PENDIDIKAN TINGGI BERMUTU UNTUK RAKYAT OLEH: DARMANINGTYAS Kebutuhan akan pendidikan tinggi saat ini terus menerus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan naiknya status ekonomi masyarakat. Data Pusat Statistik Pendidikan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa persentase angka melanjutkan pendidikan dari SMA ke perguruan tinggi pada tahun 2006/2007 adalah 45,06%. Sedangkan pada tahun berikutnya (2007/2008), persentase tersebut meningkat menjadi 64,35%.1 Besaran angka tersebut menunjukkan bahwa dalam satu tahun telah terjadi peningkatan pada angka melanjutkan pendidikan dari SMA ke perguruan tinggi sebesar 19,29%. Akan tetapi, di sisi lain data yang sama juga menyebutkan bahwa pada tahun 2008, persentase angka tidak melanjutkan pendidikan dari SMA ke perguruan tinggi masih besar, yakni 35,65%.2 Artinya, jumlah siswa lulusan SMA yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi masih tetap besar meskipun jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan dari SMA ke perguruan tinggi mengalami peningkatan. Tentunya ada berbagai hal yang menyebabkan kondisi demikian terjadi. Salah satunya adalah biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di perguruan tinggi swasta, melainkan justru di berbagai perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah, terutama yang berstatus PT BHMN (Pendidikan Tinggi Badan Hukum Milik Negara). Secara obyektif memang betul bsahwa standar biaya satuan pendidikan tinggi (unit cost) di universitas negeri seluruh Indonesia cukup besar. Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyebutkan bahwa biaya pendidikan rata-rata setiap mahasiswa saat ini mencapai Rp.27.000.000,- per tahun.3 Meskipun demikian, secara subyektif PT BHMN tersebut, sekurang-kurangnya sampai tahun 2010 melakukan pungutan yang melebihi kebutuhan unit cost tersebut dan itu kemudian yang menimbulkan reaksi besar dari publik. Bahkan, ada PT BHMN yang menjadikan besaran uang yang sanggup dibayarkan oleh mahasiswa itu sebagai dasar diterima/tidaknya calon mahasiswa. Keadaan pendidikan yang demikian akan sangat sulit dihadapi oleh masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi, yaitu masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah dan masyarakat miskin. Apalagi, sebelum dapat masuk ke dalam Perguruan Tinggi, masyarakat dihadapkan terlebih dahulu pada kesulitan untuk membayar biaya pendaftaran yang sekarang tidak mungkin lagi terjangkau oleh anak sopir angkot atau loper koran. Oleh sebab itu, iklan anak sopir angkot bisa jadi pilot atau anak tukang loper koran bisa jadi wartawan, seperti diiklankan menjelang Pemilu 2009 jelas hanya iklan omong kosong. Kondisi pendidikan tinggi yang demikian harus segera diatasi oleh Pemerintah lewat kebijakan pendidikan tinggi yang berpihak pada rakyat. Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi (RUU PT) seharusnya mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam meraih pendidikan. Namun, tampaknya kebijakan ini belum benar-benar mampu berpihak pada rakyat. Otonomi Pergurun Tinggi 1 Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional. 2008. Ikhtisar Data Pendidikan Tahun 2007/2008. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional 2 Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional. 2008. Ikhtisar Data Pendidikan Tahun 2007/2008. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional 3 Tempo Interaktif. 8 Maret 2011. Biaya Kuliah Kian Melangit. Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2011/03/08/brk,20110308-318602,id.html Otonomi Perguruan Tinggi, pada prinsipnya, harus dapat mendukung agar proses pembelajaran yang bermutu tidak terhambat oleh birokrasi, baik menyangkut masalah mekanisme administratif pencairan anggaran/dana maupun aturan lain yang sifatnya membatasi kebebasan akademisi untuk menyampaikan gagasan maupun hasil temuannya kepada publik. Dengan kata lain, yang disebut otonomi itu adalah kebebasan perguruan tinggi untuk mengelalola dan mengembangkan perguruan tinggi demi terlaksananya proses pencerdasan kepada warga. Jangan sampai pelayanan publik terganggu hanya karena peraturan keuangan negara yang tidak fleksibel. Sebagai contoh, ada aturan yang menyebutkan bahwa penggunaan dana di atas Rp. 100 juta harus memakai sistem tender. Apakah aturan ini juga relevan diterapkan untuk perguruan tinggi yang memerlukan dana untuk membelian barang-barang habis pakai untuk kebutuhan praktikum? Bila ini diterapkan jelas suatu kekonyolan karena tender belum tuntas masa kuliah yang memerlukan praktikum dengan menggunakan barang-barang bekas pakai tersebut sudah lewat. Di sini jelas regulasi pemerintah tersebut tidak relevan untuk diterapkan di pendidikan tinggi. Otonomi perguruan itu betul-betul harus memberikan keleluasaan bagi perguruan tinggi untuk mengelola anggarannya sesuai dengan kebutuhan proses belajar mengajar yang sangat dinamis. Bukan dalam hal pencarian biaya pendidikan. Di negara-negara kesejahteraan kebutuhan dana untuk pendidikan itu dicukupi oleh negara, sehingga kuliah pun gratis. Tapi pengelolaan anggaran dari negara itu dilakukan secara otonom oleh perguruan tinggi. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada PTN dan PT BHMN kita. Otonomi yang diberikan kepada PTN/PT BHMN adalah otonomi dalam hal pencarian dana, tapi otonomi pengelolaannya tidak ada. Terbukti, suara menteri dalam pemilihan rektor di PT BHMN masih dominan (35%), sehingga siapa yang didukung oleh Menteri Pendidikan pasti akan menang. Itulah sebabnya, dalam hal otonomi perguruan tinggi, yang kita perjuangkan adalah otonomi pengelolaannya, bukan otonomi dalam pencarian dananya. Semangat UUD 1945 adalah semangat sebagai negara kesejahteraan. Dalam negara kesejahteraan, negara berkwajiban memenuhi kebutuhan pendidikan warganya, karena warga telah menjalankan kewajibannya dengan membayar pajak. Jadi dana untuk kebutuhan pendidikan tinggi itu diharapkan dari negara, tapi pengelolaannya diserahkan kepada PT masing-masing, tidak dibebani dengan birokrasi keuangan yang rumit dan jlimet tapi juga sekaligus menghambat proses pembelajaran di PT. Otonomi itu juga termasuk dalam pengangkatan tenaga dosen agar perguruan tinggi memiliki keleluasaan untuk mengangkat tenaga dosen baru sesuai dengan kebutuhan, tidak mengikuti kebijakan, misalnya moratorium PNS. Sebab kalau dihambat dengan birokrasi pemerintahan yang seperti itu, perguruan tinggi bisa kehilangan kesempatan untuk merekrut orang-orang yang kualified, misalnya pada saat diterapkan kebijakan moratorium PNS itu tersedia sarjana/master/doktor yang cocok dengan kebutuhan fakultas. Sayang bahwa tata kelola Perguruan Tinggi secara otonom yang diatur dalam RUU PT belum benar-benar mewujudkan hal tersebut. Hal itu karena otonomi yang dirumuskan dalam RUU PT lebih mengacu pada otonomi yang ada dalam UU BHP yang telah dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi), yaitu otonomi dalam pendanaan. Akhirnya kemudian