OLEH :

advertisement
ARTIKEL ILMIAH
ANALISIS ASPEK KOGNITIF SISWA DALAM PEMBELAJARAN LARUTAN
ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT MENGGUNAKAN
MODEL THINK PAIR SHARE DI KELAS X
SMA DHARMA BHAKTI 4 JAMBI
OLEH :
DEVI APRIANTI
A1C110024
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
JUNI 2014
ANALISIS ASPEK KOGNITIF SISWA DALAM PEMBELAJARAN LARUTAN
ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT MENGGUNAKAN
MODEL THINK PAIR SHARE DI KELAS X
SMA DHARMA BHAKTI 4 JAMBI
Oleh:
Devi Aprianti
Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FKIP
Universitas Jambi
ABSTRAK
Kurangnya motivasi dan minat belajar siswa saat proses pembelajaran disebabkan
pembelajaran lebih berpusat ke guru, sehingga mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa
yang mengakibatkan rendahnya kemampuan aspek kognitif siswa. Rendahnya aspek kognitif
siswa ini juga disebabkan oleh guru yang jarang sekali mengukur kemampuan siswa pada tingkat
tinggi salah satunya pada saat penyusunan instrumen tes yang hanya mengukur kemampuan pada
tingkat rendah yaitu mengingat dan memahami. Salah satu solusi untuk memecahkan masalah
tersebut dilakukan pembenahan pada proses pembelajaran dengan menerapkan model Think Pair
Share (TPS) serta dengan cara memberi soal-soal latihan yang mengukur kemampuan tingkat
tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai aspek kognitif siswa
dalam pembelajaran larutan elektrolit dan non elektrolit menggunakan model Think Pair Share
di kelas X SMA Dharma Bhakti 4 Jambi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif partisipan. Data penelitian diperoleh dari hasil tes hasil belajar siswa yang
dianalisis aspek kognitif personal dan perindikator pembelajaran berdasarkan persentase dengan
kriteri sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu soal tes
hasil belajar serta pedoman wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan aspek
kognitif secara keseluruhan adalah sebagai berikut: nilai rata-rata pencapaian aspek kognitif pada
kemampuan mengingat (C1) tergolong sangat baik (83,33), kemampuan memahami (C2)
tergolong sangat baik (83,33), kemampuan mengaplikasi (C3) tergolong baik (66,66), sedangkan
kemampuan menganalisis (C4) tergolong cukup (50,00). Hasil analisis data didapatkan nilai ratarata keseluruhan siswa setelah mengikuti pembelajaran yaitu 73,23% dengan kategori baik.
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan kemampuan aspek kognitif
siswa di kelas X SMA Dharma Bhakti 4 Jambi tergolong baik, dalam hal ini kemampuan aspek
kognitif siswa dikategorikan baik dengan penerapan model Think Pair Share.
Kata kunci: Analisis, Aspek Kognitif , Model Pembelajaran
PENDAHULUAN
Pembelajaran merupakan proses
menuntut ilmu pengetahuan melalui adanya
hubungan antara guru sebagai pendidik dan
siswa sebagai peserta didik yang terjadi
dalam suatu lingkungan belajar. Hakikat
belajar adalah perubahan. Belajar adalah
proses perubahan prilaku berkat pengalaman
dan latihan. Artinya, tujuan kegiatan adalah
perubahan tingkah laku, baik menyangkut
pengetahuan, keterampilan maupun sikap,
bahkan meliputi segenap aspek organism
atau pribadi. Kegiatan belajar mengajar
seperti mengorganisasi pengalaman belajar,
mengolah kegiatan belajar mengajar,
menilai proses, dan hasil belajar,
kesemuanya termasuk dalam tanggung
jawab guru (Syaiful Bahri Djamarah, 2010).
Guru dituntut mampu menciptakan
situasi pembelajaran yang kondusif, yaitu
pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif,
efektif, dan menyenangkan dalam proses
kegiatan pembelajaran. Untuk menciptakan
suasana tersebut tentunya tidak mudah, ada
banyak faktor yang akan menghambat
penciptaan suasana pembelajaran tersebut.
Faktor penghambat bisa datang dari siswa
yang cenderung pasif dan bahkan bisa
datang dari guru sendiri yang kurang
inovatif,
sehingga
dalam
kegiatan
pembelajaran cenderung monoton dan
menjenuhkan. Siswa yang cenderung jenuh
terhadap kegiatan pembelajaran akan
berdampak kurangnya minat dalam belajar
sehingga
perhatian
dalam
kegiatan
pembelajaran
juga
akan
berkurang.
Kurangnya perhatian terhadap suatu materi
ajar akan menyebabkan siswa kurang
memahami konsep dari suatu materi ajar.
Padahal banyak materi ajar
yang
membutuhkan pemahaman terhadap konsepkonsepnya dan tidak cukup hanya sekedar
dihafalkan, salah satunya adalah kimia.
