabaya (Surabaya, gersik, Sidoarjo, Jombang) menyebabkan Menkominfo (waktu Prof. Dr. M. Nuh, DEA) mengijinkan kanal yang dipakai di daerah Malang dan sekitarnya dipakai bersiaran di Surabaya. Istilahnya Co-chanal. Maka lahirlah Surabaya TV, Oqcy TV, BBS TV, Arek TV, JTV, SBO TV, MH TV dan Pasuruan TV. Khusus untuk Pasuan TV merupakan hasil loby kalangan Nahdliyin (NU) yang awalnya berdomisili di Pasuruan kemudian dipindahkan ke Surabaya dengan name Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 8 call “TV 9”. Ditengarai hubungan antara Prof. Muhammad Nuh, DEA dengan kalangan NU sangat dekat sehingga pengaruh priordialismenya lebih kental ketimbang pengaruh pemilik kapital. Namun secara umum, tangan tangan konglomerat media di pusat terus meloby regulator penyiaran di daerah untuk memuluskan diversifikasi kepemilikan stasiun TV sebagai bagian dari ekspansi bisnisnya. Modusnya macam macam. Pertama, memberi makna yang berbeda dari pembatasan kepemilikan. Test casenya adalah merger beberapa TV di bawah bendera MNC-Group (kelompok bisnis Hary Tanoesudibjo) dengan cara menanam nama lain pemilik saham di setiap anak perusahaan, sehingga secara administrative tidak terbukti ada akumulasi kepemilikan. Di tingkat provinsi dan kabupaten kota mendirikan TV dan Radio baru dengan struktur kepemilikan saham dan direksi yang berbeda beda, sehingga KPID (Daerah) tidak bisa membuktikan adanya kepemilikan silang, namun setelah IPP diperoleh, kepemilikan saham berubah sehingga pemilik media dari pusat dapat mengendalikan medianya di daerah. MH TV sudah jatuh ke tangan MNC Group sementara Arek TV jatuh ke Group Bakrie. Media besar dari pusat tidak perlu lagi menggunakan system berjaringan, karena masing masing “anak perusahaan”nya di daerah sudah memenuhi legal formal. Babakan berikutnya baru ketahuan bahwa para konglomerat media ini berkaitan dengan politik. Banyak Konglomerat media yang terjun ke politik, sebagai ketua partai maupun calon Presiden dan wakil Presiden, sehingga mendekati Pilpres tahun 2014 banyak iklan pencitraan sosok calon presiden dari pemilik medianya. Sebut saja misalnya pemilik Media Group yang mengoperasikan Metro TV, Media Indonesia, dan portal internet, Surya Paloh menjadi ketua umum Partai Nasdem, Abu Rizal Bakrie yang menguasai TV One, AN TV adalah ketua Partai Golkar dan mencalonkan diri sebagai Capres tahun 2014. Hary Tanoesudibjo pemilik MNC Group (RCTI, MNC, dan Global TV) menjadi Calon Wakil Presiden dari Partai Hanura bersama Jenderal (Purn) Wiranto sebagai Capresnya. Bentuk intervensi yang lain adalah mencoba mempengaruhi DPRD ketika melakukan penjaringan calon anggota Komisi Penyiaran Daerah (KPID). Para konglomerat ini berusaha memasukkan anggotanya untuk terpilih menjadi regulator penyiaran di daerah, sehingga diharapkan memperlemah sifat kritis dan indepensinya. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 9 Demikian juga ketika pemilihan ketua KPID berlangsung, loby untuk menjadikan sosok tertentu menjadi ketua sangat beraroma. KESIMPULAN Sistim Penyiaran Indonesia sebagai fakta social tak terlepas dari kenyataan bahwa integrasi yang sempurna tidak pernah ada dan perubahan perubahan berjalan secara gradual sebagai proses adaptasi. UU Nomor 32 tahun 2002 yang semula diharapkan dapat memperkokoh bangunan demokrasi di tanah air, pada level implementasi menjadi ajang tarik menarik kepentingan antara Negara, industry penyiaran, dan civil society (yang diawakili Komisi Penyiaran Indonesia). Tarik menarik kepentingan itu mulai berjalan pada saat formulasi kebijakan publik dibuat pemerintah. Industri media menggunakan Mahkamah Konstitusi untuk memandulkan peran civil society sehingga kewenangan kebijakan jatuh kembali di pangkuan Negara sebagai mana yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Industri penyiaran lebih nyaman bekerjasama dengan pemerintah ketimbang dengan KPI. Dalam perjalanannya, ternyata pemerintah tidak sepenuhnya berpihak pada industry media, tetapi memperkuat kekuasaan brokrasinya dengan memberikan kewenangan pada Pemerintah Daerah untuk memberikan rekomendasi kelayakan Administrasi dan teknis pada pemohon IPP Radio dan Televisi (LPS). Dengan demikian integrasi yang terjadi adalah integrasi yang bersifat kompromistis. Pihak yang paling dimarginalisasikan oleh tarik manarik kebijakan penyiaran adalah kalangan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), yang tidak pernah terakomodir aspirasinya. Kanal yang diberikan tetap terbatas, jangkauan siarnya dipersempit, dan tidak diperbolehkan mencari untung. Daftar Pustaka Albab, Ulul dan Budi Wiyoto, Kajian Strategik Kebijakan Publik: Proses Formulasi, Proses Formulasi , Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik di Era Good Government, ITS Press, Surabaya, 2010 Bungin, Burhan, Sosiologi Komunikasi, Prenada Media, Jakarta, cet ke-2, 2007 Panuju, Redi, Relasi Kuasa : Pertarungan memperebutkan Opini Publik antara Media, Negara, dan Masyarakat, Pustaka Pelajar Yogya, 2002 ------------------, Sistem Komunikasi Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogya, 1997 Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 10 Rasyid, Mochamad Riyanto, Kekerasan di Layar Kaca, penerbit KOMPAS, Jakarta, 2013 Sadana, Realitas Kebijakan Publik, UM Press, Malang, cet ke3, 2013 Subiyakto, Henri, Kontestasi Wacana Tentang Sistem Penyiaran Yang Demokratis Pasca Orde Baru, Disertasi IIS UNAIR, Surabaya, 2010 Sukundatmo, Bimo Nugroho, Kontestasi Negara, Industri, dan Masyarakat Sipil dalam Kontroversi peraturan Pemerintah tentang Penyiaran, tesis Pascasarjana UI, Jakarta, 2006 ============================== Kuliah Prof. Dr. I Made Weni, MH MS, tahun 2013 UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Himpunan Peratutan Perundangan di Bidang penyiaran 2009-2011, Kominfo pusat, 2013 Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 11 MEDIA MASSA DAN PENCITRAAN JOKO WIDODO (Analisis Pencitraan Joko Widodo Dalam Pilkada DKI Jakarta di Harian Jawa Pos Edisi bulan September 2012) Iwan Joko Prasetyo, MSi (Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Dr. Soetomo) ABSTRAKSI Pencitraan politik calon kepala daerah dalam rangka memperebutkan kursi kekuasaan dapat dibentuk, diciptakan, dan dikuatkan melalui media massa. Salah satu faktor yang mengantarkan kemenangan Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta adalah pemberitaan media massa yang memberikan citra yang kuat kepada sosok Jokowi melalui baju kotak-kotaknya yang menguatkan identitas dirinya berbeda dengan calon lainnya. Penelitian ini mencoba mengungkap bagaimana pencitraan Jokowi di harian Jawa Pos edisi September 2012. Tipe penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan konstruksi wacana dan pencitraan politik Jokowi dalam harian Jawa Pos. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Citra seseorang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dapat dibentuk, diciptakan, dan diperkuat. Pencitraan politik calon kepala daerah dalam rangka memperebutkan kursi kekuasaan sangat penting dilakukan untuk merebut perhatian dan simpati dari masyarakat. Masing-masing calon akan berusaha sekuat tenaga untuk menciptakan pencitraan yang positif di kalangan para pemilih. Citra atau kesan khusus tentang baik dan buruknya seorang kandidat akan mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya. Kampanye politik di era media massa adalah bagaimana membuat citra yang positif. Tim kampanye dari setiap pasangan calon kepala daerah akan berusaha menciptakan citra diri yang positif dari pasangan calon tersebut di mata masyarakat, sebab citra diri yang positif dan prestasi calon kepala daerah berpengaruh besar bagi Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 12 pemilih pemula dalam menentukan pilihannya. Kelebihan-kelebihan tersebut harus dikemas dengan baik melalui kegiatan kampanye politik yang telah disiapkan secara matang, sehingga dapat dijadikan sebagai nilai jual bagi pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengikuti pemilihan umum. Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta membuktikan bahwa pencitraan politik seseorang merupakan salah satu faktor yang sangat dominan untuk merebut perhatian dan simpati masyarakat untuk menentukan piilhannya. Sedangkan media massa mempunyai peran yang sangat signifikan dalam membentuk citra politik seorang kandidat melalui pemberitaannya. Dengan fungsi agenda setingnya, media dapat memilih peristiwa-peristiwa politik yang akan menjadi headline dalam pemberitaannya. Media massa yang merupakan saluran pesan mempunyai fungsi memberikan informasi bagi masyarakat luas. Sebagai salah satu saluran pesan sudah selayaknya media massa mempunyai fingsi untuk menginformasikan peristiwa-peristiwa politik, sosial-budaya, ekonomi, perang, konflik, bencana alam, dan sebagainya. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, media dapat berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini dan wacana. Hasil pemberitaan surat kabar yang diturunkan berupa teks atau tulisan, khalayak pada umumnya akan memaknai pesan sebagaimana adanya. Artinya, khalayak hanya terpengaruh pada judul berita yang ditonjolkan dan kesan yang dapat disimpulkan daripada menganalisis isi berita secara mendetail. Pilihan terhadap surat kabar Jawa Pos karena media tersebut menduduki ranking pertama sebagai surat kabar dengan jumlah pembaca terbanyak. Posisi pertama ini berdasar survei Nielsen pada kuartal ketiga 2010 yang diselenggarakan di sembilan kota besar. (Survei Nielsen : Jawa Pos Tetap Nomor 1 di Indonesia dalam www.jawapos.co.id) Rumusan Masalah “Bagaimana pencitraan Joko Widodo dalam Pilkada DKI Jakarta di Harian Jawa Pos Edisi September 2012.” Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah “Untuk mengetahui pencitraan Joko Widodo dalam Pilkada DKI Jakarta di Harian Jawa Pos Edisi September 2012” Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 13 Landasan Berpikir Pengertian Pencitraan Politik Pengertian citra berkaitan erat dengan suatu penilaian, tanggapan, opini, kepercayaan publik, asosiasi, lembaga dan juga simbol simbol tertentu terhadap bentuk pelayanan, nama perusahaan dan merek suatu produk barang atau jasa yang diberikan oleh publik sebagai khalayak sasaran (audience). Dengan demikian, tanggapan dan penilaian publik merupakan unsur penting dalam melakukan penelitian tentang Citra. Citra (image) adalah seperangkat keyakinan, ide dan kesan seseorang terhadap suatu obyek tertentu. Sikap dan tindakan seseorang terhadap obyek tersebut akan ditentukan oleh citra obyek yang menampilkan kondisi yang paling baik. Menurut Firmansyah dalam bukunya Marketing Politik menyatakan bahwa : “Image politik didefinisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik (Firmansyah:2007;230). Yang dimaksud dengan aktivitas politik adalah semua aktivitas yang dilakukan oleh partai politik atau individu dalam usaha mereka untuk berkuasa, menciptakan keteraturan sosial, menciptakan semangat kolektif, menciptakan dan menguatkan legitimasidalam masyarakat. Dengan demikian citra politik adalah suatu gambaran tentang politik yang memiliki makna, walaupun tidak selamanya sesuai dengan realitas politik yang sebenarnya. Suatu image politik dapat mencerminkan hal yang tidak real atau imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Citra yang baik, dengan sendirinya akan meningkatkan popularitas dan elektabilitas kandidat, begitupun sebaliknya. Sehingga, tidak salah bila para politisi melakukan pencitraan politik. Karena semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk meraup dukungan pemilih semakin besar. Namun dalam konteks pembentukan citra, tidak sedikit yang kehilangan kekuatan penarik perhatian (eye catching). Citra yang sebelumnya diharapkan mampu menciptakan kejutan, stimulasi, dan gebrakan informasi tak terduga (entropy) berubah menjadi pengulanganpengulangan yang terduga (redundancy). Citra-citra berestetika dan berselera tinggi, karena kehabisan perbendaharaan tanda, pada akhirnya menjadi citra-citra yang murahan dan dangkal. Dalam konteks komunikasi politik, hal ini berlangsung saat citra- Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 14 citra politik tampil dalam jumlah banyak, frekuensi tinggi, dan waktu cepat sehingga menyebabkan pesan yang disampaikan tidak lagi menarik perhatian publik. Identitas Politik Image politik juga dapat dikatagorikan sebagai sebuah strategi positioning suatu partai politik atau individu untuk membedakan dengan partai politik lainnya. Oleh karena itu image politik mempunyai keterkaitan yang erat dengan identitas. Atributatribut yang dipakai selama kampanye politik membentuk kesan tertentu atas suatu entitas. Image/citra merupakan visualisasi dari atribut yang diberikan dan dipersepsikan oleh pihak luar tentang suatu partai politik atau calon/kandidat pemimpin politik. Seiring dengan meningkatnya penggunaan pencitraan politik sebagai salah satu sarana untuk memenangkan perebutan kekuasaan, maka masing-masing calon/kandidat akan berusaha memperkuat citra dirinya yang telah ada. Mereka akan memantapkan posisi dan identitas mereka dalam persaingan dengan calon/kandidat yang lainnya Jadi identitas politik dapat membedakan antara partai politik atau individu yang satu dengan yang lainnya. Identitas juga dapat menyatukan orang-orang yang mempunyai kesamaan yang sama dengan karakteristik dari identitas tersebut. Teori Agenda Setting Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972). Asumsi teori ini adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap penting media, maka penting juga bagi masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar bukan dengan perubahan sikap dan pendapat. Agenda setting menjelaskan begitu besarnya pengaruh media--berkaitan dengan kemampuannya dalam memberitahukan kepada audiens mengenai isu-isu apa sajakah yang penting. Media memiliki kemampuan untuk menciptakan pencitraan-pencitraan ke hadapan publik. Ada dua asumsi mendasar dari teori ini adalah, (1). pers dan media tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya, melainkan mereka membentuk dan mengkonstruk realitas tersebut. (2). Media menyediakan beberapa isu dan memberikan penekanan lebih kepada isu tersebut yang selanjutnya memberikan kesempatan kepada Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 15 publik untuk menentukan isu mana yang lebih penting dibandingkan dengan isu lainnya. Salah satu aspek yang paling penting dari konsep agenda setting ini adalah masalah waktu pembingkaian fenomena - fenomena tersebut.dalam artian bahwa tiap tiap media memiliki potensi - potensi agenda setting yang berbeda - beda satu sama lainnya. Pendekatan ini dapat membantu kita untuk menganalisa kecenderungan kecenderungan suatu media dalam memberitakan suatu peristiwa. Faktor-faktor yang mempengaruhi ada tidaknya pengaruh agenda setting (pengaruh agenda media terhadap agenda publik) disebut faktor kondisional, yang dapat dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) sebagai berikut: 1. Dari perspektif agenda media adalah sebagai berikut: framing; priming; frekuensi dan intensitas pemberitaan/penayangan; dan kredibilitas media di kalangan audiens. 