ARTIKEL ILMIAH ANALISIS ASPEK KOGNITIF SISWA DALAM PEMBELAJARAN LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT MENGGUNAKAN MODEL THINK PAIR SHARE DI KELAS X SMA DHARMA BHAKTI 4 JAMBI OLEH : DEVI APRIANTI A1C110024 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI JUNI 2014 ANALISIS ASPEK KOGNITIF SISWA DALAM PEMBELAJARAN LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT MENGGUNAKAN MODEL THINK PAIR SHARE DI KELAS X SMA DHARMA BHAKTI 4 JAMBI Oleh: Devi Aprianti Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FKIP Universitas Jambi ABSTRAK Kurangnya motivasi dan minat belajar siswa saat proses pembelajaran disebabkan pembelajaran lebih berpusat ke guru, sehingga mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa yang mengakibatkan rendahnya kemampuan aspek kognitif siswa. Rendahnya aspek kognitif siswa ini juga disebabkan oleh guru yang jarang sekali mengukur kemampuan siswa pada tingkat tinggi salah satunya pada saat penyusunan instrumen tes yang hanya mengukur kemampuan pada tingkat rendah yaitu mengingat dan memahami. Salah satu solusi untuk memecahkan masalah tersebut dilakukan pembenahan pada proses pembelajaran dengan menerapkan model Think Pair Share (TPS) serta dengan cara memberi soal-soal latihan yang mengukur kemampuan tingkat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai aspek kognitif siswa dalam pembelajaran larutan elektrolit dan non elektrolit menggunakan model Think Pair Share di kelas X SMA Dharma Bhakti 4 Jambi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif partisipan. Data penelitian diperoleh dari hasil tes hasil belajar siswa yang dianalisis aspek kognitif personal dan perindikator pembelajaran berdasarkan persentase dengan kriteri sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu soal tes hasil belajar serta pedoman wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan aspek kognitif secara keseluruhan adalah sebagai berikut: nilai rata-rata pencapaian aspek kognitif pada kemampuan mengingat (C1) tergolong sangat baik (83,33), kemampuan memahami (C2) tergolong sangat baik (83,33), kemampuan mengaplikasi (C3) tergolong baik (66,66), sedangkan kemampuan menganalisis (C4) tergolong cukup (50,00). Hasil analisis data didapatkan nilai ratarata keseluruhan siswa setelah mengikuti pembelajaran yaitu 73,23% dengan kategori baik. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan kemampuan aspek kognitif siswa di kelas X SMA Dharma Bhakti 4 Jambi tergolong baik, dalam hal ini kemampuan aspek kognitif siswa dikategorikan baik dengan penerapan model Think Pair Share. Kata kunci: Analisis, Aspek Kognitif , Model Pembelajaran PENDAHULUAN Pembelajaran merupakan proses menuntut ilmu pengetahuan melalui adanya hubungan antara guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik yang terjadi dalam suatu lingkungan belajar. Hakikat belajar adalah perubahan. Belajar adalah proses perubahan prilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya, tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organism atau pribadi. Kegiatan belajar mengajar seperti mengorganisasi pengalaman belajar, mengolah kegiatan belajar mengajar, menilai proses, dan hasil belajar, kesemuanya termasuk dalam tanggung jawab guru (Syaiful Bahri Djamarah, 2010). Guru dituntut mampu menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif, yaitu pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan dalam proses kegiatan pembelajaran. Untuk menciptakan suasana tersebut tentunya tidak mudah, ada banyak faktor yang akan menghambat penciptaan suasana pembelajaran tersebut. Faktor penghambat bisa datang dari siswa yang cenderung pasif dan bahkan bisa datang dari guru sendiri yang kurang inovatif, sehingga dalam kegiatan pembelajaran cenderung monoton dan menjenuhkan. Siswa yang cenderung jenuh terhadap kegiatan pembelajaran akan berdampak kurangnya minat dalam belajar sehingga