keterangan pemerintah atas rancangan undang

advertisement
KETERANGAN PEMERINTAH
ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Jakarta, 2 April 2012
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Salam sejahtera untuk kita semua
Yth. Bpk. Ketua DPD RI,
Yth. Sdr.Ketua Pansus RUU tentang Pemerintahan
Daerah,
Yth. Sdr. Anggota Pansus RUU tentang Pemerintahan
Daerah,
Yth. Sdr. Menteri Hukum dan HAM,
Yth. Sdr. Menteri Keuangan,
Yth. Sdr. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi,
Yth. Sdr. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional, serta
Para hadirin yang berbahagia
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karuniaNyayang diberikan kepada kita semua sehingga kita bisa
hadir di ruang rapat ini untuk mengikuti Rapat Kerja
Pansus
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Pemerintahan Daerah.
1
Ketua dan Anggota Pansus yang saya hormati,
Kebijakan
desentralisasi
dengan
memberikan
otonomi seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah
satu agenda reformasi yang telah diformulasikan dalam
amandemen kedua Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui
kebijakan
desentralisasi.
kesejahteraan,
yaitu
Pertama
menjadikan
adalah
tujuan
pemerintah
daerah
sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan di
tingkat lokal melalui pemberian pelayanan publik dan
menciptakan daya saing daerah yang pada gilirannya
akan
menyumbang
kepada
kesejahteraan
nasional.
Kedua adalah tujuan politik, yaitu pemerintah daerah
akan menjadi instrumen pendidikan politik di tingkat lokal
yang
kalau
berhasil
akan
menyumbang
kepada
pendidikan politik nasional, untuk mendukung proses
demokratisasi dalam mewujudkan masyarakat madani
(civil society).
Sejak reformasi, kita telah dua kali membentuk
Undang-Undang
tentang
Pemerintahan
Daerah
yaitu
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 yang telah beberapa kali
2
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
dibentuk pada awal reformasi dilandasi oleh semangat
merubah
paradigma
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah dari yang selama masa pemerintahan Orde Baru
sangat didominasi oleh pendekatan sentralistik menuju
kepada pemerintahan daerah yang desentralistik sebagai
salah satu agenda utama dari reformasi. Perubahan
paradigma pemerintahan daerah yang sangat radikal
tersebut pada satu sisi berhasil mengurangi peran
Pemerintah
Pusat
yang
sangat
dominan
selama
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok
Pemerintahan
perubahan
yang
pengalihan
urusan
menjadi
di
fenomenal
Daerah.
adalah
pemerintahan
kewenangan
Pemerintah
yang
Salah
satu
dilakukannya
sebelumnya
Pusat
menjadi
kewenangan daerah. Konsekuensi logis yang terjadi dari
pengalihan kewenangan tersebut adalah berubahnya
kelembagaan dengan dibubarkannya kanwil dan kandep
digabung kedalam dinas daerah, beralihnya personil,
pembiayaan serta sarana dan prasarana pemerintahan
3
dan
juga
dokumen
yang
dikenal
dengan
istilah
pengalihan P3D.
Namun pada sisi lain perubahan paradigma
pemerintahan secara radikal tersebut juga menyebabkan
terjadinya
gejolak
khususnya
peralihan
kewenangan
yang
tersebut.
terkait
Banyak
dengan
peraturan
perundang-undangan sektor yang belum disesuaikan
dengan peraturan perundang-undangan otonomi daerah.
Akibatnya terjadi tarik menarik kewenangan antara pusat
dengan daerah dan bahkan antar daerah sendiri. Kondisi
tersebut menyebabkan terjadinya instabilitas nasional
yang pada akhirnya melahirkan keputusan politik untuk
melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tersebut.
Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
menjadi
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
melahirkan beberapa perubahan yang signifikan yang
pada
dasarnya
ditujukan
untuk
meredakan
konflik
kewenangan antara pusat dengan daerah dan juga
ketegangan yang timbul antara hubungan Kepala Daerah
dengan
DPRD
yang
sangat
diwarnai
oleh
nuansa
“legislative heavy”. Nuansa ini dapat terlihat khususnya
terkait dengan Laporan Pertanggung Jawaban Kepala
Daerah kepada DPRD yang sering dijadikan instrumen
4
untuk melakukan ancaman impeachment terhadap Kepala
Daerah yang sering kemudian diakhiri dengan berbagai
kompromi politik yang kurang ada kaitannya dengan
peningkatan kinerja Kepala Daerah.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor
32
Tahun
2004,
mulai
ditata
pembagian
urusan
pemerintahan yang semakin jelas antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota. Kalau Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999
menerapkan
konsep
urusan
residu
(residual
functions) untuk Kabupaten/Kota dengan mengatur hanya
urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, maka UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 menerapkan konsep
urusan konkuren (concurrent functions) antara Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Setiap urusan dibagi
berdasarkan tiga kriteria yaitu eksternalitas, akuntabilitas
dan
efisiensi.
Penerapan
ketiga
kriteria
tersebut
melahirkan pembagian urusan yang jelas antara Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Ada 31 (tiga puluh satu) urusan pemerintahan
yang
diserahkan
Kabupaten/Kota
ke
yang
daerah
otonom
bersifat
Provinsi
konkuren.
dan
Dengan
pembagian berdasarkan ketiga kriteria tersebut maka
5
Pemerintah
Pusat
mempunyai
kewenangan
urusan
pemerintahan yang berskala nasional atau lintas Provinsi,
Sedangkan pemerintah provinsi mempunyai kewenangan
menangani urusan pemerintahan yang berskala provinsi
atau
lintas
kabupaten/kota
dan
pemerintah
kabupaten/kota mempunyai kewenangan atas urusan
pemerintahan yang berskala kabupaten/kota atas ke 31
(tiga puluh satu) urusan pemerintahan yang bersifat
konkuren tersebut.
Perubahan
Undang-Undang
signifikan
Nomor
32
lainnya
dalam
koridor
Tahun
2004
adalah
diterapkannya pemilihan langsung oleh rakyat terhadap
pemilihan
kepala
daerah
baik
provinsi
maupun
kabupaten/kota. Beralihnya pemilihan kepala daerah dari
dipilih melalui DPRD sebagaimana diatur dalam UndangUndangNomor 22 Tahun 1999 menjadi dipilih langsung
rakyat menyebabkan beralihnya pertanggung jawaban
kepala daerah dari tadinya kepada DPRD menjadi kepada
rakyat.
kepada
Konsep
Laporan
Pertanggung
DPRD
menjadi
konsep
Jawaban
Laporan
(LPJ)
Keterangan
Pertanggung-Jawaban (LKPJ) kepada DPRD. LKPJ bukan
sebagai instrumen untuk melakukan impeachment tapi
lebih berfungsi sebagai “progress report” kepala daerah
6
kepada DPRD dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah. LKPJ tersebut merupakan laporan kepala daerah
kepada
DPRD
sebagai
mitra
kerjanya
mengenai
pelaksanaan kebijakan yang telah disepakati oleh Kepala
Daerah dengan DPRD dalam setahun. Melalui laporan
tersebut diharapkan adanya rekomendasi dari DPRD
untuk perbaikan kinerja pemerintah daerah di tahun
mendatang. Sedangkan proses impeachment tetap dapat
dilakukan DPRD melalui instrumen interpelasi dan angket
yang kemudian bermuara pada pernyataan pendapat.
Mekanisme
LKPJ
tersebut
telah
mengurangi
secara
signifikan gejolak yang terjadi di daerah khususnya
akibat ketegangan hubungan antara kepala daerah
dengan DPRD.
Selama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, secara empirik masih dirasakan adanya
beberapa permasalahan yang kalau dibiarkan akan
mengganggu efektifitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Meskipun pendidikan politik sebagai salah satu
tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan desentralisasi
telah menunjukkan hasil yang relatif menggembirakan,
namun belum diimbangi dengan capaian yang memadai
dalam aspek peningkatan kesejahteraan di tingkat lokal.