2. Dari perspektif agenda publik adalah sebagai berikut: faktor perbedaan individual; faktor perbedaan media; faktor perbedaan isu; faktor perbedaan salience; faktor perbedaan kultural. Perbedaan individual, pengaruh agenda setting akan meningkat pada diri individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang disajikan oleh media massa. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa perhatian individu terhadap isi media dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, luas pengalaman, kepentingan, perbedaan ciri demografis, sosiologis. Bukti-bukti eksperimental menunjukkan bahwa efek agenda setting akan meningkat pada individuindividu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang dikaji, sedangkan intensitas perhatian sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan derajat kepentingannya. Media Surat Kabar Surat kabar merupakan salah satu media massa yang berperan penting dalam pendistribusian informasi kepada khalayak. Selain karena kontennya yang faktual, penerbitan surat kabar juga terjadi secara periodik sehingga masyarakat akan lebih mudah untuk mengakses dan mnerima informasi. Seiring perkembangan teknologi, surat kabar mulai melakukan berbagai perkembangan baik dari sisi konten maupun teknologi. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 16 Yang dimaksud dengan surat kabar adalah kumpulan berita, artikel, cerita, iklan dan sebagainya yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran plano, terbit berkala secara teratur, bisa setiap hari atau seminggu sekali. Sebuah surat kabar isinya merupakan catatan peristiwa (berita) atau karangan (artikel, feature, dsb) dan iklan karena biasa memuat hal yang bersifat dagang (promosi) diterbitkan secara berkala (periodik) waktu penerbitannya akan menggolongkan sebagai sebuah surat kabar atas harian, mingguan, bulanan, atau mungkin tahunan. Fungsi yang paling menonjol pada surat kabar adalah memberikan informasi kepada khalayak. Hal ini sesuai dengan tujuan utama khalayak membaca surat kabar, yaitu keingintahuan akan setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan karakteristik surat kabar adalah sebagai berikut : Publisitas : adalah penyebaran pada publik atau khalayak Periodesitas : menunjuk pada keteraturan terbitnya, bisa harian, mingguan, atau dwi mingguan Universalitas : menunjuk pada kesemestaan isinya, yang beranieka ragam dan dari seluruh dunia. Aktualitas : menunjuk pada keadaan yang ”kini” dan ”sebenarnya” Terdokumentasikan : dari berbagai fakta yang disajikan surat kabar dalam bentuk berita atau artikel, dipastikan ada beberapa diantaranya yang oleh pihak-pihak tertentu dianggap penting untuk diarsipkan dan dibuat kliping. Media Massa Dan Pembentukan Citra Politik Strategi pencitraan politik, tidak dapat dilepaskan dari peran media massa dalam kapasitasnya sebagai media (wadah) untuk memberitakan kepada publik serta memberi citra dari aktivitas para aktor politik yang diberitakan dan menjadi konsumsi media massa. Disini peranan “Framing” maupun “Agenda Setting” menjadi penting, karena agenda media (dalam hal ini media memilih berita-berita yang akan menjadi headline dalam pemberitaannya) merupakan agenda publik, artinya adalah publik disodorkan headline berita yang memang telah diagendakan oleh media untuk menjadi berita utama (headline). Media massa mempunyai peranan penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat. \ Peristiwa politik selalu menarik perhatian media massa sebagai bahan liputan. Hal ini terjadi karena dua faktor yang saling berkaitan. Yang pertama adalah karena Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 17 saat ini politik berada di era mediasi (politics in the age of mediation), yaitu media massa sebagai wadah yang dapat melakukan proses mediasi antara kepentingan publik dan politik, hampir mustahil jika kehidupan politik dipisahkan dari media massa. Para aktor politik yang melakukan strategi pencitraan senantiasa berusaha menarik perhatian wartawan agar aktivitas politiknya memperoleh liputan dari media. Yang kedua adalah peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan para aktor politik lazimnya selalu mempunyai nilai berita sekalipun peristiwa politik itu bersifat rutin belaka, misalnya kegiatan rapat kerja partai atau pertemuan seorang tokoh politik dengan para pendukungnya. Apalagi jika peristiwa politik itu bersifat luar biasa seperti pemilihan Kepala Daerah. Dalam melaporkan atau mengkonstruksikan realitas pemberitaan politik, lazimnya media massa memanfaatkan tiga komponen, yaitu pemakaian simbol-simbol politik (language of politics), strategi pengemasan pesan (framing strategies) dan kesediaan media memberi tempat (agenda setting function). Seorang tokoh politik hendaknya dapat memberikan pemberitaan-pemberitaan politik yang aktual dan kritis yang dapat memberikan kesadaran pada masyarakat tentang pentingnya sistem politik yang lebih demokratis. Para aktor politik yang akan melakukan proses pencitraan terhadap dirinya maupun pencitraan terhadap partai politik yang diusungkan hendaknya dapat memanfaatkan media massa yang dapat memberikan pengaruh besar kepada publik. Pesan-pesan politik yang akan dihadirkan oleh para aktor politik tersebut biasanya disusun terlebih dahulu sehingga sesuai dengan target pencitraan yang diinginkan melalui media massa, hal tersebut akan memberikan efek yang lebih besar jika isi media lebih disesuaikan dengan karakteristik masing-masing media yang berfungsi sebagai transmitter. Disamping karakteristik media, diperlukan juga karakteristik dari khalayak pemirsanya. Hal ini penting karena segmentasi khalayak akan memperjelas besarkecilnya pengaruh yang diharapkan, dan segmentasi khalayak perlu dilakukan karena mereka punya preferensi pilihan medianya sendiri-sendiri. METODE PENELITIAN Kerangka Konseptual 1. Citra merupakan suatu penilaian, tanggapan, opini, kepercayaan publik, asosiasi, lembaga dan juga simbol simbol tertentu terhadap bentuk pelayanan, nama Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 18 perusahaan dan merek suatu produk barang atau jasa yang diberikan oleh publik sebagai khalayak sasaran (audience). 2. Pencitraan politik merupakan suatu konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik. 3. Media surat kabar merupakan kumpulan berita, artikel, cerita, iklan dan sebagainya yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran plano, terbit berkala secara teratur, bisa setiap hari atau seminggu sekali. Unit Analisis Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian adalah seluruh teks berita(judul berita, isi berita) dan gambar/foto pada harian Jawa Pos edisi September 2012 terkait dengan berita Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua. Mulai dari judul berita, lead berita, tubuh berita, gambar/foto. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif yang mendeskripsikan konstruksi wacana dan pencitraan politik yang berkembang seputar pemberitaan pemilihan Kepala daerah DKI Jakarta pada harian Jawa Pos edisi bulan September 2012. Obyek Penelitian Obyek penelitian ini adalah pencitraan Jokowi dalam harian Jawa Pos edisi bulan September 2012. Teknik Pengumpulan Data 1. Teknik dokumentasi. Karena semua data yang akan dijadikan unit analisis hanya bersumber dari dokumentasi, maka teknik pengumpulan data yang utama dalam penelitian ini adalah mendokumentasikan data yang diperlukan, setelah itu dilakukan penelitian. 2. Studi kepustakaan, teknik pengumpulan data dengan mempelajarai beberapa literatur dari buku yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian ini, dengan mengutip beberapa teori yang dapat memperkuat penjelasan atas fenemona yang diteliti. Teknik Analisa Data Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 19 Setelah berita utama/head line dikumpulkan dan dikliping, maka langkah selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan perangkat wacana model Sara Mills yaitu: TINGKAT Posisi Subyek – Obyek Yang ingin dilihat Bagaimana peritiwa dilihat, dari kacamata siapa peristiwa itu dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subyek) dan siapa yang menjadi obyek yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor dan kelompok sosial mempunyai kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri, gagasannya ataukah kehadirannya, gagasannya ditampilkan oleh kelompok/orang lain Posisi Penulis – Pembaca Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasidirinya. ANALISA DATA Pemaparan Data Penelitian 1. Berita Utama Jawa Pos, 20 September 2013 Posisi Subyek- Aktor yang diposisikan sebagai subyek adalah penulis teks Obyek berita yaitu wartawan harian Jawa Pos, sedangkan peristiwa yang diposisikan sebagai obyek adalah hasil perhitungan cepat (quick count). Hal ini nampak dalam awal kalimat yang ditulis oleh penulis berita yaitu : Judul berita : “Foke Bertemu Amien, Jokowi Sungkem Ibu “Saat Jokowi datang, Sujiatmi sedang duduk di salah satu kursi panjang ruang tanu. Jokowi langsung menghampiri dan sungkem dengan mencium tangan sembari bersimpuh di pangkuannya. Ibundanya langsung memberikan wejangan Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 20 kepada putra pertamanya itu. Sujiatmi membisikkan nasihat kepada Jokowi. Dia juga mencium kening dan kedua pipi Jokowi.” Gambar/Foto : Kening Jokowi sedang dicium oleh ibundanya saat Jokowi duduk bersimpuh di pangkuan ibundanya. Istilah "sungkeman" berasal dari kata dasar "sungkem" yang dalam bahasa Jawa yang berarti menjabattangan dan mencium tangan sebagai tanda penghormatan sang anak atau orang yang lebih muda kepada orangtua atau orang yang lebih tua dalam silsilah keluarga. Hingga kini tradisi Sungkeman masih hidup abadi didalam jiwa masyarakat Indonesia dan nampak terwujud dalam nuansa "pulang kampung" atau "mudik" (kembali ke udik atau ke kampung) setiap tahun. Pada masa kini, mungkin banyak keluarga yang telah meninggalkan tradisi Sungkeman ini. Namun tak sedikit pula keluarga yang kembali menggali dan melestarikan budaya leluhur yang sangat indah dan bernuansa religious. Makna sungkeman itu sejatinya sangat mendalam, mulia dan terpuji, diantaranya adalah : 1. Penghormatan, tanda bakti dan tanda kasih anak kepada orangtua atau orang yang lebih tua; 2. Mediasi keluarga saling bertemu dan kenal satu dengan lainnya, menjalin hubungan keluarga yang harmonis tanpa memandang kondisi sosial dan status masing-masing keluarga; 3. Menyatukan dan membahagiakan keluarga, sanak saudara dan handai-tolan yang tak pernah bertemu atau jarang bertemu muka dalam suatu acara kumpul keluarga besar yang disebut "trah" (silsilah keluarga besar); Perlu dipahami bahwa sungkeman bukanlah bentuk penyembahan seorang manusia kepada manusia, namun sungkeman merupakan bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua. Sungkeman menunjukkan kesopan santunan orang yang masih muda. Tak bisa dipungkiri bahwa sungkeman menjadi salah satu cara untuk mendekatkan hubungan antara anak dengan orang tuanya, atau antara orang muda dengan orang tua. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 21 2. Berita Utama Jawa Pos, 21 September 2013 Posisi Subyek- Aktor yang diposisikan sebagai subyek adalah penulis teks Obyek berita yaitu wartawan harian Jawa Pos, sedangkan peristiwa yang diposisikan sebagai obyek adalah hasil perhitungan cepat (quick count). Hal ini nampak dalam awal kalimat yang ditulis oleh penulis berita yaitu : Judul berita : “Dan Pemenangnya Adalah ........... “Pasangan yang diusung PDIP dan Partai Gerindra tersebut unggul dengan selisih suara 5-8 persen. Misalnya, berdasar penghitungan cepat Lembaga Survey Indonesia (LSI), Jokowi-Ahok meraih 53,81 persen dan Foke-Nara 46,19 persen suara. Dengan margin of error 2 persen atau ada kemungkinan perolehan suara Jokowi-Ahok berkurang 2 persen sedangkan suara Foke-Nara bertambah 2 persen, kemenangan pasangan yang ngetop dengan baju kotak-kotak itu tidak akan berubah. Gambar/Foto : Baju kotak-kotak yang ada tulisanyya Jokowi-Ahok Harian pagi Jawa Pos dalam mengupas berita utamanya tanggal 21 September 2013 lebih menitikberatkan pada hasil penghitungan cepat (quick count). Subyek menceritakan peristiwa kemenangan sementara pasangan Jokowi-Ahok dalam pemilihan Kepala daerah DKI Jakarta versi penghitungan cepat atau quick count oleh berbagai lembaga survey nasional. Meskipun belum resmi dinyatakan sebagai pemenang oleh lembaga resmi penyelenggara Pilkada DKI Jakarta, tetapi hasil perhitungan cepat (quick count) telah menjadi model perhitungan yang hampir mendekati kebenaran. Berdasarkan hasil quickcount Lembaga Survei Indonesia (LSI), pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Jokowi-Ahok memenangi pilkada putaran pertama. Hasil itu didapat dari 410 tempat pemungutan suara (TPS) yang dijadikan sampel di seluruh Jakarta. Dari yang terkumpul mencapai 98,54 persen. Dari hasil survei itu, Jokowi-Ahok mengungguli dengan 42,76 persen. Peringkat kedua, yakni Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 22 Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dengan 33,9 persen. Peringkat selanjutnya yakni Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini 11,9 persen, Faisal Basri-Biem Benyamin 4,94 persen, Alex Noerdin-Nono Sampon 4,74 persen, dan Hendardji Soepandji-Riza Patri 2,06 persen. Di akhir kalimat disebutkan bahwa .......”kemenangan pasangan yang ngetop dengan baju kotak-kotak” memberikan sesuatu identitas unik yang tidak dimiliki oleh pasangan yang lain. Kata “ngetop” memberikan arti sama dengan populer, tenar, masyhur, terkenal, kesohor. Semuanya mengarah kepada keterkenalan atau kemasyhuran akan seorang tokoh. Subyek menulis kata “ngetop” yang memang sengaja ditujukan kepada Joko Widodo. Kata “ngetop” menggambarkan kepopuleran dan keterkenalan Jokowi sudah memasyarakat sampai masyarakat tingkat bawah. Masyarakat yang diwakili oleh anakanak sampai orang-orang tua sudah mulai akrab dengan pasangan Jokowi-Ahok. Bahkan orang-orang pinggiran sampai orang-orang yang mempunyai status sosial tinggi pun mengenal pasangan tersebut. Inilah yang ingin disampaikan oleh penulis bagaimana “ngetop”nya Jokowi-Ahok sampai ke semua lapisan masyarakat. Sedangkan baju kotak-kotak yang selalu dipakai selama kampanye menggambarkan identitas dari seorang Jokowi-Ahok dan para pendukung fanatiknya. Oleh karena itu, tak pelak lagi bahwa baju kotak-kotak sebagai identitas Jokowi-Ahok telah menyusup dan melintas ke segenap ranah dan ruang. Bahkan baju kotak-kotak tersebut menjadi alat identifikasi termudah untuk mengenali para pendukung Jokowi. Baju sederhana itu menjadi branding ampuh bahkan mendadak tren di tengah masyarakat pada saat itu sampai sekarang ini. Identitas tidak tunggal, seseorang boleh menggunakan berbagai macam identitas untuk berkomunikasi dengan pihak lain. Kemeja kotak-kotak memberi identitas baru bagi pasangan Jokowi-Ahok. Identitas baru ini tidak menegasikan identitas lama dari seorang Jokowi maupun Ahok. Identitas baru dipandang memberi nuansa dan harapan baru bagi adanya sebuah perubahan yang lebih baik. Kemeja kotak-kotak dipandang sebagai symbol kebersamaan, tidak ekslusif dan tidak merupakan representasi dari warna partai politik pengusung dan tidak menusuk atau memusuhi warna dari parpol-parpol yang ada. Rasa kebersamaan ditangkap masyarakat sebagai penyegar dalam kehidupan social politik yang selama ini Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 23 penuh konflik. Kebersamaan yang telah ditelan oleh sikap egois – individual yang terbawa arus globalisasi diharapkan kembali mewarnai kehidupan social budaya. 