melahirkan persoalan baru karena ada kastanisasi otonomi: Otonom, semi otonom, dan tidak otonom. Bila mau berfikir lurus, guna mewujudkan otonomi dalam bidang keuangan, maka yang diperlukan bukan lahirnya UU baru tentang PT, tapi perubahan UU Keuangan Negara yang lebih fleksibel terhadap kebutuhan pelayanan publik. Sayang justru UU tentang Keuangan itu malah tidak pernah disinggung-singgung, sudah seperti kitab suci saja. UU tentang Keuangan itu bukan barang keramat, sehingga tidak ada salahnya untuk diamandemen bila memang tidak ramah terhadap pelayanan publik. Jangan sebaliknya, hanya karena menyesuaikan dengan UU Keuangan Negara lalu hal prinsip, yaitu pendidikan sebagai hak warga justru diubah menjadi barang privat. Demikian pula otonomi keilmuan tidak perlu harus didukung dengan UU khusus, tapi yang paling penting adalah membenahi kultur intelektual, jaringan antar kampus, baik dalam maupun luar negeri, dan reformasi birokrasi pendidikan di level perguruan tinggi dan Kementrian Pendidikan, terutama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Dibawah ini adalah hasil pemetaan kami mengenai otonomi perguruan tinggi sebagaimana dirusmuskan dalam RUU PT. Tabel Pembagian Otonomi Pendidikan Tinggi Otonomi Bidang Akademik Otonomi Bidang Non-Akademik Penetapan norma, kebijakan operasional dan Penetapan norma, kebijakan operasional dan pelaksanaan dalam bidang Tridharma: pelaksanaan dalam bidang: - Pendidikan - Organisasi - Penelitian - Keuangan - Pengabdian masyarakat - Kemahasiswaan - Ketenagaan - Sumber belajar - Sarana dan prasarana lainnya Disusun berdasarkan RUU PT Februari 2012 Tabel Perbandingan PTN Otonom, Semi Otonom, dan Otonom Terbatas Unsur Pembanding Otonom Semi Otonom Otonom Terbatas Otonomi Akademik (pendidikan, penelitian, V V V dan pengabdian kepada masyarakat) Otonomi NonAkademik (organisasi, keuangan, Wewenang pengelolaan kemahasiswaan, V Tidak ada kewenangan keuangan secara mandiri ketenagaan, sumber belajar, sarana dan prasarana) Pemberian wewenang Pendelegasian dari Mandat dari Pemerintah Pemerintah Wewenang 1.Tata kelola dan 1.Tata kelola pengambilan keputusan; 2.Organ yang 2.Organ yang melaksanakan fungsi melaksanakan fungsi akuntabilitas dan akuntabilitas dan tranparansi transparansi 3.Hak untuk mengelola 3.Hak untuk memiliki aset negara kekayaan negara yang 4.Mengelola dana terpisah 5.Ketenagaan yang 4.Mengelola dana diangkat oleh Pemerintah 5.Ketenagaan yang atau lembaganya diangkat oleh lembaganya 6.Mendirikan badan usaha Unit organisasi Ketenagaan (dosen dan tenaga kependidikan) Gaji Evaluasi Anggaran dan mengembangkan dana abadi 7.Menyelenggarakan dan menghentikan dan menghentikan penyelenggaraan program studi 1.Majelis pemangku kepentingan/Majelis Wali Amanah 2.Rektor/Ketua/Direktur 3.Senat akademik 4.Auditor/pengawas Dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama 1.Rektor/Ketua/Direktur 2.Senat akademik 1.Rektor/Ketua/Direktur 2.Senat akademik Diangkat dan ditempatkan oleh Pemerintah atau badan penyelenggara Menteri memberikan kepada dosen tetap Melalui rapat pleno majelis pemangku kepentingan dengan menggunakan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit BPK atau kantor akuntan publik yang diakui oleh BPK Untuk belanja: 1.Belanja pegawai 2.Belanja barang 3.Belanja modal 4.Jenis belanja lain Diangkat dan ditempatkan oleh Pemerintah atau badan penyelenggara Menteri memberikan kepada dosen tetap Dilaksanakan oleh Menteri dengan menggunakan laporan