Bagian
hulu
dari
kesejahteraan
adalah
urusan
7
pemerintahan
yang
menjadi
domain
kewenangan
Pemerintah Daerah. Muara dari urusan pemerintahan
tersebut adalah pelayanan publik. Ada dua varian dari
pelayanan
publik
yang
dihasilkan
oleh
Pemerintah
Daerah yaitu penyediaan barang-barang untuk kebutuhan
publik (public goods) seperti jalan, jembatan, pasar
terminal, rumah sakit dan lain-lainnya dan kedua adalah
pengaturan-pengaturan publik (public regulations) yang
dikemas dalam bentuk peraturan daerah seperti Perda Ijin
Mendirikan Bangunan, Perda Kependudukan, Perda Pajak
dan
Retribusi Daerah
dan
lain-lainnya. Penyediaan
barang-barang publik dan pengaturan-pengaturan publik
sejatinya adalah hasil akhir (end products) dari kinerja
Pemerintah Daerah. Setelah lebih dari satu dekade
pasca reformasi, pelaksanaan otonomi daerah masih
memerlukan pembenahan dalam penyediaan pelayanan
publik
khususnya
pelayanan
dasar
yang
terkait
yang
masih
dengan
belum
penyediaan
menunjukkan
pencapaian yang signifikan dari standar pelayanan
minimal (SPM).
Kalau kita lihat dari sisi kewenangan, maka
ketiga indikator utama pembentuk Indeks Pembangunan
Manusia
sebagai
elemen
dasar
kesejahteraan
masyarakat adalah menjadi domain kewenangan daerah,
8
khususnya kabupaten dan kota. Demikian juga mengenai
pencapaian MDGs, hampir semua indikator MDGs menjadi
kewenangan daerah juga. Namun tidak begitu optimistis
untuk dapat mencapai MDGs pada tahun 2015. Data
empirik menunjukkan kepada kita bahwa pencapaian dari
aspek politik tidak simetris dengan pencapaian dalam
aspek
kesejahteraan.
Ini
juga
berarti
bahwa
pembangunan politik kurang diikuti dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Hiruk pikuk yang terjadi pada
sisi
politik
perubahan
di
yang
tingkat
lokal
signifikan
kurang
menghasilkan
terhadap
kesejahteraan
masyarakat daerah. Kalau hal tersebut dibiarkan terus
akan
mengakibatkan
persepsi
buruk
masyarakat
terhadap otonomi daerah. Berbagai tudingan negatif
masyarakat telah dialamatkan kepada otonomi daerah
seperti munculnya istilah raja-raja kecil, desentralisasi
korupsi, pecah kongsi kepala daerah dengan wakil kepala
daerah, masalah hukum yang menimpa kepala daerah
dan wakil kepala daerah, politisasi birokrasi, politik
dinasti, dan lain-lainnya. Sedangkan cita-cita reformasi
adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diantaranya
melalui otonomi daerah dan menjadikan otonomi daerah
sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan
dan memajukan pendidikan politik.
9
Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini
merupakan
momentum
bersejarah
bagi
kita
untuk
meluruskan cita-cita reformasi yaitu melalui demokrasi
menuju kesejahteraan bangsa. Kedaulatan rakyat yang
diwujudkan melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah harus mampu memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kesejahteraan rakyat dan bukan bersifat
elitis dan ekslusif yang hanya menguntungkan elit
penguasa lokal.
Salah satu kesepakatan yang telah ditetapkan
oleh
DPR
dan
Pemerintah
adalah
memecah
UU
Pemerintahan Daerah kedalam 3 (tiga) undang-undang
yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang
tentang
Desa
dan
Undang-Undang
tentang Pilkada. Diharapkan melalui pemecahan UndangUndang Pemerintahan Daerah kedalam tiga undangundang tersebut akan memberikan ruang pengaturan
yang lebih rinci dan komprehensif dari masing-masing isu
tersebut
sehingga
memberikan
kontribusi
pada
kelancaran jalannya roda pemerintahan daerah secara
keseluruhan.
