Ruang-ruang Kehidupan Pemukiman masyarakat Tompu terletak di pegunungan di sebelah timur Kota Palu, pada ketinggian kurang-lebih antara 600 – 1000 meter dari permukaan laut. Pemukiman mereka berpencar dalam beberapa kelompok kecil. di Kalinjo, Kambilo, Tana Menggila, Taipa Mate, Pasanggaraha, Lumbuoge, Vilo, Bulili, Bobo dan Tobara. Satuan-satuan pemukiman tersebut relative kecil.. Sebagai contoh, Kalinjo dan Kambilo adalah unit pemukiman terbesar dibanding yang lain, namun sampai tahun 2009 di Kalinjo hanya ada 31 KK dan di Kambilo hanya ada 16 KK. Satuan-satuan pemukiman tersebut dihubungkan oleh jalan-jalan setapak yang sebagian besar hanya dapat dilewati oleh pejalan kaki. Pemukiman yang tersebar tersebut berkaitan erat dengan topografi yang bergunung-gunung dan lokasi perladangan yang berpencar. Kehidupan masyarakat Tompu sangat tergantung pada tanah dan alam di sekitarnya, seperti berladang, mencari hasil hutan dan berburu hewan. Kehidupan seperti itu membutuhkan ruang dengan vegetasi bervariasi. Kehidupan Orang Tompu pada umumnya “berkisar antara” boya, talua, bonde,oma, pangale dan vana. Boya adalah tempat pemukiman yang cenderung menetap, dimana rumah-rumah penduduk mengelompok dalam jumlah yang relative kecil, tidak berjejer atau berbaris seperti rumah di desa-desa yang dilalui jalan raya. Rumah di sebuah Boya pada umumnya adalah rumah panggung yang biasanya mempunya ruang untuk menerima tamu, ruang tidur dan dapur., yang disebut sou. Tiang-tiang sou dibuat dari kayu yang cukup besar dan berbentuk persegi, diletakkan di atas batu sebagai pondasinya, seperti rumah panggung penduduk pedesaan di Sulawesi Tengah pada umumnya. Bahan bangunan sou pada umumnya diambil dari hutan yang ada di Tompu, seperti kayu, rotan, bamboo.1 Saat ini setidaknya ada tiga permukiman penduduk yang cenderung menetap, yaitu Kalinjo, Kambilo dan Pasanggaraha. Di tiga tempat pemukiman tersebut sudah ada bangunan permanen berupa rumah ibadah, sekolah atau balai pertemuan 1 Saat ini ada beberapa buah rumah penduduk yang sudah menggunakan pondasi beton atau seng yang dibeli dari Palu. (bantaya). Talua adalah ladang padi. Pengelolaan talua dilakukan dengan pola pertanian gilir-balik. Selain Padi, di talua terdapat beberapa tanaman pangan lainnya seperti lombok, jagung, ubi kayu, labu, tomat, bawang, kacang panjang, terung, dan sebagainya. Ini terlihat hampir disetiap talua kepunyaan orang tompu. Di talua juga tumbuh aneka macam jamur dan tumbuh-tumbuhan lainnya yang dapat dimakan. Penyebutan talua hanya pada saat pembukaan lahan hingga panen padi. Pasca panen dan mulai ditinggalkan maka penyebutan talua berubah menjadi bonde yang artinya bekas ladang. Walaupun penyebutannya bonde, namun pada umumnya masih meninggalkan tanaman berupa lombok, jagung, ubi dan labu. Dengan demikian, orang tompu dalam melakukan pengelolaan talua hanya menanam padi sebanyak sekali dan baru mengulanginya di tempat yang sama setelah kurang-lebih lima tahun kemudian. Sementara tanaman lainnya dapat ditanam sebanyak dua kali dilahan yang sama. Setelah selesai panen padi, lahan tersebut biasanya ditanami dengan tanaman pangan lainnya seperti lombok, jagung, ubi dan lain – lain dan setelah tanaman pangan tersebut selesai dipanen, lahan tersebut dibiarkan “beristirahat” selama kurang-lebih lima tahun dan menjelma menjadi semak-semak atau hutan. Mengapa padi tidak ditanam secara berulang atau dua tahun berturut-turut di tempat yang sama ? Jawab Orang Tompu, dalam bahasa kaili : “ madosa kita nte tana “ ( kita akan berdosa terhadap tanah. Bonde, adalah lahan bekas ladang padi. Di bonde, tumbuh bercampur-baur aneka tanaman pangan berupa lombok, tomat, ubi kayu dan sayur- sayuran serta ilalang. Disini sudah ada aneka tumbuhan yang kelak akan tumbuh menjadi pohon-pohon besar yang akan mendominasi tumbuhan di lahan tersebut. Saat ini cukup banyak bekas ladang padi yang dijadikan kebun coklat atau kopi dan oleh penduduk setempat tetap disebut bonde. Selanjutnya, pohon-pohon semakin besar dan rindang, dedaunan jatuh dari pohon menutupi tanah hingga sulit ditembus oleh sinar matahari. Tak ada lagi ilalang dan tumbuhan perdu cenderung sangat sedikit, tanah tempat semakin lembab. Maka bekas lahan padi (talua) yang tadinya berubah menjadi bonde, kini disebut oma, yang pada gilirannya kembali menjadi talua ketika lahan itu menjadi ladang padi. Siklus itu selalu berulang, kecuali bila lahan itu ditanami dengan tanaman-tanaman keras seperti kopi dan coklat. Selain di boya, sebagian besar kehidupan Orang Tompu berada di talua, bonde dan oma. Pangale adalah hutan lebat yang ditumbuhi beraneka ragam pohon. Setelah talua, bonde,oma, pangale adalah tempat yang paling sering didatangi oleh Orang Tompu. Bahan ramuan bangunan rumah, bahkan makanan, banyak diperoleh dari pangale. Bagi Orang Tompu, satu jenis tumbuhan bisa banyak manfaatnya. Rotan misalnya, batangnya dapat dipakai sebagai bahan pengikat sambungan bangunan sou, daunnya dipakai sebagai atap sou, umbutnya dapat dibuat sayur. Tamu-tamu yang datang ke Tompu seringkali dusuguhi sayur umbut rotan. Pangale, juga adalah tempat berburu hewan untuk dimakan. Hutan rimba yang lebih lebat daripada pangale, disebut Vana dimana banyak tumbuh pohon-pohon damar. Letaknya jauh dari pemukiman (boya). Sejak dahulu kala, penduduk Tompu sudah biasa mengambil getah damar untuk dijual di pasar-pasar terdekat. Pohon-pohon damar di vana, tumbuh bercampur-baur dengan pohon-pohon lainnya. Pada umumnya Orang Tompu mempunyai pohon damar di vana. Vana jarang sekali dikunjungi oleh masyarakat Tompu, antara lain karena pada saat ini harga komoditas damar kurang menguntungkan. Meski pun demikian, sampai saat ini belum ada ditemukan seorang pun Orang Tompu yang berpikir untuk mengubah Vana dan Pangale menjadi pemanfaatan lainnya seperti tempat berladang atau permukiman. Rupanya, vegetasi hutan adalah bagian penting sebagai ruang kehidupan Orang Tompu.