3. Berita Utama Jawa Pos, 22 September 2013 Posisi Subyek- Aktor yang diposisikan sebagai subyek adalah Susilo Obyek Bambang Yudoyono (SBY) selaku presiden RI, sedangkan peristiwa yang diposisikan sebagai obyek adalah hari pemungutan suara Pilgub DKI Jakarta. Hal tersebut nampak dalam kalimat sebagai berikut: Judul berita : “Pulang Kampung ke Solo, Jokowi Diarak Naik Becak” “Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit, Jokowi berhenti di pendukungnya Lapangan mengarak Kotabarat. Dari lokasi itu, Jokowi naik becak dan menyusuri Jalan Slamet Riyadi. Di Loji Gandrung, ratusan simpatisan dan warga sudah menantikan kedatangan Jokowi. Mereka melantunkan nyanyian Jokowi siapa yang punya, yang punya kita semua.” Gambar/Foto : Jokowi diarak naik becak Harian Jawa Pos juga menggambarkan kepribadian dari sosok Jokowi yang sederhana, pro rakyat kecil, dan tidak mencerminkan seorang pejabat yang harus dihormati oleh warganya. Kedekatan Jokowi dengan rakyat kecil digambarkan oleh Jawa Pos dalam beritanya “Pulang kampung ke Solo, Jokowi Diarak Naik Becak”. Berbicara soal becak, maka bayangan kita langsung menuju kepada sebuah alat transportasi beroda tiga yang sering dijumpai di banyak tempat di Indonesia. Untuk bepergian ke tempat yang tidak terlalu jauh, menumpang becak bisa menjadi salah satu alternatif kendaraan yang dipakai. Becak dapat dimaknai sebagai representatif dari kehidupan rakyat kecil yang miskin dan sederhana. Banyak calon kandidat kepala daerah yang memanfaatkan becak sebagai media pencitraan dirinya. Mereka mencoba mencitrakan dirinya dekat dengan rakyat kecil, pro dengan kemiskinan. Merakyat dimaknai harus dekat secara fisik kepada mereka. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 24 Strategi pencitraan politik memang didesain sedemikian rupa untuk menarik perhatian masyarakat. Seorang calon atau kandidat politik harus melakukan sesuatu agar citra dirinya terkesan merakyat, dekat dengan warga pinggiran. Dunia pencitraan memiliki peran penting dalam ranah politik, bahkan tak jarang pencitraan itulah segalanya untuk merebut hati pemilih. Contohnya adalah perilaku merakyat tadi. Di negeri ini, semakin banyak pejabat yang merakyat. Hal ini bukan lantaran mereka menyadari perlunya memperbaiki kehidupan rakyat, melainkan ada gejala kesadaran pejabat untuk memperbaiki citranya di hadapan rakyat. Jadi kesadaran itu bukan kesadaran sebagai pejabat yang melayani rakyat, melainkan kesadaran untuk membangun citra sebaik-baiknya di mata rakyat. Analisa Data Era sekarang memang era pencitraan. Banyaknya media massa menjadikan pencitraan tumbuh subur. Peran media dalam mengemas dan menyeleksi realitas sosial akan membantu masyarakat dalam melihat lingkungan sosial mereka. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi, sehingga merupakan realitas tangan kedua (second hand reality). Jadi, masyarakat membentuk citra tentang lingkungan sosialnya berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Harian Jawa Pos sering memberitakan kegiatan kampanye Jokowi yang selalu memakai baju kotak-kotak, Jokowi yang selalu terjun langsung ke lingkungan kumuh dan dekat dengan rakyat kecil, Jokowi yang sungkeman kepada ibunya. Oleh karena karena masyarakat cenderung memandang sosok Jokowi sebagai orang yang sederhana, pro rakyat kecil, tidak terkesan sebagai seorang pejabat yang minta dihormati, orang yang pluralis. Karena media massa sering memuat namanya, gambarnya, kegiatannya maka hal tersebut membuatnya sangat terkenal. Orang yang sebelumnya tidak dikenal, karena diungkapkan besar-besaran dalam media massa aka orang tersebut melejit namanya dan dikenal oleh semua orang. Hal itulah yang dialami oleh seorang Jokowi, putra daerah yang kemudian melejit namanya di kancah politik nasional. Namun perlu diingat dan dikririsi bahwa media massa menjadi ancaman terhadap nilai dan rasionalitas manusia. Menurut Van Den Haag, media massa menimbulkan depersonalisasi dan dehumanisasi manusia. Media massa menjauhkan Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 25 manusia dari pengalaman personalnya dan memperluas isolasi moral sehingga manusia terasing dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Masyarakat masuk pada dunia yang coba dibangun oleh calon atau kandidat politik melalui media massa, yakni “dunia seolah-olah”. Seolah-olah calon tersebut memikirkan penderitaan rakyat kecil, membela rakyat miskin, memberantas korupsi, dan lain-lain. Tapi pada kenyataanya, setelah mereka terpilih menjadi pemimpin justeru perilakunya jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat kecil. Pencitraan politik memang sebuah keharusan sebagai sebuah strategi untuk meraih kursi kekuasaan, tetapi harus diimbangi dengan program yang nyata-nyata untuk kesejahteraan masyarakat. KESIMPULAN Kesimpulan Pencitraan Jokowi dalam Harian Jawa Pos edisi bulan september 2012 dapat disimpulkan sebagai berikut : - Identitas dan brand image politik Jokowi disimbolkan dengan baju kotakkotak yang melambangkan kebersamaan, keberagaman dari penduduk Jakarta. - Pencitraan Jokowi juga ditampilkan sebagai sosok yang sederhana, merakyat, tidak bersikap sebagai pejabat. - Pencitraan Jokowi juga digambarkan sebagai seorang Jawa yang selalu patuh dan menghormati orang yang lebih tua. Daftar Pustaka Buku Alex Sobur.2004. Analisis Teks Media, PT Remaja Rosdakarya, Bandung Agus Sudibyo.2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana, LkiS, Yogyakarta Eriyanto 2005. Analisis Wacana, Pengantar Aanalisis Teks Media, PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta Firmanzah. 2007. Marketing Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Ibnu Hamad.2004, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa, Granit, Jakarta Jalaluddin Rakhmat.1994. Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bndung Ishwari, Luwi. 2005, Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, Bukru , Jakarta Haris Sumadiria. 2005, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, Simbiosa Rekatama Media, Bandung Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 26 Dan Nimmo.2005. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, Dan Media, PT Remaja Rosdakarya, Bandung Syarifudin Yunus. 2010, Jurnalistik Terapan, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta Non Buku www.jawapos.co.id Jawa Pos, edisi 20,21, dan 22 September 2012 The Use of ICTs for Poverty Reduction in Developing Countries Solikhah Yuliatiningtyas [email protected] The electronic and optical networking technologies are linked as internet where the 25% of the world human population is use it. The internet is extremely dominate almost all daily activities in many countries. Digital technology is preferred to analogue technology because digital data can be endlessly copied, edited and transferred without any loss to the quality. Also a communications satellite is an artificial satellite stationed in space for the purpose of telecommunications. New ITCs which came from developed countries, in recent years, there has been avoid the wide gap in access to new technologies between the developed and developing world. Moreover, fancy technologies are more interesting and fun to work with, and often make it easier to improve the standard living of society. Regarding to poverty reduction efforts in developing countries, ICTs contribution still debatable. A few scientistICTs usage are the best tool as poverty reduction in developing countriesargue that ICTs usage can not reduce poverty in poor nations because there are still limited connectivity and high cost. However, there are also a number of significant positive aspects such as increase economic growth and improve education. Therefore, this essay argues that ICTs are the best way to alleviate poverty in developing countries. For a number of reasons, ICTs projects in poor countries also come with a range of weaknesses. In some poor nations, ICTs usage is not effective to reduce poverty directly. Firstly, ITCs access in developing countries is weak, especially in rural areas. For example, the result study in Uganda shows that there is a negative relationship can be observed between ICT availability (ICT densities) and poverty level (r = -0,99) Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 27 which is consistent with Flor [2001] (Ssewanyana 2007). Similarly, in five African countries such as Rwanda, Tanzania, Mozambique, Zambia and Namibia, there are still limited internet access (Hesselmark 2003). Secondly, the cost of on-going access and support can be high. According to Shanmugavelan and Wariock (2004) most of African people who live in rural area which mainly job as farming, buying and using a mobile phone is very expensive – a single call can cost as much as half the daily wage of an agricultural worker (Richardson 2005). It can be seen then that here is some evidence to show ICTs usage is not the best way to mitigate poverty in poor countries. However, there are also a number of important positive aspects to ICTs usage in the third world. some result studies has shown that digital technologies can help reduce poverty by make stronger economic growth in many developing countries. According to the ICT Survey in Thailand (2006) multi sectors with an above average proportion of businesses receiving orders online belong to the ICT-producing services industry, the retail and wholesale trade industry and hospital. Regarding the hospital industry, the growth of medical and health tourism activities may explain a relative specialization of businesses in this sector to receive orders online. The order of magnitude is higher when comparing sales per employee in firms with and without web presence. As result, base on World bank survey (2006) report that economy in Thailand has grown to both real GDP and real per capita GDP of respectively 5.6 and 4.8 percent (CAGR) annual between 2001 and 2005, which manufacturing and agriculture give contribution to GDP shares is compose 37 percent and 10 percent respectively (UNCTD 2008). Indeed, the recent studies show that consumers all around the world are turning to the internet first to find travel information and 54 per cent of online travel consumers start travel research with an online travel agencies and airline web sites. The companies allow customers to find the best value or lowest price for air tickets and hotels, browsing databases of a large number of distributors that often promise the lowest fare. ICTs can reduce operating costs, improve business profit, and provide tourism producers with additional opportunities to present and sell their products. Tourism enterprises of developing countries could gain autonomy and save costs by promoting and selling products directly to consumers provided they have an effective website. East Asia and the Pacific have attracted over 55 per cent of international tourism arrivals in developing countries. The countries have been able to increase significantly their Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 28 tourism foreign earnings over 30 percent of international tourism receipts income US$ 523 billion (UNCTD 2005). Furthermore, computers, networks and internet are being used in many aspects of education in developing countries. Juma and Lee (2005) argue that science, technology, and innovation have helped to mitigate poverty in much of South-East Asia. Then economic circumstances make higher education more compelling need in developing countries than it has ever been. Key factors in this change include increased demand for higher education due to improved access to schooling, pressing local and national concerns that require advanced knowledge to address with high-technological expertise (Khan & Williams 2006) . In fact, Zlotnikova also report that ICT educational have been using widely as community telecenters as a solution to overcome digital divide between urban and rural areas. For example, Rwanda and Uganda demonstrate rather high level of ICT in education development. Rwanda has a complete set of ICT/ ICT educational policies and most ICT educational initiatives are controlled by the Ministry of Education, even it is claimed in 2020 Rwanda will become an information-technology for the resource-rich nations of Eastern and Central Africa (Zlotnikova 2011). Similarly, Zlotnikova, Muyinda & Lubega (2010) add in the report that in Mozambique the development of ICT in education is uneven and depends on the location of the school/ institution and the source of the financing. University of Eduardo Mondlane (public) and Instituto Superior de Transportes e Comunicacoes (private) located in Maputo, the capital of Mozambique, demonstrate a high level of an ICT access and digital content development. Catholic University of Mozambique (with many up country branches) has vast experience of running distance education program. The Ministry of Education and Culture of Mozambique takes significant efforts to coordinate ICT educational initiatives (Zlotnikova 2011). There are significant efforts to solve the poverty problem in developing countries by workable economic and education systems which supported seriously by local government and NGOs. It is clear that, using digital technologies have strong impact to poverty reduction in poor countries. Therefore, despite ICTs still have a number of problems in the developing world, internet using has strong positive effects in terms of poverty mitigation. These effects seem especially profound on economic growth in multi sectors. Besides hospital industry and tourism enterprises, Agribusiness sector has had a significant role in Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 29 national development directly such as to contribute to the Gross Domestic Product (GDP), people’s income, foreign exchange earnings through export and poverty alleviation. Like Indonesia as one of the largest importer countries in the world. Presently in 2006 the growth still remains around 3.5% per year. The recent research reports that the agribusiness which adopting digital technology has higher gross sales than did not use them (Sudaryanto 2011). An other example, economy in Mozambique has grown rapidly during the last ten years, fuelled by large transfers of donor money. The per capita income has doubled (Hesselmark 2003). It is clear that ICTs can facilitate economic growth in more developing countries. Furthermore, digital technology usage in education has many benefits, such as students will gain some experience with complex technology. Also computers and network connection can be used for teaching and learning. For instance, Makerere University Faculty of Law in Uganda become the host institution for African-led network of institutions actively strengthening African expertise involved in setting ICT-related policy (Batchelor and Scott 2005). Most education-related ICT projects have the potential for improving the quality of education and thus ultimately addressing poverty. Although there are