10
ISU-ISU STRATEGIS YANG MENJADI SUBSTANSI REVISI
UU 32 TAHUN 2004
Pimpinan dan anggota Pansus RUU tentang Pemerintahan
Daerah yang terhormat,
Sebelum memasuki substansi perubahan, pada
bagian awal dari Rancangan Undang-Undang tentang
Pemerintahan
Daerah
ini
akan
memuat
pengaturan
mengenai hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah.
Hal
ini
dimaksudkan
sebagai
penyamaan
persepsi bahwa kita ber-otonomi di Negara Kesatuan
Republik
Indonesia
dengan
segala
konsekuensinya.
Rujukan utama yang dipakai adalah tetap ketentuanketentuan dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Pemerintah menganggap penting pengaturan
ini untuk menghindari berbagai silang pendapat karena
interpretasi yang berbeda-beda khususnya menyikapi
hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Ciri utama otonomi daerah dalam konteks Negara
Kesatuan adalah adanya hubungan hierarkhi antara
Pusat dengan Daerah. Daerah Otonom dibentuk oleh
Pusat dan bahkan dapat dihapus apabila tidak mampu
melaksanakan otonominya. Sumber kewenangan daerah
adalah berasal dari Pemerintah Pusat dan tanggung
jawab pemerintahan ada ditangan Presiden sebagai
11
pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana secara
eksplisit dinyatakan dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945.
Kebijakan
desentralisasi di Negara kesatuan
berawal dari adanya pembentukan daerah otonom dan
penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah. Berbeda dengan konsep
Negara federasi, dimana daerah atau state yang muncul
terlebih dahulu dan kemudian state
tersebut yang
membentuk Negara Federasi. Konsekuensinya dalam
konteks
kekuasaan
states
tersebut
pemerintahan
pemerintahan
yang
apa
saja
adalah
bersepakat,
yang
akan
kumpulan
kekuasaan
diserahkan
ke
Pemerintah Federal. Sebaliknya dalam Negara Kesatuan,
kekuasaan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat dan
kemudian menetapkan kekuasaan apa saja yang akan
diserahkan
ke
daerah
otonom.
Makin
sentralistik
pemerintahan di suatu Negara kesatuan umumnya makin
sedikit
kekuasaan
pemerintahan
atau
urusan
pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Sebaliknya
makin desentralistik Pemerintah suatu negara, akan
makin luas urusan pemerintahan yang diserahkan ke
daerah.
12
Namun seluas apapun otonomi daerah di
Negara
kesatuan,
tetap
tanggung
jawab
akhir
pemerintahan ada ditangan Pemerintah Pusat. Secara
empirik konsekuensi yang terjadi adalah bahwa
makin maju suatu bangsa secara sosial, ekonomi dan
politik, makin sedikit daerah diatur-atur oleh Pusat.
Sebaliknya makin rendah kondisi sosial, ekonomi dan
politik suatu bangsa akan makin banyak aturan yang
dibuat
Pemerintah
Pusat
untuk
meyakinkan
Pemerintah Pusat bahwa Pemerintah Daerah akan
melaksanakan otonominya sesuai dengan norma,
standar
dan
prosedur
yang
ditentukan
oleh
Pemerintah Pusat.
Dalam konteks Indonesia, Pemerintah Daerah
merupakan sub sistem dari Pemerintahan Nasional.
Oleh karena itu kemampuan suatu bangsa Indonesia
dalam mensejahterakan masyarakatnya akan sangat
ditentukan
oleh
sinerji
dan
hamonisasi
antara
kebijakan Pusat dengan Daerah. Untuk itu maka
sangat diperlukan adanya partisipasi daerah dalam
perumusan kebijakan nasional.
