Mebui dan Vunja Dalam wawasan Orang Tompu, bumi bukan hanya dihuni oleh manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Tetapi juga dihuni oleh “makhluk-makhluk” yang tidak kasat mata. Hubungan harmonis antar “makhluk-makhluk” tersebut dengan manusia, adalah situasi yang diidam-idamkan, karena hubungan yang tidak harmonis akan mengakibatkan rusaknya keseimbangan kosmos. Hal mana dapat berakibat buruk terhadap manusia. Ketika ada anggota komunitas yang terkena penyakit tertentu yang tidak biasa, atau gagal panen (karena banyak hama yang menyerang tanaman atau karena cuaca yang tidak menentu), atau terjadi bencana, Orang Tompu cenderung membathin dan mencoba berefleksi mencari kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan yang mereka perbuat. Kesalahan, bisa diperbuat terhadap alam dan makhluk hidup yang kasat mata. Bisa juga diperbuat terhadap “makhluk” yang tidak kasat mata atau roh. Kesalahan-kesalahan itu, bisa menimbulkan kemarahan atau ketersinggungan yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan kosmos dan pada gilirannya menimbulkan berbagai peristiwa yang merugikan masyarakat. Menghadapi situasi seperti itu, tindakan yang dilakukan adalah melakukan komunikasi dan meminta maaf kepada pihak-pihak yang tersinggung atau marah karena perbuatan manusia. Dalam hal panen gagal oleh sebab-sebab tersebut di atas, pihak atau “makhluk” yang tersinggung atau marah adalah anitu ri tana dan anitu ri laerava. Anitu ri tana, secara maknawi berarti anitu dunia bawah. Sebenarnya ada banyak anitu di dunia bawah, akan tetapi yang dimaksud dalam hal ini adalah anitu yang menjaga tanaman, hutan dan sumber-sumber mata air. Atau, dalam ungkapan bahasa kaili di Tompu : anitu nombatande dunia (anitu yang menyangga bumi). Adapun anitu ri laerava biasa juga disebut anitu nanuru, adalah anitu dunia atas yang mengendalikan pergerakan bulan, bintang dan matahari, termasuk mengendalikan musim hujan dan musim kemarau. Untuk memperbaiki kembali hubungan dengan anitu-anitu tersebut, Orang Tompu melakukan upacara adat mebui dan vunja. Dengan demikian maka komunikasi dan perbaikan hubungan dilakukan sekaligus, baik secara horizontal dengan anitu dunia bawah maupun secara vertical dengan anitu dunia atas. Tangga yang menjadi bagian dari konstruksi pebui (tempat sajian pada saat mebui dan vunja), adalah symbol yang menghubungkan dunia atas dengan dunia bawah. Mebui , dilaksanakan pada saat membuka hutan untuk perladangan padi. Pada saat itu pemilik ladang melalui gane (mantra) meminta maaf kepada para anitu atas kesalahan-kesalahan yang mungkin pernah dilakukannya ; mengundang para anitu menghadiri upacara mebui sambil menikmati sajian makanan dan minuman yang disediakan ; berjanji kepada para anitu bahwa bila nanti panen berhasil, akan dilaksanakan upacara vunja, pada saat mana para anitu akan diundang kembali, untuk turut serta dalam upacara. Dengan janji tersebut, diyakini bahwa para anitu akan membantu terlaksananya panen raya padi ladang. Dari sisi lain, bila panen raya terlaksana tetapi janji tersebut tidak dilaksanakan, maka akan terjadi bencana yang menimpa pemilik ladang tersebut. Upacara mebui penuh dengan ungkapan simbolik, baik melalui konstruksi pebui maupun benda-benda yang diletakkan di atasnya, antara lain : 1. Kayu Lampeuju, wajib ditempatkan sebagai salah sartu tiang konstruksi pebui. Kayu ini sangat penting sehingga tidak boleh digantikan dengan kayu jenis yang lain, sebab kayu tersebut adalah salah satu jenis kayu “ ulu jadi “, yaitu tumbuhan generasi pertama di dunia. Keberadaannya adalah symbol keberlanjutan hidup manusia. Kayu Lampeuju, digunakan dalam beberapa upacara adat misalnya upacara adat pernikahan. 