several problems such as lack of access to connect internet and high cost of hardware, these can be overcome. Every Government in developing country should avoid monopoly of internet services or fixed line telecom operator, then build a national fiber-optic backbone with substantial capacity for an anticipated increase in internet traffic. These policy predict will make competitive companies between government and private companies, including the quality of internet service such as connectivity to the internet link. For example, Tanzania is implementing 2 mbps links into all 22 regional centers for similar purposes. The competition between many telecom operators which provide satellite or wireless solutions is increasing available bandwidth, and prices of access become cheaper. An other benefit, people can connect to internet by using PC or mobile phone from every where (Hesselmark 2003). The solution can offer solve the problem about lack of access in developing countries. In addition, the second problem of ICTs about high cost of hardware, able to solved by decline the prices of devices. Developing nations should contribute to the public policy environment for ICTs and the price, make efforts to create a more open investment climate for international operators and initiative to develop cheaper devices, such as the $100 laptop. Like in China and Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 30 India, Wall Street Journal (2006) report that customers competition is helping to boost the production of low-cost PCs. In the 2005 the One Laptop Per Child (OLPD), at a $100 each, was initiated by Massachusetts Institute for Technology (MIT) (Neves 2008). Certainly, if the strong connectivity of internet and provide cheaper devices have available, then digital technologies usage for multi sectors in the third world is apparently the best way to reduce poverty. In conclusion, there are more evidence that ICTs usage are the best tool as poverty reduction in developing countries. This is because digital technologies can lead to economic growth and improve education. Albeit ICTs implementation still have limited access, it can solve by avoid monopoly access of government then build own satellite and wireless. Furthermore, the problem about high cost of hardware can also solve by reduce the price of devices. Therefore, governments in developing nations should support seriously to ICTs usage seriously by open market of internet services, also make strong contribution to provide cheaper devices for people. References : Batchelor, S, Scott, N and Gamos 2005, ‘Good practice paper on CTs for economic growth and poverty reduction’, the DAC Journal, Vol. 6, No.3, viewed 10 March 2012, <www.oecd.org/dac>. Hesselmark, O 2003, ICT in Five African Countries , Sida documentation, viewed 12 march 2012, <www.itu.int/osg/spu/wsis.pdf>. Khan, H and Williams, JB 2006, Poverty alleviation through Access to Education: Can E-Learning Deliver?, U21 Global Working Paper Graduate School For Global Leaders, viewed 13 march 2012, <www.u21global.edu.sg>. Neves, L 2008, The Contribution the ICT Industry Can Make to Sustainable Development,Global eSustainability Initiative, viewed 12 March 2012, <www.gesi.org/SustainableICT/tabid/79/Default.aspx>. Richardson, D 2005, How can Agricultural extension best harness ICTs to improve rural livelihoods in Developing Countries?, viewed 12 march 2012, departments.agri.huji.ac.il/economics/gelb-how-11.pdf Spence, R and Smith, M.L 2010, ‘ICT, development, and poverty reduction: Five emerging stories’, USC Anneberg School for Communication & Journalism, Special Edition, Vol. 6, p.11-17, Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 31 viewed 10 March 2012, <itidjournal.org/itid/article/viewFile/616/256> Ssewanyana, J.K. 2007, ‘ICT Access and poverty in Uganda’, International Journal of Computing and ICT Research, Vol. 1, No.2, viewed 10 March 2012, <http:www.ijcir.org/volume1-number2/article2.pdf>. Sudaryanto 2011, ‘The need for ICT education for managers or agri-businessmen for increasing farm income: Study of factor influences on computer adoption in East Java farm agribusiness’ , International Journal of Education and Development using Information and Communication Technology (IJEDICT), Vol. 7, Issue 1, pp. 56-67, viewed 12 March 2012, < ijedict.dec.uwi.edu>. United Nations Conference on Trade and Development 2005, ICT and tourism for development, Background paper by the UNCTAD secretariat, viewed 12 March 2012, <www.unctad.org>. United Nations Conference on Trade and Development 2008, Measuring the impact of ICT use in business: the case of manufacturing in Thailand, UNCTAD secretariat and the Thailand National Statistical Office, New York and Geneva, viewed 13 March 2012, <www.unctad.org>. Zlotnikova, I.Y 2011, ‘An approach to modeling ICT educational policies in African countries’, International Journal of Education and Development using Information and Communication Technology (IJEDICT), Vol. 7, Issue 3, pp. 50-73, viewed 12 March 2012, <ijedict.dec.uwi.edu>. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 32 EDUKASI POLITIK DAN PENCITRAAN PARTAI POLITIK MELALUI MEDIA SOSIAL Dra. Farida, MSi ( Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi - Universitas Dr. Soetomo ) Abstract Trend social media (media social networking) should also be used by the political parties in its function as an agent of political education as well as forming imagery among the voters. Given social media can provide ease in interacting and voters can access it with a very low cost. Keywords: social media, political parties, political education, political imagery, voters Pendahuluan Saat ini media komunikasi berkembang dengan pesatnya, memasuki era media komunikasi kontemporer, salah satunya adalah media sosial online atau sering disebut sebagai media jejaring sosial. Media sosial ini tidak hanya memiliki kekuatan sosial, politik dan budaya, tetapi dari perspektif komunikasipun berperan pula tidak hanya sebagai alat atau media komunikasi, tetapi juga akan membentuk publisitas dan pencitraan individu atau lembaga ( Junaedi, 2011:xiii). Trend media jejaring sosial ini seharusnya juga dimanfaatkan oleh para partai politik yang akan berkompetisi pada pemilu 2014. Seperti diketahui Indonesia adalah Negara ketiga terbesar setelah Amerika Serikat yang warga negaranya menggunakan media sosial (facebook) sebagai medium untuk berkomunikasi (Junaedi, 2011:14). Sehingga dengan trend seperti itu, maka Parpol bisa menggunakan dan memanfaatkan Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 33 media sosial ini dalam melakukan edukasi politik dan pencitraan partai politiknya di kalangan para pemilih. Edukasi politik diperlukan bukan saja bagi para pemilih yang kurang atau belum memiliki pemahaman tentang persoalan politik, tapi edukasi politik juga diperlukan bagi pelaku politik yang sudah memiliki pengetahuan tentang persoalan politik. Dengan kata lain, pendidikan politik memiliki makna strategis dalam mendorong agar warga Negara (para pemilih) untuk memiliki pengetahuan politik yang memadai, sekaligus mendorong terwujudnya aplikasi sistem politik yang baik dan ideal. Maka urgensi pendidikan politik, selain berfungsi sebagai sosialisasi pelestarian nilai-nilai politik lama yang baik, juga berfungsi untuk melakukan pembaharuan politik (reformasi politik), suatu perubahan politik yang predictable, terencana dan lebih terukur. (http://www.waspadamedan.com/indexphp?option.com) Memahami Media Sosial Media sosial seperti facebook, twitter, myspace, twoo, badoo, google+ dan sebagainya, merupakan jenis media baru yang termasuk dalam kategori online media. Dengan jenis media baru ini memungkinkan orang (partai politik) bisa berbicara, terinspirasi, berbagi dan menciptakan jejaring secara online. Tindak komunikasi melalui sosial secara intensif dapat dilakukan diantara penggunanya. Disamping itu pengguna juga cenderung berkomunikasi secara ekspresif – orang bisa merasa nyaman dan terbuka serta memungkinan lebih jujur dalam menyampaikan pesan-pesan yang ingin diperukarkan dengan orang lain. Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang (partai politik) bisa membuat web page pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Jika media tradisional menggunakan media cetak dan media broadcash, maka media sosial menggunakan internet. Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, memberi komentar serta membagi informasi dalam waktu yang tepat dan tak terbatas. Partai politik bisa menjadikan media sosial sebagai sarana untuk berhubungan dengan para pemilih secara lebih cepat. Pemberian edukasi politik dan pencitraan partai politiknya menjadi semakin mudah dijangkau. Jika dulu model komunikasi yang dipraktikkan adalah komunikasi dari mulut ke mulut (mouth of mouth), maka sekarang Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 34 dunia ada di dalam perkataan kita (world of mouth). Kata-kata yang keluar dari para pengguna media social serta informasi yang saling bertukar membuat dunia dipenuhi oleh aneka ragam informasi yang berfungsi saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Mc Quail (2010:144) menguraikan ciri-ciri utama yang menandai perbedaan, antara media baru dengan media lama (konvensional) berdasarkan perspektif pengguna, yaitu : 1. Interactivity diidentifikasikan oleh rasio respon atau inisiatif dari pengguna terhadap tawaran dari sumber/pengirim pesan. 2. Sosial presence (sosialibity) dialami oleh pengguna, sense of personal contact dengan orang lain dapat diciptakan melalui penggunaan sebuah medium. Media richness : media baru dapat menjembatani adanya perbedaan kerangka referensi, mengurangi ambiguitas, memberikan isyarat-isyarat, lebih peka dan lebih personal. 3. Autonomy : seorang pengguna merasa dapat mengendalikan isi dan menggunakannya dan bersikap independen terhadap sumber. 4. Playfulness : digunakan untuk hiburan dan kenikmatan 5. Privacy : diasosiasikan dengan penggunaan medium dan / atau isi yang dipilih. 6. Personalization : tingkatan dimana isi dan penggunaan media bersifat personal dan unik. Berarti dengan media sosial, partai politik dapat menjajaki siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tidak terbatas. Media sosial kini telah berkembang dengan pesat. Dengan kecepatan penyebaran informasi dan komunikasi yang bersifat timbal balik, media sosial dalam beberapa hal telah mampu menggeser fungsi dari media konvensional. Dengan media sosial, partai politik dapat melakukan kontribusi dan interaksi dengan lebih intensif, partai politik juga dapat menciptakan gagasan dan mengolahnya sendiri. Beban psikologis dalam media sosial relatif tereliminasi. Jika dalam kehidupan sehari-hari partai politik tidak bisa menyampaikan pendapat secara terbuka karena satu dan lain hal, maka menjadi berbeda jika partai politik menggunakan media sosial, partai politik bisa menulis apa saja yang dia mau atau partai politik bebas mengomentari apapun yang ditulis atau disajikan orang lain. Ini berarti komunikasi bisa terjalin dua arah. Komunikasi ini kemudian menciptakan komunitas dengan cepat, karena ada keterkaitan yang sama akan suatu hal. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 35 Karakteristik masyarakat dunia maya dengan sistem kolaborasinya dalam media sosial, kemudian menandakan masyarakat baru dengan gaya hidup baru yang penuh warna dan kemudahan. Sebagai ruang berkomunikasi (pergaulan), media sosial menawarkan berbagai ragam harapan yang mungkin dimanfaatkan oleh setiap individu. ( Tabroni, 2012 : 161-162) 1. Media sosial menghilangkan jarak profesi dan status sosial. 2. Di media sosial, kebanyakan orang menyembunyikan status diri yang sebenarnya, khususnya terkait pekerjaan atau profesi. 3. Munculnya daya kritis alamiah publik. 4. Media sosial pada dasarnya hanya menyambungkan masyarakat maya yang satu dengan yang lainnya melalui kesepahaman dan persamaan kepentingan. Media sosial pada dasarnya dapat menyajikan informasi yang disuguhkan media konvensional. Di media sosial, masyarakat juga bisa mendapatkan berbagai macam informasi. Bahkan, media sosial dapat memberikan kemudahan berinteraksi antar anggota yang belum bisa dilakukan media konvensional. Masyarakat dapat mengakses media sosial dengan biaya yang sangat murah. Pada aspek pengelolaan, media sosial dapat dimiliki oleh siapapun, berbeda dengan media konvensional yang hanya dapat dibuat dan dikelola oleh orang-orang tertentu yang jumlahnya sangat banyak. Media sosial oleh Antony Mayfield dalam bukunya What is Social Media di definisikan sebagai satu kelompok jenis baru dari media, yang mencakup karakterkarakter berikut ini: 1. Partisipasi Media sosial mendorong kontribusi dan umpan balik dari setiap orang yang tertarik. Tidak ada yang bisa membatasi seseorang untuk menjadi bagian dari media social. Setiap orang dapat melakukannya secara bersamasama berdasarkan kesadaran sendiri. 2. Keterbukaan Setiap kata yang telah dipublikasikan di media sosial berpeluang untuk ditanggapi oleh orang lain, karena pada dasarnya media sosial bersifat terbuka untuk siapa saja. Hamper tidak ada penghalang untuk mengakses dan membuat isi. Karenanya setiap pengunjung akan cenderung tidak suka jika dalam media sosial ada semacam password yang menghambat proses interaksi. 3. Percakapan Perbedaan yang mendasar antara media konvensional dengan media sosial adalah media konvensional bersifat menginformasikan (satu arah), sedangkan media social lebih pada percakapan dua arah atau lebih. 4. Komunitas Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 36 Media sosial seringkali dimanfaatkan oleh komunitas masyarakat, baik terkait dengan pekerjaan, etnis, pendidikan, maupun minat yang sama. Media sosial memberi peluang komunitas terbentuk dengan cepat dan berkomunikasi secara efektif. 5. Saling terhubung Sifat dari media sosial it berjejaring. Antara satu dengan yang lainnya akan saling terhubung. Keberhasilan media social terletak pada link-link yang menghubungkan media sosial dengan situs-situs, antar media sosial, juga orang per orang. Kesamaan karakteristik yang dimiliki oleh media sosial dan media konvensional adalah kemampuan menjangkau audiens yang kecil atau besar, misalnya,baik posting blog atau acara televise dapat mencapai nol orang atau jutaan orang. Namun media sosial memiliki beberapa perbedaan dari berbagai aspek dengan media konvensional pada umumnya adalah : 1. Keterjangkauan Media social yang merupakan bagian dari internet, memberikan skala keterjangkauan tidak terbatas. Tingkat keterjangkauan media sosial sangat luas, mampu menembus batas ruang dan waktu. Bisa diakses kapan saja dan dimana saja. 2. Aksesibilitas Media mainstream biasanya dimiliki dan diakses oleh masyarakat terbatas. Sedangkan media sosial dapat ditembus oleh masyarakat umum, baik yang bermodal maupun tidak. 3. Penggunaan Untuk membuat dan mengelola media bisnis diperlukan keahlian khusus, sehingga perlu pendidikan secara spesifik. Namun media sosial tidak demikian, siapapun yang punya keinginan untuk membuat dan mengelola, pasti bisa sebab dari sisi teknis mudah serta dari sisi biaya murah, sehingga memungkinkan setiap orang dapat menggunakannya. 