13
Dari
sisi
substansi
perubahan,
secara
keseluruhan terdapat 22 (dua puluh dua) isu strategis
yang ter-identifikasi yang memerlukan pemikiran yang
mendalam
baik
Pemerintah
dan
DPR
untuk
mendiskusikan penyempurnaannya dalam rangka revisi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Ke 22 (dua puluh
dua) isu strategis tersebut adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Pembentukan Daerah Otonom
Pembagian Urusan Pemerintahan
Daerah Berciri Kepulauan
Pemilihan Kepala Daerah
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Forum
Komunikasi
Pimpinan
Daerah
atau
Musyawarah Pimpinan Daerah
Perangkat Daerah
Kecamatan
Aparatur Daerah
Peraturan Daerah
Pembangunan Daerah
Keuangan Daerah
Pelayanan Publik
Partisipasi Masyarakat
Kawasan Perkotaan
Kawasan Khusus
Kerjasama Antar Daerah
Desa
Pembinaan dan Pengawasan Daerah
Tindakan hukum terhadap Aparatur Daerah
Inovasi Daerah
DPOD
14
Khusus untuk isu Pemilihan Kepala Daerah dan
isu Desa, revisi UU 32/2004 hanya memuat pengaturanpengaturan umum saja yang merupakan pengantar,
sedangkan pengaturan lebih lanjut secara rinci masingmasing akan
diatur dalam Undang-Undang tentang
Pilkada dan Undang-Undang tentang Desa.
Saudara Pimpinan dan Anggota Pansus yang terhormat,
Dari ke 22 (dua puluh dua) isu strategis tersebut
ada beberapa perubahan yang sifatnya fundamental,
namun ada yang bersifat memberikan pengaturan lebih
lanjut yang dimaksudkan untuk menciptakan kejelasan
dan
ketegasan
khususnya
dalam
pelaksanaan.
Disamping itu terdapat juga isu-isu baru yang diatur
untuk memberikan kepastian hukum bagi pemerintah
daerah dalam melaksanakan otonominya.
Perubahan-perubahan
pengaturan
untuk
pemerintah
daerah
yang
memberikan
dalam
memerlukan
penjelasan
pelaksanaan
bagi
otonominya
diantaranya menyangkut isu Peran Gubernur Sebagai
Wakil
Pemerintah
Forkompimda,
Pusat
di
Pembangunan
Daerah
Kecamatan,
Daerah,
Partisipasi
Masyarakat, Pelayanan Publik, Kerjasama Antar Daerah,
15
Pembinaan
dan
Pengawasan,
Kawasan
Perkotaan,
Kawasan Khusus dan DPOD.
Ada
beberapa
isu
baru
yang
diatur
dalam
Rancangan Undang-Undang ini yaitu isu mengenai daerah
berciri kepulauan, inovasi daerah dan tindakan hukum
terhadap aparatur daerah. Isu-isu baru tersebut sengaja
dibuat
pengaturannya
mengingat
urgensinya
dalam
pelaksanaan otonomi daerah.
Isu
baru
terkait
tindakan
hukum
terhadap
aparatur daerah ini perlu diatur dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah karena
salah satu fenomena yang mengemuka saat ini adalah
adanya
keengganan
dari
pejabat
daerah
untuk
menduduki jabatan sebagai pengelola proyek daerah
yang sering dituduh melakukan pelanggaran pidana
untuk hal-hal yang sebenarnya kesalahan yang bersifat
administratif. Untuk itu diperlukan adanya kepastian
hukum untuk memberikan landasan bertindak untuk
pejabat
daerah
pembangunan
dalam
yang
mengelola
sangat
proyek-proyek
diperlukan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.