perhatian dalam kegiatan pembelajaran juga akan berkurang. Kurangnya perhatian terhadap suatu materi ajar akan menyebabkan siswa kurang memahami konsep dari suatu materi ajar. Padahal banyak materi ajar yang membutuhkan pemahaman terhadap konsepkonsepnya dan tidak cukup hanya sekedar dihafalkan, salah satunya adalah kimia. Kimia merupakan ilmu dasar yang memegang peranan penting dalam membentuk pola pikir. Kimia juga merupakan salah satu mata pelajaran yang ada di kurikulum KTSP SMA. Salah satu materi kimia yaitu larutan elektrolit dan non eleltrolit, materi ini lebih bersifat pemahaman karena banyak berisikan konsep dan hafalan. Agar siswa dapat memahami konsep dasar dari larutan elektrolit dan non elektrolit ini maka perlu disajikan dalam bentuk yang menarik. Untuk mencapai tujuan itu guru harus bisa menerapkan model pembelajaran yang semenarik mungkin agar siswa lebih berminat dan lebih menerima materi yang disampaikan oleh guru. Menurut guru kimia SMA Dharma Bhakti 4 Jambi, siswa sering mengalami kesulitan untuk memahami pelajaran kimia. Hal ini terjadi karena pelajaran kimia baru di pelajari di tingkat SMA. Siswa juga kurang aktif bertanya dan memberikan pendapat, serta mengalami kesulitan menyelesaikan soal-soal yang akhirnya hanya menunggu penyelesaian dari guru tanpa berusaha mencari sendiri, hal-hal yang menjadi faktor penting adalah penyampaian materi yang kurang bervariasi, sehingga mengakibatkan siswa kurang termotivasi, malas untuk belajar, siswa cenderung pasif, memilih diam jika diberi kesempatan bertanya dan mencontek jika diberi latihan, berakhir pada timbulnya rasa jenuh dan bosan. Untuk menumbuhkan pemahaman dan daya nalar yang tinggi siswa harus aktif untuk membangun pengetahuannya sendiri dalam pembelajaran. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk menemukan model yang banyak melibatkan siswa secara aktif dan sesuai karakteristik materi larutan elektrolit dan non elektrolit sehingga siswa mampu membangun pengetahuannya sendiri dalam proses pembelajaran. Untuk itu penuis berupaya memberikan solusi berupa model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Menurut isjoni (2009) model kooperatif learning tipe Think Pair Share (TPS) ini akan mengaktifkan siswa. Karena semua anggota dalam kelompok akan bekerja sama dan berdiskusi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan, mereka saling memberikan dan menerima informasi dan pengetahuan. Disamping itu juga siswa memperoleh peranan yang sama dan interaksi timbal balik akan mengaktifkan mereka dalam belajar. Guru seharusnya mengusahakan agar setiap siswa berpatisipasi aktif dalam pembelajaran sehingga tercipta makna dan pemahaman bagi siswa (Slameto,2003). Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan di SMA Dharma Bhakti 4 menyatakan bahwa pembelajaran larutan elektrolit dan non elektrolit masih menggunakan model pembelajaran yang berpusat pada guru. Pembelajaran seperti ini akan membuat siswa belum berperan aktif dalam proses pembelajaran sehingga mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa dan sebagian besar siswa kelas X SMA Dharma Bakti 4 Jambi belum memenuhi nilai KKM pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit yaitu 75. Salah satu usaha yang dilakukan untuk membantu siswa agar dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran sehingga dapat berpengaruh kepada hasil belajar siswa tersebut yaitu dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif. Pada proses pembelajaran pada saat penyusunan tes hasil belajar guru hanya mengukur aspek kognitif dari pengetahuan sampai pemahaman saja, sehingga tidak diketahui apakah siswa tersebut memiliki kemampuan berfikir lain yaitu kemampuan berfikir tingkat tinggi. Seperti halnya yang dikatakan Arifin (2010), rendahnya kemampuan siswa dalam berfikir, bahkan hanya dapat menghapal, tidak terlepas dari kebiasan dari guru dalam melakukan evaluasi atau penilaian yang hanya mengukur tingkat kemampuan berfikir yang rendah saja. Siswa tidak akan memiliki kemampuan berfikir tingkat tinggi jika siswa tersebut tidak diberi kesempatan untuk mengembangkannya dan diarahkan untuk itu. Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan serta kenyataan dilapangan penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Analisis Aspek Kognitif Siswa Dalam Pembelajaran Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit Menggunakan Model Think Pair Share di Kelas X SMA DHARMA BHAKTI 4 JAMBI”. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Belajar dan Pembelajaran Menurut skinner dalam (Dimyati, dkk. 2010) balajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar maka ada suatu tindakan yang berupa respon untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, bilatidak belajar maka ia akan menunjukkan respon yang menurun. Dalam belajar ditemukan adanya hal berikut : (1) kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respon belajar; (2) respon si pelajar; dan (3) konsekuensi yang bersifat menguatkan respon tersebut. Pada dasarnya teori belajar merupakan penjelasan bagaimana proses yang belajar terjadi atau bagaimana informasi diproses dalam pikiran peserta didik. Dalam pengembangan teori belajar, hasil yang diamati adalah hasil pembelajaran nyata (actual outcomes). Dengan adanya teori belajar diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkatkan perolehan peserta didik sebagai hasil belajar. ada beberapa teori belajar, antara lain sebgai berikut : a. Teori Konstrukstivis Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus mencari dan menemukan sendiri serta mentransformasikan informasi secara utuh, memeriksa informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. b. Teori Belajar Kognitif Belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. c. Teori Belajar Sosial Teori belajar sosial menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui proses pengamatan, dimana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lain. 2.2 Aspek Kognitif Kawasan kognitif merupakan kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek intelektual atau berpikir/nalar. Di dalamnya mencakup remembering (ingatan), understanding (pemahaman) , applying (penerapan), analysis (analisis), evaluation (penilaian) dan creation (penciptaan). Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah: 1. Mengingat (Remember) Adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan kembali pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berfikir yang paling rendah. 2. Memahami (Understand) Adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. 3. Mengaplikasikan (Applying) Adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang baru dan kongkret. 4. Menganalisis (Analyzing) Adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau faktor-faktor yang satu dengan faktorfaktor lainnya. Jenjang analisis adalah setingkat lebih tinggi ketimbang jenjang aplikasi. 5. Mengevaluasi (Evaluating) Adalah membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada. Mencakup dua macam proses kognitif yaitu memeriksa dan mengkritik. 6. Mencipta (Creating) Adalah merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif dalam Anderson dan Krathwohl. Mencipta disini menyusun unsur-unsur untuk membentuk sebuah ide baru, pertalian yang utuh atau membuat produk sendiri. Dalam aspek kognitif, sejauh mana siswa mampu memahami materi yang telah diajarkan oleh pendidik, dan pada level yang lebih atas seorang peserta didik mampu menguraikan kembali kemudian memadukannya dengan pemahaman yang sudah ia peroleh untuk kemudian diberi penilaian/pertimbangan. 