4. Respons Respon dalam proses interaksi antara publik dan media konvensional bersifat tertunda (delayed feedback). Namun dalam media sosial, respons bersifat langsung pada saat itu juga, tanpa jeda waktu yang relatif lama. Untuk menjembatani hal ini, media konvensional pada umumnya juga menggunakan beberapa fasilitas media sosial dalam berkomunikasi dengan pembaca dan penontonnya. 5. Konten Informasi atau konten dalam media sosial dapat diubah kapan saja pengelolanya mau, bahkan orang yang berkomentar pun dapat ikut mengubahnya. Sebaliknya, informasi atau konten dalam media konvensional permanen, tidak dapat diubah sama sekali ( Tabroni, 2012 : 164) Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 37 Dalam wikipedia.com, media sosial diartikan sebagai sebuah media online, di mana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, sosial network (jejaring sosial), wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Sementara jejaring sosial merupakan situs di mana setiap orang bisa membuat webpage pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Jejaring social terbesar antara lain adalah, facebook, myspace dan twitter. Pemanfaatan Media Sosial oleh Partai Politik Kajian tentang pemanfaatan dan penggunaan media social oleh partai politik di Indonesia secara ilmiah belum banyak dilakukan, bahkan bisa dikatakan belum ada. Facebook sendiri baru menjadi perhatian penting publik pengguna internet setelah Obama memanfaatkannya untuk kampanye politik pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2008 (Ibrahim, 2011:104). Facebook dan Barack Obama, atau kampanye pemilu Amerika Serikat 2008 secara umum, memiliki hubungan yang saling menguatkan. Obama menang antara lain karena memanfaatkan jejaring sosial, diantaranya facebook yang paling besar. Sebaliknya facebook sendiri jadi semakin besar dan penting serta semakin banyak anggotanya karena dipopulerkan oleh kampanye Obama (Priyatna, 2009:70). Dalam Kompas (27 Desember 2008) juga diungkapkan bahwa salah satu faktor penentu kemenangan Barack Obama dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat adalah karena ia berhasil menggaet pendukung di dunia maya. Selain membuat situs barackobama.com, ia juga mendekatkan diri dengan pendukungnya melalui banyak situs-situs jejaring sosial, salah satunya facebook. Salah satu kekurangan kampanye melalui internet sudah terjadi di Indonesia adalah minim memanfaatkan media sosial. Baik SBY, Amien Rais, Megawati maupun Wiranto, pada Pilpres 2004 sama sekali belum menyentuh media sosial. Pada tahun 2009 pun penggunaan media sosial tetap masih sangat terbatas, begitupun yang terjadi di daerah-daerah. Hal ini sangat berbeda dengan Obama yang lebih dikenal sebagai Presiden facebook dan Blackberry (Tabroni, 2012:160). Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 38 Meskipun studi tentang media sosial di Indonesia belum banyak dilakukan, tetapi penggunaannya memang mengesankan. Ini terbukti dari begitu banyaknya grupgrup (dalam facebook) yang menyuarakan isu atau kepentingan khusus. Mereka bermaksud menarik dukungan publik dan menjadi anggota atau follower mereka. Tak heran kalau kemudian media social seperti facebook dan twitter tidak hanya bermanfaat untuk membangun komunitas virtual, tetapi juga ia telah menjadi bagian penting dari media komunikasi politik baru, bagi generasi net. Mike Westling, ilmuwan dari University of Wisconsin, telah menguji fitur-fitur facebook yang digunakan untuk komunikasi politik serta keefektifannnya bagi aktor politik dan anggota komunitas. Dari hasil pengamatannya dihasilkan bahwa kandidat hanya akan melanjutkan secara aktif penggunaan facebook jika mereka mengantisipasi harapan untuk jabatannya kembali di masa depan. Sedikit fitur-fitur yang diadakan oleh facebook yang original sama sekali, tetapi kombinasinyalah yang membuat facebook itu efektif. Signifikansi facebook adalah facebook bahwa facebook mengkombinasikan semua layanan dalam sustu jaringan anggota. Kemudian kebanyakan komunikasi yang dilakukan antara kandidat dan anggota masih satu facebook arah, tetapi nilai facebo untuk berasal dari kekuatan anggotanya untuk mengorganisasi diri dan merespon dalam setting publik (Westling dalam Ibrahim 2011;105) Minimnya pemanfaatan media sosial pada saat itu karena belum banyak dikenal sehingga dianggap tidak akan optimal. Namun menjelang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2014, diduga akan banyak partai politik menggunakan media sosial, baik personal maupun lembaga. Hal ini sangat wajar sebagaimana dalam data yang dirilis Kominfo, Indonesia merupakan pengguna media sosial ketiga di dunia. Walaupun dari aspek konten, kita juga perlu mendiskusikan kembali manfaatnya. Namun tidak disangkal lagi saat ini kekuatan media sosial dalam menggalang opini di dunia maya mulai diperhitungkan banyak pihak, termasuk para partai politik. Karenanya partai politik seyogyanya bisa memanfaatkan media sosial sebagai medianya untuk menjalankan fungsinya sebagai agen edukasi politik sekaligus mencitrakan partainya dan orang-orangnya dengan pesan dan kemasan yang baik kepada para pemilih. DAFTAR PUSTAKA BUKU Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 39 Ibrahim, Idisubandi, Kritik Budaya Komunikasi, Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia, Jalasutra, 2011 Junaedi, Fajar, Komunikasi 2.0 Teoritisasi dan Implikasi, Matu Padi Pressindo, 2011 McQuail, Denis, Mass Communication, Theory, Sixth Edition, London, Sage Publication Ltd, 2010 Priyatna, Haris, Sukses di Era Facebook, Bandung, How Press (Kelompok Pustaka Hidayah), 2009 Tabroni, Roni, Komunikasi Politik pada Era Multi Media, Simbiosa Rekatama Media, 2012 Non Buku http://www.waspadamedan.com/indexphp?option.com Kompas, tanggal 27 Desember 2008 www. Wikipedia.com Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 40 MENGHITUNG HARI MASA DEPAN MEDIA CETAK (Media Online Menebar Ancaman Lewat Kecepatan) Yenny, MSi (Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Dr. Soetomo) Perilaku masyarakat dalam mengonsumsi media dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir mengalami perubahan. Bila sebelumnya masyarakat terbiasa menunggu kehadiran surat kabar, kini kebiasaan tersebut berubah dengan kehadiran penggunaan peranti komunikasi bergerak (mobile gadget). Selama ini karakteristik surat kabar yang menjangkau semua orang kecuali yang masih sangat muda, surat kabar menarik perhatian suatu khalayak yang sangat majemuk. Sekitar (98% dari semua pembaca membaca berita yang terdapat di halaman muka, sekitar 58% membaca berita di halaman-halaman lain tertentu. Tetapi setelah halaman muka, subyek menjdai lebih penting daripada nomor halaman dalam menentukan apa yang ingin dibaca, karena pembaca-pembaca yang berlainan mencari hal-hal yang berlainan. Umur, pendidikan, jenis kelamin, dan status-ekonomis merupakan factor-faktor yang menentukan apa yang akan dibaca. Secara umum, kaum muda tampaknya membaca Koran untuk mencari hiburan, pembaca yang lebih tua mencari informasi dan pandangan mengenai percaturan masyarakat. Kaum dewasa lebih banyak membaca berita daripada kaum muda, yang nampaknya lebih tertarik pada Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 41 gambar-gambar yang termuat dalam surat kabar, pada berita kriminal, lalu berita tentang bencana. Baru beberapa tahun yang lalu ada anggapan luas bahwa dunia persuratkabaran sedang sekarat. Sekalipun diandaikan bahwa surat kabar mampu bertahan dalam persaingannya dengan televisi, demikian anggapan itu lebih lanjut, surat kabar akan lemah dan tidak efektif lagi. Ia menjadi medium yang kurang berarti. Ramalan demikian rupanya cukup mengena, dan satu demi satu Koran metropolitan berguguran, bahkan sering secara mendadak. Namun sejak awal 1980-an menjadi jelaslah bahwa dunia persuratkabaran hanya sedang mengalami pembenahan kembali, meskipun proses pembenahan kembali itu sangat sulit. Sementara banyak Koran raksasa sekarat, yang lainnya mampu bertahan karena telah membangun cita-cita pelayanan yang kuat Semua tidak akan pernah menyangka majalah Newsweek yang berwibawa dan terkenal sedunia akan tutup. Menutrut editornya, Tina Brown pada oktober 2012, bahwa era cetak dan majalah dengan tinta akan berakhir. Tina menegaskan percetakan dengan tinta dan kertas tidak lagi relevan saat ini, dan ia segera bereinkarnasi menjadi majalah digital Newsweek Global. Keunggulan Media Cetak Walaupun media cetak hanya mengandalkan tulisan untuk menarik pembacanya, tetapi media cetak ini memiliki keunggulan yang membuat para pembacanya memilih media cetak sebagai sumber informasinya. Keunggulan media cetak yang pertama, terletak pada repeatable. Repeatable ini merupakan kelebihan media cetak yang bisa dibaca berkali-kali dengan menyimpannya atau mengklipingkan informasi tersebut kedalam bentuk buku. Hal ini memungkin para pembaca untuk bisa melihat dan membaca kembali ketika informasi tersebut dibutuhkan. Kemudian, keunggulan lain dari media cetak ini juga terletak pada analisis yang bisa dilakukan oleh pembaca. Dengan media cetak, pembaca bisa melakukan analisis lebih tajam yang bisa membuat pembaca lebih mengerti dan paham terhadap isi berita atau informasi yang terdapat dalam media cetak tersebut. Dengan analisis yang lebih mendalam, pembaca dapat berpikir lebih spesifik mengenai tulisan yang berupa informasi tersebut. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 42 Selain itu, media cetak juga biasanya memberikan informasi dengan lebih jelas dan mampu menjelaskannya lebih kompleks. Hal ini terlihat dari penyajian informasi dalam media cetak yang disertai dengan keterangan gambar atau foto yang menjelaskan informasi yang disampaikan. Informasi-informasi yang disampaikan dalam media cetak juga sering bersifat investigasi. Hal ini dapat membuat pembaca bisa lebih kritis dalam menanggapi suatu berita yang dimuat dalam media cetak tersebut. Jika dilihat dari harganya, media cetak ini lebih murah daripada harga dari media lainnya. Hal ini tentunya sangat terjangkau oleh semua kalangan dalam mendapatkan berita dan informasi terkini baik informasi di wilayahnya maupun informasi di wilayah lain. Bahkan, pembaca juga bisa memilihi produk apa saja dari berbagai produk yang dikeluarkan media cetak tersebut, seperti koran, majalah, maupun tabloid yang beredar. Kelemahan Media Cetak Selain keunggulan, media cetak ini memiliki kelemahan dibandingkan dengan media lainnya. kelemahan-kelemahan ini menjadikan media cetak ini semakin ditinggalkan oleh beberapa kalangan. Hal ini juga didorong dengan banyaknya gadgetgadget canggih yang bisa dimanfaatkan dalam mencari informasi yang dibutuhkan oleh orang banyak. Teknologi yang semakin canggih membuat media cetak ini tertinggal dalam perkembangannya. Adanya fasilitas internet yang bisa dijangkau di telepon genggam, sambungan jaringan, dan lain sebagainya membuat media cetak seakan tidak dibutuhkan oleh pengguna jaringan internet. Beberapa kelemahan dari media cetak yang saat ini mulai ditinggalkan oleh beberapa kalangan, diantaranya adalah waktu dan penyajian.Dari segi waktu, media cetak dianggap cukup lamban dalam menginformasikan informasi terbaru bagi para pembacanya. Hal ini terlihat dari penerbitan media cetak yang tidak secara langsung menginformasikan informasi terbaru kepada masyarakat. Berbagai bentuk media cetak, seperti koran, tabloid dan majalah menerbitkan berita atau informasi setelah penyebarluasan percetakan. Hal ini dilihat dari penyebarluasan koran, majalah atau tabloid yang diterbitkan setiap edisi, baik itu harian, mingguan, bahkan bulanan. Tentu hal ini tidak menjamin informasi yang disebarluaskan Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 43 tersebut up to date. Phillip Meyer seorang penulis buku yang berjudul “The Vanishing Newspaper” meramalkan koran terakhir yang terbit adalah pada april 2040. Hal ini bisa dilihat dari mulai berjamurnya berita yang disajikan dalam bentuk digital serta peminatnya banyak. Generasi Internet Semenjak kehadiran internet, pola kehidupan masyarakat dunia sedikit demi sedikit terus berubah. Masyarakat terasa begitu dimanjakan oleh teknologi. Ditemukannya Komputer, Handphon, Gadget, PDA, sedikit demi sedikit telah merombak wajah lugu masyarakat kita. Sekarang kita bisa melihat, bagaimana internet memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sikap dan perbuatan sebagian masyarakat kita, hampir seluruh masyarakat kota sudah sangat dekat dengan internet, masyarakat desa juga mulai terpengaruh oleh keadaan yang memaksa mereka untuk maju dengan menggunakan teknologi. Internet telah merobohkan tembok pembatas antar informasi yang selama ini hanya dapat di telusuri melalui media cetak, seperti surat kabar dan majalah. Kini dengan hanya melakukan browsing melalui perangkat komputer atau gadget menggunakan internet, kita dapat mengetahui berbagai jenis informasi yang ada. Terdapat ribuan situs surat kabar digital yang tersebar diinternet. Para penerbit surat kabar tersebut sebelumnya selalu berkecimpung dalam surat kabar edisi cetak. Tetapi karena faktor persaingan dan untuk mengatasi keterpurukan, mereka terpaksa membagi berita melalui edisi cetak dan digital. Kita bisa melihat bagaimana ambruknya perusahaan surat kabar di Amerika Serikat (AS), kejadian tersebut bukan disebabkan oleh buruknya kualitas jurnalisme, tetapi lebih karena berkurangnya pembeli surat kabar edisi cetak yang mengakibatnya berkurangnya pendapatan iklan melalui surat kabar edisi cetak, pembaca lebih memilih membaca surat kabar dalam bentuk digital melalui media komputer atau gadged karena berita yang ditampilkan cenderung lebih baru. Menurut survei Nielsen Media Research di sembilan kota di Indonesia (populasi 43,87 juta dengan umur 10 tahun ke atas), pada kuartal III 2009, konsumsi koran justru mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir (awal 2005 mencapai 28 persen, tetapi terus menurun tinggal 18 persen pada kuartal III 2009). Konsumsi majalah pun Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 44 turun dari 20 persen menjadi 11 persen, tabloid turun dari 20 persen menjadi 13 persen). Hal ini membuktikan betapa sulitnya surat kabar edisi cetak sekarang ini berkembang. Sebanyak 34 persen dari pembaca koran adalah pengguna internet dan 41 persen pembaca koran juga mengakses berita lokal dari internet. Sejak 2006, persentase pengguna internet yang berusia muda terus bertambah, dari 12 persen menjadi 20 persen (usia 10-14 tahun) dan dari 24 persen menjadi 33 persen (usia 15-19 tahun), sedangkan untuk usia 20-29 tahun turun dari 40 persen menjadi 30 persen (http://newspaper.pikiran-rakyat.com). Media Cetak Berguguran Dunia dikejutkan kabar menghebohkan pada 18 Oktober 2012 lalu. Majalah Newsweek yang sudah malang melintang selama lebih dari tujuh dekade memutuskan akan menghentikan penerbitan edisi cetak per 31 Desember 2012. Penerbitan dalam edisi cetak selanjutnya akan diganti digital dengan mengusung nama Newsweek Global. Kabar yang disampaikan Tina Brown selaku editor-in-chief Newsweek itu memang luar biasa mengejutkan bagi kalangan pers internasional. Apalagi jika melihat sejarah panjang Newsweek sebagai salah satu majalah berita terkemuka dan pesaing utama majalah Time. Namun apa yang menimpa majalah yang pertama kali terbit