16
Isu baru lainnya yang memerlukan pengaturan
baru adalah terkait dengan inovasi daerah. Pada satu sisi
kita mengetahui bahwa sulit bagi suatu bangsa untuk
maju kalau tidak diikuti dengan terobosan-terobosan
pemikiran dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Isu universal seperti lahirnya ide “reinventing government”
lahir dari adanya kebutuhan untuk melakukan terobosanterobosan pemikiran yang inovatif. Namun pada sisi lain
pemikiran inovatif tersebut belum ada pengaturannya
dalam aturan hukum yang tertulis. Akibatnya sering
terjadi tindakan-tindakan inovatif tersebut di cap sebagai
pelanggaran. Kondisi tersebut menyebabkan keengganan
para pejabat kunci di daerah melakukan kegiatankegiatan inovatif karena takut disalahkan. Akibatnya
muncul kecenderungan mencari jalan selamat dengan
bekerja apa adanya dan banyak terlibat dalam acaraacara seremonial yang jelas-jelas kurang berkorelasi
dengan upaya mensejahterakan rakyat sebagai salah
satu tujuan utama kebijakan desentralisasi.
Isu-isu krusial dalam Rancangan Undang-Undang
yang memerlukan pemikiran yang mendalam adalah yang
terkait
dengan
perubahan-perubahan
yang
bersifat
fundamental. Misalnya isu pembentukan daerah baru
yang memerlukan suatu pengayaan pemikiran yang kritis
17
dan strategis. Memang disadari bersama bahwa tuntutan
pemekaran daerah baru sangat fenomenal akhir-akhir ini
yang kemudian bermuara pada kebijakan moratorium.
Dari aspek keuangan, analisis data menunjukkan bahwa
kecepatan dari pemekaran dan percepatan penerimaan
dalam
negeri
untuk
membiayainya
sangat
tidak
berimbang. Mengingat dalam formula Dana Alokasi Umum
(DAU)
memposisikan
daerah
otonom
baru
sebagai
pembagi maka kalau gejala pembentukan daerah baru
tidak dikendalikan secara seksama, maka akan terjadi
penurunan
DAU
bagi
daerah-daerah
lainnya
yang
sebagian besar dana dalam APBD nya sangat tergantung
DAU.
Secara
rata-rata
nasional
kemampuan
PAD
Kabupaten/Kota pada tahun 2010 adalah 8,14%.Ini
berarti lebih dari 90% APBD tergantung dari subsidi. Dari
90% subsidi daerah sebesar 72,24% berasal dari DAU.
Pendapatan Nasional yang dialokasikan untuk DAU
adalah 26%. Pada sisi lain tekanan pembentukan daerah
baru akan menekan distribusi DAU ke daerah lainnya
yang kalau tidak kita kendalikan bersama akan berakibat
pada
menurunnya
DAU
untuk
daerah
yang
akan
bermuara pada gejolak nasional.
18
Dari aspek penentuan batas wilayah daerah
otonom baru juga telah menciptakan komplikasi persoalan
lainnya yang tidak kalah rumitnya. Penentuan batas
administrasi
wilayah
yang
tidak
akurat
telah
menciptakan konflik antar daerah otonom, ketidak jelasan
status administrasi kependudukan daerah yang menjadi
area konflik khususnya terkait dengan pendaftaran
pemilih pemilu. Terjadi juga ketidak jelasan Pemerintahan
Daerah mana yang bertanggung jawab atas pelayanan
publik bagi bagian daerah yang terlanda konflik tersebut.
Rebutan sumber daya alam sering sekali terjadi
manakala di daerah perbatasan tersebut terdapat sumber
daya alam. Potensi konflik horizontal juga dapat terjadi
pada daerah-daerah yang berbatasan tersebut.
Sebenarnya tidak ada niat Pemerintah untuk
menghalang-halangi pembentukan daerah otonom baru
manakala
semua
persyaratan
yang
diatur
dalam
peraturan perundang-undangan terpenuhi. Untuk itulah
maka
dalam
Rancangan
Undang-Undang
ini
diatur
adanya pematangan daerah yang akan dibentuk melalui
mekanisme daerah persiapan. Manakala suatu calon
daerah
otonom
baru
sudah
mampu
melalui
masa
persiapan dalam masa waktu tertentu, maka daerah
tersebut baru disahkan sebagai daerah otonom baru.
