I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris. Sebagian besar penduduknya hidup dari sektor pertanian, makanan pokok orang Indonesia adalah beras. Dominasi beras atas sumber daya pangan lainnya di Indonesia dapat ditemukan dalam istilah-istilah lokal seperti “palawija” (Sansekerta: phaladwija) yang harfiahnya berarti sesuatu yang bukan beras (sekunder) atau pangan kelas dua, sesuatu yang terkonstruksikan secara budaya (culturally constructed) (Van der Eng dalam Lassa 2010). Van der Eng dalam Lassa (2010) juga menyebutkan bahwa beras telah menjadi sumber pangan dominan yang tercermin dari 50% total konsumsi nasional. Hari ini, 96% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras ketimbang sumber pangan lainnya (Simatupang, 1999). Ketercukupan pangan tidak hanya diartikan sebatas kecukupan kebutuhan beras saja. Melainkan ketersediaan pangan dalam arti luas. Yakni mencakup pangan dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein dan lemak, vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. jumlah yang dikonsumsi harus memenuhi standar yang ditetapkan. Artinya, pangan yang tersedia untuk dikonsumsi dapat memenuhi standar kebutuhan energi minimal 2.000 kkal/kapita/hari, protein 52 gram/kapita/hari, dan 2.200 kkal/kap/hari serta 57 gr/kap/hr untuk tingkat ketersediaan. Mutunya diartikan pangan yang tersedia untuk dikonsumsi, tidak hanya satu macam, tetapi beranekaragam dan dikonsumsi secara seimbang (Ali, 2009). Sebagai sumber pangan utama, kebutuhan beras seharusnya dapat dipenuhi secara swasembada. Pada kenyataannya produk pangan domestik tidak bisa memenuhi permintaan konsumen akan beras. Untuk mencukupi kebutuhan akan beras maka pemerintah Indonesia memberlakukan berbagai kebijakan untuk memperkuat ketahanan pangan domestik secara berkelanjutan. Berbagai upaya untuk menjaga ketahanan pangan terus dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan menekan laju konversi tanah pertanian. Indonesia memiliki luas daratan kurang lebih 190.923 juta Ha, seluas 70,8 juta Ha atau 37,1 % telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan budidaya seperti sawah, pertanian lahan kering, perkebunan, budidaya non pertanian (permukimam, industri, tambang dan lain-lain) serta penggunaan tanah lainnya (ladang, semak, padang rumput dan lain-lain). Seluas 120,2 juta Ha atau 62,9 % masih berupa hutan seperti hutan lebat, sejenis, dan hutan belukar (Dit. PGT BPN-RI, 2007). Luas penggunaan tanah sawah di Indonesia adalah 8.580.044 Ha (Isa, 2010). Sedangkan penggunaan tanah sawah terluas yaitu di Pulau Jawa adalah 4.153.849 Ha atau 32,69 % dari total luas daratan pulau Jawa, dengan alokasi terbesar di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dengan luas areal sawah tersebut, Pulau Jawa menjadi daerah penyumbang produksi padi nasional terbesar (Dit. PGT BPN-RI, 2009). Penyediaan pangan domestik, dalam hal ini kebutuhan cadangan beras, tidak dapat dipenuhi dengan ketersediaan lahan pertanian tersebut di atas. Luas areal persawahan yang ada tidak mencukupi untuk mewujudkan swasembada beras karena produktivitasnya rendah. Permasalahan lain adalah lahan sawah yang ada mengalami penyusutan secara terus menerus. Penyusutan tanah sawah ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: desakan pertambahan jumlah penduduk, perkembangan sektor industri, kepentingan antara sektor (permukiman, pariwisata, dan sektor lainnya) yang saling tumpang tindih, fragmentasi tanah pertanian, dan degradasi lingkungan, serta adanya faktor perencanaan yang salah. Alih fungsi tanah menjadi perumahan dan industri berdasarkan penggunaan tanah sebelumnya sebesar 65,7% berasal dari tanah sawah (Isa, 2010). Isa (2010), menyatakan bahwa secara nasional, dalam kurun waktu 1994 – 2004 luas sawah mengalami sedikit peningkatan, yakni dari hasil pencetakan sawah baru di Pulau Sumatera, namun pada kurun yang sama terjadi penyusutan luasan sawah berkualitas tinggi di wilayah Jawa dan Bali yang selama ini menyumbang kebutuhan beras nasional yang terbesar. Penyusutan dalam periode itu mencapai 36.000 Ha atau sekitar 3.600 Ha/tahun. Dalam