pada 17 Februari 1933 ini sudah bisa diprediksi sebelumnya. Perkembangan teknologi digital yang makin pesat secara tidak langsung turut mempengaruhi eksistensi media cetak. Sekarang ini, hampir semua orang mengenal internet. Berdasarkan data Internet World Stats, hingga 2011 jumlah pengguna internet sudah lebih dari 2,2 miliar orang atau hampir sepertiga dari jumlah penduduk dunia. Angka tersebut berpeluang besar bertambah pada akhir 2012 mengingat akses internet kian mudah. Dulu, selain memanfaatkan fasilitas di kantor, orang harus ke warung atau kafe internet untuk bisa menjelajahi dunia maya. Kini, internet bisa diakses di mana saja, kapan saja. Dukungan piranti atau gadget yang semakin canggih memungkinkan orang mendapatkan akses internet dengan mudah. Selain smartphone dan tablet, mayoritas telepon seluler kini dilengkapi perangkat lunak untuk mengakses internet. Operator telepon seluler juga berlombalomba menawarkan paket berlangganan internet bertarif murah dengan kecepatan maksimal. Sementara bagi pengguna PC dan notebook, akses internet bisa diperoleh dengan memakai modem. Pengguna notebook juga bisa memanfaatkan jaringan Wi-Fi Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 45 untuk akses internet. Saat ini, ruang publik seperti kafe, restoran, taman, stasiun dan terminal mulai menyediakan fasilitas Wi-Fi untuk umum. Pesatnya perkembangan teknologi sekarang tak pelak membuat masyarakat semakin up to date. Mereka bisa mendapatkan informasi tentang apa saja, kapan pun mereka mau, melalui akses internet. Dibarengi dengan perkembangan media sosial yang makin pesat, masyarakat seperti tak pernah ketinggalan informasi. Mereka juga bisa terus saling terhubung tanpa harus bertatap muka secara langsung. Tren ini tidak hanya membawa dampak pada inovasi teknologi dan pertumbuhan pasar elektronik, tapi juga pada perkembangan bisnis media. Sejak awal tahun 2000an, media online banyak bermunculan. Menyuguhkan berita-berita terkini, keberadaan media online pelan-pelan menggeser eksistensi media cetak. Dulu, media cetak seperti koran, majalah dan tabloid menjadi acuan masyarakat dalam mendapatkan informasi terkini tentang peristiwa yang terjadi di sekitar mereka maupun di dunia internasional. Kini, masyarakat lebih memilih mengakses media online untuk mengetahui berita maupun perkembangan terbaru. Media online turut mempermudah akses informasi itu dengan memanfaatkan sosial media seperti Twitter dan Facebook sebagai sarana menyebarluaskan berita terbaru yang sudah diunggah tim redaksi. Perubahan ini membawa dampak yang kurang menyenangkan bagi media cetak. Dari sisi pemberitaan, mereka tidak hanya harus bersaing dengan media cetak lain, tapi juga media online maupun media elektronik seperti televisi dan radio. Dalam menurunkan sebuah berita dari peristiwa atau isu yang sama, tim redaksi media cetak harus mencari angle berbeda agar berita yang diturunkan tetap memiliki nilai jual dan tidak kalah dari media online, yang dari segi kecepatan jelas lebih unggul. Dari segi pendapatan, sekali lagi, media cetak tidak hanya harus bersaing dengan sesama media cetak, tapi juga media online. Sama seperti jumlah oplah untuk koran, tabloid dan majalah, banyaknya hit atau pengakses situs berita berpengaruh pada pendapatan dari iklan. Perlu diketahui, keputusan sebuah perusahaan untuk memasang iklan di media cetak tertentu turut dipengaruhi jumlah oplah media cetak tersebut. Semakin banyak jumlah oplah media cetak, asumsinya, makin banyak juga pembacanya. Ini berarti, pesan yang ingin disampaikan perusahaan ke masyarakat melalui iklan yang dipasang di media cetak tersebut bisa sampai sesuai keinginan atau target yang ditetapkan. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 46 Hal serupa berlaku di media online. Semakin tinggi hit, berarti makin banyak juga orang yang mengakses portal atau situs tersebut. Pemasang iklan pun akan mempertimbangkan untuk memasang iklan di sana. Keterbatasan dana untuk pemasangan iklan kemungkinan besar juga jadi pertimbangan pihak perusahaan dalam memutuskan di media mana mereka akan memasang iklan. Di sinilah persaingan terjadi. Tergantung Iklan Mengapa pendapatan dari sektor iklan sangat penting bagi media cetak? Alasannya sederhana. Kelangsungan hidup media cetak sangat tergantung pada iklan. Untuk bisa menutup biaya operasional media cetak yang tidak sedikit, pendapatan dari pemasangan iklan harus besar. Memang, perusahaan media juga menerima pendapatan dari penjualan koran, tabloid atau majalah. Namun jumlahnya tidak terlalu besar. Bahkan jika dihitung, pendapatan dari penjualan koran, tabloid atau majalah tidak mampu menutup biaya cetak. Artinya, pendapatan dari iklan jadi nafas utama perusahaan media. Semakin banyak pemasang iklan, semakin besar pula pendapatan. Sebaliknya, minimnya jumlah pemasang iklan membuat pemilik perusahaan harus terus mengucurkan dana pribadi untuk menutup biaya operasional. Jika tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda adanya keuntungan, bukan tidak mungkin pemilik perusahaan akan menutup media tersebut dengan alasan keterbatasan dana. Dibanding media online, biaya operasional media cetak memang lebih besar dan lebih mahal. Selain gaji karyawan, beban terbesar media cetak ada di biaya cetak. Hitungan biaya cetak untuk satu eksemplar koran, misalnya saja, bisa melebihi harga jual per eksemplarnya. Biaya semakin besar jika pihak perusahaan media tidak memiliki mesin cetak sendiri. Dalam menerbitkan koran, majalah atau tabloid, mereka harus menjalin kontrak dengan pihak percetakan selama kurun waktu tertentu. Biaya yang harus dibayarkan? Bisa mahal, bisa murah. Tarif percetakan, terutama untuk koran, terbilang beragam. Ada yang murah, ada juga yang mahal. Hanya saja, seperti kata orang Jawa, ana rega ana rupa. Artinya, jika ingin mendapatkan kualitas cetak yang bagus, pihak perusahaan koran harus mau mengeluarkan biaya lebih besar. Sebaliknya, jika perusahaan koran memilih percetakan bertarif murah, kualitasnya yang didapat pun tidak terlalu bagus. Memang, perusahaan media cetak bisa mengatasi masalah biaya cetak dengan membeli mesin cetak sendiri. Memiliki mesin cetak sendiri tidak hanya meringankan Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 47 biaya cetak, tapi juga membuka keran pendapatan bagi pihak perusahaan media dari sektor lain. Mereka bisa menerima order cetak dari pihak lain, entah itu sesama perusahaan media atau perusahaan yang bergerak di sektor lain yang butuh membuat selebaran, brosur dan lain sebagainya. Namun tidak semua perusahaan media mampu membeli cetak. Terutama perusahaan media dengan dana terbatas tapi tetap bernafsu menerbitkan sebuah koran, majalah atau tabloid. Jika tidak diimbangi pemasukan yang besar, biaya cetak lambat laun akan menjadi beban besar bagi keuangan perusahaan. Kampanye Paperless Selain masalah persaingan antar media dan keuangan, media cetak juga menghadapi tantangan lain. Isu lingkungan hidup saat ini kian booming. Kampanye paperless atau pengurangan penggunaan kertas semakin ramai didengungkan. Proses administrasi di beberapa instansi pemerintah maupun perusahaan swasta sekarang juga mulai bergeser dari kertas ke elektronik. Data yang dibutuhkan cukup dimasukkan dalam data base yang bisa diakses seluruh pihak dalam perusahaan melalui komputer yang terhubung lewat local area network. Selain lebih efektif, cara ini juga mengurangi penggunaan kertas yang saat ini menjadi isu tersendiri terkait lingkungan hidup. Seperti diketahui, bahan pembuatan kertas berasal dari kayu. Artinya, makin banyak kertas yang dipakai, makin banyak pula pohon yang harus ditebang. Praktik semacam ini memang sudah berjalan lama. Hanya saja, aksi penebangan pohon tidak dibarengi dengan penanaman kembali. Imbasnya, jumlah hutan yang ada di dunia semakin berkurang. Tanpa hutan, masalah lingkungan pun muncul, mulai dari bencana alam hingga pemanasan global. Fakta inilah yang mendorong para aktivis lingkungan hidup gencar mendengungkan kampanye paperless. Mengapa masalah ini berkaitan erat dengan bisnis media cetak? Karena media cetak salah satu pengguna kertas terbesar di dunia. Bayangkan saja, berapa ribu lembar kertas koran yang dipakai dalam sehari. Dan berapa ribu lembar juga yang terbuang setelah seluruh berita dalam koran tersebut selesai dibaca. Memang, saat ini sudah banyak pihak yang menjalankan bisnis daur ulang kertas maupun orang-orang yang mulai memilih menggunakan kertas daur ulang. Namun jumlahnya belum sebanding dengan jumlah kertas yang diproduksi, digunakan dan dibuang setiap hari. Jika melihat kondisi tersebut dan tren yang berkembang sekarang, bukan tidak mungkin media cetak nantinya akan ditinggalkan, entah oleh pembaca maupun Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 48 investornya. Memang, untuk saat ini, masih banyak orang yang setia membaca maupun berlangganan koran, majalah atau tabloid. Tapi tidak sedikit juga publik yang mulai memilih berlangganan koran, majalah atau tabloid secara elektronik. Tak sedikit pula yang rajin mengakses berita-berita di media online, minimal sekali dalam sehari. Bisnis media online juga makin berkembang. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak bermunculan media online baru. Memang, banyak pula koran, majalah atau tabloid baru yang beredar di pasaran. Namun tidak sedikit pula yang akhirnya gulung tikar atau statusnya “hidup segan mati tak mau” karena sulit merebut pasar yang sudah didominasi media cetak tertentu, yang sudah bisa dipastikan punya nama lebih besar. Bagaimana masa depan media cetak? Akankah media cetak tetap bertahan atau justru akan menghilang ditengah derasnya arus perkembangan media online? Tak heran jika hal tersebut banyak ditanyakan oleh berbagai pihak, mengingat dizaman teknologi internet seperti sekarang ini, keeksisan media cetak semakin menurun. Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya jumlah oplah koran, baik di Indonesia maupun di dunia. Selain itu, mulai banyak industri-indutri koran yang gulung tikar, seperti yang baru-baru ini dialami oleh salah satu industri raksasa koran di AS. Melihat hal tersebut, banyak pihak yang memprediksi bahwa suatu saat nanti media cetak akan benar-benar menghilang, dan digantikan oleh media online. Jika dilihat dari semakin menurunnya permintaan dan produksi koran, serta semakin meningkatnya jumlah pengguna internet, bukan tidak mungkin prediksi mengenai “kematian” media cetak akan benar-benar terjadi. Di Indonesia sendiri, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, sebagian masyarakat lebih memilih untuk membaca berita yang tersaji di media online daripada di media cetak. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia semakin meningkat dan pada tahun 2012 jumlah tersebut mencapai 61 juta pengguna (sumber:tekno.liputan6.com). Berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh media online pun menjadi alasan masyarakat lebih memilih media online daripada media cetak. Keunggulan Media Online Kelebihan yang pertama yaitu berita yang disajikan dalam media online lebih up-to-date dibandingkan dengan berita yang disajikan dalam media cetak. Berbeda dengan media cetak yang memiliki periodisasi penerbitan (per hari, per minggu, per bulan, dsb), media online tidak terpaku pada periodisasi penerbitan. Peristiwa yang baru Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 49 terjadi hari ini bisa langsung dimuat oleh media online dan bisa langsung dibaca oleh masyarakat yang mengaksesnya. Sedangkan untuk media cetak, peristiwa yang terjadi hari ini, baru akan dimuat keesokan harinya. Yang kedua, media online lebih praktis untuk digunakan, apalagi didukung dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dan selalu memberikan kemudahan-kemudahan baru bagi masyarakat. Masyarakat dengan mudah bisa mengakses internet dan membaca berita-berita di media online melalui smartphone dan gadget-gadget lainnya. Selain itu, media online juga memungkinkan penggabungan berbagai format penyajian, seperti penggabungan antara tulisan, video dan audio, yang tidak bisa ditemukan pada media cetak. Selanjutnya, media online dianggap lebih ramah lingkungan. Isu global warming yang berkembang di masyarakat semakin meningkatkan kesadaran masyarakat akan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Bagi mereka yang menerapkan gaya hidup tersebut, media cetak dianggap tidak ramah lingkungan, karena kebanyakan orang cenderung hanya membaca koran yang dibelinya sekali saja, dan kemudian koran hanya menjadi kertas bekas dan tidak terpakai. Apalagi sekarang industri media cetak sudah mulai memanfaatkan terknologi internet dengan menyajikan versi online (seperti koran Kompas yang membuat kompas.com) dan koran versi digital (e-paper) yang isinya sama persis dengan koran versi cetak. Tentunya mereka lebih memilih versi online dan e-paper jika berita yang disajikan pun akhirnya sama dengan berita yang disajikan dalam koran versi cetak. Kelebihan berikutnya yaitu media online tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Pengguna media online bisa mengakses berita-berita di situs tersebut kapan saja dan dimana saja selama masih ada koneksi internet. Selain itu, media online memungkinkan adanya interaksi antara pembaca dengan penulis berita. Dalam hal ini, pembaca dapat ikut aktif dalam memberikan komentar terhadap berita yang mereka baca melalui kolom-kolom komentar (seperti kolom komentar yang tersedia pada media detik.com dan media-media online lainnya). Selain itu, pembaca juga dimungkinkan untuk aktif menjadi penulis dalam forum-forum seperti kompasiana.com. Jumlah pembaca koran di negara berkembang seperti Indonesia memang bisa dikatakan masih cukup banyak dibandingkan dengan negara-negara maju yang sudah Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 50 begitu akrab dengan teknologi internet. Salah satu faktor pendukungnya yaitu masih adanya keterbatasan untuk mengakses internet di daerah-daerah kecil sehingga membuat masyarakat disana belum bisa membaca berita di media online. Akan tetapi, tetap saja jumlah pembaca koran dari hari ke hari semakin menurun, dan hal itu turut menurunkan pula jumlah produksi koran. Penurunan jumlah produksi tentunya juga ikut merugikan industri koran tersebut dan pada akhirnya akan berakibat pada kebangkrutan. Bisa kita lihat juga sekarang sudah banyak industri media cetak yang melakukan konvergensi media, salah satunya dengan membuat versi online (koran Kompas dengan kompas.com, koran Jakarta Post dengan thejakartapost.com, dsb). Jadi, bukan tak mungkin suatu saat nanti media cetak akan benar-benar menghilang karena tidak mampu bertahan melawan arus perkembangan media online. Daftar Pustaka Departemen Komunikasi dan Informatika RI, Membangun Pers Nasional Yang Bebas, Profesional Dan Bermartabat, Jakarta, 2006 Jurnal Dewan Pers, Era Media Online, New Media,Edisi No.4, Januari 2011 Penerbit Dewan Pers, Jakarta, 2011 Jurnal Pers Indonesia, Edisi Perdana-September 2013, Penerbit PWI Pusat, Jakarta 2013 McQuail Denis, Teori Komunikasi Massa, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1989 Rivers William L, Etika Media Massa, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994 Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 51 ANALISA