Kimia merupakan ilmu dasar yang
memegang
peranan
penting
dalam
membentuk pola pikir. Kimia juga
merupakan salah satu mata pelajaran yang
ada di kurikulum KTSP SMA. Salah satu
materi kimia yaitu larutan elektrolit dan non
eleltrolit, materi ini lebih bersifat
pemahaman karena banyak berisikan konsep
dan hafalan. Agar siswa dapat memahami
konsep dasar dari larutan elektrolit dan non
elektrolit ini maka perlu disajikan dalam
bentuk yang menarik. Untuk mencapai
tujuan itu guru harus bisa menerapkan
model pembelajaran yang semenarik
mungkin agar siswa lebih berminat dan lebih
menerima materi yang disampaikan oleh
guru.
Menurut guru kimia SMA Dharma
Bhakti 4 Jambi, siswa sering mengalami
kesulitan untuk memahami pelajaran kimia.
Hal ini terjadi karena pelajaran kimia baru di
pelajari di tingkat SMA. Siswa juga kurang
aktif bertanya dan memberikan pendapat,
serta mengalami kesulitan menyelesaikan
soal-soal yang akhirnya hanya menunggu
penyelesaian dari guru tanpa berusaha
mencari sendiri, hal-hal yang menjadi faktor
penting adalah penyampaian materi yang
kurang bervariasi, sehingga mengakibatkan
siswa kurang termotivasi, malas untuk
belajar, siswa cenderung pasif, memilih
diam jika diberi kesempatan bertanya dan
mencontek jika diberi latihan, berakhir pada
timbulnya rasa jenuh dan bosan. Untuk
menumbuhkan pemahaman dan daya nalar
yang tinggi siswa harus aktif untuk
membangun pengetahuannya sendiri dalam
pembelajaran. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan penelitian untuk menemukan
model yang banyak melibatkan siswa secara
aktif dan sesuai karakteristik materi larutan
elektrolit dan non elektrolit sehingga siswa
mampu membangun pengetahuannya sendiri
dalam proses pembelajaran. Untuk itu
penuis berupaya memberikan solusi berupa
model pembelajaran kooperatif tipe Think
Pair Share (TPS). Menurut isjoni (2009)
model kooperatif learning tipe Think Pair
Share (TPS) ini akan mengaktifkan siswa.
Karena semua anggota dalam kelompok
akan bekerja sama dan berdiskusi untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan,
mereka saling memberikan dan menerima
informasi dan pengetahuan. Disamping itu
juga siswa memperoleh peranan yang sama
dan
interaksi
timbal
balik
akan
mengaktifkan mereka dalam belajar. Guru
seharusnya mengusahakan agar setiap siswa
berpatisipasi aktif dalam pembelajaran
sehingga tercipta makna dan pemahaman
bagi siswa (Slameto,2003).
Berdasarkan hasil wawancara yang
peneliti lakukan di SMA Dharma Bhakti 4
menyatakan bahwa pembelajaran larutan
elektrolit dan non elektrolit masih
menggunakan model pembelajaran yang
berpusat pada guru. Pembelajaran seperti ini
akan membuat siswa belum berperan aktif
dalam proses pembelajaran sehingga
mengakibatkan rendahnya hasil belajar
siswa dan sebagian besar siswa kelas X
SMA Dharma Bakti 4 Jambi belum
memenuhi nilai KKM pada materi larutan
elektrolit dan non elektrolit yaitu 75. Salah
satu usaha yang dilakukan untuk membantu
siswa agar dapat berperan aktif dalam proses
pembelajaran sehingga dapat berpengaruh
kepada hasil belajar siswa tersebut yaitu
dengan menerapkan model pembelajaran
kooperatif.
Pada proses pembelajaran pada saat
penyusunan tes hasil belajar guru hanya
mengukur aspek kognitif dari pengetahuan
sampai pemahaman saja, sehingga tidak
diketahui apakah siswa tersebut memiliki
kemampuan berfikir lain yaitu kemampuan
berfikir tingkat tinggi. Seperti halnya yang
dikatakan
Arifin
(2010),
rendahnya
kemampuan siswa dalam berfikir, bahkan
hanya dapat menghapal, tidak terlepas dari
kebiasan dari guru dalam melakukan
evaluasi atau penilaian yang hanya
mengukur tingkat kemampuan berfikir yang
rendah saja. Siswa tidak akan memiliki
kemampuan berfikir tingkat tinggi jika siswa
tersebut tidak diberi kesempatan untuk
mengembangkannya dan diarahkan untuk
itu. Berdasarkan uraian-uraian yang telah
disampaikan serta kenyataan dilapangan
penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai “Analisis Aspek Kognitif Siswa
Dalam Pembelajaran Larutan Elektrolit
dan Non Elektrolit Menggunakan Model
Think Pair Share di Kelas X SMA
DHARMA BHAKTI 4 JAMBI”.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Belajar dan Pembelajaran
Menurut skinner dalam (Dimyati,
dkk. 2010) balajar adalah suatu perilaku.