2.3 Proses Belajar Mengajar Proses belajar meliputi perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan tingkat lanjut agar tercapai tujuan belajar. Mengajar dalam proses pendidikan tidak sekedar menyampaikan materi saja, akan tetapi juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan belajar siswa. Dalam proses belajar mengajar, siswa yang harus membangun pengetahuannya sendiri. Sedangkan guru berperan untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung bagi terciptanya pengetahuan yang baru. 2.4 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses belajar. Akhir dari proses belajar adalah perolehan suatu hasil belajar siswa. 2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar a. Faktor internal Faktor internal yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, faktor intern terdiri dari : faktor jasmaniah (kesehatan dan cacat tubuh), faktor psikologis (inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kesiapan), dan faktor kelelahan. b. Faktor eksternal Faktor eksternal yaitu faktor dari luar individu. Faktor eksternal terdiri dari: 1. faktor keluarga (cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan); 2. faktor sekolah (metode mengajar guru, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, hubungan siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar belajar diatas ukuran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah); 3. faktor masyarakat (kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat). 2.6 Model Pembelajaran Joke, B dan Weil, mendefinisikan model pembelajaran merupakan suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam setting tutorial dan untuk menentukan perangkat – perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku – buku, film, komputer dan kurikulum. Model Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan suatu bentuk dalam proses belajar mengajar yang berdasarkan kerja sama dalam suatu kelompok belajar. 2.6 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS (Think Pair Share) Think Pair Share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Pembelajaran TPS membimbing siswa untuk memiliki tanggung jawab individu dan tanggung jawab dalam kelompok atau pasangannya. Pelaksanaan Think Pair Share meliputi tiga tahap yaitu Think (berpikir), Pairing (berpasangan), dan Sharing (berbagi). TPS memiliki keistimewaan, yaitu siswa selain bisa mengembangkan kemampuan individunya sendiri, juga bisa mengembangkan kemampuan berkelompoknya serta keterampilan atau kecakapan sosial. 2.8 Karakteristik Ilmu Kimia Sebagai salah satu materi yang berada dalam ilmu kimia, materi larutan elektrolit dan larutan non elektrolit, materi yang terdapat pada BAB III kelas X SMA. Materi ini berisikan tentang larutan elektrolit dan non elektrolit Sehingga materi ini lebih bersifat teoritis. METODE PENELITIAN Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA DHARMA BAKTI 4 JAMBI kelas X semester Genap Tahun ajaran 2013/2014. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif partisipan. Metode deskriptif adalah suatu metode penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gelaja atau kelompok tertentu. Adapun rancangan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu menganalisis materi pada silabus, menentukan aspek kognitif dan pembuatan instrumen penelitian lalu di uji coba instrument penelitian, validasi instrument, pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, pelaksanaan tes lalu analisis data hasil tes. Selanjutnya melakukan wawancara, pengolahan data hasil penelitian, menganalisis dan membahas hasil penelitian serta menarik kesimpulan. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas X SMA DHARMA BHAKTI 4 JAMBI yang terdaftar pada tahun 2013/2014. Instrumen dalam penelitian ini yaitu tes hasil belajar dan pedpman wawancara. Adapun tes yang digunakan berupa soal objektif berjumlah 26 soal yang setiap soal item disusun berdasarkan proposisi-proposisi penting yang berkaitan dengan materi larutan elektrolit dan non elektrolit. Setelah dilakukan tes lalu dilakukan wawancara guna untuk memperkuat hasil tes yang telah dilakukan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian aspek kognitif siswa kelas X SMA Dharma Bhakti 4 Jambi dalam pembelajaran larutan elektrolit dan non elektrolit melalui model Think Pair Share tergolong baik dibandingkan dengan hasil belajar sebelumnya. Secara keseluruhan hasilnya didistribusikan dalam tabel 4.1 berikut ini: Tabel 4.1 Nilai Kemampuan Aspek Kognitif Siswa Kelas X SMA Dharma Bhakti 4 Jambi Aspek kognitif Nilai Rata- Kategori rata (%) Kemampuan Mengingat (C1) 83.33 Sangat Baik Memahami (C2) 83.33 Sangat Baik Mengaplikasikan (C3) 66.66 Baik Menganalisis (C4) 50 Cukup Berdasarkan tabel 4.1 diatas terlihat urutan kemampuan aspek kognitif yang paling tinggi adalah kemampuan mengingat (C1) 83.33%, memahami (C2) 83.33%, mengaplikasikan (C3) 66.66%, serta menganalisis (C4) 50%. Pada penelitian ini secara umum kemampuan mengingat dan memahami lebih dikuasai oleh siswa dibandingkan kemampuan mengaplikasi dan menganalisis. Hasil belajar siswa meningkat dari hasil belajar siswa sebelum menggunakan model pembelajaran. Hal ini dikarenakan pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TPS yang digunakan pada saat proses pembelajaran. Tingkat kemampuan berfikir terbagi dua yaitu kemampuan berfikir tingkat tinggi dan kemampuan berfikir tingkat rendah. Pada penelitian ini kemampuan berfikir tingkat rendah lebih dikuasai siswa dibandingkan kemampuan berfikir tingkat tinggi. Berikut ini akan dibahas mengenai analisis empat aspek kognitif, yaitu kemampuan mengingat (C1), kemampuan memahami (C2), kemampuan mengaplikasi (C3) dan kemampuan menganalisis (C4). 4.2.1 Kemampuan Mengingat (C1) Mengingat melibatkan pengambilan pengetahuan dari memori jangka panjang ketika diminta untuk menjawab pertanyaan. Ada enam soal yang dibuat untuk kemampuan mengingat. Masing-masing soal dapat mewakili tiap-tiap indikator, pada soal tersebut siswa dituntut agar mampu mengingat kembali apa yang telah dipelajari sebelumnya. 4.2.2 Kemampuan Memahami (C2) Ada enam soal yang diberikan kepada siswa untuk mengukur kemampuan memahami. Pada soal tersebut diharapkan siswa dapat memahami materi larutan elektolit dan non elektrolit. Berdasarkan pengolahan data pada soal kemapuan memahami (C2) dapat diketahui bahwa nilai rata-rata jawaban hasil tes siswa pada kemampuan memahami (C2) adalah 83.33%. Hal tersebut berarti bahwa penguasaan kemampuan memahami (C2) siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS ini mencapai tingkat penguasan sangat baik. 4.2.3 Kemampuan Mengaplikasi (C3) Kemampuan mengaplikasi siswa diukur melalui pertanyaan pada tingkatan mengaplikasi (C3). Ada enam soal yang digunakan untiuk mengukur kemampuan mengaplikasi ini. Dari jawaban siswa kemudian dianalis berapa rata-rata jawaban siswa menjawab benar pada soal tersebut. Pada soal ini diharapkan siswa mampu menerapkan dan mengaplikasikan materi larutan elektrolit dan non elektrolit. Berdasarkan pengolahan data pada soal mengaplikasi (C3) dapat diketahui bahwa nilai rata-rata jawaban hasil tes siswa pada domain mengaplikasi (C3) adalah 66.66%. Hal tersebut berarti bahwa penguasaan domain mengaplikasi (C3) siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS ini mencapai tingkat penguasan baik. 4.2.4 Kemampuan Menganalisis (C4) Ada delapan soal yang diberikan kepada siswa untuk mengukur kemampuan menganalisis ini. Salah satu bentuk soalnya yaitu “semua larutan yang dicelupkan elektroda nya dan dihubungkan kelampu memiliki data yaitu lampu tidak menyala dan timbul gelembung gas. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa” pada soal tersebut diharapkan siswa mampu menganalisis soal tersebut, hal ini berarti siswa diharapkan mampu menganalisis materi larutan elektrolit dan non elektrolit. Berdasarkan pengolahan data pada soal tingkatan analisis (C4) dapat diketahui bahwa jumlah jawaban benar hasil tes siswa pada kemampuan menganalisis (C4) adalah 50%. Hal tersebut berarti bahwa penguasaan menganalisis (C4) siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS ini mencapai tingkat penguasan cukup. Pembelajaran kimia di SMA Dharma Bhakti 4 Jambi biasanya diajarkan dengan model pembelajaran yang berpusat pada guru. Dari hasil wawancara bahwa model pembelajaran tersebut membuat proses pembelajaran menjadi menjenuhkan. Oleh karena itu untuk mengatasi kejenuhan dan untuk meningkatkan keaktifan siswa, merupakan suatu pembelajaran yang inovatif bagi siswa untuk memahami pembelajaran kimia khususnya materi larutan elektrolit dan non-elektrolit. Model pembelajaran kooperatif tipe TPS merupakan model pembelajaran untuk menghasilkan sebuah pembelajaran yang kreatif. Model pembelajaran kooperatif tipe TPS membuat siswa lebih aktif untuk berdiskusi dengan teman sebangku, sehingga mereka dapat bertukar pikiran untuk membahas suatu persoalan khususnya tentang materi larutan eleketrolit dan non elektroloit. Dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS ini hendaknya siswa harus membangun pengetahuannya sendiri, dengan cara berdiskusi untuk memecahkan suatu masalah yang diberikan oleh guru. Hal ini sesuai dengan teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus mencari dan menemukan sendiri serta mentransformasikan informasi secara utuh, memeriksa informasi baru dengan aturanaturan lama dan merevisinya apabila aturanaturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar bisa lebih mengerti, memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus berusaha mencari solusi dalam suatu masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan menyumbangkan pendapat atau gagasan dalam suatu permasalahan (Slavin dalam Nur, 2000). Siswa harus membangun pengetahuannya sendiri sedangkan guru berperan untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung bagi terciptanya pengetahuan yang baru. Piaget dalam Dimyati dan Mudjiono (2009) berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu, sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan. Menurut Ibrahim dan Nana Syaodih (2003) pembelajaran berintikan interaksi antara guru dengan siswa. Dalam interaksi ini, guru melakukan kegiatan mengajar dan siswa belajar. Dari hasil dan pembahasan diatas, terlihat bahwa kemampuan aspek kognitif siswa kelas X SMA Dharma Bhakti 4 Jambi dalam setiap aspek cukup beragam. Kemampuan yang paling baik dikuasai siswa yaitu kemampuan mengingat dan memahami dengan nilai rata-rata 83.33%, dengan kriteria kemampuan sangat baik sedangkan urutan kedua yang ditempati yaitu kemampuan mengaplikasi yaitu dengan nilai rata-rata 66.66% dengan kriteria kemampuan baik, ketiga ditempati kemampuan menganalisis dengan nilai ratarata 50% dengan kriteria cukup. Dalam hal ini kemampuan menganalisis ini termasuk kemampuan tingkat tinggi. Dalam penelitian ini kemampuan berfikir tingkat rendah lebih dikuasai siswa dibandingkan kemampuan tingkat tinggi. Rata-rata nilai kemampuan mengingat dan memahami lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan megaplikasi dan menganalisis. Menurut Sudjana (2010), hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Jika dikaji lebih mendalam, maka hasil belajar dapat tertuang dalam taksonomi Bloom, yakni dikelompokkan dalam tiga ranah (domain) yaitu domain kognitif atau kemampuan berpikir, domain afektif atau sikap, dan domain psikomotor atau keterampilan. Untuk mengetahui hasil belajar seseorang dapat dilakukan dengan melakukan tes dan pengukuran. Tes dan pengukuran memerlukan alat sebagai pengumpul data yang disebut dengan instrumen penilaian hasil belajar. Menurut Wahidmurni, dkk. (2010), instrumen dibagi menjadi dua bagian besar, yakni tes dan non tes. Penyebab rata-rata mengingat dan memahami lebih tinggi anatara lain yaitu taraf berfikir siswa lebih banyak abstrak dari pada konkrit. Hal ini dapat disebabkan