keuangan tahunan PTN yang telah diaudit BPK Melalui rapat pleno majelis pemangku kepentingan dengan menggunakan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit BPK atau kantor akuntan publik yang diakui oleh BPK Untuk belanja: 1.Hibah perguruan tinggi 2.Subsidi pendidikan tinggi 3.Bantuan sosial pelaksanaan pendidikan di perguruan tinggi 4.Bentuk belanja lain Disusun berdasarkan RUU PT Februari 2012 Untuk belanja: 1.Belanja pegawai 2.Belanja barang 3.Belanja modal 4.Jenis belanja lain Tabel Perbandingan PTS Otonom dan Semi Otonom Unsur Pembanding Otonom Semi Otonom Otonomi Akademik (pendidikan, penelitian, dan V V pengabdian kepada masyarakat) Otonomi Non-Akademik (organisasi, keuangan, Wewenang pengelolaan kemahasiswaan, ketenagaan, V keuangan secara mandiri sumber belajar, sarana dan prasarana) Pemberian wewenang Ditetapkan oleh badan Ditetapkan oleh badan penyelenggara penyelenggara Unit organisasi 1.Majelis pemangku 1.Rektor/Ketua/Direktur kepentingan/Majelis Wali 2.Senat akademik Amanah 2.Rektor/Ketua/Direktur 3.Senat akademik 4.Auditor/pengawas Dilakukan berdasarkan Diangkat dan ditempatkan oleh perjanjian kerja atau Pemerintah atau badan kesepakatan kerja bersama penyelenggara Dilaksanakan dan diatur oleh Dilaksanakan dan diatur oleh badan penyelenggara lewat badan penyelenggara lewat laporan tahunan bidang laporan tahunan bidang akademik dan laporan tahunan akademik dan laporan tahunan keuangan keuangan Disusun berdasarkan RUU PT Februari 2012 Ketenagaan (dosen dan tenaga kependidikan) Evaluasi Otonomi pada Perguruan Tinggi dapat berakibat buruk apabila otonomi hanya pada pencarian dananyanya. Hasil audit BPK membuktikan adanya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan di beberapa PTN, termasuk UI yang sekarang menimbulkan problem besar di internal UI. Ini menunjukkan bahwa pilihan bentuk kelembagaan berupa PT BHMN tidak menjamin terselenggaranya tata kelola yang lebih baik, semua sangat tergantung pada sifat kepemimpinannya. Yang pasti, pilihan bentuk PT BHMN telah menjebak PTN-PTN terkemuka jatuh pada managemen korporasi. Otonomi berbau korporasi tersebut ditunjukkan oleh RUU PT lewat Pasal 80 ayat (2) yang menyatakan bahwa Perguruan Tinggi memiliki hak untuk memiliki kekayaan negara yang terpisah dan mendirikan badan usaha. Pemerintah memiliki peran dalam membuat kebijakan pendidikan tinggi yang berpihak pada seluruh masyarakat. Selain itu Pemerintah harus pintar mengalokasikan APBN untuk pendidikan. Sedangkan masyarakat dan swasta memiliki peran dalam menjalani kepatuhan pajak sehingga pendidikan tinggi dapat meningkat dananya jika memang anggaran pendidikan tidak cukup. Pendidikan tinggi bermutu tidak harus berstandar internasional, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan itu bersifat universal sehingga tanpa label “internasional” pun produknya sudah menginternasional. Lagi pula, pendidikan tinggi di Indonesia telah dikenal oleh masyarakat dunia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang sehingga tidak sedikit masyarakat negara tetangga kita, Malaysia dan India, yang belajar di Indonesia. Sejak dekade 1980an Fakultas Sastra UGM menjadi orientasi studi mahasiswa luar negeri yang ingin belajar kebudayaan di Indonesia. Isu yang lebih penting untuk ditangani saat ini adalah bahwa pendidikan tinggi harus mampu dijangkau oleh seluruh masyarakat. Caranya ialah kembali kepada sistem penerimaan mahasiswa baru yang dapat dicapai oleh seluruh rakyat Indonesia.