Pada saat orang belajar maka ada suatu
tindakan yang berupa respon untuk menjadi
lebih baik. Sebaliknya, bilatidak belajar
maka ia akan menunjukkan respon yang
menurun. Dalam belajar ditemukan adanya
hal berikut : (1) kesempatan terjadinya
peristiwa yang menimbulkan respon belajar;
(2) respon si pelajar; dan (3) konsekuensi
yang bersifat menguatkan respon tersebut.
Pada dasarnya teori belajar merupakan
penjelasan bagaimana proses yang belajar
terjadi atau bagaimana informasi diproses
dalam pikiran peserta didik. Dalam
pengembangan teori belajar, hasil yang
diamati adalah hasil pembelajaran nyata
(actual outcomes). Dengan adanya teori
belajar diharapkan suatu pembelajaran dapat
lebih meningkatkan perolehan peserta didik
sebagai hasil belajar. ada beberapa teori
belajar, antara lain sebgai berikut :
a. Teori Konstrukstivis
Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa
siswa harus mencari dan menemukan sendiri
serta mentransformasikan informasi secara
utuh, memeriksa informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila
aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.
b. Teori Belajar Kognitif
Belajar akan lebih berhasil apabila
disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif peserta didik.
c. Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial menjelaskan bagaimana
kepribadian seseorang berkembang melalui
proses pengamatan, dimana orang belajar
melalui observasi atau pengamatan terhadap
perilaku orang lain terutama pemimpin atau
orang yang dianggap mempunyai nilai lebih
dari orang lain.
2.2 Aspek Kognitif
Kawasan kognitif merupakan kawasan
yang berkaitan dengan aspek-aspek
intelektual atau berpikir/nalar. Di
dalamnya
mencakup
remembering
(ingatan), understanding (pemahaman) ,
applying (penerapan), analysis (analisis),
evaluation (penilaian) dan creation
(penciptaan). Dalam ranah kognitif itu
terdapat enam aspek atau jenjang proses
berfikir, mulai dari jenjang terendah
sampai dengan jenjang yang paling
tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang
dimaksud adalah:
1. Mengingat (Remember)
Adalah kemampuan seseorang untuk
mendapatkan kembali pengetahuan yang
relevan dari memori jangka panjang.
Pengetahuan
atau
ingatan
adalah
merupakan proses berfikir yang paling
rendah.
2. Memahami (Understand)
Adalah kemampuan seseorang untuk
mengerti atau memahami sesuatu setelah
sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan
kata lain, memahami adalah mengetahui
tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari
berbagai segi.
3. Mengaplikasikan (Applying)
Adalah kesanggupan seseorang untuk
menerapkan atau menggunakan ide-ide
umum, tata cara ataupun metode-metode,
prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori
dan sebagainya, dalam situasi yang baru
dan kongkret.
4. Menganalisis (Analyzing)
Adalah kemampuan seseorang untuk
merinci atau menguraikan suatu bahan
atau keadaan menurut bagian-bagian
yang lebih kecil dan mampu memahami
hubungan di antara bagian-bagian atau
faktor-faktor yang satu dengan faktorfaktor lainnya. Jenjang analisis adalah
setingkat lebih tinggi ketimbang jenjang
aplikasi.
5. Mengevaluasi (Evaluating)
Adalah membuat suatu pertimbangan
berdasarkan kriteria dan standar yang
ada. Mencakup dua macam proses
kognitif yaitu memeriksa dan mengkritik.
6. Mencipta (Creating)
Adalah merupakan jenjang berpikir
paling tinggi dalam ranah kognitif dalam
Anderson dan Krathwohl. Mencipta disini
menyusun unsur-unsur untuk membentuk
sebuah ide baru, pertalian yang utuh atau
membuat produk sendiri.
Dalam aspek kognitif, sejauh mana
siswa mampu memahami materi yang
telah diajarkan oleh pendidik, dan pada
level yang lebih atas seorang peserta
didik mampu menguraikan kembali
kemudian
memadukannya
dengan
pemahaman yang sudah ia peroleh untuk
kemudian diberi penilaian/pertimbangan.
2.3 Proses Belajar Mengajar
Proses belajar meliputi perencanaan,
pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan
tingkat lanjut agar tercapai tujuan belajar.
Mengajar dalam proses pendidikan tidak
sekedar menyampaikan materi saja, akan
tetapi juga dimaknai sebagai proses
mengatur lingkungan belajar siswa.
Dalam proses belajar mengajar, siswa yang
harus membangun pengetahuannya sendiri.