2. Gasing ( Gasi ), digantung pada empat (4) sudut pebui sebagai symbol atau contoh besarnya bulir padi yang diharapkan. Digantung pada keempat sudut pebui agar ketika anitu datang yang akan pertama kali dia lihat adalah gasing. Ini dimaksudkan sebagai contoh buahnya vunja yang akan dilaksanakan setelah panen nantinya. Sehingga dalam pelaksanaan upacara vunja nantinya gasing telah diganti dengan ketupat sebagai buah vunja. 3. Parang ( Taono ) adalah contoh alat yang akan digunakan dalam membuka ladang nantinya. Parang yang dibuat dalam ritual mebui sebanyak dua buah yang semuanya terbuat dari kayu dan akan diletak-kan pada lantai pebui Pisau ( Ladi ). Pisau juga akan diletakan bersama parang pada lantai pebui. Makna pisau adalah menerangkan bahwa yang bekerja bukan saja mereka (Laki – laki) yang menggunakan parang, tetapi mereka (perempuan) yang menggunakan pisau juga bekerja. 4. Tangga : Ini menggambarkan jalan naik atau turun para Anitu, serta simbol hubungan antara tanah dan langit. Tangga sebagai pintu masuk pada pebui harus menghadap kearah timur dan jumlah tangga diartikan sebagai rumah Anitu tanah, Anitu kayu dan To manuru. 5. Air enau ( Tule) dalam bambu : Air minum untuk Anitu 6. Daun Mayapo ( Tava Mayapo ) : Daun mayapo tidak boleh diganti dengan jenis daun lainnya. Ini adalah tempat makan orang tua dulu, sebelum dikenal adanya piring. Yang dibungkus mengunakan daun mayapo ini ada dua (2) jenis makanan yaitu beras dan jagung. Untuk membungkus beras dan jagung yang digunakan pada bagian bawah daun. 7. Beras, Jagung dan Bailo : Makna dari adanya Beras, jagung, dan bailo adalah makanan sekaligus pula menjadi obat atau dapat menghindarkan penyakit. Bila tidak ada ketiga jenis makanan ini Anitu akan marah dan tanda – tanda bila terjadi dengan kita akan muncul penyakit seperti : 8. Kalau tidak ada Beras : bisa mendatangkan penyakit muntah – muntah dan buang air besar yang bercampur darah. Kalau tidak ada Bailo : bisa mendatang penyakit gampa/penyakit kulit berbintik – bintik kecil/bisul Kalau tidak ada jagung : bisa mendatangkan penyakit torokana / bisul yang besar Toko atau Tombak ; maknanya adalah mengembalikan penyakit keasalnya ( mompoura dua ) yang diakibatkan oleh angin Timboro dan angin Bara. ( Dua Timboro dan dua Bara ). Sedangkan bambu Volovulu yang digunakan untuk tangkai tombak menjelaskan bahwa bambu volovulu ini tumbuh sangat lebat, ini dimaksudkan seperti itulah banyak Anitu yang ada. 9. Sinjulo atau disebut juga Pangga : Kantung kecil yang terbuat dari kulit pohon Nunu ( Beringin ). Sinjulo/pangga digantung pada empat sudut pebui, yang masing – masing sinjulo didalamnya terdapat empat jenis makanan. Dua buah sinjulo terdapat beras biasa, satu buah sinjulo berisi beras jagung dan satu lagi didalamnya berisi bailo. Sinjulo bermakna bahwa adat ada tetapi tidak dilihat. 10. Warna hitam, kuning dan putih pada parang dan pisau : Hitam ( Menggunakan Arang ) : artinya Kabut hitam yang menjadikan hujan Kuning ( Mneggunakan Kunyit ) : artinya Petunjuk atau perantara Putih ( Menggunakan kapur sirih ) : artinya Hati yang bersih 11. Bendera : adalah tanda penghargaan dan penghormatan untuk Anitu agar supaya datang untuk makan sekaligus menyembuhkan penyakit baik pada manusia maupun gangguan terhadap tanaman. Benderanya terbuat dari kulit kayu Nunu ( Kulit pohon beringin ). 12. Makanan yang diletakan pada daun pisang dibagi menjadi lima bagian. Tiap bagian merupakan gabungan dari nasi putih, beras jagung, bailo, hati ayam dan telur ayam. Lima bagian dimaksudkan untuk : To manuru, Anitu tanah, Anitu kayu, Viata dan Dua ( Penyakit ). Hal ini berkaitan dengan gambaran diladang nantinya. ( Terdapat 4 sudut ladang dan 1 terdapat di tengah – tengah ladang ) 13. Dalam bangunan pebui terlihat ada dua (2) bagian yakni bagian atas dimaksudkan untuk makanan yang disajikan pada To Manuru dan Anitu yang menghuni Laerava (....? ) dan dibawah untuk Anitu yang menghuni ditanah dan dikayu. 