penggunaan media dalam proses pembelajaran. Media sangat juga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Edgar Dale dalam kerucut pengalamannya. Kerucut pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar Dale memberikan gambaran bahwa pengalaman belajar yang diperoleh siswa dapat melalui proses perbuatan atau mengalami sendiri apa yang dipelajari, proses mengamati dan mendengarkan melalui media tertentu dari proses mendengarkan melalui bahasa. Semakin konkrit siswa mempelajari bahan pengajaran, contohnya melalui pengalaman langsung maka semakin banyak pengalaman yang diperolehnya. Sebaliknya semakin abstrak siswa memperoleh pengalaman contohnya hanya mengandalkan bahasa verbal maka semakin sedikit pengalaman yang akan diperoleh siswa. (http://assabab.wordpress.com/) Selanjutnya berdasarkan kerucut pengalaman Dale hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (konkrit) berdasarkan kenyataan yang ada dilingkungan hidupnya, kemudian melalui benda-benda tiruan dan selanjutnya sampai kepada lambang-lambang verbal (abstrak). Berdasarkan kerucut pengalaman Dale, semakin keatas puncak kerucut semakin abstrak media penyampai pesan itu. Berikut gambar kerucut pengalaman Dale. Pada kerucut pengalaman Dale, pengalaman belajar siswa hanya 10% dari yang dibaca, 20% dari yang didengar, 30% dari yang dilihat. Berarti siswa hanya memiliki pengalaman belajar yang sedikit jika siswa hanya membaca buku, mendengarkan informasi pengetahuan atau melihat gambar tentang materi pelajaan. Hal ini megakibatkan siswa hanya memiliki pengalaman belajar verbal. Pengalaman belajar verbal menjadikan siswa hanya berfikir abstrak sehingga siswa lebih mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan pada aspek kognitif mengingat dan memahami dari pada aspek kognitif lainnya. Sesuai dengan data Penelitian soal-soal tentang kemampuan mengingat dan memahami lebih mudah dijawab siswa dari pada soal-soal mengaplikasi dan menganalisis. Kemudian untuk kemampuan menganalisis siswa lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan mengingat, memahami dan menaplikasi. Hal ini juga disebabkan oleh kebiasan dalam proses belajar dan mengajar masih menggunakan strategi yang kurang meningkatkan kemampuan berfikir siswa dan kurangnya pengalaman belajar siswa. Oleh karena itu agar pembelajaran dapat memberikan pengalaman yang lebih berarti bagi siswa, maka perlu dirancang model pembelajaran yang dapat membawa siswa kepada pengalaman yang lebih konkrit. Hal ini karena setiap siswa mempunyai cara yang optimal dalam mempelajari informasi tertentu (Deporter dan M. Hernacki.2002:110). Beberapa siswa perlu diberikan cara-cara yang lain yang berbeda dengan metode mengajar pada umumnya. Oleh karena itu guru di tuntut dapat mengembangkan kreativitas untuk menerapkan dan mengembangkan model pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kemampuan berfikir, daya analisis dan hasil belajar siswa. Siswa membutuhkan pengalaman belajar yang berkualitas untuk bisa memiliki kemampuan berfikir mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi serta mencipta. Karena berdasarkan kerucut pengalaman Dale, siswa akan memiliki 90% pengalaman belajar dari pengalaman langsung siswa itu sendiri. Pengalaman langsung adalah pengalaman yang diperoleh siswa sebagai hasil dari aktivitas sendiri. Siswa mengalami pencapaian tujuan, siswa berhubungan langsung dengan objek yang dipelajari tanpa menggunakan perantara. Karena pengalaman langsung inilah maka ada kecendrungan hasil yang diperoleh siswa menjadi konkrit sehingga akan memiliki ketetapan yang tinggi. Hal ini mengakibatkan siswa memiliki kemapuan menganalisis yang tinggi, ini telah dijelaskan dalam teori pandangan kolb terhadap belajar yaitu pengalaman konkrit. pada tahap Penyebab lain dari rendahnya kemampuan tingkat tinggi siswa yaitu pada saat penyusunan intrumen tes hasil belajar guru hanya