19
Cara ini kita harapkan akan dapat mencegah terjadinya
konflik pada daerah otonom baru tersebut. Isu inilah yang
memerlukan kecerdasan kita yang sangat dalam untuk
merumuskan pengaturannya dalam Rancangan UndangUndang ini. Untuk mencegah terjadinya tarik menarik
kepentingan dalam konteks pemekaran daerah, sesuai
dengan
kesepakatan
yang
dicapai
antara
pihak
Pemerintah dan DPR, Pemerintah sudah menyusun Desain
Besar Penataan Daerah (DESARTADA) Tahun 2010 – 2025
yang antara lain memuat potensi jumlah daerah otonom
baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam suatu
wilayah geografis tertentu.
Isu krusial lainnya adalah mengenai urusan
pemerintahan bidang kehutanan dan kelautan yang
selama ini menjadi sumber berbagai masalah terkait
dengan pengelolaan sumber daya alam. Urusan kelautan
dan
kehutanan
adalah
urusan
yang
berbasis
ekologis.Artinya batas-batas kehutanan dan kelautan
sering kurang pas kalau ditentukan oleh batas-batas
administrasi pemerintahan. Eksternalitas yang diciptakan
dari pengelolaan hutan dan laut sering melewati batasbatas
administratif
pemerintahan.
Untuk
itu
maka
pendekatan dengan memakai kriteria eksternalitas dan
efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan lebih
20
cocok diterapkan dalam pembagian urusan kehutanan
dan
kelautan.
Konsekuensi logisnya adalah
bahwa
urusan kehutanan dan kelautan lebih tepat menjadi
kewenangan Provinsi. Namun untuk menciptakan “trade
off” bagi kabupaten/kota diberikan bagi hasil dari
pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan urusan
kehutanan dan kelautan tersebut, sama seperti halnya
yang dilakukan terhadap pajak kendaraan bermotor
selama ini. Dari aspek pembinaan dan pengawasan juga
akan lebih efektif dapat dilakukan oleh pemerintah pusat
terhadap provinsi karena jumlah provinsi yang masih
‘manageable”.
Isu
krusial
yang perlu
pemikiran
mendalam
lainnya adalah isu perangkat daerah, terkait dengan
kelembagaan perangkat daerah yang kemudian akan
bermuara pada efektifitas pembangunan daerah.
Permasalahan serius lain yang kita alami selama
satu dekade otonomi daerah dalam semangat reformasi
adalah sulitnya mensinergikan pembangunan antara
pusat dengan daerah dan antar daerah sendiri. Visi yang
berbeda
antar
pimpinan
pemerintahan
akan
menyebabkan tidak efektifnya pencapaian target-target
nasional. Persoalan akan menjadi lebih kompleks ketika
masa jabatan dari setiap pimpinan pemerintahan antara
21
pusat dan daerah berbeda-beda. Akibatnya akan sulit
menciptakan
sinergi pusat dan
daerah
yang
akan
bermuara pada sulitnya merealisir kebijakan dan targettarget nasional yang telah ditetapkan.
Seyogyanya setiap kementerian atau lembaga
pemerintah
non
kementerian
melakukan
pemetaan
terhadap daerah terkait dengan kewenangannya masingmasing. Setiap kementerian dan lembaga (K/L) akan tahu
provinsi
dan
stakeholder
kabupaten/kota
utamanya
dalam
mana
yang
mencapai
menjadi
target-target
nasional. Dalam konteks tersebut diperlukan adanya
kebijakan yang bersifat afirmatif atau mengikat. Sebagai
contoh dalam bidang pertanian, Kementerian Pertanian
melakukan pemetaan provinsi dan kabupaten/kota mana
saja yang benar-benar unggulan pertanian. Daerah yang
unggulan
pertanian
tersebut
yang
boleh
membuat
dinas pertanian didasarkan atas pemetaan tersebut.