Sedangkan
guru
berperan
untuk
menciptakan kondisi yang kondusif dan
mendukung bagi terciptanya pengetahuan
yang baru.
2.4 Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan tujuan akhir
dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di
sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan
melalui usaha sadar yang dilakukan secara
sistematis mengarah kepada perubahan yang
positif yang kemudian disebut dengan
proses belajar. Akhir dari proses belajar
adalah perolehan suatu hasil belajar siswa.
2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Belajar
a. Faktor internal
Faktor internal yaitu faktor yang ada
dalam diri individu yang sedang belajar,
faktor intern terdiri dari : faktor jasmaniah
(kesehatan dan cacat tubuh), faktor
psikologis (inteligensi, perhatian, minat,
bakat, motif, kematangan dan kesiapan), dan
faktor kelelahan.
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor dari luar
individu. Faktor eksternal terdiri dari:
1. faktor keluarga (cara orang tua
mendidik, relasi antara anggota keluarga,
suasana rumah, keadaan ekonomi
keluarga, pengertian orang tua, dan latar
belakang kebudayaan);
2. faktor sekolah (metode mengajar guru,
kurikulum, hubungan guru dengan
siswa, hubungan siswa dengan siswa,
disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu
sekolah, standar belajar diatas ukuran,
keadaan gedung, metode belajar dan
tugas rumah);
3. faktor masyarakat (kegiatan siswa dalam
masyarakat, mass media, teman bergaul,
dan bentuk kehidupan masyarakat).
2.6 Model Pembelajaran
Joke, B dan Weil, mendefinisikan model
pembelajaran merupakan suatu pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas
atau pembelajaran dalam setting tutorial
dan untuk menentukan perangkat –
perangkat
pembelajaran
termasuk
didalamnya buku – buku, film, komputer
dan kurikulum.
Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan
suatu bentuk dalam proses belajar mengajar
yang berdasarkan kerja sama dalam suatu
kelompok belajar.
2.6 Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe TPS (Think Pair Share)
Think Pair Share merupakan suatu cara
yang efektif untuk membuat variasi suasana
pola diskusi kelas. Pembelajaran TPS
membimbing
siswa
untuk
memiliki
tanggung jawab individu dan tanggung
jawab dalam kelompok atau pasangannya.
Pelaksanaan Think Pair Share meliputi tiga
tahap yaitu Think (berpikir), Pairing
(berpasangan), dan Sharing (berbagi). TPS
memiliki keistimewaan, yaitu siswa selain
bisa
mengembangkan
kemampuan
individunya
sendiri,
juga
bisa
mengembangkan
kemampuan
berkelompoknya serta keterampilan atau
kecakapan sosial.
2.8 Karakteristik Ilmu Kimia
Sebagai salah satu materi yang berada
dalam ilmu kimia, materi larutan
elektrolit dan larutan non elektrolit,
materi yang terdapat pada BAB III kelas
X SMA. Materi ini berisikan tentang
larutan elektrolit dan non elektrolit
Sehingga materi ini lebih bersifat
teoritis.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan di
SMA DHARMA BAKTI 4 JAMBI kelas X
semester Genap Tahun ajaran 2013/2014.
Penelitian ini tergolong penelitian
deskriptif partisipan. Metode deskriptif
adalah suatu metode penelitian yang
ditujukan untuk mendeskripsikan yang
bertujuan untuk memberikan gambaran yang
secermat mungkin mengenai suatu individu,
keadaan, gelaja atau kelompok tertentu.
Adapun rancangan yang dilakukan
dalam penelitian ini yaitu menganalisis
materi pada silabus, menentukan aspek
kognitif dan pembuatan instrumen penelitian
lalu di uji coba instrument penelitian,
validasi
instrument,
pelaksanaan
pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran
kooperatif
tipe
TPS,
pelaksanaan tes lalu analisis data hasil tes.
Selanjutnya
melakukan
wawancara,
pengolahan
data
hasil
penelitian,
menganalisis dan membahas hasil penelitian
serta menarik kesimpulan. Populasi dalam
penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas X
SMA DHARMA BHAKTI 4 JAMBI yang
terdaftar pada tahun 2013/2014. Instrumen
dalam penelitian ini yaitu tes hasil belajar
dan pedpman wawancara. Adapun tes yang
digunakan berupa soal objektif berjumlah 26
soal yang setiap soal item disusun
berdasarkan proposisi-proposisi penting
yang berkaitan dengan materi larutan
elektrolit dan non elektrolit. Setelah
dilakukan tes lalu dilakukan wawancara
guna untuk memperkuat hasil tes yang telah
dilakukan.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian aspek kognitif siswa
kelas X SMA Dharma Bhakti 4 Jambi
dalam pembelajaran larutan elektrolit dan
non elektrolit melalui model Think Pair
Share tergolong baik dibandingkan dengan
hasil
belajar
sebelumnya.