mengukur aspek kognitif dari pengetahuan, pemaham dan jarang sekali menggunakan aspek kognitif yang lebih tinggi lainnya, serta kurang nya latihanlatihan soal yang mengukur soal pada kemapuan mengaplikasi dan menganalisis, hal ini dijelaskan pada wawancara dengan guru bidang studi yang ada di SMA tersebut. Berdasarkan analisis kemampuan siswa dalam penguasaan aspek kognitif perindikator pembelajaran, nilai rata-rata tertinggi yang terdapat pada indikatator keempat yaitu menjelaskan penyebab kemampuan larutan elektrolit menghantarkan arus listrik dengan nilai ratarata 80,43, kedua ditempati indikator ketiga yaitu mengelompokan larutan kedalam larutan elektrolit berdasarkan sifat hantaran listriknya dengan nilai rata-rata 78,25, urutan ketiga yaitu pada indikator ke enam menentukan larutan elektrolit senyawa ion dan senyawa kovalen yaitu 73,91, selanjutnya pada indikator ke dua yaitu mengidentifikasikan sifat-sifat larutan elektrolit dan non elektrolit melalui pengamatan hasil percobaan dengan nilai rata-rata 70,43. Urutan kelima yaitu pada indikator kelima mendeskripsikan bahwa larutan elektrolit dapat berupa senyawa ion dan senyawa kovalen polar dengan nilai rata-rata 66,96. Terakhir yaitu pada indikator pertama menentukan sifat-sifat larutan elektrolit dan non elektrolit melalui percobaan dengan nilai rata-rata 60,86 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Aspek kognitif siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada materi larutan elktrolit dan non elektrolit SMA Dharma Bhakti 4 Jambi yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kemampuan aspek kognitif siswa ratarata dalam Mengingat (C1) tergolong sangat baik. 2. Kemampuan aspek kognitif siswa ratarata dalam Memahami (C2) tergolong sangat baik. 3. Kemampuan rata-rata aspek kognitif siswa dalam Mengaplikasi (C3) tegolong baik. 4. Kemampuan rata-rata aspek kognnitif siswa dalam Menganalisis (C4) tergolong cukup. Hal inidikarenakan taraf berfikir siswa lebih banyak abstrak dari pada konkrit. 5. Kemampuan Mengingat, Memahami, dan Mengaplikasi siswa lebih tinggi dari pada kemampuan Menganalisis. 6. Kemampuan aspek kognitif siswa dikelas X SMA Dharma Bhakti 4 Jambi dikategorikan baik dengan penerapan model Think Pair Share. DAFTAR RUJUKAN Anonim. 2012. Teori Belajar dan Teori Pembelajaran. http://psbpsma.org/content/blog/4268teori-belajar-dan-teoripembelajaran. Diakses pada tanggal 17 November 2013. Arifin. 2010. Strategi Belajar Mengajar Kimia. Jakarta: Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Bahanrudin dan Wahyuni, E.N. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. Dahar, Ratna Wilis. 2010. Teori-Teori Belajar Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga. Dimyati dan Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas. Djamarah, Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Karsa,. Isjoni. 2009. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Johari dan Rahnawati. 2007. Kimia I. Jakarta: Esis Muhli, A. 2011. Keefektifan Pembelajaran. http://ahmadmuhli.wordpress.co m/2011/08/02/efektivitaspembelajaran/. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2013. Rustman, N. 2001. Strategi Belajar Mengajar. http://sdbinatalenta.com/arsipartikel/artik el.pdf. Diakses pada tanggal 1 november 2013. Slavin dan Nur. 2010. Cooperatif Learning. USA. Allyn and Bacon. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta. Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosda Karya. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Tirman. 2012. Pengembangan RPP.http://tirman.wordpress.com /pengembangan-rpp/. Diakses pada tanggal 22 Oktober 2013. Trianto. 2012. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Prestasi Pustaka. http://www.cdl.org/resourcelibrary/articles/highorderthinking .php. Diakses pada tanggal 10 Maret 2014. http://assabab.wordpress.com/. Diakses Pada tanggal 10 Maret 2014.