EMOTIONAL BRANDING INDOSAT IM3 Bayu Oktavian Wibowo dan Dra. Zulaikha, MSi Abstraksi Berkembangnya produk-produk telekomunikasi dengan keunggulan dan tawaran masing-masing membuat konsumen menjadi crowded sehingga membuat konsumen hanya membeli satu brand tertentu saja. Dalam menghadapi banyaknya persaingan produk telekomunikasi, Indosat IM3 sendiri banyak melakukan inovasi dan aktivitas digital maupun secara BTL yang selalu menampilkan sisi unique and different. Perusahaan mengkomunikasikan produknya dengan cara membawa konsumen ke dalam zona fun yang melibatkan kondisi psikologis dan emosi (emotional branding). Penelitian ini bersifat deskripstif kualitatif yang mencoba mengungkap bagaimana Indosat IM3 dalam mengkomunikasikan produknya dengan memakai pendekatan emotional branding. Dengan memakai pendekatan emotional branding, Indosat IM3 lebih mendekatkan produknya kepada perasaan dan emosi konsumen. Teori Marc Gobe tentang 10 langkah penting yang disebut 10 perintah emotional branding yang mendasari penelitian ini. Asumsi teori ini adalah lebih memfokuskan penerapan strategi pada aspek yang paling mendesak pada karakter manusia, keinginan untuk memperoleh kepuasan material, dan mengalami pemenuhan emosional, sehingga tercipta merek yang dapat menggugah perasaan dan emosi konsumen, membuat merek Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 52 tersebut hidup bagi konsumen dan membentuk hubungan yang mendalam serta tahan lama. PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini, telekomunikasi bukanlah barang mahal yang bisa dijangkau semua kalangan mulai dari pelajar sampai professional. Berbeda dengan jangka waktu 10-15 tahun yang lalu. Dimana keadaan komunikasi nirkabel atau telekomunikasi sangat sulit dijangkau berbagai semua kalangan. Hal ini terbaca oleh para pelaku dunia bisnis telekomunikasi dan ditunjukkan saat ini banyaknya bermunculan operator GSM dan CDMA. Karena banyaknya operator telekomunikasi yang tersedia dengan keunggulan dan tawaran masing – masing, tentu saja mengakibatkan pikiran konsumen menjadi crowded dengan informasi. Yang ada, pada akhirnya mereka hanya akan membeli satu brand tertentu saja. Sebuah keputusan pembelian yang dilakukan oleh seorang konsumen dalam menggunakan suatu produk Telekomunikasi tidak semata-mata hanya berdasarkan benefit fungsional nya saja melainkan dipengaruhi juga sejauh mana peranan brand terhadap konsumen tersebut. Karena selektifnya para konsumen dan calon konsumen ini, para operator pun berlomba – lomba untuk menggunakan berbagai strategi untuk bisa dekat dengan pemakai jasa telekomunikasi. Seperti operator telekomunikasi Indosat IM3 yang ingin mendekati konsumen mereka maupun calon konsumen mereka. Seperti melalui Fanpage di Facebook, mailing list komunitas gadget tertentu, hingga customer care melalui pemanfaatan media digital. Indosat IM3 sendiri banyak melakukan aktivitas digital maupun secara BTL yang notabene dilakukan oleh banyak operator telekomunikasi yang lain. Namun, mereka selalu menampilkan sisi unique and different. Sebelumnya banyak slogan “Responsbility begins with me” bahwa kesadaran dimulai dari diri sendiri bukan paksaan. Slogan ini cukup memberikan gambaran sederhana bahwa perusahaan sebaiknya tidak mengkomunikasikan produk dan jasa dengan cara lama ,akan tetapi sebagai gantinya, harus bisa membawa konsumen ke dalam zona fun yang melibatkan kondisi psikologis dan emosi. Dan hal ini yang akan dianalisis peneliti tentang seperti Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 53 apa bentuk nyata emotional branding yang diimplementasikan oleh salah satu pelaku bisnis telekomunikasi di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Rumusan Masalah Bagaimanakah pengkomunikasian Brand Indosat IM3 ditinjau dari Emotional Branding? Tujuan Penelitian Untuk menganalisa bagaimana komunikasi sebuah brand kepada pelanggannya ditinjau dari sisi Emotional Branding. Untuk mengetahui bentuk nyata komunikasi dari sisi Emotional Branding yang diterapkan Indosat IM3. Landasan Berfikir Brand atau Merk Brand merk adalah suatu istilah, tanda, lambang/design atau gabungan dari semuanya yang dimaksudkna untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau sekelompok penjual dan diharapkan akan membedakan barang dan jasa dari produk – produk milik pesaing ( Kotler, 1998 ). Sedangkan menurut David A Aaker ( 1997 ) merek adalah nama dan atau simbol yang bersifat membedakan (seperti logo, cap atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasi barang atau jasa dariseorang penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu. Merek sebenarnya merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan keistimewaan, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek-merek terbaik memberikan jaminan mutu, akan tetapi merek lebih dari sekedar simbol ( Jennifer Al Aaker, 1997 ). American Marketing Association mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Tujuan pemberian merek adalah untuk mengidentifikasi produk atau jasa yang ditawarkan oleh pesaing (Rangkuti, 2004 ). Pengertian merek lainnya ( Rangkuti,2004 ) : 1. Brand name ( nama merek ) yang merupakan sebagian dari merek yang dapat diucapkan misalnya, pepsodent, BMW, Toyota, dan sebagainya 2. Brand mark ( tanda merek ) yang merupakan sebagian dari merek yang dapat dikenali namun tidak dapat diucapkan, seperti, disain huruf atau nama khusus. Misalnya, Mitsubishi, gambar tiga berlian. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 54 3. Trade mark ( tanda merek dagang ) yang merupakan merek atau sebagian dari merek yang dilindungi hukum karena kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu yang istimewa. Tanda dagang ini melindungi penjual dengan hak istimewanya untuk menggunakan nama merek. 4. Copyright ( hak cipta ) merupakan hak istimewa yang dilindungi oleh undangundang, menerbitkan, dan menjual karya tulis, karya musik, atau karya seni. Tingkat pengertian Merek Sebetulnya, merk terdiri atas beberapa point. 6 tingkat pengertian merek yang dikutip dari buku The Power of Brands (Rangkuti, 2002) adalah : 1. Atribut. Perlu dikelola dan diciptakan agar konsumen dapat mengetahui dengan pasti atribut apa saja yang terkandung dalam suatu merek. Contoh : BMW seri 7 berkualitas tinggi. 2. Manfaat. Konsumen membeli manfaat dari sebuah produk atau jasa, bukan atribut. Contoh : atribut berdaya tahan tinggi memiliki arti bahwa produk tersebut menggunakan bahan dengan kualitas yang tinggi. 3. Nilai. Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai bagi produsen. Contoh : mobil Mercedes Benz selalu identik dengan mobil yang berkemampuan tinggi, tingkat keamanan yang tinggi serta gengsi yang besar. 4. Budaya. Merek memakili budaya tertentu. Contoh : Mercedes Benz mewakili budaya negara Jerman 5. Kepribadian. Kepribadian pengguna akan tercermin bersamaan dengan merek yang ia gunakan. Contoh : pengguna Mercedes Benz melambangkan kepribadian yang berkelas dari pemakainya. 6. Pemakai. Menunjukkan jenis konsumen pemakai merek tersebut. Contoh : orang sukses penggunakan BMW seri 7. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 55 Dalam membangun brand atau merk, Perusahaan harus dapat menciptakan brand image yang positif dan baik agar konsumen mempunyai kepercayaan terhadap produk tersebut. Dalam menciptakan kesan konsumen terhadap suatu merek yang positif dan baik, perusahaan dapat membangun merek dengan cara sebagai berikut (Rangkuti, 2002, p.45) Memiliki Positioning yang tepat. Merek dapat diposisikan dengan menempatkannya secara spesifik di benak konsumen, yaitu menempatkan semua aspek dari brand value secara konsisten sehingga dapat menjadi nomor satu di benak konsumen. Memiliki Brand Value yang tepat. Semakin tepat merek diposisikan di benak konsumen, maka merek tersebut akan semakin kompetitif. Tetapi untuk mengelola hal tersebut, perusahaan perlu mengetahui brand value yang nantinya akan membentuk brand personality. Memiliki konsep yang tepat. Tahap akhir untuk mengkomunikasikan brand value dan positioning yang tepat kepada onsumen harus didukung oleh konsep yang tepat. Konsep yang baik adalah dapat mengkomunikasikan semua elemen-elemen brand value dan positioning yang tepat sehingga brand image dapat terus menerus ditingkatkan. Emotional Branding Emotional branding adalah sebuah alat untuk menciptakan “dialog pribadi” dengan konsumen. Konsumen saat ini berharap merek yang mereka pilih dapat memahami mereka - secara mendalam dan individual – dengan pemahaman yang solid mengenai kebutuhan dan orientasi budaya mereka. Emotional branding yang kuat dihasilkan dari kemitraan dan komunikasi. membangun emosi yang tepat merupakan asset terpenting. Hal tersebut adalah komitment yang kita buat kepada konsumen. Brand memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan produk. Jika produk merupakan functional benefit, atribut, kegunaan dan kualitas. Maka brand memberikan nilai tambah seperti personality, country of origin, user imagery, organizational associations, dan symbol. Di samping itu brand juga mampu menghasilkan emotional benefits dan self-expressive benefits. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 56 Paul Temporal (2006) menyatakan bahwa jika perusahaan ingin mereknya mencapai posisi yang tinggi dan berdiam disana, maka strategi perusahaan harus melibatkan elemen atau unsur emosi di dalamnya. Marc Gobe menyatakan emotional branding atau penciptaan merek dengan nuansa emosional merupakan konsep penciptaan citra merek yang bertujuan menjalin hubungan emosional yang mendalam antara merek dan konsumen melalui pendekatan-pendekatan yang kreatif dan inovatif Strategi yang digunakan adalah dengan cara memfokuskan penerapan strategi pada aspek yang paling mendesak pada karakter manusia, keinginan untuk memperoleh kepuasan material, dan mengalami pemenuhan emosional, sehingga tercipta merek yang dapat menggugah perasaan dan emosi konsumen, membuat merek tersebut hidup bagi konsumen dan membentuk hubungan yang mendalam serta tahan lama. Sebuah merek dihidupkan untuk konsumen melalui kepribadian perusahaan yang ada di baliknya serta komitmen perusahaan untuk meraih konsumen pada tataran emosional dari paradigma baru yang dihidupkan oleh emosi ini, maka konsumen dipersepsikan lebih berpikir menggunakan hati mereka dibandingkan dengan kepala mereka ketika memilih suatu produk. Wilayah emosi menjadi bagian yang semakin penting dalam rutinitas pembelian pada saat ini, dimana banyak produk yang menawarkan kualitas yang sama dan menghadapi keadaan bahaya karena menjadi sekedar komoditas biasa dalam pasar yang dipenuhi oleh kompetitor. Untuk menerapkan strategi emotional branding ini, menurut Marc Gobe, maka sebuah brand perlu menerapkan 10 langkah penting yang disebut 10 perintah emotional branding. Dimana tahapannya akan dijelaskan dibawah ini : 1. Dari konsumen menuju manusia Co-creation dan crowd sourcing adalah bentuk nyata dari pedekatan ini. Melalui Cocreation Indosat tidak lagi sepenuhnya di buat atau diformulasikan oleh pengelola produk, namun formulasi produk juga dilakukan oleh pelanggan yang telah memiliki experience dalam menggunakan produk sebelumnya. 2. Dari produk menuju pengalaman Strategi yang harus dilakukan tidak sebatas membuat produk yang sebaik mungkin, tetapi juga mampu memberikan experience yang luar biasa. Umumnya, experience dapat tercipta dengan memberikan layanan yang memuaskan, membuat Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 57 kemasan produk yang menyenangkan, dan komunikasi yang sebaik mungkin. Intinya, experience sangat berhubungan erat dengan sisi emosional konsumen. 3. Dari kejujuran menuju kepercayaan Kepercayaan ini tidak hanya lahir dari sebuah kejujuran. Namun perlu strategi yang menyeluruh untuk membangunnya. Implementasinya adalah dengan memberikan layanan yang memuaskan. Intinya, strategi yang mampu memberikan kenyamanan total kepada konsumen. 4. Dari kualitas menuju Preferensi Kualitas dengan harga yang tepat merupakan suatu hal yang wajar, preferensi menciptakan penjualan. Preferensi terhadap merek mempunyai hubungan yang riil dengan kesuksesan. Preferensi konsumen dapat diartikan sebagai bentuk apresiasi atas suatu objek, yang pada akhirnya akan membentuk pilihan konsumen, mulai dari yang sederhanda hinga pilihan yang paling kompleks. 5. Dari Kemasyuran menuju Aspirasi Kunci utama suatu merek ingin diingat (tidak hanya dikenal) maka harus mengekspresikan sesuatu yang sesuai dengan aspirasi konsumen dan harus mampu menjadi produk yang diharapkan konsumen. 6. Dari Identitas menuju Kepribadian Identitas merupakan sebuah pengakuan. Tetapi, personalitas adalah karakter dan kharisma. Identitas merek sangatlah unik dan memiliki perbedaan yang jelas terhadap pesaing. Namun, memiliki identitas merek hanyalah langkah pertama. Saat ini, memiliki personalitas merek menjadi lebih penting dan lebih khusus. 7. Dari Fungsi menuju perasaan Fungsionalitas dari suatu produk adalah hanya mengenai kegunaan atau kualitas yang dangkal. Desain pengindraan adalah mengenai pengalaman. Fungsionalitas dapat menjadi kurang menarik jika penampilan dan kegunaannya tidak didesain juga demi pertimbangan feeling. 8. Dari Ubikuitas menuju Kehadiran Ubiquity berarti dapat dilihat. Sedangkan emotional presence memiliki arti dapat dirasakan. Umumnya, strategi brand presence berdasarkan pada konsep jumlah, bukan kualitas. Karena memang ditujukan untuk meningkatkan efek kehadiran merek di Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 58 banyak tempat dengan jumlah yang besar misalnya dengan konsep branding di tempat umum seperti halte bis, bioskop, badan bis, bahkan toilet. 9. Dari Komunikasi menuju Dialog Komunikasi adalah memberitahu, dialog adalah berbagi. Komunikasi dua arah membantu membangun kemitraan yang berharga antara konsumen dengan perusahaan. 10. Dari Pelayanan menuju Hubungan Pelayanan adalah menjual. Hubungan adalah penghargaan. Hubungan berarti bahwa orang – orang yang berada di balik merek tersebut sungguh – sungguh berusaha untuk memahami dan menghargai konsumen mereka Hubungan antara Emotional Branding , Brand Image dan Keputusan Pembelian Konsep emotional branding yang diperkenalkan oleh Marc Gobe merupakan salah satu bentuk praktisi pemasaran modern. Konsep ini menggunakan pendekatan emosional, dimana memfokuskan atau menekankan pada membangun hubungan dengan konsumen yang bersifat mendalam dan tahan lama, yang menitikberatkan pada pemberian nilai jangka panjang pada merek dan produk. Perusahaan yang menerapkan konsep ini berusaha membangun dan memberikan nilai yang berkesinambungan bagi konsumen. Muncul konsep emotional branding yang menciptakan merek bernuansa emosional sangatlah penting pada saat ini, dikarenakan membangun merek yang terkenal saja tidaklah cukup dan melalui konsep ini, konsumen dipersep sikan lebih berpikir menggunakan hati (emosi) mereka ketika memilih suatu produk. Penetapan tujuan konsep ini merupakan bagian untuk menciptakan seperangkat asosiasi yang unik yang ingin diciptakan dan dipelihara pemasar, dan tentunya hal ini nantinya dapat menciptakan apa yang disebut dengan brand image (citra merek), karena kalau hal tersebut dapat diperoleh maka merek yang dibangun sudah pasti hidup di dalam pikiran konsumen. METODE PENELITIAN Kerangka Konseptual Secara konseptual, penelitian ini menganalisa pengkomunikasian Brand Indosat IM3 yang ada di Jawa Timur ditinjau dari sisi emotional branding. Apakah dari brand Indosat IM3 yang ada di Jawa Timur ini sudah menggunakan metode – metode atau perintah – perintah dalam teori Emotional Branding. Dan bagaimana bentuk nyata kegiatan dari brand Indosat IM3 dalam sisi emotional branding. Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 59 Unit Analisis Unit analisis yang digunakan adalah keypoint dalam 10 perintah emotional branding. 1. Dari konsumen menuju ke manusia Crowd Sourcing, Komunitas , baik itu komunitas bentukan indosat ataupun insertion community. Co Creation - Formulasi pembuatan program dari trial pelanggan. - Pemilihan talent ambassador dari usulan pelanggan. 2. Dari produk menuju ke pengalaman Experience, Pengalaman pelanggan saat menggunakan. 3. Dari kejujuran menuju kepercayaan Kepercayaan, Kenyamanan saat menggunakan. 4. Dari kualitas menuju preferensi Faktor penentu pemilihan produk, Kualitas yang baik, Menjadi TOM di masyarakat (Top Of Mind). 5. Dari kemasyuran menuju Aspirasi Aspirasi Konsumen, Bisa menginspirasi dan peka terhadap isu bangsa. 6. Dari identitas menuju kepribadian Brand Personality, Warna Produk,Penggunaan bahasa komunikasi, Brand Ambassador, TVC & POS Material 7. Dari fungsi menuju perasaan Feeling, Kegunaan lain diluar kegunaan utama yang diberikan suatu produk, Menguntungkan konsumen dengan berbagai fungsionalitas. 8. Dari Ubikuitas menuju kehadiran Emotional Presence, Visibility, Branding placement. 9. Dari komunikasi menuju dialog Feedback, Komunikasi dua arah, perusahaan dan pelanggan. 10. Dari pelayanan menuju hubungan Relationship, Customer loyalty & retention. Tipe Penelitian Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 60 Tipe penelitian yang diambil peneliti memakai metode penelitian deskriptif kualitatif, penelitian yang memanfaatkan wawancara atau terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang. Obyek Penelitian PT Indosat, tbk Sales Area Surabaya dengan focus brand yang diteliti adalah Brand Indosat IM3. Area penelitian ini mencakup wilayah kerja PT. Indosat, tbk dengan area Surabaya dan Jawa Timur. Informan Key informan adalah Bapak Mirza Affandi sebagai Manager Marketing, VAS, & Community Indosat Area East Java , Ibu Citra Yuniari Isnanta selaku staf Marketing, VAS, & Community Indosat Area East Java, dan Ibu Hariati Prihatini selaku Manager Marketing Communication Sales Area Surabaya. Teknik Pengumpulan Data Wawancara : pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam penelitian. Observasi : pada hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan panca indera untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dokumentasi: Informasi atau data dalam penelitian juga bisa diperoleh melalui fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, jurnal kegiatan, dan sebagainya. Teknik Analisa Data Teknik analisa data dengan mencari dan mengumpulkan data dalam bentuk catatan tertulis hasil wawancara dan observasi, serta menggunakan beberapa dokumentasi untuk me representasi kan data secara visual. Dari hasil catatan tertulis serta dokumentasi tersebut, peneliti akan membuat suatu uraian penjelasan secara sistematis. Dan diakhiri dengan membuat suatu kesimpulan sehingga peneltian mudah dipahami dan dimengerti. ANALISIS DATA Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 61 1. Dari konsumen menuju ke manusia a. Crowd Sourcing Team Marketing VAS & Community Indosat tidak hanya “memasuki” komunitas yang sudah ada saja. Indosat melakukan strategi pendekatan ke pelanggan ini untuk mendapatkan sebuah engagement dengan pelanggannya sehingga bisa membentuk sebuah WOM tersendiri di kalangannya dan luar komunitas itu sendiri. Indosat mempunyai 3 komunitas yang dibentuk oleh indosat sendiri. 1. Indosat IM3 School Merupakan wadah komunitas yang disediakan oleh indosat IM3 bagi siswa yang menggunakan nomor indosat IM3. Banyak benefit yang didapat disini, tidak hanya untuk anggota komunitas sekolah yang tergabung. Benefit Indosat IM3 @ School : - Tarif khusus untuk semua siswa yang yang terdaftar di Indosat IM3 @ School. - Gratis biaya blokir / buka blokir dan penggantian kartu yang hilang atau rusak (nomor sama sesuai dengan prosedur yang berlaku). - Bisa berbagi kreativitas anggota dan sekolah dari anggota komunitas di www.indosatschool.com - Gratis SMS melalui www.indosatcommunity.com - Discount dan benefit lainnya dari mitra indosat yang masuk ke dalam program Merchant Indosat. - Berkesempatan mengikuti audisi Duta IM3 untuk di perwakilan di masing – masing kota. Tetapi tidak hanya siswa yang tergabung ke dalam komunitas Indosat IM3 @ School saja yang mendapatkan benefit, tetapi juga mendapatkan sponsorship kegiatan sekolah mereka ke Indosat IM3. Saat ini di Jawa Timur, sudah ada sebanyak 350 sekolah yang tergabung ke dalam Indosat IM3 @ School dan total ada sebanyak 10.000 siswa dari 350 sekolah se Jawa Timur yang terdaftar di Indosat IM3 @ School ini. 2. Duta IM3 Duta IM3 adalah sebuah komunitas yang anggotanya terpilih dari sebuah seleksi atau audisi dari berbagai sekolah di satu kota atau kabupaten di seluruh Jawa Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 62 Timur. Nantinya Duta IM3 ini terpiih 6-10 Duta IM3 di setiap kantor perwakilan atau 9 Sales Area di Jawa Timur. Setelah terpilih, Duta IM3 ini nantinya akan akan diberi sebuah coaching atau pelatihan yang sangat berguna bagi mereka. 3. Indosat Blackberry Community Indosat Blackberry Community ini awalnya dicetuskan oleh salah satu pelanggan loyal Indosat sebagai pengguna Blackberry. Joegianto, merupakan salah satu pelanggan loyal indosat pengguna blackberry dan sebagai pecinta gadget dan pengamat tekhnologi. Media interaksi online yang dibuat pada tanggal 10 Februari 2008 tersebut pada awalnya baru diikuti oleh 10 member saja. Namun memasuki tahun ke-4 di Bulan Februari 2013 anggota milis ini sudah mencapai angka 4.000-an belum termasuk anggota yang ada di milis turunan di daerah, seperti ISAT BB Palembang, ISAT BB Jatim, ISAT BB Kaltim , dan masih banyak lagi di beberapa kota besar di Indonesia. b. Co Creation Indosat IM3 meluncurkan kata-kata seperti “SMS SUKA SUKA – Gratis SMS ke semua operator sesukamu!”. Dan operator lain juga banyak memberikan tawaran – tawaran yang berlomba – lomba untuk menarik perhatian pelanggan. 2. Dari produk menuju ke pengalaman Experience, Team MVC Indosat EJ tidak hanya menggunakan promosi secara konvensional tetapi juga membuat strategi agar pelanggan mendapatkan experience yang bisa membuat secara sadar bahwa Indosat IM3 ini merupakan kartu pilihannya. Disini Team MVC mengemasnya dengan beberapa aktivitas promosi yang langsung mengajak pelanggan untuk mecoba program baru bersama. Seperti salah satu kegiatan berikut yang melibatkan pelanggan untuk merasakan program yang baru dilaunching. Di SA Blitar, team MVC disana mengemas dengan membuat lomba SMS di sebuah sekolah. Dengan segmentasi anak muda, dan SMS merupakan kebutuhan sebagian besar anak muda maka dari itu team MVC SA Blitar memilih tempat di halaman sekolah pada waktu pulang sekolah. 3. Dari kejujuran menuju kepercayaan Disini Indosat membuat banyak cara untuk menampung wadah keluhan pelanggan. Diantaranya yang dilakukan secara nyata dan digital. Di langkah nyata, Indosat melakukan pelayanan dengan menyediakan customer service untuk membantu Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 63 pelanggan dan melayani keluhan pelanggan. Customer Service ini tidak hanya berada stay di Galeri Indosat saja, tetapi juga ada beberapa program lokal yang membuat Customer Service untuk di outdoor area atau diistilahkan oleh Indosat sebagai Galeri Indosat Keliling. Hal ini dibuktikan dengan upaya indosat yang membuat sebuah account twitter yang focus untuk pelayanan, yaitu @indosatcare. 4. Dari kualitas menuju preferensi - Setting Produk : Dari awal dikeluarkannya Indosat IM3, di setting sebagai operator pertama yang menggunakan tekhnologi Internet (2001). Indosat IM3 mekrupakan operator pertama yang menyediakan layanan GPRS dan MMS. Sehingga pada tahun itu yang notabene menggunakan internet adalah anak muda, otomatis mereka melirik dan mencoba menggunakan Indosat IM3. - Segmentasi (ke youth) Dari pasar yang banyak menyerap adalah anak muda, Indosat IM3 menahbiskan sebagai kartu yang memang digunakan untuk anak muda dan yang berjiwa muda. Ditunjukkan dari program promo nya beserta semua pendukung promonya seperti ATL, BTL, dan digital. Yang bertujuan untuk diakui dan bisa masuk ke dunia anak muda dan yang berjiwa muda. - Promo Di promo ini mengarahkan dan mempertahankan mindset pelanggan maupun masyarakat luas bahwa indosat IM3 merupakan kebutuhan buat anak muda. Dirumuskan mulai dari POS Material yang berupa spanduk, poster, T-Banner, hingga branding kreatif. Dan kemasan untuk TVC pun begitu dinamis dan mewakili image anak muda. 5. Dari kemasyuran menuju Aspirasi Indosat IM3 memperhatikan setiap hal yang mendukung mindset anak muda terhadap brand nya. Mulai dari materi promosi sampai dengan menchandising. Di merchandise ini, Indosat IM3 membuat barang – barang yang sangat diminati, seperti T-shirt ala clothing distro, note, topi, bagpack, tas hangout, sticker, dan masih banyak lagi. Selain itu Indosat IM3 juga selalu memanfaatkan momen hari – hari nasional di Indonesia dan dunia, seperti Hari Batik Nasional, Hari Ibu, Hari Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 64 Kartini, sampai Hari AIDS sedunia. Mulai dari membuat sebuah profil picture hingga campaign activity. 6. Dari identitas menuju kepribadian Indosat IM3 dari awal di launching memang di segmen kan untuk kebutuhan anak muda dan yang berjiwa muda. Untuk menjadi brand yang melambangkan anak muda, Indosat IM3 menunjukkan melalui identitas brand nya seperti dari template dan warna, tulisan / typography , bahasa komunikasi / bahasa promo, brand ambassador , TVC and POS Material, serta sampai dengan BTL activity dan merchandise pun dikemas sesuai selera anak muda. Hal ini dapat dilihat dari bahasa komunikasi yang digunakan, yaitu “Gratis SMS ke semua operatorpat sesukamu!”. Menggunakan aksen “-mu” dengan “anda” sangat jelas berbeda sasaran komunikasi nya. 7. Dari fungsi menuju perasaan 1. I-ring 808 Adalah layanan nada sapa atau nada tunggu yang disediakan oleh Indosat untuk pelanggan yang tidak ingin nada tunggu saat di telpon “tut tut tut” saja. Lebih bergengsi dengan memakai lagu favoritnya. 2. Mobile Tools Merupakan sebuah kumpulan – kumpulan applikasi yang bisa ditanamkan di gadget dengan difasilitasi installer exclusive brand Indosat. Ada aplikasi chatting, aplikasi untuk backup data yang ditaruh di dalam cloud system Indosat, hingga aplikasi untuk bank pilihan kita. 3. Indosat Backstage Adalah layanan VAS Indosat yang menyediakan lagu tanpa kita harus mempunyai memori handphone yang besar. Kita hanya memilih dan menentukan playlist pilihan kita yang bisa kita ganti sewaktu – waktu. 4. Voice Call Layanan Voice Call ini ada banyak macamnya, mulai dari telpon roaming, calling line identification, call forwarding, call hold, hingga voice mailbox. 5. Messaging Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 65 Di fitur VAS messaging ini, Indosat memberikan nilai lebih pada layanan MMS, Diginews, i-chatting, I-milis, SMS Zip, hingga transfer pulsa. Sehingga pelanggan tidak hanya bisa menikmati fasilitas standard messaging, yaitu SMS. 6. Content Exclusive Barcelona Di layanan ini, jelas sangat menunjukkan bahwa Indosat berusaha merangkul penggemar dari klub sepakbola dunia yang sangat mempunyai banyak fans di setiap negara, yaitu FC Barcelona. Di Layanan ini disediakan bermacam – macam pilihan yang memnjakan pengguna seperti berita ter-update , wallpaper, ringtone, hingga profil pemain. 8. Dari Ubikuitas menuju kehadiran Di Indosat IM3, sebuah ubikuitas ini berbentuk visibility atau ketersediaan barang di “pasar” dan juga branding placement program. Ketersediaan barang di etalase outlet ini juga memperkuat branding dan mempengaruhi mindset seseorang saat akan membeli sebuah produk telekomunikasi. Dan efeknya yang lebih besar, bisa mempengaruhi seseorang untuk penentuan pemilihan produk yang akan dibeli. Tidak kalah pentingnya, team MVC Indosat juga melakukan penguatan ubikuitas dengan branding. bersifat ATL, BTL, hingga digital. 9. Dari komunikasi menuju dialog Di Indosat sendiri sadar akan kepentingan berkomunikasi dengan pelanggannya maupun untuk menarik non pelanggan indosat untuk bisa mengetahui hal – hal apa saja yang diharapkan. Indosat mempunyai beberapa media digital untuk menuangkan segala macam aspirasi dan berusaha membaur dengan masyarakat luas. 10. Dari pelayanan menuju hubungan 1. Indosat Senyum Adalah program yang ditujukan untuk semua pelanggan Indosat yang berupa tukar poin. Poin yang dimaksud didapat dari setiap pembelian pulsa isi ulang dan pemakaian pulsa untuk penggunaan telpon dengan berbagai macam benefit yang menarik seperti, diskon di merchant indosat (untuk di Surabaya dan Jawa Timur tempat yang bekerja sama untuk menjadi merchant indosat adalah Gramedia, Alfamart, Metro, Texas Chicken, Burger King, Inul Vista dan Kimia Farma) , masa aktif kartu indosat, menit bicara (telpon), SMS, Data , dan I-Ring Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 66 2. Indosat Community Lounge Adalah lounge yang memang digunakan untuk tempat komunitas Indosat maupun pengguna indosat yang ingin bersantai dan kongkow disana. Benefit yang didapat di indosat lounge ini adalah pengguna indosat dan anggota komunitas indosat mendapatkan diskon khusus atau tepatnya sebesar 30%. Sehingga diharapkan tempat ini bisa menjadi bermafaat untuk pengguna indosat. 3. Birthday Greeting Card Adalah ucapan ulang tahun yang dilakukan Indosat terhadap beberapa pelanggan indosat yang VIP maupun anggota komunitas Indosat IM3. Tidak hanya berupa greeting card saja yang dikirimkan, tetapi juga memberikan sedikit surprising moment dengan kue tart atau kejutan lainnya. Kesimpulan Dari sisi emotional branding , Indosat IM3 mengemas kegiatan komunikasi pemasaran mereka dengan menyertakan peran pelanggan. Dan bentuk nyata kegiatan komunikasi ini sangat menarik dan menjaga mind share serta heart share pelanggan maupun calon pelanggan Indosat IM3. Dari segala implementasi pengkomunikasian secara emotional branding tersebut, Indosat IM3 berhasil untuk menarik setiap pelanggan, menjaga hati pelanggan, menjadi inspirasi pelanggan yang sesuai segmentasi, dan mengarahkan mindset pasar segmentasi mereka. DAFTAR PUSTAKA Kriyantono, 2006, Teknik Riset Praktis Komunikasi, Kencana, Jakarta. Mulyana, 2003, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung Gobe, Marc. 2005. Emotional Branding : Paradigma Baru untuk menghubungkan Merek dengan Pelanggan . Jakarta : Erlangga Rahmat, 2005, Psikologi Komunikasi, P.T Rosdja karya, Bandung http://books.google.co.id/books/about/Citizen_Brand.html?hl=id&id=mI5K6vTwHR0C http://www.sarjanaku.com/2013/01/metode-pengumpulan-data-teknik.html http://www.indosat.com/im3 Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 67 Jurnal Ilmu Komunikasi MESSAGE Vol.4 No.1 Juni 2013 68