Secara
keseluruhan hasilnya didistribusikan dalam
tabel 4.1 berikut ini:
Tabel 4.1 Nilai Kemampuan Aspek Kognitif
Siswa Kelas X SMA Dharma Bhakti 4
Jambi
Aspek kognitif
Nilai
Rata-
Kategori
rata
(%)
Kemampuan
Mengingat (C1)
83.33
Sangat Baik
Memahami (C2)
83.33
Sangat Baik
Mengaplikasikan
(C3)
66.66
Baik
Menganalisis
(C4)
50
Cukup
Berdasarkan tabel 4.1 diatas terlihat
urutan kemampuan aspek kognitif yang
paling tinggi adalah kemampuan mengingat
(C1) 83.33%, memahami (C2) 83.33%,
mengaplikasikan (C3) 66.66%, serta
menganalisis (C4) 50%. Pada penelitian ini
secara umum kemampuan mengingat dan
memahami lebih dikuasai oleh siswa
dibandingkan kemampuan mengaplikasi dan
menganalisis.
Hasil belajar siswa meningkat dari
hasil belajar siswa sebelum menggunakan
model pembelajaran. Hal ini dikarenakan
pengaruh penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe TPS yang digunakan pada
saat
proses
pembelajaran.
Tingkat
kemampuan berfikir terbagi dua yaitu
kemampuan berfikir tingkat tinggi dan
kemampuan berfikir tingkat rendah. Pada
penelitian ini kemampuan berfikir tingkat
rendah lebih dikuasai siswa dibandingkan
kemampuan berfikir tingkat tinggi.
Berikut ini akan dibahas mengenai
analisis empat aspek kognitif, yaitu
kemampuan mengingat (C1), kemampuan
memahami (C2), kemampuan mengaplikasi
(C3) dan kemampuan menganalisis (C4).
4.2.1 Kemampuan Mengingat (C1)
Mengingat
melibatkan
pengambilan
pengetahuan dari memori jangka panjang
ketika diminta untuk menjawab pertanyaan.
Ada enam soal yang dibuat untuk
kemampuan mengingat. Masing-masing soal
dapat mewakili tiap-tiap indikator, pada soal
tersebut siswa dituntut agar mampu
mengingat kembali apa yang telah dipelajari
sebelumnya.
4.2.2 Kemampuan Memahami (C2)
Ada enam soal yang diberikan kepada siswa
untuk mengukur kemampuan memahami.
Pada soal tersebut diharapkan siswa dapat
memahami materi larutan elektolit dan non
elektrolit. Berdasarkan pengolahan data
pada soal kemapuan memahami (C2) dapat
diketahui bahwa nilai rata-rata jawaban hasil
tes siswa pada kemampuan memahami (C2)
adalah 83.33%. Hal tersebut berarti bahwa
penguasaan kemampuan memahami (C2)
siswa setelah mengikuti pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe TPS ini mencapai tingkat
penguasan sangat baik.
4.2.3 Kemampuan Mengaplikasi (C3)
Kemampuan mengaplikasi siswa
diukur melalui pertanyaan pada tingkatan
mengaplikasi (C3). Ada enam soal yang
digunakan untiuk mengukur kemampuan
mengaplikasi ini. Dari jawaban siswa
kemudian dianalis berapa rata-rata jawaban
siswa menjawab benar pada soal tersebut.
Pada soal ini diharapkan siswa mampu
menerapkan dan mengaplikasikan materi
larutan elektrolit dan non elektrolit.
Berdasarkan pengolahan data pada soal
mengaplikasi (C3) dapat diketahui bahwa
nilai rata-rata jawaban hasil tes siswa pada
domain mengaplikasi (C3) adalah 66.66%.
Hal tersebut berarti bahwa penguasaan
domain mengaplikasi (C3) siswa setelah
mengikuti
pembelajaran
dengan
menggunakan
model
pembelajaran
kooperatif tipe TPS ini mencapai tingkat
penguasan baik.
4.2.4 Kemampuan Menganalisis (C4)
Ada delapan soal yang diberikan
kepada siswa untuk mengukur kemampuan
menganalisis ini. Salah satu bentuk soalnya
yaitu “semua larutan yang dicelupkan
elektroda nya dan dihubungkan kelampu
memiliki data yaitu lampu tidak menyala
dan timbul gelembung gas. Berdasarkan data
tersebut dapat disimpulkan bahwa” pada
soal tersebut diharapkan siswa mampu
menganalisis soal tersebut, hal ini berarti
siswa diharapkan mampu menganalisis
materi larutan elektrolit dan non elektrolit.
Berdasarkan pengolahan data pada soal
tingkatan analisis (C4) dapat diketahui
bahwa jumlah jawaban benar hasil tes siswa
pada kemampuan menganalisis (C4) adalah
50%. Hal tersebut berarti bahwa penguasaan
menganalisis (C4) siswa setelah mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS ini
mencapai tingkat penguasan cukup.