Kementerian
pertanian
Pertanian
dari
provinsi
bersama-sama
dan
dengan
dinas
kabupaten/kota
yang
mempunyai unggulan pertanian tersebut yang kemudian
menetapkan
target
masing-masing
nasional
dalam
dan
pencapaian
pembagian
target
tugas
nasional
tersebut.
22
Bagi daerah-daerah yang menjadi stakeholder
tapi kurang mampu dalam pendanaannya akan dibantu
melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk
mencegah
jangan
sampai
terjadi
lobby-lobby
untuk
memperoleh DAK, maka peran Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat akan sangat menentukan daerahdaerah mana saja dalam provinsi yang bersangkutan
yang benar-benar memerlukan DAK untuk mendukung
pencapaian target nasional. Dengan cara yang sama
untuk sektor-sektor lainnya akan memicu terciptanya
sinergi pembangunan pusat dan daerah dalam mencapai
target-target nasional tanpa harus terganggu oleh visi
yang berbeda-beda dan “time frame” masa jabatan
kepala daerah yang berbeda-beda pula.
Salah satu isu krusial dalam aspek sistem alokasi
keuangan
adalah
tidak
terpenuhinya
prinsip
“uang
mengikuti urusan” atau yang sangat dikenal dengan
istilah
“money
permasalahan
follows
struktural
function”.
dalam
Ada
beberapa
konteks
hubungan
keuangan Pusat dan Daerah. Setelah reformasi muncul
tuntutan
otonomi
seluas-luasnya
yang
kemudian
diakomodasikan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Ini
berarti urusan pemerintahan yang menjadi domain Pusat
akan lebih fokus pada pembuatan kebijakan nasional
23
untuk menjadi acuan bagi daerah dalam melaksanakan
otonominya.
Kewenangan
Pusat
dalam
pelaksanaan
urusan pemerintahan akan terbatas pada urusan-urusan
strategis nasional dan urusan yang berskala nasional
atau lintas provinsi dan lintas Negara atau internasional.
Namun sekitar 70% dari pendapatan Negara dikuasai oleh
Pusat dan hanya sekitar 30% yang dialokasikan ke
daerah. Ketimpangan pembagian sumber pendanaan
tersebut yang menyebabkan daerah mengalami kesulitan
untuk
membiayai
otonomi
luas
yang
menjadi
kewenangannya. Semua isu strategis dalam pembagian
sumber pendanaan tersebut akan menjadi muatan dalam
Revisi UU 33 Tahun 2004 yang seyogyanya sinerjik
dengan semangat yang diusung dalam revisi UU 32
Tahun
2004.
Berbagai
tindakan
harmonisasi
telah
dilakukan antara revisi UU 32/2004 dengan revisi UU
33/2004 untuk optimalisasi pelaksanaan prinsip “money
follows function” tersebut.
Saudara Pimpinan dan Anggota Pansus yang Terhormat,
Kami
menyadari
bahwa
pembahasan
isu-isu
strategis dalam Rancangan Undang-Undang ini akan
melibatkan kita dalam diskusi yang sangat intens untuk
menghasilkan rumusan-rumusan pengaturan yang paling
optimal demi kepentingan Bangsa dan Negara. Untuk itu
24
betapapun kerasnya diskusi yang akan terjadi dalam
pembahasan Rancangan Undang-Undang ini, kami sangat
mengharapkan bahwa kepentingan Bangsa dan Negara
inilah yang menjadi prioritas pertama dan utama kita.
Marilah kita kerahkan segala kecerdasan, kearifan dan
kerja keras kita dalam membahas Rancangan UndangUndang ini sehingga kita mampu menghasilkan UndangUndang tentang Pemerintahan Daerah yang memberi
landasan yang kuat untuk mencapai dua tujuan otonomi
daerah
yaitu
kesejahteraan
masyarakat
dan
terbentuknya masyarakat madani.
Semoga
Tuhan
Yang
Maha
Pengasih
dan
Penyayang memberkati usaha kita, Amin.
MENTERI DALAM NEGERI,
GAMAWAN FAUZI
25
Download