14. Jumlah ayam yang disembelih dalam ritual mebui menunjukkan jumlah orang sakit atau mereka yang meniatkan untuk membuat ritual mebui. Bila yang meniatkan untuk membuat ritual mebui masih memiliki hubungan pertalian darah diperbolehkan hanya memberikan se-ekor ayam hajatan untuk disembelih, namun ini hanya berlaku jika mereka berbeda jenis kelamin ( Laki – laki dan perempuan ). Bila mereka memiliki kesamaan jenis kelamin walaupun masih memiliki hubungan pertalian darah, itu tidak diperbolehkan hanya se-ekor ayam saja tetap menyediakan masing – masing se-ekor ayam. 15. Arah Ayam yang telah mati disembelih tidak diperbolehkan jika saat matinya kepalanya mengarah ke arah barat. Jika ini terjadi maka ayam tersebut harus diganti dengan ayam lain- nya. Karena ini pertanda bahwa Anitu tidak menerima ayam tersebut. 16. Bila telur yang dimasak tidak utuh atau berair saat kulitnya dikelupas ini diartikan bahwa Anitu tidak menerimanya atau pertanda buruk jika diteruskan olehnya telur harus diganti dengan telur lainnya. Telur adalah media komunikasi antara manusia dan anitu, viata dan to manuru. 17. Beras dan beras jagung yang dimasak dengan dibungkus menggunakan daun mayapo bila dibuka berair tidak boleh disajikan maka harus diganti pula atau dimasak kembali. Sebab hal ini pertanda buruk dan anitu tidak menerimanya. Ilustrasi Tentang Ritual Vunja ( Didasarkan Hasil Wawacara Dengan Orang Tompu ) Ritual vunja adalah ungkapan rasa terima kasih atas hasil panen ladang tanpa ada gangguan. Kemudian vunja merupakan proses kelanjutan atau melaksanakan janji pada To manuru dan Anitu pada saat dilakukannya ritual pebui. Pelaksanaan Vunja dilakukan oleh mereka atau orang yang memiliki garis keturunan Vunja. Maksudnya keturunan Vunja yaitu mereka atau orang yang diyakini berasal dari Tanah ( Nebete dako ritana ) dan secara turun temurun leluhurnya (orang tuanya) sudah melakukan upacara ritual Vunja. Vunja hanya dapat terlaksana jika ada seseorang keturunan Vunja yang mempunyai hajat (Jelas orang yang melaksanakan) Dalam hal ini, keturunan Vunja diposisikan sebagai pemilik penyakit. Tetapi mereka yang bukan keturunan jika diundang dalam pelaksanaan Vunja juga akan hadir dan berpartisipasi. Pelaksanaan Vunja bertujuan menepati janji serta meminta Anitu agar tidak lagi mendatangkan penyakit atau hama pada tanaman. Jika tahapan awal (1) sudah dibuka atau dilaksanakan Vunja maka wajib untuk menyelesaikan sampai tahapan terakhir ( penutup vunja, 5 ). Jika orang yang melaksanakan vunja belum mencapai tahap akhir karena telah meninggal dunia maka keturunan vunja ( anak dan cucu ) wajib untuk melanjutkannya sampai selesai. Dalam masyarakat tompu tahapan pelaksanaan Vunja antara lain : Pertama Kedua Ketiga Ke-empat Kelima : Menggunakan Bambu Biasa ( Bolo Vatu ) ukuran kecil : Menggunakan Bambu Biasa ( Bolo Vatu ) ukuran sedang : Menggunakan Kayu Sampinokio ukuran kecil : Menggunakan Kayu Sampinokio ukuran besar : Menggunakan Bata Mpangana Atau : Pertama Kedua Ketiga Ke-empat Kelima : Menggunakan Bambu batu ( Bolo Vatu ) ukuran kecil : Menggunakan Bambu batu (Bolo vatu) ukuran sedang : Menggunakan Kayu Sampinokio ukuran kecil : Menggunakan Kayu Sampinokio ukuran besar : Menggunakan Bambu batu ( bolo vatu ) yang ukurannya seperti pada bambu batu yang pertama Tupuntana tumo mepakadua Anitu ntana panaumo komiu. Mentako mai tonji mentako mai Kavamo mai yamamore. I siti muna nggutendemo. Yamamore nemo mokalelo Rintatongona isimaniu Isimaniu rintatongona