Pembelajaran kimia di SMA Dharma
Bhakti 4 Jambi biasanya diajarkan dengan
model pembelajaran yang berpusat pada
guru. Dari hasil wawancara bahwa model
pembelajaran tersebut membuat proses
pembelajaran menjadi menjenuhkan. Oleh
karena itu untuk mengatasi kejenuhan dan
untuk meningkatkan keaktifan siswa,
merupakan suatu pembelajaran yang inovatif
bagi siswa untuk memahami pembelajaran
kimia khususnya materi larutan elektrolit
dan non-elektrolit. Model pembelajaran
kooperatif tipe TPS merupakan model
pembelajaran untuk menghasilkan sebuah
pembelajaran
yang
kreatif.
Model
pembelajaran kooperatif tipe TPS membuat
siswa lebih aktif untuk berdiskusi dengan
teman sebangku, sehingga mereka dapat
bertukar pikiran untuk membahas suatu
persoalan khususnya tentang materi larutan
eleketrolit dan non elektroloit.
Dalam
pembelajaran
dengan
menggunakan
model
pembelajaran
kooperatif tipe TPS ini hendaknya siswa
harus membangun pengetahuannya sendiri,
dengan cara berdiskusi untuk memecahkan
suatu masalah yang diberikan oleh guru. Hal
ini sesuai dengan teori konstruktivis ini
menyatakan bahwa siswa harus mencari dan
menemukan
sendiri
serta
mentransformasikan informasi secara utuh,
memeriksa informasi baru dengan aturanaturan lama dan merevisinya apabila aturanaturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar
bisa lebih mengerti, memahami dan dapat
menerapkan pengetahuan, mereka harus
berusaha mencari solusi dalam suatu
masalah, menemukan segala sesuatu untuk
dirinya, dan menyumbangkan pendapat atau
gagasan dalam suatu permasalahan (Slavin
dalam Nur, 2000).
Siswa
harus
membangun
pengetahuannya sendiri sedangkan guru
berperan untuk menciptakan kondisi yang
kondusif dan mendukung bagi terciptanya
pengetahuan yang baru. Piaget dalam
Dimyati dan Mudjiono (2009) berpendapat
bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu,
sebab individu melakukan interaksi terus
menerus dengan lingkungan. Menurut
Ibrahim dan Nana Syaodih (2003)
pembelajaran berintikan interaksi antara
guru dengan siswa. Dalam interaksi ini, guru
melakukan kegiatan mengajar dan siswa
belajar.
Dari hasil dan pembahasan diatas,
terlihat bahwa kemampuan aspek kognitif
siswa kelas X SMA Dharma Bhakti 4 Jambi
dalam setiap aspek cukup beragam.
Kemampuan yang paling baik dikuasai
siswa yaitu kemampuan mengingat dan
memahami dengan nilai rata-rata 83.33%,
dengan kriteria kemampuan sangat baik
sedangkan urutan kedua yang ditempati
yaitu kemampuan mengaplikasi yaitu
dengan nilai rata-rata 66.66% dengan
kriteria kemampuan baik, ketiga ditempati
kemampuan menganalisis dengan nilai ratarata 50% dengan kriteria cukup. Dalam hal
ini kemampuan menganalisis ini termasuk
kemampuan tingkat tinggi. Dalam penelitian
ini kemampuan berfikir tingkat rendah lebih
dikuasai siswa dibandingkan kemampuan
tingkat tinggi. Rata-rata nilai kemampuan
mengingat dan memahami lebih tinggi
dibandingkan
dengan
kemampuan
megaplikasi dan menganalisis. Menurut
Sudjana (2010), hasil belajar adalah
kemampuan yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajar. Jika dikaji
lebih mendalam, maka hasil belajar dapat
tertuang dalam taksonomi Bloom, yakni
dikelompokkan dalam tiga ranah (domain)
yaitu domain kognitif atau kemampuan
berpikir, domain afektif atau sikap, dan
domain psikomotor atau keterampilan.
Untuk mengetahui hasil belajar seseorang
dapat dilakukan dengan melakukan tes dan
pengukuran.
Tes
dan
pengukuran
memerlukan alat sebagai pengumpul data
yang disebut dengan instrumen penilaian
hasil
belajar.
Menurut
Wahidmurni, dkk. (2010), instrumen dibagi
menjadi dua bagian besar, yakni tes dan non
tes.
Penyebab rata-rata mengingat dan
memahami lebih tinggi anatara lain yaitu
taraf berfikir siswa lebih banyak abstrak dari
pada konkrit. Hal ini dapat disebabkan
penggunaan
media
dalam
proses
pembelajaran.
Media
sangat
juga
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Seperti yang dikemukakan oleh Edgar Dale
dalam kerucut pengalamannya. Kerucut
pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar
Dale
memberikan
gambaran
bahwa
pengalaman belajar yang diperoleh siswa
dapat melalui proses perbuatan atau
mengalami sendiri apa yang dipelajari,
proses mengamati dan mendengarkan
melalui media tertentu dari proses
mendengarkan melalui bahasa. Semakin
konkrit
siswa
mempelajari
bahan
pengajaran, contohnya melalui pengalaman
langsung maka semakin banyak pengalaman
yang diperolehnya. Sebaliknya semakin
abstrak siswa memperoleh pengalaman
contohnya hanya mengandalkan bahasa
verbal maka semakin sedikit pengalaman
yang
akan
diperoleh
siswa.
(http://assabab.wordpress.com/)
Selanjutnya berdasarkan kerucut
pengalaman Dale hasil belajar seseorang
diperoleh mulai dari pengalaman langsung
(konkrit) berdasarkan kenyataan yang ada
dilingkungan hidupnya, kemudian melalui
benda-benda tiruan dan selanjutnya sampai
kepada lambang-lambang verbal (abstrak).
Berdasarkan kerucut pengalaman Dale,
semakin keatas puncak kerucut semakin
abstrak media penyampai pesan itu. Berikut
gambar kerucut pengalaman Dale.
Pada kerucut pengalaman Dale,
pengalaman belajar siswa hanya 10% dari
yang dibaca, 20% dari yang didengar, 30%
dari yang dilihat. Berarti siswa hanya
memiliki pengalaman belajar yang sedikit
jika siswa hanya membaca buku,
mendengarkan informasi pengetahuan atau
melihat gambar tentang materi pelajaan. Hal
ini megakibatkan siswa hanya memiliki
pengalaman belajar verbal. Pengalaman
belajar verbal menjadikan siswa hanya
berfikir abstrak sehingga siswa lebih mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan pada
aspek kognitif mengingat dan memahami
dari pada aspek kognitif lainnya. Sesuai
dengan data Penelitian soal-soal tentang
kemampuan mengingat dan memahami lebih
mudah dijawab siswa dari pada soal-soal
mengaplikasi dan menganalisis.
Kemudian
untuk
kemampuan
menganalisis
siswa
lebih
rendah
dibandingkan
dengan
kemampuan
mengingat, memahami dan menaplikasi. Hal
ini juga disebabkan oleh kebiasan dalam
proses belajar dan mengajar masih
menggunakan strategi yang
kurang
meningkatkan kemampuan berfikir siswa
dan kurangnya pengalaman belajar siswa.
Oleh karena itu agar pembelajaran dapat
memberikan pengalaman yang lebih berarti
bagi siswa, maka perlu dirancang model
pembelajaran yang dapat membawa siswa
kepada pengalaman yang lebih konkrit. Hal
ini karena setiap siswa mempunyai cara
yang optimal dalam mempelajari informasi
tertentu
(Deporter
dan
M.
Hernacki.2002:110). Beberapa siswa perlu
diberikan cara-cara yang lain yang berbeda
dengan metode mengajar pada umumnya.
Oleh karena itu guru di tuntut dapat
mengembangkan
kreativitas
untuk
menerapkan dan mengembangkan model
pembelajaran sehingga dapat meningkatkan
kemampuan berfikir, daya analisis dan hasil
belajar
siswa.
Siswa
membutuhkan
pengalaman belajar yang berkualitas untuk
bisa
memiliki
kemampuan
berfikir
mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi
serta mencipta. Karena berdasarkan kerucut
pengalaman Dale, siswa akan memiliki 90%
pengalaman belajar dari pengalaman
langsung siswa itu sendiri. Pengalaman
langsung adalah pengalaman yang diperoleh
siswa sebagai hasil dari aktivitas sendiri.
Siswa mengalami pencapaian tujuan, siswa
berhubungan langsung dengan objek yang
dipelajari tanpa menggunakan perantara.
Karena pengalaman langsung inilah maka
ada kecendrungan hasil yang diperoleh
siswa menjadi konkrit sehingga akan
memiliki ketetapan yang tinggi. Hal ini
mengakibatkan siswa memiliki kemapuan
menganalisis yang tinggi, ini telah
dijelaskan dalam teori pandangan kolb
terhadap belajar yaitu
pengalaman konkrit.
pada
tahap
Penyebab lain dari rendahnya
kemampuan tingkat tinggi siswa yaitu pada
saat penyusunan intrumen tes hasil belajar
guru hanya mengukur aspek kognitif dari
pengetahuan, pemaham dan jarang sekali
menggunakan aspek kognitif yang lebih
tinggi lainnya, serta kurang nya latihanlatihan soal yang mengukur soal pada
kemapuan mengaplikasi dan menganalisis,
hal ini dijelaskan pada wawancara dengan
guru bidang studi yang ada di SMA tersebut.
Berdasarkan analisis kemampuan
siswa dalam penguasaan aspek kognitif
perindikator pembelajaran, nilai rata-rata
tertinggi yang terdapat pada indikatator
keempat yaitu menjelaskan penyebab
kemampuan
larutan
elektrolit
menghantarkan arus listrik dengan nilai ratarata 80,43, kedua ditempati indikator ketiga
yaitu mengelompokan larutan kedalam
larutan elektrolit berdasarkan sifat hantaran
listriknya dengan nilai rata-rata 78,25,
urutan ketiga yaitu pada indikator ke enam
menentukan larutan elektrolit senyawa ion
dan senyawa kovalen yaitu 73,91,
selanjutnya pada indikator ke dua yaitu
mengidentifikasikan
sifat-sifat
larutan
elektrolit dan non elektrolit melalui
pengamatan hasil percobaan dengan nilai
rata-rata 70,43. Urutan kelima yaitu pada
indikator kelima mendeskripsikan bahwa
larutan elektrolit dapat berupa senyawa ion
dan senyawa kovalen polar dengan nilai
rata-rata 66,96. Terakhir yaitu pada
indikator pertama menentukan sifat-sifat
larutan elektrolit dan non elektrolit melalui
percobaan dengan nilai rata-rata 60,86
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan tentang Aspek kognitif siswa
melalui model pembelajaran kooperatif tipe
TPS pada materi larutan elktrolit dan non
elektrolit SMA Dharma Bhakti 4 Jambi yang
telah diuraikan sebelumnya, dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemampuan aspek kognitif siswa ratarata dalam Mengingat (C1) tergolong
sangat baik.
2. Kemampuan aspek kognitif siswa ratarata dalam Memahami (C2) tergolong
sangat baik.
3. Kemampuan rata-rata aspek kognitif
siswa dalam Mengaplikasi (C3) tegolong
baik.
4. Kemampuan rata-rata aspek kognnitif
siswa
dalam
Menganalisis
(C4)
tergolong cukup. Hal inidikarenakan
taraf berfikir siswa lebih banyak abstrak
dari pada konkrit.
5. Kemampuan Mengingat, Memahami,
dan Mengaplikasi siswa lebih tinggi dari
pada kemampuan Menganalisis.
6. Kemampuan aspek kognitif siswa
dikelas X SMA Dharma Bhakti 4 Jambi
dikategorikan baik dengan penerapan
model Think Pair Share.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2012. Teori Belajar dan Teori
Pembelajaran.
http://psbpsma.org/content/blog/4268teori-belajar-dan-teoripembelajaran. Diakses pada
tanggal 17 November 2013.
Arifin. 2010. Strategi Belajar Mengajar
Kimia.
Jakarta:
Jurusan
Pendidikan
Kimia
FMIPA
Universitas
Pendidikan
Indonesia.
Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan.
Jakarta:
Bumi
Aksara.
Bahanrudin dan Wahyuni, E.N. 2010. Teori
Belajar
dan
Pembelajaran.
Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Dahar, Ratna Wilis. 2010. Teori-Teori
Belajar
Belajar
dan
Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Dimyati dan Mudjiono. 2010. Belajar dan
Pembelajaran.
Jakarta:
Depdiknas.
Djamarah, Zain. 2010. Strategi Belajar
Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar
Mengajar. Jakarta: PT Bumi Karsa,.
Isjoni. 2009. Cooperative Learning.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Johari dan Rahnawati. 2007. Kimia I.
Jakarta: Esis
Muhli, A. 2011. Keefektifan Pembelajaran.
http://ahmadmuhli.wordpress.co
m/2011/08/02/efektivitaspembelajaran/. Diakses pada
tanggal 9 Oktober 2013.
Rustman,
N. 2001. Strategi Belajar
Mengajar.
http://sdbinatalenta.com/arsipartikel/artik
el.pdf. Diakses pada tanggal 1
november 2013.
Slavin dan Nur. 2010. Cooperatif Learning.
USA. Allyn and Bacon.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil
Proses
Belajar
Mengajar.
Bandung: Rosda Karya.
Sugiyono.
2012.
Metode
Penelitian
Pendidikan
Pendekatan
Kuantitatif, kualitatif, dan R &
D. Bandung: Alfabeta.
Tirman.
2012.
Pengembangan
RPP.http://tirman.wordpress.com
/pengembangan-rpp/.
Diakses
pada tanggal 22 Oktober 2013.
Trianto.
2012. Model Pembelajaran
Terpadu.
Jakarta:
Prestasi
Pustaka.
http://www.cdl.org/resourcelibrary/articles/highorderthinking
.php. Diakses pada tanggal 10
Maret 2014.
http://assabab.wordpress.com/. Diakses Pada
tanggal 10 Maret 2014.
Download