kurun tahun 1998-2004 pertambahan luas penggunaan tanah untuk industri dan pemukiman adalah kurang lebih 74 ribu hektar. Seluas 49 ribu hektar atau lebih dari 65,7% dari pertambahan luas tersebut adalah berasal dari tanahtanah sawah (Isa, 2010). Penyusutan tanah sawah yang terus berlanjut akan mengakibatkan keberlanjutan produksi padi menjadi terancam, yang berarti pula akan mengancam kestabilan persediaan pangan nasional (ketahanan pangan). Jika kondisi ini masih tetap dibiarkan bukan tidak mungkin pada beberapa tahun mendatang, cadangan beras di Indonesia sebagian besar akan berasal dari impor. Padahal ketergantungan terhadap impor beras sangat tidak stabil dan akan menimbulkan situasi yang rawan dan mempengaruhi kestabilan nasional. Negara yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya, secara politis negara itu telah menggadaikan sebagian kedaulatannya. Selain itu, hilangnya mata pencaharian petani akan menimbulkan persoalan pengangguran dan gangguan sosial. Persoalan-persoalan tersebut timbul karena mereka tidak mempunyai pendidikan yang memadai, serta tidak memiliki keahlian lain selain bertani. Kondisi ini menyebabkan mereka tidak siap untuk terjun di bidang non pertanian. Selain kerugian-kerugian di atas, investasi infastruktur pertanian (irigasi) yang dibangun dengan dana yang sangat besar akan menjadi sia-sia. Hal ini perlu adanya upaya-upaya perlindungan dan pengendalian terhadap tanahtanah pertanian yang produktif. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan melalui 3 (tiga) strategi yaitu memperkecil peluang terjadinya konversi, mengendalikan kegiatan konversi tanah, dan yang ketiga, adanya instrumen pengendali konversi tanah. Menurut Hardjono (2005), instrumen yang dapat digunakan untuk perlindungan dan pengendalian tanah sawah dengan melalui instrumen yuridis dan non-yuridis yaitu: a. Instrumen yuridis berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat (apabila memungkinkan setingkat undang-undang) dengan ketentuan sanksi yang memadai. b. Instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik tanah sawah dan Pemerintah Daerah setempat c. Pengalokasian dana dekonsentrasi untuk mendorong Pemerintah Daerah dalam mengendalikan tanah pertanian terutama sawah d. Instrumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan perizinan lokasi. Saat ini, salah satu instrumen utama dalam pengendalian pemanfaatan ruang untuk mencegah konversi lahan sawah adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan mekanisme perijinan misalnya izin lokasi. Karena sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah ditetapkan bahwa penyelesaian administrasi pertanahan hanya dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi persyaratan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan arahan peruntukan dalam RTRW. Kenyataan yang terjadi saat ini, laju konversi tanah sawah irigasi masih terus berlangsung. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan kajian sejauh mana efektifitas RTRW sebagai instrumen dalam mempertahankan keberadaan tanah sawah dan menetapkan secara tegas lahan sawah yang telah ada untuk tetap dipertahankan. Kajian efektifitas terhadap RTRW yang telah ditetapkan pada tahun 2007 ini tetap dilakukan meskipun pada saat itu belum ada UU yang isinya secara spesifik melindungi keberadaan lahan sawah. Sebagai contohnya dalam UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Upaya untuk melindungi lahan sawah mulai diatur pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 48 ayat 2, yang kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pasal 5. Upaya pemerintah dalam mempertahankan tanah sawah melalui RTRW tersebut hendaknya didukung seluruh instansi terkait dan peran serta masyarakat dalam pengendalian perubahan penggunaan tanah. Sosialisasi dari pemerintah tentang RTRW beserta kebijakannya harus diketahui oleh masyarakat, karena keberhasilan suatu pembangunan dan implementasi kebijakan pemerintah dalam hal ini RTRW tidak akan berhasil pelaksanaannya jika tidak mendapat dukungan dari masyarakat sebagai pelaku hukum tersebut. Hal ini sangat diperlukan untuk membentuk persepsi masyarakat. Mengingat berbagai keterbatasan, kajian efektifitas ini dibatasi dengan wilayah studi, dan wilayah studi yang dipilih adalah Kabupaten Bekasi. Alasan pemilihan Kabupaten Bekasi adalah kabupaten ini merupakan salah satu hinterland wilayah Jakarta telah menjadi daerah limpahan perluasan kawasan perkotaan untuk sektor pemukiman, industri dan pariwisata. Secara demografis, jumlah penduduk kabupaten Bekasi mengalami peningkatan yang sangat pesat sebab pada tahun 2005 jumlah penduduknya 2.027.902 jiwa atau mengalami pertumbuhan sebesar 3,98 % dari tahun sebelumnya (Humaskabbekasi, 2009). Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bekasi, sebagaimana yang dikutip oleh De Bratha (2010) Kabupaten Bekasi diketahui mempunyai lahan pertanian berupa tanah sawah dan tanah kering terus mengalami penyusutan setiap tahunnya. Dari total wilayah Kabupaten Bekasi 127.388 Ha, luas lahan pertanian pada tahun 2003-2004 adalah 55.989 Ha. Namun pada tahun 2005 menyusut menjadi 55.354 Ha. De Bratha (2010) juga mengemukakan penyusutan tanah sawah terjadi dengan rincian sebagai berikut: lahan sawah pengairan pada tahun 2003 seluas 37.493 Ha, menjadi 37.483 Ha di tahun 2004. Dan tahun 2005 menyusut menjadi 35.286 Ha. Sedangkan lahan sawah tadah hujan, tahun 2003-2004 seluas 8.903 Ha menjadi 7.805 Ha pada tahun 2005. Penyusutan juga terjadi pada sawah irigasi teknis, tahun 2003 masih 37.493 Ha, dan pada tahun 2005 tinggal 35.286 Ha. Daerah pertanian yang banyak mengalami alih fungsi adalah Kecamatan Cikarang Barat, Cikarang Selatan, Cibarusah, dan Bojongmangu. Berarti dari tahun 2003 sampai 2005, penyusutan lahan mencapai 635 Ha. Angka ini diduga terus bertambah pada tahun 2006-2010, juga dimasa-masa mendatang (De Bratha, 2010). Riyadi (2010) menyebutkan ada beberapa kasus pelanggaran terkait pelaksanaan tata ruang yang dilakukan masyarakat. Sebagai contohnya adalah permasalahan peruntukkan penggunaan lahan serta masalah perijinan. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan penyebaran informasi tentang manfaat tata ruang, dan bagaimana produknya. Informasi tersebut wajib untuk diketahui, sehingga bisa mengurangi kesalahan prosedur dari pemanfaatan ruang. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tampak adanya indikasi bahwa perubahan fungsi sawah menjadi non pertanian (permukiman, industri dan jasa) telah berdampak negatif terhadap penurunan produksi padi, kondisi sosial ekonomi petani dan sebagainya sehingga diperlukan adanya suatu penanggulangan atau pencegahan adanya perubahan fungsi sawah tersebut. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah : ”bagaimana efektifitas instrumen penataan ruang dalam mengendalikan perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian”. Bertitik tolak pada permasalahan tersebut maka ada beberapa pertanyaan penelitian yang perlu dijawab berkaitan dengan tujuan akhir penelitian yaitu: 1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sawah menjadi non pertanian? 2. Sejauh mana mekanisme penataan ruang dapat menekan atau mengurangi penyusutan tanah sawah ? 3. Bagaimana persepsi masyarakat petani terhadap tata ruang ? 4. Bagaimana persepsi masyarakat petani terhadap perubahan penggunaan lahan sawah menjadi non pertanian ? 1.3. Tujuan dan Manfaat 1.3.1. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efektifitas tata ruang sebagai instrumen pengendalian laju perubahan penggunaan lahan sawah menjadi non pertanian dalam rangka menjaga kestabilan ketahanan pangan yang berwawasan lingkungan di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Tujuan penelitian yang ingin diketahui untuk mendukung tujuan utama dari penelitian ini, antara lain : 1. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan sawah menjadi non pertanian di Kabupaten Bekasi. 2. Menganalisis efektifitas instrumen tata ruang sebagai upaya menekan penyusutan tanah sawah. 3. Menganalisis persepsi masyarakat tentang instrumen tata ruang. 4. Menganalisis persepsi masyarakat tentang adanya alih fungsi sawah. Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB